Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Pada praktikum, terdapat 2 metode yang digunakan untuk menguji rasa nyeri
pada mencit, yang pertama adalah dengan induksi kimiawi dan yang kedua adalah
dengan induksi thermal (hot plate). Pada mencit yang diinduksi secara kimia, mencit
I (tanpa tanda) diberi CMC 1% dan digunakan sebagai kontrol, mencit II (merah)
diinduksi dengan menggunakan metampiron 100mg/cc secara peoral. Setelah 30
menit, mencit I dan II diinduksi dengan menggunakan asam asetat 0,6% secara
intraperitoneal dan ditunggu selama 5 menit.
Asam asetat merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi dalam tubuh,
pemberian sediaan asam asetat terhadap hewan percobaan akan merangsang
prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan jaringan atau
inflamasi. Mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin akan menimbulkan rasa
nyeri yang selanjutnya oleh prostaglandin akan disensitisasi sehingga rasa nyeri
terasa lebih nyata. Pemberian asam asetat secara intraperitoneal akan memungkinkan
absorpsi obat semakin besar dan maksimal sehingga lebih cepat memberikan efek
berupa nyeri. Akibat dari timbulnya rasa nyeri hewan coba akan meliukkan badannya
saat efek dari penginduksi ini bekerja.
Metampiron merupakan derivat metansulfonat dan amidopirina yang bekerja
terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan
mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh. Tiga efek utama adalah sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi. Metampiron mudah larut dalam air dan mudah
diabsorpsi ke dalam jaringan tubuh. Mekanisme kerja metampiron dengan
mengurangi produksi prostaglandin yang dihasilkan oleh kaskade asam arakhidonat
sehingga mengurangi impuls nyeri yang diterima SSP.

Pada mencit dengan pemberian metampiron 100mg/cc dan asam asetat, ratarata jumlah liukan pada mencit adalah 38 liukan, dan pada mencit sebagai kontrol
diperoleh rata-rata jumlah liukan sejumlah 120 liukan. Hal ini menunjukkan bahwa
pada mencit yang diinduksi dengan metampiron dan asam asetat, nyeri yang
ditimbulkan akan lebih kecil yang ditunjukkan dengan jumlah liukan yang lebih
sedikit dibandingkan pada mencit yang diinduksi dengan asam asetat tanpa diberi
analgesik metampiron. Hasil percobaan yang dilakukan sudah sesuai dengan teori
bahwa metampiron dapat digunakan sebagai obat analgesik.
Pada percobaan kedua dengan menggunakan hot plate ( induksi thermis),
respon nyeri diperlihatkan oleh mencit dengan menjilat telapak kaki bagian belakang.
Telapak kaki belakang pada mencit cukup tebal untuk menahan rasa panas, sehingga
dapat dijadikan sebagai indikator ketahanan mencit pada hot plate. Mencit I (tanpa
tanda) tidak diinduksi dengan obat dan dijadikan sebagai kontrol. Mencit II (hitam)
diinduksi dengan kodein secara peroral dan ditunggu selama 30-45 menit.
Kodein merupakan jenis opioid yang berasal dari poppy plant. Kodein
dimetabolisme sebagian morfin yang dapat memberikan efek analgesik. Kodein
merupakan opioid yang paling sering digunakan degan dikombinasikan bersama
golongan non-opioid untuk mengatasi nyeri. Ketika diberikan sendiri, secara oral
kodein mempunyai potensi sekitar satu sampai lima kali dari morfin untuk mengatasi
nyeri.
Kodein bekerja pada reseptor dalam lamina I dan lamina II dan substansia
gelatinosa medula spinalis, dan menurunkan pelepasan substansi P yang memodulasi
persepsi nyeri dalam medula spinalis. Reseptor (mu) berperan dalam analgesia
supraspinal, depresi respirasi, euforia, dan ketergantungan.

Pada mencit I (tanpa tanda) diperoleh rata-rata ketahanan mencit dalam hot
plate adalah 19 detik dan pada mencit II (hitam) rata-rata ketahanan mencit dalam hot
plate sekitar 14 detik. Berdasarkan teori, pada mencit II (hitam) yang diinduksi
dengan kodein seharusnya memiliki ketahanan yang lebih lama ketika berada didalam
hot plate dibandingkan dengan mencit sebagai kontrol yang tidak diinduksi dengan
kodein. Hasil praktikum menunjukkan mencit sebagai kontrol memiliki ketahanan
yang lebih lama didalam hot plate. Hal ini mungkin disebabkan karena pada salah
satu kelompok yang melakukan percobaan, mencit yang digunakan sebagai kontrol
memiliki telapak kaki belakang yang lebih tebal dibandingkan dengan mencit yang
diinduksi dengan kodein sehingga ketahanan mencit kontrol lebih besar dalam
menahan panas sekalipun tidak diinduksi dengan kodein. Faktor human error saat
mengamati gerakan mencit menjilat kaki belakang juga dapat menjadi salah satu
penyebab sehingga hasil yang diperoleh dapat mempengaruhi akumulasi data akhir
dan menyebabkan hasil percobaan tidak sesuai dengan teori.

Anda mungkin juga menyukai