Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

MIKROBIOLOGI DASAR

FERMENTASI SUSU (YOGHURT)

Dosen Pengampu: Dra. Noverita, M.Si.


Dra. Yulneriwarni, M.Si.

Ditulis oleh:

Stefan Martinus 183112620150085


Kelompok B
Kelas A

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2020
A. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah untuk memepelajari teknik fermentasi, mengetahui
aktivitas starter selama proses fermentasi yoghurt, dan mengetahui kemampuan
mikroorganisme untuk menghasilkan produk yang bernilai secara ekonomis.
B. Pendahuluan
Yoghurt merupakan produk susu yang difermentasi menggunakan bakteri asam
laktat (BAL). Namun, pada awalnya definisis yoghurt adalah suatu produk yang
dihasilkan dari susu melalui proses fermentasi dengan kultur starter campuran yang terdiri
atas Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Shah, 2006). Pada proses
fermentasi yoghurt dapat digunakan kultur tunggal ataupun campuran dari BAL L.
bulgaricus dan S. thermophilus yang merupakan bakteri yang umum digunakan sebagai
kultur starter pada proses fermentasi susu menjadi yoghurt (El-Abbassy & Sitohy, 1993).
Namun dalam perkembangannya BAL lainnya juga dapat ditambahkan dalam kultur
starter, seperti L. acidophilus, L. casei, Bifidobacterium lactis, dan Bifidobacterium
bifidum (Rachman et al., 2015). Ketika digunakan sebagai kultur campuran, kedua bakteri
umum tersebut bersimbiosis mutualisme, dimana L. bulgaricus dilaporkan menghasilkan
asam amino dan peptida pendek yang menstimulasi pertumbuhan S. thermophilus.
Sedangkan S. thermophilus menghasilkan asam format yang menunjang pertumbuhan L.
bulgaricus (El-Abbassy & Sitohy, 1993; Rajagopal & Sandine, 1990). Menurut penelitian
yang lain Lactobacillus dapat memfermentasi laktosa, fruktosa dan glukosa untuk
menghasilkan asam laktat (Limsowtin et al., 2002). Begitu pula dengan S. thermophilus,
mampu memfermentasi laktosa, glukosa, fruktosa, dan sukrosa untuk menghasilkan asam
laktat (Pearce & Flint, 1999). Kombinasi keduanya akan menghasilkan keasaman yang
lebih tinggi dibandingkan terpisah (Tamime & Robinson, 2007).
Proses pembuatan yoghurt menurut Buckle et al. (1987) dalam Ambawathy
(2007) dimulai dari pemanasan susu pada suhu 90 oC selama 15-30 menit, lalu
didinginkan sampai suhu 43oC dan inokulasi kultur sebanyak 2% (L. bulgaricus dan S.
thermophillus). Suhu ini dipertahankan selama tiga jam hingga diperoleh tingkat
keasaman yang dikehendaki yaitu 0.85-0.90% asam laktat dan pH 4,0-4,5. Syarat mutu
yoghurt menurut SNI 2981:2009 disajikan pada (Tabel 1). Menurut Oberman (1985)
dalam Ambawathy (2007), menyatakan bahwa komposisi produk fermentasi bergantung
pada kondisi awal dan metabolisme spesifik dari pertumbuhan kultur mikroorganisme.

Tabel 1. Syarat mutu yoghurt (BSN, 2009)

Yoghurt tanpa perlakuan panas Yoghurt dengan perlakuan


setelah fermentasi panas setelah fermentasi
No. Kriteria Uji Satuan Yoghurt Yoghurt Yoghurt Yoghurt
Yoghurt rendah tanpa Yoghurt rendah tanpa
lemak lemak lemak lemak
1. Keadaan
1.1 Penampakan - Cairan kental-padat Cairan kental-padat
1.2 Bau - Normal/khas Normal/khas
1.3 Rasa - Asam/khas Asam/khas
1.4 Konsistensi - Homogen Homogen
Kadar lemak Maks. Maks.
2. % Min. 3,0 0,6-2,9 Min. 3,0 0,6-2,9
(b/b) 0,5 0,5
Total padatan
3. susu bukan % Min. 8,2 Min. 8,2
lemak (b/b)
Protein
4. % Min. 2,7 Min. 2,7
(Nx6,38) (b/b)
Kadar abu
5. % Maks 1,0 Maks 1,0
(b/b)
Keasaman
(dihitung
6. % 0,5-2,0 0,5-2,0
sebagai asam
laktat) (b/b)
Cemaran
7.
Logam
7.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maks 0,3 Maks 0,3
7.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maks. 20,0 Maks. 20,0
7.3 Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0
7.4 Raksa (Hg) Mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03
8. Arsen Mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,1
Cemaran
9.
Mikroba
APM/g
Bakteri
9.1 atau Maks. 10 Maks. 10
Coliform
koloni/g
9.2 Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g
Listeria
9.3 - Negatif/25 g Negatif/25 g
monocytogenes
Jumlah bakteri
10. Koloni/g Min. 107 -
starter
*sesuai dengan Pasal 2 (istilah dan definisi)
Proses fermentasi yogurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi
asam laktat. Penggunaan starter yogurt sebanyak 2–5% dari bahan yang digunakan.
Penggunaan inokulasi starter (L. bulgaricus dan S. thermophillus) memungkinkan
terjadinya perubahan laktosa dan produksi asam laktat yang berakibat pada penurunan
pH, sehingga kadar asam yogurt relatif tinggi dan terbentuknya gumpalan yogurt
(Robinson, 1990). Kadar asam yang dihasilkan oleh gabungan kedua jenis kultur ini lebih
tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur secara individual. Bahan yang
diproduksi selama proses fermentasi tidak hanya membantu proses pertumbuhan kultur
starter, tetapi juga mempengaruhi karakteristik sensori yogurt yaitu aroma, rasa dan
tekstur (Capela, 2006 dalam Zain, 2010).
L. bulgaricus dan S. thermophilus pada umumnya dilaporkan tidak dapat
bertahan hidup pada saluran pencernaan (Conway et al. 1987). Oleh karena itu, kedua
bakteri ini dianggap sebagai agen probiotik yang kurang baik, dan hanya dianggap
sebagai kultur starter. Probiotik adalah suplemen dalam makanan yang mengandung
bakteri yang sangat menguntungkan. Beberapa probiotik terdapat secara alami,
contohnya seperti Lactobacillus sp. dalam yogurt. Probiotik umumnya diketahui dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa
probiotik akan membentuk koloni sementara yang dapat membantu aktivitas tubuh
dengan fungsi yang sama dengan mikroflora alami dalam saluran pencernaan (Surajudin,
2005). Namun penelitian yang lebih baru melaporkan bahwa kedua bakteri ini ternyata
dapat bertahan hidup di saluran pencernaan (Mater et al., 2005). Selain itu, Lick et al.
(2001) dan Elli et al. (2006) juga menemukan bahwa L. bulgaricus dan S. thermophilus
dapat bertahan hidup setelah melewati saluran pencernaan.
L. acidophilus dan Bifidobacterium spp. merupakan BAL yang dilaporkan
memiliki ketahanan yang lebih baik dalam saluran pencernaan manusia (Gomez &
Malcata 1999). Oleh karena itu penelitian mengenai penambahan kedua bakteri ini pada
kultur campuran menjadi salah satu topik yang menarik karena adanya interaksi antara
bakteri-bakteri tersebut dengan bakteri kultur starter (Vinderola et al. 2002) yang dapat
mempengaruhi kualitas produk yang diinginkan (Gardini et al. 1999). Penelitian yang
dilakukan oleh Rachman (2015), menyatakan bahwa penambahan L. acidophilus pada
kultur starter yoghurt yang mengandung dua bakteri (L. bulgaricus dan S. thermophilus)
memberikan beberapa pengaruh, diantaranya yaitu meningkatkan nilai pH, menurunkan
tingkat konsumsi laktosa, menurunkan kadar asam laktat yang dihasilkan serta
meningkatkan kadar protein. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya interaksi antara
bakteri-bakteri yang ada pada kultur starter. Penambahan L. acidophilus kemungkinan
besar memberikan efek inhibisi terhadap kinerja dari kedua bakteri lainnya yang
digunakan pada kultur starter, terutama L. bulgaricus.
C. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam proses fermentasi yoghurt menurut
Yulneriwarni & Novertita (2020) antara lain: susu murni dan tepung susu skim; starter L.
bulgaricus dan S. thermophilus; akuadestilata; NaOH 0,1 N; indicator phenol ptalein
(PP); fermentor (botol atau Erlenmeyer); homogenizer; water bath; neraca digital; pipet
volumetri; gelas piala; gelas ukur; dan buret. Sedangkan alat dan bahan yang diperlukan
dalam proses fermentasi yoghurt menurut Rahman et al. (2015) antara lain: incubator;
spektrofotometer Jenway 6350; sentrifugasi; laminar flow cabinet (Forma Scientific);
mikroskop (Nikon); pH meter (Mettler Toledo MP220); thermometer; alat-alat gelas yang
umum digunakan di laboratorium; susu skim; susu murni; air suling; natrium hidroksida;
asam sulfat; fenolftalein; glukosa; laktosa; bovine serum albumin; tembaga sulfat
pentahidrat; nutrient broth; pereaksi Folin-Ciocalteu; pereaksi fosfomolibdat; kultur
bakteri L. bulgaricus, S. thermophilus dan L. acidophilus.
D. Pembuatan Fermentasi Susu
Pembuatan fermentasi susu menjadi yogurt menurut Yulneriwarni & Noverita
(2020) sebagai berikut:
1. Timbang 8 gr tepung susu skim, tambahkan 200 mL susu murni, dan aduk
hingga rata.
2. Homogenisasi untuk memperkecil globul lemak supaya meningkatkan
konsistensi atau stabilitas fisik produk.
3. Bagi susu menjadi 2 bagian dalam Erlenmeyer (1 bagian untuk difermentasi,
dan bagian lainnya sebagai kontrol).
4. Pasteurisasi pada suhu 85⁰C selama 30 menit, untuk membunuh
mikroorganisme patogen
5. Dinginkan susu hingga suhu menjadi 42⁰C
6. Bagian yang akan difermentasi diinokulasi dengan starter (1% L.bulgaricus
ditambah 1% S. thermophilus), inkubasi pada suhu 42⁰C selama 5 jam.
Kemudian disimpan dalam lemari es, untuk menghentikan proses
fermentasi.
7. Sedangkan bagian kontrol tidak diinokulasi (tanpa fermentasi) dan langsung
dimasukkan kedalam lemari es.
8. Amati konsistensi produk dan analisis kadar asam laktat yang dihasilkan
setelah fermentasi (pada yoghurt) dan pada susu tanpa fermentasi, lalu
dibandingkan.
Pembuatan fermentasi susu menjadi yoghurt menurut Rachman et al.,(2015)
sebagai berikut:
Pembuatan kultur starter tunggal
Ke dalam 5 mL susu skim hasil pasteurisasi dalam tiga botol vial steril
dimasukkan masing-masing satu ose L. bulgaricus pada botol vial pertama, S.
thermophilis pada botol vial kedua dan L. acidophilus pada botol vial ketiga. Ketiga botol
ini diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, selanjutnya susu hasil fermentasi tersebut
dipindahkan ke dalam 50 mL susu murni hasil pasteurisasi pada suhu 85°C selama 15
menit, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Susu hasil fermentasi
merupakan kultur yang siap digunakan. Jika tidak langsung digunakan dapat disimpan
pada suhu 4°C.
Fermentasi susu
Sebelum fermentasi, susu murni dipasteurisasi terlebih dahulu pada suhu 85°C
selama 15 menit, kemudian sebanyak 50 mL dimasukkan ke dalam enam labu Erlenmeyer
250 mL steril. Setelah itu ke dalam labu Erlemeyer yang berbeda dimasukkan kultur
starter dengan perbandingan volume kultur tunggal 1:1, 1:4 dan 4:1 untuk kultur dua
bakteri (L. bulgaricus: S. thermophilus) dan 1:1:1, 1:4:1 dan 1:1:4 untuk kultur tiga
bakteri (L. bulgaricus: S. thermophilus: L. acidophilus). Campuran kemudian diinkubasi
pada suhu 40°C. Sampel diambil setelah 12 jam.
E. Penentuan Kualitas Produk
Penentuan kualitas produk yoghurt mengacu pada penelitian yang dilakukan
oleh Rachman et al. (2015) dan Badan Standarisasi Nasional (SNI 2981:2009) tentang
cara uji yoghurt.
Pengukuran pH
Sampel produk yoghurt yang dihasilkan diukur pH-nya dengan menggunakan
pH meter.
Penentuan kadar asam laktat
Sebanyak 10 mL yoghurt dimasukkan ke dalam labu Erlenemeyer dan
ditambahkan 2-3 tetes larutan fenolftalein 1% sebagai indikator. Buret diisi dengan
larutan natrium hidroksida 0,1 N. Larutan yoghurt kemudian dititrasi dengan
menggunakan larutan NaOH sampai terjadi perubahan warna menjadi kemerahan.
Penentuan kadar protein
Sebanyak 0,1 mL larutan standar BSA (0,00; 0,05; 0,10; 0,20; 0,30; 0,40 dan
0,50 mg/mL) atau sampel yang akan ditentukan kadar proteinnya dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 mL pereaksi Lowry C (50 mL 2%
natrium karbonat dalam 0,1 N natrium hidroksida: 1 mL 0,5% tembaga sulfat pentahidrat
dalam 1% natrium tartrat) dan didiamkan selama 10 menit. Sebanyak 0,5 mL larutan
Folin-Ciocalteu kemudian ditambahkan, dikocok dan didiamkan selama 30 menit.
Serapan diukur pada panjang gelombang 750 nm dengan menggunakan spektrofotometer.
Penentuan kadar laktosa
Sebanyak 1 mL sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, lalu
ditambahkan dengan 2 mL larutan natrium tungstat dan 2 mL asam sulfat 0,3 M sambil
dikocok perlahan. Kemudian ditambahkan air suling sampai tanda batas dan dibiarkan
selama 5 menit lalu disentrifugasi. Supernatan yang diperoleh diambil sebanyak 1 mL
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 1 mL air suling.
Selanjutnya ke dalam tabung reaksi tersebut ditambahkan pereaksi tembaga alkalis dan
dipanaskan pada penangas air selama 8 menit lalu didinginkan dan ditambah dengan 4
mL larutan fosfomolibdat sambil dikocok. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu
ukur 25 mL dan diencerkan dengan larutan fosfomolibdat encer (1:4). Serapan kemudian
diukur pada panjang gelombang 630 nm dengan menggunakan spektrofotometer.
Larutan standar laktosa dibuat dengan menimbang 1 g laktosa lalu dilarutkan
dalam labu ukur 100 mL dengan larutan asam benzoat 0,2%. Sebanyak 3 mL larutan
kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan
menggunakan larutan asam benzoat 0,2%. Larutan standar tersebut kemudian diambil
sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan air
suling. Langkah kerja berikutnya sama dengan langkah kerja yang dijelaskan
sebelumnya. Untuk blanko digunakan air suling sebanyak 2 mL dan ditambahkan dengan
reagen yang sama.
Penentuan Kadar Lemak
Lemak dalam contoh dihidrolisa dengan amonia dan alkohol kemudian
diekstraksi denganeter. Ekstrak eter yang diperoleh kemudian diuapkan sampai kering
dalam pingganalumunium dan kadar lemak dihitung secara gravimetri.
a) Timbang 5 g - 10 g contoh yogurt (W) ke dalam labu ekstraksi, tambahkan
10 ml air suling, aduk sehingga membentuk pasta, dan panaskan jika
diperlukan;
b) Tambahkan 1 ml sampai dengan 1,25 ml ammonium hidroksida pekat,
panaskan dalam penangas air pada suhu 60 °C – 70°C selama 15 menit,
diaduk beberapa kali dandinginkan;
c) Tambahkan 3 tetes indikator fenolftalein, 10 ml alkohol 95 %, tutup labu
ekstraksi, danaduk selama 15 detik;
d) Untuk ekstraksi pertama; tambahkan 25 ml etil eter, tutup labu ekstraksi,
dan kocokdengan kencang selama 1 menit;
e) Longgarkan sesekali tutup labu ekstraksi apabila diperlukan;
f) Tambahkan 25 ml petrolium eter, tutup labu ekstraksi, dan
kocok dengan kencang selama 1 menit;
g) Longgarkan sesekali tutup labu ekstraksi apabila diperlukan;
h) Sentrifuse labu tersebut pada 600 rpm selama 30 detik sehingga terjadi
pemisahan fasa air (bright pink) dan eter dengan jelas;
i) Tuangkan lapisan eter dengan hati-hati ke dalam labu lemak atau pinggan
alumuniumkosong yang telah diketahui bobotnya (W0);
j) Lapisan air digunakan untuk ekstraksi berikutnya;
k) Untuk ekstraksi kedua, ulangi cara kerja c sampai dengan j dengan
penambahan 5 ml alkohol 95 %, 15 ml etil eter dan 15 ml petrolium eter;
l) Untuk ekstraksi ketiga, ulangi cara kerja c sampai dengan j dengan tanpa
penambahan alkohol 95 %, 15 ml etil eter dan 15 ml petrolium eter;
(ekstraksi ke-3 tidak perludilakukan untuk yogurt tanpa lemak)
m) Uapkan pelarut di atas penangas air dan keringkan labu lemak/pinggan
alumunium yang berisi ekstrak lemak tersebut dalam oven pada suhu (100 ±
1) °C selama 30 menit atau oven vakum pada suhu 70 °C – 75°C dengan
tekanan < 50 mm Hg (6,7 kPa); dan
n) Dinginkan dalam desikator dan timbang hingga bobot tetap (W1).
Perhitungan Kadar Lemak
(W1 – W0)
Lemak (%) = x100%
𝑊

dengan;
W adalah bobot contoh (g)
W0 adalah bobot labu lemak/pinggan aluminium kosong (g)
W1 adalah bobot labu lemak/ pinggan aluminium kosong dan lemak (g)
F. Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi dan Kualitas Yoghurt
Berikut merupakan factor-faktor yang mempengaruhi fermentasi atau kualitas
produk yogurt yang dibuat, antara lain:
a. Waktu Inkubasi
Semakin lama waktu inkubasi, maka akan semakin banyak asam laktat yang
diproduksi sehingga nilai pH pun menjadi rendah dan akan mempengaruhi kualitas mutu
produk, yang mana menurut Food Standards Australia New Zealand yoghurt yang baik
memiliki nilai pH maksimum 4,5 (Kamara et al., 2016).
b. Penggunaan Jenis Gula
Penelitian yang dilakukan oleh Hanzen et al. (2016) tentang penambahan kulit
buah naga dan macam gula pada yoghurt menunjukkan bahwa penambahan jenis gula
yang berbeda mempengaruhi secara signifikan kadar asam laktat. Jenis gula yang
digunakan dalam penelitian tersebut antara lain: gula pasir, gula palem dan gula silawan.
Hasil tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi kimia kandungan gula pasir,
gula palem dan gula siwalan yang digunakan dalam pembuatan yoghurt sebagai nutrisi
pada media pertumbuhan bakteri asam laktat dalam yoghurt kulit buah naga. Komposisi
kimia yang terkandung pada gula tersebut berupa air, sukrosa, gula pereduksi, lemak,
protein, mineral, dan kalsium. Berdasarkan hasil uji organoleptik menunjukan bahwa
yoghurt kulit buah naga memiliki tekstur yang kental pada seluruh bagian yoghurt.
c. Penambahan Sukrosa dan Susu Skim
Sintasari, dkk (2014) yang menyatakan bahwa viskositas yoghurt akan
meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi penambahan sukrosa dan susu skim.
Penambahan susu skim bertujuan untuk mengantikan laktosa yang terdapat pada susu
hewani, karena bahan nabati tidak mengandung laktosa (Sayuti, dkk. 2013). Penambahan
sukrosa dan susu skim akan meningkatkan padatan terlarut dalam yoghurt, komponen
terlarut akan meningkatkan viskositas (Astuti & Andang, 2009). Sukrosa dan susu skim
akan dirombak oleh bakteri asam laktat menjadi asam laktat yang bersifat asam, sehingga
pH produk mengalami penurunan dan terjadi koagulasi protein susu (kasein). Kasein
bersifat tidak stabil pada pH mendekati titik isoelektrik 4.6 dan menyebabkan terjadinya
pengumpalan produk yang menyebabkan peningkatan viskositas yoghurt (Sintasari, dkk.
2014).
d. Kadar Asam Laktat
Perubahan kadar asam laktat selama masa penyimpanan juga sebanding dengan
perubahan jumlah mikroba dalam yogurt. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah sel
Bakteri Asam Laktat (BAL) akan menyesuaikan produksi asam laktat (Taufik, 2004).
Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan pH susu dan menimbulkan rasa asam
(Purnomo & Adiono, 1987) yang selanjutnya pembentukan asam laktat merupakan
inhibitor efektif, karena hampir tidak ada bakteri yang tumbuh pada pH kurang dari 4,5
seperti yang dinyatakan Walstra and Jennes (1984). Mikroorganisme yang paling banyak
digunakan dalam starter, adalah kelompok Bakteri Asam Laktat (BAL) yang
menghasilkan asam, terutama asam laktat dengan menfermentasi laktosa. Asam
membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk pada yoghurt
dan juga menghasilkan bahan antimikroba yang akan membunuh bakteri patogen dan
bakteri pembusuk seperti Pseudomonas spp., Escherichia coli dan Salmonella, dengan
demikian bersifat mengawetkan produk tersebut (Gilliland, 1990). Bakteri yang
digunakan dalam pembuatan yoghurt, menghasilkan enzim BetaGalaktosidase yang dapat
membantu untuk pencernaan laktosa jika produk tersebut dikonsumsi oleh penderita
Laktosa Intoleran (Gilliland, 1990).
e. Nilai pH
Kasein yang merupakan bagian terbanyak dalam susu mempunyai sifat sangat
peka terhadap perubahan keasaman sehingga dengan menurunnya pH susu menyebabkan
kasein tidak stabil dan terkoagulasi menjadi yoghurt (Halferich & Westhoff, 1980).
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Dewi & Arif Andang. (2009). Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Waktu
Fermentasi Terhadap Hasil Pembuatan Soyghurt. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. 1(2)
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Yogurt SNI 2981:2009.
http://sispk.bsn.go.id/SNI/DaftarList. Diakses pada 23 Juni 2020.
Conway, P.L., Gorbach, S.L. & Goldin, B.R. (1987). Survival of lactic acid bacteria in
the human stomach and adhesion to intestinal cells. Journal of Dairy Science.
70: 1-12.
El-Abbassy, M.Z. & Sitohy, M. (1993). Metabolic interaction between Streptococcus
thermophilus and Lactobacillus bulgaricus in single and mixed starter yoghurt.
Food / Nahrung. 37(1), 53-58.
Elli, M., Callegari, M.L., Ferrari, S., Bessi, Elena., Cattivelli, D., Soldi, S., Morelli, L.,
Feuillerat, N.G. & Antoine, J.-M. (2006). Survival of yogurt bacteria in the
human gut. Applied and Environmental Microbiology. 72(7), 5113–5117.
Food Standards Australia New Zealand. 2014. Standard 2.5.3 Fermented milk products.
Gardini, F., Lanciotti, R., Guerzoni, M.E. & Torriani, S. (1999). Evaluation of aroma
production and survival of Streptococcus thermophilus, Lactobacillus
delbrueckii subsp. bulgaricus and Lactobacillus acidophilus in fermented milks.
International Dairy Journal. 9.125-134.
Gilliand, S.E., 1990. Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press, Inc., Boca Raton,
Florida
Gomes, A.M.P. & Malcata, F.X. (1999). Bifidobacterium spp. and Lactobacillus
acidophilus: biological, biochemical, technological and therapeutical properties
relevant for use as probiotics. Trends in Food Science & Technology. 10, 139-
157.
Hanzen, W. E., Hastuti, U. S., & Lukiati, B. (2016). Kualitas yoghurt dari kulit buah naga
berdasarkan variasi spesies dan macam gula ditinjau dari tekstur, aroma, rasa
dan kadar asam laktat. In Proceeding Biology Education Conference: Biology,
Science, Enviromental, and Learning (Vol. 13, No. 1, pp. 849-856).
Halferich W, Westhoff. 1980. All about yoghurt. Prentice–Hall Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Kamara, D. S., Rachman, S. D., Pasisca, R. W., Djajasoepana, S., Suprijana, O., Idar, I.,
& Ishmayana, S. (2016). Pembuatan Dan Aktivitas Antibakteri Yogurt Hasil
Fermentasi Tiga Bakteri (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus,
Lactobacilus acidophilus). Al-Kimia, 4(2), 121-131.
Lick, S., Drescher, K. & Heller, K. (2001). Survival of Lactobacillus delbrueckii subsp.
bulgaricus and Streptococcus thermophilus in the terminal ileum of fistulated
Göttingen minipigs. Applied and Environmental Microbiology. 67(9), 4137–
4143.
Limsowtin, G. K. Y., M. C. Broome and I. B. Powell. 2002. Lactic acid bacteria,
taxonomy. In: Encyclopedia of Dairy Science. H. Roginski, J. Fuquay, P. Fox.
(eds). Academic Press. London.
Mater, D.D.G., Bretigny, L., Firmesse, O., Flores, M.-J., Mogenet, A., Bresson, J.-L. &
Corthier, G. (2005). Streptococcus thermophilus and Lactobacillus delbrueckii
subsp. bulgaricus survive gastrointestinal transit of healthy volunteers
consuming yogurt. FEMS Microbiology Letters. 250, 185–187.
Pearce, L. and S. Flint. 1999. Streptococcus thermophilus. In: Encyclopedia of Dairy
Science. H. Roginski, J. Fuquay, P. Fox (eds). Academic Press. London.
Punomo, H., dan Adiono, 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Rachman, S. D., Djajasoepena, S., Kamara, D. S., Idar, I., Sutrisna, R., Safari, A., ... &
Ishmayana, S. (2015). Kualitas yoghurt yang dibuat dengan kultur dua
(Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dan tiga bakteri
(Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus
acidophilus). Chimica et Natura Acta, 3(2).
Rajagopal, S.N. & Sandine, W.E. (1990). Associative growth and proteolysis of
Streptococcus thermophillus and Lactobacillus bulgaricus in skim milk. Journal
of Dairy Science. 73: 894 – 899
Sayuti, I. Wulandari, & S. Sari, D.K.. (2013). “Penambahan Ekstrak Ubi Jalar Ungu
(ipomoea batatas var. Ayamurasaki) dan Susu Skim TerhadapOrganoleptik
Yoghurt Jagung Manis (zea mays l. Saccharata) Dengan Menggunakan
Inokulum Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium sp” Prosiding
Semirata FMIPA Universitas Lampung.
Shah NP. 2006. Health benefit of yogurt and fermented milks, in R.C. Chandan, C.H.
White, A. Kilara, Y.H. Hui (eds). Manufacturing yogurt and fermented milk.
Oxford: Blackwell Publishing
Sintasari, R.A., Kusnadi, & J. Ningtyas, DW. (2014). Pengaruh Penambahan Konsentrasi
Susu Skim Dan Sukrosa Terhadap Karakteristik Minuman Probiotik Sari Beras
Merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(3) : 65-75
Surajudin. 2005. Yoghurt, Susu Fermentasi yang Menyehatkan. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Tamime, A. Y. and R. K. Robinson. 2007. Yoghurt Science and Technology. 3rd ed.
Woodhead Publishing in Food Science, Technology and Nutrition. Cambridge.
Taufik, E. (2004). Dadih Susu Sapi Hasil Fermentasi Berbagai Starter Bakteri Probiotik
yang Disimpan Pada Suhu Rendah: Karakteristik Kimiawi. Jurnal Media
Peternakan, Desember 2004. Vol 27 No.3 hal 88-100.
Vinderola, C.G., Mocchiutti, P. & Reinheimer, J. A. (2002). Interactions Among Lactic
Acid Starter and Probiotic Bacteria Used for Fermented Dairy Products. Journal
of Dairy Science. 85: 721-729.
Walstra, P., and R. Jennes. 1984. Dairy Chemistry and Physics. Jhon Willey and Sons
Inc., New York
Yulneriwarni, Noverita. 2020. Teknik laboratorium mikrobiologi.
https://webkuliah.unas.ac.id/pluginfile.php/613668/mod_resource/content/2/B
AB%20XII%20Fermentasi.pdf. Diakses pada 23 Juni 2020.

Anda mungkin juga menyukai