Anda di halaman 1dari 15

KESULITAN MEMBACA (DISLEKSIA) PADA PESERTA DIDIK

DI TINGKAT SEKOLAH DASAR

SANTIKA RADITYATAMA
NIM 858801998

MAKALAH
PENGANTAR PENDIDIKAN PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS/
(PDGK4407)

PROGRAM STUDI
FAKULTAS KEPENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UPBJJ UNIVERSITAS TERBUKA MALANG
TAHUN 2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bahasa Indonesia merupakan salah satu muatan pembelajaran yang terdapat di dalam
Kurikulum 2013 edisi Revisi 2017. Standar Isi Muatan Matematika Pada Tingkat
Kompetensi Pendidikan Jenjang Sekolah Dasar tertuang pada Permendikbud No. 21 Tahun
2016. Dalam Lampiran Permendikbud No.21 Tahun 2016 dinyatakan bahwa standar Isi
dikembangkan untuk menentukan kriteria ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang sesuai
dengan kompetensi lulusan yang dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan, yakni sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Karakteristik, kesesuaian, kecukupan, keluasan, dan
kedalaman materi ditentukan sesuai dengan karakteristik kompetensi beserta proses
pemerolehan kompetensi tersebut (Kemendikbud, 2013).
Kompetensi yang akan dikembangkan adalah siap (afektif), pengetahuan (kognitif),
dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga kompetensi tersebut memiliki proses pemerolehan
yang berbeda. Kompetensi sikap dibentuk melalui aktivitas-aktivitas: menerima, menjalankan,
menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Kompetensi pengetahuan dimiliki melalui
aktivitas-aktivitas: mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan
mencipta. Kompetensi keterampilan diperoleh melalui aktivitas-aktivitas: mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta (Kemendikbud, 2013).
Bahasa Indonesia menjadi salah satu muatan pembelajaran di SD. Di tingkat sekolah
dasar, pembelajaran bahasa Indonesia diajarkan mulai kelas 1 hingga kelas 6. Bahasa
Indonesia memiliki kedudukan yag pentig dalam kehidupan bagsa Indonesia. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa pemersatu yang berperan besar dalam
kelangsungan hidup secara individual, berbangsa, dan bernegara. Mengingat pera penting
bahasa Indonesia tersebut, maka setiap individu harus mengembangkan kemampuan
berbahasa.
Pada Kurikulum 2013 Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki empat kompetensi
inti. Kompetensi inti tersebut tampak bahwa KI 1 bertujuan untuk membidik sikap
keagamaan, KI 2 membidik sikap sosial, KI 3 membidik pengetahuan, dan KI 4 membidik
penerapan pengetahuan. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia berkaitan dengan empat
aspek keterampilan berbahasa, adalah menyimak, membaca, menulis, dan berbicara.
Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang harus
dimiliki oleh seorang peserta didik , disamping tiga keterampilan berbahasa lainnya yaitu

2
menyimak, berbicara dan menulis. Keterampilan membaca dinilai sangat penting dimiliki
oleh seorang peserta didik karena merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu dan
pengetahuan.
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika
peserta didik pada usia permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan
mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas
berikutnya (Abdurrahman, 2009: 204). Oleh karena itu, kemampuan membaca mempunyai
peranan penting untuk membantu peserta didik mempelajari banyak hal.
Fakta yang terjadi di sekolah dasar, di kelas rendah bahkan di kelas tinggi terdapat
peserta didik yang belum bisa membaca. Ketidakmampuan membaca ini akan menjadi
hambatan dalam belajar. Peserta didik tidak bisa memperoleh informasi suatu pelajaran tanpa
membaca. Hal ini akan berakibat pada prestasi belajarnya.
Kesulitan membaca biasa disebut dengan disleksia. Istilah disleksia berasal dari
Bahasa yunani, yaitu “dys” yang berarti “sulit dalam” dan lex (berasal dari legein, yang
artinya “berbicara”). Menderita disleksia berarti menderita kesulitan yang berhubungan
dengan kata atau simbol-simbol tulis atau “kesulitan membaca”. Ada nama-nama lain yang
menunjukkan kesulitan membaca yaitu corrective readers dan remedial readers. Sedangkan
menurut learner, kesulitan belajar membaca yang berat sering disebut aleksia (alexia).
Disleksia merupakan ganguan berbahasa yang berasal dari gangguan sistem saraf
pusat pada otak manusia. Disleksia tidak disebabkan karena seseorang malas belajar dan tidak
temotivasi untuk belajar. Akibat gangguan disleksia seorang peserta didik kesulitan membaca,
menulis, dan mempersepsi kata serta kalimat yang diterimanya. Salah satu jenis kesulitan
membaca ini semakin marak akhir-akhir ini. Pada makalah ini akan dipaparkan tentang
pengertian disleksia, gejala, dan cara menangani peserta didik dengan gangguan disleksia.

B. Perumusan Masalah
1. Apa Pengertian Disleksia?
2. Apa Gejala Disleksia?
3. Bagaimana Cara Menangani masalah Disleksia?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian disleksia
2. Menjelaskan gejala disleksia
3. Menjelaskan cara menangani masalah disleksia

3
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Disleksia
Istilah disleksia berasal dari Bahasa yunani, yaitu “dys” yang berarti “sulit dalam” dan
lex (berasal dari legein, yang artinya “berbicara”). Menderita disleksia berarti menderita
kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis atau “kesulitan membaca”.
Ada nama-nama lain yang menunjukkan kesulitan membaca yaitu corrective readers dan
remedial readers. Sedangkan menurut learner, kesulitan belajar membaca yang berat sering
disebut aleksia (alexia).
Disleksia merupakan gangguan berbahasa yang berasal dari dari ganguan sistem saraf
pusat pada otak manusia. Disleksia tidak disebabkan karena seorang malas belajar dan tidak
termotIvasi untuk belajar. Disleksia tumbuh karena unsur fisik di dalam sistem saraf mereka
yang mengalaminya. Akibat disleksia, seorang peserta didik kesulitan membaca, menulis, dan
mempersepsi kata serta kalimat yang diterimanya. Gangguan ini mengakibatkan nilai buruk
disekolah dan prestasi akademik yang ikut memburuk. Sebenarnya gangguan disleksia bukan
dialami oleh mereka yang berintegrasi rendah karena banyak penyandang gangguan ini justru
terbukti jenius seperti Albert Eisten.
Gangguan kesulitan membaca (disleksia) menurut tokoh biologi terletak pada
gangguan fungsi otak (pada belajan otak sebelah kiri dan terkadang otak disebelah otak
kanan). Ahli psikologi Mulyadi (2010: 163) menjelaskan bahwa kognitif dan neuroscientist
sampai sekarang menyetujui bahwa disleksia mempunyai sumber yang sama dalam bahasa
berbeda, yaitu :penurunan aktifitas dalam konteks kiri, bagian otak dihubungkan dengan
tulisan ke suara.
Para ahli mendeskripsikan disleksia dalam pengertian yang berbeda-beda. Menurut
Corsini dalam Loeziana (2017: 44), disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu
penglihatan atau pendengaran. Inteligensinya normal, dan usia keterampilan bahasanya
sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat factor neurologis dan bukan disebabkan oleh faktor
eksternal, misalnya lingkungan atau sebab-sebab sosial. Menurut Guszak dalam Loeziana
(2017: 44), disleksia dinyatakan sebagai kesulitan membaca berat pada peserta didik yang
memiliki kecerdasan normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai
dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosionalnya. Menurut
Bryan dan Mercer dalam Loeziana (2017: 44), disleksia merupakan suatu bentuk kesulitan

4
dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara historis
menunjukkan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam
menulis dan mengeja serta kesulivan dalam mempelajari system representational misalnya
berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.
Disleksia merupakan gangguan yang bersifat heterogen, dan masing-masing ahli
memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam melakukan studi disleksia. Pendapatan kognitif
diajukan oleh Piaget, yang memandang kemampuan berbahasa sebagai salah satu
kemampuan yang berkembang dari proses pematangan kognitif. Menurut Piaget dalam
Mulyadi (2010: 164) ada tiga hal pokok dalam perkembangan Bahasa lisan dan tulisan, yaitu:
1. Proses fonologis , yaitu mengenal dan memproduksi suara
2. Semantic, yaitu pengertian kata-kata
3. Sintaksis, yaitupengaturan kata-kata untuk membentuk suatu kalimat yang dapat
dimengerti
Faktor kognitif lain yang membedakan peserta didik yang terampil dan yang kuruang
adalah kemampuan recode aitem-aitem tercetak (stimulasi visual) dalam bentuk phonologi
repsentation. Pada perkembangan teori kognitif terbagi menjadi dua teori (Mulyadi, 2010:
164), yaitu:
1. Teori difisit fanalogi (phonological deficit theory)
2. Double difisit theory
Jamaris (2014:137) menyatakan bahwa “kesulitan belajar membaca disebabkan oleh
perkembangan susunan syaraf pusat yang mengalami disfungsi minimal”. Walaupun masalah
ini tidak dapat dihilangkan, tidak berarti tidak dapat mengatasi kesulitan membaca yang
dialami karena terdapat beberapa faktor penyebab kesulitan membaca, di antaranya:
1. Faktor fisik
a. Kesulitan Visual (penglihatan)
b. Kesulitan auditory perception (pendengaran)
c. Masalah Neurologis (syaraf)
d. Dyslexia (kesulitan membaca)
2. Faktor psikologis
a. Faktor Emosi
b. Faktor Intelegensi
c. Faktor Konsep Diri
3. Faktor sosio-ekonomi

5
Faktor sosio-ekonomi adalah faktor yang menyebabkan keadaan rumah tidak kondusif
untuk belajar.
4. Faktor penyelenggaraan pendidikan yang kurang tepat.
Faktor ini berkait dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Harapan guru yang terlalu tinggi tidak sesuai dengan kemampuan peserta didik.
b. Pengelolaan kelas yang kurang efektif.
c. Guru yang telalu banyak mengkritik peserta didik
d. Kurikulum yang terlalu padat
(Jamaris, 2014:137-139)
Berbagai riset teori menurut Frith (dalam Anggun, 2015: 175) menjelaskan beberapa
penyebab dyslexia sebagai berikut:
1. Biologis
Di antara yang termasuk dalam kesulitan membaca yang disebabkan oleh faktor biologis,
yaitu riwayat keluarga yang pernah mengalami dyslexia , kehamilan yang bermasalah,
serta masalah kesehatan yang cukup relevan.
2. Kognitif
Faktor kognitif yang dijadikan sebagai penyebab dyslexia di antaranya, yaitu pola
artikulasi bahasa dan kurangnya kesadaran fonologi pada individu yang bersangkutan.
3. Perilaku
Faktor perilaku yang dapat dijadikan sebagai faktor penyebab dyslexia yaitu masalah
dalam hubungan sosial, stress yang merupakan implikasi dari kesulitan belajar, serta
gangguan motorik
Dari penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa disleksia merupakan
suatu bentuk kesulitan membaca pada peserta didik. Kesulitan yang dialami adalah dalam
mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukkan
perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan
mengeja serta kesulitan dalam mempelajari system representational.

B. Gejala Disleksia
Disleksia adalah kesulitan belajar yang terjadi kerena peserta didik bermasalah dalam
mengekspresikan ataupun menerima bahasa lisan maupun tulisan. Masalah tersebut tercermin
dalam kesullitan peserta didik membaca, mengeja, menulis, berbicara, atau mendengar.
Menurut Arini (2003: 167), gangguan disleksia ini mempengaruhi persepsi visual seorang
terhadap:

6
1. Huruf dan kata
Penyandang disleksia sering terbalik mengucapkan kalimat membaca dengan cara yang
salah.
2. Angka
Penyandang disleksia juga sering terbalik mengartikan angka sehingga berpengaruh pada
pembelajaran lainnya.
3. Simbol tertentu
Adanya beberapa simbol dimana penyandang disleksia juga kurang mampu membedakan
dan mempersepsikan dengan benar.

Cahya (2013: 23) menjelaskan bahwa untuk mengenali ciri-ciri peserta didik
berkesulitan belajar spesifik kesulitan membedakan bentuk, kemampuan memahami isi
bacaan rendah, sering melakukan kesalahan saat membaca. Husanah (2016; 247) menjelaskan
bahwa SERING melakukan kesalahan yang konsisten dengan mengeja dan membaca,
biasanya huruf d dibaca b. Bila manifestasi ini yang muncul, peserta didik ini termasuk dalam
kelompok berkesulitan belajar disleksia. Untuk mengetahui gejala dini dari disleksia melihat
dari karakteristik sebagai berikut.
1. Ada suatu keterlambatan dalam bicara dan berbahasa.
2. Terdapat hambatan untuk mempelajari tugas sederhana yang melibatkan keruntutan
aktivitas seperti mengingat instruksi secara runtut atau meniru bentuk yang tersusun dari
manik-manik yang berwarna.
3. Memiliki problem dalam pemusatan perhatian.
4. Tidak mampu mengulang kembali beberapa angka secara runtut, sulit belajar sejak
hambatan dalam perkembangan bahasa.
Pada fase deteksi belum melakukan diagnosis, tapi baru kemungkinan bahwa peserta
didik akan mengalami gangguan disleksia. Untuk itu orang tua memberikan dukungan
perkembangan dan melakukan observas sebaik mungkin. Untuk deteksi dini dapat dilakukan
diakhir tahun taman kpeserta didik-kpeserta didik, yaitu dengan cara memberikan daftar isi
yang dapat diisi oleh orang tua dengan tes sederhana pada peserta didik tentang:
1. Phonological & phonemic awarenes.
2. Mengenal dan menyebutkan huruf dan angka.
3. Membaca dan menulis sederhana.
Peserta didik disleksia memiliki cara belajar yang berbeda dengan kebanyakan peserta
didik. sebenarnya peserta didik disleksia belum tentu bodoh karena disleksia tidak ada

7
hubungannya dengan kecerdasan. Artinya, orang disleksia bisa juga memiliki kecerdasan
yang tinggi. Contoh, sijenius Thomas Alfa Edison penemu listrik dan Einstein penemu teori
relativitas, ternyata juga menyandang disleksia. Konon mereka juga sering tidak naik kelas.
Penyandang disleksia memiliki struktur dan fungsi otak yang berbedaa dengan orang
pada umumnya. Hal inilahh yang membuat penyandang disleksia memiliki cara yang beda
dalam belajar. Dalam belajar mereka lebih terampil mnegintergrasikan visual, spatial
(berhubungan dengan ruang), dan motor (gerakan).
Peserta didik disleksia biasanya sangat terampil berfikir visual dari pada berpikir
verbal. Jika orang lain memperlajari sesuatudengan simbol-simbol bahasa, maka peserta didik
disleksia belajar dengan mengalami atau membayangkan gambar seperti bentuk aslinya. Para
disleksia umumnya memiliki kesadaran yang sangat tinggi terhadap lingkungan, memiliki
daya cipta yang tinggi terhadap lingkungan, memiliki daya cipta yang tinggi, dan lebih
terampil mengerjakan tugas-tugas yang langsung berhubungan dengan dunia nyata. Mereka
biasanya lebih memiliki rasa ingin tahu yang besar, lebih kreatif, dan intuitif.

Gambar diatas sebagai contoh dari tulisan peserta didik yang mengidap disleksia dalam
buku yang berjudul disleksia dijelaskan bahwa peserta didik disleksia itu tidaknya bodoh,
bahkan dia punya ingatan yang sangat baik. Peserta didik mampu menghafal nama-nama
merek mobil hanya dengan melihat simbol mobil.
Aldemkamp dkk, membagi disleksia imelalui gejala-gejala yang dapat diamati di
dalam klinik, menjadi beberapa subtype:
1. Subtype gangguan visual dan auditif. Dalam hal ini sipeserta didik mengalami ngangguan
pemrosesan informasi visual ataupun auditif
2. Subtype rendah pada kemampuan verbal, atau rendah pada permormance dalam hal ini
berdasarkan hasil tes intelegensi children weschler test yang dapat menunjukkn
gangguan pada kemampuan verbal, dan mengganggu pada kemampuan pandang ruang.

8
3. Language disorder dan atau articulatory and graphmotor discoordination, dan atau
visual perception disorder. Hal ini dilihat berdasarkan tes prestasi belajar dengan bentuk
tes yang spesifik dan dasar-dasar belajar.
4. Subtype yang berdasarkan penelitian psikolinguistik yaitu dengan subtype dysphonetic
dan subtype dyseidetic
Menurut Arini (2003: 158), tidak semua penyandang disleksia menunjukkan ciri yang
sama, karena setiap orang adalah unik, memiliki pengalaman yang berbeda-beda, dan ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Ada kesenjangan antara kemampuan peserta didik yang sebenarnya dan prestasi
belajarnya. Prestasi yang kurang bagus bisa disebabkan oleh banyak hal, misalnya
peserta didik kurang motivasi belajar sehingga mereka enggan mengikuti pelajaran
sekolah, kemampuan peserta didik yang kurang memadai sehingga prestasi belajarnya
buruk. Untuk mengukur kemampuan peserta didik dilakukan tes intelegensi.
2. Dari riwayat keluarga, misalnya ada salah satu anggota keluarga yang mengalami hal
yang sama. Faktor disleksia salah satunya adalah faktor keturunan.
3. Kesulitan mengeja. Mengeja merupakan aktivitas yang paling sulit bagi penyandang
disleksia. Mereka sulit mencapur adukkan huruf. Contohnya : “diam menjadi daim”,”
bisa menjadi bias”.
4. Kebingungan dalam membedakan kiri dan kanan. Peserta didik sulit membedakan antara
kanan kiri dan tangan kanan.
5. Menulis huruf atau angka secara mundur. Peserta didik disleksia sering tidak bisa
membedakan huruf “b” dan “d” atau “p” dan angka “9”.
6. Kesulitan dalam hitungan. Kesulitan yang dialami penyandang disleksia biasanya dalam
mengurutkan angka secara benar.
7. Kesuliatan mengatur diri sendiri. penyandang disleksia sering mengalami kesulitan
dalam membuat perencanaan untuk diri sendiri. misalnya, kapan kira-kira buku dan
pensil mereka butuhkan. Mereka juga kesulitan dalam menata barang-barang atau buku-
buku yang mereka miliki.
8. Kesulitan mengikuti instruksi yang kompleks. Yaitu sulit mengingat kalimat yang
panjang.
Roel de Groot dan J. Paagman dalam Van Tiel (2008: 289) mengemukakan bahwa
gangguan disleksia sendiri tidak akan berdiri sendiri, karena adanya disleksia juga akan
mempengaruhi ketrampilan lainnya, seperti gangguan menulis (disgrafia), dan gangguan
berhitung (diskalkulia).

9
Jadi disleksia memang suatu kelainan akan tetapi juga berarti talenta. Kelainan mereka
berbeda dengan orang pada umumnya, yakni mengalami kesulitan yang tidak dialami oleh
kebanyakan orang. Talenta, karena mereka memilikik kelebihan yang juga tidak memiliki
oleh orang kebanyakan. Disleksia bukanlah penyakit sehingga tidak ada obatnya. Mereka
hanyalah orang ya ng kebetulan memiliki cara belajar yang berbeda dengan kebanyakan
orang. Arini (2003: 156) menyebutkan bahwa para disleksia biasanya memiliki talenta yang
luar biasa dalam bidang yang memerlukan integrasi visual, spatial dan motor seperti: seni
(misal, drama dan musik), atletik, aristek, elektronik, mekanik, grafis, dan lain-lain.

C. Cara Menangani masalah Disleksia


Penanggulangan Kesulitan Belajar (Dyslexia ) menurut Jamaris, (2014: 145) dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
1. Strategi Peningkatan Pengenalan Kata dan Membaca Lancar. Strategi ini dilakukan
dengan mengenalkan kata-kata kepada peserta didik sehingga peserta didik akan
mengingat kata tersebut beserta bunyinya melalui kumpulan huruf yang merangkainya.
2. Strategi peningkatan pengenalan kata dan membaca lancar dapat dilakukan dengan
berbagai metode, seperti phonic method (metode menyebutkan suara huruf/ mengeja),
basal reader (membaca awal/ dasar), distar program, dan repeated reading (mengulang
bacaan)
Jamaris (2014: 148) mengungkapkan bahwa program membaca untuk kelas remedial
ditujukan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan membaca cukup barat sehingga ia
memerlukan program khusus atau remedial agar kesulitan membaca dapat diatasi secara
efektif. Kelas khusus atau remedial membaca dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya adalah dengan Fernald Technique, Gilingham and Stillman Method, Hegge, Kirk
and Kirk Method, dan Neurological Impress.
Penanggulangan kesulitan membaca dapat juga dilakukan dengan meningkatkan
kemampuan peserta didik dalam memahami isi suatu bacaan. Strategi yag dapat
meningkatkan kemampuan memahami isi bacaan atau disebut dengan membaca pemahaman.
Berbagai strategi yang dapat digunakan, antara lain adalah membaca buku dongeng atau buku
cerita, strategi kognitif, strategi berbahasa dan penerapan strategi/ teknik KWL (Know, What,
Learn) (Jamaris, 2014: 151).
Menurut Abdurrahman (dalam Anggun, 2015: 176-177) ada beberapa metode
pengajaran membaca bagi peserta didik berkesulitan belajar, yaitu:
1. Metode Fernald

10
Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang
sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual, auditory, kinesthetic, and tactile).
2. Metode Gillingham
Metode Gillingham merupakan pendekatan terstruktur taraf tinggi yang memerlukan lima
jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi
huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Peserta didik menggunakan teknik menjiplak
untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya
dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program
fonik diselesaikan.
3. Metode Analisis Glass
Metode Analisis Glass merupakan suatu metode pengajaran melalui pemecahan sandi
kelompok huruf dalam kata.
Menurut Murtie (2016: 93—95), terapi agar peserta didik disleksia mampu membaca,
menulis, berhitung, dan mengkoordinasi gerakannya:
1. Cara agar peserta didik disleksia bisa membaca.
a. Berikan buku dengan kata-kata yang mudah terlebih dahulu sebelum beranjak pada
tahap kata-kata yang lebih sulit.
b. Jangan memberikan tugas untuk membaca dengan suara keras didepan teman-
temannya karena akan menurunkan motivasinya karena malu.
c. Dampingi peserta didik dalam membaca, jika perlu membaca bersama-sama agar
peserta didik sedikit demi sedikit bisa memahami bahasa dan kosakatanya
bertambah.
d. Dengarkan lagu sederhana dengan kalimat yang mudah dicerna untuk melatih
peserta didik mendengarkan bahasa orang lain.
e. Sebutkan semua kata/kalimat yang anda lihat bersama-sama peserta didik misalnya
saat berjalan keluar kota, kemall, dan ketempat lain, tunjukan tangan dan bacalah
setiap papan yang anda temui.
2. Cara agar peserta didik disleksia bisa menulis.
a. Berilah buku halus dan mulailah membiasakan peserta didik disleksia untuk menulis
secara bertahap mulai dari menulis huruf, suku kata, kata, sampai dengan kalimat.
b. Berilah batasan waktu saat melatih peserta didik untuk menulis dibukunya, karena
peserta didik disleksia mengambil waktu yang jauh lebih lama untuk menyelesaikan
tugas dibanding peserta didik lain.

11
c. Berikan waktu khusus untuk terapi menulis setiap hari, buatlah suasana nyaman,
tidak memaksa dengan tulisan yang banyak dan sulit, serta memuji apabila mereka
berhasil menulis dengan tepat.
3. Cara agar peserta didik disleksia bisa berhitung/matematika.
a. Perkenalkan angka dengan berulang-ulang agar peserta didik disleksia menjadi
paham serta terbiasa menghafal simbol angkat.
b. Berikan soal berhitung secara bertahap dengan perdampingan penuh agar mereka
langsung bisa bertanya jika dirasa ada satu materi yang membuatnya bingung.
c. Memberikan motivasi dengan memuji dan mendorong semangatnya, jangan beri
punisment atau hukuman dikarenakan belajarnya yang lambat.
4. Cara agar peserta didik disleksia bisa mengatur gerakan.
a. Ajak peserta didik disleksia untuk bermain diluar ruangan bersama teman-teman
sebaya.
b. Kenalkan peserta didik dengan alam, berjalan disungai dangkal, susur hutan, dan
kegiatan lain yang membuat pemikiran mereka terbuka.
c. Biarlah peserta didik mengemukakan pendapatnya meskipun kadangkala terdengat
menggelikan, saat didengar peserta didik disleksia akan berusaha semaksimal
mungkin untuk memperbaiki kosakata dan pemahamannya.
Selain peran guru di sekolah, peran orang tua juga penting dalam menangani
penyandang disleksia. Perlakuan paling penting dari orang tua adalah menjaga agar
penyandang disleksia tidak kehilangan harga diri dan tetap memiliki kepercayaan diri.
Kesulitan belajar yang dialami di sekolah seirng menyebabkan peserta didik menganggap diri
bodoh. Apalagi jika hal ini diperkuat oleh perlakuan guru dan orang tua yang tidak
memahami kondisi mereka. Menurut Arini (2003: 159), beberapa hal yang bisa dilakukan
orang tua untuk menjaga kepercayaan diri peserta didik disleksia antara lain:
1. Setiap kali jelaskan kepada peserta didik bahwa kesulitan yang dialami bukan berarti ia
gagal.
2. Beri pujian setiap kali peserta didik dapat melakukan sesuatu dengan baik.
3. Hargai usahanya terutama dalam mambaca, menulis, dan berhitung.
4. Dampingi peserta didik ketika mengerjakan PR.
5. Bantu peserta didik dalam mengatur diri.
6. Salurkan peserta didik kebidang-bidan yang kemungkinan besar ia bisa mengalami
kesuksesan seperti bidang-bidang yang menuntut kreativitas atau raga yang
mensyaratkan koordinasi fisik.

12
7. Dukung dan semangati hobi dan aktivitas-aktivitas diluar sekolah yang diminati peserta
didik.
Penanganan bagi penyandang dilsleksia juga dapat dilakukan dengan cara:
1. Memberikan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi penyandang disleksia.
Disleksia bukanlah lambat belajar, disleksia hanya perlu dimengerti akan kekurangannya
dalam bidang bahasa.
2. Terapi wicara yang diberikan oleh tenaga ahlli. Dengan melakukan terapi wicara,
diharapkan penyandang disleksia akan lebih memahami perbedaan pengucapan huruf
konstan, vokal, dan pengertiannya.
3. Memberikan ringkasan setelah guru menerangkan tentang satu pelajaran tertentu
kepeserta didik. Setelah menerangkan bahan pelajaran secara panjang lebar, biasanya
peserta didik disleksia sulit mengartikan dan mengambil garis besarnya biasanya peserta
didik disleksia sulit mengaritkan dan mengambil garis besarnya dikarenakan sulitnya
mereka memahami bahasa. Oleh karenanya guru perlu memberikan ringkasan pelajaran
yang telah diterangkannya dengan bahasa yang sederhana dan mengena sehingga peserta
didik disleksia bisa memahaminya.
4. Pembiasan agar peserta didik rapi dalam menata buku perlengkapan mereka sehari-hari.
Perlengkapan yang tertata rapi, seperti adanya pembatas buku pada bacaan yang sedang
ditekuni oleh mereka akan memudahkan peserta didik untuk belajar mandiri dan belajar
memahami bahasa verbal dari orang lain melalui kata dan tulisan.
5. Duduk didekat guru dan mencatat telepon teman. Disekolah usahakan agar peserta didik
disleksia duduk didekat guru sehingga lebih mudah bagi mereka untuk bertanya jika ada
pelajarannya yang tidak dimengerti.

13
BAB III
PENUTUP

Disleksia merupakan suatu bentuk kesulitan membaca pada peserta didik. Kesulitan
yang dialami adalah dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara
historis menunjukkan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah
dalam menulis dan mengeja serta kesulitan dalam mempelajari system representational. Ada
kecenderungan penyebab disleksia yaitu hubungan sistematik antara huruf dan bunyi,
masalah mengingat perkataan, masalah penyusunan yang sistematis, masalah ingatan jangka
pendek, dan masalah pemahaman sintaksis (tata bahasa).
Di antara sekian banyak penyebab, faktor utamanya adalah otak. Solusi penyembuhan
untuk anak disleksia antara lain anak distimuli di bagian otak dengan sejumlah pembelajaran
membaca,. Dengan metode multi-sensory pembelajaran mengeja, dan mengajar dengan
bunyi-bunyian dengan isyarat yang bervariasi.
Disleksia juga perlu ditangani sejak dini agar anak tidak mengalami keterlambatan
dalam hal belajar nya, disleksia membutuhkan terapi khusus yang menangani gejala dan
kesulitan anak. perlunya perhatian orang tua dalam kehidupan anak yang menyandang
disleksia, terkadang orang tua tidak menyadari bahwa anaknya mengalami disleksia
sehingga orang tua tidak mengetahui keadaan anaknya, Selain peran guru di sekolah, peran
orang tua juga penting dalam menangani penyandang disleksia. Perlakuan paling penting
dari orang tua adalah menjaga agar penyandang disleksia tidak kehilangan harga diri dan
tetap memiliki kepercayaan diri. Kesulitan belajar yang dialami di sekolah seirng
menyebabkan peserta didik menganggap diri bodoh. Apalagi jika hal ini diperkuat oleh
perlakuan guru dan orang tua yang tidak memahami kondisi mereka.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Anggun. 2015. Penerapan Metode Demonstrasi Dalam Pengenalan Sains Untuk


Meningkatkan Perkembangan Kognitif Anak.
(Online).http://digilib.unila.ac.id/23796/3/Skripsi%20tanpa%20bab
%20pembahasan.pdf.Diakses pada tanggal 28 November 2020 pukul 07.00 WIB

Cahya, Laili S, 2013, Adakah ABK diKelasku Bagaimana Guru Mengenali ABK diSekolah,
Yogyakarta: Familia.

Husanah, dkk, 2016, Belajar dan Pembelajaran, Malang: APPTI.

Jamaris, Martini. 2014. Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan. Penanggulangannya


Bagi Anak Usia Dini dan Usia Sekolah. Bogor: Ghalia.

Julia Maria Van Tiel, 2008, Anakku Terlambat Bicara, Jakarta:Prenda.

Kemendikbud. (2013). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Jakarta:


Kemendikbud.

Loeziana, Desember 2017, Urgensi Mengenal Ciri Disleksia, Jurnal Ilmiah Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan UIN Ar-Rainy, Vol 3, No.2.

Mulyadi, 2010, Diagnosis Kesulitan Belajar & Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar
Khusus, Yogyakarta:Nuha Litera,

Murtie, Afin, 2016, Ensiklopedi Anak Berkebutuhan Khusus, Jogyakarta:Maxima.

Tanti Arini, Aquilina, 2003, prilaku anak usia dini, YogyaKarta: Kansius.

15

Anda mungkin juga menyukai