Dokumen Lengkap Tentang - Perencanaan Program Ketahanan Pangan Dan Gizi Serta Mekanisme Pengelolaannya Pada Kondisi Stunting
Dokumen Lengkap Tentang - Perencanaan Program Ketahanan Pangan Dan Gizi Serta Mekanisme Pengelolaannya Pada Kondisi Stunting
Oleh :
Repa Kustipia
I151160061
Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Drajat Martianto, MS
UPAYA MEMERANGI
STUNTING DENGAN
PROYEKSI KETAHANAN
PANGAN
2017-2020
I. RINGKASAN
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2
persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Artinya, pertumbuhan tak
maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia.
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara,
seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat
anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian
bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak
maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya
berada di bawah rata-rata, Prevalensi Stunting pada saat ini mencapai 40 %. Hasil dari
Analisis menggunakan data dari survei dasar yang dilakukan di tiga kabupaten di
Indonesia untuk Uni Eropa yang didanai MYCNSIA proyek antara November dan
Desember 2011. Kabupaten dengan fokus kepada 3 wilayah diantaranya adalah Sikka
(pesisir di Provinsi Nusa Tenggara Timur) yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di
negara ini, Jayawijaya adalah kabupaten dataran tinggi terpencil di Provinsi Papua di
mana banyak indikator sosial dan kesehatan yang jauh di bawah rata-rata nasional, dan
Klaten adalah sebuah distrik padat penduduk di Jawa Tengah di mana beban stunting
tinggi.
Laporan UNICEF pada Tracking Kemajuan Anak dan Gizi ibu yang dirilis pada bulan
November 2015 menunjukkan bahwa stunting, dibandingkan dengan bentuk lain dari gizi,
adalah masalah proporsi yang lebih besar yang diantaranya adalah anak-anak yang
berusia di bawah lima tahun (usia dalam perkembangan), diperkirakan sepertiga dari 195
juta anak – anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat. Di Asia,
tingkat stunting yang sangat tinggi (36%). Di Asia Selatan, sekitar setengah dari anak-
anak terhambat pertumbuhan dan perkembangannya mencapai 61 juta yang diwakili oleh
Negara India saja. Menanggulangi gizi anak sangat penting untuk mencapai Sustainable
Development Goals di ketiga wilayah ini di Indonesia, karena dampak stunting bukan pada
saat anak mengalami stuntingnya namun akan ada berbagai penyakit jangka panjang
yang akan dirasakan dan menambah beban masalah kesehatan yang harus diatasi,
5
dengan pencegahan dan upaya untuk memerangi stunting, maka diharapkan biaya
penanggulangan masalah gizi yang ditimbulkan bisa diminimalisir dan derajat kesehatan
masyarakat meningkat, sehingga menjadi generasi yang lebih baik.
Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025 menegaskan bahwa “Pembangunan dan perbaikan gizi
dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga
konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin
keamanannya”. Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun
2010 menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan
Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya
melibatkan kabupaten dan kota. Rencana Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program
berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu
perbaikan gizi masyarakat, peningkatan aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan
mutu dan keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak
asasi setiap rakyat Indonesia, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan. Pada kenyataannya peta penduduk rawan pangan yang diumumkan oleh
BPS pada tahun 2009 masih menunjukkan situasi yang sangat memprihatinkan. Jumlah
penduduk sangat rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per
orang per hari mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun
2008 yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas pangan, yaitu kemampuan rumah
tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan anggotanya, mengancam penurunan
konsumsi makanan yang beragam, bergizi-seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga.
Pada akhirnya akan berdampak pada semakin beratnya masalah kekurangan gizi
masyarakat, terutama pada kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak.
Pentingnya keberlanjutan ketahanan pangan yang berkaitan dengan program gizi
masyarakat untuk pengentasan stunting akan lebih mendorong penurunan prevalensi
stunting untuk generasi mendatang dan memulihkan stunting dengan pelayanan
kesehatan yang prima dengan didukung oleh ketahanan pangan yang berkelanjutan.
6
b. Rumusan Tujuan
(1) Tujuan Umum
Bertujuan untuk menjadi acuan bagi berbagai pihak terkait dalam menyusun
perencanaan dan penganggaran serta pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
kegiatan-kegiatan gizi yang bersifat spesifik dan sensitif.
(2) Tujuan Khusus
Tersedianya pilihan kegiatan gizi yang bersifat spesifik dan sensitif, sesuai
dengan masalah gizi (stunting) dan tugas masing-masing pemangku
kepentingan. Kegiatan gizi yang bersifat spesifik diantaranya : Promosi ASI
dan Makanan Pendamping ASI yang bergizi, Pemberian tablet zat besi-folat
atau multivitamin dan mineral untuk ibu hamil dan menyusui, Pemberian zat
penambah gizi mikro untuk anak, Pemberian obat cacing pada anak,
Pemberian suplemen vitamin A untuk anak balita, Penanganan anak dengan
gizi buruk, Fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti Vitamin A, besi
dan yodium, Pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi dan
anak-anak. Kegiatan gizi yang sensitif diantaranya : Intervensi pola hidup
bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan pakai sabun dan peningkatan akses
air bersih, Stimulasi psikososial bagi bayi dan anak-anak, Keluarga
Berencana, Kebun gizi di rumah/di sekolah, diversifikasi pangan,
pemeliharaan ternak dan perikanan, Bantuan langsung tunai yang
digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan
terkait kesehatan dan gerakan 1000 HPK.
Teridentifikasinya kebutuhan sumber daya pendukung.
Tersedianya bahan advokasi yang sederhana dan mudah dipahami.
c. Indikator Kinerja
Penimbangan berat badan anak di bawah usia 3 tahun setiap bulan dan anak balita
dua kali setahun.
Pemberdayaan Masyarakat.
d. Lokasi Proyek.
Upaya memerangi stunting dengan proyeksi ketahanan pangan dilaksanakan pada
pemilihan daerah dengan prevalensi stunting tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur dengan
target menurunkan angka stunting dan gizi kurang yang tinggi dengan durasi waktu
dimulai pada tahun 2017 sampai 2020.
Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa intervensi gizi hanya akan efektif jika
dilakukan selama kehamilan dan 2-3 tahun pertama kehidupan anak. Data riset kesehatan
dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan
bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi
(AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita lakilaki Indonesia
mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada
standar rujukan WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 5-19 tahun kondisi ini lebih buruk
karena anak perempuan pada kelompok ini tingginya 13,6 cm di bawah standar dan anak laki-
laki 10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu pendek juga terbukti melahirkan 46,7
persen bayi pendek. Karena itu jelas masalah gizi intergenerasi ini harus mendapat perhatian
serius karena telah terbukti akan mempengaruhi kualitas bangsa.Anak yang memiliki status
gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran berat badan terhadap umur
(BB/ U) dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan
terhadap umur (TB/U)
Indonesia dan masyarakat tentang pentingnya isu stunting, kegiatan ini menggabungkan
pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan peningkatan suplai bidang kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat, perbaikan sanitasi dan perilaku hidup sehat, peningkatan
kapasitas tenaga kesehatan, penyediaan alat kesehatan, pemberian insentif bagi tenaga
kesehatan, pelibatan pihak swasta, serta peningkatan kesadaran melalui kampanye. Melalui
kegiatan yang lebih terintegrasi, diharapkan dapat lebih efektif melaksanakan upaya
mengurangi dan mencegah prevalensi stunting di Indonesia. Young Nutritionist Indonesia
dalam melaksanakan kegiatan tersebut bekerja sama dengan Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Badan
Ketahanan Pangan,Dinas Pertanian, Relawan Indonesia dan Bank Dunia.
12
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. Bagan dibawah ini
menyajikan berbagai faktor penyebab kekurangan gizi yang diperkenalkan oleh
UNICEF dan telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dari kerangka pikir ini
terlihat tahapan penyebab timbulnya kekurangan gizi pada ibu dan anak adalah
penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah. Tolok ukur
yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita
yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan
dengan standar baku rujukan WHO (2005).
Terdapat dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada anak balita, yaitu
faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong. Sebagai
contoh, anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki
daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi.
Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)
dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga
berakibat pada gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat
mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Berbagai faktor penyebab langsung
dan tidak langsung terjadinya gizi kurang digambarkan dalam kerangka pikir UNICEF
(1990) (Gambar 1). Faktor penyebab langsung pertama adalah makanan yang
dikonsumsi, harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat
gizi seimbang. Makanan lengkap bergizi seimbang bagi bayi sampai usia 6 bulan
adalah air susu ibu (ASI), yang dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping
ASI (MP-ASI) bagi bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun. Data menunjukkan masih
rendahnya persentase ibu yang memberikan ASI, dan MP-ASI yang belum memenuhi
gizi seimbang oleh karena berbagai sebab. Faktor penyebab langsung yang kedua
adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit
infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini
13
2009, meskipun tidak terlalu nyata. Secara nasional produk pangan yang mengandung
bahan berbahaya masih berfluktuasi di antara 10 persen sampai 13 persen,
sedangkan produk yang mengandung bahan tambahan pangan berlebih juga
berfluktuasi di sekitar 15 persen dan 30 persen.
Masalah utama dari produk pangan jajanan anak sekolah nampaknya adalah
cemaran mikroba. Intervensi untuk meningkatkan higienis dan sanitasi para penjaja
pangan jajanan anak sekolah ini perlu di lakukan. Kasus kejadian luar biasa (KLB)
karena pangan beberapa kali terjadi dan dilaporkan di media masa. Hasil monitoring
KLB khusus di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi menunjukkan bahwa KLB
paling sering terjadi di sekolah dasar. Sebagian besar KLB ini tidak diketahui dengan
pasti apa penyebabnya, apakah disebabkan karena mikroba atau bahan
kimia.Pemantauan garam konsumsi beryodium yang beredar di kabupaten dan kota
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan
pengawasan dan penegakan hukum agar garam yang beredar memenuhi syarat
sebagai garam konsumsi beryodium.
balita. Untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai
tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8
indikator, sehingga nilai tertinggi delapan (8). PHBS diklasifikasikan ―kurang‖
apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai
balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita.
- Memberikan penyuluhan
- Penyuluhan 1000 HPK, Gizi ibu hamil, gizi balita,
PMT, ketahanan pangan dan kesehatan.
- Memberikan contoh menu untuk balita dan
pengolahan pangan lokal serta teknik berkebun
memanfaatkan halaman rumah.
Tindakan evaluasi :
- Mengukur antropometri ibu hamil yang KEK,
balita stunting dan gizi buruk dan menanyakan
asupan makan.
19
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
23
a. Tabel HIPPOPOC
c. Pembiayaan Kegiatan
Pendanaan bagi pelaksanaan Upaya Memerangi Stunting dengan Proyeksi Ketahanan
Pangan bersumber dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak
mengikat sesuai peraturan perundang-undangan, serta dari sponsor perusahaan-
perusahaan makanan yang memiliki tujuan peduli gizi dan berpartisipasi pada program
stunting serta dana tahunan yang diberikan oleh PBB dalam rangka pengentasan masalah
stunting dunia.
26
d. Organisasi Pelaksana
Project Leader
Kemenkes, Kementan,
Bappenas
Project Manager :
Young Nutritionist Indonesia
e. Peranan Stakeholder
No Instansi Tugas pada Program yang terkait dengan
Proyek Young Nutritionist Indonesia pada Upaya
Memerangi Stunting dengan Proyeksi Ketahanan Pangan
1 Dinas Kesehatan Kota / Pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular
Kabupaten dan Penyakit Menular
Peningkatan pelayanan imunisasi
Surveilans Gizi dan Stunting
Penanggulangan wabah penyakit
Model percontohan kawasan lingkungan sehat
Pembinaan dan pengawasan hygiene sanitasi
Pengawasan kualitas air
Pengelolaan limbah kayanan kesehatan
Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
Berkolaborasi dengan Lembaga Sosial Masyarakat dan
Swasta dalam pengentasan masalah gizi di NTT
2 Puskesmas 6 Upaya Pokok Puskesmas :
a. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
b. Program Kesehatan Lingkungan
27
c. Balai Pengobatan
d. Program Gizi (berkolaborasi dengan dinas pertanian
dan badan ketahanan pangan setempat)
e. Program Kesehatan Ibu dan Anak
f. Program Unggulan Puskesmas (Kesehatan Lansia,
Pendidikan dan Laboratorium)
3 Pemerintah Desa Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa
(Kepala Desa dan Membina kehidupan masyarakat desa (NTT)
Sekretariat Desa) Membina perekonomian desa, memajukan komoditas
pertanian, ketahanan pangan, ketersediaan pangan dan
memastikan tidak ada kelaparan di desa.
Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa
ketika adanya intervensi kesehatan, pertanian atau sosial
yang didanai dari dalam negeri maupun luar negeri dan
menjelaskan tujuan dan dampak yang dirasakan
masyarakat kedepannya.
Menyelaraskan rancangan peraturan desa dengan visi
misi instansi yang akan mengintervensi penduduk desa
Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan
berkembang di desa (NTT).
f. Monitoring dan Evaluasi
Untuk Program 1000 HPK
Indikator 1 : Indikator 2: Indikator 3: Indikator 4:
Meningkatkan Terjaminnya kebijakan Menyelaraskan Teridentifikasinya
partisipasi pemangku yang koheren dan program-program sumber-sumber
kepentingan dalam adanya kerangka sesuai dengan pembiayaan
berbagi pengalaman legalitas program Kerangka Program
pelaksanaan Gerakan 1000 HPK
Adanya komitmen Direviewnya kebijakan, Teridentifikasinya Terselesaikannya
tertulis untuk bergabung rencana dan strategi program-program gizi kerangka pembiayaan
dalam Gerakan 1000 yang ada spesifik dan gizi spesifik gizi
HPK Global sensitif
Terbentuknya Gugus Finalisasi review Didiskusikannya Dipahaminya sumber
Tugas Gerakan 1000 kebijakan kerangka program dan sumber pembiayaan
HPK hasil dari Gerakan untuk perbaikan gizi
1000 HPK yang akan antarsektor
dicapai
Indikator hasil merupakan indikator yang digunakan untuk menilai dampak pelaksanaan
Gerakan 1000 HPK pada akhir tahun 2025. Indikator hasil tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:
No Indikator
1 Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 %
2 Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5
%.
3 Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 %
4 Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih
5 Menurunkan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 %
6 Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan
paling kurang 50 %
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Diadopsi dari Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 HPK tahun 2013
Melihat langsung dampak dari pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan
proyeksi ketahanan pangan pada pertengahan implementasi melalui: SKPD terkait –
Stakeholders
Melihat arah pengembangan pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan
proyeksi ketahanan pangan apakah sesuai dengan tujuan yang dicapai
Menggali kemungkinan keberlangsungan hasil pengembangan dan peningkatan yang
telah dicapai.
7. Pemantauan dan Evaluasi Akhir Pelaksanaan Program :
Melihat langsung dampak dari pelaksanaan Kegiatan Upaya memerangi stunting dengan
proyeksi ketahanan pangan pada akhir implementasi melalui: - SKPD terkait –
Stakeholders.
Melihat arah pengembangan selanjutnya di SKPD terkait
Menggali informasi pada: - Indikator capaian - Kendala dan masalah serta solusinya.
Melihat usaha-usaha dalam rangka menjaga keberlangsungan hasil pengembangan dan
peningkatan yang telah dicapai oleh SKPD terkait
32
Keterangan :