LP HNP
LP HNP
Disusun oleh
2. Etiologi
Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya dengan
meningkatnya usia terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan kurang lentur
dan tipisnya nucleus pulposus. Annulus fibrosus mengalami perubahan karena
digunakan terus menerus. Akibatnya, annulus fibrosus biasanya di daerah lumbal
dapat menyembul atau pecah (Moore dan Agur, 2013)
Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh karena
adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus intervertebralis
sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala
trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cidera pada diskus yang
tidak terlihat selama beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun. Kemudian
pada generasi diskus kapsulnya mendorong ke arah medulla spinalis, atau mungkin
ruptur dan memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus doral atau
terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Helmi, 2012).
Pengangkatan beban yang berat pada posisi yang tidak benar juga dapat
menyebabkan hernia nukleus pulposus terjadi pada berbagai arah :
1. Bila menjebolnya nukleus ke arah anterior, hal ini tidak mengakibatkannya
munculnya gejala yang berat kecuali nyeri.
2. Bila menjebolnya nukleus ke arah anterior medial maka dapat menimbulkan
penekanan medulla spinalis dengan akibatnya gangguan fungsi motorik maupun
sensorik pada ektremitas, begitu pula gangguan miksi dan defekasi.
3. Bila menonjolnya ke arah lateral atau dorsal lateral, maka hal ini dapat
menyebabkan tertekannya radiks saraf tepi yang keluar dari sana dan
menyebabkan gejala neuralgia radikuler.
4. Kadangkala protrusi nukleus terjadi ke atas atau ke bawah masuk ke dalam
korpus vetrebal dan disebut dengan nodus Schmorl.
3. Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus bersifat sirkum ferensial.
Karena adanya gaya traumatik yang berulang, sobekan tersebut menjadi lebih besar
dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko HNP hanya
menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat
diasumsikan sebagai gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan waktu
terpeleset, mengangkat benda berat dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus pulposus dapat mencapai ke korpus tulang
belakang diatas atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis
vertebralis. Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat
dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus schmorl. Sobekan sirkum
ferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus intervertebralis berikut dengan
terbentuknya nodus schmorl merupakan kelainan yang mendasari low back pain
subkronis atau kronis yang kemudian disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang
dikenal sebagai ischialgia atau siatika. Menjebolnya nucleus pulposus ke kanalis
vertebralis berarti bahwa nucleus pulposus menekan radiks yang bersama-sama
dengan arteria radikularis yang berada dalam lapisan dura. Hal itu terjadi jika
penjebolan berada disisi lateral. Setelah terjadi HNP, sisa discus intervertebralis
mengalami lisis, sehingga dua korpus vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan
(Muttaqin, 2008).
4. Pathway
5. Klasifikasi
1. Hernia Diskus Intervertebra Servikalis
Biasanya terjadi antar ruang C5-C6 dan C6-C7 (sekitar 10%). Nyeri dan
kekakuan dapat terjadi pada leher, bagian atas pundak dan daerah skapula.
Kadang-kadang px menginterpretasikan tanda ini sebagai gejala masalah jantung
atau bursitis. Nyeri dapat juga disertai dengan parestesia dan kebas pada
ekstremitas atas.
2. Hernia Diskus Lumbal
Banyak terjadi pada L4-L5 atau ruang antara L5-S1 (70-90%). Hernia diskus
lumbal menimbulkan nyeri punggung bawah disertai berbagai derajat gangguan
sensori dan motorik. Px mengeluh nyeri punggung bawah dengan spare otot
yang diikuti dengan penyebaran nyeri ke dalam satu pinggul dan turun ke arah
kaki (skiatika). Nyeri diperberat oleh kegiatan yang menaikkan tekanan cairan
intraspinal (membengkok, mengangkat/mengejan (batuk dan bersin), dan
biasanya berkurang dengan tirah baring. Jika px dibaringkan terlentang dan
diusahakan unguk meninggikan satu kaki dengan posisi lurus, maka nyeri
menyebar ke arah kaki. Karena gerakan yang dilakukan menegangkan saraf
skiatik. Tanda tambahan mencakup kelemahan otot, perubahan reflek rendah,
dan kehilangan sensori.
6. Manifestasi Klinis
1. Kompresi Radiks L3
a. Daerah nyeri dan hipestasi samping panggul dan bagian depan paha
b. Kelemahan kuadriseps femoris
c. Refleks tendon patella (RTP) menurun
2. Kompresi Radiks L
a. Daerah nyeri dan hipestasi samping panggul dan bagian depan paha
b. Kelemahan kuadriseps femoris
c. Refleks tendon patella (RTP) menurun
d. Tanda lasseque positif pada 50% penderita
3. Kompresi Radiks L5
a. Daerah nyeri/hipestasi sepanjang samping tungkai sampai ibu jari kaki
b. Otot ekstensi/fleksi ibu jari kaki melemah
c. Tanda lasseque positif
4. Kompresi Radiks S1
a. Daerah nyeri/hipestasi sepanjang samping tungkai sampai ibu jari kaki
b. Refleks tendon patella (RTP) menurun
c. Tanda lasseque positif
7. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan
mengubah defisit neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus
intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada
kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis
spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan
kompresi medula dan radiks.
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan
2. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada
katrol dan beban.
3. Meredakan Nyeri
Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan
jika perlu kortikosteroid.
4. Terapi Konservatif
a. Tirah baring, berguna untuk mengurangi rasa nyeri mekanik dan tekanan
intradiskal.
b. Medikamentosa :
1) Analgetik dan NSAID
2) Muscle relaxant
3) Kortikosteroid oral
4) Analgetik adjuvant
c. Rehabilitasi medik:
1) Traksi pelvis
2) Termoterapi (terapi panas)
3) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
4) Korset lumbal
5) Latihan dan modifikasi gaya hidup dengan menurunkan berat badan yang
berlebihan.
8. Pemeriksaan Penunjang
1. MRI : Untuk melokalisasi protusi diskus
2. CT Scan
3. Mielogram
4. Pemeriksaan Neurologik : Untuk menentukan jika ada kerusakan refleks, sensori,
motorik karena kompresi radiks
5. EMG (elektromiografi) : Untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang
terkena
9. Komplikasi
Kebanyakan komplikasi HNP berupa kompliksasi pasca operasi
1. Komplikasi potensial untuk pendekatan anterior
a. Cedera arteri karotid atau a vertebral
b. Disfungsi saraf laringeus berulang
c. Perforasi esofagus
d. Obstruksi jalan nafas
2. Komplikasi pendekatan posterior
a. Retraksi/kontusio salah satu struktur
b. Kelemahan otot-otot yang dipersyarafi radiks saraf atau medula
3. Komplikasi bedah diskus
a. Terjadi pengulangan herniasi pada tempat yang sama atau tempat lain
b. Radang pada mebran arachnoid
c. Rasa nyeri seperti terbakar pada derah belakang bagian bawah yang
menyebar ke daerah bokon
d. Sayatan dapat meninggalkan perlekatan dan jaringan parut di sekitar saraf
spinal dan dura, yang akibat radang dapat menyebabkabn neurotik kronik atau
neurofibrosi
e. Cedera syaraf dan jaringan
f. Sindrom diskus gagal (pegal berulang pada pinggul setelah disektomi lumbal)
dapat menetap dan biasanya menyebabkan ketidakmampuan
10. Pencegahan
1. Olahraga, hal ini akan menjaga kelenturan dan kekuatan otot
2. Menghindari aktivitas berulang (repetitif)
3. Mengontrol berat badan sehingga tekanan pada tulang belakang tidak besar
4. Duduk dengan sikap tubuh yang benar
5. Hindari mengendara dalam waktu yang lama
6. Mempelajari teknik mengangkat yang benar.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
HNP terjadi pada umur pertengahan, kebanyakan pada jenis kelamin pria dan
pekerjaan atau aktivitas berat (mengangkat baran berat atau mendorong benda
berat)
b. Keluhan utama
Nyeri pada punggung bawah P, trauma (mengangkat atau mendorong benda
berat) Q, sifat nyeri seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat, mendenyut, seperti
kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-menerus. Penyebaran nyeri
apakah bersifat nyeri radikular atau nyeri acuan (referred fain). Nyeri tadi
bersifat menetap, atau hilang timbul, makin lama makin nyeri . R, letak atau
lokasi nyeri menunjukkan nyeri dengan setepat-tepatnya sehingga letak nyeri
dapat diketahui dengan cermat. S, Pengaruh posisi tubuh atau atau anggota tubuh
berkaitan dengan aktivitas tubuh, posisi yang bagaimana yang dapat meredakan
rasa nyeri dan memperberat nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan
rasa nyeri seperti berjalan, turun tangga, menyapu, gerakan yang mendesak.
Obat-oabata yang ssedang diminum seperti analgetik, berapa lama diminumkan.
T Sifanya akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap, hilng
timbul, makin lama makin nyeri.
c. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya di dahului dengan kaki kesemutan pasien mempunyai riwayat pernah
jatuh atau sering mengangkat atau mendorong beban berat yang mengakibatkan
tulang belakang bermasalah dan dilakukan operasi.
d. Riwayat penyakit dahulu
. Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma
multipleks), metabolik (osteoporosis)
- Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri
punggung bawah
e. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.
f. Pola kebutuhan
1. Pola persepsi dan tata laksana terhadap sehat :
Biasanya klien merasakan kecemasan terhadap kondisi penyakitnya dan
proses penyembuhan.
2. Personal hygiene
Tergantung terhadap keluarga yang merawat dalam memenuhi kebutuhan diri
sendiri
3. Pola nutrisi dan metabolisme
Tidak ada penurunan berat badan
4. Pola aktivitas
Kebanyakan dibantu oleh keluarga dalam pemenuhan kebutuhan dirinya
5. Pola eliminasi
Biasanya terpasang dower kateter karena kelemahan untuk kencing secara
spontan
6. Pola istirahat / tidur
Tidak ada kesulitan dalam tidur
7. Pola tata nilai dan kepercayaan
Tidak ada tata nilai kepercayaan tertentu
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum :
Keadaan HNP umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahn pada tanda – tanda vital, contohnya bradikardi yang menyebabkan
hipotensi yang berhubungan dengan penurunan
2. Tanda – tanda vital : tingkat keterjagaan klien biasanya composmentis
3. Pemeriksaan persystem
1). B1 (breathing)
Jika tidak mengganggu sistem pernapsan biasanya didapatkan; pada
inspeksi, ditemukan tidak ada batuk, tidak ada sesak napas, dan frekuensi
pernapasan normal; palpasi taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada
perkusi, terdapat suara resonan pada seluruh lapang paru. Auskultasi tidak
terdengar bunyi napas tambahan.
2). B2 (blood)
Jika tidak ada gangguan pada sistem kardiovaskuler, biasanya nadi
kualitas dan frekuensi nadi normal, dan auskultasi tidak ditemukan bunyi
jantung tambahan
3). B3 (brain)
Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, adanya ungulus,
pelvis miring/ asimetris, muskulatur paravertebral atau pantat yang
asimetris, postur tungkai yang abnormal. Hambatan pada pergerakan
punggung, pelvis dan tungkai selama pergerak.
Fungsi serebral : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah dan aktivitas motoric. Pada klien yang telah lama
menderita HNP biasanya status mental klien mengalami perubahn.
Fungsi saraf kranial :
- Saraf I : biasanya pada klien HNP tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
- Saraf II : tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III, IV dan IV : biasanya tidak mengalami gangguan mengangkat
kelopak mata, pupil isokor
- Saraf V : pada klien HNP umunya tidak didapatkan paralisis pada otot
wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada kelainan.
- Saraf VII : persepsi pengeccapan dalam batas normal, wajah simetris
- Saraf : VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan utli persepsi
- Saraf IV dan X : kemampuan menelan baik
- Saraf XI : tidak ada otrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
- Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi tidak ada
fasikulasi. Indara pengecapan normal.
4). B4 (bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karekteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal
5). B5 (bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adannya mual dan asupan nutrisi
yang kurang. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan
adanya dehidrasi.
6). B6 (bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas dan menggerakkan badan karena
adanya nyeri, kelemahan, kehilangan sensori, serta mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
o Look. Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, adanya
angulus, pelvis yang miring/asimetris, muskulatur paravertebral atau
pantat yang asimetris, dan postur tungkai yang abnormal.
o Feel. Ketika meraba kolumna vertebralis dicari kemungkinan adanya
deviasi kelateral atau antero-posterior. Palpasi dari area dengan rasa
nyeri ringan kearah yang paling terasa nyeri.
o Move. Adanya kesulitan atau hambatan dalam melakukan pergerakan
punggung, pelvis, dan tungkai selama bergerak.
8. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan penyempitan saraf pada diskus intervertebralis,
tekanan di area distribusi ujung saraf
2. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik,
kesulitan atau hambatan dalam melakukan pergerakan punggung, pelvis, dan
tungkai.
3. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum,
himepereses/hemiplegia
4. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilitas, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer, tirah baring lam
5. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis kondisi sakit, program
pengobatan, tirah baring lama.
9. Intervensi
11. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi merupakan
tindakan elektual untuk melengkapi proses keperwtan yang menandakan seberapa
jauh diagnosa keperawawatan, rencana tindakan dan penatalaksanaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arief. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta.