Anda di halaman 1dari 14

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM Q.

S AT-TAUBAH AYAT 128-129

TUGAS MAKALAH
Untuk memenuhi salah satu tugas semester mata kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pembimbing: Agus Zamzam Nur, M.Pd

Disusun Oleh:

1. Intan (20211021018)
2. Silmy Isnaniyah (20211021015)
3. Totih Apriyanti (20211021020)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA KUNINGAN

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
menganugerahkan keimanan, keislaman, kesehatan, dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyusun proposal ini dengan baik. Makalah dengan judul (Nilai-nilai Pendidikan dalam Q.S At-
Taubah ayat 128-129) ini disusun untuk memenuhi tugas mata perkuliahan Tafsir Tarbawi.

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.

Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam penyusunan
makalah ini, sehingga sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan
evaluasi penulis. Demikian, besar harapan penulis agar makalah ini dapat menjadi bacaan menarik
bagi pembaca.

Kuningan, Maret 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................... i
DAFTAR ISI PENDAHULUAN ............................................................................................................. ii
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 2
A. Lafadz dan Arti Q.S At-Taubah Ayat 128-129 ............................................................................... 2
B. Tafsir Q.S At-Taubah ayat 128-129 ................................................................................................ 2
C. Kandungan Nilai-nilai Pendidikan dalam Q.S At-Taubah ayat 128-129 ......................................... 7
BAB III PENUTUP................................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 10
B. Saran dan Kritik ................................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama yang memberi
perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara hubungan manusia dengan
Tuhan, antara hubungan manusia dengan manusia, dan antara urusan ibadah dengan urusan
muamalah. Dan untuk mewujudkan manusia yang mampu menyeimbangkan antara urusan
dunia dan akhirat maka diperlukan pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan karena pendidikanlah yang akan mengembangkan potensi manusia. Muhammad
Amin berpendapat sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata menyatakan bahwa pendidikan
merupakan usaha untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan individual sehingga
potensi-potensi tersebut dapat diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-potensi itu
sesungguhnya merupakan kekayaan manusia 2 yang amat berharga. Oleh karena pentingnya
peranan pendidikan, maka sebagai umat muslim dalam menjalankan sebuah pendidikan
hendaknya pendidikan tersebut dilandasi dengan nilai-nilai keislaman yang bersumber dari al-
Qur'an.
Al-Qur'an sebagai kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam. Banyak membicarakan
dan menjelaskan tentang seluk beluk dan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Ia juga
mendorong umat manusia untuk mencari ilmu dan mendudukannya sebagai sesuatu yang
utama dan mulia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana lafadz dan terjemahan Q.S At-Taubah ayat 128-129?
2. Bagaimana penafsiran Q.S At-Taubah ayat 128-129?
3. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S At-Taubah ayat 128-129?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui lafadz dan terjemahan Q.S At-Taubah ayat 128-129
2. Untuk mengetahui penafsiran Q.S At-Taubah ayat 128-129
3. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Q.S At-Taubah ayat 128-
129

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadz dan Arti Q.S At-Taubah Ayat 128-129
,ََ‫لَقَدََخَآَءََكَمََرَسَوَلََمَنََاَنَفَسَكَمََعَزَيَزََعَلَيَهََ َماعََنتَمََحَرَيصَعليكمَبالمؤَمنينَرءوفَ َّرحيم‬
َ‫فاَنَتولَّوافقلَحسبيَهللاََلالهَا ََّّلهوَعليهَتو َّكلتَوهوربَالعرشَالعظيم‬
Artinya:
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (128)
Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad) “cukuplah
Allah bagiku, tiada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah
tuhan yang memiliki Arsy (singgasana) yang agung.”(129)
B. Tafsir Q.S At-Taubah ayat 128-129
Allah Swt. menyebutkan limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang
mukmin melalui seorang rasul yang diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri, yakni dari
bangsa mereka dan sebahasa dengan mereka. Hal ini telah didoakan oleh Nabi Ibrahim a.s,
seperti yang disitir oleh firman-Nya:
‫ربَّناوابعثَفيهمَرسو اَّلمنه َم‬
"َ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiriَ". (Al-
Baqarah: 129)
Dan firman Allah Swt:ََ
‫لقدم َّنَاَهللَعلىَالمؤمنينََاذبعثَفيهمَرسو اَّلمنَانفسه َم‬
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri”. (Ali Imran: 164)
Adapun firman Allah Swt:
‫لقدَخآءكمَرسولَمنَانفسك َم‬
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri”. (At-
Taubah: 128) Yakni dari kalangan kalian sendiri dan sebahasa dengan kalian. Ja’far ibnu Abu
Talib r.a berkata kepada Raja Najasyi, dan Al-Mugirah ibnu Syu’bah berkata kepada Kaisar
Romawi, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami
sendiri. Kami mengenal nasab (keturunan) nya, sifatnya, tempat keluar dan tempat masuknya,
serta kebenaran (kejujuran) dan amanatnya, hingga akhir hadis.”

2
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Ja’far ibnu Muhammad, dari ayahnya,
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang
rasul dari kaum kalian sendiri. (At-Taubah: 128) Bahwa tiada sesuatu pun dari perkawinan
Jahiliah yang menyentuhnya. Nabi Saw. Bersabda yang artinya “Aku dilahirkan dari hasil
pernikahan, dan bukan dilahirkan dari sifah (perkawinan ala Jahiliah)”.

Melalui jalur lain secara mausul disebutkan oleh Al-Hafiz Abu Muhammad Al-Hasan ibnu
Abdur Rahman Ar-Ramharmuzi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Fasil Bainar Rawi wal
Wa’i. Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Yusuf ibnu Harun ibnu
Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja’far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ia bersumpah bahwa
ayahnya pernah menceritakan hadis berikut dari kakeknya, dari Ali yang mengatakan,
“Rasulullah Saw bersabda: ‘Aku dilahirkan dari hasil pernikahan dan bukan dilahirkan dari
sifah, sejak Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan diriku. Dan tiada sesuatupun dari sifat
Jahiliah yang menyentuhku’.”
Firman Allah Swt:
َ‫عزيزعليهَماعنتم‬
"َ berat terasa olehnya penderitaan kalianَ". (At-Taubah: 128) Yakni terasa berat olehnya sesuatu
yang membuat umatnya menderita karenanya. Karena itu, di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya “Aku
diutus dengan membawa agama Islam yang hanif lagi penuh dengan toleransi”. Di dalam hadis
sahih disebutkan yang artinya “Sesungguhnya agama ini mudah, semua syariatnya mudah,
penuh dengan toleransi lagi sempurna. Ia mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah
dalam mengerjakannya”.
Firman Allah SWT:
‫حريصَعلَيك َم‬
"َ sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalianَ". (At-Taubah: 128) Artinya,
sangat menginginkan kalian beroleh hidayah dan menghantar-kan manfaat dunia dan akhirat
buat kalian.ََImam Tabrani mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu
Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Qutn, dari Abut
Tufail, dari Abu Zar yang mengatakan, “Rasulullah SAW meninggalkan kami tanpa ada seekor

3
burung pun yang mengepakkan sayapnya di langit melainkan beliau menyebutkan kepada kami
ilmu mengenainya.” Rasulullah Sawََbersabda: Tiada sesuatu pun yang tersisa dariََapa yang
mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan semuanya telah dijelaskan
kepada kalian.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatn, telah menceritakan
kepada kami Al-Mas’udi, dari Al-Hasan ibnu Sa’d, dari Abdah Al-Huzali, dari Abdullah ibnu
Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak sekali-
kali mengharamkan sesuatu melainkan Dia telah mengetahui bahwa kelak akan ada dari kalian
yang melanggarnya. Ingatlah, sesungguhnya akulah yang menghalang-halangi kalian agar
jangan sampai kalian berhamburan terjun ke neraka sebagaimana berhamburannya laron atau
lalat.
Firman Allah SWT:
‫َرَحي َم‬
َّ ‫بالمؤمنينَرءوف‬
"َ amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukminَ". (At-Taubah: 128) Ayat
ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah yang artinya “Dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka
mendurhakaimu. Maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kalian kerjakan’. Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha perkasa lagi Maha
Penyayang.” (Asy-Syu’ara: 215-217) Hal yang sama diperintahkan oleh Allah dalam ayat yang
mulia ini, yaitu firman-Nya:
‫فانَتولَّوا‬
"َ Jika mereka berpalingَ". (At-Taubah: 129) Maksudnya, berpaling dari apa yang engkau
sampaikan kepada mereka, yakni dari syariat yang agung, suci, sempurna lagi global yang
engkau datangkan kepada mereka.
‫َهللا‬
َ ‫فقلَحسبي‬
"َ maka katakanlah, Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia.ََ(At-Taubah: 129)
Yakni Allah-lah yang memberikan kecukupan kepadaku. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan
hanya kepada-Nya aku bertawakal.
Adapun firman Allah Swt.:
‫وهوربَالعرشَالعظيم‬

4
“Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung.” (At-Taubah: 129) Dialah yang
memiliki segala sesuatu, dan Dia pulalah yang menciptakannya, karena Dia adalah Tuhan yang
memiliki ‘Arasy yang agung yang merupakan atap dari semua makhluk. Semua makhlukََmulai
dari langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada pada keduanya serta segala sesuatu yang ada di
antara keduanyaََberada di bawah ‘Arasy dan tunduk patuh di bawah kekuasaan Allah SWT.ََ
Pengetahuan (ilmu) Allah meliputi segala sesuatu, kekuasaan-Nya menjangkau segala sesuatu,
dan Dialah yang melindungi segala sesuatu.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar,
telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Syu’bah,
dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas r.a., dari Ubay ibnu Ka’b yang
mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang paling akhir penurunannya ialah firman Allah SWT:
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. (At-Taubah:
128), hingga akhirَsurat.
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Rauh,
telah menceritakan kepada kami Abdul Mu’min, telah menceritakan kepada kami Umar ibny
Syaqiq, telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Ar-Razi, dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari
Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka’b r.a., bahwa mereka menghimpunkan Al-Qur’an di dalam
mushaf-mushaf di masa pemerintahan Abu Bakar r.a. Dan tersebutlah orang-orang
menulisnya, sedangkan yang mengimlakannya kepada mereka adalah Ubay ibnu Ka’b. Ketika
tulisan mereka sampai pada ayatََsurat At-Taubah ini, yaitu firman-Nya: Sesudah itu mereka
pun pergi, Allah telah memalingkan hati mereka (At-Taubah: 127), hingga akhir ayat. Maka
mereka menduga bahwa ayat ini merupakan ayat yang paling akhir penurunannya. Maka Ubay
ibnu Ka’b berkata kepada mereka, “Sesungguhnya sesudah ayat ini Rasulullah SAWَ
membacakan dua ayat lainnya kepadaku,” yaitu firman Allah SWT:ََSesungguhnya telah
datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. (At-Taubah: 128), hingga akhir
ayat berikutnya. Lalu Ubay ibnu Ka’b berkata bahwa ayat Al-Qur’an inilah yang paling akhir
penurunannya, kemudian dia mengakhirinya dengan apa yang biasa dipakai sebagai
pembukaan oleh Allah SWTََyaitu dengan firman-Nya yang artinya “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak
ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku.” (Al-Anbiya: 25)

5
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, :eiah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya
ibnu Abbad, dari ayahnya (yaitu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair) yang menceritakan
bahwa Al-Haris ibnu Khuzaimah datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab dengan
membawa kedua ayat dari surat At-Taubah ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya telah datang
kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. (At-Taubah: 128) Maka Umar ibnul
Khattab berkata, “Siapakah yang menemanimu membawakan ayat ini?” Al-Haris menjawab,
“Saya tidak tahu. Demi Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku benar-benar
mendengarnya dari Rasulullah, lalu aku resapi dan aku hafalkan dengan baik.” Umar berkata,
“Aku bersaksi, aku sendiri benar-benar mendengarnya dari Rasulullah Saw.” Selanjutnya
Umar berkata, “Seandainya semuanya ada tiga ayat, niscaya aku akan menjadikannya dalam
suatu surat tersendiri. Maka perhatikanlah oleh kalian surat Al-Qur’an mana yang pantas
untuknya, lalu letakkanlah ia padanya.” Dan mereka meletakkannya di akhir surat At-Taubah.

Dalam-pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa Umar ibnul Khattablah yang


memberikan saran kepada Abu Bakar As-Siddiq r.a untuk menghimpun Al-Qur’an. Lalu
Khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid ibnu Sabit untuk menghimpunnya,
sedangkan Umar saat itu ikut hadir bersama mereka di saat mereka menulis hal tersebut. Di
dalam asar yang sahih disebutkan bahwa Zaid berkata, “Maka aku menjumpai akhir surat
Bara’ah berada pada Khuzaimah ibnu Sabit atau Abu Khuzaimah.”
Dalam pembahasan terdahulu disebutkan bahwa sejumlah sahabat ingat akan hal tersebut
di saat mereka berada di hadapan Rasulullah Saw., yakni seperti yang dikatakan oleh
Khuzaimah ibnu Sabit di saat ia mengutarakan ayat-ayat itu kepada mereka. Abu Daud telah
meriwayatkan dari Yazid ibnu Muhammad ibnu Abdur Razza ibnu Umar (salah seorang yang
siqah lagi ahli ibadah), dari Mudrik ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa Yazid seorang syekh
yang siqah telah meriwayatkan dari Yunus ibnu Maisarah dari Ummu Darda, dari Abu Darda
yang mengatakan, “Barang siapa yang mengucap­kan kalimat berikut di saat pagi dan petang
hari sebanyak tujuh kali, niscaya Allah akan memberinya kecukupan dari apa yang
menyusahkan­nya,” yaitu: Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-
Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung.
Ibnu Asakir di dalam biografi Abdur Razzaq telah meriwayatkannya dari Umar melalui
riwayat Abu Zar’ah Ad-Dimasyqi, dari Abdur Razzaq, dari Abu Sa’d Mudrik ibnu Abu Sa’d

6
Al-Fazzari, dari Yunus ibnu Maisarah ibnu Hulais, dari Ummu Darda; ia pernah mendengar
Abu Darda berkata bahwa tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan: Cukuplah Allah
bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan
yang memiliki ‘Arasy yang agung. Sebanyak tujuh kali baik ia membenarkannya ataupun
berdusta melainkan Allah memberinya kecukupan dari apa yang menyusah-kannya.
Tambahan ini dinilai gharib.

Kemudian Ia meriwayatkannya pula dalam biografi Abdur Razzaq (yakni Abu


Muhammad), dari Ahmad ibnu Abdullah ibnu Abdur Razzaq dari kakeknya (yaitu Abdur
Razzaq ibnu Umar) berikut sanadnya sehingga menjadi marfu’, lalu ia menyebutkan hal yang
semisal berikut tambahannya. Tetapi riwayat ini berpredikat mungkar.

C. Kandungan Nilai-nilai Pendidikan dalam Q.S At-Taubah ayat 128-129


1. Dari golongan obyek dakwah
Dalam terjemahan di atas disebutkan “telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri”. Terjemahan ini penulis ambil dari terjemah Kemenag RI tahun 2002.
Dalam kitab tafsir Marah Labid dijelaskan bahwa ada yang membaca kata min anfusikum
bisa dibaca dengan min anfasikum. Ini adalah bacaan Sayyidatina Fathimah dan
Sayyidatina ‘Aisyah. Yang pertama (dhummah fa’) bermakna “dari jenismu sendiri, yakni
manusia, orang Arab, Quraish”. Sedangkan yang kedua (fathah fa’) bermakna “dari
golongan orang yang mulia di antara kalian”. Dari yang pertama kita bisa mengambil
pelajaran bahwa hendaknya seorang pendakwah berasal dari golongan obyek dakwahnya,
bukan dari orang lain. Mengapa demikian? Obyek dakwah tidak akan ragu dalam
menerima si pendakwah, karena pendakwah merupakan golongan/bagian dari mereka
sendiri. Atau jika merujuk kepada pendapat yang kedua, maka hendaknya pendakwah itu
berasal dari golongan orang-orang mulia. Dengan memiliki kedudukan yang mulia, maka
obyek dakwahnya akan menaruh rasa hormat yang tinggi, berbeda jika pendakwah berasal
dari golongan orang biasa. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, keduanya memiliki
tujuan yang sama: agar dakwahnya mudah diterima.
Bagaimana jika nyatanya pendakwah bukan orang yang berasal dari golongan
obyek dakwahnya atau bukan merupakan orang yang mulia? Menurut penulis, dalam
berdakwah, hal demikian bukan syarat, namun hanya sekadar anjuran agar dakwah

7
semakin mudah. Masih ada solusi bagi yang bukan termasuk dua golongan di atas, yakni
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
2. Merasakan penderitaan umat
Sifat ini terambil dari (terjemah) ayat “berat terasa olehnya penderitaan yang kamu
alami”. Al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa penderitaan yang dimaksud
adalah bertemu dengan hal-hal yang dibenci (makruh), baik di dunia (disengsarakan oleh
para musuh lewat kekuasaan) atau di di akhirat (menjadi penghuni neraka). Nabi
merasakan demikian karena ia adalah juga bagian dari masyarakatnya. Pendakwah
hendaknya selalu memiliki sifat khawatir dan takut manakala masyarakatnya mengalami
hal yang tidak mengenakkan, baik di dunia maupun di akhirat. Keadaan seperti ini akan
mengantarkan kepada kesungguh-sungguhan dalam berdakwah dan mengajak mereka
kepada jalan yang benar.
3. Selalu mengharapkan keselamatan umat
Sifat ketiga yang dimiliki Nabi adalah “(dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu”. Al-Qasimi mengatakan bahwa keinginan Nabi ini agar umatnya
mendapat hidayah. Sehingga tak ada satu pun dari umatnya yang tidak mengikuti jalan
yang telah ia tempuh. Orang yang berdakwah hendaknya memiliki semangat dan
keinginan yang kuat agar umatnya senantiasa mendapat petunjuk (mendapatkan
kebahagiaan). Agaknya ini merupakan penegasan dari poin sebelumnya (menghindarkan
keburukan). Dengan demikian, pendakwah akan selalu berusaha dan berdoa untuk
kebaikan umatnya.
4. Penyantun dan penyayang terhadap orang beriman
Ini terambil dari “penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman”.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyantun (rauf) adalah
sangat lemah lembut, sedang penyayang (rahim) adalah sangat memiliki kasih sayang.
Sedangkan dalam tafsir Jalalin disebutkan bahwa yang dimaksud dengan rauf adalah
sangat memiiliki kasih sayang (rahmat) sedangkan rahim adalah menginginkan kebaikan
bagi mereka. Dari sini, terbaca dengan jelas bahwa hendaknya seorang pendakwah itu
memiliki sifat kasih sayang yang sangat besar kepada umatnya. Ini agaknya akan
mengantarkan kepada sikap legowo manakala dakwahnya belum diterima (ditolak) atau

8
berhasil. Juga, dengan sifat ini, seorang pendakwah akan selalu melakukan dakwah
dengan semangat kasih sayang.
Demikian empat sifat Nabi yang hendakya selalu dimiliki setiap pendakwah dalam setiap
aktifitasnya. Dan yang juga penting adalah pendakwah yang penulis maksud tidak saja
mereka yang ahli ceramah di atas panggung, namun siapa saja yang menginginkan dan
mengajak orang lain untuk melaksnakan kebaikan. Semoga kita bisa meneladani sifat-sifat
ini. Amin.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai-nilai pendidikan dalam Q.S At-Taubah ayat 128-129:
1. Dari golongan obyek dakwah
2. Merasakan penderitaan umat
3. Selalu mengharapkan keselamatan umat
4. Penyantun dan penyayang terhadap orang beriman

B. Saran dan Kritik


Penyusun tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih banyak kesalahan dan jauh
dari kata kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber serta kritik yang membangun.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alquranmulia.com/sejarah-penemuan-surat-at-taubah-ayat-128-129-dan-manfaat-
mengamalkannya

https//kumparan.com/berita-hari-ini/sejarah-penemuan-surat-at-taubah-ayat-128-129-dan-
manfaat-mengamalkannya-1Wy0jPmsznF

11

Anda mungkin juga menyukai