MIKROBIOLOGI DASAR
Ditulis oleh:
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2020
A. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah untuk memepelajari teknik fermentasi, mengetahui
aktivitas starter selama proses fermentasi yoghurt, dan mengetahui kemampuan
mikroorganisme untuk menghasilkan produk yang bernilai secara ekonomis.
B. Pendahuluan
Yoghurt merupakan produk susu yang difermentasi menggunakan bakteri asam
laktat (BAL). Namun, pada awalnya definisis yoghurt adalah suatu produk yang
dihasilkan dari susu melalui proses fermentasi dengan kultur starter campuran yang terdiri
atas Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Shah, 2006). Pada proses
fermentasi yoghurt dapat digunakan kultur tunggal ataupun campuran dari BAL L.
bulgaricus dan S. thermophilus yang merupakan bakteri yang umum digunakan sebagai
kultur starter pada proses fermentasi susu menjadi yoghurt (El-Abbassy & Sitohy, 1993).
Namun dalam perkembangannya BAL lainnya juga dapat ditambahkan dalam kultur
starter, seperti L. acidophilus, L. casei, Bifidobacterium lactis, dan Bifidobacterium
bifidum (Rachman et al., 2015). Ketika digunakan sebagai kultur campuran, kedua bakteri
umum tersebut bersimbiosis mutualisme, dimana L. bulgaricus dilaporkan menghasilkan
asam amino dan peptida pendek yang menstimulasi pertumbuhan S. thermophilus.
Sedangkan S. thermophilus menghasilkan asam format yang menunjang pertumbuhan L.
bulgaricus (El-Abbassy & Sitohy, 1993; Rajagopal & Sandine, 1990). Menurut penelitian
yang lain Lactobacillus dapat memfermentasi laktosa, fruktosa dan glukosa untuk
menghasilkan asam laktat (Limsowtin et al., 2002). Begitu pula dengan S. thermophilus,
mampu memfermentasi laktosa, glukosa, fruktosa, dan sukrosa untuk menghasilkan asam
laktat (Pearce & Flint, 1999). Kombinasi keduanya akan menghasilkan keasaman yang
lebih tinggi dibandingkan terpisah (Tamime & Robinson, 2007).
Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987) dalam Ambawathy
(2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu
didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (L. bulgaricus dan S.
thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat
keasaman yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu
yoghurt menurut SNI 2981:2009 disajikan pada (Tabel 1). Menurut Oberman (1985)
dalam Ambawathy (2007), menyatakan bahwa komposisi produk fermentasi bergantung
pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme.
dengan;
W adalah bobot contoh (g)
W0 adalah bobot labu lemak/pinggan aluminium kosong (g)
W1 adalah bobot labu lemak/ pinggan aluminium kosong dan lemak (g)
F. Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi dan Kualitas Yoghurt
Berikut merupakan factor-faktor yang mempengaruhi fermentasi atau kualitas
produk yogurt yang dibuat, antara lain:
a. Waktu Inkubasi
Semakin lama waktu inkubasi, maka akan semakin banyak asam laktat yang
diproduksi sehingga nilai pH pun menjadi rendah dan akan mempengaruhi kualitas mutu
produk, yang mana menurut Food Standards Australia New Zealand yoghurt yang baik
memiliki nilai pH maksimum 4,5 (Kamara et al., 2016).
b. Penggunaan Jenis Gula
Penelitian yang dilakukan oleh Hanzen et al. (2016) tentang penambahan kulit
buah naga dan macam gula pada yoghurt menunjukkan bahwa penambahan jenis gula
yang berbeda mempengaruhi secara signifikan kadar asam laktat. Jenis gula yang
digunakan dalam penelitian tersebut antara lain: gula pasir, gula palem dan gula silawan.
Hasil tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi kimia kandungan gula pasir,
gula palem dan gula siwalan yang digunakan dalam pembuatan yoghurt sebagai nutrisi
pada media pertumbuhan bakteri asam laktat dalam yoghurt kulit buah naga. Komposisi
kimia yang terkandung pada gula tersebut berupa air, sukrosa, gula pereduksi, lemak,
protein, mineral, dan kalsium. Berdasarkan hasil uji organoleptik menunjukan bahwa
yoghurt kulit buah naga memiliki tekstur yang kental pada seluruh bagian yoghurt.
c. Penambahan Sukrosa dan Susu Skim
Sintasari, dkk (2014) yang menyatakan bahwa viskositas yoghurt akan
meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi penambahan sukrosa dan susu skim.
Penambahan susu skim bertujuan untuk mengantikan laktosa yang terdapat pada susu
hewani, karena bahan nabati tidak mengandung laktosa (Sayuti, dkk. 2013). Penambahan
sukrosa dan susu skim akan meningkatkan padatan terlarut dalam yoghurt, komponen
terlarut akan meningkatkan viskositas (Astuti & Andang, 2009). Sukrosa dan susu skim
akan dirombak oleh bakteri asam laktat menjadi asam laktat yang bersifat asam, sehingga
pH produk mengalami penurunan dan terjadi koagulasi protein susu (kasein). Kasein
bersifat tidak stabil pada pH mendekati titik isoelektrik 4.6 dan menyebabkan terjadinya
pengumpalan produk yang menyebabkan peningkatan viskositas yoghurt (Sintasari, dkk.
2014).
d. Kadar Asam Laktat
Perubahan kadar asam laktat selama masa penyimpanan juga sebanding dengan
perubahan jumlah mikroba dalam yogurt. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah sel
Bakteri Asam Laktat (BAL) akan menyesuaikan produksi asam laktat (Taufik, 2004).
Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan pH susu dan menimbulkan rasa asam
(Purnomo & Adiono, 1987) yang selanjutnya pembentukan asam laktat merupakan
inhibitor efektif, karena hampir tidak ada bakteri yang tumbuh pada pH kurang dari 4,5
seperti yang dinyatakan Walstra and Jennes (1984). Mikroorganisme yang paling banyak
digunakan dalam starter, adalah kelompok Bakteri Asam Laktat (BAL) yang
menghasilkan asam, terutama asam laktat dengan menfermentasi laktosa. Asam
membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk pada yoghurt
dan juga menghasilkan bahan antimikroba yang akan membunuh bakteri patogen dan
bakteri pembusuk seperti Pseudomonas spp., Escherichia coli dan Salmonella, dengan
demikian bersifat mengawetkan produk tersebut (Gilliland, 1990). Bakteri yang
digunakan dalam pembuatan yoghurt, menghasilkan enzim BetaGalaktosidase yang dapat
membantu untuk pencernaan laktosa jika produk tersebut dikonsumsi oleh penderita
Laktosa Intoleran (Gilliland, 1990).
e. Nilai pH
Kasein yang merupakan bagian terbanyak dalam susu mempunyai sifat sangat
peka terhadap perubahan keasaman sehingga dengan menurunnya pH susu menyebabkan
kasein tidak stabil dan terkoagulasi menjadi yoghurt (Halferich & Westhoff, 1980).
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Dewi & Arif Andang. (2009). Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Waktu
Fermentasi Terhadap Hasil Pembuatan Soyghurt. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. 1(2)
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Yogurt SNI 2981:2009.
http://sispk.bsn.go.id/SNI/DaftarList. Diakses pada 23 Juni 2020.
Conway, P.L., Gorbach, S.L. & Goldin, B.R. (1987). Survival of lactic acid bacteria in
the human stomach and adhesion to intestinal cells. Journal of Dairy Science.
70: 1-12.
El-Abbassy, M.Z. & Sitohy, M. (1993). Metabolic interaction between Streptococcus
thermophilus and Lactobacillus bulgaricus in single and mixed starter yoghurt.
Food / Nahrung. 37(1), 53-58.
Elli, M., Callegari, M.L., Ferrari, S., Bessi, Elena., Cattivelli, D., Soldi, S., Morelli, L.,
Feuillerat, N.G. & Antoine, J.-M. (2006). Survival of yogurt bacteria in the
human gut. Applied and Environmental Microbiology. 72(7), 5113–5117.
Food Standards Australia New Zealand. 2014. Standard 2.5.3 Fermented milk products.
Gardini, F., Lanciotti, R., Guerzoni, M.E. & Torriani, S. (1999). Evaluation of aroma
production and survival of Streptococcus thermophilus, Lactobacillus
delbrueckii subsp. bulgaricus and Lactobacillus acidophilus in fermented milks.
International Dairy Journal. 9.125-134.
Gilliand, S.E., 1990. Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press, Inc., Boca Raton,
Florida
Gomes, A.M.P. & Malcata, F.X. (1999). Bifidobacterium spp. and Lactobacillus
acidophilus: biological, biochemical, technological and therapeutical properties
relevant for use as probiotics. Trends in Food Science & Technology. 10, 139-
157.
Hanzen, W. E., Hastuti, U. S., & Lukiati, B. (2016). Kualitas yoghurt dari kulit buah naga
berdasarkan variasi spesies dan macam gula ditinjau dari tekstur, aroma, rasa
dan kadar asam laktat. In Proceeding Biology Education Conference: Biology,
Science, Enviromental, and Learning (Vol. 13, No. 1, pp. 849-856).
Halferich W, Westhoff. 1980. All about yoghurt. Prentice–Hall Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Kamara, D. S., Rachman, S. D., Pasisca, R. W., Djajasoepana, S., Suprijana, O., Idar, I.,
& Ishmayana, S. (2016). Pembuatan Dan Aktivitas Antibakteri Yogurt Hasil
Fermentasi Tiga Bakteri (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus,
Lactobacilus acidophilus). Al-Kimia, 4(2), 121-131.
Lick, S., Drescher, K. & Heller, K. (2001). Survival of Lactobacillus delbrueckii subsp.
bulgaricus and Streptococcus thermophilus in the terminal ileum of fistulated
Göttingen minipigs. Applied and Environmental Microbiology. 67(9), 4137–
4143.
Limsowtin, G. K. Y., M. C. Broome and I. B. Powell. 2002. Lactic acid bacteria,
taxonomy. In: Encyclopedia of Dairy Science. H. Roginski, J. Fuquay, P. Fox.
(eds). Academic Press. London.
Mater, D.D.G., Bretigny, L., Firmesse, O., Flores, M.-J., Mogenet, A., Bresson, J.-L. &
Corthier, G. (2005). Streptococcus thermophilus and Lactobacillus delbrueckii
subsp. bulgaricus survive gastrointestinal transit of healthy volunteers
consuming yogurt. FEMS Microbiology Letters. 250, 185–187.
Pearce, L. and S. Flint. 1999. Streptococcus thermophilus. In: Encyclopedia of Dairy
Science. H. Roginski, J. Fuquay, P. Fox (eds). Academic Press. London.
Punomo, H., dan Adiono, 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Rachman, S. D., Djajasoepena, S., Kamara, D. S., Idar, I., Sutrisna, R., Safari, A., ... &
Ishmayana, S. (2015). Kualitas yoghurt yang dibuat dengan kultur dua
(Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dan tiga bakteri
(Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus
acidophilus). Chimica et Natura Acta, 3(2).
Rajagopal, S.N. & Sandine, W.E. (1990). Associative growth and proteolysis of
Streptococcus thermophillus and Lactobacillus bulgaricus in skim milk. Journal
of Dairy Science. 73: 894 – 899
Sayuti, I. Wulandari, & S. Sari, D.K.. (2013). “Penambahan Ekstrak Ubi Jalar Ungu
(ipomoea batatas var. Ayamurasaki) dan Susu Skim TerhadapOrganoleptik
Yoghurt Jagung Manis (zea mays l. Saccharata) Dengan Menggunakan
Inokulum Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium sp” Prosiding
Semirata FMIPA Universitas Lampung.
Shah NP. 2006. Health benefit of yogurt and fermented milks, in R.C. Chandan, C.H.
White, A. Kilara, Y.H. Hui (eds). Manufacturing yogurt and fermented milk.
Oxford: Blackwell Publishing
Sintasari, R.A., Kusnadi, & J. Ningtyas, DW. (2014). Pengaruh Penambahan Konsentrasi
Susu Skim Dan Sukrosa Terhadap Karakteristik Minuman Probiotik Sari Beras
Merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(3) : 65-75
Surajudin. 2005. Yoghurt, Susu Fermentasi yang Menyehatkan. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Tamime, A. Y. and R. K. Robinson. 2007. Yoghurt Science and Technology. 3rd ed.
Woodhead Publishing in Food Science, Technology and Nutrition. Cambridge.
Taufik, E. (2004). Dadih Susu Sapi Hasil Fermentasi Berbagai Starter Bakteri Probiotik
yang Disimpan Pada Suhu Rendah: Karakteristik Kimiawi. Jurnal Media
Peternakan, Desember 2004. Vol 27 No.3 hal 88-100.
Vinderola, C.G., Mocchiutti, P. & Reinheimer, J. A. (2002). Interactions Among Lactic
Acid Starter and Probiotic Bacteria Used for Fermented Dairy Products. Journal
of Dairy Science. 85: 721-729.
Walstra, P., and R. Jennes. 1984. Dairy Chemistry and Physics. Jhon Willey and Sons
Inc., New York
Yulneriwarni, Noverita. 2020. Teknik laboratorium mikrobiologi.
https://webkuliah.unas.ac.id/pluginfile.php/613668/mod_resource/content/2/B
AB%20XII%20Fermentasi.pdf. Diakses pada 23 Juni 2020.