Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH

AVERTEBRATA AIR

Disusun Oleh :

MELISA C1101191016

Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian

Universitas Tanjungpura Pontianak

2020
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan
BAB II Pembahasan

1 .INSECTA

Kelas Insekta merupakan kelas serangga dengan ciri khas: tubuh dibagi menjadi tiga bagian dan
beruas-ruas, memiliki sepasang antena, dua pasang sayap (kecuali pada ordo tertentu) dan tiga
pasang kaki (Hexapoda).Serangga memiliki siklus hidup yang singkat, dan tingkat adaptasi
terhadap lingkunganyang tinggi, sehingga menyebabkan keberadaan serangga melimpah di
permukaan bumi (Sudarmadji, 1992). Keberadaan serangga yang melimpah berbanding lurus
dengan tingkat keanekaragaman serangga yang tinggi. Keanekaragaman yang tinggi tersebut
terlihat pada sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya (Jumar,
2000). Bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang diperlihatkan oleh serangga salah satunya
adalah adanya waktu-waktu tertentu yang menjadi waktu aktif bagi serangga. Pada umumnya
waktu aktif ini dibedakan menjadi nokturnal (malam hari) dan diurnal (siang hari). Serangga
nokturnal adalah serangga yang tidak beraktivitas pada siang hari, dan aktif pada malam hari
(Borror et al., 1992). Serangga memiliki peranan yang penting di alam, baik yang berdampak
positif maupun negatif. Peranan positif serangga adalah sebagai polinator atau penyerbuk
(Andrian & Maretta, 2017), sebagai dekomposer atau pengurai (Hasyimuddin et al., 2017),
sebagai predator atau parasitoid (musuh alami) (Moningka et al., 2012; Satria et al., 2015; Satria
et al., 2017), sebagai penghasil bahan-bahan berguna dan bermanfaat (Asthami et al., 2016),
serangga memiliki kemampuan merespon perubahan yang terjadi pada lingkungan, sehingga
potensi serangga sebagai bioindikator sangat diperhitungkan (Lach et al., 2010; Riyanto, 2016;
Basna et al., 2017).

Salah satu serangga yang mmewakili kelas insecta adalah lalat.Lalat, umumnya gemar hinggap
tempat-tempat yang kotor dan banyak sampah. Tidak heran kehadiran serangga ini pun sangat
meresahkan manusia. Akan tetapi tidak semua lalat mengganggu manusia, misalnya ; Lalat
Tentara Hitam.

Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly)

Lalat Black Soldier Fly (BSF) atau yang sering dikenal dengan lalat tentara hitam memiliki
tubuh yang sesuai dengan julukan yaitu berwarna hitam dan pada bagian abdomen lalat ini
berwarna transparan (wasp waist) sehingga sekilas menyerupai warna abdomen lebah.

Morfologi Black Soldier Fly


Black Soldier Fly berwarna hitam dan bagian segmen basal abdomennya berwarna transparan
(wasp waist) sehingga sekilas menyerupai abdomen lebah. Panjang lalat berkisar antara 15-20
mm dan mempunyai waktu hidup lima sampai delapan hari. Saat lalat dewasa berkembang dari
pupa, kondisi sayap masih terlipat kemudian mulai mengembang sempurna hingga menutupi
bagian torak. Lalat dewasa tidak memiliki bagian mulut yang fungsional, karena lalat dewasa
hanya beraktivitas untuk kawin dan bereproduksi sepanjang hidupnya. Kebutuhan nutrien lalat
dewasa tergantung pada kandungan lemak yang disimpan saat masa pupa. Menurut Makkar et al.
(2014) ketika simpanan lemak habis, maka lalat akan mati.

Klasifikasi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens)


Nama umum: Black Soldier Fly, American Soldier Fly, Tentara Hitam
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub ordo : Brachycera
Super family : Stratiomyoidea
Famili : Stratiomyidae
Genus : Hermetia
Spesies : Hermetia illucens (Wardhana, 2016)

Siklus Hidup Black Soldier Fly (Hermetia illucens)


Siklus hidup BSF dari telur hingga menjadi lalat dewasa berlangsung sekitar 40-43 hari,
tergantung dari kondisi lingkungan dan media pakan yang diberikan. Lalat betina akan
meletakkan telurnya di dekat sumber pakan, antara lain pada bongkahan kotoran unggas atau
ternak, tumpukan limbah bungkil inti sawit (BIS) dan limbah organik lainnya. Lalat betina tidak
akan meletakkan telur di atas sumber pakan secara langsung dan tidak akan mudah terusik
apabila sedang bertelur. Oleh karena itu, umumnya daun pisang yang telah kering atau potongan
kardus yang berongga diletakkan di atas media pertumbuhan sebagai tempat telur (Tomberlin et
al., 2014).

Habitat Hidup Black Soldier Fly ( Hermetia illucens)


Lalat H. illucen merupakan insekta yang berasal berasal dari Amerika serikat dan kemudian
tersebar ke wilayah tropis dan subtropis didunia. Indonesia merupakan Negara yang memiliki
iklim tropis sehingga kondisi ini sangat ideal untuk budidaya H. illucen. lalat ini sangat mudah
dikembangkan dalam skala Lalat ini bukan lalat hama dan tidak ditemukan di tempat yang kotor
atau padat penduduk sehingga lalat ini relative aman dilihat dari segi kesehatan manusia.

Lingkungan Hidup Black Soldier Fly ( Hermetia illucens)

Lalat Tentara Hitam tersebar hampir di seluruh dunia. Umumnya, mereka ditemukan hampir di
semua daerah beriklim tropis. Famili lalat ini yaitu Stratiomydae, merupakan kelompok yang
cukup besar dengan sekitar 260 spesies yang telah dikenal di Amerika Utara. Famili ini tidak
termasuk golongan hama, dan umumnya sering ditemukan di bunga-bungaan.

Manfaat Bagi Perikanan

Untuk bahan pakan ikan yang ekonomis dengan kandungan nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan ikan , Fungsi utama pakan adalah untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan.
Tujuan utama dari pakan yang dimakan oleh ikan adalah untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan apabila terdapat kelebihan, maka kelebihan tersebut akan digunakan oleh ikan
untuk pertumbuhannya.

2. Crustacea (Udang-udangan)
Crutacea merupakan hewan akuatik (air) yang dapat hidup dilaut maupun air tawar.
Filum crustacea adalah suatu kelompok besar dari arthropoda, terdiri dari kurang lebih
52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai suatu subfilum.
Kelompok ini mencakup hewan-hewan yang cukup dikenal seperti lobster, kepiting,
udang, udang karang, serta teritip. Mayoritas merupakan hewan akuatik, hidup di air tawar
atau laut, walaupun beberapa kelompok telah beradaptasi dengan kehidupan darat, seperti
kepiting darat. Mayoritas crustacean dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson
bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya. Crustacean yang hidup dilaut
sebagian besar merupakan zooplankton ukuran tubuh bervariasi, ada yang kecil (plankton
sampai ukuran besar kepiting dan udang.

a. udang windu

Udang windu (Panaeus monodon Fab.) memiliki sifat-sifat dan ciri khas
yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu bersifat
Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang berkadar garam
dengan rentang yang luas, yakni 5-45 ‰. Kadar garam ideal untuk pertumbuhan
udang windu adalah 19-35 ‰. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah
ketahanannya terhadap perubahan suhu yang dikenal sebagai eurythemal (Suyanto
dan Mujiman 2004).
Udang merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari
(nocturnal). Jenis makannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur
udang. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan
zooplankton). Udang dewasa menyukai daging binatang lunak atau molusca
(kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea.
Dalam usaha budidaya, udang mendapatkan makanan alami yang tumbuh di
tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang akan bersifat kanibal
bila kekurangan makanan (Soetomo 1990).
Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun
menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo 1990).
Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali
menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak
aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang
tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang,
kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena
timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman 2004).
 Morfologi Udang Windu
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Panaeus monodon Fab.)
terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian
dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang
terdapat ekor dibagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggotaanggotanya
terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu
kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas 6
segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang
beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman 2004).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang
terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapaks)
yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali
pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman 2003). Udang betina
lebih cepat tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yang sama tubuh
udang betina lebih beasr daripada udang jantan (Soetomo 1990). Di bagian kepala-dada terdapat
anggota-anggota tubuh lainnya yangberpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang
adalah sungut kecil(antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang
(mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di
bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah
belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat
lubang dubur (anus).

 Klasifikasi Udang Windu


Dalam dunia internasional, udang windu dikenal dengan nama black tiger,
tiger shrimp, atau tiger prawn. Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Panaeidae
Genus : Panaeus
Species : Panaeus monodon Fabricus

 Siklus hidup Udang Windu

Secara alami daur hidup udang panaeoid meliputi dua tahap, yaitu tahapditengah laut dan
diperairan muara sungai (estuaria). Udang windu tumbuhmenjadi dewasa dan memijah ditengah
laut. Telur udang yang telah dihasilkan kemudian disimpan pada bagian punggung dari abdomen
betina. Bila telur tersebut telah matang dan siap untuk dibuahi maka dikeluarkan melalui saluran
telur (oviduct) yang terdapat pada bagian pangkal dari pasangan kaki jalan ke tiga.
Pada saat telur dikeluarkan, secara bersamaan spermatofor dipecahkan oleh induk
betina, sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang yang telah dibuahi akan
menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva
(Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1979)
 Habitat

Menurut Amri (2003), habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan
hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu (P. monodon) bersifat
euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang
berkadar garam rendah. Udang windu (P. monodon) juga bersifat benthik, yaitu hidup pada
permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan
berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di
sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 m dengan aliran
sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.
Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri
pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan
tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila udang
tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda-tanda bahwa ada hal
yang tidak wajar terjadi pada organisme budidaya. Ketidaksuaian ini disebabkan oleh jumlah
makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun atau
karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).

Lingkungan hidup

bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan
payau yang berkadar garam rendah. Udang windu (P. monodon) juga bersifat benthik, yaitu
hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir
terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva
ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 m
dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.

Manfaat bagi perikanan


Udang windu merupakan udang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga baik
untuk dibudidayakan , selain itu keuntungan membudidayakan udang windu yaitu adalah
ketahanan terhadap perubahan suhu.
.
Udang galah (Macrobrachium rosenbergii)
Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) atau dikenal juga fresswater prawn merupakan salah
satu jenis crustacea, yang mempunyai ukuran terbesar dibandingkan dengan udang air tawar
lainnya. Udang galah merupakan komoditas hasil perikanan air tawar yang sangat potensial
untuk dikembangkan karena memiliki nilai jual yang tinggi yaitu sekitar Rp. 50.000,00 – Rp.
70,000,00 per kilogram, serta memiliki ukuran tubuhnya yang besar dan rasa dagingnya yang
mirip lobster. Jumlah permintaan komoditas udang galah Nasional mencapai 10-20 ton/hari
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012).
Morfologi udang galah

Udang galah memiliki badan seperti jenis udang lainnya. Badan udang galah terdiri dari
ruas-ruas yang ditutupi dengan kulit keras tidak elastis dan terdiri dari zat khitin yang tidak dapat
mengikuti pertumbuhan dagingnya. Badan udang terdiri atas tiga bagian yaitu kepala dan
dada(Cephalothorax), badan ( Abdomen) serta ekor (Uropoda).Cephalothorax dibungkus oleh
kulit keras disebut karapaks di bagian depan kepala terdapat tonjolan karapaks yang bergerigi
disebut rostrum. Bentuk rostrum yang panjang dan melengkung seperti pedang dengan jumlah
gerigi bagian atas sebanyak 11 -12 buah dan bagian bawah 8 - 14 buah adalah ciri khusus udang
galah. Ditinjau dari taksonomi Rostrum mempunyai fungsi penting yaitu sebagai petunjuk jenis
(spesies). Bagian badan atau abdomen Terdiri dari 5 ruas, masing-masing dilengkapi dengan
sepasang kaki renang(pleipodd). Pada udang betina, bagian ini cukup melebar membentuk luas
untuk mengerami telur( broodchamber). Bagian ekor (Uropoda) merupakan ruas terakhir dari
ruas badan yang kaki renangnya berfungsi sebagai pengayuh atau yang disebut ekor kipas.
Uropoda terdiri dari bagian luar yaitu Exopoda dan bagian dalam ujungnya meruncing disebut
telson ( hadie dan hadie, 2002)
Secara morfologis dan anatomis udang jantan dapat dibedakan dengan yang betina sebagai
berikut.
a. Udang jantan: dapat mencapai ukuran yang lebih besar daripada udang betina pasangan
kaki jalan yang kedua tumbuh sangat besar dan kuat bahkan sampai 1,5 kali panjang total
badannya. Bagian perut lebih ramping, ukuran pleuron lebih pendek. Alat kelamin terletak pada
basis pasangan kaki jalan kelima, dimana pasangan kaki ini terlihat lebih rapat dan
lunak.Appendix masculine terletak pada pasangan kaki renang kedua yang merupakan cabang
ketiga dari kaki renang tersebut.
b. Udang betina: ukuran tubuh biasanya lebih kecil dari pada udang jantan.Pasangan kaki
jalan kedua tetap tumbuh lebih besar namun tidak begitu besar dan kuat seperti pada udang
jantan.Bagian perut tumbuh melebar, pleuron Memanjang sehingga ruangan pada bagian ini
lebih dalam.Bersama-sama dengan kaki renang,ruangan ini merupakan tempat pengeraman telur,
sehingga secara keseluruhan bentuk tubuhnya membesar pada bagian perut. Alat kelamin betina
terletak pada dangkal pasangan kaki jalan ketiga,merupakan suatu sumuran (lubang)ang disebut
" Thelicum". Jarak antara pangkal pasangan kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat
lebih lebar yang memungkinkan telur dapat berjalan kearah perut (Amri, 2004).

Klasifikasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Artrhopoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malascostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Infraordo : Caridea
Superfamili : Palaemonoidea
Famili : Palaemonidae
Subfamili : Palaemoninae
Genus : Macrobrachium
Spesies : Macrobrachium rosenbergii (De Man, 1879)
Siklus hidup udang galah

Tingkatan Pasca larva, larva harus melalui 11 tahap perkembangan Larva. Pada setiap
tahap terjadi pergantian kulit pada udang diikuti dengan perubahan struktur morfologisnya.
Tahap pasca Larva udang galah dicapai, udang galah mulai memerlukan lingkungan air tawar
sampai udang tersebut dewasa (Hadie dan Hadie,2002).
Umumnya ada tiga tingkatan pemeliharaan benih yaitu : pemeliharaan larva yaitu dari
Larva menjadi Juvenil, pentokolan satu yaitu dari juvenil menjadi Juwana dan pentokolan dua
yaitu dari Juwana menjadi tekolan (kepada pusat penyuluhan Kelautan dan Perikanan 2011).
Udang galah stadia larva akan tumbuh dan bertahan hidup pada air payau, tetapi pada
stadia Juwana dan dewasa mereka akan bermigrasi pada daerah yang bersalinitas rendah hingga
tawar(Suprapto dan Dandar,2010). Stadia 1-5 mengalami 5 kali ganti kulit, sedangkan pada 6-8
mengalami 6 kali. Telur menetas sampai menjadi Pasca larva yang diperlukan waktu 45
hari( Hadie dan Hadie,2002).
HABITAT UDANG GALAH
Apabila memperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya fase dewasa udang galah
sebagian besar dijalani di dasar perairan tawar dan fase larva bersifat planktonik yang sangat
memerlukan air payau. Udang galah yang mempunyai habitat perairan umum, misalnya rawa,
danau, dan sungai yang berhubungan dengan laut sebagai hewan yang bersifat Eurohaline.
Mempunyai sifat toleransi tinggi terhadap sal iNitas yaitu antara 0 - 20 ppt, Hal ini berhubungan
erat dengan siklus hidupnya. Dialam udang galah dapat berpijah didaerah tawar pada jarak lebih
dari 100 km dari muara sungai / laut dan membiarkan larvanya ikut terbawa aliran sungai
mencapai perairan payau dengan risiko kematian yang tinggi. Secara alami penyebaran udang
galah termasuk daratan Indopasifik mulai dari bagian timur benua Afrika sampai dengan
kepulauan Malaysia termasuk Indonesia, Diperairan Indonesia sendiri udang galah populer luas
mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan sampai dengan ke Papua (Wuwungan 2009).
Manfaat bagi perikanan
Udang galah merupakan komoditas hasil perikanan air tawar yang sangat potensial untuk
dikembangkan karena memiliki nilai jual yang tinggi serta memiliki ukuran tubuhnya yang besar
dan rasa dagingnya yang mirip lobster,sehingga cocok untuk dibudidayakan

UDANG JERBUNG ( PENAEUS MERGUIENSIS )

Secara umum morfologi udang jerbung tidak berbeda dengan udang yang lain. Tanda-tanda
khusus yang membedakannya antara lain warna badan yang putih kekuning-kuningan dengan
bintik coklat dan hijau. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennula bergaris-garis merah
tua, dan antena berwarna merah. Gigi rostrum bagian atas 5 8 dan bagian bawah 2 5, ada juga
yang mempunyai gigi rostrum atas 6 7 dan bawah 4 5. Pada karapas gastro orbital carinanya
tidak ada atau tidak jelas. Pada periopoda pertama mempunyai duri isshial dan pada eksopoda
terdapat pada periopoda kelima. Pada abdomen, somit kelima mempunyai satu cicatrice, dan
yang keenam mempunyai tiga cicatrace. Telson pada udang ini tidak berduri. 3-4 cm mm
Karapas halus Rostrum atas 5-8 gigi, bawah 2-5 .

Udang jerbung disebut juga udang putih “ White Shrimp “. Ciri-cirinya antara lain: kulitnya
tipis dan licin, warna putih kekuningan dengan bintik hijau dan ada yang berwarna kuning
kemerahan. Udang ini mempunyai jenis-jenis lain seperti:
Udang Peci, warna kulitnya lebih gelap dan berbintik hitam.
Udang Bambu, warna kulitnya kuning berbercak merah seperti bambu.
Udang Banana , warna kulitnya kuning seperti kulit pisang.
Udang jerbung juga biasa disebut dengan udang putih, peci, pepet, penganten, perempuan,
pesayan besar, manis kertas, dan udang banana.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda
Anak Kelas : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Bangsa : DecapodaSuku : Penaeidae
Marga : Fenneropenaeus Péres Farfante, 1969
Spesies : Fenneropenaeus merguiensis (de Man, 1888)
Sinonim : Penaeus merguiensis de Man, 1888

Siklus hidup
Dalam daur hidupnya, udang jerbung menempati dua daerah, yaitu di laut dan di air payau.
Pemijahan terjadi di laut sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Maret dan Desember.
Induk udang yang matang telur biasanya memijah pada malam hari dan telur diletakkan di dasar
laut. Kira-kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva pada stadia pertama yang
disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, nauplius berubah menjadi
stadia zoea atau protozoea. Pada stadia ini, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya, dan
selanjutnya bentuk zoea berubah menjadi mysis. Dari stadia mysis, larva bermetamorfosis
menjadi stadia pasca larva yang bermigrasi ke perairan estuarin. Di perairan ini udang
membenamkan diri pada siang hari di dasar yang lembek untuk menghindari gangguan predator
sampai menjadi yuwana. Setelah berumur 3 6 bulan di daerah estuarin, yuwana turun kembali ke
laut, tumbuh dan berkembang sampai matang gonad di perairan laut dalam. Di sini udang muda
mencapai tingkat kematangan dan bertelur. Beberapa spesies kadang-kadang hanya mencapai
umur bulan dan udang dewasa mati setelah kembali ke perairan dalam dan bertelur (Gulland,
1971 dalam Koswara, 1985). Menurut Naamin (1975) udang jerbung yang normal dapat hidup
selama 12 bulan dan kadang-kadang dapat mencapai 2 tahun. Alat reproduksi udang jerbung
bersifat heteroseksual. Jenis kelamin baru dapat dibedakan setelah tingkat post larva terakhir
selesai. Petasma sebagai alat kelamin jantan terletak antara pasangan pertama kaki renang
kelima, sedangkan telikum sebagai alat kelamin betina terletak antara pasangan kaki jalan
keempat dan kelima. Udang dewasa memperlihatkan perbedaan ukuran yang jelas, karena udang
betina lebih besar dari udang jantan pada umur yang sama (Kirkegaard et al., 1970 dalam
Koswara, 1985). Menurut Tuma (1967) dalam Naamin (1984) udang jerbung tidak mempunyai
pasangan seks tertentu (promiscuous). Perkembangan telur dibagi menjadi lima tingkatan yaitu
dara (quiscent/undeveloped), berkembang (developing), hampir matang (early maturity/nearly
ripe), matang (ripe), dan salin (spent). Pada tingkat dara dan berkembang ovari bening
(translucent). Warna berubah menjadi kuning pada tingkat hampir matang, berwarna hijau gelap
selama tingkat matang, dan hijau keabu-abuan selama tingkat salin. Sedangkan udang yang
matang kelamin berada pada tingkat antara nearly ripe dan ripe. Pada tahap ini udang siap untuk
bertelur. Pertumbuhan udang jerbung secara umum sama dengan krustase yang lain, yaitu mulai
dari ganti kulit. Prosesnya meliputi melepaskan dirinya dari kulit luar.

Habitat
Habitat yang disukai adalah dasar laut yang lunak (soft) yang terdiri dari campuran pasir dan
lumpur. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar merupakan daerah udang yang
sangat baik, seperti di Indonesia (daerah pemusatan fishing ground) adalah di: Sumatera Timur
mendapat aliran sungai Asaha, sungai Rokan, sungai Kampar, sungai Indragiri, sedangkan
Kepulauan Bangka dan Riau memberi lindungan terhadap perairan tersebut dari arus laut Cina
selatan yang terbuka dan lewat Laut Jawa. Walaupun sedikit menyerupai teluk dan sungai yang
mengalir hanya kecil, pantai utara Jawa antara Cirebon dan Jawa tengah dapat memenuhi
kesuburan dan merupakan daerah penting pemusatan udang (Unar, 1965). Penyebaran: Sebaran
di dunia Indo-West Pacific: mulai dari Teluk Persian ke Thailand, Hong Kong, Philippines.
Indonesia, New Guinea, New Caledonia dan utara Australia (north of 29°S). Di Indonesia mulai
dari Selat Malaka, pantai utara pulau Jawa, pantai selatan pulau Jawa (Cilacap khususnya),
Maluku dan laut Aru selatan Papua, penangkapan udang telah melampaui lestari. Pantai selatan
Nusa Tenggara dan pantai selatan Kalimantan, penangkapan udang belum dilakukan secara
memadai. Daerah potensial untuk udang adalah di laut sekitar Sulawesi (Teluk Bone, Teluk
Tomini, Selat Makasar dan laut Sulawesi), sebelah utara Nusa Tenggara (laut Flores) dan pantai
selatan Nusa Tenggara (Unar, 1965).
Menurut Naamin (1977) udang ini tersebar hampir di seluruh perairan laut yang relatif dangkal,
terutama sepanjang pantai timur pulau Sumatera, di beberapa daerah pantai selatan pulau Jawa
(Cilacap serta Pangandaran), pantai utara Jawa, pantai Kalimantan, pantai Sulawesi Selatan, serta
perairan Aru dan Arafuru.

Lingkungan hidup
Udang ini bersifat bentik; hidup pada permukaan dasar laut. Udang jerbung mempunyai daya
adaptasi yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, namun lebih suka untuk menghuni
perairan yang lempung lumpur dan berpasir. Perairan yang berbentuk teluk dengan aliran sungai
besar merupakan daerah yang baik untuk udang jerbung. Udang dewasa banyak ditemukan di
perairan selasar (shelf), terutama perairan yang dekat dengan muara sungai, kadang-kadang
dapat mencapai mil dari pantai pada kedalaman 8 40 m (Naamin, 1975

Manfaat bagi perikanan


Udang ini dapat dibudidayakan
UDANG PUTIH ATAU UDANG VANAME (LITOPENAEUS VANNAMEI)

Udang vannamei di sebut juga dengan udang putih yang merupakan sumber daya ikan
golongan Crustacea. Udang ini merupakan spesies asli dari perairan Amerika Tengah. Resmi
diperkenalkan dan dibudidayakan di Indonesia pada tahun 2000.
Morfologi

Gambar . Morfologi Udang Vaname (Akbaidar, 2013)


Umumnya tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala dan bagian
badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13
ruas yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas dibagian dada. Bagian badan dan abdomen
terdiri dari 6 ruas tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang)
yang beruas-ruas. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang
berbentuk runcing. Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace bagian
depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau
rostrum (Kordi, G. 2007).
Menurut Haliman dan Adijaya (2004) udang putih memiliki tubuh berbuku-buku dan
aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting) Pada bagian kepala
udang putih terdiri dari antena antenula dan 3 pasang maxilliped. Kepala udang putih juga
dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda). Maxilliped
sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada ujung peripoda
beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus) ada pada kaki ke-1, ke-2, dan ke-3. Abdomen
terdiri dari 6 ruas pada bagian abdomen terdapat 5 pasang (pleopoda) kaki renang dan
sepasang uropods (ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson. Udang juga
mengalami moulting pada saat bulan purnama atau bulan mati (moulting secara normal) dan
moulting pada saat mengalami stres yang diakibatkan oleh lingkungan dan penyakit (Suyanto
dan Mujiman, 2000) Tubuh udang vaname berwarna putih transparan (white shrimp), ada
pula yang berwarna kebiruan (dominan kromatofor biru). Panjang tubuh udang vaname dapat
mencapai 23 cm. Tubuh udang vaname dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala
(thorax) dan bagian perut (abdomen). Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena,
mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga
pasang maxilliped dan lima pasang kaki berjalan (periopoda). Sedangkan pada bagian perut
(abdomen) udang vaname terdiri dari enam ruas dan pada bagian abdomen terdapat lima
pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama
telson
A. Klasifikasi
Klasifikasi udang putih atau Udang Vaname menurut (Effendie, 1997) adalah sebagai
Berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

Siklus Hidup
Menurut Haliman dan Adijaya (2006), bahwa induk udang vannamei ditemukan diperairan lepas
pantai dengan kedalaman berkisar antara70-72 meter (235 kaki). Udang ini menyukai daerah
yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang vaname adalah catadromous atau dua
lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan
yuwana udang vaname akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa
disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali
ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan
perkawinan (Wyban dan Sweeney, 1991).
Menurut Haliman dan Adijaya (2006), perkembangan Siklus hidup udang vannamei adalah dari
pembuahan telur berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir
berkembang menjadi udang dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air laut dalam.
Masuk ke stadia larva dari stadia naupli sampai pada stadia juvenil berpindah ke perairan yang
lebih dangkal dimana 8 terdapat banyak vegetasi yang dapat berfungsi sebagai tempat
pemeliharaan. Setelah mencapai remaja, mereka kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus
hidup berlanjut kembali. Habitat dan siklus hidup udang vannamei dapat dilihat pada Gambar 2
dibawah ini.
B. Habitat
Menurut Kordi.G, (2012) Udang Vaname (L. vannamei) adalah salah satu spesies udang
unggul yang sejak tahun 2002 mulai dikulturkan di tambak-tambak di Indonesia. Udang yang
biasa disebut pacific white shrimp atau rostris ini berasal dari perairan Amerika dan hawai
dan sukses dikembangkan diberbagai negara di Asia seperti Cina, Thailand, Vietnam dan
Taiwan. Secara ekolologis udang vaname mempunyai siklus hidup identik dengan udang
windu yaitu melepaskan telur di tengah laut kemudian terbawa arus dan gelombang menuju
pesisir menetas menjadi nauplius seterusnya menjadi stadium zoea, mysis, postlarva, dan
juvenil. Pada stadium juvenil telah tiba di daerah pesisir selanjutnya kembali ke tengah laut
untuk proses pendewasaan telur.
Menurut Agustina (2014), udang putih mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap
salinitas yang luas dengan kisaran salinitas 0-50 ppt. Temperatur juga memiliki pengaruh
yang besar pada pertumbuhan udang. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan udang putih
adalah pada spesifikasi tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air
dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum
akan menurun.

Lingkungan hidup
Udang ini menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang
vaname adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di
laut terbuka. Setelah menetas, larva dan yuwana udang vaname akan bermigrasi kedaerah
pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya,
dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan
seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan.

UDANG DOGOL ( METAPENAEUS MONOCEROS )

Udang ini kulitnya tebal dan kasar, berwana merah muda agak kekuningan. Nama
dagangnya adalah Pink Shrimp , ada yang berwarna kuning kehijuan disebut yellow White
Shrimp
A. Morfologi
Udang api-api memiliki ciri morfologi yaitu mempunyai rostrum panjang dan lurus serta
ditumbuhi 7 – 9 duri dorsal hingga ke tepi posterior karapas. Rostrum memiliki gigi dengan
rumus 6-9/0, umumnya 8/0, berbentuk lurus atau  hampir lurus dan agak mengarah ke atas.
Udang ini tidak memiliki eksopod pada kaki jalan kelima serta abdomen kasar dan ditumbuhi
rambut. Udang api-api memiliki panjang maksimum karapas yaitu 5 cm, lebih meyukai
daerah  yang memiliki sedimen lumpur berpasir dan bertahan hidup dengan memakan
beberapa organisme seperti krustasea, polychaeta, moluska, ikan, ganggang, dan detritus.
Udang api-api merupakan salah satu organisme akuatik pemakan plankton baik
fitoplankton maupun zooplankton dan merupakan predator dari beberapa invertebrata
(Nybakken 1992 in Anggraeni 2001). Hasil studi yang dilakukan George (1959) menyatakan
bahwa udang api-api merupakan omnivora berdasarkan analisis dari isi perutnya.
Ketersediaan makanan dalam jumlah yang cukup di ekosistem mangrove juga turut
berpengaruh terhadap pertumbuhan udang api – api yang berujung pada hasil tangkapan
udang di ekosistem tersebut (Anggraeni 2001).

Perkembangan populasi udang api-api akan sangat bergantung pada kondisi dan luasan
dari ekosistem mangrove yang merupakan habitatnya. Ada banyak parameter lingkungan
yang mempengaruhi distribusi udang di wilayah pesisir.
B. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub-filum : Crustaceae
Sub-kelas : Eumalacostraca
Bangsa : Decapoda
Sub-bangsa : Dendrobranchiata
Keluarga : Penaeidae
Genus : Metapenaeus
Spesies : Metapenaeus monoceros Fab.

C. Habitat Dan Penyebaran


Speckled shrimp dengan nama latin Metapenaeus monoceros adalah udang komersial
penting di perairan estuari yang tersebar hingga kedalaman 75 m di wilayah landas kontinen.
Banyak sebutan untuk spesies udang ini di daerah-daerah Indonesia, yaitu udang api-api,
udang dogol, udang dugul, udang kasap, udang laki, udang kayu, udang werus, udang kupas,
udang kader, dan sebagainya. Di dunia perdagangan, udang ini dikenal sebagai endeavor
prawn. Udang jenis ini memiliki kulit yang kasat dan keras, berwarna coklat muda sedikit
tembus cahaya, kadang berwarna kemerah-merahan, dan berbintik-bintik merah. Ujung kaki
dan ekor berwarna kemerah – merahan, kecuali dua kaki pertama berwarna putih. Panjang
udang ini dapat mencapai 18 cm (Mudjiman & Suyanto 1989; Maemunah 2001 in Wulandari
2015).
M. monoceros tersebar di perairan Indo-Pasifik sepanjang pantai Australia Utara ke
Jepang, Bangladesh, China, Papua Nugini, Philiphina dan bagian barat selat Malaka. Spesies
ini dikenal dengan nama Takard Kung di Thailand yang jumlahnya melimpah di sepanjang
pantai dan estuari, kanal, teluk dalam dan danau payau di Thailand. Substrat berlumpur yang
lembut sangat cocok untuk tempat berlindung selama siang hari saat suhu mulai naik.
Penangkapan M. monoceros lebih baik dilakukan pada saat malam hari karena spesies ini
bersifat nokturnal.
Menurut Macia (2004) bahwa faktor – faktor seperti salinitas, temperature, turbiditas, dan
kedalaman yang bervariasi secara signifikan mempengaruhi distribusi udang api-api. Variasi
musiman dari faktor ini dapat menunjukkan pengaruh udang yang melimpah di daerah estuari.
Tipe sedimen dan kedalaman yang berbeda merupakan faktor yang paling mempengaruhi
respon dan perbedaan kelimpahan udang diantara habitatnya.

UDANG BARONG (SPINY LOBSTER)

Udang ini seperti udang sikat tetapi ukurannya ada yang besar dan kulitnya keras. Warnanya
ada bermacam-macam, ada yang hijau, coklat, coklat kemerahan dan hitam kebiruan, biasanya
berbintik-bintik putih, merah atau coklat. Udang ini lebih dikenal dengan nama dagangnya
“Lobster‟.
A. Klasifikasi
Klasifikasi udang barong atau spiny lobster menurut Burukovskii (1974) diacu dalam lesmana
(2006) adalah sebagai berikut :
ilum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Palinura
Famili : Palinuridae
Genus : Panulirus
Spesies : Panulirus homarus, Panulirus penicillatus, Panulirus ornatus, Panulirus
versicolor, Panulirus longipes, Panulirus polyphagus
Menurut Purnomo (1988) diacu dalam ordo Decapoda terdiri atas empat famili lobster,
lobster sejati (true lobster), udang barong (spiny lobster), udang watang (cray fish) dan Udang
pasir (Spanish lobster).
Famili pertama hanya terdapat di perairan subtropis dan perairan dingin sedangkan famili
kedua terdapat di perairan subtropis dan tropis, termasuk perairan Indonesia. Di Indonesia,
spiny lobster dikenal dengan nama udang barong. Udang barong juga dikenal sebagai udang
karang karena hampir sepanjang hidupnya memilih tempat-tempat di karang, baik di perairan
berbatu-karang (rock) maupun terumbu karang (coral reefs) yang masih hidup maupun yang
mati di perairan pantai (Subani 1981 diacu dalam Adnyanawati 1994)

B. Morfologi
Morfologi spiny lobster sangat berbeda: dari true lobster. True lobster memiliki capit
besar yang terbentuk dari pertumbuhan sempurna pasangan kaki pertama dari kaki jalannya
(periopod). Sementara itu, ujung kaki-kaki jalan spiny lobster tidak bercapit tetapi tumbuh
menjadi kuku lancip. Udang barong atau spiny lobster termasuk kelompok jenis udang besar,
panjang badannya dapat mencapai 50 cm seperti pada lobster mutiara (Fischer 1978).
Panjang badan ini kira - kira sebanding dengan panjang karapas sebesar 24 cm atau
lobster dengan panjang badannya 50 cm = panjang karapasnya 24 cm 6 Udang barong
memiliki dua buah antena. Antena pertama lebih kokoh dan lebih panjang dari antena kedua,
serta ditutupi duri. Antena pertama ini berfungsi sebagai alat perlindungan. Hal ini terlihat
ketika spiny lobster memberikan reaksi terhadap ancaman, yaitu dengan menyilangkan kedua
antena pertama tersebut. Antena yang kedua berukuran lebih pendek, tidak berduri, bercabang
dan lebih halus. Antena kedua berfungsi sebagai indera perasa yang cukup peka terhadap
rangsangan suara, cahaya dan bau. Apabila spiny lobster merasakan adanya rangsangan, maka
antena kedua akan bergerak seperti bergetar (Herrnkind 1980 diacu dalam Prasetyanti 2001).
Udang barong dapat diketahui dari pola pewarnaan tubuh, ukuran dan bentuk kepala.
Selain itu, pola-pola duri di kepala, dapat juga dijadikan sebagai tanda spesifik dari setiap
jenis spiny lobster (Adnyanawati 1994)
Jenis udang barong yang paling banyak di perairan Indonesia menurut Subani (1971)
diacu dalam Budiharjo (1981) adalah Panulirus versicolor namun jenis udang barong yang
paling banyak di perairan Palabuhanratu adalah P. Homarus atau lobster hijau pasir
(Pitrianingsih 2002). P. homarus biasanya hidup bergerombol dan menempati perairan
dangkal pada kedalaman belasanmeter.
C. Daur hidup dan habitat
spiny lobster Daur hidup spiny lobster dapat dibagi menjadi 5 fase utama, yaitu fase
dewasa, telur, phyllosoma (tahap larva), puerulus (tahap post- larva) dan juvenil (Rimmer
dan Phillips 1979 diacu dalam Prasetyanti 2001). Saat mendekati usia dewasa, banyak spiny
lobster yang bermigrasi dari daerah perawatan (nursery ground) menuju habitat batu karang
(rock) di perairan yang lebih dalam untuk mencari tempat bereproduksi (Phillips dan Kittaka
2000). Spiny lobster betina akan membawa telur yang telah dibuahi selama kira-kira 20 hari.
Telur-telur tersebut kemudian menetas; larva spiny lobster disebut phyllosoma. Larva ini
menyukai cahaya dan hidup bergerombol di dekat permukaan air. Setelah itu, larva
phyllosoma akan tumbuh dan berubah menjadi puerulus. Lama fase Puerulus diperkirakan
10-14 hari dan mencapai ukuran panjang total 5-7 cm. Kemudian Puerulus akan tumbuh
menyerupaispiny lobster dewasa, yaitu aktif berenang dan terkadang terbawa arus laut
menuju daerah pembesaran, seperti padang rumput laut (weed bed) di perairan dangkal.
Udang barong atau spiny lobster memiliki habitat yang berbeda di setiap jenisnya:
 P. homarus hidup di perairan dangkal hingga kedalaman beberapa belas meter dan tinggal
dalam lubang bebatuan (rock). Jenis lobster ini banyakditemukan di perairan selatan dan
barat Jawa Barat/Banten, selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur, perairan timur Flores,
perairan utara Timor, perairan Sulawesi dan pantai barat Sumatera. P. Penicillatus atau
lobster batu ditemukan di dalam dan luar terumbu karang (coral reefs), yaitu di lokasi
yang mengalami hempasan ombak yang keras. Biasanya lobster jenis ini hidup di daerah
batu-batuan (rock) di luar perairan karang (George 1974 diacu dalam Cobb dan Philips
1980 diacu dalam Adyanawati 1994).
 P. ornatus atau lobster mutiara hidup di perairan berarus kuat pada kedalaman 5-20 m
(Batia 1974 diacu dalam Adyanawati 1994)
 dan P. versicoloratau lobster hijau hidup diantara karang (rock) pada kedalaman beberapa
meter (Adnynawati,1994). Jenis lobster lain, yaitu P. longipes atau lobster bunga hidup di
tempat yang terlindung dan perairannya oseanik, biasanya ditemukan di perairan pada
kedalaman 1-16 m hingga lebih dari 130 m.

UDANG MANTIS (HARPIOSQUILLA RAPHIDEA)


Nama lain Udang Mantis adalah udang lipan, udang mentadak, udang eiko, udang
ronggeng,dan udang belalang,dalam Bahasa Inggris disebut mantis shrimp atau ada juga yang
menyebut dengan praying shrimp. Disebut Udang Mantis karena penampilan dan
karakteristiknya mirip dengan belalang sembah (mantis) belalang sembah (mantis). Didaerah
Serang, Banten, udang ini biasa disebut dengan udang cakrek atau udang plethok, sedangkan
didaerah Indera Giri Hilir, Riau, Udang Mantis disebut dengan nama udang nenek. Di Austalia
Udang Mantis terkenal dengan nama“prawn killers”(Gonser, 2003).
A. Klasifikasi
Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan jenis udang yang bersifat sebagai
predator. Pemberian nama udang mantis lebih didasarkan karena bentuk morfologinya yang
menyerupai udang dan bentuk capit depannya seperti belalang sembah (praying mantis).
Klasifikasi udang mantis menurut Lovet(1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Hoplocarida
Ordo : Stomatopoda
Famili : Squillidae
Genus : Harpiosquilla
Spesies : Harpiosquilla raphidea
B. Morfologi
Udang mantis mempunyai bentuk badan yang unik karena merupakan kombinasi
morfologi dari udang, lobster, dan belalang sembah. Ukuran badan udang mantis bisa
mencapai 35 cm dengan bobot antara 20-200 g/ekor.
Secara morfologi, udang mantis memiliki garis hitam pada bagian belakang antara antena
dan ophthalmic somite, antenula yang menghasilkan zat warna hitam berpusat pada bagian
tepi anterior, celah antara torasik somit, serta garis tepi antara anterior dan posterior pada
karapas. Karapas hanya menutupi sebagian kepala dan tiga segmen pertama dari toraks.
Permukaan badan udang mantis berwarna kekuningan, telson memiliki 6 buah duri kecil,
antena sepasang, abdomen terdiri atas 10 ruas, antara satu bagian dengan bagian lain dipisah
oleh garis hitam. Uropod bagian dalam dan luar berwarna hitam dan mempunyai bulubulu
halus, mempunyai celah torasik dengan tiga bagian propundus yang mempunyai duri-duri
kecil yang tajam, telson dipisahkan oleh garis yang berwarna hitam (Anonim, 2012).
Mulai dari kepala, kedua sisi badannya, sampai ekor memiliki senjata yang sangat tajam
sehingga perlu kehatihatian ketika menangkap jenis udang ini. Keunikan dari udang mantis
adalah mempunyai dua mata yang dapat berputar 360 derajat, berfungsi sebagai radar. Udang
mantis juga dikenal mempunyai mata super, karena dapat melihat warna pantulan cahaya
ultraviolet hingga inframerah, dapat membedakan kombinasi 11-12 warna primer, dan
memiliki kemampuan melihat langsung warna cahaya yang berbeda-beda dari polarisasi
cahaya.
C. Habitat
Udang mantis dapat hidup di air laut maupun air payau, dan sering dijumpai di daerah
pesisir maupun pertambakan. Habitat sebagian besar udang mantis adalah pantai, senang
hidup di dasar air terutama pasir berlumpur. Di Kalimantan Barat, pada umumnya udang
mantis toleran terhadap salinitas antara 14-24 ppt. Jenis udang mantis yang hidup di laut
dengan kadar salinitas lebih tinggi biasanya hanya mencapai ukuran 6-12 cm saja (Anonim,
2011).
Udang mantis hidup di wilayah dasar perairan. Udang mantis memiliki ciri-ciri ukuran
rata-rata maksimum smatopod sekitar 20 cm, umumnya 12-18 cm. Memiliki sebuah garis
gelap yang membentang disepanjang tepi posterior dari bagian toraks. Karapas udang ini
hanya menutupi sebagian kepala dan tiga segmen pertama dari toraks. Jenis udang mantis
memiliki varietas yang beraneka warna, mulai dari warna gelap, coklat hingga yang berwarna.
Udang mantis memiliki 6-8 segmen abdomen dan mempunyai telson berwarna kuning yang
ditandai dengan dua bintik-bintik cokelat gelap yang dikelilingi warna putih (Motoyama et al.
2008).
UDANG KIPAS (THENUS ORIENTALIS)

Udang ini seperti “Lobster“ tetapi ukurannya lebih kecil dan kulitnya lebih lunak serta agak
kasar. Warna kulit kecoklatan bergaris - garis melintang. memiliki nama lokal yang sangat
beragam, diantaranya adalah udang pasir dan udang sikat
A. Klasifikasi
klasifikasi udang Kipas Menurut Holthuis L. B adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Macrura Reptantia
Family : Scyllaridae
Sub famili : Theninae
Genus : Thenus
Spesies : Thenus orientalis           
B. Morfologi dan Anatomi Udang Kipas (Thenus orientalis)
Udang kipas (Thenus orientalis) memiliki tubuh yang diselimuti kulit yang keras berzat
kapur. Kerangka pada bagian kepala sangat tebal, melebar pipih, dan ditutupi duri-duri besar
dan kecil. Pada ujung kepala di atas mata terdapat dua tonjolan keras, yang diantara tonjolan
tersebut terdapat lekukan yang berduri. Jumlah kakinya enam pasang (Djuwariah, 2005).
Ekornya seperti kipas berwarna coklat tua dan pucat. panjang badan umumnya 8-10 cm,
ada yang sampai 15-25 cm. Udang kipas termasuk hewan karnivora, hewan ini makan udang -
udang kecil,  ikan - ikan kecil, kerang - kerang kecil dan  hewan kecil lainnya yang ada di
dasar perairan. Bagian - bagian dari udang kipas yaitu :
1) Antena berfungsi untuk sensor mendeteksi adanya mangsa.
2) Rahang untuk menangkap mangsa  kemudian dimasukan ke mulut.
3) Mata berfungsi untuk melihat atau mendeteksi adanya mangsa,  mata udang  kipas  ada
disamping, kalau udang - udang lain  matanya ada di atas.
4) 5 pasang kaki digunakan untuk berjalan, 6 ruas untuk kaki renang.
5) Ekor kipas untuk naik turunnya dan digunakan untuk melompat.
Untuk membedakan antara udang jantan dan betina yaitu, udang kipas yang jantan tidak
ada telur,  kulit atau cangkangnya berwarna gelap. Sedangkan udang kipas betina ada
telurnya,  kulit atau cangkangnya berwarna cerah.
C. Habitat
Udang kipas Hidup di perairan pantai paparan benua dengan dasar rumput berpasir, di
semua propinsi mulai dari Aceh sampai Irian Jaya (Bakosurtanal, 2001).
Udang kipas tergolong hewan nocturnal artinya, beraktifitas pada malam hari,  sehingga
pada siang hari hewan ini memendamkan dirinya pada pasir yang digali dengan ekornya.
Selain berjalan maju udang kipas juga bisa berjalan mundur, berjalan mundur untuk
berkamuflase bertahan hidup menghindari dari musuh, karena bentuk kepala dan ekornya
sekilas terlihat sama.
Decaphoda
Kepiting bakau (S. olivacea)

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu spesies yang bernilai

ekonomi tinggi yang hidup pada ekosistem mangrove. Pada beberapa tahun terakhir
penangkapan serta pembudidayaan kepiting bakau (S. olivacea) berkembang di Indonesia karena
tingginya nilai ekonomi dan merupakan salah satu komoditi ekspor. Di Indonesia genus Scylla
terdistribusi secara luas dari barat (Sumatera) sampai timur (Irian Jaya). Kepiting banyak
terdapat di area pesisir dimana terdapat mangrove dan air payau (La Sara et al. 2002)

Morfologi Kepiting

Ciri morfologi kepiting bakau adalah mempunyai karapas berbentuk bulatpipih


dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan, empat duri yang lain terdapat pada
kedua mata, mempunyai kaki jalan lima pasang yang pertama bentuknya lebar disebut capit,
berguna untuk memegang. Kaki jalan yang terakhir mengalami modifikasi sebagai alat renang
berbentuk seperti dayung dan warna karapas dari kepiting bakau adalah hijau kecoklatan, yang
dipengaruhi oleh lingkungan dimana kepiting bakau berada, sedangkan di daerah bakau
warnanya hijau merah kecoklatan (Moosa et al. 1985).
Gambar 1. Kepiting Bakau Betina (Bawah) dan Kepiting Bakau Jantan (Atas)

Jenis jantan dan betina pada kepiting bakau dibedakan dengan mengamati abdomennya.
Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan betina lebih lebar. Perut betina berbentuk
stupa sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain yakni pada kaki renang yang terletak
dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi,
sedangkan pada betina sebagai tempat meletakkan telur.
Gambar 2. Kepiting Bakau (S. olivacea)

Menurut Keenan (1998) bahwa kriteria klasifikasi S. olivacea dewasa adalah warna bervariasi
dari orange kemerahan sampai coklat kehitaman. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon
yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Duri pada bagian dahi
karapas tumpul dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang sempit. Umumnya tidak ada duri pada
carpus, sedangkan pada bagian propandus duri mengalami reduksi dari tajam ketumpul.

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan spesies yang khas berada di kawasan bakau. Pada
tingkatan juvenile (muda), kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka
membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenile kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung
seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan
rumput laut dan sela-sela akar pohon bakau (Soim 1999).

Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan
bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Pada waktu malam, kepiting bakau
mampu mencapai jarak 219 – 910 m untuk aktivitasnya mencari makan. Ketika matahari terbit,
kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam
(nocturnal). Secara umum tingkah laku kepiting adalah kanibalisme dan saling menyerang.
Selain itu, kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar
garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuiakan diri yang cukup
tinggi.

Klasifikasi kepiting bakau S. olivacea

Klasifikasi kepiting bakau (S. olivacea) secara lengkap adalah sebagai berikut (Motoh 1980):

Kingdom : Animalia

Filum :Arthropoda

Subfilum :Mandibulata

Kelas : Crustacea

Sub – kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili :Portunidae

Subfamili : Portuninae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla olivacea

Siklus Hidup

Kepiting bakau dalam manjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut,
kemudian induk dan anak–anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau
perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau pembesaran. Kepiting bakau
yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi
pantai selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah
melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, tambak atau sela-sela bakau,
atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian perairan yang berlumpur yang
organisme makanannya melimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan
berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan,
khususnya terhadap suhu dan salinitas perairan. Peristiwa pemijahan ini terjadi pada periode-

periode tertentu, terutama pada awal tahun (Kasry 1991).

Larva kepiting bakau yang baru menetes berkembang melalui lima tingkat zoea dan satu tingkat
megalopa. Pergantian kulit (moulting) pada zoea maupun megalopa terjadi dengan pemisahan
pada batas kepala-dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Dibutuhkan waktu enam hari bagi
zoea-V untuk berubah menjadi megalopa pada air laut dengan salinitas 31-32 ppt. Pada salinitas
rendah waktu yang diperlukan menjadi lebih pendek. Perkembangan yang lebih cepat pada
salinitas rendah menunjukkan migrasi juvenil menuju air payau (Moosa & Juwana 1996).

Gambar 3. Siklus Hidup Kepiting Baka


Habitat dan Penyebaran

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu fauna yang mendiami hutan mangrove,
biasa menggali pada lumpur atau pasir berlumpur. Distribusi kepiting bakau mulai dari
Arfika Selatan, di sepanjang pantai selatan, melintasi Samudera India dan dari utara ke
selatan Jepang, ke timur seperti Micronesia dan dari selatan ke timur Pantai Australia. Jenis
S. olivace banyak ditemukan di

Pakistan, Indonesia, bagian utara dan barat Australia. Di Indonesia sendiri merupakan pusat
dari keanekaragaman genus ini, dimana semua spesies Scylla dapat ditemukan (Shelley
2008).

Kepiting bakau mendiami hampir semua bagian perairan Indonesia, terutama di daerah yang
banyak ditumbuhi pohon bakau atau daerah hutan bakau (lingkungan mangrove),
pertambakan pada daerah-daerah muara sungai dan lubang-lubang. Kepiting bakau biasanya
ditemukan di estuari dan biasanya populasi yang besar berasosiasi dan menetap di daerah
mangrove khususnya estuari (Le Vay 2001). Adapun kepadatan rata-rata kepiting
berdasarkan hasil penelitian Elizabeth et al. (2003) yakni sekitar 16 ekor kepiting dalam 100
m2- plot.

Lingkungan hidup

Kepiting bakau (S. olivacea) merupakan salah satu fauna yang mendiami hutan mangrove,
biasa menggali pada lumpur atau pasir berlumpur.
Rajungan (Portunus pelagicus )

Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus )

Rajungan(Portunus pelagicus ) yang berasal dari famili portunidae atau moosa


(1981)digambarkan mempunyai gambaran diagnostik sebagai berikut: karapas Pipih atau
agak cembung (pada beberapa generasi karapas bisa cembung sekali),berbentuk agak persegi
bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat-bulatan. Karapas
umumnya berukuran lebih besar dari pada panjang dengan permukaan yang tidak selalu jelas
pembagian daerahnya.

Anterolateral bergerigi 5 ( jarang kurang dari 5 kecuali pada subfamili Pedophthalminae)


sampai 9 buah.Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut supra Orbital , bergerigi 2 sampai 6
buah. Sengut Kecil (antenulae) terletak melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir
berbentuk pipih, menyerupai dayung, terutama dua ruas terakhirnya. Rajungan mempunyai
gigi karapas yang berjumlah 7-9 , satu pasang capit,satu pasang kaki renang dan tiga pasang
kaki jalan . Dalam membedakan jenis kelamin dapat dilihat bentuk abdomennya menyempit ,
sedangkan Rajungan betina melebar dan membuat jeruk dengan embelan yang berguna
untuk menyimpan telur. Telur yang sudah dibuahi disimpan didalam lipatan abdomen .Telur
Rajungan yang sudah menetas anaknya tidak langsung seperti induknya akan tetapi menjadi
larva. Rajungan jantan berwarna dasar biru dengan bercak-bercak putih, sedangkan rajungan
betina berwarna dasar hijau kotor.Morfologi Rajungan jantan dan betina dapat dibedakan
lebih jelas pada gambar berikut
JANTAN BETINA

Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus)

Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Sub kelas : Malacostraca

Ordo : Eucaridae

Sub ordo : Decapoda


Famili : Portunidae

Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus

Siklus hidup rajungan (Portunus pelagicus)

Gamba siklus hidup rajungan

Menurut Kanggas (2000) menyatakan bahwa siklus hidup Rajungan (Portunus pelagicus)
sebagai berikut: Zoea hidup di perairan dangkal,tumbuh dan metamorfosis selama 6
minggu.Pergerakan Zoea dipengaruhi oleh angin dan arus perairan karena tidak dapat
berenang. Zoea emiliki tingkat kematian yang sangat tinggi karena dimangsa oleh ikan dan
ubur-ubur. Zoea kemudian berkembang menjadi Megalopa hidup di perairan dasar estuary
,kemudian berkembang menjadi Rajungan Juvenil yang memiliki bentuk Rajungan sejati
serta memiliki lebar karapas antara 3 sampai 6 cm. Juvenil yang sudah beranjak dewasa
memiliki lebar sekitar 9 cm .Rajungan yang pertama kawin berada pada stadia ini.Stadia
berikutnya, yaitu Rajungan sudah siap kawin. Rajungan yang akan kawin melakukan
pergantian kulit (moulting). Rajungan betina yang telah dibuahi mengerami telur di bagian
abdomen yang melekat pada rambut-rambut pleopod hingga Rajungan menetas
Setelah bermetamorfosa menjadi megalopa yang merupakan tingkat akhir perkembangan
burayak Selanjutnya tingkat perkembangan pasca burayak diawali dengan crub 1(rajungan
muda) yang memerlukan moulting atau berganti kulit untuk menjadi besar sampai
dewasa(Juwana, 1997 ) Pada fase Larva Rajungan bersifat planktonik yang melayang-layang
di lepas pantai dan pada fase megalopa berada di dekat panta. Sehingga sering ditemukan
yang menempel pada objek yang melayang. Setelah mencapai ukuran Rajungan muda,
rajungan akan kembali ke estuaria ( Susanto 2005 ) .

Menurut nontji (1993 )menyatakan bahwa dalam pertumbuhannya, Rajungan (dan semua
anggota portunidae) sering berganti kulit . Jika rajungan akan tumbuh lebih besar, maka
kulitnya akan retak pecah dan akan keluar individu yang lebih besar dengan kulit yang masih
lunak.

Habitat (Portunus pelagicus)

Rajungan mempunyai habitat beranekaragam, jenis-jenis yang termasuk subfamili Portuninae


da Fedopthalminae bentuk dewasanya hidup bebas di dasar laut, di daerah mangrove dan
kadang-kadang dijumpai berenang dekat permukaan.Menurut Rounsefell(1975) bahwa pada
saat juvenil, Rajungan mendiami daerah sungai yang dangkal dengan salinitas yang rendah
,setelah melakukan perkawinan antara jantan dan betina, maka Rajungan betina bergerak ke
perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi.Sedangkan jantan tetap tinggal
di muara sungai. Kebanyakan penghuni laut lainnya,rajungan menjadikan muara sungai
sebagai tempat mencari makan dan pergi ke laut untuk memijah. Rajungan betina yang
membawa telur jarang terlihat di daerah estuaria, tetapi di pesisir pantai Rajungan betina
pembawa telur termasuk yang umum terperangkap.

Menurut Nontji (1993) rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai
dengan dasar pasir, pasir lumpur,dan di lautan terbuka. Umumnya Rajungan tinggal di dasar
perairan sampai kedalaman 65 meter , tetapi sesekali juga dapat terlihat di dekat permukaan
atau kolam perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja
mengikuti arus.
Menurut Moose (1996) Rajungan cenderung menyenangi perairan dangkal dengan
kedalaman yang paling disenangi berkisar antara 1 sampai 4 meter . Suhu perairan rata-rata
35° C dan salinitas antara 4 sampai 37 ppm. Menurutku Gunarso (1985), Rajungan jantan
menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan
pantai yang dangkal. Rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas yang lebih tinggi
terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam
dibandingkan jantan. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah.
Perubahan suhu dan salinitas di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu
biota.

Lingkungan hidup Rajungan (Portunus pelagicus)

Lingkungan hidup Rajungan (Portunus pelagicus adalah pada perairan yang surprisenya
berpasir ,berpasir Lumpur dan bahkan di Pulau berkarang.Aktivitas makan rajungan tidak
dilakukan di dasar perairan akan tetapi juga berenang dari dekat permukaan laut sekitar 1
meter sampai kedalaman 65 meter.

Bivalvia

Bivalvia atau Pelecypoda berasal dari kata bi (dua) dan valve (kutub) berartihewan yang
memiliki dua belahan cangkok. Pelecypoda berasal dari kata pelekhis(kapak kecil) dan poda
(kaki) berarti hewan yang memiliki kaki pipih sepertikapak kecil. Bivalvia terdiri atas
berbagai jenis kerang, remis dan kijing.

Morfologi Bivalvia

Bivalvia (kerang-kerangan) merupakan salah satu keanekaragamanhayati yang terdapat di


perairan Indonesia. Bivalvia yang secara khas memilikidua bagian cangkang, yang keduanya
kurang lebih simetris. Kelas ini dalamperkembangannya dilaporkan memiliki 30.000 jenis.
Habitat kerang ini adalah dilaut dan payau.Diantaranya ada yang epifaunal (hidup
dipermukaan air) dan infaunal(membenamkan diri di dalam pasir) hidup dalam waktu yang
cukup lama. Kerangdikenal juga sebagai umbo, dapat dikenali sebagai punuk besar pada
bagiananterior dan dorsal masing-masing cangkang kerang. Kedua bagian cangkang kerang
dihubungkan di bagian dorsal dengan suatu ligamentum yang terdiri atas tensilium dan
resilium yang bekerjasama dalam proses membuka dan menutupnyakedua sisi kerang.
Bivalvia memiliki cangkang yang terbagi menjadi dua belahan. Keduabelahan itu
dihubungkan oleh engsel pada garis tengah dorsal, dan otot-otot aduktor yang kuat
mengatupkan kedua cangkang rapat-rapat untuk melindungitubuh hewan yang lunak.
Bivalvia tidak memiliki kepala yang jelas, dan radualnya telah hilang. Beberapa bivalvia
memiliki mata dan tentakel-tentakel pengindra disepanjang tepi luar mantelnya. Rongga
mantel bivalvia memiliki ingsang yangdigunakan untuk pertugaran gas sekaligus menangkap
makanan pada kebanyakanspesies. Kebanyakan bivalvia adalah pemakan suspensi. Mereka
menangkappartikel-partikel makanan yang halus di dalam mukus yang menyelubungi
ingsangnya, dan silianya kemudian mengantarkan partikel itu kemulut. Air
memasuki rongga mantel melalui sifon aliran masuk melewati ingsang dan
kemudian keluar dari rongga mantel melalui sifon aliran keluar.

Ciri-ciri umum bivalvia yaitu: hewan lunak, sedentari (menetap padasediment), umumnya
hidup di laut meskipun ada yang hidup di perairan tawar,pipih di bagian yang lateral dan
mempunyai tonjolan di bagian dorsal, tidakmemiliki tentakel, kaki otot berbentuk seperti
lidah, mulut dengan palps(lembaran berbentuk seperti bibir), tidak memiliki radula (gigi),
insang dilengkapi dengan silis untuk filter feeding (makan dengan menyaring
larutan),kelamin terpisah atau ada yang hermaprodit. Perkembangan lewat trocophora dan
veliger pada perairan laut dan tawar glochidia pada bivalvia perairan tawar.Pelecypoda
merupakan pemakan deposit dan pemakan bahan tersuspensi.Pelecypoda itu membenamkan
diri dalam substrat dengan sifon yang menjulur kepermukaan. Lalu, sifon tersebut bergerak di
atas permukaan, menyerap partikelorganik dan membawanya ke rongga mantel untuk
kemudian dicerna. Mekanismecara makan beberapa hewan pemakan bahan tersuspensi tidak
berbeda. Namun pemakan bahan tersuspensi tidak juga mengambil sejumlah besar partikel
sebagaimakanan tambahan di samping plankton.Mungkin sebagian besar pemakan bahan
tersuspensi di habitatberlumpur juga memakan sedimen yang tersuspensi, sehingga dapat
dikatakanbahwa hewan tersebut memakan baik bahan terdeposit maupun tersuspensi.
Pelecypoda tidak mempunyai kepala, radula, dan rahang. Pelecypodamempunyai dua buah
mantel simetris yang bersatu di bagian dorsal dan berfungsimenyekresikan bahan pembentuk
cangkang. Pada bagian ventral terdapat sebuahruangan kosong yang disebut rongga mantel
(mantle cavity). Pada tepi mantelterdapat tiga buah lipatan. Lipatan terluar berfungsi
menyekresikan bahan pembentuk cangkang. Lipatan tengah adalah tempat tentakel atau
organ-organ indera lainnya. Lipatan terdalam terdiri atas otot-otot padial (pallial muscles)
yangmelekat pada bagian dalam cangkang sehingga menimbulkan bekas yangdinamakan
garis palial (pallial line). Organ indera terletak di tepi mantel. Mulutdan anus terletak pada
sisi yang berlawanan. Mulut terletak di antara dua pasangstruktur bersilia yang bernama
labial palps. Gigi engsel Pelecypoda secara umum digolongkan menjadi 4 tipe yaitu:
taksodon, heterodon, skizodon, dan isodon.Pelecypoda dengan tipe gigi taksodon mempunyai
gigi engsel yang pendek danberderet di tepi cangkang, seperti pada suku Nuculidae.
Pelecypoda dengan tipegigi heterodon mempunyai gigi kardinal dengan atau tanpa gigi
lateral, sepertiterdapat pada suku Veneridae. Pelecypoda dengan tipe gigi skizodon
mempunyaigigi engsel yang ukuran dan bentuknya bervariasi, contohnya pada
margaAnodanta. Pelecypoda dengan tipe gigi isodon mempunyai gigi engsel yangukuran dan
bentuk reliefnya sama pada masing-masing cangkang, seperti pada suku Pectinidae.

Habitat Bivalvia

Bivalvia tersebar secara luas di seluruh pesisir perairan Indonesiakhususnya di berbagai


ekosistem perairan dangkal seperti ekosistem lamun, alga,dan terumbu karang. Beberapa
faktor yang membatasi distribusi dan kepadatanjenis bivalvia di alam dapat dikategorikan ke
dalam dua distribusi spasial danpreferensi habitat bivalvia dapat digolongkan menjadi dua
faktor yaitu faktoralam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan suatu
biota

Kerang hijau

Kerang hijau (Perna viridis) termasuk binatang lunak (Moluska) yang hidup di laut terutama
pada daerah litoral, memiliki sepasang cangkang (bivalvia), berwama hijau egak kebiruan.
Insangnya berlapis-lapis (Lamelii branchia) dan berkaki kapak (Pelecypoda) serta memiliki
benang byssus. Kerang hijau adalah "suspension feeder", dapat berpindah-pindah tempat
dengan menggunakan kaki dan benang "byssus", hidup dengan baik pada perairan dengan
kisaran kedalaman 1 m sampai 7 m, memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas antara
27-35 per mil (POWER et al., 2004).

Kerang hijau (Perna viridis) atau dikenal sebagai "green mussels" adalah jenis yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Tersebar luas di perairan Indonesia dan ditemukan melimpah pada
perairan pesisir, daerah mangrove dan muara sungai. Di Indonesia jenis ini ditemukan
melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang surut dan subtidal, hidup
bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssusnya pada bendabenda
keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras.
Kerang hijau memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga
Pasifik Barat, dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan
hingga Indonesia (CARPENTER et al., 1998).

Kerang hijau merupakan salah biota laut yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak
pada tekanan ekologis yang tinggi tanpa mengalami gangguan yang berarti. Dengan sifat dan
kemampuan adaptasi tersebut, maka kerang hijau telah banyak digunakan dalam usaha
budidaya. perikanan. Dengan hanya menggunakan/menancapkan bambu/kayu ke dalam
perairan yang terdapat banyak bibit kerang hijau, maka kerang tersebut dengan mudah
menepel dan berkembang tanpa harus memberi makan.

Morfologi

SIDDALL (1980) menyatakan bahwa bentuk cangkang kerang hijau agak meruncing pada
bagian belakang, berbentuk pipih pada bagian tepi serta dilapisi periostrakum pada bagian
tengah cangkang (Gambar 1 a). Pada fase juvenil, cangkang berwarna hijau cerah dan pada
fase dewasa warna mulai memudar dan menjadi coklat dengan tepi cangkang berwarna hijau.
Sedangkan pada bagian dalam cangkang berwarna hijau kebiruan. Memiliki garis ventral
cangkang yang agak cekung dan keras serta memiliki ligamen yang menghubungkan kedua
cangkang kanan dan kiri. Bagian mulut dilengkapai dengan gigi yang berpautan, yaitu satu
pada cangkang sebelah kanan dan 2 pada sebelah kiri. SUWIGNYO et al. (1984) menyatakan
bahwa kerang hijau memiliki tiga otot yang berfungsi untuk menempelkan mantel pada
cangkang. Pada bagian posterior yang tidak teratur bentuknya, terdapat garis pallial dan otot
adduktor yang berbentuk seperti ginjal yang memberi bentuk pada jenis kerang hijau tersebut.

Klasifikasi Kerang hijau (Perna viridis Linnaeus 1758)

Klasifikasi Perna viridis Linnaeus 1758 adalah

sebagai berikut:

Kerajaan (Kingdom) : Animalia

Filum (Phylum) : Moluska

Kelas (Class) : Bivalvia


Sub klas (Sub Class) : Lamellibranchiata

Bangsa (Ordo) : Anisomyria

Induk suku(Superfamily): Mytilacea

Suku (Family) : Mytilidae

Anak suku (Sub family) : Mytilinae

Marga (Genus) : Perna

Jenis (species) : Perna viridis Linnaeus 1758

Siklus hidup

Perkembangan kerang hijau dari tingkat larva menjadi dewasa sangat dipengaruhi oleh
salinitas. Pada salinitas 21 %o - 33 %o, larva kerang hijau akan tumbuh dengan baik menjadi
veliger. TAN (dalam SUWIGNYO et al., 1984) menyatakan larva kerang hijau akan mati
pada salinitas 4 l%o. (PAUL dalam TAN, 1975) menyatakan bahwa di India kerang hijau
matang gonad pada ukuran panjang 1,55 cm. Sedangkan kerang betina memijah pada umur
93 hari dengan panjang sekitar 2,90 cm. Di Singapura, kerang hijau matang gonad pertama
kali pada umur 60 hari dengan ukuran panjang antara 2,50-2,75 cm. Untuk membedakan
kerang jantan dan betina dapat dilakukan dengan melihat pada warna gonad. Gonad kerang
betina, biasanya berwaran merah hingga orange, sedangkan gonad kerang jantan berwama
krem (putih). Kerang hijau umumnya dioecious, yaitu induk jantan dan betina terpisah, dan
pembuahan terjadi di luar rubuh. Telur yang sudah dibuahi, umumnya berbentuk bulat dan
berukuran sekitar 50 um, sedangkan yang tidak dibuahi berbentuk lonjong. Sekitar 10-15
menit setelah pembuahan, terbentuklah Polar body (sel kecil yang terpisah dari telur pada
tingkat permulaan kematangannya) pertama dan pada 15 menit berikutnya terbentuklah Polar
body kedua. Cleavage I selesai pada 30-45 menit dengan terbentuknya 2 buah sel yang
berukuran tidak sama. Cleavage II dimulai dengan terjadinya pembelahan micromere selama
15 menit kemudian dan akhir dari cleavage II di tandai dengan terbentuknya tahapan 4 sel
yang membutuhkan waktu 60-75 menit. Blastula yang berenang bebas terbentuk dalam waktu
3-4 jam. Embrio pada tahap ini mempunyai cilia yang bergetar jika ia berenang dalam air.
Pada tahap ini disebut tahap gastrulasi yang selesai setelah 7-8 jam dengan terbentuknya
larva trochopore (antara 12-15 jam). Fase larva akan berakhir ditandai dengan tertutupnya
bagian (tubuh) yang lunak oleh cangkang, yang diikuti dengan adanya velum yang bercilia
kuat dan fase ini disebut veliger dengan ukuran rata-rata 65 x 80 (im. Fase veliger
berlangsung selama 16-19 jam. Pada hari ke 8 otot kaki mulai digunakan untuk merayap. dan
panjang rata-rata veliger tersebut dapat mencapai 240 jam. Otot kaki yang telah berkembang
kemudian disebut pediveliger atau veliconcha yaitu tahap dimana veliger merayap dan
berenang dengan bebas dan ini merupakan tahap akhir dari metamorfosa. Larva yang sudah
mengalami metamorfosa akan memiliki cangkang yang sama dengan cangkang kerang hijau
dewasa. Panjang cangkang pada hari ke 12 dapat mencapai ukuran 0,34-0,38 mm.
Perkembangan sel telur kerang hijau setelah dibuahi hingga selesai metamorfosa dapat dilihat
pada Gambar 2. Di India, kerang hijau mencapai matang gonad untuk pertama kali pada
ukuran panjang total 1,55 cm pada umur 48 hari setelah menempel. Kerang hijau betina akan
memijah pada umur 93 hari setelah menempel, dengan ukuran cangkang sekitar 2,90 cm
(PAUL dalam TAN, 1975). Di Singapura, menurut TAN (dalam SUWIGNYO et al, 1984),
kerang hijau mencapai tingkat matang gonad untuk pertama kalinya pada umur 60 hari
setelah menempel, dengan ukur cangkang sekitar 2,50-2,75 cm

TAN (1975) menyatakan fekunditas kerang hijau selalu bervariasi berdasarkan ukuran
cangkangnya, dimana kerang yang lebih besar akan menghasilkan jumlah telur yang lebih
banyak. Kerang hijau berukuran 3-4 cmmemiliki fekunditas 1,27 x 106 ; 4-5 cm (1,79 x
106 ); 6-7 cm (3,71 x 106 ) dan 7-8 cm (4,26 x 106 ). Pemijahan kerang hijau berlangsung
sepanjang tahun. Di Indonesia, puncak pemijahan kerang hijau terjadi pada bulan April
hingga Mei, Agustus dan November.

HABITAT

ROMIMOHTARTO & JUWANA (1999) menyatakan bahwa bivalvia mempunyai 3 cara


hidup, yaitu; (1) membuat lubang pada substrat seperti cacing kapal "Teredo navalis" (Ship
worm); (2) melekat pada substrat dengan segmen seperti tiram (Cassostrea sp); (3) melekat
pada substrat dengan benang bysus (bissal threads) seperti kerang kijau (Perna viridis).
Kerang hijau hidup pada perairan estuari, teluk dan daerah mangrove dengan substrat pasir
lumpuran serta salinitas yang tidak terlalu tinggi. Umumnya hidup menempel dan
bergerombol pada dasar substrat yang keras, yaitu batu karang, kayu, bambu atau lumpur
keras dengan bantuan bysus. Kerang hijau tergolong dalam organisme/hewan sesil yang
hidup bergantung pada ketersediaan zooplankton, fitoplankton dan material yang kaya akan
kandungan organik. Benih kerang hijau akan menempel pada kedalam 1,50-11,70 meter di
bawah permukaan air pada saat pasang tertinggi. YANG (dalam TAN, 1975) menyatakan
bahwa kedalaman ideal untuk penempelan kerang hijau adalah 2,45-3,96 meter. Pencemaran
lingkungan merupakan faktor utama yang dapat menghambat kelangsungan hidup kerang
hijau. RAJAGOPAL et al. (1994) menyatakan suhu yang tinggi/ daerah tropis dapat menjadi
kontrol bagi kelangsungan hidup jenis tersebut. Hasil penelitian kerang hijau di daerah tropis
menunjukkan bahwa jems ini akan mati oleh suhu 43 °C hanya dalam waktu 30 menit, dan
pertumbuhan juvenil yang sangat singkat. Ratarata perkembangan bysus akan menurun
seiring dengan kenaikan suhu dan byssus berhenti berkembang pada suhu 35-37°C
(KASTORO 1982)

Lingkungan hidup

Kerang hijau hidup pada perairan estuari,teluk dan daerah mangrove dengan substrat pasir
lumpuran serta salinitas yang tidak terlalu tinggi. Umumnya hidup menempel dan
bergerombol pada dasar substrat yang keras, yaitu batu karang, kayu, bambu atau lumpur
keras dengan bantuan bysus. Kerang hijau tergolong dalam organisme/hewan sesil yang
hidup bergantung pada ketersediaan zooplankton, fitoplankton dan material yang). kaya akan
kandungan organik

Kerang darah

Morfologi Kerang Darah A.granosa

Kerang darah memiliki cangkang yang tebal, lebih kasar, lebih bulat dan bergerigi di bagian
puncaknya serta tidak ditumbuhi oleh rambut-rambut. Bentuk cangkang bulat kipas, agak
lonjong, terdiri dari dua belahan yang sama (simetris), mempunyai garis palial pada cangkang
sebelah dalam yang lengkap dan garis palial bagian luar beralur. Bagian dalam halus dengan
warna putih mengkilat. Warna dasar kerang putih kemerahan (merah darah) dan bagian
dagingnya merah (Umbara dan Suseno 2006 dalam Sahara 2011). Cangkang kerang darah
tertutup dua keping cangkang yang berhubungan di bagian dorsal dengan adanya hinge
ligamen, yaitu semacam pita elastik yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk. Kedua
keping cangkang pada bagian dalam juga ditautkan oleh satu atau dua buah otot aduktor yang
bekerja secara antagonis dengan hinge ligamen. Bila otot dalam keadaan istirahat, kedua
keping cangkang akan terbuka oleh ligamen yang terdapat pada belakang umbo. Kerang
darah adalah mempunyai 2 keping cangkang yang tebal, elips dan kedua sisi sama, kurang
lebih 20 rib, cangkang berwarna putih ditutupi periostrakum yang berwarna kuning
kecoklatan sampai coklat kehitaman. Ukuran kerang dewasa 6-9 cm (Nurjanah, dkk, 2005).

Seperti kerang pada umumnya, A.granosa memiliki tiga lapisan pada cangkangnya, yaitu
lapisan periostrakum yang tersusun atas kalsium karbonat berfungsi sebagai pelindung.
Lapisan perismatik atau lapisan palisade, lapisan paling dalam yang disebut lapisan nakreas
atau hypostracum yang sering disebut sebagai lapisan mutiara (Purchon dalam Silpiani,
2011).

Klasifikasi kerang darah A.granosa

Menurut Pratt (1935) dan Barnes (1974) dalam Latifah (2011), klasifikasi

dari kerang darah A.granosa adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Mollusca

Kelas : Pelecypoda/ Bivalvia

Subkelas : Lamellibranchia

Ordo : Taxodonta

Famili : Arcidae

Genus : Anadara

Spesies : Anadara granosa L.

Siklus hidupKerang Darah A.granosa

A.granosa bersifat dioceous atau berumah dua yaitu perbedaan antara jantan dan betina
terlihat jelas serta alat kelaminnya terpisah. Fertilisasi terjadi secara eksternal atau
pembuahan di luar tubuh yang diawali dengan pemijahan sperma oleh individu jantan.
Sperma yang dikeluarkan oleh jantan akan menuju lingkungan laut dan melayang-layang
mencari pasangannya hingga terjadi pembuahan. Telur yang dibuahi sperma akan
berkembang manjadi larva glosidium yang terlindung oleh dua buah katup. Ada beberapa
jenis yang dari katupnya keluar larva panjang dan hidup sebagai parasit pada hewan lain,
misalnya pada ikan. Namun pada daur reproduksi kerang, tetap ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu faktor dari lingkungan berupa suhu, salinitas, makanan, dan cahaya,
sedangkan faktor dari dalam berupa koordinasi proses fisiologis terhadap perubahan kondisi
lingkungan yang diduga mendorong perkembangan gonad dan pembentukan sel-sel gamet.
Organogenesis pada kerang darah A.granosa dimulai pada ukuran 5-7 µ. Pada organogenesis,
terdapat tahap oogenesis yaitu pembelahan secara mitosis pada sel-sel germinal primordial
pada dinding folikel. Sebelum oogenesis, terlebih dahulu oosit menuju ke lumen folikel dan
mengisi lumen sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Setelah pembelahan mitosis sel-
sel germinal terjadi, kemudian terjadi perkembangan oogonia primer. Oogonia mengalami
mitosis sehingga terbentuk dua sel yang disebut oogonia sekunder, dan akan mengalami
pembelahan meiosis untuk berdiferensiasi menjadi oosit matang (Bayne 1976 dalam Astrini
2004). Namun, ditemukan individu kerang darah A.granosa hermaprodit. Individu tersebut
memiliki ovarium dan testis secara bersamaan dalam folikel yang sama. Kondisi hermaprodit
pada bivalvia ini dianggap suatu hal yang luar biasa dan jarang terjadi yaitu hanya 1,43% dan
1,45% untuk populasi A.granosa di Wedung dan Tapak, Malaysia Barat (Afiati, 2007)

Habitat Hidup

Kerang dara hidup di perairan pantai yang memiliki pasir berlumpur Dan dapat juga
ditemukan pada ekosistem estuari, mangrove dan padang lamun.Kerang darah hidup
mengelompok dan umumnya banyak ditemukan pada substrat yang kaya kadar organik.
Kerang darah dengan nama ilmiah anadara granosa L merupakan salah satu jenis kerang
yang banyak ditemukan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur (masindi dan
Herdyastuti,2017). Selain itu, Karang darah adalah spesies karang yang dapat hidup di daerah
pantai berpasir atau tanah berlumpur. Hewan ini juga dapat hidup di laut terutama daerah
litoral atau hidup di daerah dasar perairan yang berpasir.

Lingkungan hidup

Karang darah adalah spesies karang yang dapat hidup di daerah pantai berpasir atau tanah
berlumpur. Hewan ini juga dapat hidup di laut terutama daerah litoral atau hidup di daerah
dasar perairan yang berpasir.
Kijing (Pilsbryoconcha exilis)

Kijing atau Pilsbryoconcha exilis tergolong dalam moluska yang hidup di dasar perairan dan
makan dengan cara menyaring makanan yang ada di dalam air atau filter feeder. Hewan ini
berbentuk simetri bilateral yang terdiri dari dua cangkang. Kijing memiliki kandungan
protein yang tinggi dan kandungan asam lemak tak jenuh yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Kijing dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang biasa dijadikan kerupuk oleh masyarakat,
namun produksi kijing belum banyak dimanfaatkan masyarakat walaupun kijing memiliki
potensial yang besar sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi

Morfologi

Pilsbryoconcha exilis memiliki cangkang berbentuk bulat telur memanjang mirip bentuk
lidah berwarna kuning kecoklatan atau hijau kecoklatan. Pada spesimen segar tampak
mengkilat. Serat epidermis pada bagian depan dan belakang, lebih licin daripada bagian
tengah cangkang. Ligamen panjang dan sempit, tidak terdapat gigi pada hinge. Keberadaan
jenis kerang ini melimpah pada daerah Jawa Barat, di Jawa Timur pernah dilaporkan hanya di
Kali Mas.

Klasifikasi

Kerajaan:Animalia

Filum:Mollusca

Kelas:Bivalvia

Ordo:Eulamellibranchiata

Subordo:Integripalliata

Famili:Unionidae

Genus:Pilsbryoconcha

Spesies: Pilsbryoconcha exilis


siklus hidup

Kijing jantan mengeluarkan sperma di aliran air dan sperma kemudian disaring oleh kijing
betina. Telur yang telah dibuahi akan berkembang menjadi larva makroskopis yang disebut
glochidia yang nampak seperti kerang kecil. Glochidiabersifat parasit dan harus menempel
pada ingsang atau sirip ikan. Setiap jenis kerang umumnya memiliki jenis ikan tertentu untuk
dijadikan inang Glochidiasementara. Setelah menempel beberapa waktu, glochidia terlepas
dan tenggelam di dasar substrat untuk tumbuh menjadi kerang dewasa. Beberapa waktu
pertama kerang menghabiskan hidupnya dengan mengubur diri dalam substrat untuk
menghindari predator dan berkembang dengan pesat. Setelah dewasa kerang hidup dengan
sebagian tubuh posterior muncul ke permukaan substrat (Nedeau dkk., 2009).

Habitat

Kerang ini hidup di air tawar, kelompok hewan yang hidup di dasar sungai, kolam dan
danau. Kijing menghabiskan sebagian besar hidupnya melekat di dalam substrat,berlumpur
atau lumpur berpasir .Menyerap air ke dalam tubuhnya dan menyaringnya untuk
mendapatkan makanan, serta mengeluarkan kembali pada lingkungan sekitarnya.

Cacing tanah Lumbricus rubellus

Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang
(avertebrata) dan bertubuh lunak. Hewan ini paling sering dijumpai di tanah dan tempat
lembab, yang banyak mengandung senyawa organik dan bahan mineral yang cukup baik dari
alam maupun dari sampah limbah pembuangan penduduk sebagaimana habitat alaminya.
Cacing tanah telah dikenal dari berbagai familia, yaitu moniligastridae, megascolecidae,
eudrillidae, glossocolecidae dan lumbricidae. Beberapa spesies yang sering ditemui di
Indonesia antara lain pontoscolex corethrurus, drawida sp, peryonix excavatus, megascolex
cempii, pheretima posthoma, pheretima javanica, metaphire javanica dan metaphire capensis.
(Khairulman dan Amri, 2009; Suin, 1989). Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap
sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing
masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari
oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki
cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein,
cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah
mengandung auxin yang merupakan perangsang tumbuh untuk tanaman (Khairulman dan
Amri, 2009).

Morfologi

Cacing tanah mempunyai morfologi yang berbentuk simetris bilateral dansilindris. Cacing
tanah genus Lumbricus ini hidup di dalam tanah di daerah tropisdengan tubuh bagian dorsal
berwarna merah muda sampai tua sedangkan tubuhbagian ventral berwarna lebih muda.
Mempunyai 100 sampai 180 segmen.Segmen pertama terdapat mulut yaitu peristomum dan
tiap segmen mempunyaibeberapa setae (Barnes, 1987 dalam Susetyarini, 2007). Setae
berfungsi sebagaialat pencengkeram atau pelekat kuat pada tempat cacing tanah itu berada.
Bagianbawah atau ventral berbentuk pipih dan terdapat pori-pori yang letaknya tersusunpada
setiap segmen yang terhubung dengan alat pembuangan (ekskresi) yang berada di dalam
tubuh (Ciptanto dan Paramita, 2011). Bagian posterior terdapatanus (Barnes, 1987 dalam
Susetyarini, 2007).

Menurut Ciptanto dan Paramita (2011) kulit luar atau kutikula selaldibasahi oleh kelenjar
lendir yang diproduksi dari cacing tanah untuk membantu pernafasan, melicinkan tubuh dan
mempermudah gerakan dalam tanah. Ukurantubuh relatif kecil dengan panjang berkisar
antara 8-14 cm. Tubuh semi transparandan elastis. Lubang kelamin jantan terletak pada
segmen ke-14, sedangkan lubangkelamin betina terletak pada segmen ke-13.

Klasifikasi

Klasifikasi cacing tanah menurut Ciptanto dan Paramita (2011) :


Phylum : Annelida

Class : Clitellata

Subclass : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Family : Lumbricidae

Genus : Lumbricus

Species : Lumbricus rubellus

Siklus Hidup Cacing Tanah

Cacing tanah dewasa dapat berkembang biak hingga menghasilkan 1500 ekor cacing dalam
satu tahun. Populasi cacing tanah mengalami peningkatan hingga 100 ekor setiap 4-6 bulan
(Kumolo, 2011). Cacing tanah akan membatasi perkembangbiakan mereka agar sesuai
dengan makanan yang tersedia dan ukuran tempat hidup mereka.

Cacing tanah adalah hewan hermafrodit (organ kelamin jantan & betina di dalam satu
individu). Meskipun hermafrodit, cacing tanah tidak bisa melakukan grup karena tidak bisa
menyatukan organ kelamin dan organ betina betina mereka sendiri. Cacing tanah akan aktif
untuk bereproduksi pada keadaan hangat dan lembab (Abad, 2013).

Cacing tanah dewasa dapat kawin kira-kira setiap 10 hari, dan dari perkawinan itu, dapat
menghasilkan satu atau dua kepompong. Satu kepompong dapat memasukkan hingga 10
telur, namun biasanya hanya 4 cacing muda yang akan menetas. Telur cacing tanah dapat
menetas setelah 3 minggu jika cuaca hangat, namun dapat mencapai 3 bulan jika cuaca
dingin. Saat anak cacing tanah siap keluar, kepompong berubah warna menjadi kemerahan
dan berukuran biji anggur. Anak cacing tanah yang baru menetas berukuran sekitar 1.2 cm,
tanpa organ yang berwarna keputihan dengan semburat merah muda yang menunjukkan
pembuluh darah mereka (Kumolo, 2011).Cacing tanah akan mulai matang secara seksual saat
clitellum terbentuk dengan sempurna pada usia 10-55 minggu, tergantung spesies
(sugiantorob, 2000). Pertumbuhan berat tubuh cacing tanah akan melambat setelah melewati
tahap ini. Sebagian cacing tanah akan mati pada tahun yang sama saat mereka berkembang.
Sementara yang lain dapat hidup hingga usia 5 tahun atau lebih. Cacing tua ketakutan dengan
bagian ekor agak pipih dan warna kuning pada ekor sudah mencapai punggung. Bila cacing
tanah masih produktif, warna kuning masih ada di ujung ekor.

Habitat

Cacing tanah termasuk binatang invertebrata (tidak bertulang belakang). Ia hidup di dalam
tanah yang gembur dan lembab. Cacing tanah mengandung kadar protein tinggi, sekitar 76%,
jauh lebih tinggi kadar protein pada daging mamalia (65%) dan ikan (50%) (adhi, 1997).

Manfaat bagi Perikanan

Bahan pakan ikan

Morfolog

Cacing sutera atau yang biasa disebut cacing rambut adalah cacing kecil halus berwarna
merah kecoklatan. Cacing ini memang hidup di tempat dengan aliran air yang lancar. Sekilas
cacing ini terlihat sangat kecil dan tidak berguna, padahal hewan ini mempunyai manfaat
besar. Sebagai contoh, cacing ini dijadikan pakan untuk ikan-ikan hias. Protein yang tinggi
dan lemak yang cukup akan membuat ikan peliharaan menjadi sehat dan bernilai jual tinggi

Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing–cacingan


(Tubifex sp). Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan kedalam kelompok
Nematoda. Disebut cacing sutra karena cacing ini memiliki tubuh yang lunak dan sangat
lembut seperti halnya sutra/rambut. (Khairuman et al., 2008).

Tubifex sp. memiliki ukuran panjang 1-2 cm dengan warna kemerah-merahan. Tubuh
cacing Tubifex terdiri dari 2 lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya.
Cacing ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil dari mulut sampai anus
(Priyambodo dan wahyuningsih, 2001).
Tubifex mudah untuk dikenali dari bentuk tubuhnya yang seperti benang sutra dan 
berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Tubuhnya sepanjang
1-2 cm, terdiri dari 30 – 60 segmen atau ruas. Sepintas tubifex tampak seperti koloni merah
yang melambai-lambai karena warna tubuhnya kemerah-merahan, sehingga sering juga
disebut dengan cacing rambut. tubuhnya beruas-ruas dan mempunyai saluran pencernaan,
termasuk kelompok Nematoda.
Secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang
membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan warna tubuh
kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Spesies
ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing
sutra (Tubifex sp) ini hidup berkoloni  Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di
dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung
bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi
sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran
pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan. (Wahyuningsih.
2001).

Secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang
membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan warna tubuh
kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Hal
yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001), menyatakan Spesies ini mempunyai
saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex
sp) ini hidup berkoloni bagian ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat
bernafas dengan cara difusi langsung dari udara.

Menurut Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuh
yang kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis, pertukaran oksigen dan
karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh
darah. Kebanyakan Tubifex  membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian
akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-
lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh
oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh
dari Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan (Wilmoth, 1967). Hal yang sama juga
disampaikan oleh (Sugiarti et al., 2005) bahwa hampir semua oligochaeta bernafas dengan
cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang.
Cacing sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis
dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing
sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih
banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit. Menurut Marian dan Pandian
(1984), sekitar 90% Tubifex  menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan
perincian sebagai berikut : juvenile (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2
cm, immature (0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada
kedalaman 2-4 cm.

1 Klasifikasi dan Morfologi

Cacing tubifex sering disebut dengan cacing sutera, klasifikasi cacing sutra menurut
Gusrina (2008) adalah :

Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubifisidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp.

Siklus Hidup

Khairuman dan Amri (2002), menyatakan cacing sutra (Tubifex sp) adalah termasuk
organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 (dua) alat kelamin dan
berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang telur. Sedangkan
menurut Chumaidi dan Suprapto (1986), telur cacing sutra (Tubifex sp) terjadi didalam kokon
yaitu suatu bangunan berbentuk bangunan bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm
yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang disebut
kitelum. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen atau ruas.  Telur yang ada
didalam tubuh mengalami pembelahan, selanjutnya berkembang membentuk segmen-
segmen. Setelah beberapa hari embrio cacing sutra (Tubifex sp) akan keluar dari kokon.

Induk yang dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi
tubifex mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar antara
4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur di dalam kokon
sampai menetas menjadi embrio tubifex membutuhkan waktu sekitar 10-12 hari. Daur hidup
cacing sutra dari telur, menetas hingga menjadi dewasa serta mengeluarkan kokon
dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).

Gambar 2 Siklus Hidup Tubifex sp

Habitat yang baik

Cacing Tubifex banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan sedikit mengalir.
Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan
utamanya adalah bahan-bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan

Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang hidup di dasar perairan tawar
daerah tropis dan subtropis, Cacing sutera hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit
mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik.
Makanan utamanya adalah bahan-bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar
perairan tersebut (Djarijah. 1996).
Cacing sutra (Tubifex sp) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan seperti
daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen dan perairan
oligotropis. Spesies cacing Tubifex sp ini bisa mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt.
Dua faktor yang mendukung habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp) ialah endapan lumpur
dan tumpukan bahan organik yang banyak (Khairuman dan Amri, 2002).

Menurut Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati daerah
permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenile (dengan
bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-5,0 mg) pada kedalaman
0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-4 cm. Perairan yang banyak dihuni
cacing ini sepintas tampak seperti koloni rumput merah yang melambai-lambai. (Djarijah,
1995).

Tubifex sp. dapat hidup di berbagai habitat. Mereka biasanya menguburkan diri dalam
lumpur atau membuat liang di dalam lumpur. Mereka membuat tabung yang menetap atau
dapat di bawa-bawa. Tabung tersebut dibuat dari lumpur, butir-butir mineral atau sampah
yang dilekatkan satu sama lain dengan lendir. Namun kehadirannya di perairan sering
dikatakan merupakan indikator pencemaran air. Tubifex berkembang baik pada media yang
mempunyai kandungan Oksigen terlarut berkisar antara 2,75 – 5, kandungan amonia < 1
ppm, suhu air berkisar antara 28 – 30°C dan pH air antara 6 – 8 (Suwigyo dkk, 1981).

Manfaat bagi perikanan

Cacing sutra bermanfaat di gunakan pemberian pakan ikan

Anda mungkin juga menyukai