Anda di halaman 1dari 17

DISLEKSIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penanganan Anak Kesulitan


Belajar
Dosen pengampu Nur Rohmatillah, S.Ps.I, M.Si

Disusun oleh:

Aas Asiyah 20211021001


Ana Hasanah 20211021012
Eva Silvia Andriani 20211021013
Intan 20211021018
Nurul Agustin 20211021003
Totih Apriyanti 20211021020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA KUNINGAN
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. Berkat rahmat dan

karunianya, kami bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat beserta salam semoga

tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarganya.

Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Disleksia”, kami menyadari

sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman

dan pengetahuan penulis yang terbatas.

Kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Saran dan kritik

tersebut sebagai motivasi bagi kami untuk menyempurnakan makalah ini, sehingga

makalah berikutnya akan menjadi lebih baik lagi. Meskipun makalah kami ini

masih jauh dari kesempurnaan, kami berharap makalah ini akan bermanfaat bagi

penulis dan pembaca.

Terimakasih kepada seluruh pihak, terutama kepada Ibu Nur Rohmatillah,

S.Ps.I, M.Si sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Penanganan Anak Kesulitan

Belajar yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kuningan, 17 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4

2.1 Pengertian disleksia ........................................................................................4

2.2 Ciri-ciri disleksia .............................................................................................5

2.3 tipe-tipe disleksia ............................................................................................6

2.4 Penyebab disleksia ................................................................................. 7

2.5 Penanganan Disleksia .............................................................................. 9

2.6. Peran Guru Dalam Penanganan Anak Disleksia ..................................... 10

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 12

3.2 Saran ..................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia serta menjadi
kebutuhan dasar untuk menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat. Oleh
sebab itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu pada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mareka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (Munawaroh dan Anggrayni: 140.). Seperti yang
tercantum dalam UUD No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa
hak anak untuk mendapatkan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk
anak-anak yang berkubutuhan khusus, hal ini seperti yang tertuang pada UU tersebut
pasal 5 ayat 2 yang berbunyi “warga negara yang mempunyai kelainan fisik
emosional, mental, intelektual, dan/ sosial berhak memporoleh pendidikan
khusus”(Jatmitko, 2016: 160).
Dengan adanya pendidikan seseorang dapat mengembangkan potensi yang dia
miliki. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 bahwa, “pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar
menjadi manusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia,
sehat berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demoratis serta
bertangggung jawab”. Apabila tujuan tersebut benar-benar menjadi landasan serta
dapat tercapai, maka semakin banyak pula manusia yang memiliki potensi untuk
membuat indonesia lebih maju ( Hanifa, Mulyadiprana, dan Respati, 2020: 21-23.).
Dari tujuan pendidikan yang sudah diuraikan, maka peserta didik perlu memiliki
kemampuan dasar untuk menerima informasi atau pengetahuan yang diberikan oleh
pendidik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dari kemampuan dasar
tersebut salah satunya adalah kemampuan membaca. Kemampuan membaca
merupakan sebuah aspek penting dalam komunikasi dan juga dapat membantu peserta
didik dalam mengenai informasi ataupun pengetahuan ( Hanifa, Mulyadiprana, dan
Respati, 2020: 21-23.).
Menurut Taringan membaca merupakan suatu proses yang dipergunakan oleh
pembaca untuk memproleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui
media kata-kata/bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang
merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas dan makna

1
kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Apabila hal semacam ini tidak
terpenuhi maka pesan yang tersurat dan tersirat tidak akan dipahami (Madinatul dan
Anggrayni: 141). Sehingga dalam hal ini membaca membutuhkan kemampuan visual
dan kognisi untuk emberikan makna pada lambang-lambang huruf.
Kemampuan yang dimiliki manusia tidaklah sama, begitu juga dalam hal
kemampuan membaca merupakan suatu kesanggupan dalam pengucapan dan
pemahaman suatu simbol tertulis melalui proses sensori dan juga ingatan. (Saedah dan
Hidayah, 2013: 40). Sehingga apabila kemampuan membaca mengalami gangguan
atau kendala, maka penyerapan informasi dalam membaca juga ikut terganggu.
Sehingga hal semacam ini dapat mengakibat penderita dapat ketinggalan dalam proses
pembelajaran. Setiap anak memiliki masa perkembangan yang berbeda-beda.
Hambatan pada masa perkembangan bisa terjadi karena berbagai hal, salah satu
dari hambatan tersebut adalah hambatan pada otak, atau gangguan ini bisa diketahui
sebagai disleksia. Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidak mampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan
menulis (Sari, Vitara dan Putri: 147). Gangguan ini bukan disebabkan oleh ketidak
mampuan penglihatan, pendengaran, intelegensia, atau keterampilannnya dalam
berbahasa, melainkan lebih disebabkan oleh gangguan dalam proses otak ketika
mengolah informasi yang diterimanya (Rofiah, 2015: 111). Penderita disleksia secara
fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya sebatas pada ketidak
mampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik
tetapi juga dalam berbagai macam urutan, seperti, kanan dan kiri, dari atas ke bawah,
serta kesulitan dalam menerima arahan yang seharusnya dilanjtkan ke memori otak.
hal ini semacam ini membuat pengidap disleksia dianggap tidak konsenttrasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian disleksia?
2. Apa saja ciri-ciri disleksia?
3. Apa saja tipe-tipe disleksia?
4. Apa penyebab disleksia?
5. Bagainana penanganan disleksia?
6. Bagaimana peran guru dalam penanganan disleksia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian disleksia
2. Untuk mengenali ciri-ciri disleksia
2
3. Untuk mengenali tipe-tipe disleksia
4. Untuk mengetahui penyebab disleksia
5. Untuk memahami bagaimana penanganan disleksia
6. Untuk peran guru dalam penanganan disleksia

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Disleksia
Deskripsi pertama mengenai disleksia disampaikan oleh ahli bedah Skotlandia
yang bernama James Hinshelwood, dia menamakannya sebagai penyakit bawaan, yang
dimana penyakit ini cenderung diturunkan oleh keluarga serta ditandai dengan
ketidakmampuan membaca kata-kata dihalaman meskipun penglihatannya tampak
memadai (Sternberg, 2010:25).
Dalam Bahasa Inggris, disleksia disebut dengan dyslexia. Secara umum disleksia
diartikan sebagai suatu keadaan seseorang yang tidak mampu belajar. dimana kondisi
tersebut karena penderita disleksia sulit untuk melakukan aktivitas membaca dan
menulis (Arif, 2019: 19). Istilah disleksia/ Kata disleksia diambil bahasa yunani, Dys
yaitu berarti sulit dalam, dan lex yang berasal dari legian, yang artinya berbicara. Jadi
menderita disleksia yaitu menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata atau
simbol-simbol tulis (Pratiwi, Hapsari, dan Argo: 156).
Disleksia merupakan salah satu jenis kesulitan belajar pada anak berupa ketidak
mampuan membaca. Gangguan ini bukan disebabkan ketidak mampuan penglihatan,
pendengaran, intelegensia, atau keterampilannya dalam berbahsa, melainkan lebih
kepada gangguan dalam proses otak ketika mengolah informasi yang diterimanya
(Rofiah, 2015: 118).
Penderita disleksia secara fisik tampak seperti orang sehat pada umumnya.
biasanya seseorang didiagnosa menderita disleksia ketika mereka tidak mampu untuk
menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbali, dari atas kebawah, dari kiri
kekanan, serta mereka sulit dalam dalam menerima perindan dan melanjutkannya
kememori pada otak (Arif, 2019:19). untuk lebih jelasnya, berikut beberapa pendapat
dari beberapa
Pendapat para ahli terkait pengertian dari disleksia:
1. Lyon (dalam Hanifa, Mulyadiprana, dan Respati, 2020: 24), disleksia
merupakan suatu kesulitan dalam memecahkan simbol atau kode, termasuk
proses pengucapan (fonologi).
2. Reynold, dkk (dalam Saadah dan Hidayah, 2013: 41), mengemukakan bahwa
disleksia adalah hambatan belajar dalam bahasa yang dapat mempengaruhi
kemampuan dalam mengenal huruf, seperti membaca, menulis dan mengeja.

4
3. Abigail (dalam Munawaroh dan Anggraini: 168), disleksia merupakan kesulitan
belajar primer yang berkaitan dengan bahasa tulisan seperti, membaca, menulis,
mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, yang disebabkan oleh
kelainan neurologis yang kompleks, kelainan struktur dan fungsi otak.
4. Glabura (dalam Olivia Bobby Hermijanto, 2016: 37), mengungkapkan bahwa
manusia memiliki dua belahan otak yang tidak simetris belahan kiri-lebih besar,
sedangkan pada penderita disleksia belahan otaknya simetris, atau dengan kata lain
belahan otak kanan penderita disleksia menjadi lebih besar dari pada otak kanan
pada umumnya, sedangkan belahan kirinya lebih kecil dari pada manusia pada
umum nya. Bagian otak kiri merupakan bagian yang berkaitan dengan urutan, cara
berpikir, linier, dan kemampuan berbahasa, sehingga dengan ukuran sisi kiri lebih
kecil dari pada manusia pada umumnya, maka dengan sendirinya penderita
disleksia berbeda pula area bahasanya. Sehingga menyebabkan kemampuan mereka
dalam memproses informasi linguistik/bahasa jadi berbeda.
2.2 Ciri-ciri disleksia
Berikut ini beberapa pemaparan mengenai ciri-ciri dari disleksia, beberapa ciri-ciri
tersebut diantaranya (Nurhaini arif: 28).
1. Disleksia pada pra-sekolah antara lain:
a. Suka mencampur adukkan kata-kata dan frasa
b. Kesulitan mempelajari pengulangan bunyi (rima) dan irama (ritme)
c. Sulit mengingat nama
d. perkembangan dalam berbahasa yang terlambat
e. Senang dibacakan buku, tetapi tidak tertarik dengan kata-kata atau huruf
f. Sulit untuk berpakaian
2. Disleksia diusia sekolah dasar antara lain:
a. Sulit membaca dan mengeja
b. Sering tertukar huruf dan angka
c. Sulit mengingat alfabet atau mempelajari tabel
d. Sulit mengerti tulisan yang ia baca
e. Lambat dalam menulis
f. Sulit konsentrasi
g. Susah membedakan kanan dan kiri, atau urutan dalam sepekan
h. Percaya diri yang rendah
i. Masih tetap kesulitan dalam berpakaian.
5
Apabila seorang anak menunjukkan kesamaan pada ciri-ciri seperti yang disebutkan
di atas, maka anak tersebut kemungkinan besar mengidap disleksia. Namun tetap yang
memiliki wewenang untuk mendiagnosa bahwa anak tersebut benar-benar mengidap
disleksia adalah seorang psikolog.

Nurhaini menjelaskan bahwa disleksia biasanya diketahui pada saat anak berusia 7
(tujuh) tahun atau pada saat anak memasuki sekolah dasar, yang ditandai dengan
menurunnya prestasi belajar. Beberapa tanda bisa dikenali sebagai gejala awal disleksia
pada anak diantaranya: (a) pada saat anak berusia 3 tahun, anak kesulitan membedakan sisi
kanan dan kiri. (b) cara anak bertutur kata dan menceritakan pengalaman (Nurhaini arif,
28)

2.3 Tipe-tipe Disleksia


Secara garis besar, disleksia bisa dikelompokan menjad tiga tipe, diantaranya yaitu:
1. Disleksia Visual
Pada disleksia tipe ini, gangguan utamanya berupa kesulitan yang berkaitan
dengan penglihatan seperti kesulitan dalam mengingat dan mengenal angka dan
huruf. Ketika menemukan tulisan, penyandang disleksia akan mengalami
kesulitan untuk menerjemahkan huruf dan angka tersebut. Penyandang disleksia
akan mengalami kesulitan untuk menerjemahkan huruf dan angka tersebut.
Penyandang disleksia tipe ini juga melihat huruf-huruf atau angka menjadi
terbalik-balik
2. Disleksia Auditori
Pada disleksia auditori, penderitanya mengalami kesulitan untuk mengingat
bunyi abjad atau huruf serta perkataan. Penderita disleksia tipe ini juga akan
mengalami kesulitan dalam membedakan bunyi huruf vocal dan konsonan
3. Disleksia Visual-Auditori
Tipe yang ketiga adalah tipe kombinasi, visual auditori. Penderitanya mengalami
kesulitan untuk mendengar dan melihat yang disebabkan oleh kelemahan dalam
memproses tulisan secara audio dan visual.
2.4 Penyebab Disleksia
Sejauh ini, para ahli belum menemukan penyebab pasti bagaimana disleksia terjadi
pada seseorang. Namunsecarateoripara ahlisepakat, disleksiamemiliki kaitan dengan
otak. Diperkirakan ada belasan area di otak berfungsi saat membaca. Ketidakmampuan
belajar pada disleksia ini disebabkan karena terdapat gangguan pada bagian-bagian otak

6
yang mengolah dan memproses informasi dalam aktivitas membaca, terutama otak
bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Gangguan pada otak yang berhubungan dengan fungsi membaca ini membuat pesan
yang terkirim masuk ke otak tampaknya berubah menjadi tidak beraturan dan kacau.
Orang dengan disleksia dapat mendengar dan melihat dengan baik, namun apa yang
mereka dengar dan lihat tampaknya berbeda dengan apa yang dilihat dan didengar oleh
orang kebanyakan.
Selain itu, pada penyandang disleksia ada perkembangan yang tidak proporsional
pada sistem magno-cellular, yang berhubungan dengan kemampuan melihat benda
bergerak (moving images) yang menyebabkan ukurannya menjadi lebih kecil. Kondisi
ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena otak harus membaca dan
memahami secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata yang berbeda yang terlihat
secara bersamaan oleh mata ketika mata men-scanning kata dan kalimat Sebuah
penelitian terbaru dilakukan para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology
(MIT) di Cambridge, Inggris bekerja sama dengan Rumah Sakit Anak Boston. Dalam
penelitian ini ditemukan, ada korelasi antara kemampuan membaca yang buruk dan
ukuran area otak yang mengatur pengolahan bahasa.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada orang dewasa yang kesulitan membaca
menemukan bahwa, bagian otak yang dikenal sebagai fasciculus arkuata ternyata
berukuran lebih kecil dan kurang terorganisir dibandingkan dengan orang dewasa yang
bisa membaca dengan baik. Namun, tidak diketahui secara pasti, apakah perbedaan ini
penyebab kesulitan membaca atau ini terjadi karena kurangnya pengalaman membaca.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan scan bagian otak tersebut pada
anak usia pra-membaca.
Dalam penelitian ini, sebanyak 40 anak usia 4 dan 5 tahun melakukan scan otak.
Sebelumnya, mereka dites keterampilan pra-membaca. Scan otak ini akan
memperlihatkan ukuran dan organisasi materi putih di otak yang berfungsi untuk
membawa informasi di aerah otak.
Para peneliti berfokus pada tiga saluran materi Dutih yang berkaitan dengan
keterampilan membaca. Semuanya terletak di sisi kiri otak. Ketiga bagian otak itu yakni
fasciculus arkuata, fasciculus inferior (ILF) dan fasciculus superior (SLF). Ketika
membandingkan scan otak dan hasil dar beberapa jenis tes pra-membaca, para penelit
menemukan korelasi antara ukuran dan organisas fasciculus arkuata dan kinerja pada
tes. Hasilnya, fasciculus arkuata yang lebih besar dar terorganisis dapat membantu
7
komunikasi antard dua wilayah di otak. Hal inilah yang menunjukkan bagaimana
seseorang jauh dari kemungkinan disleksia.
Selain hal di atas, para ahli juga berpendapat bahwa hal-hal berikut bisa menjadi
faktor resiko terjadinya disleksia pada seseorang. Faktor resiko disleksia adalah faktor-
faktor yang dapat meningkatkan potensi seorang anak menderita disleksia. Faktor
resiko yang dimaksud di antaranya yaitu:
1. Keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang
tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-
anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di
Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti
oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang
mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga
yang kidal. Berdasarkan penelitian, sekitar 70 persen terjadinya disleksia
merupakan genetis (keturunan). Sisanya, 30 persen berasal dari non genetis yang
hingga saat ini belum diketahui apa itu penyebab pastinya.
2. Gangguan pendengaran sejak dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi
tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan
perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi
ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter
ahli.Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak
yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang
didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan
kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang
akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini
tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah
diperlukan.
3. Trauma otak
Trauma otak adalah terjadinya cedera pada daerah otak yang mengontrol
membaca dan menulis.
4. Faktor hormonal
Disleksia bisa terjadi disebabkan oleh pembentukan hormon yang kurang
sempurna pada saat perkembangan awal janin. Disleksia yang disebabkan faktor
8
hormonal ini bisa membaik seiring bertambahnya usia anak, serta lebih sering
terjadi juga pada anak laki-laki
2.5 Penanganan Disleksia
Sebagaimana disinggung sebelumnya, penanganan disleksia bukan bertujuan
mengobati gangguan. Tidak ada pengobatan untuk disleksia. Penanganan dilakukan
dengan pendampingan secara khusus kepada anak disleksia dalam belajar Penanganan
untuk anak disleksia memerlukan erja sama yang intensif antara orangtua, guru,
sikolog dan profesional kesehatan lainnya. Hal ertama yang dilakukan terhadap anak
disleksia adalah dengan terlebih dahulu menentukan Diagnosis dengan benar. Jika hal
ini telah mendapatkan keputusan final, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi
lengkap mengenai kelemahan dan kelebihan anak yang menderita disleksia. Setelah
itu, dilakukan pertemuan antara orang tua, guru dan profesional untuk menentukan
langkah-langkah berikutnya dalam memperbaiki cara belajar anak secara individual.
Dalam tahap ini, biasanya orangtua ataupun orang-orang yang terlibat dalam proses
belajar anak, guru misalnya. akan diberi petunjuk bagaimana membantu anak di
rumah.
Satu hal penting yang perlu diingat, menurut penelitian, anak dengan dyslexia
sering menunjukkan kemampuan luar biasa. Banyak di antara anak disleksia yang
menyimpan kelebihan-kelebihan, misalnya sangat inovatif, memecahkan masalah
dengan sangat baik, bakat besar di bidang geometri. kesadaran sosial, kreatif dan
berpikir lateral, dan lain sebagainya. Inilah mengapa, banyak orang disleksia menjadi
orang sangat sukses.
Salah satu poin dalam penanganan anak disleksia adalah upaya untuk menggali apa
saja kelebihan yang dimiliki seorang anak disleksia. Upaya ini bertujuan untuk
membangun rasa percaya diri anak, mengajak mereka mengevaluasi dan memahami
diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka
dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai
anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak disleksia diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan
kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak
melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan
baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus
perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan
benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
9
Dengan penanganan seperti ini, anak disleksia diharapkan bisa merasa bangga dan
tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi
Secara prinsip, tidak ada satu pola penanganan yang baku yang betul-betul cocok
untuk semua anak penyandang disleksia. Misalnya, ada anak disleksia yang
bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada puld
yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang
baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli sangat diperlukan untuk
menemukan pemecahan yang tepat.
2.6 Peran guru dalam penanganan anak disleksia
Penanganan anak disleksia membutuhkan kerjasama antara beberapa pihak. Guru
adalah satu pihak yang cukup vital dalam upaya penanganan disleksia ini. Oleh
karenanya, selain melakukan upaya penanganan sendiri, orangtua wajib bekerjasama
dengan guru dan sekolah dalam merawat anak disleksia. Orangtua harus sering
berkomunikasi dengan guru untuk memastikan anak tidak tertinggal pelajaran, bila
memungkinkan orangtua bisa meminta salinan bahan pelajaran hari itu untuk dipelajari
nanti sepulang sekolah atau les khusus untuk membantunya belajar. Selain itu,
orangtua juga perlu memastikan apakah guru yang mengajari anaknya memiliki
pemahaman yang memadai tentang disleksia. Bila ternyata sang guru belum memiliki
pemahaman itu, orangtua bisa mendiskusikan hal-hal berikut ini
1. Sebisa mungkin anak penyandang disleksia mendapatkan tempat duduk di barisan
paling depan di kelas.
2. Sebaiknya guru senantiasa mengawasi dan mendampingi saat anak diberikan
tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, maka harus pastikan anak tidak
tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 51.
3. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan
tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan
(guru dapat memberika soal dalam bentuk tertulis di kertas)
4. Guru perlu melakukan pendekatan yang berbed ketika belajar matematika
dengan anak disleksid kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem
belajar yang praktikal.
5. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif terutama jika mereka merasa
bahwa mereko berbeda dibanding teman-temannya dar mendapat perlakuan
yang berbeda dari gurunya Oleh karena itu, penting memastikan bahwa guru
tidak memperlakukan anak disleksia secara negatif.
10
6. Sebagaimana orangtua, guru adalah orang 'dekat' bagi anak. Sebagai orang
dekat, guru bisa memberi pengaruh besar pada mental anak. Untuk itu guru juga
perlu memiliki kemampuan dalam membangkitkan semangat, memberikan
motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak
disleksia. Bukanlah sikap yang bijak jika seorang guru membanding-
bandingkan anak disleksia dengan temannya.
7. Selain tugas orangtua, guru juga memiliki peran dalam melihat dan menemukan
adanya kelebihan pada anak-anak disleksia. Setelah itu
orangtua dan guru bisa mendiskusikan hal itu lebih lanjut untuk mendapatkan
kesepakatan bersama bagaimana menyikapi kelebihan-kelebihan sang anak.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Disleksia adalah jenis kesulitan belajar pada anak berupa ketidak mampuan membaca,
gejala ini tidak disebabkan oleh kemampuan penglihatan, pendengaran, intelegensia, atau
keterampilannya dalam berbahasa, melainkan lebih kepada gangguan dalam proses otak
ketika mengolah informasi yang diterimanya. Faktor-faktor penyebab disleksia, adalah
masalah fenoologi, faktor pendidikan, factor psikologis, dan faktor biologis. Adapun ciri-
ciri disleksia di antaranya.
Adapun ciri-ciri disleksia di antaranya: Ciri-ciri disleksia pada pra-sekolah: (1) Suka
mencampur adukkan kata-kata dan frasa (2) Kesulitan mempelajari pengulangan bunyi
(rima) dan irama (ritme), (3) Sulit mengingat nama, (4) Perkembangan dalam berbahasa
yang terlambat, (5) Senang dibacakan buku, tetapi tidak tertarik dengan kata-kata atau
huruf, (6) Sulit untuk berpakaian.
Adapun ciri-ciri disleksia diusia sekolah dasar: (1) Sulit membaca dan mengeja, (2)
Sering tertukar huruf dan angka, (3) Sulit mengingat alfabet atau mempelajari tabel, (4)
Sulit mengerti tulisan yang ia baca, (5) Lambat dalam menulis, (6) Sulit konsentrasi, (7)
Susah membedakan kanan dan kiri, atau urutan dalam sepekan, (8)Percaya diri yang
rendah, (9) Masih tetap kesulitan dalam berpakaian.
3.2 Saran
Dari hasil kesimpulan dan temuan dari penelitian ini, terdapat beberapa saran yang
perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan mengenai disleksia.
Melihat beberapa penyebab disleksia yang sudah di paparkan di atas, maka sebagai orang
terdekat baik orang tua, keluarga maupun guru menjadi seorang pendidik serta yang
menjadi orang-orang terdekat sangat mendukung dan memungkinkan untuk mengatasi
kesulitan belajar yang di alami oleh penderita disleksia. Kesabaran dan ketekunan secara
konsisten dari orang-orang terdekat juga dibutuhkan oleh penderita disleksia.
Penderita disleksia bukan orang bodoh ataupun malas, melainkan orang yang hanya
mengalami kesulitan membaca. Penderita dialeksia adalah orang yang berbakat, apabila
ditangani dengan baik dan tepat maka akan mendatangkan keuntungan bagi penderita
disleksia. Sehingga kita sebagai orang-orang terdekat seharusnya mampu untuk memberi
motivasi agar penderita disleksia tidak merasa berbeda dari atau rendah diri temannya
yang normal. Karena pada umum nya penderita disleksia memiliki IQ normal atau
12
bahkan memiliki kecerdasan di atas rata-rata normal. Kita sebagai calon guru atau yang
sudah menjadi seorang guru, sudah seharusnya kita memahami setiap perkembangan
karakteristik anak didik kita, agar kita mengetahui apabila ada anak didik mengidap
disleksia. Sehingga anak didik kita tidak merasa didiskriminasi disebabkan merasa
kekurangan dalam hal menerima materi pelajaran

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa, Nisrina, Ahmad Mulyadiprana, dan Resa Respati. (2020). “Mengenal Anak
Disleksia dan Pengidap Disleksia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol.
7, No. 2.
2. Rofiah, Nurul Hidayati. (2015). “Proses Identifikasi:Mengenal Anak Kesulitan Belajar
Tipe Disleksia Bagi Guru Sekolah Dasar Inklusi ”. Inkulusi. Vol. 2, No. 1.
3. Arif, Nurhaini. 2019. Kunci Mendidik Dan Mengasuh Anak Disleksia. Yogyakarta:
Familia.
4. Hanifa, Nisrina, Ahmad Mulyadiprana, dan Resa Respati. (2020). “Mengenal Anak
Disleksia dan Pengidap Disleksia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Vol.
7, No. 2.

14

Anda mungkin juga menyukai