Anda di halaman 1dari 21

MODUL HOSPITAL ENTREUPRENEURSHIP LEADERSHIP

( ARS : 201)

MODUL SESI 3
LEARDERSHIP THEORY ( 2) DAN
EMOTIONAL INTELLIGENCE
LEADERSHIP

DISUSUN OLEH
Dr Hanna Permana Subanegara, MARS

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


TAHUN 2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 0 / 21
SUBTOPIK 1 TOPIK SESI 3

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Tujuan : Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami dan Menjelaskan transactional leadership vs transformational
leadership
2. Memahami dan menjelaskan emotional intelligence Leadership ( kecerdasan
emosi pemimpin )

B. Uraian
1. Sub topik ke-1 : transactional leadership vs Transformasional leadership
 Transactional Leadership

Kepemimpinan transaksional adalah perilaku pemimpin yang memfokuskan


perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan anggota yang
melibatkan hubungan pertukaran. Kepemimpinan transaksional harus mampu
mengenali apa yang diinginkan anggota dari pekerjaanya dan memastikan apakah
telah mendapatkan apa yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional memiliki
proses yaitu memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya
dan memikirkan apa yang akan bawahannya peroleh jika hasil kerjanya bagus.
Pemimpin dan para pengikutnya merupakan pihak-pihak yang independen yang
masing-masing mempunyai tujuan, kebutuhan, dan kepentingan sendiri. Menurut
Robbins dan Coulter (2010) bahwa pemimpin transaksional (transactional leader)
adalah pemimpin yang memimpin dengan menggunakan pertukaran sosial atau
transaksi. Pemimpin transaksi mengarahkan atau memotivasi bawahannya untuk
bekerja mencapai tujuan dengan memberikan penghargaan atas produktivitas
mereka. Bass , memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah
pertukaran imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Beberapa komponen
penting di dalamnya meliputi perilaku transaksional (disebut perilaku “contingent
reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk
memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan insentif dan contingent rewards untuk
mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by
exception” termasuk pemantauan dari para bawahan dan tindakan-tindakan
memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 1 / 21
secara efektif Menurut Bass dan Riggio dalam Goei dan Winata, (2016)
menyatakan bahwa Gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya
kepemimpinan yang terjadi ketika pemimpin memberikan penghargaan atau
mendisiplinkan pengikutnya, bergantung pada adekuasi performa pemimpin.
Dimensidimensi dari gaya kepemimpinan transaksional, yaitu: (1) Imbalan
bersyarat (Conditional reward), kondisi ini akan bersifat transaksional apa bila
imbalan berupa materi seperti uang, namun bersifat transformasional bila imbalan
berupa psikologis seperti pujian. (2) Manajemen dengan pengecualian aktif (active
management by exception), adalah gaya kepemimpinan di mana pemimpin secara
aktif mengawasi penyimpanganpenyimpangan dari standar, kesalahan-kesalahan,
dan kekeliruankekeliruan dalam tugas-tugas pengikutnya dan mengambil langkah
korektif 25 secepatnya. (3) Manajemen dengan pengecualian pasif (passive
management by exception), adalah gaya kepemimpinan di mana pemimpin akan
menunggu secara pasif munculnya penyimpangan-penyimpangan, kesalahan-
kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan kemudian mengambil langkah korektif.
Kepemimpinan transaksional ini terwujud ketika para pemimpin dan para pengikut
(konstituen) berada dalam sejenis hubungan pertukaran. Kepemimpinan
transaksional adalah sesuatu yang sangat biasa kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, namun sifatnya tidaklah untuk jangka panjang – artinya transitoris -,
tidak ada tujuan bersama yang perlu dipertahankan agar membuat kedua pihak itu
terus-menerus “nempel-nempelan”, sekali transaksi dibuat. Burns juga mencatat,
bahwa jenis kepemimpinan ini dapat cukup efektif, namun tidak akan berakibat
dalam perubahan dalam organisasi atau masyarakat, malah cenderung untuk
melestarikan dan melegitimasi.
 Transactional leadership

Pengaruh Kepemimpinan Transaksional Terhadap Group Engagement Penelitian


yang dilakukan oleh Ihsan (2017) menemukan bahwa kepemimpinan transaksional

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 2 / 21
berpengaruh signifikan terhadap work engagement. Kepemimpinan transaksional
memiliki proses yaitu memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari
pekerjaannya dan memikirkan apa yang akan bawahannya peroleh jika hasil
kerjanya bagus. Geoi dan Winata (2016) dalam penelitian yang berjudul “Peran
Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Terhadap Keterikatan
Kerja (Studi Pada Karyawan Universitas X)”. Penelitian ini menemukan bahwa
kepemimpinan transformasional dan transaksional berpengaruh signifikan
terhadap keterikatan kerja (work engagement). Penelitian yang dilakukan oleh
Subekti (2016) dengan judul “Proses Peningkatan Keterlibatan Karyawan Melalui
Gaya Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Studi Kualitatif terhadap Tenaga Perawat
Unit Rawat Inap Anak di Balai Klinik Ibu & Anak Rkz Malang)”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan model kepemimpinan direktur rumah sakit bagi
perawat 32 senior dan menengah melalui pendelegasian wewenang dan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan; dan bagi tenaga perawat junior
melalui memimpin melalui contoh dan penjabaran visi dan misi rumah sakit.
Motivasi intrinsik tenaga perawat dalam bekerja adalah panggilan hidup dan
kebanggaan dalam bekerja, sementara motivasi ekstrinsik adalah insentif, gaji,
promosi jabatan, pertukaran tempat dinas, lingkungan kerja yang kondusif dan
hubungan antar rekan kerja yang baik. Adanya konflik yang belum terselesaikan
antara direktur rumah sakit dengan tenaga perawat senior terkait ketidakpuasan
dalam pembagian insentif mendorong terjadinya peningkatan keinginan untuk
mengundurkan diri dari pekerjaan dan lebih cocok diselesaikan dengan model
kepemimpinan transaksional. Menggunakan gaya kepemimpinan transaksional
dapat menjadi alternatif untuk mendorong keterlibatan karyawan dalam aktualisasi
visi dan misi perusahaan. Sebagaimana telah diuraikan bahwa kepemimpinan
transformasional mengedapankan transaksi dalam prakterk kepemimpinan jenis ini.
Misalkan karyawan akan mendapatkan promosi kenaikan gaji atau jabatan apabila
mampu memenuhi target tertentu. Sehingga karyawan akan berkontribusi secara
aktif dalam kelompok kerja. Gaya kepemimpinan transaksional mampu
mempengaruhi group engagement dalam suatu organisasi. Bagaimanapun
sebagian besar orang bekerja dalam perusahaan untuk mendapatkan hak dalam
bentuk transaksional. Maka keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi
berbanding lurus dengan apa yang didapatkan dari organisasi tersebut.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 3 / 21
 Transformasional leadership
Kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh pemimpin atau atasan
terhadap bawahan, dimana bawahan merasakan kepercayaan, kebanggaan,
loyalitas dan rasa hormat kepada atasan dan mereka dimotivasi untuk berbuat
melebihi apa yang ditargetkan atau diharapkan (Satriani et, al., 2012) 22 Robbins
dan Cuolter (2010) mengemukanan bahwa tipe pemimpin transformasi
(transformational leader) adalah pemimpin yang menstimulasi dan menginspirasi
(transformasi) bawahannya untuk mencapai hasil yang luar biasa. Kepemimpinan
transformasional dinilai lebih efektif dibandingkan kepemimpinan transaksional.
Hal ini merujuk pada hasil-hasil penelitian di berbagai bidang yang menemukan
bahwa kepemimpinan transformasional memiliki ikatan kuat dengan perputaran
karyawan yang rendah serta tingkat produktivitas, tingkat kepuasaan pegawai,
kreativitas, pencapaian tujuan dan kesejahteraaan bawahan yang tinggi. Menurut
Bass dan Avolio (dalam Kreitner dan Kinicki, 2015), bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki kreiteria antara lain; pemimpin yang memotivasi dengan
inspirasional, pengaruh ideal, pertimbangan yang bersifat individual, dan stimulasi
intelektual. Penerapan gaya kepemimpinan transformasional yang tepat dapat
menghasilkan kinerja karyawan yang tinggi, motivasi kerja bagi karyawan, hasil
kerja yang lebih besar, dan imbalan internal. Hal ini karena gaya kepemimpinan
transformasional dapat membantu para karyawan menjadi lebih percaya untuk
mencapai sasaran-sasaran yang ada dan bekerja sesuai dengan arah yang akan
datang. Pada setiap tahap dari proses transformasional tersebut, kinerja
karyawan ditentukan oleh keberhasilan pemimpin (Mondiani, 2012).
Kepemimpinan transformasional mencakup dua unsur yang bersifat hakiki, yaitu
“relasional” dan “berurusan dengan perubahan riil”. Kepemimpinan
transformasional terjadi ketika seorang (atau lebih) berhubungan dengan orang-
orang lain sedemikian rupa sehingga para pemimpin dan pengikut saling
mengangkat diri untuk sampai kepada tingkat-tingkat motivasi dan moralitas yang
lebih tinggi (Burns, 1978, hal. 20). kepemimpinan transformasional ini adalah
dalam rangka perubahan.
Seorang pemimpin transformasional juga mengajar para pengikutnya bagaimana
mereka sendiri dapat menjadi pemimpin-pemimpin dan mendorong mereka untuk
memainkan peranan yang aktif dalam gerakan perubahan. Contohnya adalah
bagaimana seorang Nelson Mandela memimpin perubahan di Republik Afrika

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 4 / 21
Selatan, dan merupakan presiden pertama negara itu yang dipilih secara
demokratis (lihatlah tulisan saya yang berjudul, “Mengenang Seorang Pemimpin
Besar: Nelson Mandela [1918-2013], dalam Kompasiana tanggal 5 Maret 2014)
Bagi Burns, Mahatma Gandhi secara khusus merupakan gambaran ideal dari
seorang pemimpin transformasional
Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai “non-kekerasan” dan nilai-nilai
lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana sungguh memberikan dampak
perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-lembaga di India. Kepemimpinan
Gandhi sungguh memiliki tujuan secara moral, karena tujuannya adalah
memenangkan kemerdekaan pribadi bagi orang-orang sebangsanya dengan
membebaskan mereka dari penindasan oleh pemerintah kolonial Inggris.
Kepemimpinan Gandhi diangkat ke atas, dalam artian dia mengangkat para
pengikutnya ke tingkat moral yang lebih tinggi dengan melibatkan mereka dalam
aktivitas-aktivitas non-kekerasan guna mencapai keadilan sosial. Dengan
melakukan begitu, Gandhi meminta pengorbanan dari para pengikutnya, bukannya
sekadar mengobral janji-janji. Karya Burns ini mencerahkan kita supaya mampu
melihat bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah mengenai transformasi.
Kepemimpinan transformasional adalah suatu relasi antara para pemimpin dan
para pengikut mereka di mana kedua pihak diangkat ke tingkat moral yang lebih
tinggi. Kepemimpinan transformasional adalah tentang para pemimpin dan
pengikut-pengikut mereka yang terlibat dalam proses perubahan. Memang
kepemimpinan kharismatis saling berhubungan secara erat dengan kepemimpinan
transformasional . Pada dasarnya semua “transformational leaders” adalah
“charismatic leaders”, namun tidak semua “charismatic leaders” adalah
“transformational leaders”.
Seorang pemimpin transformasional adalah kharismatis karena mereka mampu
untuk mengartikulasikan visi masa depan yang terasa meyakinkan dan
membentuk serta membangun kelekatan-kelekatan emosional dengan para
pengikutnya. Akan tetapi, visi ini dan hubungan-hubungan ini disejajarkan dengan
sistem-sistem nilai dari para pengikut dan menolong agar kebutuhan-kebutuhan
mereka terpenuhi. Seorang pemimpin kharismatis yang bukan sekaligus seorang
pemimpin transformasional dapat menyampaikan suatu visi dan membentuk
ikatan-ikatan emosional dengan para pengikutnya, namun dia melakukan semua
itu guna pemenuhan kebutuhan dirinya. Baik pemimpin kharismatis maupun

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 5 / 21
pemimpin transformasional berupaya untuk tercapainya perubahan dalam
organisasi atau masyarakat. Perbedaannya adalah apakah perubahan tersebut
adalah untuk kepentingan sang pemimpin atau kepentingan para pengikutnya?.
Ada baiknya untuk dicatat, bahwa seorang pemimpin transformasional senantiasa
merupakan seseorang yang kontroversial. Konflik mungkin timbul karena
perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut atau definisi-definisi terkait apa
yang baik dalam arti sosial. Kontroversi ini juga timbul karena orang-orang yang
berkemungkinan paling besar untuk merugi dalam sistem yang ada, merekalah
yang paling kuat dalam hal resistensi atau melakukan perlawanan terhadap inisiatif
perubahan transformasional.Tingkat-tingkat emosional dari mereka yang
melakukan resistensi terhadap gerakan perubahan transformasional seringkali
sama tingginya atau bobotnya dengan orang-orang yang mendukung gerakan
perubahan transformasional tersebut, dan hal ini dapat membantu menjelaskan
bagaimana Mahatma Gandhi, John F. Kennedy, Martin Luther King, Jr. atau
bahkan Yesus Kristus sampai mati dibunuh oleh lawan-lawan mereka Menurut
Burns, para pemimpin transformasional selalu terlibat dalam konflik dan perubahan,
dan mereka harus bersedia untuk merangkul konflik (artinya bukan malah
menghindarkan/melarikan diri dari konflik), membuat musuh-musuh, menunjukkan
suatu tingkat pengorbanan-diri yang tinggi, berkulit tebal (maksudnya nggak sensi!)
dan senantiasa fokus dalam mewujudkan cita-cita mereka
 Transformational leadership
Transformational leadership is a leadership style that involves generating a vision
for the organization and inspiring followers to meet the challenges that it sets. this
theory depends on the leader’s ability to appeal to the higher values and motives of
followers and to inspire a feeling of loyalty & trust
The 4 I’s of Transformational Leadership :

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 6 / 21
Transactional Leadership Vs TRansformational Leadership

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Group Engagement


Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2017) menemukan bahwa
kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang positif terhadap
engagement. Penelitian yang dilakukan oleh Hartono dan Hartijasti (2017)
menunjukkan bahwa work engagement mempunyai pengaruh sebagai mediator
baik antara kepemimpinan transformasional maupun challenge stressors terhadap
turnover intention. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa work engagement
mempunyai peran paling signifikan untuk meningkatkan pengaruh kepemimpinan
transformasional terhadap turnover intention dikarenakan mempunyai nilai total
effect terbesar. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizkiani dan
Nurnida (2016) menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional
terhadap employee engagement memiliki pengaruh positif dan signifikan.
Penelitian yang dilakukan ole Salu dan Hartijasti (2018) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa work engagement memiliki efek positif sebagai mediator
untuk hubungan antara job resources dan transformational leadership terhadap
komitmen organisasi dan job resources. Efek maksimum ditemukan dalam
hubungan antara transformasional leadership dengan komitmen organisasi 30
melalui work engagement sebagai mediator. Demikian jugan dengan Pitoyo dan
Sawitri (2016) bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap work
engagement. Penelitian yang dilakukan oleh Hayati et, al., (2014) dengan judul
“The relationship between transformational leadership and work engagement in

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 7 / 21
governmental hospitals nurses: a survey study” menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap work
engagement. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pourbarkhordari et, al., (2015) bahwa kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap employe work engagement. Begitupun dengan
Salanova et, al., (2011) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional
memiliki hubungan langsung yang berpengaruh signifikan terhadap work
engagement. Keterlibatan karyawan dalam organisasi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah gaya kepemimpinan. Kepemimpinan
transformasional mampu merangsang karyawan untuk terlibat secara penuh dalam
aktualisasi visi dan misi organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah gaya
kepemimpinan yang mampu menggugah semangat karyawan, karena
kepemimpinan jenis ini banyak disenangi oleh bawahan.

Sub topik ke-2 : emotional intelligence Leadership ( kecerdasan emosi


pemimpin)

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) merupakan softskill yang perlu


dimiliki oleh setiap orang, tidak terkecuali seorang pemimpin. Menurut Psychology
Today, kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan
mengelola emosi sendiri dan emosi orang lain. Kecerdasan ini berkaitan antara
kompetensi emosional dan sosial; yang berkontribusi pada seberapa efektif
seseorang memahami dan mengekspresikan diri mereka, memahami orang lain
dan berhubungan dengan mereka, dan kemudian mengatasi stres serta tuntutan
sehari-hari.

Kecerdasan emosional bukanlah sebuah anugerah bagi seseorang sedari lahir,


tetapi merupakan sebuah softskill yang terus dilatih. Menjadi pemimpin tentunya
harus melatih softskill ini untuk memahami diri sendiri dan untuk memberikan
kebermanfaatan bagi orang banyak.

Karakteristik kecerdasan emosional

Menurut psikolog ternama, Daniel Goleman, orang yang cerdas secara emosional
memiliki empat karakteristik:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 8 / 21
1. Self-awareness: emotional awareness, penilaian diri pribadi, dan percaya diri.
2. Self-management: emotional self-control, kemampuan beradaptasi, orientasi
pada prestasi, dan optimis.
3. Social awareness: empati, organizational awareness, dan orientasi melayani.
4. Social management: manajemen konflik, inspirational leadership, developing
others, dan influence.
Kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat ketika orang tersebut pandai
memahami emosi mereka sendiri (self-awareness), pandai mengelola emosi (self-
management), berempati terhadap dorongan emosi orang lain (social awareness),
dan pandai menangani emosi orang lain (social management).

Pemimpin membutuhkan empat karakteristik tersebut untuk menjadi sosok yang


cerdas secara emosional. Ketika seorang pemimpin memiliki kecerdasan
emosional yang baik, dia akan mampu beradaptasi dengan dunia yang lebih
inklusif dan bahkan mampu membawa dunia menjadi tempat yang nyaman untuk
dihuni oleh siapapun.

Sebagai contoh, seorang pemimpin memiliki kepedulian terhadap penyandang


difabel tuli (self-awareness). Dia memahami kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
difabel tuli tersebut seperti infrastruktur dan pelayanan publik yang belum
aksesibel (social awareness). Selanjutnya dia mencoba beradaptasi dengan
belajar bahasa isyarat untuk bisa memahami lebih dalam seperti apa sulitnya
sebagai difabel tuli (self-management).

Pada akhirnya ketika pemimpin tersebut sudah mendapat makna dari


pembelajarannya, dia mulai memberikan pengaruhnya untuk membangun
kesadaran orang banyak terhadap difabilitas (social management). Di sinilah
pentingnya kehadiran seorang pemimpin; melayani dan memberi pengaruh positif
kepada pengikut dan calon pengikutnya.

Kecerdasan emosional membentuk kepemimpinan yang efektif


Manusia jelas mendapatkan manfaat dari perkembangan emosi. Bahkan emosi
orang-orang di sekitar turut mempengaruhi perkembangannya. Bayangkan sebuah
perusahaan yang selalu menerapkan daily scrum, mereka secara penuh empati
saling memahami tugas masing-masing rekannya di saat daily scrum berlangsung.
Mereka saling mengutarakan kendala yang dialami dan saling memberi masukan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 9 / 21
Tentu nuansa nyaman akan terasa di dalam perusahaan tersebut, karena adanya
dukungan dan rasa saling memahami antar rekan maupun pimpinan.
Di lain pihak, terdapat tipe kepemimpinan yang harus kita sadari ternyata memberi
ketidakefektifan terhadap kecerdasan emosional kita, tipe kepemimpinan laissez-
faire, misalnya. Kepemimpinan laissez-faire atau biasa dikenal sebagai tipe
kepemimpinan delegatif merupakan tipe dimana seorang pemimpin banyak
menyerahkan keputusan untuk diambil oleh anggotanya. Yang terjadi dari tipe
kepemimpinan ini justru kurangnya influence yang dirasakan oleh anggota dari
pemimpinnya. Anggota mungkin menjadi lebih produktif karena diberi ruang
otonomnya, namun menjadi hampa akan nilai. Pemimpin selain terfokus pada
target, dia juga harus bisa menjelaskan kenapa anggotanya harus mengejar target
tersebut.

Kepemimpinan yang berelasi baik dengan kecerdasan emosional adalah tipe


kepemimpinan yang transformatif-melayani. Tipe kepemimpinan tersebut
merupakan tipe kepemimpinan yang dapat melatih kecerdasan emosional seorang
pemimpin secara berkelanjutan. Sebagai contoh, pemimpin dengan tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi berhasil mengelola tantangan yang kompleks
melalui membangun kepercayaan, kepercayaan diri dan keberanian, memahami
kebutuhan orang lain, berkomunikasi secara terbuka dan langsung, menunjukkan
kepedulian yang tulus untuk orang lain, dan berkolaborasi.

 Mengapa Kita Memerlukan Kecerdasan Emosional dalam Pekerjaan?

Kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki untuk mengenali


kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Kecerdasan emosional juga membantu
mengenali lingkungan dan orang-orang yang berada di sekitar kita. Kecerdasan
emosional memiliki peranan penting dalam perjalanan dan kesuksesan karier.
Mengapa kita memerlukan kecerdasan emosional dalam pekerjaan? Kira-kira,
dalam hal apa saja kita perlu menggunakan kecerdasan emosional agar dapat
mencapai kesuksesan yang dituju? Pada artikel ini, kita akan membahas 9 alasan
pentingnya memiliki kecerdasan emosional dalam pekerjaan.

1. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk memimpin.

Jika Anda adalah CEO, manajer, ataupun pemimpin tim, kecerdasan emosional
adalah hal yang harus dimiliki dan ditunjukkan setiap harinya. Sebagai pemimpin,

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 10 / 21
kita mungkin tidak akan berinteraksi langsung dengan semua orang setiap
harinya. Namun, jika ingin memiliki tim yang mau memberikan kontribusi lebih,
kita harus menjadi contoh nyata. Nah, dengan kecerdasan emosional ini
memampukan kita dapat memimpin tim dengan memberikan contoh nyata.
Kecerdasan emosional juga membantu pemimpin menyadari rantai komando
yang ada didalam organisasi. Sekalipun merasa memiliki hak untuk meminta
bawahan menyelesaikan tugasnya, kita tidak boleh melangkahi pemimpin tim
yang ada. Jika melangkahi rantai komando yang berlaku didalam organisasi,
pemimpin tim akan merasa bahwa ia tidak penting dan tidak dihargai. Ini juga
dapat membuat pemimpin tim menjadi stres. Selain itu, kecerdasan emosional
juga menyadari bagaimana seorang pemimpin harus bersikap dalam satu
kondisi. Kecerdasan emosional juga membantu kita memiliki kesadaran diri yang
tinggi dalam memimpin. Dengan begitu, kita tidak akan melukai pemimpin atau
bahkan anggota tim lainnya.
2. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk memimpin rapat.
Saat menjadi pemimpin rapat, kita harus memiliki pandangan yang jeli dan
menyeluruh. Kita juga harus mampu membaca bahasa tubuh seluruh peserta
rapat dan menemukan cara untuk mendapatkan perhatian mereka. Itulah
sebabnya kita membutuhkan kecerdasan emosional saat memimpin rapat.
Kecerdasan emosional membuat kita tetap fokus dengan tujuan pertemuan dan
memastikan bahwa setiap peserta memiliki kesempatan yang sama
untuk membagikan ide atau pendapat yang dimiliki, terutama bagi para peserta
yang memiliki sifat introvert. Kecerdasan emosional juga menjauhkan kita dari
sikap dominan dan otoriter.

3. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk mengikuti rapat.

Tidak hanya pemimpin rapat yang membutuhkan kecerdasan emosional,


kecerdasan emosional juga harus dimiliki oleh peserta rapat. Jika memiliki
kecerdasan emosional, kita akan mampu mengambil bagian dalam rapat. Kita
akan mampu mendengarkan dan menyampaikan pendapat pribadi.
Tentu saja, sebagai peserta, kita harus memberikan kontribusi. Itulah sebabnya
pertemuan tersebut diselenggarakan. Orang yang tidak memiliki kecerdasan
emosional hanya akan duduk diam dan tidak memberikan kontribusi apapun. Ini

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 11 / 21
tidak menutup kemungkinan juga bahwa ia hanya akan mengganggu jalannya
rapat.
4. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk membahas penilaian kinerja.
Jika memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, kita akan mampu melihat diri
sendiri secara utuh. Kita mampu mengenali dan memahami diri dengan baik.
Inilah yang membuat kita terbuka terhadap setiap masukan yang membangun
dan mengabaikan setiap kritikan atau komentar negatif yang menjatuhkan.
Dalam membahas penilaian kinerja, kecerdasan emosional merupakan faktor
penentu bagaimana kita akan merespon dan bereaksi terhadap penilaian yang
diberikan. Kecerdasan emosional juga membuat kita tetap tenang dan mampu
mengendalikan diri sekalipun merasa tidak puas dengan hasil yang disampaikan.
5. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk menerima umpan balik.
Kecerdasan emosional juga dibutuhkan untuk menerima umpan balik. Kita tidak
dapat langsung menjadi lebih baik setelah menerima umpan balik. Kita harus
mengambil tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Kecerdasan emosional
inilah yang memampukan kita untuk melakukan tindakan perubahan yang
nyata. Saat menerima umpan balik, kecerdasan emosional yang dimiliki dapat
membantu kita untuk menyadari hal-hal yang perlu diperbaiki dan menemukan
langkah-langkah yang harus diambil untuk memperbaiki diri.
6. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk berjejaring.
Berjejaring merupakan kegiatan dan kesempatan bagi para profesional untuk
memajukan karier. Namun, berjejaring dapat menjadi suatu kegiatan yang
membuat kita risih, terutama bagi jika kita memiliki sifat introvert. Kecerdasan
emosional dapat membantu orang introvert memiliki keberanian untuk keluar
dari zona nyaman dan mulai berinteraksi dengan orang lain sekalipun mereka
merasa tidak nyaman. Interaksi sosial tidak hanya menyulitkan para introvert,
tetapi juga dapat menjadi hal yang menyulitkan bagi para orang-orang ekstrovert.
Orang ekstrovert cenderung dominan dan menguasai percakapan secara
keseluruhan. Dengan kecerdasan emosional membantu orang-orang ekstrovert
untuk dapat mengendalikan diri, tidak menguasai percakapan sepenuhnya,
mampu menahan diri dan menurunkan nada suara saat harus berinteraksi
dengan seseorang yang introvert. Dengan begitu, setiap pihak akan merasa
nyaman dalam berjejaring.

7. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk merekrut.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 12 / 21
Kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seorang perekrut berfungsi untuk
menemukan kandidat yang tepat. Kecerdasan emosional membuat kita dapat
mengenali kepribadian seseorang sehingga dengan mudah dapat memilih
kandidat yang tepat dan sesuai dengan organisasi.
8. Kecerdasan emosional dibutuhkan untuk melakukan wawancara.
Sebagai kandidat pencari kerja, kecerdasan emosional juga sangat dibutuhkan.
Kecerdasan emosional membuat kita dapat mengerti setiap pertanyaan yang
diajukan dan menjawabnya dengan jawaban yang tepat dan sesuai.
9. Kecerdasan emosional dibutuhkan oleh pekerja baru.
Sebagai karyawan baru di sebuah organisasi, kita pasti perlu menjalin kesan
dan hubungan baik dengan setiap orang. Nah, kecerdasan emosional
membantu kita untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika tidak
memiliki kecerdasan emosional, kita akan sulit mengikuti budaya dan norma
yang berlaku di organisasi. Jadi, seorang karyawan baru membutuhkan
kecerdasan emosional agar dapat beradaptasi dengan baik, bukan memberikan
kesan yang menjengkelkan.

 KECERDASAN dibagi menjadi :


 kecerdasan kognisi/konsijensi ( IQ=intelligence quotient).
 kecerdasan emosi/emojensi (EQ = emotional intelligence)
 kecerdasan beragama (SQ = spiritual intelligence)
 Kompetensi Kecerdasan Emosi (Emotional intelligence requires four key
competencies ) , meliputi :

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 13 / 21
Pengertian kepemimpinan tradisional menekankan pada visi pribadi dan
kompetensi intelektual.
Menurut Albert Einstein: “We should take care not to make the intellect our
god. It has, of course, powerful muscle, but no personality, it cannot lead, it
can only serve.” sedangkan Kepemimpinan yang sukses bukan produk dari
satu IQ tetapi dari satu EQ (David Goleman, dkk).

 EMOSI , Dalam Bahasa Latin MOVERE yang artinya bergerak. EMOSI


merupakan akar dorongan yang bertindak terpisah dari reaksi reaksi yang
tampak di mata.Kecenderungan bertindak merupakan hak mutlak dari emosi
 Emosi seseorang akan mudah meledak dipengaruhi oleh : Kesepian, Cemas,
murung

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 14 / 21
Manfaat Emosi , ketika menghadapi krisis, maka kecerdasan menjadi sirna jika
sedang emosi, oleh karena itu perlu peraturan atau norma untuk mengurangi
emosi.

Ada delapan macam emosi :


1. Malu
2. Muak
3. Kejutan
4. Cinta
5. Senang
6. Takut
7. Sedih
8. Marah
Ada 9 (sembilan) jenis emosi :
1. Aphatis (apatis)
2. Grief (kesedihan)
3. Fear (rasa Takut)
4. Lust (serakah)
5. Proud (bangga sombong)
6. Anger (Kemarahan)
7. Courageous (keberanian)
8. Acceptance (Penerimaan)
9. Peace (kedamaian)
 Bagaimana kondisi seseorang apabila emosi tak terkendali :

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 15 / 21
 Dalam keadaan emosi, akal sehat tidak lagi dominan, raut wajah
memerah, suara menjadi mengeras dan bergetar, otot otot tegang,
Badan bergetar, Tangan atau kaki bisa bergerak menyerang
 Dalam emosi takut, kaki siap diajak melarikan diri, raut wajah pucat dan
badan gemetar

 Bagaimana Proses terjadinya Emosi :


a. Pusat emosi adalah AMIGDALA pada Otak
b. Sinyal visual dari Retina ditangkap oleh Thalamus dan diterjemahkan
kemudian sebagian besar dikirim ke Cortex Visual dan jika respons
adalah emosi maka dikirim ke Amigdala
c. Namun ada sinyal yang langsung menerobos ke Amigdala tanpa sempat
diterjemahkan oleh Thalamus, akibatnya ada emosi yang tidak terkendali
d. JIKA ADA TANDA BAHAYA, Amigdala mengirim pesan ke otak untuk
membuat hormon Norepineprin, apakah melawan atau mengalah
 Kecerdasan Emosi (emotional quotient), Patton, 1998
 Menggunakan EMOSI secara efektif untuk mencapai tujuan dalam
membangun hubungan konstruktif dan produktif untuk meraih keberhasilan,

 Dengan intensitas yang tinggi pada kecakapan emosi dan nilai nilai
keyakinan moral yang dimiliki serta dihormati oleh semua pihak

 Mengapa EQ lebih penting daripada IQ (Goleman )


 I.Q. hanya bisa memprediksi kesuksesan seseorang sebesar 20%,
 sedangkan 80% sisanya adalah faktor lainnya termasuk E.Q

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 16 / 21
 Konsepsi tentang kecerdasan emosi
 Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “BERSIKAP RAMAH” saja akan
tetapi pada saat tertentu diperlukan sikap tegas dan bukannya sikap
ramah
 Kecerdasan EMOSI tidak berarti memberikan kebebasan kepada
perasaan untuk berkuasa (Memanjakan Perasaan), melainkan mengelola
perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan
efektif yang memungkinkan orang bekerjasama dengan baik.
 Kecerdasan EMOSI Wanita lebih hebat daripada Pria , karena lebih
mudah berempati, sadar emosi, serta lebih trampil dalam membina
hubungan pribadi.
 Tetapi Pria lebih percaya diri, optimistik, mudah beradaptasi dan lebih
bijak menangani stress
 Mengekspresikan emosi pada waktu yang tepat, sasaran yang tepat, dan
intensitas yang tepat.
 Ulet.
 Dapat membuat rencana rencana inovatif–kreatif ke depan. Mampu
menunda pemenuhan kebutuhan sesaat untuk tujuan yang lebih besar,
lebih agung, lebih profitable
 Manfaat dari kecerdasan emosi pada organisasi : Leadership, Entrepreneur-
ship , Decision making, Planning, Communication, Team building, Customer
loyalty, Creativity & Inovation

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 17 / 21
 Manfaat Emotional Quetion untuk pribadi (golleman, 1995) adalah dapat
membantu dalam membina hubungan interpersonal
 Lima dasar kecakapan emosional :
 KECAKAPAN PRIBADI :
 Kesadaran Diri
 Pengaturan Diri
 Motivasi
 KECAKAPAN SOSIAL.
 Empati
 Keterampilan Sosial

Link :
https://www.researchgate.net/publication/269804378_KARAKTERISTIK_KEP
KEMIMPINAN_Transformasional_versus_Transaksional/fulltext/57a7128b08a
ee07544beed83/KARAKTERISTIK-KEPEMIMPINAN-Transformasional-versus-
Transaksional.pdf
https://www.researchgate.net/deref/http%3A%2F%2Fdx.doi.org%2F10.35880
%2Finspirasi.v10i1.72

C. Buku Rujukan :
1. Maxwell, John C. Leadership 101. MIC Press
2. Curphy, Hughes Gnnet. Leadership. Mc Graw Hill
3. Maxwell, John C. The 21 Irrefutable Laws of Leadership. MIC Press

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 18 / 21
4. Kouzes-Posner. Leadership The Challenge. Erlangga.2004
5. Goenawan, Goenardjoadi, Ir, MM. Leadership By Trust. Ellex Media
Komputindo
6. Kasali, Rhenald. Change Leadership Nin-Finito. Mizan Press
7. Purnama, Harry Uncommon. Irwan, Ignatius. Wijaya, Johanes Ariffin.
Leadership Revolution. Penerbit Andy.

D. Latihan

3.1. Kepemimpinan transactional dinilai cukup efektif, namun tidak akan berakibat
dalam perubahan dalam organisasi atau masyarakat, malah cenderung untuk
melestarikan dan melegitimasi, konsep ini diantaranya :
A. Karyawan dimotivasi dengan reward dan punisment
B. Karyawan dimotivasi dengan kepercayaan
C. Karyawan dimotivasi dengan keterlibatan aktif
Jawaban A
3.2 Kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh pemimpin atau atasan
terhadap bawahan, dimana atasan memberi motivasi kepada bawahan melalui ,
kecuali :
A. Kepercayaan
B. Rasa hormat
C. Tekanan untuk berprestasi
Jawaban C
3.3. Kecerdasan emosi lebih berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang ,
ternyata IQ pengaruh terhadap tingkat kesuksesan :
A. IQ 40%
B. IQ 20 %
C. IQ 80%
Jawaban B
3.4 .Kompetensi Kecerdasan Emosi (Emotional intelligence requires four key
competencies ) , diantaranya :
A. Social awarness
B. Publik awarness
C. Power awarness
Jawaban A
3.5. Manfaat dari kecerdasan emosi pada organisasi, kecuali :
A. Leadership

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 19 / 21
B. Problem solving
C. Team building
Jawaban B

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 20 / 21

Anda mungkin juga menyukai