Nasrah 15120190094 Hasil Diskusi.
Nasrah 15120190094 Hasil Diskusi.
Pengobatan Rasional
Nama : Nasrah
Stambuk : 15120190094
MAKASSAR
2019
STEP 6
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan defenisi dan etiologi dari TB dan
HIV
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi dari TB dan HIV
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari TB dan HIV
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan antara TB dengan HIV
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interpretasi klinik data
laboratorium pada scenario
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan TB dengan HIV
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi yang tepat dalam scenario
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggolongan obat TB dengan
HIV terkait skenario
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat TB dengan
HIV
10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan interaksi obat TB dengan HIV
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan efek samping obat TB dengan
HIV
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor resiko TB dengan HIV
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan monitoring apa saja yang perlu
untuk pasien TB dengan HIV
JAWABAN
d. Etiologi HIV
(Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)
Kemenkes, h.7 : 2012
Terdiri atas untaian tunggal RNA (Dipiro, dkk., h.2067 : 2008)
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinik dari TB dan HIV
Sesak Nafas, pada penyakit yang ringan belum merasakan sesak nafas. Sesa
nafas akan ditemukan pada penyakit lanjutan yang telah menginfeksi sebagian
dari paruparu (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).
Nyeri dada jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pluiritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien bernafas (Sudoyo Aw., h. 2234 : 2010).
Malaise, yakni anoreksia kehilangan nafsu makan sehingga berat badan turun
disertai sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat pada malam hari (Sudoyo Aw.,
h. 2234 : 2010)
f. TATALAKSANA HIV
(Kemenkes, h.8 : 2011)
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi yang tepat dalam scenario
Berdasarkan interpretasi data bahwa pasien terinfeksi HIV dan M.Tuberculosis.
Pasien yang terinfeksi HIV dapat memiliki jumlah CD4+ jika memiliki
penyakit TB. TB pada orang yang terinfeksi HIV secara klinis akan menyerupai
TB pada orang yang tidak terinfeksi HIV jika jumlah CD4 > 350. Pengobatan TB
harus dilakukan pada pasien terinfeksi HIV. Pasien dengan penyakit HIV
kemungkinan mendapat hasil pemeriksaan radiografi dada normal tetapi masih
memiliki BTA positif dan kultur positif M. tuberculosis. Karena itu, rontgen dada
yang normal tidak menutup kemungkinan menderita penyakit TB aktif
(Alldredge,B.K. h. 2014).
Pada penderita TB ditambah HIV, fase pengobatan awal dilakukan selama
8 minggu dengan obat-obat yang digunakan isoniazid, rifampisin atau rifabutin,
pirazinamid, dan etambutol diberikan setiap hari (7 hari / minggu untuk 56 dosis
atau 5 hari / minggu selama 40 dosis) atau tiga kali seminggu dengan dan pasien
harus menerima piridoksin tambahan (Alldredge,B.K. h. 2014).
Setelah fase awal, jika tidak terdapat resistensi obat, pengobatan dapat
dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin atau rifabutin setiap hari atau dua
hingga tiga kali seminggu untuk diminum selama 26 minggu. Berdasarkan
pengujian jika Jumlah CD4+ adalah 150 sel / μL, maka pengobatan harus dua
kali seminggu dengan terapi lanjutan menggunakan isoniazid dan rifampinor.
Isoniazid dan rifabutin tidak direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi HIV
dengan Jumlah CD4 + kurang dari 100 sel / μL karena dapat terjadi peningkatan
frekuensi resistensi Rifampisin. Rejimen kelanjutan sekali seminggu isoniazid
dan rifapentine dikontraindikasikan pada orang yang terinfeksi HIV
(Alldredge,B.K. h. 2014).
Pada pasien dengan jumlah CD4 yang lebih dari 200, ART dapat dimulai
selama fase kelanjutan, dan jika jumlah CD4+ lebih besar dari 350 sel/mikron
maka ART bisa dimulai setelah pengobatan TB. Kematian signifikan yang lebih
rendah kebanyakan terjadi pada pasien yang menerima ART selama terapi TB
dibandingkan dengan pasien yang menerima ART setelah selesai terapi TB.
Oleh karena itu ART harus dimulai selama pengobatan TB dengan melihat
jumlah CD4. Pengobatan ART tidak boleh ditunda hanya karena pasien sedang
menjalani terapi TB dan Rifampisin idak boleh dikeluarkan dari rejimen
pengobatan hanya karena meghindari terjadinya interaksi (Alldredge,B.K. h.
2014).
Urutan terkuat dalam menginduksi dari isoenzim sitokrom P-450 (terutama
CYP3A4) adalah Rifampisin>Rifapentin>Rifabutin. Rifampin tidak boleh
digunakan bersama golongan protease inhibitor. Data dari uji klinis juga
menunjukkan bahwa rifabutin dan rifampin khasiatnya sama sehingga
direkomendasikan untuk pasien yang dalam terapi Protease Inhibitor. Namun,
penghambat protein dan NNRTI dapat menginduksi atau menghambat isoenzim
sitokrom P-450, tergantung jenis obat. Akibatnya, obat-obatan ini dapat
mengubah konsentrasi serum dari rifabutin (Alldredge,B.K. h. 2014).
Untuk pasien yang menerima terapi TB aktif, kemudian memulai terapi ART
dengan efavirenz atau nevirapine lebih sering digunakan karena NNRTI ini
memiliki lebih sedikit interaksi dengan rifamycins. Delavirdine tidak boleh
digunakan Bersama dengan rifampin atau rifabutin. Efavirenz dapat mengurangi
konsentrasi rifabutin, sehingga dosis harus ditingkatkan, tetapi nevirapine tidak
mempengaruhi konsentrasi rifabutin, sehingga penyesuaian dosis rifabutin tidak
diperlukan (Alldredge,B.K. h. 2014).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi infeksi
M.tuberculosis maka digunakan HRZE selama 7 hari dalam seminggu selama 8
minggu dengan 56 dosis. Dengan fase lanjutan HR selama 7 hari dalam
seminggu menggunakan 126 dosis. Setelah 2-8 minggu dilakukan pengobatan
ART dengan paduan obat menurut WHO dan kemenkes yaitu 2NRTI + 1NNRTI
(2 obat golongan NNRTI dan 1 obat golongan NNRTI). Atau dapat dilakukan
penggantian obat Rifampisin dengan rifabutin tanpa perlu menunggu obat-obat
TB selesai.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penggolongan obat TB dengan
HIV terkait scenario.
OBAT Antiretroviral
(Alldredge,B.K. h.1696-1699 : 2014).
Obat TB
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan efek samping obat TB dengan
HIV
a. Efek samping obat TB
1. Izoniasid
Efek samping dalam hal neurologi: gangguan penglihatan, neuritis optik, mimpi
berlebihan, insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,
depresi, ingatan tak sempurna, otot melintir, konvulsi.Hipersensitifitas demam,
menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili,mapulo papulo, purpura, urtikaria),
Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis
fatal. Metaboliems dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, Hematologi:
agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia, trambositopenia. Eusinofilia,
methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati,s embelit.
Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kemih (pria),
hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik. (Kemenkes,
h.42 : 2005)
2. Rifampisin
Efek samping pada Saluran cerna ; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual,
muntah, anoreksia, kembung, kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala,
ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot
kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang).
Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah,
eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal akut(
reversibel). Hematologi: trombositopenia, leukopenia transien, anemia, termasuk
anemia hemolisis.Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan
menstruasi, sindrom hematoreal (Kemenkes, h.47 : 2005)
3. Pirazinamida
Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,chepatomegali, ikterus;
gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria. Keamanan
penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada: penderita
dengan encok atau riwayat encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita
dengan fungsi ginjal tak sempurna; penderita dengan riwayat tukak peptic
(Kemenkes, h.50 : 2005)
4. Etambutol
Efek samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan penurunan
visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan
bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila
segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa
sakit kepala, disorientasi, mual, muntah dan
sakit perut. (Kemenkes, h.53 : 2005)
5. Streptomisin
Efek Samping Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang
hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus (Kemenkes, h.56 :
2005).
b. Efek samping antiretroviral
a. Zidovudin
Asidosis Laktat, susah tidur, pigmentasi kulit dan kuku
b. Stavudin
Neuropati perifer asidosis laktat
c. Lamivudin
Asidosis laktat
d. Didanose
Asidosis laktat, mual, muntah, diare
e. Abacavir
Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan.
(Kemenkes, h. 77 :2011
12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan factor resiko TB dengan HIV
a) Faktor resiko kemungkinan seseorag terinfeksi M.Tuberculosis tergantung
pada Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
b) Lamanya kontak dengan droplet nuclei
c) Kedekatan dengan penderita TB (Binfar, h. 14 : 2005)
Selain itu tergantung pada faktor internal dan eksternal seperti lingkungan yang
kurang sehat pemukiman padat dan kumuh. Faktor internal yaitu disebabkan
karena terganggunya sistem kekebalan tubuh penderita seperti kurang gizi, atau
infeksi HIV/AIDS, pengobatan imunosupresan lainnya (Binfar, h. 14 : 2005)
Faktor penyebab tertular HIv adalah (Green, C.W., h.6 : 2016)
a) Hubungan seks yang tidak aman/ tanpa kondom
b) Penggunaan jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril secara bergantian
c) Tindakan medis yang memakai peralatan yang tidak steril, misalnya peralatan
dokter gigi
d) Penerimaan transfusi darah yang mengandung HIV
e) Ibu HIV-positif pada bayinya, waktu dalam kandungan, ketika melahirkan atau
menyusui
13. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan monitoring apa saja yang perlu
untuk pasien TB dengan HIV
Monitoring terhadap terapi HIV dilakukan tiap 6 bulan terkait klinis dan fungsi
hati, monitoring histologis dilakukan tiap 3 tahun. Monitoring tekanan darah dan
pemeriksaan kolesterol sebagai bagian dari perawatan HIV yang disediakan untuk
mengurangi ririko penyakit tidak menular bagi ODHA. Monitoring efek samping obat,
CD4, berat badan, albumin. Pemeriksaan status gizi (antropometri, anamnesis klinis
dan pola makan), konseling dan edukasi hendaknya dilakukan pada saat pertama
kali pasien masuk dan monitor seterusnya selama terapi. (Kemenkes, h.91,102,105
dan 101 : 2014)
Monitoring yang perlu pada pasien dengan terapi TBC adalah Pemantauan
konsentrasi obat dalam darah, pemeriksaan BTA, gula darah, pemeriksaan fungsi
hati dan ginjal (Dipiro, dkk., h.1854 : 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan,
W.A., 2014, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of
Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United States of
America.
Dipiro.JT., 2008, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.