Anda di halaman 1dari 34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

VI.1 Gambaran Umum

VI.I.1 Gambaran Umum Kota Batu

Kota Batu merupakan sebuah kota yang terletak di Provinsi Jawa

Timur dengan luas wilayah administrasi 199,09 km atau 19.908,72 hektar,

dimana kurang lebih 0,42 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Timur.

Kota Batu adalah kota pemekaran dari Kabupaten Malang. Status

administratif Kota Batu ditetapkan sejak turunnya surat Keputusan Menteri

Dalam Negeri pada akhir Oktober 2001 dan mulai aktif dalam kegiatan

pemerintah tahun 2002. Wilayah Kota Batu dibagi menjadi 3 (tiga)

kecamatan yaitu:

a. Kecamatan Batu

Luas wilayah kecamatan Batu: 4.545,81 hektar

Luas Desa/Kelurahan: 4 kelurahan dan 4 desa

Jumlah RW/RT: 96 RW dan 453 RT

b. Kecamatan Junrejo

Luas wilayah kecamatan Junrejo: 2.565,02 hektar

Jumlah desa/kelurahan: 1 kelurahan dan 6 desa

Jumlah RW/RT: 59 RW dan 240 RT

c. Kecamatan Bumiaji

Luas kecamatan Bumiaji: 12.797,89 hektar

55
Jumlah Desa/Kelurahan: 9 desa

56
56

Jumlah RW/RT: 82 RW dan 429 RT

Adapun batas wilayah admistrasi Kota Batu sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan

 Sebelah Selatan : Kabupaten Malang

 Sebalah Timur : Kabupaten Malang

 Sebelah Selatan : Kabupaten Malang

Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Kota Batu


Sumber: RPJMD Kota Batu 2017-2022
Ditinjau dari letak astronomi, wilayah Kota Batu terletak diantara 112

derajat 35’22.31152” Bujur Timur (BT) dan 7 derajat45’51.61362”

Lintang Selatan (LS)/. Secara geostrategis Kota Batu memiliki posisi yang

cukup strategis bagi pengembangan potensi daerah. Kota Batu berada di

wilayah Provinsi Jawa Timur, terletak sekitar 101 km di sebelah timur


57

Kota Surabaya dan sekitar 15 km di sebelah barat Kota Malang, berada di

jalur Malang-Kediri atau Malang-Jombang. Wilayah administratif Kota

Batu dikelilingi oleh Kota Malang, Kabupaten Malang, Kabupaten

Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan. Kota Batu mempunyai peran yang

sangat penting untuk menggerakkan roda perekonomian, khususnya dalam

skala wilayah Provinsi Jawa Timur, yaitu sebagai sentra pariwisata Jawa

Timur.

Wilayah Kota Batu merupakan kawasan pegunungan dan perbukitan

dengan iklim yang sejuk. Kota Batu dalam konteks kemiringan lahan

berada pada kemiringan 0% sampai lebih dari 40%. Selain itu wilayah

Kota Batu merupakan wilayah yang subur untuk pertanian karena jenis

tanahnya merupakan endapan dari sederetan gunung yang mengelilingi

Kota Batu, ada tiga gunung yang berada di wilayah Kota Batu yaitu

Gunung Panderman (2.010 meter), Gunung Welirang (3.156) dan Gunung

Arjuno (3.339 meter), sehingga Kota Batu tidak memiliki perubahan

musim yang drastis antara musim kemarau dan musim penghujan serta

mata pencaharian penduduknya didominasi oleh sektor pertanian.

IV.I.2 Gambaran Umum Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu

IV.I.2.1 Visi dan Misi Dinas Lingkungan Hidup

1) Visi

Desa Berdaya Kota Berjaya Terwujudnya Kota Batu Sebagai

Sentra Agro Wisata Internasional Yang Berkarakter, Berdaya

Saing dan Sejahtera.


58

2) Misi

 Meningkatkan kualitas kehidupan sosial masyarakat yang

berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal

budaya

 Meningkatkan pembangunan kualitas dan kesejahteraan

sumber daya manusia

 Mewujudkan daya saing perekonomian daerah yang

progresif, mandiri berbasis agrowisata

 Meningkatkan pembangunan infrastruktur dan kawasan

perdesaan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan

 Meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik, bersih dan

akuntabel berorientasi pada pelayanan publik yang

profesional.

VI.I.2.3 Susunan Organisasi Dinas Lingkungan Hidup

Dinas Lingkungan Hidup mempunyai susunan organisasi

meliputi:

1) Kepala Dinas

2) Sekretaris

3) Bidang Tata Lingkungan dan Penataan

4) Bidang Pengendalian dan Penanggulangan Pencemaran

Lingkungan

5) Bidang Kebersihan dan Pertamanan


59

VI.I.3 Gambaran Umum Program Konservasi Sumberdaya Air


Program konservasi sumber daya air merupakan program Dinas

Lingkungan Hidup yang mengarah pada Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022 dan merujuk pada misi ke empat

Kota Batu “meningkatkan pembangunan infrastruktur dan kawasan

perdesaan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan”. Program

konservasi sumber daya air bertujuan untuk memelihara, mengendalikan


60

pencemaran lingkungan hidup di Kota Batu. Program konservasi sumber

daya air ini dilakukan dengan 2 cara yaitu

1. Vegetatif : yaitu penghijuan atau penanaman tanaman konservasi

bibit di sekitar mata air

2. Sipil teknis : yaitu pembuatan bangunan konservasi dalam hal ini

pembuatan sumur resapan

Program konservasi sumber daya air di Kota Batu dalam

pelaksanaanya dilakukan degan melihat Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2014 tentang konservasi tanah dan air.

VI.2 Penyajian Data

VI.2. 1 Evaluasi Program Konservasi Sumber Daya Alam

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditulis oleh peneliti terkait

evaluasi program, maka peneliti berniat untuk melihat proses kegiatan

konservasi sumberdaya air sehingga peneliti bisa melakukan evaluasi

terhadap program tersebut. Evaluasi program konservasi sumberdaya air di

Kota Batu ditinjau berdasarkan model evaluasi CIPP yang dikembangkan

oleh Stufflebeam, dkk (1967) yang meliputi: 1) context evaluation, 2)

input evaluation, 3) process evaluation, 4) product evaluation. keempat

tahapan proses evaluasi dalam program konservasi sumberdaya air tersebut

akan disajikan secara lebih rinci sebagai berikut:


61

VI.2. 1.1 Cotext Evaluation (Evaluasi terhadap Konteks)

Aspek context mencakup masalah yang berkaitan dengan kondisi

lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan, tujuan

program, ancaman-ancaman, kerawanan, serta relevansi program dengan

pihak-pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam pelaksanaan program.

Dalam konteks ini tujuan konservasi sumber daya air dijelaskan oleh

Bapak Attar selaku Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai

berikut:

“Tujuan program konservasi air di Kota Batu ini sesuai dengan pasal 3
undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 mengenai konservasi tanah
dan air yang tujuanya untuk
1. Melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan yang
jatuh, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, dan mencegah
terjadinya konsentrasi aliran permukaan
2. Menjamin fungsi tanah pada lahan agar mendukung
kehidupan masyarakat
3. Mengoptimalkan fungsi tanah pada lahan untuk mewujudkan
manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup secara
seimbang dan lestari
4. Meningkatkan daya dukung DAS
5. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas
dan memberdayakan keikutsertaan masyarakat secara
partisipatif
6. Menjamin kemanfaatan konservasi air secara adil dan merata
untuk kepentingan masyarakat.
Jadi karena program ini program dimana dari pemerintah pusat
sudah ada dan untuk daerah-daerah tertentu yang membutuhkan, jadi
sudah jelas untuk tujuan program ini sesuai dengan Undang-Undang
tersebut”. (Bapak Attar, 20 Maret 2020)
Berdasarkan pernyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa tujuan

dari konservasi di Kota Batu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37


62

Tahun 2014. Selanjutnya Dalam konteks evaluasi program, tujuan

konservasi tentu memiliki faktor pendorong sehingga program harus

dilaksanakan. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Attar selaku Seksi

Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:

“Kota Batu ini potensi sumberdaya alamnya sangat luar biasa


terutama air yang sangat melimpah kita mempunyai banyak sekali
sumber mata air sebanyak 138 sehingga konservasi ini menjadi hal
yang wajib ada disini dan antusiasme dari masyarakat sini juga sangat
tinggi untuk menjaga sungai dan lingkungan”. (Bapak Attar, 20 Maret
2020)

Pernyataan narasumber tersebut memberikan keterangan bahwa faktor

pendorong program konservasi di Kota Batu adalah potensi sumber daya

alam yang besar serta banyaknya mata air yang harus dilindungi.

Selanjutnya faktor pendorong program konservasi juga dijelaskan oleh Sri

Sugihartati selaku Seksi Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Desa

Tulungrejo sebagai berikut:

“Kita ini di daerah hulu jadi konservasi itu harus ada karena kita
mengaliri 14 kota/kabupaten, bukan hanya malang raya tetapi sampai
surabaya kediri jombang itu hulunya disini. Kalau disini tidak ada
konservasi atau konservasi tidak berjalan dan kita kekurangan air ya
apalagi yang dibawah pasti kekurangan terlebih dahulu daripada kita.
Dulu konservasi itu hanya dihutan tetapi setelah itu kami
mengembangkan untuk area permukiman, bipori sumur resapan tapi
belum banyak, ini yang kami upayakan untuk tahun berikutnya
meskipun kecil kalau masyarakat tidak diarahkan masyarakat tidak
kesana” (Ibu Sugihartati, 23 Maret 2020)
Dilihat dari apa yang dikatakan narasumber diatas dapat diketahui bahwa

faktor pendorong adanya program konservasi sumber daya air di Kota

Batu adalah adanya sumber air yang besar sehingga sumber air ini
63

digunakan juga untuk mengaliri 14 kota/kabupaten. Kemudian dari hasil

wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terkait konteks kegiatan

konservasi di Kota Batu dapat disimpulkan bahwa konservasi dilakukan

karena Kota Batu memiliki potensi air yang besar dan sebagai penopang

14 kota/kabupaten di Jawa Timur.

VI.2. 2 Input (Masukan)

Evaluasi input meliputi analisis yang berhubungan dengan

sumberdaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan program. Alokasi

sumberdaya ini meliputi personil/staff, alokasi anggaran yang tersedia,

strategi, dan peralatan pendukung pengelolaan. Sumberdaya dalam

pelaksanaan program konservasi sumber daya air di Kota Batu dijelaskan

oleh Bapak Attar selaku Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai

berikut:

“Dalam pelaksanaanya sumberdayanya pemerintah Kota Batu


terutama Dinas Lingkungan Hidup bekerjasama dengan pemerintah
desa beserta masyarakat. Kami selalu memberikan bibit tanaman ke
pemerintahan desa, kalau misalkan ada pengajuan ya kita upayakan
semampu kita sesuai dengan anggaran. Pengajuan proposalnya setiap
tahun sekali, biasanya dalam proses penyusunan suatu anggaran
kabupaten/kota provinsi itu ada musrenbang sebelumnya. Program ini
sudah ditentukan oleh bappeda. Kami cuma menangkap dari
masyarakat siapa yang mau diadakan program ini. Programnya dari
dinas lingkungan hidup diusulkan ke bappeda dan tiap tahun tidak
boleh ganti sesuai dengan rencana strategis tahun 2018-2022, tetapi
pengembangan dari program itu misalnya sumur resapan di desa
bumiaji dia pengen dibangun lima sumur resapan nah kita lihat dulu
anggaran dari pemkot dipatok berapa nanti kita sesuaikan dan kita
rapatkan, kita jalankan sesuai kemampuan anggaran Kota Batu.
Anggaran kita itu juga belum tentu disetujui semuanya, karena
anggaran pemerintah juga tidak untuk ini saja, kita pilih yang mana
yang diutamakan dan di prioritaskan”. (Bapak Attar, 20 Maret 2020)
64

Pernyataan narasumber tersebut memberikan keterangan bahwa dalam

proses input sumberdaya yang dibutuhkan yaitu sumberdaya manusia

dalam hal ini yaitu Dinas Lingkungan Hidup, pemerintah desa, dan

masyarakat. Selain itu sumber daya yang dibutuhkan yaitu anggaran dan

juga tanaman. Selanjutnya proses input ini juga di konfirmasi oleh Ibu Sri

Sugihartati selaku Seksi Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Desa

Tulungrejo sebagai berikut:

“Memang kita mengusulkan ke Dinas Lingkungan Hidup, kita


mengusulkan untuk perawatan atau mungkin penanaman di area
konservasi, tapi dari Dinas Lingkungan Hidup sendiri pastinya ada
program untuk penghijauan di area konservasi. Konservasi di
tulungrejo memang kita setiap tahun mendapat bantuan bibit dari
Dinas Lingkungan Hidup, kemarin akhir bulan desember kita
menanam 800 bambu di area resapan air di nggabes. Terus setiap
tahun kita dapat jatah tanaman terutama tanaman konservasi dan
tanaman tegakan. Biasanya ya kita laksanakan dengan masyarakat,
dengan RCL (Relawan Cinta Lingkungan) juga, kalau misalkan ada
yang memberi dari kampus atau dari luar ya kita terima”. (Ibu
Sugihartati, 23 Maret 2020)
Berdasarkan pernyataan dari narasumber di atas dapat diketahui bahwa

proses input dilakukan bersama stakeholders yaitu pemerintah Desa

Tulungrejo serta masyarakat dan sumberdaya lain berupa tanaman yang

diberikan oleh Dinas Lingkungan hidup setiap tahunya. Hasil wawancara,

observasi, dan dokumentasi yang dilakukan peneliti terkait proses input

program konservasi sumber daya air diperoleh kesimpulan bahwa

sumberdaya yang dibutuhkan yaitu sumberdaya manusia (Dinas

Lingkungan Hidup, pemerintah desa, dan mayarakat) dan sumberdaya

yang lain yaitu anggaran sebagai penggerak kegiatan konservasi sumber


65

daya air yang setiap tahunya selalu diupayakan oleh Dinas Lingkungan

Hidup dan juga tanaman sebagai alat utama konservasi.

VI.2. 3 Proses

Pada tahap proses ini dilakukan identifikasi permasalahan prosedur

baik tata laksana kejadian dan aktivitas, evaluasi proses juga diarahkan

pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah

terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses merupakan penilaian

akan pelaksanaan program, pengelolaan, keseuaian program dengan

standar yang bisa diterima, pengawasan atau kontrol terhadap program,

target, dan kendala yang dialami selama program berlangsung. Dalam

proses pelaksanaan program seperti yang disampaikan oleh Bapak Attar

selaku Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:

“Konservasi sumber daya air sebenarnya ada banyak cara tetapi


prioritas dan fokus kami hanya 2 cara yaitu vegetatif dan sipil teknis
karena keduanya ini kita anggap paling efektif untuk menyimpan air.
Cara vegetatif yaitu dengan penanaman bibit tanaman di sekitar mata
air dengan tujuan restorasi sungai dengan indikator tertanamnya bibit
tanaman yang mampu menyimpan air di sekitar mata air, sedangkan
untuk cara sipil teknis kan ada sekian banyak, dari sekian banyak saya
fokusnya hanya sumur resapan dan biopori karena sumur resapan itu
paling efektif untuk menyijmpan air dengan indikator meningkatnya
jumlah sumur resapan dan lubang bipori. Ada dam penahan,
pengendali, dam resapan berupa fisik bangun itu disebut konservasi
simple teknis. Prinsipnya sama memasukkan air kedalam tanah supaya
air tidak langsung ke sungai atau ke laut, tetapi tekniknya macam-
macam ada yang pohon, idealnya memang dengan penghijauan,
karena masuknya air kedalam air tanah itu tidak serta merta tidak
sporadis, kalau simpel teknis ini cenderung sporadis. Pelaksanaanya
66

seperti yang saya bilang tidak tentu tergantung usulan dari bawah,
prioritas, dan anggaran yang kita punya” (Bapak Attar, 20 Maret
2020)
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh narasumber diatas dapat

diketahui bahwa pelaksanaan konservasi sumber daya air dilakukan

dengan dua cara yaitu vegetatif dan simpel teknis. Dari sekian banyak cara

dua cara ini dipilih karena paling efektif dan menjadi prioritas bagi Dinas

Lingkungan Hidup Kota Batu. Pelaksanaanya dilakukan dan disesuaikan

dengan usulan, prioritas, dan anggaran yang ada. Metode konservasi ini

sesuai dengan Undang-undang No.37 Tahun 2014 tentang konservasi

tanah dan air. Selanjutnya proses pelaksanaan konservasi sumber daya air

juga disampikan oleh Ibu Sri Sugihartati selaku Seksi Kesejahteraan

Masyarakat Pemerintah Desa Tulungrejo sebagai berikut:

“Pelaksanaan itu tidak tentu karena disana setelah menanam kan kita
pulang ndak mungkin setiap hari, mangkanya kita penanaman itu di
masa hujan, setelah itu dimasa mulai kering kita kesana dan
membersihkan area sekitar sambil melihat tanaman. Disini memang
ada kawasan resapan air itu di nggabes dan di ngimbo itu kan daerah
yang dilindungi dan itu memang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
pertanian, tetapi sampai hari ini belum bisa diajukan permohonan hak
milik karena memang itu daerah resapan yang disitu dibawah kita ada
14 kabupaten kota sehingga das brantas itu aliran yang di aliri oleh
mata air yang di arboretrum juga dari gunung yang lain kayak
anjasmoro, gunung biru, dan gunung kecil yang lainya. Ada 14
kabupaten kabupaten kota sehingga kita berada dipaling tinggi
dihulunya sehingga dibawah kita ini membutuhkan dari resapan air
itu”. (Ibu Sugihartati, 23 Maret 2020)
Pendapat narasumber diatas memberikan keterangan bahwa pelaksanaan

program konservasi dilakukan dengan adanya penanaman bibit dan sumur

resapan, pelaksanaan konservasi sumber daya air tidak pasti dan biasanya
67

dilakukan satu tahun sekali serta disaat musim hujan, kemudian

pelaksanaan program konservasi sumber daya air ini juga disampaikan

oleh Bapak Surahmat selaku ketua Himpunan Petani Pengguna Air

(HIPPA) sebagai berikut:

“Penanaman pohon memang ada tetapi tidak sering, tiap tahun sekali
itu biasanya penghijauan setiap Januari Februari. Sekarang banyak
wilayah hutan yang sudah beralih sudah jadi sayur semua, sebetulnya
kasihan yang nanem enak tapi beberapa tahun lagi anak cucu bakal
merasakan apalagi sekarang ada tempat wisata diatas, kalau tidak
salah punya orang bali atau siapa gitu 25 hektar, di selatan coban talun
ketas. Itu kan mainya sama orang atas. Sekarang orang bawah
melarang tapi orang atas (pemerintah) member ijin ya kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Kalau lubang biopori tidak pernah ada, dulu pernah
digagas embung itu pernah dibahas tetapi kenyataannya sampai
sekarang tidak ada padahal itu jamanya pak edi rumpoko, sekarang
satu desa 3 itu sukur-sukur kalau ada”. (Bapak Surahmat, 23 Juni
2020)
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh narasumber diatas terkait dengan

pelaksanaan program konservasi sumber daya air dapat diketahui bahwa

pelaksanaan program konservasi dilakukan setiap tahun sekali, namun

pelaksanaanya kurang maksimal karena banyak orang perambah hutan dan

banyak wilayah hutan yang beralih fungsi menjadi sayuran, hal ini

membuat penurunan debit air di Kota Batu. Kemudian pelaksanaan

konservasi sumber daya air juga dijelaskan oleh Bapak Armadi selaku

ketua Himpunan Pengelola Air Minum (HIPAM) sebagai berikut:

“Konservasi ya pernah kita pernah mendapatkan penghijauan, tetapi


tidak rutin cuma selama ini sekali selama setahun yaitu perlindungan
untuk lingkungan, kalau masyarakat sini sendiri itu penghijauan setiap
dua tahun sekali dan anggaran penghijauan itu ada spontanitas dari
warga untuk membawa tanaman sendiri jadi tidak dari pemerintah,
68

kalau sumur resapan menurut saya ada tapi jarang”. (Bapak Armadi,
25 Juni 2020)
Berdasarkan pernyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa

pelaksanaa konservasi oleh Dinas Lingkungan Hidup dilakukan satu tahun

sekali dan setiap dua tahun sekali dilakukan secara spontanitas oleh

masyarakat. Selanjutnya setelah pelaksanaan, pengelolaan dan kontrol

adalah hal yang sangat penting dalam proses konservasi sumber daya air.

Menurut Bapak Attar selaku Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup

sebagai berikut:

“Pengelolaan dan kontrol kami bersama masyarakat jadi biar


masyarakat itu punya rasa memilki, ya presentasi hidup itu aja yang
bisa kita lakukan. Penelitian atau mengkaji sumber mata air karena
untuk melihat keberhasilan atau tidaknya konservasi sumber daya air
ya selama ini belum ada karena biayanya besar, belum pernah ada dari
pemerintah kota sejak 2001 kami belum pernah melihat keefektifan
atau terjamin atau tidak kami hanya menggunakan rasa, secara
vegetatif kalau pohonya tumbuh semua akan memasukkan air kedalam
tanah banyak gitu aja. (Bapak Attar, 20 Maret 2020)
Pernyataan narasumber tersebut memberikan keterangan bahwa

pengelolaan dan kontrol yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup selama

ini adalah melalui masyarakat, belum ada penelitian atau kajian dari dinas

secara langsung. Selanjutnya pengelolaan dan kontrol juga dijelaskan oleh

Ibu Sugihartuti selaku Seksi Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Desa

Tulungrejo sebagai berikut:

“Kami punya tanggungjawab pengelolaan dan kontrol, strategi kami


hanya perawatan pemeliharaan, jangan sampai konservasi ini
didatangi oleh penjarah hutan yaitu penanam sayur yang liar itu, jadi
kita tetep menjaga konservasi itu dalam radius berapa itu tidak boleh
ditanami dan karena konservasi itu berdampak pada air minum kita
sehingga kita punya HIPAM ini yang bertanggungjawab atas
69

pengelolaan di area konservasi. Namun tidak ada istilahnya mereka


bener-bener harus melaksanakan tugas itu untuk konservasi tetapi
mereka punya pengelolaan HIPAM ini yang harus ikut menjaga
konservasi, kalau kontrol itu setiap tahun kita selalu ditanya
pemerintah kota ada evaluasi, apakah ada konservasi yang disana itu
masih baik atau rusak itu setiap tahun kita harus ada laporan sehingga
kami nitip HIPAM. Kalau yang di hutan itu kita sampaikan ke
HIPAM, di lingkungan daerah pemukiman itu ada sumur resapan itu
ada petugas khusus yang selalu mengontrol kalau sudah musim
kemarau itu perlu pengurasan atau bagaimana”. (Ibu Sugihartati, 23
Maret 2020)
Berdasarkan pernyataan dari narasumber diatas dapat diketahui bahwa

proses pengelolaan dan kontrol dilakukan oleh pemerintah desa dan

masyarakat melalui HIPAM. Berikutnya pengelolaan dan kontrol juga

dijelaskan oleh Bapak Surahmat selaku ketua Himpunan Petani Pengguna

Air (HIPPA) sebagai berikut:

“Sebenarnya kontrol ya ada, tetapi sekarang ini sama repotnya,


sekarang kayak pihak perhutani sendiri contohnya kayak mandor dan
LMDH sudah kerjasama semuanya, sudah tidak bisa lagi
menghijaukan seperti dulu lagi. Beberapa tahun lalu sempat ada demo
masalah air kayaknya 4 tahun lalu karena air seharunya di bawa ke
sawah pemajekan tetapi dibawah ke tetel (menjarah hutan) akhirnya
yang bawah kan kurang yang sawah pemajekan. Tetapi pihak-pihak
yang terkait ya ada respond sebentar saja tapi ya sudah tidak ada.
Pernah juga kesulitan air itu tadi sumber banyak dipakai rumah
sawahnya buat mengaliri sayur orang tetel (menjarah hutan), ya itu
tadi sempat ada demo kalau kemarau pernah 4 tahun lalu kesulitan.
Waktu itu debit kalau kemarau kan 27 perdetik sebelum ada orang
tetel (menjarah hutan) itu sampai 30, tetapi begitu ada orang tetel
(menjarah hutan) yang 4 tahun lalu itu tinggal 18, jadi dibawa ke
Bulukerto gitu ndak sampai jadi cuma dikali aja, mengalirkan dari sini
jam 1 siang nyampe sama jam 10 malam baru nyampe, padahal kalau
lancar 4 jam sudah sampai”. (Bapak Surahmat, 23 Juni 2020)
70

Dilihat dari apa yang telah disampaikan oleh narasumber diatas dapat

diperoleh keterangan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini dirasa

masih kurang baik dari masyarakat maupun dari pemerintah, hal ini dilihat

dari kurangnya kontrol terhadap adaya perambah hutan yang semakin

banyak. Selanjutnya proses pengelolaan dan kontrol konservasi sumber

daya air juga dijelaskan oleh Bapak Armadi selaku ketua Himpunan

Pengelola Air Minum (HIPAM) sebagai berikut:

“Sebagai pengelola kami setiap 3 bulan sekali melakukan perawatan


ya kita bersihkan kita ambil kotorannya misalkan ada akar/ masuk
masuk dilubang paralon itu, kita selalu pantau bagaimana daerah
yang pohonya sudah mati atau hidup. Kontrol dari dinas belum ada
sepertinya, tetapi kalau pemerintah desa iya kita selalu koordinasi. ya
kita sendiri, kalau memberi pohon iya tapi kalau pengelolaan setau
saya ya masyarakat”. (Bapak Armadi, 25 Juni 2020)

Berdasarkan pernyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa

pengelolaan wilayah konservasi dilakukan sendiri oleh masyarakat dan

koordinasi dengan pemerintah desa. Didalam pengelolaan dan kontrol

dalam proses pelaksanaan suatu program tentu ada target yang harus

dicapai, evalusi target melihat apakah target ini tercapai dan sesuai dengan

tujuan. Target ini dijelaksan oleh Bapak Attar selaku seksi Seksi

Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:

“RPJMD ada lima tahun, target kita dibagi dalam 5 tahun itu.
Misalnya kalau seratus persen kami ditarget untuk mencapai 20 persen
setiap tahunya itu yang ideal. Kalau yang tidak ideal tercapai seratus
persen setelah lima tahun itu, jadi target kami ada yang setahun itu
cuma dua puluh. Kalau ini misal di akumulasikan 5 tahun berarti ini
10 ribu 10 ribu, target saya memang 10 ribu kami membuat targetnya
berdasarkan angan-angan kami, misalkan impian kami ingin
71

membangun 10 ribu tanaman, kami tiap tahun harus menyesuakian


anggaran pemerintah kota, mungkin tahun 2018 tidak sampai 2 ribu
tidak samapai target, mungkin cuma 1800 kurangnya kami tutupi di
tahun selanjutnya. Pokoknya kami punya arahan, pokoknya dengan
RPJMD itu 10 ribu tiap tahun 2 ribu, kami targetnya segitu, perkara
nanti ditengah jalan ada uangnya berapa ya menyesuaikan. Ini tahun
ke 3 ya 60% dilihat dari pohon yang hidup, ya kami asumsikan hidup
semua tapi ya kita belum bisa mengkaji dan meneliti, kami
mengharapkan dibantu dari dunia perkuliahan itu”. (Bapak Attar, 20
Maret 2020)
Pendapat narasumber diatas memberikan keterangan bahwa targetnya

setiap seratus persen dilakukan selama lima tahun, tetapi hal ini belum

pasti karena tergantung dari anggaran setiap tahunya. Selanjutnya target ini

juga dijelaskan oleh Ibu Sugihartuti selaku Seksi Kesejahteraan

Masyarakat Pemerintah Desa Tulungrejo sebagai berikut:

“Kalau target dalam hitungan jumlah kita tidak ada itu kita ikut
pemerintah kota saja, tetapi setiap tahunya kita upayakan untuk selalu
kunjungi area konservasi. Ketika itu memang harus perlu ada
penambahan bibit tanaman kita segers mengadakan”. (Ibu Sugihartati,
23 Maret 2020)
Berdasarkan pendapat narasumber diatas dapat diketahui bahwa tidak ada

target secara hitungan dari pemerintah desa, namun mereka selalu

berupaya untuk menjaga area konservasi. Selanjutnya target kegiatan

konservasi juga dijelaskan oleh Bapak Surahmat selaku ketua Himpunan

Petani Pengguna Air (HIPPA) sebagai berikut:

“Saya sebagai masyarakat ya ndak tau kalau targetnya tetapi menurut


saya target itu ya hanya tulisan dan teori aja, prakteknya ya begitu.
Pohon yang ditanam tidak pernah ada yang besar, paling yang besar
cuma disamping jalan, ya cuma secara simbolis. Sekarang menanam
ya semuanya berangkat, tapi tidak ada yang bisa besar. Contohnya
dulu pernah dikasih bibit banyak tapi ya gitu kira-kira satu meter
keatas akhirnya mati. tetapi kurang, karena sekarang orang tetel
72

(menjarah hutan) (perambah hutan) itu banyak. Pinus-pinus juga


sudah banyak yang habis, banyak yang dibuat pertanian terutama
sayur sekarang sumber-sumber sudah banyak yang dibawa ke tegal,
jadi debit kali sudah berkurang banyak. Seharusnya diimbangkan,
kalau sekarang kayak penghijuan satu meter sudah mati, sebabnya
diambil sama orang yang nanem biar tidak tinggi”. (Bapak Surahmat,
23 Juni 2020)
Dilihat dari pendapat narasumber diatas dapat diketahui bahwa target yang
ditetapkan belum tercapai karena pohon yang diberikan banyak diambil
oleh penjarah dan tidak ada kontrol dari pemerintah. Selanjutnya tidak
terpenuhinya target dalam sebuah pelaksanaan program juga diakibatkan
oleh kendala saat proses berlangsung. Kendala ini dijelaskan oleh Bapak
Attar selaku seksi Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:

“Selama ini tidak ada masalah atau kendala yang berarti, Cuma
mungkin pertanggungjawabanya memang sulit, kendalamya disitu
terkait administratif seperti memasukkan buku rekekning dsb. Kalau
ada ya mungkin dari masyarakat yang kurang mentaati peraturan juga
dari anggaran kita yang terbatas karena tidak hanya konservasi saja
yang kita lakukan, ya kita lakukan yang prioritas”. (Bapak Attar, 20
Maret 2020)
Berdasarkan penyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa kendala

yang dialami yaitu terkait administratif, anggaran yang terbatas, dan

masyarakat yang kurang mentaati peraturan. Selanjutnya kendala

pelaksanaan program konservasi sumber daya air juga dijelaskan oleh Ibu

Sugihartuti selaku Seksi Kesejahteraan Masyarakat Pemerintah Desa

Tulungrejo sebagai berikut:

“Kendalanya kembali lagi ke masyarakat, ketika masyarakat itu


memeperhatikan ini kita baik-baik saja, tetapi ketika masyarakat ini
mulai nakal dengan menjarah area konservasi untuk tanaman itu kita
yang menjadi kesulitan sehingga harus sosialisasi lagi, harus
menyampaikan ini tidak boleh ini ada aturanya, macam-macam seperti
itu”. (Ibu Sugihartati, 23 Maret 2020)
73

Pendapat narasumber tersebut memberikan keterangan bahwa kendala

dalam proses pelaksanaan konservasi sumber daya air terletak pada

masyarakat yang tidak menaati peraturan dan menjarah area konservasi.

Selanjutnya kendala pelaksanaan konservasi sumber daya air juga

dijelaskan oleh Bapak Surahmat selaku ketua Himpunan Petani Pengguna

Air (HIPPA) sebagai berikut:

“Kendalanya ya banyak orang menjarah, sebenarnya orang yang


pengen nanem itu ya banyak. Kalau dulu radius mata air 1 km dan
ternyata sekarang ndak ada paling 10 meter itu sudah bagus. Oknum
Perhutani yowes begitu juga pernah, perhutani itu pernah ngambil
orang domisili sini itu ada itu mandor. Orang yang punya sumber
seperti yang dibawa ke rumah-rumah kan pengen nanem supaya biar
besar biar lancar. Sekarang mau satu persatu ya gak bisa sebab semua
yowes sama saja. Sebenarnya dulu kalau netel harus ditanami alpukat
kemiri kopi sejenis buah-buahan boleh dulu tapi sekarang alih fungsi
jadi nenem. Sekarang masyarakat mau mencegah ya ndak bisa,
bawahnya mandor ada pembentukan lembaga masyarakat sekitar
hutan (LMDH), jadi kalau tadi ya majeki termasuk yang tetel
(menjarah hutan) ya ngasih ke LMDH kalau berapanya ya gak tahu,
LMDH sendiri kerjasamanya sama mandor”. (Bapak Surahmat, 23
Juni 2020)
Pendapat narasumber diatas memberikan keterangan bahwa kendala dalam

pelaksanaan konservasi sumber daya air adalah dari masyarakat dan okum

terkait yang menjarah daerah sekitar mata air sehingga konservasi yang

dilakukan kurang optimal. Selanjutnya kendala pelaksanaan konservasi

sumber daya air juga dijelaskan oleh Bapak Armadi selaku ketua

Himpunan Pengelola Air Minum (HIPAM) sebagai berikut:

“Kendalanya ini sebetulnya bukan program dari desa ataupun dari


warga RW 3 sendiri, tetapi kegiatan tersebut kalau disini ya inisiatif
masyarakat sini untuk menjaga agar lingkungan agar daerah sini
74

memiliki air yang cukup. Masyarakat sini juga ikut saling menjaga
kawasan hijau sekitar sumber air agar tidak ada orang yang mau tetel
(menjarah hutan) disitu”. (Bapak Armadi, 25 Juni 2020)
Berdasarkan pendapat narasumber diatas dapat diketahui bahwa kendala

selama proses kegiatan adalah kegiatan ini dilakukan sendiri atas inisiatif

masyarakat sendiri bukan dari pemerintah. Dari hasil wawancara dan

observsi yang dilakukan oleh peneliti, terkait proses pelaksanaan program

konservasi sumber daya air di Kota Batu diperoleh kesimpulan bahwa

selama proses berlangsung mulai dari pelaksanaan, pengelolaan, kontrol

kegiatan, target, dan kendala masih kurang maksimal, hal ini dilihat dari

pengakuan masyarakat yang merasa kurang puas terhadap kegiatan

konservasi selama ini karena pemerintah hanya memberikan bantuan tetapi

untuk mengelola dan mengkontrol pemerintah hanya bersifat insidental.

VI.2. 4 Produk

Evaluasi produk adalah evaluasi yang digunakan untuk mengukur

keberhasilan dalam mencapai tujuan. Secara garis besar evaluasi produk

meliputi penilaian tentang pencapian tujuan awal dan target yang

ditetapkan, menafsirkan manfaat program dengan melihat dampak

konservasi terhadap lingkungan, dan respon masyarakat terhadap program.

Pencapaian keberhasilan dan dampak kegiatan konservasi dijelaskan oleh

Bapak Attar selaku Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup sebagai

berikut:

“Manfaat konservasi itu banyak terutama melalui pohon, satu pohon


saja bisa memasukkan air berapa. Kalau simpel teknis sudah bisa
75

diketahui volumenya berapa. Target kami setiap tahun itu kan dua ribu
bibit, di tahun 2019 kita menanam bibit lebih dari dua ribu di desa
sumber brantas dengan rincian 111 bibit matoa, 260 bibit pulai, 210
bibit sukun, 190 bibit beringin, dan 1996 bibit trembesi. Kita juga
membangun 38 sumur resapan di beberapa wilayah prioritas kami”.
(Bapak Attar, 20 Maret 2020)

Pernyataan narasumber diatas memberikan keterangan bahwa manfaat

konservasi sangat besar dan keberhasilan konservasi dilihat dari

banyaknya tumbuhan yang ditanam dan masih hidup serta pembangunan

sumur resapan di beberapa wilayah. Selanjutnya dampak konservasi juga

dijelaskan oleh Ibu Sugihartuti selaku Seksi Kesejahteraan Masyarakat

Pemerintah Desa Tulungrejo sebagai berikut:

“Dampaknya luar biasa, dampak dari pemeliharaan itu aliran daerah


kita ini kan daerah hulu, yang resapan dari air oleh tanah ini dirasakan
oleh 14 kabupaten/kota sehingga kami bukan terdampak langsung tapi
berdampak pada masyarakat dibawah. Kalau disini bermasalah
tentunya 14 Kota/Kabupaten dibawah protes, kami yang selalu
disalahkan jika air dibawah itu semakin sedikit”. (Ibu Sugihartati, 23
Maret 2020)
Berdasarkan pernyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa

konservasi berdampak langsung pada masyarakat terutama masyarakat 14

kota/kabupaten yang dialiri oleh Kota Batu. Selanjutnya dampak

konservasi juga dijelaskan oleh Bapak Surahmat selaku ketua Himpunan

Petani Pengguna Air (HIPPA) sebagai berikut:

“Besar dampaknya karena termasuk membangun penghijauan lagi,


terus sumber juga lebih besar, pertanian bisa dialiri air lagi. Kalau
sekarang pertanian sendiri banyak yang ditanemi beton. Jadi hotel,
villa, jadi orang petani tidak berhasil terus terus-terusan air tidak ada
akhirnya dijual tanahnya terus dibeli orang luar daerah. Dulu kalau
76

tidak salah di daerah tulungrejo itu luas sawah itu sekitar 150 hektar
kalau sekarang paling sekitar 75 hektar”. (Bapak Surahmat, 23 Juni
2020)
Dilihat dari pernyataan narasumber diatas dapat diketahui bahwa dampak

konservasi terhadap sumber air, masyarakat, dan pertanian sangat besar

sehingga perlu di pertahankan. Selanjutnya dampak konservasi juga

dijelaskan oleh Bapak Armadi selaku ketua Himpunan Pengelola Air

Minum (HIPAM) sebagai berikut:

“Pengaruh penghijauan saya kira pengaruhnya besar sekali bagi


masyarakat khususnya masalah penanaman pohon. Jadi saya kira
orang tetel (menjarah hutan) tidak boleh masuk ke zona 200 meter itu
ya kita tetap menjaga zona hijau disini karena kalau konservasi
bermasalah ya air minum disini juga bermasalah”. (Bapak Armadi, 25
Juni 2020)
Penjelasan narasumber diatas dapat diperoleh keterangan bahwa

konservasi memberikan dampak yang besar terhadap air minum. Dari hasil

wawancara dan konservasi yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan

bahwa konservasi sumber daya air memberikan dampak yang besar

terhadap masyarakat Kota Batu terutama bagi petani dan air minum serta

14 kota/kabupaten yang dialiri oleh Kota Batu.

VI.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penyajian data yang telah disampaikan maka

evaluasi program konservasi sumber daya air ditinjau menggunakan model

evaluasi (CIPP) Konteks, Input, Proses, Produk. Menurut Stuflebeam, dkk

(1967) dalam Arikunto (2009:45) yang mana keempat tersebut merupakan

sasaran evaluasi dan juga merupakan komponen dari proses sebuah


77

program kegiatan serta memandang program yang dievaluasi sebagai

sebuah sistem. Proses evaluasi dari program konservasi sumber daya air

kemudian di evaluasi dengan menggunakan model CIPP yang meliputi: 1)

Konteks, 2) Input, 3) Proses, 4) Produk. Evaluasi tersebut selanjutnya

diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

VI.3.1 Evaluasi Konteks

Menurut Stuflebeam, dkk (1967) dalam Arikunto (2009:45) konteks

mencakup masalah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan program

atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan, tujuan program, ancaman,

dan kerawanan. Didalam konteks ini menjelaskan bagaimana program ini

sangat penting dan harus ada serta dilaksanakan. Program konservasi

sumber daya air dalam konteksnya memiliki tujuan yang sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang konservasi tanah dan air.

Program konservasi sumber daya air di Kota Batu menjadi sangat penting

karena memiliki faktor pendorong yaitu sumber daya alam terutama air

yang sangat melimpah, adanya sumber mata air yang banyak, serta

posisinya yang berada di bagian hulu DAS brantas menjadikan Kota Batu

sebagai salah satu pemasok air bagi 14 kota/kabupaten dibawahnya.

Pemeliharaan serta konservasi sumber daya alam terutama air harus

dijaga mengingat air sangat dibutuhkan tidak hanya masyarakat Kota Batu

tetapi Jawa Timur. Program konservasi juga sangat penting karena sumber

daya air yang dimanfaatkan sekarang harus tetap bertahan untuk masa

yang akan datang, hal ini sesuai dengan konsep lingkungan yang dikatakan
78

oleh Maryunani (2018:5-8) bahwa ketahanan hidup tergantung pada

kondisi lingkungan yang di dalamnya terdapat beragam dinamika dan

sistem yang mendukung kehidupan.

Pertimbangan atas adanya program konservasi sumberdaya air di Kota

Batu sesuai dengan empat pilar sustainability development goals yang

mengintegrasikan unsur pemerintahan, lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Namun jika dibandingkan dengan konsep SDG’s dalam pelaksanaanya

unsur pemerintah dan lingkungan dapat dikatakan telah terintegrasi dengan

baik, sedangkan untuk unsur ekonomi dan sosial belum terlihat sebagai

konteks adanya program konservasi sumberdaya air di Kota Batu. Untuk

mengintergasikan unsur sosial dan budaya seperti contohnya

perekonomian masyarakat Kota Batu sebagian besar ditopang oleh sektor

agrowisata yang mana untuk mempertahankan hal tersebut masyarakat

membutuhkan banyak air, dan apabila airnya berkurang tentu akan

mengancancam sektor wisata dan hasil pertanian.

Dalam konteks program konservasi sumberdaya air, dilihat dari sudut

pandang peneliti secara perencanaan konservasi sumber daya air di Kota

Batu tidak terlihat adanya upaya lebih dari hanya menghasilkan produk

akhir yang berupa tertanamnya dua ribu bibit pohon, pembangunan sumur

resapan, dan lubang biopori yang jika dibandingkan dengan konsep SDG’s

masih kurang terintegrasi dengan unsur sosial dan ekonomi sehingga dari

konteks perencanaan saja menimbulkan stagnansi atau kemandekan karena


79

hanya menghindarkan alasan agar tidak rentan terhadap ancaman

kekurangan air.

jika dibandingkan dengan pedoman rencana aksi SDG’s ke 6 (air

bersih dan sanitasi layak) di Indonesia dengan target 6.4 (menjamin

penggunaan dan pasokan air tawar yang berkelanjutan untuk mengatasi

kelangkaan air) yang dilaksanakan dengan ukuran indikator ketercapaian

proporsionalitas pengambilan air baku (air tanah dan air permukaan)

terhadap ketersediaannya, maka pelaksanaan konservasi air Kota Batu ini

jauh dari standar rencana aksi yang memiliki indikator ketercapaian

menyediakan informasi ketersediaan air baku. yang seharusnya juga

mengintegrasikan informasi yang up-to-date mengenai kelestarian

lingkungan yang dijadikan lokasi konservasi. Hal ini dapat terwujud jika

konsep dialog antar stakeholders (pemerintah, masyarakat, dan komunitas)

dijalin dengan baik melalui bimbingan, pelatihan, maupun koordinasi yang

berlanjut sehingga memungkinkan program konservasi “berinovasi”

dengan konsep “learning by doing” sehingga menghasilkan perencanaan

yang berkelanjutan dan mutakhir (Faludi dan van der Valk 1994, hlm.

237).

VI.3.2 Evaluasi Input

Evaluasi input menurut Stuflebeam,dkk (1967) dalam Arikunto (2009)

meliputi analisis yang berhubungan dengan sumberdaya yang diperlukan

untuk menyelenggarakan program. Alokasi sumberdaya ini meliputi

personil/staff, alokasi anggaran yang tersedia, dan peralatan pendukung


80

pengelolaan. Dalam proses input program konservasi sumber daya air

dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Desa, dan

masyarakat. Proses input ini akan berjalan apabila ketiga stakeholders

yang terlibat bekerjasama dalam proses konservasi. Peran serta masyarakat

sangatlah penting dalam konteks konservasi sumberdaya air, namun pada

kenyataanya masyarakat hanya dilibatkan dalam penanaman pohon atau

sebatas membantu pembuatan lubang biopori, seharusnya tidak hanya itu

saja tetapi masyarakat terutama yang peduli terhadap lingkungan atau air

diberikan edukasi atau pelatihan untuk bagaimana mengkontrol kerusakan

lingkungan, mempelajari perhitungan debit, dll.

Jadi dapat dikatakan bahwa sistem disini sangat rentan karena

masyarakat hanya dilibatkan untuk membantu penanaman saja, bukan

untuk sama-sama merencanakan, mengevaluasi, atau bahkan

membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya konservasi sumberdaya

air. Dari sini bisa terlihat bagaimana proses input program konservasi

sumberdaya air yang jika dibandingkan dengan konsep sustainability

development goals (SDG’s) yang mengintegrasikan unsur pemerintahan,

lingkungan, sosial, dan ekonomi, maka program konservasi di Kota Batu

belum memperhatikan unsur sosial dengan baik. Selain itu anggaran juga

merupakan salah satu alat untuk program konservasi sumberdaya air ini

berjalan, anggaran program konservasi selalu diajukan setiap tahun oleh

Dinas Lingkungan Hidup kepada Bappeda, anggaran ini akan turun sesuai

dengan prioritas pemerintah bukan permintaan. Setiap tahunya Dinas


81

Lingkungan Hidup selalu mengupayan adanya konservasi dengan

penanaman pohon maupun pembuatan sumur resapan atau lubang biopori.

Dalam fungsi ekonomi keterlibatan pihak-pihak yang berkaitan

dengan pengguna sumber daya air dalam jumlah besar juga belum

dikategorikan sebagai input dari program konservasi itu sendiri, misalnya

perusahaan-perusahaan yang mengkonsumsi air dalam prosesnya seperti

perhotelan, wahana wisata air, dan perusahaan yang berpotensi merusak

air belum menjadi bagian aktif dari input program konservasi yang

seharusnya mereka adalah pihak yang terlibat dalam pelestarian air untuk

keberlanjutan usahanya. Jika dibandingkan dengan pedoman rencana aksi

SDG’s Indonesia yang ke 6 (air dan sanitasi yang layak) terutama pada

target 6.5 (menerapkan pengelolaan sumber daya air terpadu di semua

tingkatan, termasuk melalui kerjasama lintas batas sesuai kepantasan)

dengan capaian tingkat pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara

terpadu (0-100), maka dalam tahap input program konservasi sumber daya

air di Kota Batu ini jauh dari rencana aksi SDG’s Indonesia.

Begitu juga dengan upaya aktif untuk mendayagunakan air sebagai

sumber energi (hydropower) yang ada pada tujuan sustainable

development goals yang ke 7 yakni menjamin akses terhadap energi yang

terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan modern bagi semua. Kota

Batu seharusnya memiliki sebuah terobosan aktif untuk memanfaatkan

potensi yang dimiliki karena keberlimpahan aliran airnya, alih-alih

pemerintah Kota Batu berencana untuk membuat Pembangkit Listrik


82

Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang dikhawatirkan dapat merusak aliran

bawah tanah air.

VI.3.3 Evaluasi Proses

Tahap evaluasi proses menurut Stuflebeam,dkk (1967) dalam

Arikunto (2009) dilakukan dengan melihat seberapa jauh kegiatan yang

dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.

Menilai pelaksanaan program, pengelolaan, keseuaian program dengan

standar yang bisa diterima, pengawasan atau kontrol terhadap program,

target, dan kendala yang dialami selama program berlangsung. Konservasi

sumber daya air dilakukan dengan beberapa cara dalam pelaksanaanya

seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014

tentang Konservasi Tanah dan Air, tetapi Dinas Lingkungan Hidup hanya

memfokuskan pada dua hal yaitu vegetatif dan simple teknis karena dua

cara tersebut dianggap paling efektif dalam pelaksanaan konservasi.

Vegetatif yaitu dengan penanaman bibit pohon disekitar mata air dan

simple teknis dengan membanguan sumur resapan atau lubang biopori.

Target dalam program konservasi ini adalah tertanamnya dua ribu

bibit pohon di sekitar mata air setiap tahunya. Target ini dikatakan Dinas

Lingkungan berhasil apabila bibit yang ditanam tumbuh. Pelaksanaan dan

pengelolaan wilayah konservasi tidak hanya dilakukan oleh Dinas

Lingukungan Hidup tetapi juga oleh masyarakat. Masyarakat selalu

berupaya memelihara dengan melihat kondisi area konservasi, bahkan di


83

beberapa RW ada penanaman bibit dengan kesadaran mereka sendiri tanpa

menunggu anggaran dari pemerintah.

Dalam pelaksanaan program tentu tidak berjalan dengan lancar, ada

beberapa kendala sehingga mengganggu keberlanjutan konservasi seperti

yang dikatakan ketua HIPPA, ada beberapa oknum yang

mengalihfungsikan lahan area konservasi, bahkan area untuk menjarah

hutan yang awalnya berjarak 100 kilo meter dari area konservasi atau

sumber mata air sekarang berubah menjadi 10 meter, banyak wilayah yang

awalnya di tanami pohon sekarang berubah ditanami sayur oleh petani.

Hal ini menurut ketua HIPPA menyebabkan terjadinya penurunan debit air

yang ada di Kota Batu.

Selain kendala diatas, kendala lainya adalah input masyarakat yang

kurang sustain atau artinya sangat rentan untuk tidak terlalu peduli dengan

lingkungan atau dalam konteks ini air sehingga tidak ada keterlibatan

masyarakat dalam mengawasi keberlanjutan konservasi. Dalam proses ini,

pemerintah seharusnya tidak mengandalkan masyarakat untuk monitoring

karena sangat rentan monitoring yang tidak berjalan dengan baik, bahkan

pemerintah pun tidak hadir dalam sustain. Misalnya tidak adanya jadwal

rutin untuk mengkontrol daerah yang telah dikonservasi. Begitu juga

kehadiran masyarakat yang memonitoring secara sukarela tidak mampu

berbuat banyak untuk menindaklanjuti adanya pengalihgunaan lahan yang

sudah dikonservasi mengingat karena alasan ekonomi masyarakat

mengalihfungsikan lahan itu dengan sayuran.


84

Dari penjelasan diatas jika dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada

dalam sustainable development goals maka unsur sosialnya tidak berjalan,

unsur ekonomi tidak sustain karena ekonominya dengan cara merusak

lahan konservasi, hal itu merupakan contoh dalam lingkup kasus yang

kecil karena untuk mata pencaharian. Kerentanan sistem ekonomi bisa

memunculkan masalah, hal ini dikarenakan alasan ekonomi akan

menjadikan program konservasi terhambat demi pertumbuhan ekonomi

baik sekala kecil maupun sekala besar, karena terlihat dari masyarakat

yang mengalihfungsikan itu sebagai lahan ekonomi dan akhirnya yang

menjadi korban adalah lingkungan.

Fungsi sosial dalam sustainable development goals dari tahap proses

ini dapar dilihat dari kurang terlibatnya masyarakat dalam tahap konteks

sehingga menimbulkan dampak lemahnya budaya inisiatif masyarakat

untuk sadar menjaga alam. Hal ini bisa terjadi karena dari awal tidak

dirancang sistem proses perencanaan yang dinamis dengan ruang dialog

masyarakat sehingga masyarakat cenderung mengambil hak dengan minim

kewajiban untuk menjaga air. Selain itu juga dalam fungsi sosial tahap

proses terlihat kurangnya sisi pelatihan atau bimbingan pengetahuan

tentang kelestarian lingkungan dan dialog untuk menguatkan kembali

dampak dari kurangnya keterlibatan masyarakat dalam tahap konteks.

Melihat dari berbagai fungsi yang kurang berjalan dalam program

konservasi sumberdaya air di Kota Batu, maka hal tersebut tidak selaras

dengan pedoman rencana aksi SDG’s Indonesia ke 6 (air bersih dan


85

sanitasi layak) pada target 6.b (mendukung dan memperkuat pastisipasi

masyarakat lokal dalam meningkatkan pengelolaan air dan sanitasi).

Sesuatu yang dapat di apresiasi sampai saat ini adalah terdapat pada

fungsi ekonomi yang masih mempertahankan keterjangkauan biaya jasa air

bersih masyarakat kota batu yang dikelola oleh HIPPAM. Namun kecilnya

biaya air tersebut dikarenakan bukan karena adanya program konservasi

secara langsung melainkan karena air dilingkungan Kota Batu jauh dari

ancaman kelangkaan dan masih banyak sumber yang dapat digunakan

disetiap RW. Hal ini juga dimungkinkan karena tidak adanya peningkatan

manajemen ekonomi dari HIPPAM yang pada dasarnya sebagai usaha

penyedia jasa air yang dikelola oleh masyarakat sendiri.

VI.3.4 Evaluasi Produk

Evaluasi produk menurut Stuflebeam,dkk (1967) dalam Arikunto

(2009) dilakukan dengan mengukur keberhasilan program konservasi

sumber daya air di Kota Batu. Keberhasilan ini dilihat dari pencapaian

akan tujuan awal dan target yang ditetapkan serta manfaat program dengan

melihat dampak program konservasi sumber daya air. Dampak konservasi

sumber daya air di Kota Batu sangat besar terutama untuk Jawa Timur.

Dengan adanya konservasi sumber daya alam terutama air di Kota Batu

menjadikan sumber daya air di Kota Batu masih terjaga dan masih bisa

memasok air di 14 kota/kabupaten hingga sekarang.


86

Keberhasilan program konservasi dilihat dari tertanamnya dua ribu

pohon setiap tahunya, bahkan di tahun 2019 lebih dari dua ribu bibit

pohon. Selain itu terbangunya sumur resapan dan lubang biopori di

beberapa tempat prioritas di Kota Batu. Kota Batu dengan kontur

kemiringan tanah yang tinggi dan ruang terbuka hijau alami maupun

buatan yang masih banyak tidak memiliki banyak urgensitas untuk

pembangunan sumur resapan dan lubang biopori sehingga konservasi air

dengan cara sipil teknis hanya digunakan untuk mengurangi kubangan air

dibeberapa area yang padat pemukiman sehingga lebih cocok untuk

dikatakan sebagai upaya penanggulangan bencana banjir.

Seperti yang diterangkan diatas pada tahap proses, tahap produk ini

memiliki keuntungan yaitu ketersediaan air yang cukup dan akses air

perkotaan yang memadai di Kota Batu tidak serta merta dikarenakan

program konservasi air kota batu yang memiliki dampak besar kepada

akses air dan ketersediaan. Akan tetapi, masyarakat Kota Batu secara

swadaya mengelola kebutuhan air bersih pada tingkat RW dalam bentuk

Himpunan Masyarakat Pengelola Air Minum (HIPAM) dan ketersediaan

air di Kota Batu dikarenakan sebagian besar wilayah Kota Batu adalah

kawasan hijau. Jika dibandingkan dengan pedoman rencana aksi SDG’s

Indonesia, produk dari program konservasi sumber daya air ini masih

belum selaras dengan tujuan SDG’s ke 6 (air bersih dan sanitasi layak)

terutama pada target 6.1 (mencapai akses universal dan merata terhadap air

minum yang aman dan terjangkau bagi semua) yang seharusnya bisa
87

terjangkau bagi seluruh kawasan aliran DAS Brantas, bukan hanya Kota

Batu saja.

Integrasi pengelolaan air berkelanjutan ini seharusnya bisa berupa

dalam fungsi sosial dengan bentuk dialog dan kesadaran lingkungan

masyarakat dan komunitas yang sampai saat ini belum dilakukan dengan

oleh di Kota Batu, hal ini tidak selaras dengan pedoman rencana aksi

SDG’s Indonesia pada target 6.5 (menerapkan pengelolaan sumber daya

air terpadu di semua tingkatan, termasuk melalui kerjasama lintas batas

sesuai kepantasan) karena dalam produk konservasi sumber daya air di

Kota Batu belum terlihat ada pengelolaan yang terintegrasi dengan baik.

Dalam fungsi ekonomi integrasi pengelolaan tersebut dapat juga berupa

rendahnya diversifikasi ekonomi masyarakat, potensi penambahan

pembangkit listrik tenaga air (hydropower), biaya tinggi untuk pencemaran

air. Dalam fungsi pemerintahan bisa berarti banyaknya peraturan daerah

tentang lingkungan atau spesifik tentang air. Dalam fungsi lingkungan

tahap produk ini seharusnya berintegrasi dengan situasi yang dapat

memantau pencemaran atau ketersediaan air bawah tanah sehingga dapat

memantau kualitas maupun kuantitas ketersediaan air, koservasi sumber-

sumber air dan memastikan penggunaannya sebagai wisata ramah

lingkungan (green tourism).

Anda mungkin juga menyukai