PENDAHULUAN
15% dari total produksi pewarna dunia hilang selama proses pencelupan dan
beberapa dilepaskan dalam limbah tekstil. Pelepasan air limbah berwarna di ekosistem
adalah sumber polusi estetika, eutrofikasi dan gangguan pada lingkungan hidup air. Karena
standar lingkungan internasional menjadi lebih diperketat (ISO14001, Oktober1996). Selain
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan industri lainnya, limbah tekstil dihasilkan
dalam kuantitas yang besar. Limbah ini didominasi oleh kandungan zat warna yang
digunakan dalam proses pewarnaan tekstil sehingga diperlukan pengolahan khusus untuk
menyisihkan pencemar zat warna tersebut. Metilen Biru merupakan zat warna yang umum
digunakan dalam industri tekstil karena kemudahannya dalam teknik pencelupan. Beberapa
hal terkait keberadaan zat warna dalam limbah cair tekstil, antara lain (Won, Sung Wook et
al.,2006) :
1 Keberadaan zat warna dalam limbah tekstil ini mengganggu estetika badan air dan
tidak diinginkan;
2 Zat warna reaktif dan asam yang berwarna cerah dan larut dalam air adalah zat
warna yang paling membawa masalah karena cenderung lolos dan tidak terpengaruh
oleh sistem pengolahan konvensional
3 Sehubungan dengan struktur kimianya, zat warna resistant terhadap kelunturan
ketika terkena cahaya, air dan senyawa kimia lainnya.
4 Zat warna biasanya memiliki inti sintetik dan struktur molekul aromatik kompleks
yang membuat mereka lebih stabil dan sulit di-biodegradasi
1
seperti flokulasi, presipitasi, adsorpsi dan activated carbon. AOP didasarkan pada
pembentukan dan penggunaan hidroksil radikal sebagai oksidan utama untuk proses
degradasi polutan organik. Hidroksil radikal sendiri dibentuk melalui reaksi antara katalis,
sinar UV, ion OH- dan H2O, dimana semi konduktor yang diaktifkan oleh radiasi ultra-violet
(UV) bertindak sebagai katalis untuk menghancurkan kontaminan organik. Di antara
berbagai jenis AOP diketahui bahwa proses fotokatalitik heterogen dengan katalis Titanium
Dioksida (TiO2) memiliki tingkat destruktif polutan yang baik (Mahvi,A.H et al., 2004).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1. Titanium Dioksida
TiO2 adalah salah satu material yang banyak diteliti karena sifatnya yang menarik.
Meskipun telah ditemukan lebih dari 200 tahun yang lalu dan telah diteliti sejak 85 tahun
yang lalu namun hingga kini penelitian tentang TiO 2 masih aktif dan tetap dikembangkan
(Hoffmann et al., 1995). TiO2 ditemukan pertama kalinya pada tahun 1821, dan tahun 1916
telah dikomersialkan sebagai zat pewarna putih. Titanium oksida atau yang lebih sering
disebut titania adalah keluarga (IV) oksida yang merupakan semikonduktor dengan celah
terlarang 3,0 untuk rutil dan 3,2 eV untuk fasa anatase (Hoffmann et al., 1995; Fujishima et
al., 1999). Secara kimia titanium dioksida dituliskan dengan lambang TiO2. Senyawa ini
biasa digunakan sebagai pigmen pada cat tembok (Braun et al., 1992), tabir surya (Zallen
and Moret, 2006) pasta gigi (Yuan and Chen, 2005) solar sel, sensor, perangkat memori
serta sebagai fotokatalis.
Ti merupakan kristal yang berwarna putih dan juga salah satu logam berlimpah nomor
empat di dunia setelah aluminium, besi, dan magnesium. Selain itu, titanium juga
merupakan elemen berlimpah kesembilan (mencakup 0,63% padakerak bumi) 0,6% mineral
TiO2 yang utama adalah FeTiO3 (iliminite), CaTiO3 (perovskite). Titanium memiliki indeks
bias (n) yang sangat tinggi yaitu 2,4 dalam bentuk bubuk dan 2,7 dalam bentuk lapisan tipis
(Dongsun et al., 2007). Ti juga tahan terhadap degradasi warna akibat sinar matahari
dengan titik lebur 1885˚C. Ada dua bentuk alotropi dan lima isotop alami dari unsur yaitu Ti-
46 sampai Ti-50 dengan Ti-48 yang paling banyak terdapat di alam (73,8%) (Merck, 2000).
Secara fisika titanium memiliki sifat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Titanium
memiliki massa jenis yang rendah, tahan karat, memiliki biokompabilitas yang tinggi dengan
tubuh (Supriyanto dkk., 2007) sehingga dapat digunakan sebagai produk implan dalam
tubuh. Kristal TiO2 bersifat asam dan tidak larut dalam air, asam klorida, asam sulfat encer
dan alkohol namun larut dalam asam sulfat pekat dan asam fluorida.
Tabel 2.1. Sifat fisika TiO2
3
TiO2 dibuat dari ilmenite dan rutil, yang menghasilkan dua bentuk alotropi atau
bentuk struktur kristal yang berbeda dari unsur yang sama, yaitu anatase dan rutil. TiO 2
memiliki tiga fasa polymorpik yaitu rutil (tetragonal, 4,120 g/cm 3), anatase (tetragonal, 3,894
g/cm3), dan brookite (4,120 g/cm3 orthorombik). Fasa anatase dan rutil memiliki struktur
kristal tetragonal, namum memiliki perbedaan grup ruang (space group). Anatase memiliki
grup ruang IA1/amd dengan empat unit dalam satu unit sel dan rutile memiliki P42/mnm
dengan dua unit TiO2 dalam satu unit sel (Zhang et al., 1999). Pada proses fotokatalisis
fasa rutil maupun anatase d apat digunakan namun dalam aplikasinya anatase memiliki
potensi yang paling besar untuk digunakan sebagai fotokatalis (Tanaka et al., 1991) karena
memiliki struktur kisi yang sesuai dengan aktivitas fotokatalis yang tinggi. Struktur rutil lebih
stabil pada suhu tinggi dan anatase pada suhu rendah. Struktur rutil dan anatase dapat
digambarkan dengan TiO6 oktahedra, di mana setiap ion Ti4 + dikelilingi oleh enam ion O2-
Struktur anatase dan rutil digambarkan pada Gambar 2.1 dan 2.2. Perbedaan dari kedua
struktrur kristalin terletak pada distorsi struktur oktahedronnya. Pada rutil, struktur
oktahedronnya sedikit distorsi orthorhombik. Sementara anatase, distorsi jauh lebih besar,
sehingga strukturnya kurang simetris dibandingkan orthorhombik. Jarak antara Ti-Ti lebih
besar pada anatase, yaitu 3,79 Å dan 3,4Å, sementara pada rutile adalah 3,57 dan 2,96 Å,
jarak Ti-O lebih besar di rutil.
Gambar 2.1.1.1. Struktur anatase TiO2 (Howard et al., 1992). Pemodelan kristal
menggunakan Ball and Stick Beta 8.1 (BS) (Kang and Ozawa, 2004).
4
Gambar 2.1.1.2. Struktur rutil TiO2 (Kennedy and Stampe, 1991). Pemodelan Kristal
menggunakan Ball and Stick Beta 8.1 (BS) (Kang and Ozawa, 2004).
Untuk beberapa aplikasi struktur rutil lebih banyak digunakan daripada anatase
karena memiliki sifat fisik yang unik misalnya berkilau, keras dan tahan terhadap korosi. Sel
satuan pada rutil adalah tetragonal dengan atom-atom logam terletak pada sudut-sudutnya.
Struktur rutil dari TiO2 pada umumnya dapat digambarkansebagai suatu distorsi barisan
oksida heksagonal tertutup dengan setengah dari oktahedral diduduki oleh atom Ti. Struktur
brokit dari TiO2 mengkristal dalam struktur orthorombik, yang memiliki simetri yang polimorf
(memiliki struktur kristal yang tidak teratur) dan akan berubah menjadi fasa rutil pasda
temperatur sekitar 750°C (Chen., et al 2008).
Fasa brookite sangat jarang terjadi dalam fasa TiO2, fasa brookite terjadi pada temperatur
200°C dengan densitas sebesar 4,133 gram/cm3 dan memiliki empat molekul titania dengan
unsur titanium memiliki empat ion positif serta dua ion negatif dari oksigen. Fasa brookite
memiliki kesetabilan pada temperatur 200°C sampai 400°C, dan fasa ini tidak terbentuk
sama sekali pada selang temperatur 600°C sampai 800°C (Bakardjieva et al., 2006). Dalam
skala nanometer, brookite dapat digunakan sebagai lapisan tipis dengan mengabsorbsi
energi foton dari suatu cahaya. Dengan demikian akan mempercepat peristiwa fotolistrik
dengan celah terlarang sebesar 3,5 eV untuk satu molekul titania sehingga fasa ini juga baik
digunakan sebagai fotokatalis.
5
secara umum TiO2 memiliki aktivitas fotokatalisis yang lebih tinggi dari pada fotokatalisis lain
seperti ZnO, CdS, WO2, dan SnO2 (Okamoto et al., 1985).
Sifat fotokatalitik titanium dioksida pertama kali ditemukan oleh Akira fujishime pada
tahun 1967 dan diterbitkan pada tahun 1972 (Fujishime et al., 1999). Titanium dioksida
memiliki potensi untuk digunakan dalam produksi energi sebagai fotokatalis, dapat
melakukan hidrolisis yaitu memecah air menjadi hidrogen dan oksigen. Dalam proses
fotokatalis, semikonduktor TiO2 membutuhkan serapan energi yang lebih besar dari selang
energinya. Aktifitas fotokatalis ini membutuhkan penyerapan sinar ultraviolet (UV) untuk
membentuk dua pasangan elektron dan lubang (hole). Elektron yang tereksitasi pada pita
konduksi dan lubang yang terdapat pada pita valensi dapat bergabung kembali dan
mengubah input energi menjadi panas atau terperangkap pada permukaan menjadi stabil.
Gabungan elektron yang diadsorpsi pada permukaan semikonduktor atau disekitar medan
listrik muatan partikel bisa juga menjadi pengubah input energi. Pada Gambar 2.1.2
diberikan beberapa tahap mekanisme foto kimia (Banarjee et al., 2006).
Absorpsi foton dan pasangan elektron-lubang serta migrasi elektron dan lubang, (1)
dan (2) merupakan proses rekombinasi elektron-lubang pada permukaan, (3) reduksi
akseptor elektron, (4) oksidasi donor elektron. Energi absorpsi foton akan mengakibatkan
elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi sehingga mengakibatkan transfer
elektron ke molekul oksigen membentuk ion radikal superoksida (*O2) dan transfer elektron
dari molekul air ke lubang pita valensi membentuk radikal hidroksil (*OH). Sebagai
fotokatalis yaitu bahan yang berfungsi mempercepat reaksi yang diinduksi oleh cahaya,
TiO2 mempunyai struktur semikonduktor yang memiliki struktur elektronik yang
dikarakterisasi oleh adanya pita valensi terisi dan pita konduksi yang kosong. Kedua pita
tersebut dipisahkan oleh celah terlarang (band gap energy) sebesar 3,2 eV untuk anatase
6
dan 3,0 eV untuk fasa rutil. TiO 2 dalam fasa anatase mempunyai aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fasa rutil, fasa anatase TiO2 memiliki luas permukaan yang lebih
besar dan ukuran yang lebih kecil dibanding rutil (Matthews, 1992). Bentuk kristal anatase
yang diamati pada penelitian terjadi pada pemanasan TiO2 serbuk mulai dari suhu 120°C
hingga menjadi fasa anatase sempurna pada 500°C. Kemudian pemanasan pada suhu
700°C mulai terbentuk kristal rutil (Ollis and Elkabi, 1991) dan terjadi penurunan luas
permukaan serta pelemahan aktivitas fotokatalis secara drastis.
Fotokatalis TiO2 dapat menjadi fotodegradasi yang baik untuk penetrasi limbah,
seperti penumbuhan bakteri eschericha coli melalui bantuan sinar fotokatalis yang telah
berhasil dilakukan dan hasilnya bakteri tersebut mati (Sunada et al., 2003). TiO 2 mampu
memacu reaksi oksidasi pada polutan dalam limbah hingga terurai
7
adsorpsi yang sangat kuat. Pada umumnya methylene blue digunakan sebagai pewarna
sutra, wool, tekstil, kertas, peralatan kantor dan kosmetik. Senyawa ini berupa kristal
berwarna hijau gelap. Ketika dilarutkan, methylene blue dalam air atau alkohol akan
menghasilkan larutan berwarna biru. Methylene blue memiliki berat molekul 319,86 gr/mol,
dengan titik lebur di 105°C dan daya larut sebesar 4,36 x 104 mg/L (Endang Palupi, 2006:6).
Struktur methylene blue tertera pada Gambar 2.2.
8
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Material.
Empat fotokatalis industri yang berbeda telah digunakan: Titania Degussa P-25 dan
tiga katalis TiO2 yang disiapkan oleh Milenium Bahan Kimia Anorganik (PC-10; PC-50, PC-
500) telah digunakan. Karakteristiknya diberikan pada Tabel 1. Metilen biru dipasok oleh
perusahaan tekstil dan digunakan sebagai diterima. Solusi disiapkan menggunakan air dari
unit pemurnian Millipore Waters Milli-Q.
Table 3.1. Characteristics of different industrial TiO2 catalysts and amount of MB adsorbed
on these TiO2 samples at natural pH.
3.3. Prosedur.
Adsorpsi dan degradasi fotokatalitik metilen biru (MB), dilakukan dengan
menggunakan volume 750mL MB yang diperkenalkan dalam fotoreaktor dengan 375mg
serbuk TiO2, sesuai dengan konsentrasi titania dalam bubur sama dengan 0,5 g TiO2 / L.
Konsentrasi MB dipilih sama dengan 84.2μmol / L, yaitu, identik dengan yang digunakan
dalam penelitian kami sebelumnya tentang penghilangan zat warna. Adsorpsi dan degradasi
dilakukan pada 293K dan pada tiga pH yang berbeda, disesuaikan dengan menggunakan
NaOH atau HClO4. Untuk degradasi fotokatalitik MB, suspensi pertama kali diaduk dalam
gelap selama 120 menit sebelum iradiasi. Ini cukup untuk mencapai adsorpsi yang
seimbang dalam gelap sebagaimana disimpulkan dari konsentrasi kondisi-mapan yang
9
diukur. Pengaruh elektrolit anorganik ditentukan dengan menggunakan garam natrium:
NaNO3, NaCl, Na2SO4, Na2CO3, Na 3PO4, kecuali dinyatakan lain.
3.4. Analisis.
Sebelum analisis, sampel air disaring melalui cakram Millipores 0,45μm untuk
menghilangkan aglomerat TiO2. Spektrofotometer UV / Vis "Safas Monaco 2000" yang
merekam spektrum pada rentang 190-750nm digunakan untuk penentuan konsentrasi MB
untuk mengikuti kinetika penghilangannya. Diagram Beer-Lambert dibuat untuk
mengkorelasikan absorbansi pada konsentrasi 670nm ke MB. Chemical Oxygen Demand
(COD) ditentukan dengan menggunakan Bioblock COD analzer, berdasarkan metode
oksidasi asam oleh dikromat.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1. Kuantitas MB yang diserap oksigen pada TiO2 DegussaP-25 (Qe: mg/g) untuk
prosedur baru yang dijelaskan dalam teks.
untuk C = 0,2 mol / L. Pada pH = 8 fosfat hadir sebagai 75% HPO42− dan 25% H2PO4−,
sedangkan karbonat terutama hadir sebagai HCO3−. Kuantitas spesifik dari MB yang
diadsorpsi (Q) telah diplot sebagai fungsi waktu untuk ketiga prosedur. Penambahan MB
dan ion secara simultan (prosedur 1) dan penambahan MB setelah adsorpsi awal ion
anorganik (prosedur 3) menghasilkan kurva yang sangat mirip (Gambar 1a-b). Gambar 1c
menunjukkan kinetika desorpsi MB dengan penambahan ion. Dalam semua kasus,
keseimbangan tercapai setelah sekitar 90 menit.
11
Adsorpsi kompetitif antara pewarna dan anion, di mana ion harus memodifikasi sifat
superfisial TiO2 dapat dipertimbangkan untuk menjelaskan perilaku ini. Hipotesis ini setuju
(i) dengan sejumlah permukaan TiO2 untuk anion fosfat, sulfat, dan klorida, yang ditemukan
dengan metode pelacak radioaktif dengan anion berlabel dan juga (ii) dengan adsorpsi ion
fosfat yang lebih besar dibandingkan dengan nitrat dan ion klorida, diamati oleh Boehm.
Namun, pewarna kationik seperti MB tidak dapat menyerap di situs yang sama dengan
anion. Tidak ada penghalang sterik dari anion yang dapat digunakan karena ion karbonat
memiliki ukuran lebih kecil dari sulfat dan fosfat. Oleh karena itu, persaingan adsorpsi hanya
dapat terjadi jika itu adalah garam, Na+, yang bersaing dengan MB. Dalam hal ini,
penghambatan yang lebih kecil dari garam monosodik (nitrat dan klorida) dibandingkan
dengan garam disodik (sulfat dan karbonat) dapat dijelaskan dengan jumlah natrium yang
ada dalam larutan. Sodium fosfat mengandung tiga atom natrium dan harus lebih
menghambat untuk adsorpsi MB daripada karbonat tetapi tidak demikian halnya. Hipotesis
lain untuk menjelaskan penghambatan
Gambar 4.1.1. Kinetika adsorpsi MB dengan adanya garam natrium anorganik (nitrat,
klorida, sulfat, fosfat et karbonat) [BM] i = 84,2 μmol / L, [ion] i = 0,02mol / L, [TiO2 P25] =
0,5 g / L (a) co-adsorpsi MB dan ion (b) Ion pra-teradsorpsi (c) MB pra-adsorbsi.
12
Gambar 4.1.1. Kinetika adsorpsi komparatif MB di hadapan natrium sulfat atau kalium sulfat.
[BM] i = 84.2μmol / L [Na2SO4] = [K 2SO4] = 0.02mol / L, [P25] = 0.5g / L.
Pola berbagai garam natrium adalah pembentukan lapisan anorganik pada permukaan TiO2
lebih atau kurang penting tergantung pada kelarutan garam. Kelarutan garam yang tinggi
mengurangi adsorpsi garam dan akibatnya menguntungkan dari MB. Pengaruh dari
kelarutan pad1a adsorpsi telah diamati oleh salah satu dari kami untuk senyawa organik
[38]. Ini dikonfirmasi dengan mempelajari adsorpsi MB di hadapan natrium dan kalium sulfat
(Gambar 2). MB kurang teradsorpsi di hadapan kalium daripada di hadapan natrium karena
kelarutan kalium sulfat yang lebih kecil. Pengaruh ion pada penghambatan adsorpsi
dikloroetana (DCE) telah dipelajari oleh Chen et al. yang menemukan urutan berikut
fosfat> sulfat> karbonat> nitrat> klorida
Mereka menganggap persaingan antara DCE dan spesies anionik. Ini dimungkinkan
mengingat netralitas molekul organik yang diteliti.
13
Gambar 4.1.2.1. Kuantitas MB yang teradsorpsi pada kesetimbangan (dalam mgMB / g
kucing) sebagai tidak ada perbedaan pada pH awal. [BM] i = 84.2μmol / L [garam] =
0,02mol/L, [TiO2 P25] = 0,5g / L.
Gambar 4.1.2.2. persentase penghambatan adsorpsi MB, oleh berbagai garam anorganik,
sebagai fungsi dari pH. [BM] i = 84.2μmol / L [garam] = 0,02mol / L, [P25] = 0,5g / L.
Saat ini dari keadaan anionik: pada pH netral (6,5), HCO3− dan H2PO4− sebagian
besar hadir, sedangkan pada pH = 9, HPO42− dan campuran HCO3− / CO32− hadir
(Gambar 4). Oleh karena itu, keadaan anionik tampaknya tidak berada pada asal modifikasi
MB adsorpsi. Faktor penghambatadsorpsi dapat ditetapkan sebagai:
% inhibisi = ((Q0 −Qs) / Q0) × 100
di mana Q0 dan Qs adalah jumlah MB yang diserap masing-masing tanpa adanya dan
dengan adanya garam. Karena tidak ada anion karbonat pada pH = 3, penghambatan yang
diamati mungkin karena ClO4 ditambahkan sebagai asam perklorat untuk menurunkan pH.
Gambar 4 menunjukkan bahwa, apa pun garam yang digunakan, penghambatan adsorpsi
lebih tinggi pada pH asam, karena MB + kationik ditolak oleh spesies Ti-OH2 + positif yang
ada dalam kasus itu dan tertarik oleh TiO− yang hadir pada pH dasar.
14
Gambar 4.1.2.3. persentase penghambatan adsorpsi MB pada katalis TiO2 industri yang
berbeda oleh garam anorganik yang berbeda. [BM] i = 84.2 μmol / L pada pH alami (pH = 5
kecuali dalam kasus penambahan karbonat dan fosfat di mana pH sekitar 6.9); [garam] =
0,02mol/L.
15
Tabel 4.2.1. Konstanta kinetik orde pertama dari adsorpsi, ka (min-1), dari MB pada TiO2
Degussa P-25 dan pada TiO2 PC-500 dengan adanya garam anorganik. Dalam semua
kasus, MB dan garam diperkenalkan secara bersamaan
Telah diamati sebelumnya bahwa beberapa partikel titania yang tak terlihat dapat
tetap melekat pada dinding kaca dari sebuah photoreactor dan selanjutnya dapat
memberikan kinetika yang sangat tinggi dari degradasi fotokimia murni. Kinetika hilangnya
MB, di hadapan TiO2, dengan dan tanpa penambahan garam natrium yang berbeda diwakili
dalam Gambar 6a. Tampaknya sedikit penghambatan aktivitas fotokatalitik MB di hadapan
ion. Beberapa hipotesis disarankan dalam literatur untuk menjelaskan penghambatan
fotokatalisis dengan adanya ion: (i) reduksi penyerapan cahaya oleh fotokatal yang diinduksi
oleh fotokatalasia suchas (Fe3 +) [39] yang berperan sebagai filter dalam; (ii) peningkatan
rekombinasi h + dan e− [40]; (iii) perangkap radikal OH◦ atau spesies pengoksidasi lainnya
[31, 41-43] dan (iv) persaingan adsorpsi dengan reaktan pada permukaan katalis [42, 43].
Degradasi fotokatalitik reaktan R umumnya mematuhi mekanisme berikut. - Penyerapan
foton efisien (hν ≥ Eg = 3.2eV, mis., Λ <400nm) oleh titania, dan pembentukan e− / h +
pasangan
16
Gambar 4.2.1. (a) Pengaruh garam anorganik pada laju degradasi MB awal (ro) di hadapan
TiO2 P25 pada pH alami; (b) Laju degradasi MB (ro) sebagai fungsi dari jumlah MB yang
diadsorpsi pada TiO2 (Qads). Jumlah MB yang diadsorpsi dimodifikasi dengan penambahan
garam anorganik natrium yang berbeda. Segitiga mewakili tingkat degradasi yang diamati
dengan menggunakan kalium sulfat. [BM] i = 84.2μmol / L, [garam] = 0,02mol / L,
konsentrasi titania Degussa P25 = 0,5g / L, pHn, V = 750mL
Menurut literatur, oksidasi oleh spesies OH◦ dapat terjadi baik pada permukaan
partikel atau dalam larutan. Garam yang digunakan dalam penelitian ini tidak menyerap
foton yang efisien untuk titania. Telah disebutkan dalam literatur bahwa NO3− mungkin
dapat menyerap foton. Namun, dengan εmax = 7Lmol − 1 cm − 1 pada λ = 300nm, setiap
efek filter bagian dalam karena NO3 due harus diabaikan. Penangkapan radikal hidroksil
oleh anion tidak dapat menjelaskan pola penghambatan yang ditemukan untuk garam yang
berbeda: Nitrat <klorida <sulfat <fosfat <karbonat Memang, konstanta laju pemulungan OH◦
oleh spesies HCO3− atau H2PO4− sekitar 100 kali lebih kecil dari pada oleh Cl− atau
SO42− (Tabel 4). Selain itu, konstanta laju reaksi OH◦ dengan HCO3− kurang penting
17
dibandingkan dengan sejumlah besar senyawa organik [52]. Jika penghambatan oleh
berbagai garam disebabkan oleh pemulungan OH◦ oleh anion, pola aktivitas harus, pada pH
alami, dalam urutan berikut: Sulfat> klorida> nitrat> karbonat> fosfat Karena pola
penghambatan oleh garam natrium yang berbeda identik baik untuk adsorpsi MB atau untuk
aktivitas fotokatalitik dan karena laju reaksi sebanding dengan jumlah MB yang diadsorpsi
(Gambar 6b), dapat disarankan bahwa penghambatan yang diamati disebabkan oleh
pembentukan. dari lapisan anorganik di permukaan TiO2, yang mengurangi adsorpsi MB. Ini
sesuai dengan aktivitas fotokatalitik TiO2 yang lebih rendah di hadapan kalium sulfat yang
kelarutannya lebih kecil mendukung adsorpsi. Ini diilustrasikan oleh Gambar 6b di mana nilai
ro sebagai fungsi dari jumlah MB yang diserap diwakili oleh segitiga terbuka. Selain itu,
dapat dicatat bahwa pola penghambatan yang diamati untuk hilangnya MB dipertahankan
untuk hilangnya COD (Chemical Oxygen Demand) (Gambar 6c).
18
Gambar 4.2.2.1 Pengaruh garam anorganik pada pH berbeda pada laju degradasi
fotokatalitik MB. PH diatur dengan HClO4 atau NaOH. [BM] i = 84.2μmol / L, [garam] =
0,02mol / L, [P25] = 0,5g / L, pHn, V = 750mL.
sebagai fungsi dari konsentrasi garam yang ditambahkan. Penghambatan ini berbanding
lurus dengan jumlah MB yang diadsorpsi apa pun yang terjadi pada HP (Gambar 8a, b).
Secara alami HP, sifat anion tidak memengaruhi aktivitas fotokatalitik, sedangkan, pada pH
asam, degradasi MB tampaknya bergantung padanya. Gambar 9 mewakili semua tingkat
reaksi awal hilangnya MB yang diamati pada pH yang berbeda, dengan ion yang berbeda
pada konsentrasi yang berbeda. Pada pH alami dan dasar, faktor utama yang memodifikasi
laju degradasi MBphotocatalytic adalah jumlah MB yang teradsorpsi. Kuantitas ini adalah
fungsi dari peningkatan situs anionik TiO− dan pembentukan lapisan garam anorganik pada
permukaan TiO2. Pada pH dasar, kenaikan laju lebih disebabkan oleh adsorpsi MB + yang
menguntungkan daripada peningkatan yang mungkin pada formasi OHpr karena
pendahulunya, anionOH ini dihilangkan oleh spesies permukaan TiO− yang bermuatan
negatif. hasil ini setuju dengan contrario dengan pengaruh pH pada degradasi Orange G,
yang memiliki tingkat penghilangan yang lebih rendah pada pH basa karena sifat anioniknya
[53]. Pada pH asam, penyimpangan yang sama dari garis lurushichisonlyvalidabovepH3
(Gambar9) diobservasi untuk semua aditif, menunjukkan adanya
19
Gambar 4.2.2.2. Variasi tingkat awal MB menghilang sebagai fungsi dari kuantitas Q MB
teradsorpsi pada pH netral dengan konsentrasi ion yang berbeda. Dalam sisipan: ro
sebagai fungsi konsentrasi ion; (B) sebagai fungsi MB teradsorpsi, pada pH asam, dengan
konsentrasi ion yang berbeda. Dalam sisipkan: ro sebagai fungsi konsentrasi ion.
Gambar 4.2.2.3. Variasi dari tingkat awal MB menghilang sebagai fungsi dari kuantitas Q
MB teradsorpsi pada pH yang berbeda, untuk garam yang berbeda pada konsentrasi yang
berbeda.
20
Gambar 4.2.2.4. Variasi tingkat awal MB menghilang sebagai fungsi dari kuantitas Q MB
teradsorpsi untuk berbagai fotokatalis asal industri.
Fenomena yang berbeda dari penghambatan adsorpsi MB oleh informasi dari organik
bergerak di permukaan TiO2. Dapat disarankan bahwa anion anorganik mengais beberapa
radikal OH◦ karena daya tarik anion yang kuat oleh situs TiOH2 + positif.
21
BAB V
KESIMPULAN
Pada pH netral dan basa, penurunan efisiensi foto titania yang disebabkan oleh
penambahan garam anorganik terutama disebabkan oleh pembentukan lapisan anorganik
pada permukaan TiO2 yang menghambat adsorpsi MB dan bukannya memulung spesies
aktif oleh anion seperti yang diterima secara umum. Dalam kasus khusus ion karbonat, pada
pH alami (pH = 6,8 setelah penambahan karbonat), ion HCO3− hanya ada (tidak ada ion
CO32−). Mempertimbangkan konstanta laju reaksi OH° dengan ion yang berbeda yang
diberikan dalam literatur, nilai HCO3− kecil dibandingkan dengan nilai yang diberikan untuk
garam lain, meskipun garam karbonat yang ditambahkan selalu merupakan garam yang
paling menghambat. Peningkatan efisiensi fotokatalitik titania pada pH basa terutama
disebabkan oleh peningkatan kepadatan permukaan situs adsorpsi TiO − daripada
peningkatan pembentukan lebih banyak radikal OH° yang dibentuk oleh reaksi OH− dengan
h+. Tergantung pada sampel ori 2 industri, sifat adsorpsi dan penghambatan oleh garam
anorganik dimodifikasi. Studi lebih lanjut harus dilakukan untuk lebih memahami fotoaktivitas
yang berbeda yang diamati.
22