Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MANAJEMEN BISNIS (RSB + RSA)

(sejarah dan bisnis rumah sakit)

OLEH :

VIRDA B.LOVUS (183145261001)

KELAS : A

PRODI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT ( ARS )

UNIVERSITAS MEGA REZKY MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis mengucapkan syukur
kepada Allah atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal
pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
dari mata kuliah Manajemen bisnis (RSB + RSA). Penulis tentu menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Makassar, 01 mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar belakang....................................................................................1
B. Rumusan masalah...............................................................................2
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit di Indonesia3
B. bisnis di rumah sakit...........................................................................9

a. Definisi bisnis rumah sakit...........................................................9


b. Perlukah etika bisnis rumah sakit.................................................9
c. Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan ...................................11
d. Insentif keuangan untuk dokter..................................................13
e. Rumah sakit sebagai tempat kerja..............................................13
f. Bagaimana rumah sakit di masa mendatang ..............................15

BAB III PENUTUP.....................................................................................17


A. Kesimpulan.......................................................................................17
B. Saran.................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali didirikan oleh


VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)tahun 1626 dan kemudian juga oleh
tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer
beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan,
kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-
rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama. Sikap karitatif ini juga diteruskan
oleh rumah sakit CBZ (Centraal Burgerlijk Ziekenhuis) pada tahun 1901 di Jakarta.
Menurut WHO , rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan
kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan
pusat penelitian medik.Rumah sakit merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan, oleh karena itu pelayanan
yang berkualitas merupakan suatu keharusan dan mutlak dipenuhi oleh suatu rumah
sakit. Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat
adalah meningkatkan kinerja rumah sakit secara profesional dan mandiri. Dalam
rangka meningkatkan kinerja yang profesional dan mandiri tentunya rumah sakit
harus mempunyai perangkat strategis yang dapat menjadi panduan untuk
mengendalikan dan mengarahkan organisasi dalam mewujudkan visi dan misi serta
tujuan rumah sakit. Rencana Strategis Bisnis (RSB) merupakan salah satu perangkat
strategis manajemen yang dapat digunakan untuk mengelola kondisi rumah sakit saat
ini dan sebagai alat untuk melakukan proyeksi dan analisa bagi pengambil keputusan
dan kebijakan pada kondisi 5 – 10 tahun ke depan, sehingga Rencana Strategis Bisnis
(RSB) dapat menjadi pedoman strategis untuk mempertajam rencana-rencana yang
diharapkan dalam menentukan arah, tujuan dan sasaran yang diinginkan oleh suatu
rumah sakit. Oleh karena itu suatu rumah sakit sangat penting menyusus strtegis
bisnis (RSB) untuk waktu tertentu.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit di Indonesia?

2. Apa yang dimaksud dengan bisnis rumah sakit?


3. Perlukah Etika Bisnis Rumah Sakit?
4. Apa yang dimaksud dengan rumah sakit sebagai pemberi pelayanan?
5. Apa yang dimaksud dengan insentif keuangan untuk dokter?
6. Apa yang dimaksud dengan rumah sakit sebagai tempat kerja?
7. Bagaimana rumah sakit di masa mendatang?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahu bagaimana Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit di


Indonesia

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bisnis rumah sakit?


3. Untuk mengetahu perlukah Etika Bisnis Rumah Sakit
4. Untuk mengetahu apa yang dimaksud dengan rumah sakit sebagai pemberi
pelayanan
5. Untuk mengetahu apa yang dimaksud dengan insentif keuangan untuk dokter
6. Untuk mengetahu apa yang dimaksud dengan rumah sakit sebagai tempat kerja
7. Untuk mengetahu bagaimana rumah sakit di masa mendatang

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit di Indonesia

Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali didirikan oleh


VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)tahun 1626 dan kemudian juga oleh
tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer
beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan,
kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Hal ini berlanjut dengan rumah sakit-
rumah sakit yang didirikan oleh kelompok agama.
Sikap karitatif ini juga diteruskan oleh rumah sakit CBZ (Centraal Burgerlijk
Ziekenhuis) pada tahun 1901 di Jakarta. Rumah sakit ini juga tidak memungut
bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang memerlukan pertolongan. Semua
ini telah menanamkan kesan yang mendalam di kalangan masyarakat pribumi bahwa
pelayanan penyembuhan di rumah sakit adalah gratis. Mereka tidak mengetahui
bahwa sejak zaman VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC (kecuali
tentara dan keluarganya) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC.

Gambar 1. Rumah Sakit zaman VOC


Menurut seorang ahli sejarah ekonomi (Purwanto, 1996) pelayanan rumah
sakit di Indonesia telah dimulai sejak awal keberadaan VOC pada dekade ketiga
abad XVII, sebagai suatu bagian tidak terpisahkan dari usaha VOC itu sendiri.

3
Pembangunan rumah sakit merupakan upaya untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi akibat pelayaran yang jauh yaitu dari Eropa ke Indonesia dan tidak
didukung oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi klimatis, dan ketidakmampuan
mengadaptasi serta mengatasi penyakit tropik.
Boomgard (1996) menyatakan bahwa sejarah rumah sakit di Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia yang
berlangsung sejak tahun 1649, ketika seorang ahli bedah bernama Caspar
Schamberger berada di Edo untuk mengajarkan ilmu bedah kepada orang Jepang.
Masa ini merupakan awal dari beralihnya sistem tradisional kesehatan di Asia yang
mengacu pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem Belanda (Akira, 1996).
Pengalihan ini berjalan secara lambat. Patut dicatat bahwa pelayanan kesehatan
Barat sering diperuntukkan bagi keluarga bangsawan. Purwanto (1996) menyatakan
bahwa pada masa awal rumah sakit di Indonesia secara eksklusif hanya
diperuntukkan bagi orang-orang Eropa.
Baru pada masa berikutnya orang non-Eropa yang bekerja dengan VOC
mendapat kesempatan untuk menggunakan rumah sakit, akan tetapi berbeda
tempat, fasilitas, dan pelayanan. Sementara itu, orang Cina secara eksklusif
digiring oleh peraturan VOC maupun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan rumah sakit sendiri sehingga ilmu kedokteran dan pengobatan
tradisional Cina diberlakukan tanpa ada pengaruh terapeutik dan farmakologis barat.
Baru pada awal abad XX pengaruh Barat mulai ada di rumah sakit yang
dikelola oleh orang Cina. Selain itu, penduduk pribumi boleh dikatakan tidak
mendapat perhatian dalam masalah pelayanan rumah sakit ini. Walaupun pada akhir
abad XVII ada usaha dari misionaris Kristen untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada anak-anak pribumi, tetapi lingkup dan dampak tindakan ini terlihat kecil.
Baru pada akhir abad XIX suatu usaha sistematis dalam pelayanan rumah sakit
kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaris Kristen di Indonesia.
Sampai akhir abad XIX, pada dasarnya rumah sakit di Indonesia merupakan
rumah sakit militer yang secara eksklusif ditujukan kepada anggota kesatuan militer
dan pegawai VOC atau kemudian pemerintah baik orang Eropa maupun pribumi.
Sementara itu, orang sipil yang berhak mendapat pelayanan rumah sakit hanya orang
Eropa atau penduduk non-Eropa yang secara yuridis formal disamakan dengan orang
Eropa. Hal ini berhubungan dengan kebijakan kesehatan penguasa pada waktu itu
yang tidak mengindahkan penduduk pribumi.

4
Apabila penduduk pribumi mendapat pelayanan kesehatan, hal itu hanya
dilakukan sebagai bagian dari upaya melindungi kepentingan orang Eropa.
Pelayanan rumah sakit kepada orang pribumi dipelopori oleh para misionaris
Kristen. Dalam perkembangannya beberapa organisasi sosial-keagamaan, seperti
Muhammadiyah mendirikan rumah sakitsederhana dalam bentuk pelayanan
kesehatan umum seperti yang ada di Yogyakarta dan memberikan pelayanan
rumah sakit untuk penduduk pribumi.
Ketika terjadi pergeseran kebijakan politik kolonial pada akhir abad XIX
dan awal abad XX, secara langsung berdampak pula pada kebijakan kesehatan
pemerintah kolonial yang berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan rumah
sakit oleh pemerintah untuk penduduk pribumi. Keberadaan pendidikan "Dokter
Jawa" pada bagian kedua abad XIX mempunyai arti penting dalam pelayanan
rumah sakit untuk penduduk pribumi. Pada masa awal para "Dokter Jawa" ini
hanya memberikan pelayanan kesehatan untuk penduduk sipil pribumi tidak dalam
pengertian pelayanan rumah sakit, akan tetapi setelah pemerintah mulai membangun
rumah sakit maka para "Dokter Jawa" ini merupakan pendukung utama dari
pelayanan rumah sakit untuk penduduk sipil pribumi (Purwanto, 1996).
Sejak akhir abad XIX terdapat pengembangan rumah sakit swasta yang
dikelola oleh perkebunan besar dan perusahaan pertambangan. Satu catatan yang
perlu diperhatikan bahwa walaupun hampir semua rumah sakit pada awal abad XX
sudah membuka pelayanan untuk penduduk pribumi, pada dasarnya perbedaan
secara yuridis formal dalam masyarakat kolonial tetap tercermin dalam pelayanan
rumah sakit.Menurut Purwanto (1996) pada masa awal perkembangan rumah
sakit masa VOC sampai awal abad XIX, pendanaan rumah sakit diperoleh dari
subsidi penguasa dan dana yang diambil dari pasien yang pada dasarnya adalah
pegawai VOC. Pada saat itu juga telah berkembang pemberian pelayanan rumah
sakit tergantung kepada kebutuhan dan kemampuan pasien, terutama yang
berhubungan dengan diet yang diterima pasien. Tinggi atau rendahnya tarif yang
diberlakukan sesuai dengan pelayanan dan kebutuhan pasien, sehingga secara
tidak langsung kelas dalam rumah sakit sudah tercipta pada waktu itu.
Pada masa kekuasaan Daendels terjadi perubahan yang cukup penting.
Sejak saat itu personil militer dibebaskan dari biaya rumah sakit, sedangkan pegawai
sipil baru menikmati pembebasan biaya rumah sakit. Di kalangan penduduk sipil
pribumi ada delapan kelompok yang dinyatakan bebas dari biaya rumah sakit, antara

5
lain pelacur yang ditemukan sakit, orang gila, penghuni penjara, dan orang sipil yang
bekerja pada kegiatan pemerintah. Pada sektor perkebunan dan pertambangan, biaya
rumah sakit para buruh dipotong langsung secara reguler dari upah yang mereka
terima, terlepas dari apakah mereka memanfaatkan pelayanan rumah sakit
ataukah tidak.
Sementara itu, rumah sakit milik orang Cina diharuskan membiayai sendiri
dan dana itu terutama diambil dari pajak khusus yang berlaku pada masyarakat cina
waktu itu.Setelah kemerdekaan perumahsakitan di Indonesia berkembang pesat
sehingga muncul berbagai macam Rumah Sakit baik milik swasta maupun milik
pemerintah. Secara garis besar dapat dibedakan adanya dua kategori Rumah Sakit,
yaitu Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 159b / MENKES / PER / II / 1998 mencantumkan pengertian tentang Rumah
Sakit, Rumah Sakit Umum, dan Rumah Sakit Khusus, sebagai berikut:
a) Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara merata, dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan
rujukan, serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian.
b) Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat untuk semua jenis penyakit, mulai dari
pelayanan kesehatan dasar sampai dengan pelayanan subspesialistis sesuai
dengan kemampuannya.
c) Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat untuk jenis penyakit tertentu atau berdasarkan
disiplin ilmu tertentu. Beberapa tahun lalu sejumlah rumah sakit, yaitu milik
Pemerintah Pusat, berstatus perusahaan jawatan (perjan).

6
Gambar 2. Awal Mula Rumah Sakit Umum Pusat

Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Badan


Usaha Milik Negara, rumah sakit-rumah sakit tersebut harus memilih apakah akan
menjadi perusahaan umum (perum) atau perseroan. Kecenderungan ini
menimbulkan keragu- raguan bagi pihak manajemen dalam setiap pengambilan
keputusannya. Pemeintah DKI Jakarta yang dengan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 15 Tahun 2004 telah mulai merubah RSUD-nya (RSUD Pasar Rebo)
menjadi Perseroan Terbatas. Pada intinya, proses korporatisasi rumah sakit sudah
berjalan di Indonesia. Proses ini berjalan walaupun mengalami kerancuan
mengenai makna yang ada.
Sebagai contoh, di sebuah RSD di Jawa Timur ditemukan pengembangan
rumah sakit swadana menjadi rumah sakit dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah.
Pengembangan ini ternyata justru kemunduran karena otonomi penggunaan
pendapatan fungsional ternyata tidak ada lagi setelah menjadi Lembaga Teknis
Daerah. Rumah Sakit berubah kembali sistem majemen keuangannya seperti
lembaga birokrasi. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, rumah sakit-rumah
sakit daerah berkembang menjadi Unit Pelaksana Teknis Plus (UPTP) yang
memiliki berbagai tambahan otonomi, termasuk otonomi di bidang sumber daya
manusia. Di kelompok RSUP, perubahan rumah sakit swadana menjadi Perjan
berkembang menjadi lembaga yang diharapkan lebih otonom dan dikelola sebagai
lembaga usaha (corporation). Akan tetapi, pada awal tahun 2003 kebijakan Perjan
berada pada persimpangan jalan karena ternyata rencana Undang-undang mengenai
BUMN tidak mengenal bentuk perjan.

7
Dalam RUU tersebut hanya ada dua bentuk yaitu Perum dan PT yang
keduanya berdasarkan asas mencari keuntungan. Dengan asas ini tentunya Perum
dan PT bukanlah pilihan ideal bagi RSUP. Oleh karena itu berkembang wacana
untuk menjadikan RSUP sebagai organisasi yang berbentuk hukum Badan Layanan
Umum (BLU). Bentuk hukum BLU ini sebenarnya dapat diartikan sebagai
lembaga usaha tidak mencari keuntungan (non-profit corporation).

8
B. Bisnis rumah sakit

a. Definisi bisnis rumah sakit


Bisnis rumah sakit adalah bisnis pelayanan yang merupakan nilai yang
dipersepsikan dan ditawarkan kepada kosumen atau pasien yang lebih ditentukan
oleh pelayanan dari pada produk.

b. Perlukah etika bisnis rumah sakit?


ahli menyatakan bahwa etika organisasi rumah sakit saat ini mengalami
perubahan besar. Bentuk lama etika organisasi rumah sakit sering bersandar pada
hubungan dokter dan pasien dalam konteks sumpah dokter. Akan tetapi etika
organisasi rumah sakit saat ini sering membahas norma-norma yang diacu dalam
manajemen kegiatan sehari-hari rumah sakit. Norma-norma ini mencerminkan
bagaimana bisnis rumah sakit akan dijalankan sehingga pada akhirnya rumah sakit
dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Patut dicatat bahwa rumah sakit
sudah ada etika rumah sakit yang disebut sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia
(ERSI). Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) dirumuskan dan dibina oleh PERSI,
dan telah disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sampai saat ini ERSI sudah berada
pada versi tahun 2001.
Dalam seminar di UGM untuk pertama kali di Indonesia dilontarkan usulan
untuk menyusun etika bisnis pelayanan kesehatan (Trisnantoro, 2000). Disebutkan
pada seminar tersebut bahwa bisnis bersifat netral. Dengan mengacu pada konsep
bisnis yang baik maka diperlukan suatu etika bisnis sebagai komplemen dari etika
profesional. Etika bisnis yang berdasar dari etika sosial (misalnya oleh Pareto)
berusaha menjaga sistem pelayanan kesehatan menjadi lebih baik dan melindungi
mereka yang lemah.
Etika rumah sakit di Indonesia (ERSI) tidak secara eksplisit menyebut
sebagai etika bisnis rumah sakit. Hal ini memang masih dalam suatu pengaruh
persepsi masa lalu yang kuat bahwa bisnis dianggap jelek. Buku ini menganut
prinsip bahwa rumah sakit adalah organisasi lembaga pelayanan yang
memberikan pelayanan jasa kesehatan untuk membuat orang menjadi sehat
kembali, atau tetap menjadi sehat dan bertambah sehat. Secara prinsip pemberian
pela-yanan, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan tidak berbeda dengan
lembaga pelayanan lain seperti lembaga pendidikan, hotel, ataupun perpustakaan.

9
Akan tetapi, berdasarkan jenis pelayanan, terdapat per-bedaan antara pelayanan
rumah sakit dan pelayanan hotel misalnya.
Dalam pelayanan hotel tidak ada unsur eksternalitas, dan nilai-nilai
penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara tradisional oleh
lembaga pelayanan kesehatan. Sifat khusus pelayanan kesehatan menimbulkan
kebutuhan akan norma-norma dalam men-jalankan lembaga pelayanan kesehatan
pada umumnya atau rumah sakit pada khususnya. Berkaitan dengan ekonomi,
etika bisnis pelayanan kesehatan akan banyak menggunakan pernyataan-
pernyataan normatif.
Dengan demikian, etika organisasi rumah sakit merupakan etika bisnis
dengan sifat-sifat khusus. Etika bisnis didefinisikan oleh Velasques (1998) sebagai
studi mengenai standar moral dan bagaimana standar tersebut dipergunakan oleh:
(1) sistem dan organisasi dengan masyarakat modern memproduksi dan mendistri-
busikan barang dan jasa, serta (2) orang-orang yang bekerja di dalam organisasi
tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah sebuah bentuk dari etika terapan.
Etika bisnis tidak hanya menganalisis norma-norma moral dan nilai-nilai moral
tetapi juga berusaha memberikan kesimpulan pada berbagai lembaga, proses
teknologi, kegiatan dan usaha yang sering disebut sebagai “business”. Definisi ini
menyatakan bahwa etika bisnis mencakup lembaga dan orang-orang yang bekerja
di dalamnya.
Dalam masyarakat yang tertata baik, timbul suatu harapan bahwa etika
bisnis dan norma-norma masyarakat akan berjalan seiring. Dalam konsep good
governance, peraturan pemerintah diharap dapat mengatur hubungan antara
lembaga usaha dan masyarakat secara benar. Diharapkan etika bisnis dalam isu
sistemik (Velasquez, 1998) dapat mendukung tercapainya good governance.
Dengan sepakatnya masyarakat dan lembaga usaha non-profit dan yang for-profit,
maka akan terjadi harmoni. Demikian pula bagi rumah sakit for-profit, tentunya
akan berusaha agar norma-norma masyarakat tidak dilanggar. Sebagai gambaran,
bagi masyarakat yang mampu, norma-norma menyatakan bahwa membayar
rumah sakit untuk proses penyembuhannya adalah hal wajar. Apabila rumah sakit
mendapat keuntungan dari proses penyembuhan yang mereka lakukan,
masyarakat juga menilai wajar asal dalam batas-batas norma yang ada. Akan
tetapi, andaikata rumah sakit meningkatkan keuntungan setinggi-tingginya dengan
cara mengurangi biaya, misalnya tidak memasang instalasi limbah yang baik, atau

10
mengenakan tarif dokter yang sangat tinggi, maka kemungkinan masyarakat akan
menentang rumah sakit tersebut.
Djojosugito (1997) menyatakan bahwa para manajer (adminis-trator) rumah
sakit merupakan satu profesi yang memiliki etika profesi. Etika profesi manajer
rumah sakit berkaitan dengan etika pelayanan kesehatan dan dengan etika
biomedik. Problem etika pelayanan kesehatan yang mempengaruhi etika
administrator rumah sakit adalah hal keadilan distributif. Ini dijabarkan sebagai
keadilan aksesibilitas anggota masyarakat terhadap pelayanan kedokteran di
rumah sakit. Dengan demikian memang etika manajer rumah sakit sangat terkait
dengan masalah ekonomi.
Sebagai bagian dari warga negara, rumah sakit harus memikirkan fungsi
untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat dan eksternalitas yang
dimilikinya. Rumah sakit dapat memberikan eksternalitas baik yang
meningkatkan status kesehatan masyarakat. Dalam hal ini rumah sakit layak diberi
subsidi. Sebaliknya, rumah sakit dapat memberikan eksternalitas buruk yang dapat
menurunkan status kesehatan masyarakat, misalnya mencemari lingkungan.
Dengan demikian, etika bisnis rumah sakit tidak hanya terbatas pada
mematuhi peraturan hukum, tidak terbatas pada etika profesional, ataupun pada
etika klinik. Etika bisnis rumah sakit akan dipakai sebagai acuan bagi semua
profesional yang berada di rumah sakit. Dalam hal ini tentunya etika bisnis rumah
sakit tidak akan bertentangan dengan etika profesional yang ada. Bagi profesi
manajer pelayanan kesehatan, etika bisnis rumah sakit akan menjadi pegangan
dalam memutuskan atau menilai sesuatu hal. Berdasarkan buku Weber (2001)
sebagian etika bisnis rumah sakit berhubungan langsung dengan prinsip-prinsip
ekonomi yaitu: biaya dan mutu pelayanan, insentif untuk pegawai, kompensasi
yang wajar, dan eksternalitas. Secara satu persatu, hal-hal tersebut akan dibahas.

c. Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan


Dalam kaitannya dengan besarnya biaya dan mutu pelayanan, maka
terdapat berbagai hal penting yang perlu diperhatikan dalam etika bisnis rumah
sakit: pelayanan kesehatan yang baik berarti pelayanan yang terbukti cost-
effective, pelayanan kesehatan yang lebih mahal bukan berarti lebih baik, standar
pelayanan minimal tertentu harus diberikan pada semua pasien dari berbagai
kelas, dan usaha-usaha untuk mengendalikan biaya harus selalu dievaluasi dalam

11
hal pengaruhnya terhadap pasien. Terlihat bahwa etika bisnis mempunyai dasar
evaluasi ekonomi cost-effectiveness yang mengacu pada prinsip-prinsip medik.
Dengan demikian, etika bisnis dalam hal ini tidak bertentangan dengan prinsip
medik.
Pelayanan kesehatan mempunyai sifat yang harus diberikan secara utuh,
misalnya pemberian antibiotika seharusnya diberikan dalam dosis yang tidak
boleh dikurangi. Oleh karena itu, pasien sebaiknya dianggap sebagai pihak yang
memiliki pelayanan kese-hatan, termasuk paket keseluruhan. Selain itu pasien
dapat dianggap tidak dilayani dengan baik jika mereka tidak mendapat seluruh
potensi manfaat pelayanan.
Saat ini sistem pelayanan kesehatan diharapkan menggunakan prinsip
evidence-based medicine. Dalam memilih terapi atau prosedur diagnosis para
dokter diharapkan menggunakan bukti-bukti yang tepat. Dalam kaitannya dengan
biaya dan etika bisnis rumah sakit maka konsep evidence based medicine sangat
relevan. Menurut Weber (2001) disebutkan bahwa sebagai aturan umum,
pelayanan yang paling murah harus diberikan sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa pelayanan yang lebih mahal memberikan hasil yang
bermakna. Kemudian, apabila terjadi perbedaan biaya yang semakin besar antara
satu penanganan dan alternatifnya, maka semakin besar kebutuhan akan bukti
manfaatnya. Di samping itu, kebutuhan untuk memberikan pelayanan bermutu
dengan biaya paling rendah tidak berarti harus merugikan kepentingan dan
keselamatan staf rumah sakit.
Dalam hal perawatan pasien yang terkait dengan biaya maka prinsip yang
harus diacu antara lain: pelayanan kesehatan yang disebut bermutu baik pada
suatu tempat adalah yang tepat berdasarkan kebutuhan pasien akan pelayanan
medik dan biayanya. Pada saat merawat pasien, rumah sakit sebaiknya
mempunyai mekanisme untuk secara rutin mengkaji mutu dan efektivitas biaya
pelayanan para pasien yang menggunakan sumber biaya besar. Di samping itu,
selama dirawat pasien sebaiknya diberi informasi secara teratur mengenai biaya
yang telah dipergunakan dan pelayanan yang mereka terima.
Dalam hal pemberian subsidi dan sumber dana bagi pasien yang miskin,
etika bisnis rumah sakit harus memperhatikan berbagai hal. Komitmen rumah
sakit untuk memberikan pelayanan bagi orang miskin (tanpa memperhatikan
kemampuan atau sumber pembiaya-annya) tidak berarti masalah biaya merupakan

12
hal yang tidak penting. Bagi pasien yang disubsidi pun, faktor biaya harus
diperhatikan karena pemberi subsidi tidak berharap bahwa uang yang disum-
bangkan akan dipergunakan secara tidak efisien oleh rumah sakit.
Dalam hal ini komitmen rumah sakit untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu tinggi kepada semua orang mem-butuhkan tindakan
untuk mencari sumber pembiayaan bagi pasien yang tidak mampu dan harus
dicari secara bijaksana. Akan menjadi ironi apabila untuk membiayai orang
miskin, rumah sakit sendiri akan menjadi tidak sehat keuangannya dan akan
bangkrut. Disamping itu, rumah sakit harus mempunyai dana yang dapat dipakai
untuk menanggung risiko jika ada pasien yang sangat membutuhkan biaya.

d. Insentif keuangan untuk dokter


Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, tidak dapat dihindari adanya
insentif keuangan untuk dokter dan tenaga kesehatan lain. Hal ini terutama terjadi
pada sistem pembayaran fee-for-service yaitu dokter dibayar berdasarkan tindakan
yang dilakukan. Berbagai hal penting yang perlu ditekankan dalam etika bisnis,
pertama, insentif keuangan untuk dokter sebaiknya tidak terlalu tinggi. Disadari
bahwa pernyataan normative ini masih sangat kabur karena tinggi atau tidaknya
masih tergantung pada jenis dokter spesialis, tempat dan waktu tindakan medik,
serta ada-tidaknya asuransi kesehatan. Dalam hal ini peranan ikatan profesi dan
lembaga konsumen masyarakat dibutuhkan untuk mencari bagaimana standar
insentif yang tepat.
Hal penting kedua dalam etika bisnis, pemberian insentif sebaiknya
dilakukan berdasarkan kriteria mutu tertentu. Hal ini perlu dipikirkan untuk
mencegah adanya supplier-induced-demand. Harus ada kriteria yang benar-benar
jelas mengapa ada insentif untuk tindakan yang dilakukan. Ketiga, insentif
seharusnya dipergunakan untuk mempengaruhi dokter agar berperilaku baik.
Dalam suatu sistem manajemen yang baik diharapkan ada suatu sistem insentif
bagi mereka yang berperilaku baik dan disinsentif (pengurangan penghar-gaan)
bagi yang kurang baik. Adalah suatu hal yang memprihatinkan apabila dalam
suatu sistem kompensasi dokter yang sering mening-galkan pasien di rumah sakit
untuk bekerja di tempat lain justru mendapat kompensasi tinggi karena senioritas,
bukan pada jumlah dan mutu pekerjaan.

13
e. Rumah sakit sebagai tempat kerja
berikan kompensasi bagi stafnya secara layak. Kompensasi dapat berbentuk
ukuran moneter atau nonmoneter. Sebagai bagian dari etika bisnis, rumah sakit
harus memberikan gaji dan pendapatan lain yang cukup untuk sumber daya yang
bekerja di rumah sakit. Dalam hal ini nilai-nilai yang dipergunakan untuk
menetapkan gaji bagi dokter, bagi para perawat, dan tenaga nonmedik lain
termasuk manajer merupakan bagian dari etika bisnis rumah sakit. Adalah tidak
etis untuk menggaji perawat berdasarkan upah minimum pekerja, karena perawat
mempunyai risiko untuk menjadi sakit akibat tertular dan mempunyai pola kerja
shift yang merupakan risiko menjadi tidak sehat. Pada kasus petugas bagian
radiologi, ada tunjangan khusus dan pemberian makanan tambahan untuk
menghadapi risiko akibat radiasi.
Saat ini di rumah sakit pemerintah adalah hal biasa jika gaji dan pendapatan
perawat atau dokter rendah. Hal ini merupakan pengaruh dari konsep
misionarisme masa lalu dengan para perawat atau dokter adalah pegawai misi
yang memang bekerja bukan atas dasar profesionalisme tapi berdasarkan motivasi
surgawi. Dampak untuk dokter adalah menjadikan dokter sebagai aparat
pemerintah, bukan profesional. Pendapatan dokter ditetapkan dengan standar gaji
pegawai negeri. Penetapan standar dengan cara ini mengakibatkan perbedaan
besar antara gaji yang diterima dan harapan para dokter (Lihat Bab XII dan Bab
XIII). Akibatnya, untuk mencari pendapatan lain dokter pemerintah melakukan
kerja sambilan di rumah sakit swasta dan praktik pribadi dengan porsi yang sangat
besar.
Hal serupa terjadi pada perawat yang sebagian memperoleh pendapatan
tidak hanya satu rumah sakit. Dalam hal ini rumah sakit sebagai tempat bekerja
berperilaku tidak etis dalam hal mengatur pendapatan dokter dan perawat, yaitu
memberikan kompensasi jauh di bawah standar. Memang masalah penting dalam
hal ini adalah berapa standar pendapatan dokter. Tanpa standar pendapatan ini
sulit bagi rumah sakit dan para profesional melakukan penilaian mengenai
masalah ini.
Etika bisnis mengenai pendapatan direksi dan manajer rumah sakit perlu
untuk diperhatikan. Dalam kenyataan, merupakan kelaziman apabila pendapatan
direksi berhubungan dengan besarnya revenue rumah sakit atau berdasarkan
kinerja keuangan rumah sakit. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai

14
budget maximiser oleh Baumol (1967) dan sistem pendapatan direksi berdasarkan
keun-tungan yang diperoleh. Dalam hal ini memang berbagai hal perlu dicermati
yaitu, apakah etis untuk menerima dari penjualan obat, ataupun persentase dari
pendapatan bersih rumah sakit? Apakah etis direksi mendapat bagian tertentu dari
proyek pengembangan rumah sakit? Dalam perilaku sales maximiser ini
kemungkinan penyembuhan pasien tidak begitu diperhatikan dibandingkan
dengan jumlah uang yang dibayarkan ke rumah sakit yang berarti adalah
pendapatan direksi. Dalam hal ini harus dipikirkan mengenai bagaimana etika
manajer dalam menerima kompensasi.

f. Bagaimana rumah sakit di masa mendatang?


Etika bisnis rumah sakit masih perlu dikembangkan dengan berbagai
kegiatan dan perlu dikaji dalam kaitannya dengan etika profesional. Berbagai
kegiatan tersebut antara lain penelitian, diskusi, pendidikan, dan praktik langsung
di rumah sakit. Diharapkan Komite Etika Rumah Sakit akan mengembangkan
pengkajian mengenai etika bisnis rumah sakit. Etika bisnis penting pula untuk
dikembangkan sebagai suatu bahan pendidikan mahasiswa kedokteran, residen,
dan Program Pascasarjana Manajemen Rumah Sakit. Sebagai catatan, dengan
metode pendidikan khusus, etika bisnis perusahaan dapat diajarkan pada
pendidikan para manajer, misalnya di Harvard Business School (Piper dkk.,
1992). Dalam pendidikan berkelanjutan untuk para manajer dan dokter spesialis
atau tenaga kesehatan lain dapat dilakukan berbagai kursus atau seminar mengenai
etika bisnis rumah sakit.
Etika bisnis secara konseptual dibutuhkan oleh manajer rumah sakit untuk
menjalankan pekerjaannya. Oleh karena itu, konsultan khusus diperlukan dalam
etika bisnis rumah sakit. Tujuan konsultan ini adalah untuk: (1) memberitahukan
pengambil keputusan mengenai masalah-masalah etika bisnis rumah sakit; (2)
memberi rekomendasi; (3) memberikan opini lain dalam hal keputusan bisnis
yang berat, misalnya dalam pemutusan hubungan kerja, dan memberikan masukan
untuk peningkatan kinerja rumah sakit dari aspek etika. Pada akhirnya, prinsip
dasar etika bisnis akan sejalan dengan konsep dasar bisnis yang harus hidup serasi
dengan lingkungannya.
Di dalam rumah sakit diharapkan etika bisnis rumah sakit akan mendukung
gerakan ke arah good corporate governance rumah sakit profit maupun non-

15
profit. Di samping itu, bersama-sama dengan etika dokter, etika bisnis rumah sakit
akan mendukung pengembangan good clinical governance pada pelayanan medik
rumah sakit.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Boomgard (1996) menyatakan bahwa sejarah rumah sakit di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia yang berlangsung
sejak tahun 1649, ketika seorang ahli bedah bernama Caspar Schamberger berada di
Edo (saat ini Tokyo) untuk mengajarkan ilmu bedah kepada orang Jepang. Masa ini
merupakan awal dari beralihnya sistem tradisional kesehatan di Asia yang mengacu
pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem Belanda (Akira, 1996). Pengalihan ini
berjalan secara lambat. Patut dicatat bahwa pelayanan kesehatan Barat sering
diperuntukkan bagi keluarga bangsawan.
Purwanto (1996) menyatakan bahwa pada masa awal rumah sakit di
Indonesia secara eksklusif hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Baru pada
masa berikutnya orang non-Eropa yang bekerja dengan VOC mendapat kesempatan
untuk menggunakan rumah sakit, akan tetapi berbeda tempat, fasilitas, dan pelayanan.
Sementara itu, orang Cina secara eksklusif digiring oleh peraturan VOC maupun oleh
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan rumah sakit sendiri sehingga ilmu
kedokteran dan pengobatan tradisional Cina diberlakukan tanpa ada pengaruh terapeutik
dan farmakologis barat.
Motif mencari keuntungan tidak dapat dihindari dari sistem kesehatan
termasuk rumah sakit. Kekuatan pasar adalah sesuatu yang bertenaga dan tidak
mungkin dilawan secara frontal. Kekuatan pasar dan profit ini harus diatur dalam
suatu sistem yang baik. Reformasi pemerintahan bertujuan menghasilkan good-
governance yang akan mengatur berbagai hubungan antara lembaga pemerintah,
masyarakat, dan pihak swasta. Sementara itu, perusahaan-perusahaan berusaha
mengembangkan good corporate governance. Rumah sakit sebagai lembaga usaha
berusaha mengembangkan good corporate governance dengan berbagai usaha,
termasuk pengembangan indikator kinerja yang menyeluruh. Dalam mendukung
tercapainya good corporate governance di rumah sakit, etika bisnis rumah sakit
diperlukan secara lebih luas. Etika bisnis pelayanan kesehatan yang banyak bersandar
pada analisis normatif dalam ekonomi akan menjadi pedoman para profesional dalam
sistem pelayanan kesehatan untuk bekerja sama

17
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasa dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca agar memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Trisnantoro laksono. 2017. “memahami penggunaan ilmu ekonomi dalam manajemen


rumah sakit”. Yogykarta: gadjag mada university press

angkatanxv.files.wordpress.com/.../urindo-sejarah-perkambangan-rs.Diakses 01 mei
2020

http://gugunnawan.blogspot.com/2013/01/rumah-sakit.html, diakses 01 mei 2020

http://hmscfkmuh.wordpress.com/2012/12/19/sejarah-rumah-sakit.html diakses 01
mei 2020

Wikipedia.2014.id.wikipedia.org/wiki/sejarah-rumah-sakit.html diakses 29 april 2020

19

Anda mungkin juga menyukai