Anda di halaman 1dari 26

Tugas Mandiri

Pengobatan Rasional

HASIL DISKUSI PANEL SKENARIO 1

Nama : Nasrah

Stambuk : 15120190094

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
STEP 6

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan defenisi dan etiologi dari TB dan
HIV
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dari TB dan HIV
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari TB dan HIV
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan antara TB dengan HIV
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interpretasi klinik data
laboratorium pada scenario
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan TB dengan HIV
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi yang tepat dalam scenario
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggolongan obat TB dengan
HIV terkait skenario
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat TB dengan
HIV
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi obat TB dengan HIV
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan efek samping obat TB dengan
HIV
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor resiko TB dengan HIV
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan monitoring apa saja yang perlu
untuk pasien TB dengan HIV

JAWABAN

1. Definisi dan Etiologi


a. Definisi Tuberkulosis
Menurut
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di
dunia.TB merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
(Dipiro, dkk, h. 1839 : 2008 ) yang sebagian besar menyerang paruparu yang
mencapai 80% (Binfar, h.12 : 2005). Jika tidak diobati penyakit ini dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang berat hingga menyebabkan kematian
(Dipiro, dkk, h. 1839 : 2008 ).
b. Etiologi Tuberkulosis
 Penyebab infeksi : Micobacterium tuberculosis (Sudoyo A.W, h.
2232 : 2010)
 Ramping berbentuk batang (Dipiro, dkk., h.1840 : 2008)
 Panjang : 1-4 mikron (Sudoyo A.W, h. 2232 : 2010)
 Tebal 0,3-0,6 mikron (Sudoyo A.W, h. 2232 : 2010)
 Dinding sel mengandung lipid glikolipida membuat kuman
M.tuberculosis lebih tahan asam (asam alcohol) (Sudoyo A.W, h.
2232 : 2010)
 Dinding sel mengandung lilin (Binfar, h.12 :2005)
 Bakteri tahan asam (Binfar, h.12 :2005)
 Sinar UV dapat menyebabkan kematian terhadap bakteri
M.tuberculosis (Binfar, h.12 :2005)
 Dapat bertahan hidup diudara kering maupun dingin (Sudoyo A.W, h.
2232 : 2010)
 Dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es karena bersifat dorman
(Sudoyo A.W, h. 2232 : 2010)
c. Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus RNA termasuk family
retroviridae dan genus lentivirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia yang diserangnya (Kemenkes h.7 : 2012) sehingga melemahkan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Kekebalan tubuh yang lemah
menimbulkan berbagai masalah kesehatan disertai dengan beberapa gejala
seperti demam, batuk, atau diare yang terjadi terus-menerus. Kumpulan
gejala inilah yang kemudian disebut sebagai AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) (Green C.W h.5 : 2006). Terdapat 2 jenis HIV (HIV-1
dan HIV-2) keduanya penyebab terjadinya AIDS namun HIV-1 lebih banyak
menimbulkan AIDS dibandingkan HIV-2 (Dipiro, dkk., h.2065 : 2008).

d. Etiologi HIV
 (Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)
 Kemenkes, h.7 : 2012
 Terdiri atas untaian tunggal RNA (Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)

 Anggota Lentivirinae (lenti, yang berarti "lambat") dari keluarga retrovirus


(Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)
 Ditandai oleh siklus penularan atau inkubasi yang lama (Dipiro, dkk.,
h.2067 : 2008)
 Terdapat dua jenis HIV: HIV-1 dan HIV-2 (Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)
 HIV-1 : banyak ditemukan ditemukan diseluruh dunia (Kemenkes, h.7 :
2012)
 HIV-2 : Beberapa ditemukan menginfeksi orang-orang Afrika Barat dan
kadang-kadang di Afrika Timur, Eropa, Asia dan Amerika Latin
(Kemenkes, h.7 : 2012).
2. Patofisiologi dari Tuberculosis dan HIV
a. Patofisiologi dari Tuberculosis
Menurut
 Menurut Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ; 2008
 Menurut Sudoyo A.W.,dkk ., 2010
 Menurut Pratiwi, R.I., dkk., h.54 : 2017
 Menurut Wahyuniati, N., h. 129 : 2017
Yang berperan penting dalam melawan infeksi yang disebabkan oleh M.
Tuberculosis adalah limfosit T. terdapat dua jenis sel T yaitu Th1 dan Th2
(Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ; 2008).Th1 menghasilkan TNF-a yang berperan
penting dalam pencegahan infeksi M.tuberculosis (Pratiwi, R.I., dkk., h.54 :
2017) namun juga dapat meningkatkan pertumbuhan M.tuberculosis didalam
makrofag.Hal ini dapat disebabkan karena sifat makrofag yang menyukai lipid
(Sudoyo A.W.,dkk ., 2010). Th2 mengsekresi IL-4 yang berperan dalam
meningkatkan endositosis makrofag,dan diperkirakan bahwa IL-4 menyebabkan
apoptosis terhadap limfosit T yang diaktivasi oleh M.tuberculosis. Pasien dengan
IL-4 yang tinggi dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam memfagositosis
(Pratiwi, R.I., dkk., h.54 : 2017).
M.tuberculosis yang tumbuh dalam makrofag dieliminasi dengan mekanisme
Cell-mediated immunity yang terdiri dari 2 tipe yaitu dengan sel T CD4 +
membentuk sel fagosit dan megaktivasinya melalui CD40 ligand, dan INF-y yang
akan membunuh mikroba yang telah difagositosis kemudian tipe reaksi yang ke
2 adalah melalui Cytotoxyc T lymphocytes CD8+ membunuh sel yang telah
terinfeksi (Wahyuniati, N., h. 129 : 2017)
M. tuberculosis memiliki beberapa cara untuk menghindari atau melawan
respon imun tubuh yaitu dengan cara penghambatan pematangan fagosom,
mencegah bergabungnya fagosom dan lisosom sehingga menyebabkan M.
Tuberculosis untuk melarikan diri dari sistem imun. M. tuberculosis dapat
berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Lipoarabinomannan dari bakteri
ini dapat menghambat respon imun. Lipoarabinomannan menginduksi sitokin
imunosupresif, sehingga menghalangi Pengaktifan makrofag; selain itu,
lipoarabinomannan mengumpulkan O2, sehingga mencegah serangan oleh
anion superoksida, hidrogen peroksida, singlet oksigen, dan radikal hidroksil,
sehingga M.tuberculosis dapat bertahan didalam tubuh dan tidak dapat
dikendalikan oleh sistem imun (Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ; 2008).
Infeksi primer
Infeksi primer terjadi ketika seseorang menghirup udara yang mengandung
M.tuberculosis dalam bentuk droplet. Bila bakteri menetap dalam jaringan paru
dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag kemudian menyebar ke organ
tubuh lainnya. Perkembangan bakteri ini dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu jumlah
bakteri yang terhirup, jenis bakteri yang terhirup, dan respon imun. Droplet yang
masuk kedalam paruparu akan dibersihkan oleh makrofag, jika makrofag
menghambat atau membunuh bakteri maka infeksi tidak akan terjadi namun jika
makrofag tidak berhasil maka bakteri akan terus meningkat jumlahnya dalam
tubuh (Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ; 2008)
Bakteri akan membentuk sarang primer dalam jaringan paru jika menjalar
sampai ke pleura menyebabkan efusi pleura. Dari sarang primer akan timbul
peradangan getah bening menuju hilus dan diikuiti pembesaran kelenjar getah
bening hilus. Sarang primer limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks
primer. Proses ini dapat memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer
kemudian beranjut menjadi : 1. Sembuh tanpa cacat 2. Sembuh dengan
meninggalkan bekas 3. Terjadi komplikasi dan menyebar. (Dipiro, dkk., h. 1841-
1842 ; 2008)
Tuberkulosis Luar Paru dan Milier
Tuberkulosis jenis ini jarang terjadi hanya terjadi pada penderita HIV, pasien
yang menderita penyakit ini harus segera ditangani (Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ;
2008)
b. Patofisiologi HIV
 Menurut Dipiro, dkk., h. 2068-2069 : 2008
 Menurut Alldredge,B.K., dkk., h. 1692-2693 :
 Menurut Mandal,B,K., h. 201-202
a. HIV berbentuk bulat yang terdiri atas 3 enzim dan RNA. HIV dilapisi
glikoprotein yang disebut gp160 yang terdiri atas dua sub unit yaitu gp120
dan gp41.
b. HIV dan CD4 akan saling berikatan oleh karena adanya gp120 yang dimiliki
oleh HIV yang cocok dengan reseptor yang terdapat pada CD4. Ikatan antara
keduanya memicu terjadinya perubahan konformasi pada gp120 sehingga
meningkatkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (CCR5 dan CXCR4).
Akhirnya terjadi fusi yang diperantarai oleh gp41.
c. HIV yang berada dalam sel CD4, HIV akan melepas cangkangnya kemudian
melepas RNA dan 3 enzim. Dan cangkang dari HIV menyatu dengan
sitoplasma CD4. Agar dapat memperbanyak diri HIV membutuhkan DNA,
sehingga dengan bantuan enzim reserve transkiptase RNA di transkripsi
menjadi DNA.
d. DNA virus kemudian berintegrasi kedalam nucleus CD4 dengan bantuan
enzim integrase, kemudian DNA virus menyatu dengan DNA CD4. Akhirnya
DNA yang tadinya adalah milik CD4 kini digantikan oleh DNA virus.kemudian
akan membentuk partikel penyusun DNA virus yang baru dalam bentuk rantai
polipeptida
e. Virus HIV dalam bentuk polipeptida masih belum aktif, sehingga polipeptida
virus dipecah oleh enzim protease dan membentuk protein yang structural.
Hasil pecahan ini kemudia membentuk partikel virus yang aktif keluar dari
permukaan sel dan menyerang CD4 yang lain.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari TB dan HIV

a. Manifestasi klinik Tuberkulosis


Tanda dan gejala
Pasien biasanya datang dengan penurunan berat badan, kelelahan,Batuk
produktif, demam, dan keringat malam pada malam hari (Dipiro, dkk., h. 1843 :
2008)

Demam biasanya subfebril menyerupai influenza dengan suhu tubuh dapat


mencapai 40-41oC. Demam dapat turun kemudian timbul kembali dan dapat
berlangsung dalam jangka Panjang (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).

Batuk/batuk darah, gejala ini banyak diteukan karena bronkus


iritasi.terjadinya batuk ini agar produk peradangan keluar. Batuk yang terjadi mulai
dari batuk yang non produktif hingga batuk yang produktif hingga akhirnya batuk
darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).

Sesak Nafas, pada penyakit yang ringan belum merasakan sesak nafas. Sesa
nafas akan ditemukan pada penyakit lanjutan yang telah menginfeksi sebagian
dari paruparu (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).

Nyeri dada jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pluiritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien bernafas (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).
Malaise, yakni anoreksia kehilangan nafsu makan sehingga berat badan turun
disertai sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat pada malam hari (Sudoyo Aw.,
h. 2234 : 2010)

b. Manifestasi klinik HIV


Pasien akan mengalami Demam yang dapat berlangsung selama 2-3 minggu,
batuk kering, sesak nafas, gagal merespon antibiotic standar, sakit tenggorokan,
kelelahan, penurunan berat badan, mialgia(Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010). 40%
hingga 80% pasien biasanya menunjukkan ruam morbiliformis atau makulopapular
disertai diare, mual, muntah Limfadenopati, keringat malam pada malam hari dan
mengalami Meningitis aseptik (demam, sakit kepala, fotofobia, leher kaku). Terjadi
komplikasi pseumotoraks, terinfeksi bakteri, dan gagal nafas pada penyakit berat
(B.K., dkk., h. 209).

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan antara TB dengan HIV


Yang berperan penting dalam melawan infeksi yang disebabkan oleh M.
Tuberculosis adalah limfosit T. terdapat dua jenis sel T yaitu Th1 dan Th2
(Dipiro, dkk., h. 1841-1842 ; 2008).Th1 menghasilkan TNF-a yang berperan
penting dalam pencegahan infeksi M.tuberculosis (Pratiwi, R.I., dkk., h.54 :
2017) namun juga dapat meningkatkan pertumbuhan M.tuberculosis didalam
makrofag.Hal ini dapat disebabkan karena sifat makrofag yang menyukai lipid
(Sudoyo A.W.,dkk ., 2010). Th2 mengsekresi IL-4 yang berperan dalam
meningkatkan endositosis makrofag,dan diperkirakan bahwa IL-4 menyebabkan
apoptosis terhadap limfosit T yang diaktivasi oleh M.tuberculosis. Pasien dengan
IL-4 yang tinggi dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam memfagositosis
(Pratiwi, R.I., dkk., h.54 : 2017).

M.tuberculosis yang tumbuh dalam makrofag dieliminasi dengan mekanisme


Cell-mediated immunity yang terdiri dari 2 tipe yaitu dengan sel T CD4 +
membentuk sel fagosit dan megaktivasinya melalui CD40 ligand, dan INF-y yang
akan membunuh mikroba yang telah difagositosis kemudian tipe reaksi yang ke
2 adalah melalui Cytotoxyc T lymphocytes CD8+ membunuh sel yang telah
terinfeksi (Wahyuniati, N., h. 129 : 2017)
Berdasarkan patofisiologi dari penyakit AIDS, bahwa virus yang
menyebabkan terjadinya AIDS adalah HIV dengan cara menyerang CD4. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi CD4 dalam tubuh.
Sehingga keadaan ini menyebabkan sistem pertahanan tubuh melemah dan
menyebabkan infeksi oportunistik. Penurunan CD4 yang mencapai 400-500
sel/mikron dapat menyebabkan tubuh tidak dapat melawan mycobacterium
tuberculosis. Sehingga pasien yang sedang terinfeksi HIV dapat dengan mudah
terserang M.Tuberculosis (Alldredge,B.K, h.1694 : 2014)
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interpretasi klinik data
laboratorium pada scenario
Berdasarkan scenario, pasien menjalani pemeriksaan lab dengan melihat nilai
CD4. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi HIV atau
tidak. Jumlah sel CD4+ merupakan hasil dari jumlah limfosit total dan persentase sel
CD4. CD4 dihitung untuk memonitor mengenai penyakit dan terapi. CD4+ limfosit
berfungsi melawan bakteri infeksi, karena limfosit T CD4 mampu memberikan
merespon terhadap antigen asing dan memicu pembentukan antibodi oleh sel
limfosit B (Kemenkes, h.67 : 2011).

Implikasi klinik: (Kemenkes, h.67 : 2011)


a. CD4 yang menurun beresiko infeksi oportunitis meningkat.
b. CD4 kurang dari 100 menyebabkan infeksi Cytomegalovitus dan Mycobacterium
avium intracellular complex.
c. Tes CD4 dapat digunakan untuk memantau efektivitas terapi dan pengaturan
rejimen ARV. Tes tersebut dilakukan 2-4 minggu setelah terapi ARV dimulai.
Terapi dikatakan efektif apabila terjadi peningkatan CD4 30 sel/mm3. Apabila nilai
CD4<30 sel/mm3 maka harus dilakukan penggantian terapi ARV. Pemantauan
efektivitas terapi pada pasien yang stabil dilakukan setiap 3-6 bulan. Jika nilai
CD4 turun 50% dibandingkan nilai CD4 pada awal terapi maka perlu dilakukan
perubahan terapi ARV.
Dokter memulai terapi sebelum CD4 menurun sampai dibawah 350 sel/mikron,
dan kebanyakan memulai terapi jika CD4 kurang dari 500 sel / μL. Dalam penelitian
secara kohort ditemukan bahwa pasien yang memulai terapi pada saat nilai CD4
dibawah 500 sel/mikronmemiliki peluang peningkatan CD4 jika jumlah CD4 dibawah
200 sel/mikron. Sehingga perawatan sebaiknya dilakukan jika CD4 500 sel / μL.
Dalam kasus jumlah CD4 lebih besar dari 500, banyak dokter akan menunda
pengobatan, kecuali jika jumlah virus meningkat sangat tinggi (misalkan> 100.000
eksemplar / mL), yang meningkatkan potensi untuk cepat Penurunan jumlah sel
CD4, dan risiko penyakit lain. Sehingga, dokter dapat memilih untuk menawarkan
terapi lebih awal untuk mencegah terjadinya resisten. Dengan pertimbangan lain
CD4 antara 400-500 menyebabkan infeksi oprtunistik terutama terhadap
M.Tuberculosis. Sehingga sebaiknya pasien terkait scenario sebaiknya memulai
terapi ART (Alldredge, B.K., h.1694 : 2013).
Berdasarkan scenario pasien melakukan pemeriksaan BTA dengan metode
SPS. Dengan hasil pemeriksaan sewaktu (hari pertama) menunjukkan BTA 1+,
kemudian BTA pagi hari 2+, dan BTA sewaktu (hari kedua) (-), dengan pemeriksaan
toraks (+) (Kepmenkes h.12 : 2009).
Jika seorang pasien melakukan pemeriksaan toraks kemudian hasilnya postif,
pasien harus tetap melakukan pemeriksaan BTA karena foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TBC paru. Jika hasil pemeriksaan BTA
metode SPS, lalu diperoleh hasil (++-) maka pasien dinyatakan positif TB paru dan
memerlukan terapi TBC (Priyanto h.148 : 2009).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami infeksi
mycobacterium tuberculosis dan HIV (ko-infeksi).
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan TB dengan HIV
terkait scenario.
a. Tatalaksana TB kelenjar Limfe (Kemenkes, h.38 : 2012)
1. Lakukan Aspirasi atau pemeriksaan BTA
2. Bila aspirat tidak bernilai lakukan Biopsi
(Kecuali : Jika positif HIV dengan kemungkinan TB milier misalnya jika
keadaan pasien memburuk, Tuberkulosis mungkin terjadi tapi biopsy tidak
mungkin dilakukan dengan jarak 2 minggu)
b. Tatalaksana Efusi Pleura (Kemenkes, h.38 : 2012)
1. Jika terdapat gambaran TB  mulai pengobatan
2. Jika Bukan gambaran TB  Lakukan pemeriksaan protein dan hitung jenis
sel leukosit, melalui aspirat, lakukan pemeriksaan sitologi jika memadai,
pertimbangkan jika TB limfosit > 50% dan protein > 30 g/l
(Beri pengobatan jika aspirrat gagal membeku atau tidak didapatkan
diagnosis yang jelas dalam 7 hari)
c. Tatalaksana TB Diseminata (TB Milier) (Kemenkes, h.38 : 2012)
1. Jika hanya gambaran TB mulai pengobatan
2. Jika bukan gambaran TB  cari tau penyebab, jika sakit berat, lakukan
pengobatan OAT dan antibiotic
d. Tata Laksana Efusi Perikardium (Kemenkes, h.38 : 2012)
1. Jika hanya gambaran TB  mulai pengobatan TB
2. Rujuk untuk aspirasi segera saat sesak nafas
3. Jika bukan gambaran TB  cari tau penyebab lain (periksa urea darah dan
USG jantung, mulai pengobatan TB jika USG memperlihatkan adanya fusi
dan diagnosis lain yang tidak pasti dalam 7 hari
e. Tatalaksana Meningitis TB (Kemenkes, h.38 : 2012)
1. Jika hanya gambaran TB  Mulai pengobatan TB dan rawat inap
2. Jika bukan gambaran TB  Jika test Cryptococcus positif atau test HIV positif
dan tidak ada diagnosis lain obati penyakit Cryptococcus

f. TATALAKSANA HIV
(Kemenkes, h.8 : 2011)
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi yang tepat dalam scenario
Berdasarkan interpretasi data bahwa pasien terinfeksi HIV dan M.Tuberculosis.
Pasien yang terinfeksi HIV dapat memiliki jumlah CD4+ jika memiliki
penyakit TB. TB pada orang yang terinfeksi HIV secara klinis akan menyerupai
TB pada orang yang tidak terinfeksi HIV jika jumlah CD4 > 350. Pengobatan TB
harus dilakukan pada pasien terinfeksi HIV. Pasien dengan penyakit HIV
kemungkinan mendapat hasil pemeriksaan radiografi dada normal tetapi masih
memiliki BTA positif dan kultur positif M. tuberculosis. Karena itu, rontgen dada
yang normal tidak menutup kemungkinan menderita penyakit TB aktif
(Alldredge,B.K. h. 2014).
Pada penderita TB ditambah HIV, fase pengobatan awal dilakukan selama
8 minggu dengan obat-obat yang digunakan isoniazid, rifampisin atau rifabutin,
pirazinamid, dan etambutol diberikan setiap hari (7 hari / minggu untuk 56 dosis
atau 5 hari / minggu selama 40 dosis) atau tiga kali seminggu dengan dan pasien
harus menerima piridoksin tambahan (Alldredge,B.K. h. 2014).
Setelah fase awal, jika tidak terdapat resistensi obat, pengobatan dapat
dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin atau rifabutin setiap hari atau dua
hingga tiga kali seminggu untuk diminum selama 26 minggu. Berdasarkan
pengujian jika Jumlah CD4+ adalah 150 sel / μL, maka pengobatan harus dua
kali seminggu dengan terapi lanjutan menggunakan isoniazid dan rifampinor.
Isoniazid dan rifabutin tidak direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi HIV
dengan Jumlah CD4 + kurang dari 100 sel / μL karena dapat terjadi peningkatan
frekuensi resistensi Rifampisin. Rejimen kelanjutan sekali seminggu isoniazid
dan rifapentine dikontraindikasikan pada orang yang terinfeksi HIV
(Alldredge,B.K. h. 2014).
Pada pasien dengan jumlah CD4 yang lebih dari 200, ART dapat dimulai
selama fase kelanjutan, dan jika jumlah CD4+ lebih besar dari 350 sel/mikron
maka ART bisa dimulai setelah pengobatan TB. Kematian signifikan yang lebih
rendah kebanyakan terjadi pada pasien yang menerima ART selama terapi TB
dibandingkan dengan pasien yang menerima ART setelah selesai terapi TB.
Oleh karena itu ART harus dimulai selama pengobatan TB dengan melihat
jumlah CD4. Pengobatan ART tidak boleh ditunda hanya karena pasien sedang
menjalani terapi TB dan Rifampisin idak boleh dikeluarkan dari rejimen
pengobatan hanya karena meghindari terjadinya interaksi (Alldredge,B.K. h.
2014).
Urutan terkuat dalam menginduksi dari isoenzim sitokrom P-450 (terutama
CYP3A4) adalah Rifampisin>Rifapentin>Rifabutin. Rifampin tidak boleh
digunakan bersama golongan protease inhibitor. Data dari uji klinis juga
menunjukkan bahwa rifabutin dan rifampin khasiatnya sama sehingga
direkomendasikan untuk pasien yang dalam terapi Protease Inhibitor. Namun,
penghambat protein dan NNRTI dapat menginduksi atau menghambat isoenzim
sitokrom P-450, tergantung jenis obat. Akibatnya, obat-obatan ini dapat
mengubah konsentrasi serum dari rifabutin (Alldredge,B.K. h. 2014).
Untuk pasien yang menerima terapi TB aktif, kemudian memulai terapi ART
dengan efavirenz atau nevirapine lebih sering digunakan karena NNRTI ini
memiliki lebih sedikit interaksi dengan rifamycins. Delavirdine tidak boleh
digunakan Bersama dengan rifampin atau rifabutin. Efavirenz dapat mengurangi
konsentrasi rifabutin, sehingga dosis harus ditingkatkan, tetapi nevirapine tidak
mempengaruhi konsentrasi rifabutin, sehingga penyesuaian dosis rifabutin tidak
diperlukan (Alldredge,B.K. h. 2014).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi infeksi
M.tuberculosis maka digunakan HRZE selama 7 hari dalam seminggu selama 8
minggu dengan 56 dosis. Dengan fase lanjutan HR selama 7 hari dalam
seminggu menggunakan 126 dosis. Setelah 2-8 minggu dilakukan pengobatan
ART dengan paduan obat menurut WHO dan kemenkes yaitu 2NRTI + 1NNRTI
(2 obat golongan NNRTI dan 1 obat golongan NNRTI). Atau dapat dilakukan
penggantian obat Rifampisin dengan rifabutin tanpa perlu menunggu obat-obat
TB selesai.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggolongan obat TB dengan
HIV terkait scenario.
OBAT Antiretroviral
(Alldredge,B.K. h.1696-1699 : 2014).
Obat TB

Obat-obat tersebut termasuk dalam obat-obat antimikobakterium


(Alldredge,B.K. h.1542 : 2014).
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat TB dengan
HIV
a. Mekanisme kerja obat TB
1. Izoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri. (kemenkes, h.42
: 2005)
2. Rifampisin
Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja, Berdasarkan perintangan spesifik
dari suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA) polimerase sehingga sintesis
RNA terganggu. (kemenkes, h.46 : 2005)
3. Pirazinamida
Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi asam
pyrazinamidaseyang berasal dari basil tuberkulosa. (kemenkes, h.50 : 2005)
4. Etambutol
Kerja Obat Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang
telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan
penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding (kemenkes, h.52 : 2005)
5. Streptomisin
Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah.
Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan
pengikatan pada RNA ribosomal (kemenkes, h.55 : 2005)
b. Mekanisme kerja obat Antiretroviral
Terdapat empat golongan utama obat antiretroviral, yaitu:
1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel (Fusion inhibitor)
Obat ini mengganggu pengikatan fusi masuknya HIV-1 ke sel inang dengan
menghalangi salah satu dari beberapa target. Bekerja dengan cara berikatan
dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke
target sel dihambat. Contoh obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (T-20)
dan maraviroc (MVC).
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a) Analog nukleosida (NRTI) (Ajmala I.E,dan Wulandari L, h.24 : 2015)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus
fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida
menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat.
Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. 7,8 Contohnya:
• analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T)
• analog cytosin: lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
• analog adenin: didanosine (ddI)
• analog guanin: abacavir (ABC)
b) Analog nukleotida (NtRTI) (Ajmala I.E,dan Wulandari L, h.24 : 2015)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan
NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi. Contohnya:
analog adenosin monofosfat: tenofovir.
c) Non nukleosida (NNRTI) (Ajmala I.E,dan Wulandari L, h.24 : 2015)
d) Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. Contohnya
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFV). (Ajmala I.E,dan Wulandari L,
h.24 : 2015)
3. Protease inhibitor (PI)
Protease inhibitor berikatan secara reversibel dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak
mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang paling potensial.
Contohnya: saquinavir (SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV). (Ajmala
I.E,dan Wulandari L, h.24 : 2015)
4. Integrase inhibitor
Mekanisme kerjanya menghambat enzim integrase, yang bertanggung jawab
untuk integrase DNA virus ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Contohnya
raltegra (RGV) dan elvitegravir (EGV) (Ajmala I.E,dan Wulandari L, h.24 :
2015)
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi obat TB dengan HIV
Pengobatan berkelanjutan TB dan HIV dinilai rumit Karena adanya interaksi
Rifampisin dan ART. Rifampisin diketahui kuat dalam menginduksi dari isoenzim
sitokrom P-450 (terutama CYP3A4), kemudian terkuat kedua adalah rifapentine
setelah rifampin dan yang paling lemah dalam menginduksi enzim tersebut adalah
rifabutin. Rifampin tidak boleh digunakan pada pasien yang sedang dalam terapi
ART meggunakan ART golongan protease inhibitor. Rifabutin sangat aktif melawan
M. tuberculosis, sehingga direkomendasikan sebagai pengganti rifampisin untuk
perawatanTB aktif pada pasien terinfeksi HIV yang menerima protease inhibitor
tertentu atau NNRTI. (Alldredge, h.1555-1556)
Data dari uji klinis juga menunjukkan bahwa rifabutin dan rifampin khasiatnya
Namun, penghambat protein dan NNRTI dapat menginduksi atau menghambat
isoenzim sitokrom P-450, tergantung jenis obat. Sehingga, obat-obatan ini dapat
mengubah konsentrasi rifabutin dalam darah. Untuk pasien yang menerima terapi
TB aktif, kemudian memulai terapi ART dengan efavirenz atau nevirapine lebih
sering digunakan karena NNRTI ini memiliki lebih sedikit interaksi dengan
Rifampisin. Delavirdine tidak boleh digunakan Bersama dengan rifampin atau
rifabutin. Pengurangan dosis rifabutin diperlukan apabila digunakan Bersama
dengan obat golongan PI. Efavirenz dapat mengurangi konsentrasi rifabutin,
sehingga dosis harus ditingkatkan, tetapi nevirapine tidak mempengaruhi
konsentrasi rifabutin, sehingga penyesuaian dosis rifabutin tidak diperlukan.
(Alldredge, h.1555-1556)

11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan efek samping obat TB dengan
HIV
a. Efek samping obat TB
1. Izoniasid
Efek samping dalam hal neurologi: gangguan penglihatan, neuritis optik, mimpi
berlebihan, insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,
depresi, ingatan tak sempurna, otot melintir, konvulsi.Hipersensitifitas demam,
menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili,mapulo papulo, purpura, urtikaria),
Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis
fatal. Metaboliems dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, Hematologi:
agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia, trambositopenia. Eusinofilia,
methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati,s embelit.
Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kemih (pria),
hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik. (Kemenkes,
h.42 : 2005)
2. Rifampisin
Efek samping pada Saluran cerna ; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual,
muntah, anoreksia, kembung, kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala,
ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot
kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang).
Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah,
eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal akut(
reversibel). Hematologi: trombositopenia, leukopenia transien, anemia, termasuk
anemia hemolisis.Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan
menstruasi, sindrom hematoreal (Kemenkes, h.47 : 2005)
3. Pirazinamida
Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,chepatomegali, ikterus;
gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria. Keamanan
penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada: penderita
dengan encok atau riwayat encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita
dengan fungsi ginjal tak sempurna; penderita dengan riwayat tukak peptic
(Kemenkes, h.50 : 2005)
4. Etambutol
Efek samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan penurunan
visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan
bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila
segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa
sakit kepala, disorientasi, mual, muntah dan
sakit perut. (Kemenkes, h.53 : 2005)
5. Streptomisin
Efek Samping Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang
hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus (Kemenkes, h.56 :
2005).
b. Efek samping antiretroviral
a. Zidovudin
Asidosis Laktat, susah tidur, pigmentasi kulit dan kuku
b. Stavudin
Neuropati perifer asidosis laktat
c. Lamivudin
Asidosis laktat
d. Didanose
Asidosis laktat, mual, muntah, diare
e. Abacavir
Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan.
(Kemenkes, h. 77 :2011

12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor resiko TB dengan HIV
a) Faktor resiko kemungkinan seseorag terinfeksi M.Tuberculosis tergantung
pada Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
b) Lamanya kontak dengan droplet nuclei
c) Kedekatan dengan penderita TB (Binfar, h. 14 : 2005)
Selain itu tergantung pada faktor internal dan eksternal seperti lingkungan yang
kurang sehat pemukiman padat dan kumuh. Faktor internal yaitu disebabkan
karena terganggunya sistem kekebalan tubuh penderita seperti kurang gizi, atau
infeksi HIV/AIDS, pengobatan imunosupresan lainnya (Binfar, h. 14 : 2005)
Faktor penyebab tertular HIv adalah (Green, C.W., h.6 : 2016)
a) Hubungan seks yang tidak aman/ tanpa kondom
b) Penggunaan jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril secara bergantian
c) Tindakan medis yang memakai peralatan yang tidak steril, misalnya peralatan
dokter gigi
d) Penerimaan transfusi darah yang mengandung HIV
e) Ibu HIV-positif pada bayinya, waktu dalam kandungan, ketika melahirkan atau
menyusui
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan monitoring apa saja yang perlu
untuk pasien TB dengan HIV
Monitoring terhadap terapi HIV dilakukan tiap 6 bulan terkait klinis dan fungsi
hati, monitoring histologis dilakukan tiap 3 tahun. Monitoring tekanan darah dan
pemeriksaan kolesterol sebagai bagian dari perawatan HIV yang disediakan untuk
mengurangi ririko penyakit tidak menular bagi ODHA. Monitoring efek samping obat,
CD4, berat badan, albumin. Pemeriksaan status gizi (antropometri, anamnesis klinis
dan pola makan), konseling dan edukasi hendaknya dilakukan pada saat pertama
kali pasien masuk dan monitor seterusnya selama terapi. (Kemenkes, h.91,102,105
dan 101 : 2014)
Monitoring yang perlu pada pasien dengan terapi TBC adalah Pemantauan
konsentrasi obat dalam darah, pemeriksaan BTA, gula darah, pemeriksaan fungsi
hati dan ginjal (Dipiro, dkk., h.1854 : 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan,
W.A., 2014, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of
Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United States of
America.
Dipiro.JT., 2008, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.

Green, C.W., 2016., HIV dan TB, Yayasan Spiritia: Yogyakarta


Kemenkes RI, 2012., Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis ko-infeksi TB-HIV,
Kementrian Kesehatan : Jakarta
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011., Pharmaceutical care, Binfar Dinkes :
RI : Jakarta
Kemenkes,2001., Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral
Mandal,B.K, dkk., Penyakit Infeksi,Erlangga: Jakarta
Menteri Kesehatan, 2014., Peraturan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2014
Pratiwi,R.I., dkk., 2017., Respon Sitokin Tnf-A dan IL-4 Pasca Stimulasi Fusi Resat-6-
cfp-10.
Priyanto, 2009., Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi : Jawa Barat
Sudoyo, A.W, dkk., 2010., Ilmu Penyakit Dalam, Internal Publishing: Jakarta Pusat
Wulandari, K., dan Ajmala,I.E., 2015., Terapi Penderita Ko-infeksi TB-HIV, Vol. 1 No.1
Wahyuniati,N., 2017,Peran Interferon Gamma pada Infeksi, ISSN : 1412-1026

Anda mungkin juga menyukai