Golongan W
Kelompok 2
ASISTEN : Iftahunnisa’zain
FAKULTAS FARMASI
2020
BAB I
TUJUAN PRAKTIKUM
Atropin Sulfat
2.1.3. Farmakokinetik
Fisostigmin
Fisostigmin dapat dapat diserap dengan baik melalui saluran cerna, jaringan
subkutan dan membrane mukosa. Fisostigmin mudah melewati sawar-darah
otak.
Atropin
Atropin mudah diabsorbsi, sebagian mudah di metabolisme dalam hepar, dan
dieksresikan ke dalam urin. Waktu paruhnya sekitar 4 jam (Staf pengajar
departemen farmakologi, 2009).
Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan jenis efedra. Efedrin
termasuk golongan nonkatekolamin yang dalam klinik pada umumnya efektif
pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena efedrin resisten terhadap
COMT (katekol-O- metiltransferase) dan MAO (monoamin oksidase) yang
banyak terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal. Waktu paruh efedrin
menurutadalah 3 sampai dengan 6 jam. Efedrin bersifat basa lemah, maka
efedrin terionisasi pada pH lambung yang rendah dan penyerapan mungkin
terjadi di lingkungan yang lebih basa yaitu di usus kecil. Efedrin diekskresi
melalui urin. Pada urin dengan pH tinggi efedrin tidak diionisasi sehingga
mudah direabsorbsi oleh tubulus ginjal, sedangkan pada urin dengan pH
rendah efedrin lebih cepat diekskresi. (Rosyida, 2015)
Adrenalin HCl
Adrenalin memiliki plasma t1/2 sekitar 2 menit. Dimetabolisme oleh dua
enzim, monoaminaoksidase (MAO) dan katekol-O-metiltransferase(COMT).
Enzim ini hadir dalam jumlah besar di hati dan ginjal dan bertanggung jawab
untuk sebagian besar metabolisme katekolamin yang disuntikkan. MAO
adalahjuga ada di mukosa usus (dan di saraf ujung, periferal dan pusat).
Lignokain HCl
Lignokain HCl disebut juga Lidokain HCl yang merupakan suatu anestesi
local yang memiliki suatu amin fungsional yang dapat diionisasi melalui
penambahan suatu proton (H+). Lignokain HCl di meatbolisme di hati dan
dieksresikan melalui ginjal dan memiliki waktu paruh beberapa jam.
2.1.4. Farmakodinamik
Fisostigmin
Meningkatkan kadar dan efek Ach pada tempat reseptor dalam SSP atau
ganglia otonomik, pada sel-sel efektor otonomik di viscera dan pada motor
end plate.
Atropin
Atropin menyebabkan midriasis dan meningkatkan tekanan intraocular
(kemenkes, 2016). Mekanisme kerja atropine adalah dengan menghambat
reseptor muskarinik secara kompetititf dimana pada dosis kecil sudah dapat
memblok asetilkolin jumlah besar di reseptor muskarinik. Efektivitas obat ini
tergantung sensitivitas organ. Atropine mempunyai selektivitas terhadap
reseptor muskarinik dan selektivitas ini tidak berbeda antara reseptor M 1, M2,
dan M3. (Lestari, 2017)
Efedrin
Efedrin memiliki farmakodinak yang mirip seperti epinefrin. Dibandingkan
dengan epinefrin, efedrin dapat diberikan per-oral, masa kerjanya jauh lebih
lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi diperlukan dosis yang jauh lebih
besar dari dosis epinefrin. Efedrin bekerja merangsang reseptor alfa, beta1
dan beta2. Efek perifer, bekerja langsung dan tidak langsung (melalui
pembebasan NE endogen) pada efektor sel. (Staf pengajar departemen
farmakologi, 2009).
Adrenalin HCl
Adrenalin (epinefrin) merupakan obat inotropik (pnya daya kontraksi otot)
kuat, menimbulkan konstriksi pembuluh darah, meningkatkan denyut jantung,
dan dilatasi saluran bronchial. Dosis tinggi dapat mengakibatkan artitmia
jantung, oleh karena itu perlu dipantau dengan EKG. Epinefrin juga
menyebabkan vasonkontriksi ginjal sehingga dapat mengurangi perfusi ginjal
dan keluaran urin. Mula kerja dan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak
adalah cepat. (Staf pengajar departemen farmakologi, 2009).
Lignokain HCl
Lignokain adalah anestesi local yang bekerja pada membrane sel menhambat
penyebaran dan konduksi aksi-potensial. Berkurangnya permeabilitas
membrane menggangu depolarisasi. Meningkatnya Ca ekstraseluler akan
mengantagonis kerja anestetik local. Obat anestetik local diperkirakan bekerja
dengan jalan berikatan dengan reseptor spesifik dalam kanal Na sehingga
menghambat transmisi impuls saraf yang kontak dengan obat anestesi local.
Anestetik local memblok kanal Na dan menggangu influks ion. Dengan
demikian, mencegsah depolarisasi normal membrane dan memblok konduksi
aksi potensial. (Staf pengajar departemen farmakologi, 2009).
Tekanan intraokular sangat bervariasi pada orang normal demikian juga pada
penderita miop. Miop merupakan suatu kelainan refraksi yang relative banyak menyebabkan
gangguan penglihatan, miop merupakan salah satu dari lima besar penyebab kebutaan.
Dikatakan bahwa pada penderita miop, tekanan intraokular mempunyai keterkaitan yang
cenderung meninggi pada tingkat keparahan miop. (Setyandriana, Yunani. 2011)
Mata miop lebih rentan terhadap efek peningkatan tekanan intraokular (TIO)
dibandingkan pada mata normal (non-miop) dan terutama merupakan risiko tinggi akan
terjadinya glaukoma.3 Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tekanan
intraokular (TIO) pada mata normal dibandingkan dengan pasien miop sebagai faktor risiko
terjadinya glaukoma. (Setyandriana, Yunani. 2011)
Pengukuran TIO merupakan hal yang penting pada pemeriksaan mata, karena
peningkatan TIO dapat merusak ganglion sel dan berakibat rusaknya pupil dan lapangan
pandang sehingga menimbulkan kebutaan. Makin tinggi TIO, makin besar tahanan kornea
terhadap indentasi (deformasi menjadi pipih), makin tinggi pula geseran plunger keatas,
sehingga makin jauh menggeser jarum penunjuk skala. (Yudaniayanti, Ira Sari. 2012)
BAB III
3.1. Alat
3.2. Bahan
SKEMA KERJA
Mengukur diameter dari pupil kanan dan kiri kelinci (dengan menggeser
penggaris kearah diameter pupil).
Uji refleks cahaya dengan menggunakan senter dan uji refleks kornea dengan
menggunakan kapas.
Gunakan mata kanan untuk kontrol dan mata kiri untuk perlakuan.
Teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9 % pada mata kanan dan obat pada mata kiri.
Ulangi pengukuran diameter pupil, tekanan intraokular, refleks cahaya dan refleks
kornea.
5.1. Hasil
5.2. Pembahasan
Dari praktikum kali ini, dilakukan pengujian pada mata kelinci dengan macam –
macam obat yang diteteskan pada mata kiri dan mata kanan sebagai kontrol. Obat yang
dugunakan pada praktikum kali ini diantaranya epinefrin, atropin, efedrin, Fisostigmin,
Lignokain dengan NaCl 0,9% sebagai kontrol.
Efedrin bekerja pada reseptor α, α , β 1, dan β 2 (Farmakologi dan Terapi ed.6 ). Dan
pada mata menimbulkan efek midriasis (Kumpulan Kuliah Farmakologi, ed. 2). Epinefrin
bekerja pada semua reseptor adrenergik, isoproterenol yang bekerja pada reseptor β secra
selektif. Midriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila epi diteteskan
pada konjungtiva mata normal. ( Farmakologi dan Terapi Ed. 6 ). Efedrin dan Epinefrin
memiliki cara kerja serta efek yang sama jika diberikan pada mata , yaitu terjadi midriasis
yang menyebabkan fotofobia. Sehingga pada saat terkena cahaya pupil matanya mengecil
akibat terjadi fotofobia.
Fisostigmin diteteskan pada kongjungtiva bulbi, maka nyata terlihat miosis, hilangnya
daya akomodasi dan hipermia konjungtiva. Kembalinya ukuran pupil ke ukuran normal
dapat terjadi dalam beberapa jam. ( Farmakologi dan Terapi Ed. 6 ). Hal ini sesuai dengan
yang di praktekkan bahwa pupil mata kelinci yang di tetesi fisostigmin akan mengecil.
1. Apa perbedaan antra midriasi yang diinduksi oleh agen adrenergic dan agen
antikolinergik?
Jawab: Midriasis yang diinduksikan oleh obat adrenergik dapat membesarkan pupil
mata / dilatasi dan dapat menghilangkan reflexs cahaya, tetapi tidak menghilangkan
reflexs kornea. Sedangkan midriasis yang diinduksi oleh obat antikolinergik dapat
membesarkan pupil/dilatasi, tetapi tidak dapat menghilangkan reflexs cahaya dan
reflexs korneal.
2. Sebutkan beberapa midriasi dan miosis yang digunakan secara klinis?
Jawab: Miosis : Fisostigmin(antikolenesterase)
Midriasis : Atropine (antikolinergik), Efedrin & Epinefrin (adrenergik)
3. Apa kegunaan terapi midriatik?
Jawab: Terapi midriatik dapat berupa pemberian obat antikolinergik dan obat
midriatikum. Obat midriatikum digunakan untuk memperbesar pupil mata dan
digunakan untuk memberikan efek siklopegia dengan cara melemahkan otot siliari
sehingga mampu memfokuskan mata pada benda yang dekat.
4. Ada kasus keracunan, cairan lambungnya diambil dan diteteskan ke mata kelinci.
Pupil kelinci mengecil dan tekanan intraocular menurun. Apa dugaan anda? Jelaskan?
Jawab: Kasus ini mungkin disebabkan karena adanya efek dari obat-obat
antikolenesterase yang bekerja pada saraf parasimpatis yang menimbulkan efek
miosis/ kontriksi sehingga diameter pupil kelinci menjadi kecil dan terjadi penurunan
tekanan intraocular. Obat ini dapat memberikan efek pada GIT; meningkatkan
peristaltis usus, kontraksi lambung dan sekresi asam lambung. Jadi ada kemungkinan
cairan lambung yang diambil dari subjek yang mengkonsumsi obat golongan
antikolinesterase.
USULAN PENELITIAN
Menurut kami, metode yang digunakan dalam praktikum ini sudah baik tetapi
kelompok kami memiliki usulan untuk praktikum selanjutnya untuk menggunakan alat
Tonometer.
Tanometer adalah alat untuk mengukur tekanan intraokular (TIO). Tonometer Schiotz
merupakan salah satu jenis tonometer. Tonometer Schiotz adalah jenis tonometer yang
murah, mudah digunakan, tahan lama, perawatan mudah, tidak berbentuk elektronik, tidak
memerlukan baterai, dan dapat disimpan selama bertahun-tahun. Tonometer Schiotz terdiri
dari barrel berongga dengan piringan cekung dan pemegang/holder. Tonometer Schiotz juga
memiliki pemberat dengan bobot 5,5g, 7,5g, 10g. Dalam pengukuran tonometer Schiotz tidak
mengukur tekanan secara langsung tetapi dengan tabel konversi untuk menerjemahkan skala
bacaan tekanan intraokular (TIO) dalam mmHg.
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mata kiri
yang diberikan Efedrin, Atropin, dan Epinefrin akan menyebabkan efek midriasis, bila
diberikan Fisostigmin akan menyebabkan efek miosis sedangkan diberikan Lignokain tidak
memberikan efek perubahan pupil pada kelinci. Larutan fisiologis NaCl 0,9% yang diberikan
pada mata kanan berfungsi sebagai kontrol sehingga tidak mengalami perubahan apapun.
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA
Farmakologi dan Terapi Edisi 6, 2016, Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia, Indonesia.
Katzung, Bertram G., 2004, Basic & clinical pharmacology, 9th edition, Singapore : The
McGraw-Hill Companies, Inc : 451.
Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta : 264.
Lestari, B., Soeharto, S. dkk., 2017, Buku Ajar Farmakologi Dasar, UB Press, Malang : 71.
Setyandriana, Y., Rasyidah, M., 2011, Pengukuran tekanan intraokular pada mata normal
dibandingkan dengan mata penderita miop sebagai faktor resiko glaukoma, Mutiara Medika,
vol. 11 (3) : 189-194.
LAMPIRAN
Kumpulan Kuliah Farmakologi, Hal 346
Lestari, B., Soeharto, S. dkk. 2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar. Malang. UB
Press. Hal 71.