Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGUJIAN AKTIVITAS EFEK OBAT PADA


MATA KELINCI”

ASISTEN :

Ida Ayu Andri P, S. Farm., M. Farm., Apt

GOLONGAN V (Kamis 10.30 -12.30)

KELOMPOK 4

1. Della Afizah Lis Maharani 2443019002


2. Devina Jocelin Handoko 2443019197
3. Dewi Permatasari 2443019218
4. Rut Epafroditus Suwignyo 2443019233
5. Remardus Edwaldus Philips 2443019238
6. Elisabeth Beto Payong Lambey 2443019262

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2020/2021
BAB I : PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Pengujian Aktivitas Efek Obat Pada Mata Kelinci

B. Tujuan Praktikum
1. Memahami efek berbagai obat pada diameter pupil.
2. Memahami efek berbagai obat pada refleks korneal.
3. Memahami efek berbagai obat pada refleks cahaya.
4. Memahami efek berbagai obat pada tekanan intraokular
BAB II : KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Tentang Obat Uji

1. Struktur

Gambar 2.1.1 Struktur Epinefrin Gambar 2.1.2 Struktur Atropin Sulfat

Gambar 2.1.3 Strukur Fisostigmin Gambar 2.1.4 Struktur Efedrin

Gambar 2.1.5 Struktur Lignokain

2. Golongan Farmakologi
a. Epinefrin
Golongan obat adrenergik (Sulistia, 2016)
b. Atropin Sulfat
Golongan obat anti muskarinik (Sulistia, 2016)
c. Fisostigmin
Golongan obat antikolinesterase (Sulistia, 2016)
d. Efedrin
Golongan obat adrenergik (Sulistia, 2016)
e. Lignokain
Golongan obat anestesi (Sulistia, 2016)

3. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

a. Epinefrin
• Farmakokinetik
Absorbsi
Pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh
enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada pemberian
local secara inhalasi, efek nya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik
dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar. (Sulistia, 2016)
• Bioransformasi dan Ekskresi
Epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin terutama terjadi dalam hati yang banyak
mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian
besar epinefrin mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian
terjadi oksidasi, reduksi dan/atau konjugas, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konjugasi glukoronat dan
sulfat. Metabolot – metabolit ini bersama epinefrin yang tidak ubah dikeluarkan dalam urin
hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin NE utuh dalam jumlah
besar bersama metabolitnya. (Sulistia, 2016)
• Farmakodinamik
Mata
Midriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila Epinefrin diteteskan pada
konyungtiva mata normal. Tetapi, Epinefrin biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang
normal maupun pada pasien glaucoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan berkurangnya
pembentukan cairan bola mata akibat vasokonstriksi dan arena bertambahnya aliran ke luar.
(Sulistia, 2016)

b. Atropine sulfat
• Farmakokinetik
Alkaloid belladona mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Pemberian atropin sebagai
obat tetes mata, terutama pada anak, dapat menyebabkan absorpsi dalam jumlah yang cukup
besar melalui mukosa nasal, sehingga menimbulkan sebagian besar keracunan. Untuk sistemik,
hindari hal ini perlu dilakukan penekanan kantus internus setelah penetesan obat agar larutan
atropin tidak masuk ke rongga dan diserap ke sirkulasi sistemik. Keadaan ini tidak tampak pada
derivat sintetis maupun semisintetis. Dari sirkulasi darah, atropin cepat berpindah jaringan dan
separuhnya dipindahkan hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam
bentuk asal. Waktu berlalu atropine sekitar 4 jam. (Sulistia, 2016)
• Farmakodinamik
Mata
Alkaloid belladona menghambat m.constrictor pupillae dan m.ciliaris menghubungkan mata,
sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia (paralisis menghubungkan mantel). Midriasis
menggantikan fotofobia, sementara sikloplegia menyebabkan hilangnya kemampuan melihat
jarak dekat. Sesudah pemberian 0,6 mg atropin SK pada mulanya terlihat efek pada cadangan
eksokrin, ter-utama hambatan salivasi, dan bradikardia akibat perangsangan N.vagus.
Midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Mula timbulnya krisis tengah
tergantung pada besamya dosis, dan lebih cepat dari yang ditambahkan ke efek liur. Pemberian
lokal pada saat menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama (7-12 hari),
karena atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladona dapat
diatasi dengan pilokarpin, eserin, atau DFP. Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak
banyak mengalami perubahan. Namun pada pasien glaukoma, terutama pada glaucoma sudut
terbatas, penyaliran cairan intraokular melalui saluran Schlemm akan terhambat karena
muaranya terjepit dalam kondisi midriasis

c. Fisostigmin
• Farmakokinetik
Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cema dan selaput lender lain, juga melalui tempat
suntikan, sedangkan prostigmin dan piridostigmin kurang diserap per oral. Diperlukan dosis
prostigmin min 30 kali lebih besar pada pemberian oral. Efek hipersalivasi baru tampak 1-12
jam setelah pemberian oral 15-20 mg. Seperti atropin, bagian dalam obat tetes mata dapat
menyebabkan efek sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan sudut pandang medial tempat
bermuaranya kanalis lakrimalis. Insektisida organofosfat memperlihatkan koefisien partisi
yang tinggi, karena itu dapat diserap dari semua tempat di tubuh, termasuk kulit. Absorpsi
demikian baik sehingga dapat terjadi hanya karena kulit penuh tersiram insektisida
organofosfat. Bila insektisida disemprotkan di udara, racun ini diserap lewat paru-paru.
Antikolinesterase diikat oleh protein plasma, kemudian ditingkatkan hidrolisis oleh esterase
plasma dan hati, yang lebih cepat dari yang lain. Pada manusia, 1 mg prostigmin misalnya,
telah dirusak dalam waktu 2 jam setelah pemberian subkutan. Ekskresi terjadi melalui urin
sebagai metabolit hasil hidrolisis maupun bentuk utuhnya. Edrofonium berikatan lemah dan
sangat pendek dengan ACHE, kemudia diekskresi cepat melalui ginjal, lalu lama diluncurkan
pun singkat (Sulistia, 2016)
• Farmakodinamik
Mata
Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka nyata terlihat
miosis, lanjutkan daya guna, dan hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam
beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah setengah jam. Kembalinya ukuran pupil ke
ukuran normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari hingga
minggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukanya saluran sehingga pengaliran cairan mata
lebih mudah, maka tekanan intraokuler meningkat, lebih tinggi pada pasien glaukoma.
Hilangnya daya tahan dan hiperemia konjungtiva tidak berlangsung lama, biasanya hilang
jauh sebelum menerima miosis. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi dengan atropin
(Sulistia, 2016)

d. Efedrin
Efedrin mudah dan sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan. Itu diekskresikan sebagian
besar tidak berubah dalam urin, dengan sejumlah kecil metabolit diproduksi oleh metabolisme
hati. Efedrin beragam dilaporkan memiliki paruh plasma mulai dari 3 hingga 6 jam tergantung
pada pH urin (Sulistia, 2016) Efedrin adalah alkaloid yang terdapat di dalam tumbuhan yang
disebut efedra atau ma huang. Bahan herbal yang mengandung efedrin telah digunakan di
Cina selama 2000 tahun, dan sejak kontribusi tahun merupakan komponen obat Cina untuk
berbagai klaim obat pelangsing, obat penyegar atau pelega napas. Efek farmakodinamik
efedrin banyak menimbulkan efek Epi. Perbedaannya adalah efedrin bukan katekolamin,
maka efektif pada pemberian oral, masa depan jauh lebih lama, efek sentralnya lebih kuat,
tetapi diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari dosis Epi. Seperti halnya dengan Epi, efedrin
bekerja pada reseptor alfa, beta 1, dan beta 2. Efek perifer melalui kerja langsung dan melalui
penglepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis terhadap
efek perifernya. Hanya I – efedrin dan efedrin rasemik yang berguna di dalam klinik.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Refleks cahaya, daya
akomodasi, dan tekanan intraokuler tidak berubah (Sulistia, 2016)

e. Lignokain
Lidokain cepat di serap dari tempat suntikan, saluran cerna dan saluran pernapasan dapat
dilewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma janin dapat mencapai 60% kadar dalam
darah ibu.
Dalam hati, lidokain mengubah dekorasinya dengan enzim oksidase ganda (fungsi campuran
oksidatif membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang dapat digunakan
dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Cepat diserap 75% dari
xilidid akan dieksresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-
anilin (Sulistia, 2016)
Lidokain (xilokain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan bantuan
topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih besar
daripada yang ditimbulkan oleh prokain pada konsentrasi yang sebanding. Lidokain
merupakan aminoetilamid dan merupakan prototip dari
anestetik lokal golongan amida. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anestesia infiltrasi,
sedang larutan 1,0-2% untuk anestesia blok dan topi. Anestetik ini efektif jika digunakan
tanpa konstruksi, tetapi kecepatan absorpsi dan toksisitasnya meningkat dan masa
pembuatan lebih pendek. Lidokain merupakan obat yang dipilih untuk mereka yang
hipersensitif terhadap anestetik lokal ester. Lidokain dapat menimbulkan kantuk. Sedia- an
mengandung larutan 0,5-5% dengan atau tanpa epinefrin (1: 50.000 hingga 1:
200.000) (Sulistia, 2016)

4. Efek Samping dan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan


a. Epinefrin
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Reaksi yang tidak di inginkan adalah terjadi nya aritmia ventrikel.
(Sulistia, 2016)

b. Atropin sulfat
Efek samping anti muskarinik hampir semuanya adalah efek dari farmakodinamiknya. Pada
orang muda efek samping kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak
membahayakan. Pada orang lanjut usia dapat terjadi efek sentral terdiri dari gejala demensia.
Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan
pada pasien glaukoma menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang
nyata pada pemberian antimuskarinik yang tergolong amonium kuaterner. Namun demikian,
selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah. Pada dosis toksik semuanya dapat terjadi.
Muka merah setelah pemberian atropin bukan reaksi disetujui pemberian kompensasi kapal
di wajah. Alergi terhadap atropine jarang ditemukan (Sulistia, 2016)

c. Fisostigmin
Physostigmine tidak dapat ditoleransi dengan baik bila digunakan di mata untuk waktu yang
lama dan dapat menghasilkan folikel di konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas juga sering
terjadi. Penggunaan jangka panjang salep oftalmik yang mengandung physostigmine dapat
menyebabkan depigmentasi margin tutup pada kulit yang gelap pasien. (Sweetman, S. C.,
2009)
d. Efedrin
Pada orang yang peka, efedrin dalam dosis yang rendah sudah dapat menimbulkan kesulitan
tidur, tremor, gelisah, dan gangguan berkemih. Pada overdosis timbul efek berbahaya
terhadap SSP dan jantung (Palipitasi) (Rahardja dan Tjay, 2015)

e. Lignokain
Efek samping lildokain biasanya berkaitan dengan SSP, misalnya mengantuk, mendorong,
parestesia, kedutan otot, gang mental, koma, dan bangkitan. Mungkin sekai metabolit
lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut terlibat dalam timbulnya efek
samping ini. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi
ventrikel, atau oleh henti jantung

5. Dosis dan Indikasi


a. Epinefrin
Dosis : Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epinefrin HCl 0,5-2% Epinefrin
borat borat dan 2% epinefrin bitartrat (Sulistia, 2016)
Indikasi : dapat digunakan untuk menangani anafilaksis, hipotensi akibat syok sepsis,
bradikardi, dan cardiac arrest, serta untuk menginduksi dan menjaga kondisi midriasis
saat operasi okular.

b. Atropin Sulfat
Dosis : Obat tetes mata 0,5 – 1% (Sulistia, 2016)
Indikasi : antikolinergik kuat
c. Fisostigmin
Dosis : Tetes mata 0,1% (Sulistia, 2016)
Indikasi : Sebagai Miotikum. Fisostigmin secara lokal digunakan dalam oftalmologi untuk
memperkecil pupil.
d. Efedrin
Dosis : Dalam tetes mata 3-4% (Rahardja. K. dan Tjay. T. H, 2007)
Indikasi : Obat efedrin selain dapat digunakan untuk pengobatan pada mata, efedrin juga dapat
membantu pengobatan funduskopi.
e. Lignokain
Dosis : Pada anastesi biasanya digunakan larutan 0,25% - 0,50%. (Sulistia, 2016)
Indikasi : Selain digunakan sebagai obat bius lokal, lidokain injeksi juga digunakan untuk
mengatasi aritmia atau gangguan irama jantung.
B. Landasan Teori Metode Pengujian Obat
Pada praktikum ini, metode pengujian obat menggunakan software ExPharm 2.0. Selain berguna dalam
pengujian efek obat pada mata kelinci, software ini juga dapat digunakan dalam mengetahui efek obat pada
esofagus katak. Obat-obat yang digunakan adalah larutan fisiologis NaCl 0,9%; Fisostigmin 0,5%; Atropin
sulfat 1%; Efedrin 0,5%; Adrenalin hidroklorida 0,1%; Lignokain hidroklorida 1%.

Parameter yang harus diuji pada praktikum ini adalah tekanan intra okular (high,low, normal); refleks
cahaya (pupil normal/mengecil); refleks korneal (berkedip/tidak); ukuran pupil (besar pupil, diameter pupil).
Dalam pengujian efek obat pada mata kelinci, software tersebut akan memperlihatkan efek obat pada mata
kelinci sebelum dan sesudah diberi obat dengan rangsangan kapas dan cahaya.
BAB III : METODE PENGUJIAN

A. Alat dan bahan


1. Alat
a. Kotak kelinci
b. Penggaris
c. Pipet tetes
d. Senter
e. Kapas
f. Software ExPharam 2.0

2. Bahan
a. Larutan fisiologis NaCl 0.9 %
b. Fisostigmin 0,5 %
c. Atropin Sulfat 1 %
d. Efedrin 0,5 %
e. Adrenalin hidroklorida 0,1 %
f. Lignokain hidroklorida 1 %

3. Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci

B. Klasifikasi hewan coba yang digunakan


a. Kingdom : Animalia
b. Filum : Chordata
c. Subfilum : Vertebrata
d. Kelas : Mammalia
e. Ordo : Lagomorpha
f. Famili : Leporidae
g. Genus : Oryctolagus
h. Spesies : Oryctolagus cuniculus
C. Skema kerja praktikum /kerangka operasional :

Letakkan kelinci di dalam Ukur besar pupil pada Perhatikan warna mukosa
kotak tempat kelinci mata kiri dan kanan konjungtiva kelinci
kelinci

Teteskan obat pada mata Perhatikan reaksi mata Perhatikan refleks


sebelah kiri dan mata kelinci terhadap cahaya palpebral dengan
sebelah kanan sebagai dengan lampu senter menggesek pelan kornea
pembanding kelinci dengan ijuk

Amati perubahan pada Amati perubahan yang


mata (pupil mata, mukosa terjadi lalu cata
konjungtiva, refleks perubahannya
palpebral)
BAB IV : PEMBAHASAN

A. Hasil Praktikum

Nomor
Ukuran Pupil
kelinci/ TIO Refeleks cahaya Refleks kornea
No Intervensi (mm)
Mata
(L/R) Sebelum sesudah Sebelum Sesudah Sebelum sesudah sebelum sesudah
1 Mata Epinefrin Normal Low + + + + 7 mm 9 mm
(L)
Mata NaCl 0,9% Normal Normal + + + + 7 mm 7 mm
(R)
2 Mata Atropin Normal Normal + - + + 7 mm 10 mm
(L)
Mata NaCl 0,9% Normal Normal + + + + 7 mm 7 mm
(R)
3 Mata Efedrin Normal Normal + + + + 7 mm 9 mm
(L)
Mata NaCl 0,9% Normal Normal + + + + 7 mm 7 mm
(R)
4 Mata Fisostigmin Normal Low + + + + 7 mm 4 mm
(L)
Mata NaCl 0,9% Normal Normal + + + + 7 mm 7 mm
(R)
5 Mata Lignokain Normal Normal + + + - 7 mm 7 mm
(L)
Mata NaCl 0,9% Normal Normal + + + + 7 mm 7 mm
(R)

B. Pembahasan Hasil Praktikum

Pupil merupakan salah satu struktur yang ada di tengah iris mata. Pupil memiliki fungsi untuk
menerima dan mengatur masuknya intensitas cahaya ke mata dengan cara merubah ukuran diameter
pupil. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh otot sirkular atau disebut juga sphincter pupillae
muscle yang disarafi oleh system parasimpatis dan juga otot radial atau dilator pupillae muscle yang
disarafi oleh system simpatis. Otot sirkular atau sphincter pupillae muscle dapat menyebabkan pupil
mengalami konstriksi atau mengecilnya ukuran pupil (miosis) dalam penglihatan dengan jarak yang
dekat ataupun terkena paparan cahaya dengan intensitas tinggi. Sedangkan otot radial atau dilator
pupillae muscle dapat menyebabkan pupil mengalami dilatasi atau membesarnya ukuran pupil
(midriasis) dalam penglihatan dengan jarak yang jauh ataupun berada dalam ruangan dengan intensitas
cahaya yang rendah. (Marieb & Hoehn, 2016).
Percobaan pertama diberikan obat epinefrin pada mata kiri kelinci dan mata kanan diberikan
NaCl 0,9%, hasil yang didapatkan setelah pemberian epinefrin yaitu terjadi penurunan tekanan
intraocular (TIO). Terjadinya penurunan TIO dikarenakan epinefrin merupakan obat golongan
adrenergik yang berikatan dengan reseptor adrenergik dan menghambat reseptor β2, sehingga terjadi
penurunan TIO akibat adanya penurunan produksi aqueous humor (Ganiswarma, 2001). Kemudian
dilakukan uji coba refleks cahaya, pada pupil kelinci mengecil dan refleks kornea kelinci berkedip. Hal
ini menunjukan epinefrin tidak memberikan efek pada refleks cahaya dan juga refleks kornea. Hasil lain
yang didapatkan setelah pemberian epinefrin yaitu diameter pupil membesar dari 7 mm menjadi 9 mm,
hal ini dikarenakan epinefrin merupakan obat golongan adrenergik yang bekerja di sistem saraf simpatis
dan dapat berikatan dengan reseptor adrenergik yaitu reseptor α1 yang menyebabkan kontraksi pada
otot radial sehingga terjadi pembesaran diameter pupil atau dikenal dengan midriasis (Katzung, 2018).
Percobaan kedua, diberikan obat Atropine pada mata kiri kelinci dan mata kanan diberikan NaCl
0,9%. Untuk pemberian atropine pada mata kiri kelinci tidak berefek pada tekanan intraokular serta
refleks kornea. Namun memberikan efek pada refleks cahaya, berupa hilangnya kemampuan otot
sirkular dalam mengecilkan ukuran pupil ketika terpapacar cahaya dengan intensitas tinggi. Selain itu
efek yang ditimbulkan dari pemberian atropine yaitu diameter pupil membesar dari 7 mm menjadi 10
mm, hal ini dipengaruhi oleh adanya obat atropine yang merupakan obat golongan antikolinergik yang
bekerja pada sistem saraf parasimpatis dengan memblok reseptor muskarinik M3. Reseptor muskarinik
M3 yang diblok ini tidak dapat berikatan dengan asetilkolin sehingga tidak terjadi kontraksi pada otot
sirkular dan menyebabkan diameter pupil membesar atau mengelami midriasis (Katzung, 2018).
Percobaan ketiga, diberikan obat Efedrin pada mata kiri kelinci dan mata kanan diberikan NaCl
0,9%. Pemberian efedrin tidak memberikan efek pada mata kiri kelinci, dimana tekanan intraokular,
refleks cahaya, dan refleks kornea tidak mengalami perubahan setelah pemberian efedrin. Namun
pemberian efedrin ini memberikan efek pada mata kiri berupa membesarnya ukuran pupil dari diameter
7 mm menjadi 9 mm, hal ini dikarenakan efedrin merupakan obat golongan adrenergik yang bekerja
pada system saraf simpatis dengan mengaktifasi reseptor α1 yang ada pada otot dilator pupil, sehingga
otot dilator pupil mengalami kontraksi dan menyebabkan diameter pupil membesar atau mengelami
midriasis (Katzung, 2018).
Percobaan keempat, diberikan obat Fisotigmine pada mata kiri kelinci dan mata kanan diberikan
NaCl 0,9%. Pemberian fisotigmine pada mata kiri kelinci tidak meberikan efek pada refleks cahaya dan
juga refleks kornea, namun berefek pada tekanan intraokular yang mengalami penurunan dan perubahan
diameter pupil dari 7 mm menjadi 4 mm setelah pemberian fisotigmine. Fisotigmine merupakan obat
asetilkolin inhibitor yang bekerja dengan menghambat enzim kolinesterase, sehingga terjadi
peningkatan kadar asetilkolin. Peningkatan kadar asetilkolin ini mampu berikatan dengan reseptor
muskarin M3 pada saraf parasimpatis, sehingga otot sirkular mengalami kontraksi dan menyebabkan
diameter pupil mengecil atau mengelami miosis (Katzung, 2018). Miosis menyebabkan terbukanya
saluran Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun,
terutama bila ada glaukoma. Hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjungtiva tidak berlangsung
lama dan biasanya tidak tampak lagi, jauh sebelum menghilangnya miosis (Ganiswarna, 2001).
Percobaan kelima, diberikan obat Lignokain pada mata kiri kelinci dan mata kanan diberikan
NaCl 0,9%. Hasil yang didapatkan setelah pemberian lignokain yaitu tidak adanya efek yang
ditimbulkan pada tekanan intraokular, refleks cahaya dan juga ukuran pupil. Namun berefek pada refleks
kornea, dimana kelinci tidak berkedip ketika diberikan rangsangan dengan cotton wool, hal ini terjadi
karena lignokain bekerja dengan meblok kanal Natrium (Na+) sehingga ion Na+ tidak mampu masuk
kedalam sel dan menyebakan membrane sel mengalami repolarisasi, sehingga tidak ada aksi pada system
saraf pusat, dimana kemampuan kelinci untuk berkedip menghilang.
BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan
Obat – obat yang diuji bersentuhan dengan mata sehingga dapat menghindari first pass
metabolism dan memasuki sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah konjungtiva atau melalui rute
nasolacrimal. Diameter pupil mata normal pada kelinci adalah 6 mm. Pada mata kanan diberikan NaCl
0,9% sebagai kontrol.
Pada praktikum ini, digunakan 5 macam obat yaitu epinefrin, atropin, efedrin, fisostigmin, dan
lignokain. Pada pemberian Epinefrin mengalami penurunan TIO, dan perbesaran pupil 1mm. pemberian
atropine tidak mengalami refleks cahaya dan perbesaran pupil 3mm. pemberian Efedrin hanya
mengalami perbesaran pupil 1mm. pemberian Fisostigmin mengalami penurunan TIO dan pengecilan
pupil 4mm. pemberian Lignokain tidak mengalami relek kornea dan perbesaran pupil tetap. Perbedaan
ini dikarenakan efek obat yang diberikan berbeda-beda.

B. Usulan Penelitian
1. Uji Efek Antiglaukoma Infus Daun Kitolod (Isotoma longiflora (L) C.Presl) Terhadap Tikus Putih
Jantan Berdasarkan Tekanan Bola Mata
Glaukoma adalah suatu kelainan pada mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan dalam bola mata
(Tekanan Intraokuler atau TIO) yang disertai pengecilan lapang pandang. Dalam buku yang berjudul
khasiat kitolod penakluk gangguan pada mata karangan Iskandar Ali, secara tradisional tanaman ini
sudah lama digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi gangguan mata seperti katarak, mata minus
serta mengobati kebutaan yang disebabkan karena glaukoma. Tanaman ini mengandung alkaloid seperti:
lobelin, lobelamin, isotomin. Kandungan alkaloid yang terdapat dalam daun kitolod yang diduga dapat
meningkatkan pengeluaran cairan mata.
Pada pengujian kali ini dilakukan ekstraksi daun kitolod segar menggunakan infundasi selama 15 menit
pada suhu 90º C. Setelah diekstraksi kemudian disaring. Infus daun kitolod kemudian dibuat kosentrasi
40%, 50%, 60% menggunakan pelarut NaCl 0,9 %. Setelah dibuat 3 kosentrasi kemudian ukur pH
masing-masing kosentrasi menggunakan pH universal.
Pengukuran bola mata dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali.
a. Ukur tekanan bola mata (Intraokuler) normal
b. Tikus diinduksi dengan menggunakan tetes mata prednisolon asetat 1 % sebanyak 12 tetes dalam
waktu 1 jam (1 tetes setiap ±5 menit) pada mata kanan.
c. Tiga puluh menit setelah diinduksi kemudian diukur tekanan bola matanya dengan menggunakan
tonometer schiotz.
d. Teteskan infus daun kitolod sebanyak 2 tetes pada mata kanan tikus.
e. Pada kelompok baku pembanding positif teteskan tetes mata pilokarpin 2% sebanyak 1 tetes.
f. Setelah 20 menit ukur kembali tekanan bola mata tikus
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, S. G. 2001, Farmakologi dan Terapi edisi 4, Universitas Indonesia, Jakarta


Katzung, Bertram G., 2017, “Basic and Clinical Pharmacology”, 14th ed, McGraw Hill, Amerika
Siska., Sunaryo, H., Wardani, T.K., 2016. Uji Efek Antiglaukoma Infus Daun Kitolod Leaf (Isotoma
longiflora (L) C. Presl) Terhadap Tikus Putih Jantan Berdasarkan Tekanan Bola Mata. Farmasains. 3(2):
74.
.
LAMPIRAN
ATROPIN SULFAT
FISOSTIGMIN
EFEDRIN

LIGNOCAIN

Anda mungkin juga menyukai