Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cranium atau tulang tengkorak merupakan puncak dari kolum vertebrae yang

terdiri dari 22 tulang yang berbeda dan dibagi kedalam 2 bagian, yaitu 8 tulang cranial

dan 14 tulang facial. Tulang cranial (crani- = mengenai otak)

membentuk cavum cranii yang membungkus dan melindungi otak. Kedelapan

tulang cranial adalah tulang frontal, dua buah tulang parietal, dua buah

tulang temporal, tulang occipital, tulang sphenoid, dan tulang ethmoid.

Tulang facial berjumlah 14 buah yang membentuk wajah. Keempat belas tulang

tersebut adalah dua buah tulang maxilla, dua buah tulang zygomatic,

tulang mandibular, dua buah tulang lacrimal, dua buah tulang palatine, dua buah

tulang conchae nasal inferior, tulang vomer, dan tulang nasal yang mendasari suatu

organ yaitu organ hidung atau dengan nama latin nasal . Tulang cranial berfungsi

sebagai wadah pelindung bagi otak, sedangkan tulang facial berfungsi sebagai

pembentuk tulang wajah sekaligus melindungi system respiratori dan system digestive

bagian atas. (Ballinger, 2016).

Cerebral atau otak merupakan struktur pusat pengaturan yang memiliki

volume sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Cerebral

mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, prilaku, dan fungsi tubuh

seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.

Cerebral terdiri dari dua bagian utama yaitu Cerebrum (otak besar) dan Cerebellum

(otak kecil).

Stroke merupakan salah satu penyakit yang paling menakutkan karena dapat

berakibat fatal baik kematian atau disabilitas jangka panjang.Berdasarkan data World

1
Health Association (WHO, 2013), stroke menduduki urutan kedua penyebab kematian

di dunia setelah penyakit jantung iskemik. Terdapat sekitar 15 juta orang menderita

stroke setiap tahun. Diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak 5 juta orang

dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen.

Stroke,atau cerebrovascular accident (CVA), adalah hilangnya fungsi-fungsi otak

dengan cepat, karena gangguan suplai darah ke otak. Hal ini dapat terjadi

karena iskemia (berkurangnya aliran darah) dikarenakan oleh penyumbatan

(thrombosis, arterial embolism), atau adanya haemorrhage (pendarahan).

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke

hemorragik. Deteksi secepatnya dalam masa 'Golden Period' beberapa jam setelah

serangan stroke sangat berarti bagi kesehatan pasien pasca stroke. Stroke iskemik,

karena penyumbatan harus diberikan obat pengencer darah untuk melancarkan

sumbatan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah serangan stroke, sedangkan

stroke hemorragik dimana terjadi pendarahan harus segera dilakukan pembedahan

untuk membersihkan darah dari otak. (Neil R.Sims. 2010).

pada pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada pasien stroke adalah

dengan Magnetic resonance imaging (MRI) dan Computed Tomografi Scanning (CT

Scan). Secara umum pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitive

dibandingkan CT Scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik

pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. Namun

kelemahannya tidak bisa memeriksa pasien yang menggunakan protese logam dalam

tubuhnya, prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga

pemeriksaan yang lebih mahal. Sedangkan, CT Scan dapat membedakan stroke infark

dengan stroke hemoragik. Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan gold standart

untuk menegakkan diagnosis stroke (Rahmawati, 2009).

2
CT Scan merupakan proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X

sebagai alat penunjang diagnostic yang memiliki kemampuan memdeteksi struktur

otak dengan sangat baik. Tujuan utama CT-Scan adalah dapat menunjukkan jaringan

lunak, tulang, otak, dan pembuluh darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area

otak yang abnormal dan dapat menentukan penyebab stroke dan dapat juga

memperlihatkan ukuran dan lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan

pembuluh darah, dan pembekuan darah (Sunardi,2007).

Pada CT-scan tersebut memiliki prosedur pencitraan diagnostik yang

menggunakan kombinasi dari sinar-x dan teknologi komputer untuk menghasilkan

gambar penampang (yang sering disebut irisan atau slice), baik horisontal maupun

vertikal dari tubuh. Multi Slice CT-scan dengan kecepatannya merupakan generasi

CT-scan canggih dengan peningkatan kecepatan yang sangat signifikan dari generasi

terdahulu, sehingga penegakan diagnosa dapat lebih akurat (Sofiana, 2013).

Pada kasus ini sangat sulit untuk mengetahui dibagian mana stroke berada.
Oleh karena itu, banyak dokter yang lebih memilih CT Scan kepala non kontras
sebagai pendiagnosa penyakit tersebut untuk mengetahui dimana letak dan seberapa
besar terjadinya kerusakan akibat stroke. CT Scan merupakan perpaduan antara
teknologi sinar-x, komputer dan televisi sehingga mampu menampilkan gambar
anatomis tubuh dalam manusia dalam bentuk irisan atau slice. Prinsip kerja CT Scan
menggunakan sinar-x sebagai sumber radiasi. Sinar-x berasal dari tabung yang
terletak berhadapan dengan sejumlah detektor, dimana keduanya bergerak secara
singkron memutari pasien sebagai objek yang ditempatkan diantaranya.(Rasad, 2000)
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang

pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke dan mengangkatnya sebagai

laporan kasus dengan judul “TEKNIK PEMERIKSAN CT SCAN KEPALA

DENGAN INDIKASI STROKE DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD dr.

GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA”.

3
B. Rumusan Masalah

Bagaimana prosedur pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke di Instalasi

Radiologi RSUD dr. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan aporan kasus ini adalah :

Untuk mengetahui Teknik Pemeriksaan MSCT Kepala Polos dengan Indikasi Stroke

di Instalasi Radiologi RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis : sebagai bahan acuan bagi akademisi, untuk mengetahui Teknik

Pemeriksaan MSCT Kepala Polos dengan Indikasi Stroke yang benar.

2. Manfaat Praktis : sebagai masukkan bagi RSUD, dalam memperoleh informasi

tentang penatalaksanan MSCT Kepala Polos dengan Indikasi Stroke.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Laporan Kasus ini sistematika penulisan yang penulis gunakan

secara garis besar antara lain :

BAB I PENDAHULUAN,

Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan,dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang anatomi otak manusia, patologi stroke, komponen CT-Scan,

parameter CT-Scan dan Teknik pemeriksaan CT-Scan kepala.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang profil kasus yang diangkat dalam laporan kasus ini serta

pembahasan.

4
BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

DATAR PUSTAKA

Bab ini berisi tentang latar buku dan referensi yang digunakan sebagai dasar teori

pembuatan laporan kasus ini.

LAMPIRAN

Bab ini berisi tentang form permintaan, hasil pemeriksaan dan hasil pembacaan

foto oleh dokter.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Menurut Gray (2004), kepala merupakan bagian terpenting dari tubuh yang terdiri

dari tulang tengkorak (cranium), otak (cerebral), dan organ-organ penting seperti mata,

telinga, hidung dan mulut.

1. Cranium

Cranium atau tulang tengkorak merupakan puncak dari kolum vertebrae yang

terdiri dari 22 tulang yang berbeda dan dibagi kedalam 2 bagian, yaitu 8 tulang

cranial (Gambar 2.1) dan 14 tulang facial(Gambar 2.2). Tulang cranial berfungsi

sebagai wadah pelindung bagi otak, sedangkan tulang facial berfungsi sebagai

pembentuk tulang wajah sekaligus melindungi system respiratori dan system

digestive bagian atas. (Ballinger, 2016).

Tulang cranial yang berfungsi sebagai pelindung otak atau cerebral dibagi atas 2

bagain, yaitu calvarium (tutup kepala) dan base (dasar kepala).

Gambar 2.1 Tulang Cranial (Ballinger,2016)

6
Gambar 2.2 tulang facial (Ballinger,2016)

2. Cerebral (Otak)

Menurut Damasio (2005), cerebral atau otak merupakan struktur pusat

pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel

saraf atau neuron. Cerebral mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan,

prilaku, dan fungsi tubuh seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan

cairan tubuh dan suhu tubuh. Cerebral terdiri dari dua bagian utama yaitu

Cerebrum (otak besar) dan Cerebellum (otak kecil). Adapun penjelasan kedua

bagian tersebut ialah:

a. Cerebrum

Cerebrum, bagian terbesar otak manusia, dibagi menjadi dua bagian

yang sama, hemisfer serebri kiri dan kanan (Gambar 2.3). Keduanya saling

berhubungan melalui korpus kalosum, suatu pita tebal yang diperkirakan

terdiri dari 300 juta akson neuron yang berjalan di antara kedua hemisfer.

Korpus kalosum adalah "jalan layang informasi" tubuh. Kedua hemisfer

7
berkomunikasi dan saling bekerja sama melalui pertukaran informasi instan

lewat koneksi saraf ini. (Sherwood, 2011).

Gambar 2.3 Hemisfer Serebrum (Sherwood,2011)

Berdasarkan sistem fungional nya, yang dijelaskan oleh Sherwood

(2011), cerebrum dibagi kedalam lobus-lobus yang dinamakan berdasarkan

letak anatomisnya dengan tulang cranium. Masing-masing lobus memiliki

fungsional kerja masing-masing (Gambar 2.4), seperti:

1) Lobus oksipitalis yang terletak di posterior (di kepala belakang),

melaksanakan pemrosesan awal masukan penglihatan.

2) Lobus temporalis yang terletak di lateral (di kepala samping)

mempresepsikan sensasi suara.

3) Lobus parietalis yang terletak di belakang sulkus sentralis di masing-

masing sisi. Lobus ini berperan dalam menerima dan memproses masukan

sensorik.

4) Lobus frontalis yang terletak di kepala bagian depan. Lobus parietalis

terutama berperan dalam tiga fungsi utama: (1) aktivitas motorik volunter,

(2) kemampuan berbicara, dan (3) elaborasi pikiran.

8
Gambar 2.4 Pembagian lobus dalam cerebrum(F.Netter,2014)

b. Cerebellum

Serebelum terdiri dari tiga bagian yang secara fungsional berbeda dengan

peran berbeda yang terutama berkaitan dengan kontrol bawah sadar aktivitas

motorik (Gambar 2.5). Secara spesifik, bagian-bagian screbelum melakukan

fungsi-fungsi berikut:

1) Vestibuloserebelum penting untuk mempertahankan keseimbangan dan

kontrol gerakan mata.

2)  Spinoserebelum meningkatkan tonus otot dan mengoordinasikan gerakan

volunter terampil. Bagian otak ini sangat penting dalam memastikan

waktu yang tepat kontraksi berbagai otot untuk mengoordinasikan gerakan

yang melibatkan banyak sendi. Sebagai contoh, gerakan sendi bahu, siku,

dan pergelangan tangan anda harus sinkron bahkan ketika anda melakukan

gerakan sederhana seperti mengambil pensil.

3) Serebroserebelum berperan dalam perencanaan dan inisiasi aktivitas

volunter dengan memberikan masukan ke daerah motorik korteks. Ini juga

merupakan bagian serebelum yang menyimpan ingatan procedural.

9
Gambar 2.5 Pembagian Cerebelum ( Merah = vestibuloserebelum,ungu =

spinoserebelum, hijau = serebroserebelum) (Sherwood,2011)

b. Meninges (Lapisan Otak)

Meninges, adalah tiga membran yang membungkus susunan saraf

pusat, dari lapisan terluar hingga terdalam; dura mater, arakhnoid mater, dan

pia mater. (Gambar 2.6). Berikut ini penjelasn dari ketiga membrane

pembungkus saraf pusat:

1) Dura mater adalah pembungkus inelastik kuat yang terdiri dari dua lapisa

(dura artinya "kuat"). Lapisan-lapisan ini biasanya melekat erat, tetapi di

beberapa tempat keduanya terpisah untuk membentuk rongga berisi darah,

sinus dural, atau rongga yang lebih besar, sinus venosus. Darah vena yang

berasal dari otak mengalir ke sinus ini untuk dikembalikan ke jantung. Cairan

serebrospinal juga masuk kembali ke darah di salah satu dari sinus-sinus ini.

(Sherwood, 2011)

2) Arakhnoid mater adalah lapisan halus kaya pembuluh darah dengan

penampakan "sarang laba-laba' (arahhnoid artinya "seperti labalaba'). Ruang

antara lapisan arachnoid dan pia mater di bawahnya, ruang subarakhnoid,

terisi oleh CSS. Penonjolan jaringan arakhnoid, vili arakhnoid, menembus

10
celah-celah di dura di atasnya dan menonjol ke dalam sinus dura. CSS

direabsorpsi menembus permukaan vilus-vilus ini untuk masuk ke sirkulasi

darah di dalam sinus. (Sherwood, 2011)

3) Pia mater, adalah yang paling rapuh (pia artinya "lembut"). Lapisan ini

memiliki banyak pembuluh darah dan melekat erat ke permukaan otak dan

medula spinalis, mengikuti setiap tonjolan dan lekukan. Di daerah-daerah

tertentu, lapisan ini masuk jauh ke dalam otak untuk membawa pembuluh

darah berkontak erat dengan sel-sel ependim yang melapisi ventrikel.

Hubungan ini penting dalam pembentukan CSS.(Sherwood, 2011)

Gambar 2.6 Lapisan Otak (Sherwood,2011)

c.  Sistem Ventrikel

Ventrikel terdiri dari empat rongga yang saling berhubungan di dalam

interior otak serta juga bersambungan dengan kanalis sentralis sempit yang

membentuk terowongan di bagian tengah medulla spinalis (Gambar 2.7). Sel-

sel ependim yang melapisi ventrikel ikut membentuk cairan serebrospinal. Sel-

sel ependim adalah salah satu dari beberapa jenis sel yang memiliki silia.

Gerakan silia sel ependim ikut berperan mengalirkan cairan serebrospinal di

11
seluruh ventrikel. Sel ini berfungsi sebagai sel punca neuron dengan potensi

membentuk tidak saja sel glia lain tetapi juga neuron. (Sherwood, 2011).

Gambar 2.7 Sistem Ventrikel (F.Netter,2014)

d. Catatan Klinis

Meskipun banyak bahan dalam darah tidak pernah berkontak langsung

dengan jaringan otak, namun otak, dibandingkan dengan jaringan lain, sangat

bergantung pada pasokan darah yang konstan. Otak akan mengalami

kerusakan jika organ ini tidak mendapat pasokan O, lebih dari 4 sampai 5

menit atau penyaluran glukosanya terputus lebih dari 10 sampai 15 menit.

(Sherwood, 2011)

B. Patologi Stroke

Stroke adalah suatu kejadian rusaknya sebagian dari otak. Terjadi jika pembuluh

darah arteri yang mengalirkan darah ke otak tersumbat, atau jika robek atau bocor.

Stroke, atau cerebrovascular accident (CVA), adalah hilangnya fungsi-fungsi otak

dengan cepat, karena gangguan suplai darah ke otak. Hal ini dapat terjadi

karena iskemia (berkurangnya aliran darah) dikarenakan oleh penyumbatan

(thrombosis, arterial embolism), atau adanya haemorrhage (pendarahan). Stroke iskemik

12
yang biasanya disebabkan oleh diabetes menjadi mayoritas pada penderita stroke dan

bisa mencapai 85 persen, sedangkan stroke pendarahan hanya 15 persen, tetapi stroke

pendarahan dapat menyebabkan kematian pada 40 persen pasiennya. Yang perlu

diperhatikan juga adalah stroke iskemik ringan yang gejalanya mirip stroke, tetapi akan

hilang dengan sendirinya dalam 24 jam (transient ischemic attacks (TIA)).

Karenanya, daerah yang terkena stroke tidak dapat berfungsi seperti seharusnya.

Gejala-gejalanya termasuk: hemiplegia (ketidak mampuan untuk menggerakkan satu atau

lebih anggota badan dari salah satu sisi badan, aphasia (ketidak mampuan untuk mengerti

atau berbicara), atau tidak mampu untuk melihat salah satu sisi dari luas pandang (visual

field). Stroke memerlukan tindakan darurat medis (medical emergency) pada masa

emasnya (golden period) yang maksimum hanya berlangsung beberapa jam saja setelah

terjadinya stroke. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan tetap atau

kerusakan yang lebih parah. Dan jika tidak ditangani, bahkan bisa mengakibatkan

kematian.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya stroke adalah: usia, tekanan darah

tinggi, stroke sebelumnya, diabetes, kolesterol tinggi, merokok, atrial

fibrillation, migraine dengan aura, dan thrombophilia (cenderung thrombosis). Dari

semua faktor-faktor tersebut yang paling mudah dikendalikan adalah tekanan darah

tinggi dan merokok.

1. Klasifikasi

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke

hemorragik. Deteksi secepatnya dalam masa 'Golden Period' beberapa jam setelah

serangan stroke sangat berarti bagi kesehatan pasien pasca stroke. Stroke iskemik,

karena penyumbatan harus diberikan obat pengencer darah untuk melancarkan

sumbatan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah serangan stroke, sedangkan

13
stroke hemorragik dimana terjadi pendarahan harus segera dilakukan pembedahan

untuk membersihkan darah dari otak. (Neil R.Sims. 2010).

a. Stroke hemorragik

Dalam stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga

menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu

daerah di otak dan merusaknya. Pendarahan dapat terjadi di seluruh bagian

otak seperti caudate putamen; talamus; hipokampus; frontal, parietal, dan

occipital cortex; hipotalamus; area suprakiasmatik; cerebellum; pons; dan

midbrain. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik menyerang penderita

hipertensi.

Stroke hemorragik terbagi menjadi subtipe intracerebral hemorrhage

(ICH), subarachnoid hemorrhage (SAH),cerebral venous thrombosis, dan

spinal cord stroke. ICH lebih lanjut terbagi menjadi parenchymal hemorrhage,

hemorrhagic infarction, dan punctate hemorrhage.

b. Stroke iskemik

Dalam stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur

pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua

arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri carotis interna

merupakan cabang dari arteri carotis communis sedangkan arteri vertebralis

merupakan cabang dari arteri subclavia.

2. Patofisiologi

Hingga saat ini patofisiologi stroke merupakan studi yang sebagian besar

didasarkan pada serangkaian penelitian,terhadap berbagai proses yang saling

terkait, meliputi kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis,

peningkatan kadar Ca2+ sitosolik, eksitotoksisitas, toksisitas dengan radikal

14
bebas, produksi asam arakidonat, sitotoksisitas dengan sitokina, aktivasi sistem

komplemen, disrupsi sawar darah otak, aktivasi sel glial dan infiltrasi leukosit.

Pusat area otak besar yang terpapar iskemia akan mengalami penurunan aliran

darah yang dramatis, menjadi cedera dan memicu jenjang reaksi seperti lintasan

eksitotoksisitas yang berujung kepada nekrosis yang menjadi pusat area infark

dikelilingi oleh penumbra/zona peri-infarksi.

Di area penumbra, apoptosis neural akan berusaha dihambat oleh kedua

mekanisme eksitotoksik dan peradangan,oleh karena sel otak yang masih normal

akan menginduksi sistem kekebalan turunan untuk meningkatkan toleransi

jaringan otak terhadap kondisi iskemia, agar tetap dapat melakukan aktivitas

metabolisme.

Iskemia tidak hanya mempengaruhi jaringan parenkima otak, namun

berdampak pula kepada sistem ekstrakranial. Oleh karena itu, stroke akan

menginduksi imunosupresi yang dramatis melalui aktivasi berlebih sistem saraf

simpatetik, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi bakterial seperti

pneumonia (Mergenthaler P, 2004)

3. Pencegahan

Dalam manusia tanpa faktor risiko stroke dengan umur di bawah 65 tahun,

risiko terjadinya serangan stroke dalam 1 tahun berkisar pada angka 1%.Setelah

terjadinya serangan stroke ringan atau TIA, penggunaan senyawa anti-koagulan

seperti warfarin, salah satu obat yang digunakan untuk penderita fibrilasi

atrial,akan menurunkan risiko serangan stroke dari 12% menjadi 4% dalam satu

tahun. Sedangkan penggunaan senyawa anti-keping darah seperti aspirin,

umumnya pada dosis harian sekitar 30 mg atau lebih, hanya akan memberikan

perlindungan dengan penurunan risiko menjadi 10,4%. Kombinasi aspirin

15
dengan dipyridamole memberikan perlindungan lebih jauh dengan penurunan

risiko tahunan menjadi 9,3%.

Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya stroke adalah dengan

mengidentifikasi orang-orang yang berisiko tinggi dan mengendalikan faktor

risiko stroke sebanyak mungkin, seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan

stenosis di pembuluh karotid, mengatur pola makan yang sehat dan menghindari

makanan yang mengandung kolesterol jahat (LDL), serta olaraga secara teratur.

C. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Gejala-gejala klinis stroke yang sering ditanyakan adalah apakah serangan

terjadi mendadak atau sudah beberapa jam yang lalu, apakah terjadi kelumpuhan

anggota gerak, apakah kesemutan di muka atau salah satu sisi anggota gerak, apakah

tiba-tiba perot, apakah terjadi gangguan keseimbangan, apakah terjadi penurunan

kesadaran (Quershi A.I, 2001; Broderick, et al, 1999;Becker et al, 2002).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum

(pemeriksaan tingkat kesadaran, tekanan darah, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan

jantung) dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan

neurologis adalah palpasi dan auskultasi arteri karotis yang dekat dengan permukaan,

mencari dan mendengar bruit cranial atau servica, mengukur tekanan darah dengan

posisi berbaring dan duduk, mengukur tekanan arteria optalmika, melihat oftalmoskop

ke retina terutama bagian pembuluh darahnya (Quershi A.I, 2001; Broderick, et al,

1999; Becker et al, 2002).

3. Pemeriksaan penunjang

16
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan

laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit,

analisa gas darah, hematologi lengkap dan activated partial thromboplastin tima

(aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun

hiperglikemi, karena pada keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis.

Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit

baik untuk natrium, kalium, fosfat maupun magnesium (Rahajuningsih, 2009).

b. Pemeriksaan Radiologi

1) CT- Scan

Pada kasus stroke, CT Scan dapat membedakan stroke infark dengan

stroke hemoragik. Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan gold standart untuk

menegakkan diagnosis stroke (Rahmawati, 2009).

2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Secara umum pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) lebih

sensitive dibandingkan CT Scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat

adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non

hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat

ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam

peritonium dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak bisa memeriksa pasien

yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, prosedur pemeriksaan yang

lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal

(Notosiswoyo, 2004).

17
D. Komponen CT Scan

Menurut Bontrager’s (2018) Sistem CT terdiri dari tiga komponen utama yaitu

gantry, komputer, dan operator console. Sistem ini mencakup perangkat komputasi dan

pencitraan yang sangat kompleks. Bagian berikut ini memberikan pengantar yang luas

untuk topik yang sangat teknis.

1. Gantry

Gantry terdiri dari tabung sinar-x, detektor array, dan kolimator. Bergantung pada

spesifikasi teknis unit, gantry biasanya dapat disudutkan 30 ° ke setiap arah,

seperti yang dibutuhkan seperti pemeriksaan CT kepala atau tulang belakang.

Bukaan tengah di gantry adalah aperture. Meja CT (kadang-kadang disebut

couchpasien) dihubungkan secara elektronik ke gantry atau gerakan terkontrol

selama pemindaian. Anatomi pasien di dalam aperture adalah area yang sedang

dipindai pada saat itu.

2. X-Ray Tube

Tabung sinar-x mirip dengan tabung radiografi umum dalam konstruksi dan

operasi. Namun, modifikasi desain sering diperlukan untuk memastikan bahwa

tabung mampu menahan kapasitas panas tambahan karena waktu exposure yang

meningkat.

3. Detektor array

Detektor padat dan terdiri dari dioda ditambah dengan bahan kristal scintillator

(cadmium tungstate atau rare earth oxide ceramic crystals). Detektor solid state

mengubah energi sinar-x yang ditransmisikan menjadi cahaya, yang diubah

menjadi energi listrik dan kemudian menjadi sinyal digital. Rangkaian detektor

mempengaruhi dosis pasien dan efisiensi unit CT.

18
4. Kolimator

Kolimasi pada CT penting karena mengurangi dosis pasien dan meningkatkan

kualitas gambar. Pemindai CT generasi sekarang umumnya menggunakan satu

kolimator-prepatient (pada tabung sinar-x), yang membentuk dan membatasi

sinar. Ketebalan slice pada unit CT multidetektor modern ditentukan oleh ukuran

pada baris detektor yang digunakan.

5. Komputer

Komputer CT membutuhkan dua jenis perangkat lunak yang sangat canggih-

satu untuk sistem operasi dan satu untuk aplikasi.

Sistem operasi mengelola perangkat keras, sedangkan aplikasi mengelola

preprocessing, rekonstruksi gambar, dan berbagai macam operasi pasca-

pengolahan. Komputer CT harus memiliki kecepatan dan kapasitas memori yang

besar.

6. Operator Console

Komponen operator console mencakup monitor single atau dual , keyboard,

mouse, , tergantung pada sistem . Konsol operator memungkinkan teknolog untuk

mengontrol parameter pemeriksaan, yang disebut protokol, dan melihat atau

memanipulasi gambar yang dihasilkan. Protokol, yang telah ditentukan atau

setiap prosedur, mencakup faktor seperti kilovoltage, milliamperage, pitch, field

of view, slice thickness , pengindeksan tabel, rekonstruksi algoritma, dan jendela

display.

7. Jaringan dan Pengarsipan

Pengarsipan gambar atau sebagian besar sistem CT melibatkan penggunaan

media digital yang tersimpan dalam arsip PACS (picture archiving and

19
communications system). Gambar yang tidak tersimpan pada PACS dapat

menggunakan kombinasi optical disk dan hard disk drive atau penyimpanan data

berkapasitas tinggi secara permanen.

E. Parameter CT Scan

Gambar pada CT Scan dapat terjadi sebagai hasil dari berkas sinar-X yang mengalami

perlemahan setelah menembus obyek, ditangkap detektor dan dilakukan pengolahan

dalam komputer. Pada CT Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi

dan output gambar yang optimal (Bushberg,2003). Adapun parameter tersebut adalah :

1. Slice thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari obyek yang

diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 mm – 10 mm sesuai dengan keperluan

klinis. Slice thickness yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail

yang rendah sebaliknya dengan slice thickness yang tipis akan menghasilkan

gambaran dengan detail yang tinggi. Slice thickness yang tebal akan

menimbulkan gambaran yang mengganggu seperti garis-garis dan apabila slice

thickness terlalu tipis akan menghasilkan noise yang tinggi

2. Scan Range

Scan range adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice thickness,

yang bermanfaat untuk mendapatkan ketebalan potongan yang berbeda pada satu

lapangan pemeriksaan.

3. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi,

meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA) dan waktu (s). Besarnya

tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada setiap pemeriksaan (Jaengsri,

2004).

20
Tegangan tabung (KV) yaitu beda potensial antara tabung katoda dan anoda.

Semakin tinggi awan elektron yang dihasilkan maka akan semakin kuat

menembus anoda sehingga daya tembus yang dihasilkan akan semakin besar.

Arus tabung (mA) yaitu kuat lemahnya arus yang dihasilkan sinar-X, apabila

arus tabung besar maka elektron yang dihasilkan akan semakin besar.

Waktu (s) yaitu lamanya waktu eksposi, sangat berpengaruh terhadap jumlah

elektron. mAs berpengaruh terhadap jumlah elektron dan kuantitas sinar-X.

4. Field of View (FOV)

Field of View (FOV) adalah diameter maksimal dari gambar yang akan

direkonstruksi. Field of View (FOV) kecil, antara 100 mm sampai dengan 200

mm akan meningkatkan resolusi sehingga detail gambar dan batas objek akan

tampak jelas. Field of View (FOV) kecil akan menyebabkan noise meningkat

(Nesseth, 2000).

Field of View (FOV) sedang, yaitu 200 mm diharapkan gambar yang

dihasilkan memiliki spasial resolusi yang baik, noise serta artefak sedikit.

Field of View (FOV) besar, antara 350 mm sampai dengan 400 mm akan

menghasilkan spasial resolusi yang rendah karena pixel menjadi besar akibat

dilakukannya magnifikasi. Field of View (FOV) besar akan menyebabkan noise

berkurang dan kontras resolusi meningkat serta dapat dihindari munculnya streak

artifact (Genant, 1982).

5. Gantry Tilt

Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan gantry

(tabung sinar-X dengan detektor). Rentang gantry tilt antara -300 sampai +300.

Gantry tilt bertujuan untuk keperluan diagnosa dari masing-masing kasus yang

dihadapi.

21
6. Pitch

Pitch adalah jangka waktu yang berhubungan dengan suatu kecepatan dan

jarak. Pada CT Scan helical, pitch didefinisikan sebagai jarak (mm) pergerakan

meja CT Scan selama satu putaran tabung sinar-X. Pitch digunakan untuk

menghitung pitch ratio, yang mana merupakan suatu rasio pada pitch untuk slice

thickness/beam collimation.

Saat jarak pergerakan meja selama satu putaran penuh, tabung sinar-X sama

dengan slice thickness/ beam collimation, pitch ratio (pitch) yaitu 1:1 atau

sederhananya 1. Suatu pitch dengan nilai 1 menghasilkan kualitas gambar terbaik

dalam CT Scan helical. Pitch ditingkatkan untuk meningkatkan volume coverage

dan kecepatan proses scanning. Nilai pitch berada dalam range 0 sampai dengan

10, sedangkan pitch faktor antara 1 dan 2.

7. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture element

(pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi matriks ini

merupakan salah satu struktur elemen dalam memori komputer yang berfungsi

untuk merekonstruksi gambar. Pada umumnya matriks yang digunakan

berukuran 512x512 yaitu 512 baris dan 512 kolom. Pada pemeriksaan CT Scan

ukuran matriks disesuaikan dengan alat yang tersedia. Rekonstruksi matriks

berpengaruh terhadap resolusi gambar. Semakin tinggi matriks yang dipakai

maka semakin tinggi detail gambar yang dihasilkan. (Bushberg, 2003)

8. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis yang digunakan dalam

merekonstruksi gambar. Penampakan dan karakteristik dari gambar CT Scan

tergantung dari kuatnya algorithma yang dipilih. Semakin tinggi rekonstruksi

22
algorithma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang dihasilkan.

Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan

jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.

9. Window Width

Window Width adalah nilai computed tomography yang dikonversi menjadi

gray scale untuk ditampilkan ke TV monitor. Dasar pemberian nilai ini adalah air

dengan nilai 0 HU, jaringan lunak 140 HU sampai dengan 400 HU, untuk tulang

mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk kondisi

udara nilai yang dimiliki -1000 HU. Jaringan atau substansi lain dengan nilai

yang berbeda tergantung dari nilai perlemahannya. Jadi penampakan tulang pada

monitor menjadi putih dan udara menjadi hitam. Jaringan dan substansi lain akan

dikonversi menjadi warna abu-abu bertingkat yang disebut gray scale. Khusus

untuk darah yang semula dalam penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi

putih apabila diberi media kontras (Rasad, 2011).

10. Window Level

Window Level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk

penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada karakteristik

perlemahan dari struktur obyek yang diperiksa. Window Level menentukan

densitas (derajat kehitaman) gambar yang dihasilkan. Untuk jaringan lunak 30

HU sampai dengan 40 HU, sedangkan untuk tulang 200 HU sampai dengan 400

HU.

23
Gambar 2.8. Hubungan antara nomor CT dan gray scale(Seeraam,2009)

E. Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala

Letakan pasien pada posisi supine dengan penahan kepala. Pastikan pasien

tersebut tidak berrotasi atau miring. Atur meja pemeriksaan sehingga coronal

alignment light tepat berada pada pertengahan midcoronal plane.

Lakukan topogram. Tentukan lokasi scan dari basis cranii ke vertex.

Sudut gantry disesuaikan dengan basis cranii (tulang occipital) (foramen magnum)

dan tulang frontal ( roof of orbit) (Ballinger, 2013).

Gambar.2.9 Scanogram Skull

24
1. Indikasi ( Bontrager,2018)

Indikasi umum untuk pemeriksaan CT Scan Kepala dalah sebagai berikut:

a. Tumor – lesi metastasi,meningioma,glioma

b. Sakit kepala

c. Patologi peredaran darah - cerebrovascular accident(CVA), aneurysm,

arteriovenous malformation (AVM)

d. Inflamasi atau infeksi – meningitis , abses

e. Hidrosefalus

2. Parameter scan

a. Rentang anatomical scan : Basis cranii hingga ke vertex

b. Tipe scan : Axial sequential

c. Lokalisir scan : Anteroposterior atau lateral

d. kVp : 120

e. mAs : 250 otomatis

f. Field of view     : 22 cm

g. Ketebalan irisan scan   : 5 mm

h. Ketebalan irisan recon      : 2.5 mm

i. Kemiringan gantry         : Sejajar dengan basis cranii

j. Inti recon                          : Medium averag

3. Persiapan Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien

Tidak ada persiapan khusus bagi penderita, hanya saja instruksui-

instruksi yang menyangkut posisi penderita dan prosedur

pemeriksaanharus diketahui dengan jelas terutama jika pemeriksaan

dengan menggunakan media kontras. Benda aksesoris seperti gigi

25
palsu, rambut palsu, anting-anting, penjempit rambut, dan alat bantu

pendengaran harus dilepas terlebih dahulu sebelum dilakukan

pemeriksaan karena akan menyebabkan artefak. Untuk kenyamanan

pasien mengingat pemeriksaan dilakukanpada ruangan ber-AC

sebaiknya tubuh pasien diberi selimut (Brooker, 1986)

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan kepala:

a) Pesawat CT-Scan

b) Tabung oksigen

c) Apron

d) Standar infus

e) Automatic Scanning

f) Selimut

g) Head clam

c. Teknik Pemeriksaan

Teknik pemeriksaan CT Scan kepala potongan axial adalah

sebagai berikut :

1) Posisi pasien: Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan

posisi kepala dekat dengan gantry.

2) Posisi objek : Leher pasien difleksikan sehingga IOML

membentuk sudut 250 terhadap smbu vertikal. Posisikan

kepalapasien sehingga MSP tubuh pasien sejajar dengan lampu

indikator longitudinal dan interpupilary line (IPL) sejajar dengan

26
lampu indikator horizontal. Untuk mengurangi pergerakan

sebaiknya kepala pasien difiksasi. (Bontrager, 2005)

Scan Parameter
Parameter menurut (Bontrager, 2010):

a) Scanogram : kepala lateral

b) Scan range : vertex sampai basis cranii

c) Slice thickness : 5-10 mm

d) FOV : 24cm

e) Gantry tilt : sudut gantry tergantung besar

kecilnya sudut yang terbentuk oleh orbita meatal line dengan

garis vertikal

f) Tegangan tabung : 120kV

g) Kuat arus : 250 mA

h) Rekonstruksi Algorithma : soft tissue dan bone

i) Window width :0-90HU

110-160HU

2000-3000HU (tulang)

j) Window level :40-45 HU

30-40 HU

200-400 HU (tulang)

2) Kriteria kualitas gambar MSCT kepala

a) Kriteria visualisasi pencitraan : cerebrum, cerebellum, basis

cranii.

b) Kriteria gambar :

27
a. Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan

substansia gricea

b. Tampak jelas daerah basal ganglia

c. Tampak jelas sistem ventrikel

d. Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan

mengelilingi otak

4. Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan MSCT kepala

pada umumnya

a. Potongan Axial I

Merupakan bagian paling superior dari otak yang disebut

hemisphere. Kriteria gambarnya adalah tampak :

1) Bagian anterior sinus superior sagital

2) Centrum semi ovale (yang berisi materi cerebrum)

3) Fissura longitudinal (bagian dari falks cerebri)

4) Sulcus

5) Gyrus

6) Bagian posterior sinus superior sagital

Gambar 2.10. posisi irisan otak ( Bontrager, 2010)

28
Gambar 2.11. irisan CT Scan dengan jaringan otak

b. Potongan Axial IV

Merupakan irisan axial yang ke empat yang disebut tingkat medial

ventrikel. Kriteria gambarnya tampak :

1) Anterior corpus collosum

2) Anterior horn dari ventrikel lateral kiri

3) Nucleus caudate

4) Thalamus

5) Ventrikel tiga

6) Kelenjar pineal (agak sedikit mengalami kalsifikasi)

7) Posterior horn dari ventrikel lateral kiri

Gambar 2.12. posisi irisan otak ( Bontrager, 2010 )

29
Gambar 2.13. irisan CT Scan potongan aksial IV dengan jaringan otak

c. Potongan Axial V

Menggambarkan jaringan otak dalam ventrikel medial tiga. Kriteria

gambar yang tampak :

1) Anterior corpus collosum

2) Anterior horn ventrikel lateral kiri

3) Ventrikel tiga

4) Kelenjar pineal

5) Protuberantia occipital interna

Gambar 2.14. posisi irisan otak ( Bontrager, 2010)

30
Gambar 2.15. irisan CT Scan dengan jaring otak( Bontrager, 2010 )

d. Potongan Axial VII

Irisan ke tujuh merupakan penggambaran jaringan dari bidang

orbita. Struktur dalam irisan ini sulit untuk ditampakkan dengan baik

dalam CT-scan. Modifikasi-modifikasi sudut posisi kepala dilakukan

untuk mendapatkan gambarannya adalah tampak :

1) Bola mata / occular bulb

2) Nervus optic kanan

3) Optic chiasma

4) Lobus temporal

5) Otak tengah

6) Cerebellum

7) Lobus oksipitalis

8) Air cell mastoid

9) Sinus ethmoid dan atau sinus sphenoid

31
Gambar 2.16. posisi irisan otak ( Bontrager, 2010)

Gambar 2.17. irisan CT Scan dengan jaring otak( Bontrager, 2010 )

32
BAB III

Profil Kasus dan Pembahasan

A. Profil Kasus

1. Ilustrasi Kasus

Pada tanggal 05 November 2018, pasien dengan inisial Tn. AM datang ke Instalasi

Radiologi RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan di antar oleh perawat

menggunakan brankart. Pada lembar permintaan tersebut tertulis permintaan pelayanan

radiologi untuk di lakukan pemeriksaan CT Scan Kepala(Lampiran 1). Berikut adalah

identitas pasien:

Nama : Tn. AM

Umur : 62 th

Jenis Kelamin : Pria

Alamat : Beji

Tanggal pemeriksaan : 05 November 2018

Unit : IGD

Diagnosa : Stroke

Pemeriksaan : CT-Scan Kepala

2. Prosedur Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien

Tidak ada persiapan khusus, hanya saja pasien harus melepaskan benda

logam di sekitar kepala agar tidak mengganggu hasil gambaran radiograf.

Instruksikan kepada pasien agar tidak selama pemeriksaan berjalan.

33
b. Persiapan Alat dan Bahan

1) Pesawat CT-Scan

Merk : TOSHIBA

Tipe : Activion 16 slice

No tabung : 1CA08Y2254

kV /mA maks : 120kV / 200 mAs

Gambar.3.1 pesawat CT-Scan

2) Printer film radiografi

Merk                  : Agfa

Model                : Drystar 5503

Gambar 3.2. printer

3) Film radiografi

Merk                  :

Agfa

34
Model/ukuran    : Drystar Film (14 x 17 inchi )

4) Komputer Console

Untuk mengoperator jalannya pemeriksaan CT-Scan

Gambar 3.3 komputer console

5) Hand dan Body starp

Untuk merekatkan tubuh pasien agar tubuh pasien tidak bergerak

6) Head holder

Sebuah alat bantu untuk imobilisasi dan fiksasi kepala pasien agar

pasien merasa nyaman.

7) Selimut

Untuk kenyaman pasien mengingat ruangan pemeriksaan yang ber-AC

c. Teknik Pemeriksaan

1) Posisi pasien : Posisi pasien supine (tidur terlentang) diatas meja

pemeriksaan dengan posisi kepala pada arah gantry (head first)  dan

menempatkan kepala pasien pada head holder. Kedua lengan di letakkan

di samping tubuh.

35
2) Posisi Objek : Tempatkan kepala pasien pada head holder. Atur kepala

sehingga MSP kepala sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan

lampu indikator horizontal setinggi MAE. Mengatur batas awal scan dari

mandibula menuju vertexs. Tubuh pasien di fiksasi dengan body strap

agar selama pemeriksaan tidak bergerak. Dan pasien diberi selimut agar

lebih nyaman mengingat ruangan pemeriksaan yang ber-AC

d. Proses scaning

1) Memasukan data pasien

Setelah mendapat surat permintaan pemeriksaan dari dokter,

klik “Scan lalu klik next patient’’pada komputer console untuk

memasukan data pasien yang sudah tertera

Patient ID : Nomer Foto

Patient Name : Nama Pasien

Age : Umur

Weight : Berat Badan

Comment : Klinis Pasien

Body Region : Objek yang akan diperiksa

36
Gambar 3.4 tampilan pemasukan data pasien

2) Pemilihan protokol

a) Setelah memasukan data pasien pilih protokol pemeriksaan.pilih

“Helical Brain 5mm ” selanjutnya klik “confirm” dan klik “ok”

tunggu sampai tombol “start scan “ menyala kemudian tekan

tombol tersebut.

b) Setelah itu akan muncul scanogram dari kepala, yaitu dari arah

lateral. Menentukan luas area scanning (scan area) menggunakan

kotak pemandu pada Scannogram. Scan area yang dibuat dalam

kasus Stroke ini dimulai dari basis cranii sampai vertex. Sehingga

seluruh area otak (crebellum dan cerebrum) masuk area scan.

c) Pilih “confirm” kemudian klik “ok” kemudian klik tombol “start

scan” pertama (lampu tombol akan berkelap kelip) untuk

memposisikan pasien dalam posisi awal scan setelah itu tombol

akan menyala lagi dan klik tombol “start scan” untuk kedua kalinya

untuk memulai scanning setelah proses scan selesai klik “stop

37
rotate” untuk menghentikan putaran tube. Setelah dipastikan tidak

ada gambaran yang bergerak, kemudian klik “quit exam”

3) Parameter Scaning

Scannogram : cranium lateral

Slice Thickness : 5 mm dari basis cranii sampai vertex

Kv : 120

mA : 150

Rotation Time : 1.0

Pitch : 0,688

Range : 150.0

Scan time : 16.092

Window Level : 40

Window Width : 90

e. Post processing

1) Pilih “MPR/3D”

2) Lalu klik directory dan pilih nama yang akan di MPR lalu pilih juga

“Vol” dan klik “ok”

3) Atur sedemikian rupa sehingga gambaran antara axial, coronal dan

sagital simetris.

4) Atur slice thickness 3 mm, Window widht : 90 , widow level : 40

5) Pada bagian axial pilih potongan gambaran yang akan dimasukan ke

filming dengan “start dan end” lalu buat potongan axial dengan jumlah

19 slice lalu disave, lakukan juga “strart dan end” pada bagian coronal

dan sagital sesuai kebutuhan tergantung patologis yang tampak dengan

jumlah masing masing 5 slice.

38
6) Lalu klik “filming” klik directory dan pilih data yang sudah di MPR tadi

dan klik “ok”

7) Masukan 1 topogram, 19 potongan axial , 5 potongan coronal dan

potongan sagital pada setiap kotak yang tersedia dengan mengeklik

“store” disetiap gambarnya. Dalam memasukkan gambar dalam film

harus memperhatikan bagian yang menampakan patologisnya.

8) Setelah selesai klik “P.filming” untuk diprint.

f. Hasil citra

Gambar 3.5 Hasil Citra

3. Evaluasi Radiograf

Adapun hasil bacaan Dokter Radiolog sebagai berikut (Lampiran 2):

39
 Infark kecil kecil multiple di pons aspek sinistra, gyrus insularis sinistra,

coronal radiata sinistra dan centrum semi ovale bilateral

 ICH dicapsula externa dextra l.k 16,9 cc yang meluas ke sistema ventrikel

relatif banyak (IVH) dan sebagian cystema pre portin / basalis (SDH)

 Struktur mediana terdeviasi ke sinistra l.k 10 mm

 Cavumorbita, sela tursica baik

 Sinus paranasal, celullae mastoid baik

B. Pembahasan

Prosedur pemeriksaan CT Scan Kepala dengan indikasi Stroke di Instalasi Radiologi

RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga hampir sama dengan prosedur yang ada

dalam teori. Perbedaan yang ada di lakukan karena kondisi alat dan pasien. Secara umum

teknik pemeriksaannya sama dengan Ballinger (2016) yaitu Posisi pasien supine (head

first) dan menempatkan kepala pasien pada head holder. Kedua lengan di letakkan di

samping tubuh. Mid Sagital Plane (MSP) kepala sejajar dengan lampu indikator

longitudinal dan lampu indikator horizontal setinggi MAE. Kepala di fiksasi dengan head

cleam. Tubuh pasien di fiksasi dengan body strap agar selama pemeriksaan tidak

bergerak. Dan pasien diberi selimut agar lebih nyaman mengingat ruangan pemeriksaan

yang ber-AC.

Sebelum proses scanning dilakukan, radiografer wajib memasukkan data-data pasien

ke dalam komputer sebagai registrasi pasien. Setelah itu melakukan scannogram terlebih

dahulu agar dapat menentukan area yang akan discan nantinya. Di Instalasi Radiologi

RSUD Dr. R. Goeteng Tarunadibrata Purbalingga protokol pemeriksaan pada indikasi

stroke akan muncul scannogram dari kepala,yaitu dari arah lateral. Menentukan luas

scanning (scan area) menggunakan kotak pemandu pada scanogram. Scan area yang

40
dibuat dalam kasus stroke dimulai dari basis cranii hingga vertex dengan menggunakan

slice thickness 5 mm. Alasan menggunakan slice thickness 5 mm karena dengan

menggunakan slice thickness 5 mm slice per slice sudah terlihat dan sudah dapat

memperlihatkan kelainan, jika menggunakan slice thickness 3 mm maka akan terlalu

tipis dan jika 10 mm akan terlalu lebar. Tujuan menggunakan single range pada area basic

cranii adalah untuk melihat adanya perdarahan maupun patologi lain.

Di Instalasi Radiologi RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dilakukan

dengan menggunakan mode scan helical scanning dengan single range. Menggunakan

type scan helical scanning karena dengan helical scanning kita bisa mendapatkan data

berupa volume sehingga data lebih lengkap daripada dengan sequence scanning. Karena

dengan menggunakan helical scanning kita mendapatkan data dalam bentuk volume yang

bisa kita rekonstruksikan di MPR (Multi Planer Recontruction) dalam bentuk axial,

coronal dan sagital dan juga dalam bentuk 3D. Sedangkan pada mode scanning sequence

kita hanya bisa mendapatkan potongan axial saja tidak dapat melihat potongan coronal

dan sagital. Menggunakan single range agar waktu scanning lebih cepat dan gambaran

yang dihasilkan sudah cukup untuk menegakkan diagnosa.

Karena menggunakan helical scanning kita tidak perlu menggunakan 2 range, disini

kita tidak perlu memperhatikan jumlah irisan dan berapa ketebalan irisan karena sudah

mengunakan data volume, sehingga dapat merekonstruksi ketebalan irisannya dari data

volume tersebut.

Dalam post processing, dilakukan rekonstruksi gambar dengan mengatur sedemikian

rupa sehingga gambaran antara axial, coronal dan sagital simetris. Mengatur slice

thickness 3 mm, window width nya 90 dan window level nya 40, setelah itu melakukan

start dan end pada potongan axial sejumlah 19 slice dan potongan coronal sagital sesuai

kebutuhan tergantung patologis yang tampak dengan jumlah masing-masing 5 slice.

41
Untuk mencetak hasil citra masukan 1 topogram, 19 potongan axial , 5 potongan coronal

dan potongan sagital pada setiap kotak yang tersedia. Dalam memasukkan gambar dalam

film harus memperhatikan bagian yang menampakan patologisnya.

Berbeda dengan kasus stroke non hemoregik, pada kasus stroke hemoregik harus

dihitung volume pendarahannya. Modalitas MSCT RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata

Purbalingga memiliki software untuk menghitung volume pendarahan yaitu volum

calculate dengan software ini maka volume pendarahan dapat diketahui. Caranya dengan

membatasi area pendarahan disetiap slice yang ada pendarahannya, hasil scan akuisisi,

bukan hasil rekonstruksi, setelah itu klik calculate maka volume pendarahan dapat

42
diketahui. Pada kasus ini volume pendarahan yang didapat adalah ± 19,78 cc

43
Gambar 3.6 Hasil penghitungan volume darah pada Citra Potongan axial
Selain itu, ukuran dimensi pendarahan juga harus diukur berupa p x l x t. Panjang dan
lebar didapatkan dari diameter terpanjang antero posterior dan diantara latero lateral. Pada
irisan dengan pendarahan terbesar diirisan axial. Sedangkan untuk tinggi didapatkan dari
diameter terbesar cranio caudal pada irisan coronal atau sagital.

Gambar 3.7 Hasil perhitungan height pada potongan axial

Gambar 3.8 Hasil perhitungan height pada potongan coronal

44
Di instalasi RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga menggunakan mode

scan helical scanning. Tetapi helical scanning mempunyai kekuranagan yaitu dosis yang

diterima lebih besar. Jadi alangkah baiknya jika saat scanning kepala, tubuh pasien diberi

apron atau gonad untuk melindungi organ organ sensitif pada pasien dari sinar radiasi. Selain

itu, karena dalam scanning sudah mendapatkan dosis radiasi cukup besar sebaiknya juga

parameter saat scanning yang digunakan sesuai dengan kondisi umum pasien.

45
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan laporan kasus “ Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala dengan

Indikasi Stroke di Instalasi Radiologi RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

penulis menarik kesimpuan sebagai berikut :

1. Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala dengan Indikasi Stroke di Instalasi

Radiologi RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga menggunakan mode

scan helical scanning dengan single range.

2. Dilakukan dengan posisi pasien supine dengan posisi kepala kearah gantry (head

first) dan menempatkan kepala pasien pada head holder.Scan area yang dibuat

dalam kasus stroke dimulai dari basis cranii hingga vertex dengan menggunakan

slice thickness 5 mm. Scanogram dari kepala, yaitu dari arah lateral.

3. Dalam post processing, dilakukan rekonstruksi gambar dengan mengatur

sedemikian rupa sehingga gambaran antara axial, coronal dan sagital simetris.

Mengatur slice thickness 3 mm, window width nya 90 dan window level nya 40,

setelah itu melakukan start dan end pada potongan axial sejumlah 19 slice dan

potongan coronal sagital sesuai kebutuhan tergantung patologis yang tampak

dengan jumlah masing-masing 5 slice.

B. Saran

1. Pasien sebaiknya diberikan apron ataupun gonad shiled untuk melindungi organ-
organ sensitif pada pasien dari sinar radiasi.
2. Menggunakan parameter pada pemeriksaan CT Scan sesuai dengan kondisi
umum pasien.

46
DAFTAR PUSTAKA

Bruce W. Long. 2016. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning and Procedure. Volume
2. Edisi 13. Elsevier. USA
John P. Lampignano. 2018. Radiographic Positioning and Related Anatomy. Edisi 8. Mosby.
USA
Rasad, Sjahrir. 2011. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi: 6. Terjemahan: dr.
Brahm U. Pendit. Editor: dr. Nella Yesdelita. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy. Six Edition. Philadelphia, USA: Saunders
Elsevier.
Damasio, Hanna. 2005. Human Brain Anatomy in Computerized Images. Second Edition.
New York, USA: Oxford University Press.
Neil R.Sims. 2010. Mitochondria, oxidative metabolism and cell death in strok. Diakses
tanggal 10-11-2018 pukul 21:30 WIB

Geyer, James D. & Gomez, Camilo R. 2009. Stroke A Practical Approach. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter Kluwer Business. Page: 15

Mergenthaler P. 2004. Pathophysiology of stroke: lessons from animal models.Diakses


tanggal 10-11-2018 pukul 21:56 WIB

Sauerbeck LR. 2006. Primary stroke prevention. Diakses tanggal 10-11-2018 pukul 22:17
WIB

Seeram, Euclid. Computed tomography : Physical principles, Clinical applications, and


Quality control.3rd ed. Philadelphia , 2009, Saunders Elsevier
T.B Moeller. 2007. Pocket Atlas Of Sectional Anatomy. Volume 1. Edisi 3. Thieme. New
York

47
LAMPIRAN

Lembar permintaan

Hasil citra Hasil bacaan dokter

48

Anda mungkin juga menyukai