Anda di halaman 1dari 24

ANAK DKB (DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu:

Ficky Dewi Ixfina, M.Pd.

Disusun Oleh:

Uswatun Chasanah (201912126073)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL FITHRAH
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas anugrahNya sehingga
kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang “Anak DKB (Diagnosis
Kesulitan Belajar)”. Shalawat serta salam tetap tercurahkan pada Nabi
Muhammad SAW, sebagai suri tauladan sekaligus pencerah dari jalan gelap
gulita menuju jalan yang terang benerang, yakni Addinul Islam. Semoga kita
semua mendapatkan barokah dan syafa’at Beliau di hari akhir nanti.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas
pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis telah berusaha untuk dapat
menyusun makalah ini dengan baik, namun penulis pun menyadari bahwa kami
memiliki akan adanya keterbatasan kami sebagai manusia biasa yang jauh dari
kata sempurna.
Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi
teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik serta
saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan oleh kami
untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita
bersama sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 03 Juli 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3
A. DKB (Diagnosis Kesulitan Belajar) .............................................. 3
B. Disleksia ........................................................................................... 6
C. Disgrafia ........................................................................................... 10
D. Diskalkulia ....................................................................................... 13
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 20
Kesimpulan ...................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesulitan belajar yang dialami individu atau siswa yang belajar dapat
diidentifikasi melalui faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil
belajar. Faktor-faktor kesulitan belajar yang berasal dari dalam diri siswa
sangat terkait dengan kondisi-kondisi fisiologis dan psikologisnya ketika
belajar sedangkan faktor-faktor kesulitan belajar yang berasal dari luar diri
siswa banyak yang bersumber pada kurangnya fasilitas, sebagai salah satu
faktor penunjang keberhasilan aktivitas atau perbuatan belajar.
Ketidakberhasilan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai suatu
ketuntasan materi tidak dapat dilihat hanya pada satu faktor saja, akan tetapi
banyak faktor yang terlibat dan mempengaruhi dalam proses belajar
mengajar.
Faktor yang dapat dipersoalkan adalah siswa yang belajar, jenis kesulitan
yang dihadapi dan kegiatan-kegiatan dalam proses belajar. Jadi, yang
terpenting dalam kegiatan proses diagnosis kesulitan belajar adalah
menemukan letak kesulitan belajar dan jenis kesulitan belajar yang dihadapi
siswa agar pengajaran perbaikan (learning corrective) yang dilakukan dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Proses belajar merupakan hal yang
kompleks, di mana siswa sendiri yang menentukan terjadi atau tidak
terjadinya aktivitas atau perbuatan belajar. Dalam kegiatan-kegiatan
belajarnya, siswa menghadapi masalah-masalah secara intern dan ekstern.
Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka siswa tidak dapat belajar
dengan baik.
Kenyataan lain yang juga harus dihadapi guru adalah meski mereka
menghadapi kelompok kelas dengan umur yang relatif sama tetapi guru tidak
bisa memperlakukan sama terhadap perbedaan karakteristik peserta didik .
Setiap satuan kelas itu berbeda dalam hal motivasi belajar, kemampuan
belajar, taraf pengetahuan, latar belakang, dan sosial ekonomi. Hal ini

1
mengharuskan guru memperlakukan satuan kelas itu dengan pendekatan yang
berbeda. Memahami heterogenitas peserta didik berarti menerima apa adanya
mereka dan merencanakan pembelajaran sesuai dengan keadaannya. Program
pembelajaran di sekolah dasar akan berlangsung efektif jika sesuai dengan
karakteristik peserta didik yang belajar. Sebaliknya, jika pembelajaran
disajikan tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, maka yang
terjadi adalah timbulnya masalah gangguan kesulitan belajar pada peserta
didik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan DKB?
2. Apa yang dimaksud dengan disleksia?
3. Apa yang dimaksud dengan disgrafia ?
4. Apa yang dimaksud dengan diskalkulia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian DKB (Diagnosis Kesulitan Belajar)


Pada umumnya, “kesulitan belajar” merupakan suatu kondisi tertentu
yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai
suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih keras untuk dapat
mengatasinya. Dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan
belajar akan mengalami hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya,
sehingga prestasi yang dicapainya berada dibawah yang semestinya.1
Alan O. Ross, mengatakan “A learning difficulty represente a
discrepancy between a chill’s estimated academic potential and his actual
level of academic performance”. Selanjutnya, bila dikembangkan
pemahaman konsep kesulitan belajar maka pengertian kesulitan belajar
mempunyai suatu pengertian yang sangat luas dan mendalam, termasuk
pengertian-pengertian “learning disorder”, “learning disabilities”, “learning
disfunction”, “underachiever”, dan “slow learners”.
Berdasarkan kesulitan-kesulitan belajar tersebut dapat dijelaskan bahwa
Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan di mana proses
belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan.
Learning disabilities atau ketidakmampuan belajar adalah mengacu kepada
gejala dimana anak tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga
hasil belajar yang dicapai berada di bawah potensi intelektualnya. Learning
disfunction, mengacu kepada gejala dimana proses belajar tidak berfungsi
dengan baik, meskipun sebenarnya anak tidak menunjukkan adanya
subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan-gangguan
psikologis lainnya.2

1
Depdikbud, Modul Diagnostik Kesulitan Belajar (Jakarta: Universitas Terbuka Press, 2008), 53.
2
Dimyanti, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Direktorat Jenderal, 2001), 74.
3
4

Sedangkan Underachiever, adalah mengacu kepada anak-anak yang


memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong diatas normal, tetapi
prestasi belajarnya tergolong rendah. Kemudian, slow learner (lambat belajar)
adalah anak-anak yang lambat dalam proses belajarnya, sehingga anak
tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan
sekelompok anak lain yang memiliki taraf intelektual yang sama. Individu
yang tergolong dalam pengertian-pengertian tersebut di atas, akan mengalami
kesulitan belajar yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam
proses belajarnya.3
Kesulitan belajar, pada dasarnya merupakan suatu gejala yang nampak
dalam berbagai jenis manifestasi tingkah lakunya. Gejala kesulitan belajar
akan dimanifestasikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
berbagai bentuk tingkah laku. Sesuai dengan pengertian kesulitan belajar di
atas, tingkah laku yang dimanifestasikannya ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu. Gejala ini akan nampak dalam aspek-aspek
motoris, kognitif, konatif dan afektif, baik dalam proses maupun hasil belajar
yang dicapainya.4 Beberapa ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan
manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain:
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang
dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.
Mungkin ada siswa yang selalu berusaha untuk belajar dengan giat, tapi
nilainya yang dicapainya selalu rendah.
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal
dari kawan-kawannya dalam menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan
waktu yang tersedia.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh,
menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.

3
Ibid., 75.
4
Prayitno, Materi Layanan Pembelajaran (Jakarta: Depdikbud Press, 2004), 81.
5

5. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, seperti membolos, datang


terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau
di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan
belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja sama, dan
sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung,
mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam
menghadapi situasi tertentu.5
Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas Burton, mengidentifikasikan
seseorang siswa itu dapat dipandang atau dapat diduga sebagai mengalami
kesulitan belajar, apabila yang bersangkutan menunjukkan kegagalan
(failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya.6 Oleh karena itu,
Burton mendefinisikan kegagalan belajar, sebagai berikut:
1. Siswa dikatakan gagal, apabila dalam batas waktu tertentu yang
bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat
penguasaan (mastery level), minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang
telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (criterion referenced).
2. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran
tingkat kemampuannya, inteligensi, bakat), ia diramalkan (predicted) akan
dapat mengerjakannya atau mencapai prestasi tersebut.
3. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat
mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial,
sesuai dengan pola organismiknya (his organismic pattern) pada fase
perkembangan tertentu seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia
yang bersangkutan (norm referenced).
4. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai
tingkat penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat

5
Ibid., 83.
6
Ibid., 84.
6

(prerequisiti) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran


berikutnya.7
Dengan demikian dari empat pengertian kesulitan belajar atau kegagalan
belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang siswa dapat diduga
sebagai mengalami kesulitan belajar, apabila yang bersangkutan tidak
berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu dan dalam batas-batas
tertentu.

B. Disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “dys” yang berarti
“sulit dalam” dan “lex” (berasal dari legein, yang artinya “berbicara”).
Menderita disleksia berarti menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata
atau simbol-simbol tulis atau “kesulitan membaca”. Ada nama-nama lain yang
menunjukkan kesulitan membaca yaitu corrective readers dan remedial
readers.
Sedangkan menurut Learner, kesulitan belajar membaca yang berat
sering disebut aleksia (alexia). Istilah dileksia banyak digunakan dalam dunia
kedokteran dan dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi neurofisiologis.
Bryan dan Bryan seperti dikutip oleh Marcer mendefinisikan disleksia sebagai
suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dalam
kalimat, mengintregasikan komponen-komponen kata dalam kata dan kalimat
dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah dan
masa.8
Adapun menurut Orban Dyslexia of the USA disleksia adalah salah satu
dari beberapa ketidakmampuan belajar. Disleksia ditunjukkan dengan
kesulitan dalam aspek-aspek bahasa yang berbeda, termasuk problem
membaca, problem dalam memperoleh kecakapan dalam menulis dan
mengeja. Definisi ini memuat beberapa point, yakni disleksia adalah salah dari

7
Ibid., 86.
8
Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar (Yogyakarta: Nuha Letra, 2010), 153.
7

satu kesulitan belajar, kesulitan dalam fonologi, dan problem mengeja dan
menulis.9
Snowling mendefinisikan disleksia adalah gangguan kemampuan dan
kesulitan yang memberikan efek terhadap proses belajar, diantaranya adalah
gangguan dalam proses membaca, mengucapkan, menulis dan terkadang sulit
untuk memberikan kode (pengkodean) angka ataupun huruf. Disamping itu,
mungkin dapat diidentifikasikan melalui proses kecepatan area dalam otak,
yang menyangkut short-term memory (ingatan jangka pendek), perilaku,
pendengaran, atau persepsi visual, berbicara dan ketrampilan motorik.
Disleksia adalah ketidakmampuan belajar secara neurologis yang menghambat
proses dan penguasaan bahasa.10
Karakteristik disleksia menurut Thomson & Watkins dalam
Abdurrahman mengatakan bahwa disleksia memiliki kesulitan dalam tugas-
tugas berikut:
1. Membaca dan menulis
2. Mengorganisir dan memahami waktu
3. Mengingat urutan nomor dan berkonsentrasi dalam jangka waktu yang
lama
4. Belajar dan memahami ucapan dan tulisan
5. Mengenali dan mengulang kembali tulisan atau ucapan
6. Menemukan dan mengolah informasi tekstual.11
Menurut Mercer ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar
membaca, yaitu berkenaan dengan:
1. Kebiasaan membaca
2. Kekeliruan mengenal kata
3. Kekeliruan pemahaman
4. Gejala-gejala serba aneka

9
Ibid., 155.
10
Hargio Santoso, Cara Memahami & Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta:
Gosyeb Publishing, 2011), 115.
11
Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan ABK jilid 1 (Depok, LPSP3 UI, 2014), 96.
8

Pendapat Vernon yang juga dikutip Hargrove dalam Abdurrahman


mengemukakan perilaku anak berkesulitan belajar membaca, sebagai berikut:
1. Memiliki kekurangan dalam diskriminasi penglihatan.
2. Tidak mampu menganalisis kata menjadi huruf-huruf.
3. Memiliki kekurangan dalam memori visual.
4. Memiliki kekurangan dalam melakukan diskriminasi auditoris.
5. Tidak mampu memahami simbol bunyi.
6. Kurang mampu mengintegrasikan penglihatan dengan pendengaran.
7. Kesulitan dalam mempelajari asosiasi simbol-simbol ireguler (khusus
yang berbahasa inggris).
8. Kesulitan dalam mengurutkan kata-kata atau huruf.
9. Membaca kata demi kata.
10. Kurang memiliki kemampuan dalam berfikir konseptual.12
Adapun faktor penyebab disleksia menurut Sidiarto adalah:
1. Anak yang lahir prematur dengan berat lahir rendah dapat mengalami
kerusakan otak sehingga mengalami kesulitan belajar atau gangguan
pemusatan perhatian
2. Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran atau anak dengan cerebral palsy (c.p.) akan mengalami
kesulitan belajar membaca.
3. Anak kurang memahami perintah karena lingkungan yang menggunakan
beberapa bahasa (bi- atau multilingual).
4. Anak yang sering pindah sekolah.
5. Anak yang sering absen karena sakit atau ada masalah dalam keluarga.
6. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan pembelajaran
bahasa sehingga kurang konsentrasi dan banyak membuat kesalahan.13
Menurut Sidiarto dalam buku Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar
pada Anak, menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut.
1. Disleksia dan Gangguan Visual
12
Ibid., 99.
13
Tri Gunadi, Kurikulum Bagi Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar (Jakarta: Penebar
Plus, 2009), 125,
9

Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual.


Kelainnan ini jarang, hanya didapat pada 5% kasus disleksia. Gangguan
fungsi otak bagian belakang dapat menimbulkan gangguan dalam persepsi
visual (pengenalan visual tidak optimal, membuat kesalahan dalam
membaca dan mengeja visual), dan defisit dalam memori visual. Adannya
rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip bentuknya,
bayangan cermin (b-d, p-q, 5-2, 3-E,) atau huruf , angka terbalik
(inversion) seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya.14
2. Disleksia dan Gangguan Bahasa
Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik. Beberapa penulis
menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Lima puluh
persen dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia
perkembangan) pada masa balita atau prasekolah. Legien dan Bouma
menyebutkan kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua anak
laki-laki dan 1% pada anak perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam
diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemmis) seperti p-t, b-
g, t-d, t-k; kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut atau
menemukan kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau
(sekolah→sekolha). Hal ini berdampak pada imla atau membuat karangan.
3. Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris
Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris. Ada gangguan pada
kondisi visual auditoris, anak membaca lambat. Dalam hal ini bahasa
verbal dan persepsi visualnya baik. Apa yang dilihat tidak dapat
dinyatakan dalam bunyi bahasa. Terdapat gangguan dalam “cross modal
(visual-auditory) memory retrieval”.15

14
Ibid., 131.
15
Ibid., 132.
10

C. Disgrafia
Disgrafia berasal dari bahasa yunani berarti kesulitan khusus yang
membuat anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan pikiran kedalam
bentuk suatu tulisan dan menyusun huruf-huruf. Disgrafia adalah gangguan
biologis berbasis otoric, dan otak. Lebih khusus lagi, disgrafia adalah masalah
kerja memori. Dalam disgrafia, individu gagal untuk mengembangkan
hubungan normalcantara daerah otak berbeda yang dperlukan untuk menulis,
orang dengan disgrafia mengalami kesulitan dalam mengingat dan secara
otomatis menguasai urutan gerakan otoric yang diperlukan untuk menulis
huruf datau angka.16
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak anak tidak bisa menulis
atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan karena mereka tidak
bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan
motorik halusnya (tangan) untuk menulis.
Disgrafia adalah kekurangan dalam kemampuan menulis, terutama dalam
hal tulisan tangan, tetap juga dalam hal koherensi. Hal ini terjadi terlepas dari
kemampuan untuk membaca, bukan karena gangguan intelektual. Disgrafia
adalah cacat transkripsi, yang berarti bahwa disgrafia adalah gangguan
menulis yang terkait dengan tulisan tangan terganggu, coding ortografi
(otografi, proses penyimpan kata-kata), dan mengurutkan jari (gerakan otot
yang dibutuhkan untuk menulis).17
Orang dengan disgrafia sering dapat menulis pada tingkat tertentu dan
mungkin kurang keterampilan motorik halus, misalnya mereka dapat
menemukan tugas-tugas, seperti mengikat sepatu sulit, tetapi tidak
mempengaruhi semua keterampilan motorik halus. Orang dengan disgrafia
juga sering mengalami kesulitan yang tidak biasa dengan tulisan tangan dan
ejaan yang dapat dapat gilirannya dapat menyebabkan kelelahan menulis.
Umumnya orang dengan dengan disgrafia mereka tidak memliki tata
bahasa dasar dan keterampilan ejaan (misalnya, mengalami kesulitan dengan
16
Jati Rinarki, Pendidikan dan Bimbingan ABK (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), 271.
17
Aphrodita, Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak Disgrafia (Yogyakarta: Javalitera,
2013), 55.
11

huruf ‘p’,’q’,’b’, dan ‘d;), dan sering akan menulis kata yang salah ketika
mencoba merumuskan pikiran mereka dikertas, kelainan ini umumnya
muncul ketika anak pertama kali diperkenalkan untuk menulis. Orang
dewasa, remaja, maupun anak-anak semua bisa mengalami disgrafa. Anak
yang mengalami disgrafia memiliki kesulitan khusus, yaitu anak tidak bisa
menuliskan atau mengekspresikan pkirannya ke dalam bentuk tulisan karena
mereka tidak bisa menyusun huruf atau kata dengan baik dan
mengoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Jadi dapat
disimpulkan bahwa disgrafia adalah kesulitan khusus dimana,anak-anak sulit
untuk menulis mengekspresikan kata-kata dengan baik.18
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Lambat dalam menulis
2. Menulis dengan huruf yang terbalik, seperti huruf “b” ditulis “d”, huruf
“m” ditulis “w”.
3. Terdapat tidak konsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
4. Saat menulis, pengguna huruf kapital dan huruf kecil masih tercampur.
5. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proposional.
6. Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide,
pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
7. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap, caranya
memegang alat tulis sering terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan
kertas.
8. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu
memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis
9. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan
proposional.
10.Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh
tulisan yang sudah ada.19

18
Jati Rinarki, Pendidikan dan Bimbingan ABK..., 276.
19
Ibid., 278.
12

Adapun faktor Penyebab disgrafia adalah karena faktor neurologis,


yaitu faktor gangguan pada otak kiri depan yang berhubungan dengan
kemampuan menulis. Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan
menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang
pensil dengan mantap ataupun tulisan tangan buruk. Anak dengan ganggua
disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan
ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis
huruf dan angka.
Disgrafia juga sebagian disebabkan masalah mendasar dalam
pengodean ortografi, loop ortografi, dan output graphmotor (gerakan-
gerakan yang hasil secara tertulis) oleh tangan, jari dan fungsi eksekutif
yang terlibat dalam menulis surat. Loop ortografi adalah ketika kata-kata
tertulis yang disimpan dalam mata pikiran, terhubung melalui gerakan jari
berurutan untuk output motor melalui tangan dengan umpan balik dari
mata.20
Adapun jenis-jenis disgrafia antara lain:
1. Disgrafia motor
Disgrafia motor adalah disgrafia yang disebabkan kekurangan
keterampilan motorik halus, miskin ketangkasan, lemah otot, atau
kecanggungan motorik yang tidak ditentukan. Secara keseluruhan, hasil
tulisan merek yang miskin untuk terbaca bahkan jika disalin karena
melhat dari dokumen lain, dan menggambar adalah sulit, ejaan oral
untuk individu-individu ini normal, dan kecepatan jari penyadapan
mereka adalah dibawah normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada
masalah dalam keterampilan motorik halus orang lain.
2. Disgrafia Tata Ruang (Spasi)
Seseorang dengan disgrafia spasal memiliki kelemahan dalam
pemahaman ruang, mereka akan kesulitan jika diminta menulis secara
spontan, kerja disalin terbaca, dan masalah dengan kemampuan

20
Hibana Rahman, Bimbingan dan Konseling Pola ABK (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2018), 87.
13

menggambar. Mereka memiliki ejaan normal dan kecepatan jari yang


normal penyadapan, menunjukkan bahwa subtipe ini tidak diakibatkan
kerusakan motorik.21
D. Diskalkulia
Asal kata Dyscalculia yaitu dari bahasa Yunani yang artinya adalah
“ketidakmampuan berhitung”. Awalan “dys” berarti “ketidakmampuan”
sedangkan “calculus” berarti “kerikil”, manik, dekak atau kelereng. Karena
zaman dahulu menghitung dengan alat bantu kerikil maka dari sinilah istilah
diskalkulia berasal. Salah satu ciri diskalkulia yaitu kekacauan dalam
berhitung sehingga dapat dikatakan sebagai suatu ketidakmampuan belajar
(learning disability).
Penyebab dari diskalkulia yaitu ketidakmampuan berhitung yang
penyebabnya gangguan pada sistem saraf pusat. Hal tersebut akibat gangguan
sistem saraf yang lemah pada kemampuan persepsi sosial, lemah terhadap
konsep arah dan waktu, serta terjadinya gangguan memori. Selain hal tersebut
siswa juga mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk geometrik,
simbolik, konsep angka, bahkan kesulitan dalam melakukan operasi
matematika seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian serta
pembagian dengan mahir. Siswa yang mengalami kesulitan tersebut juga
dapat diartikan sebagai “math difficulty”, yang artinya gangguan pada
kemampuan berhitung secara matematis. Ketidakmampuan ini dapat dilihat
secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk ketidakmampuan berhitung
(counting) juga ketidakmampuan mengkalkulasi (calculate).22
Diskalkulia adalah kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak yang
ditandai dengan kesulitan dalam berhitung. Pada proses pembelajaran, siswa
yang mengalami kesulitan belajar akan tampak ketika dirinya tidak mampu
memahami konsep-konsep hitung atau mengenali simbol-simbol aritmatika
seperti tambah, kurang, bagi, kali, dan akar.

21
Ibid., 89.
22
Patrisia, Diskalkulia (Kesulitan Matematika) (Malang: CV Jaya, 2012), 41.
14

Diskalkulia dapat juga didefenisikan sebagai kesulitan belajar


matematika atau diskalkulia yang merupakan ketidakmampuan dalam
melaksanakan keterampilan matematika dengan kapasitas intelektual pada
diri seseorang. Selain itu pengertian diskalkulia juga dapat diartikan sebagai
masalah yang dapat memberikan dampak terhadap pengoperasian perhitungan
dalam matematika.23
Adapun karakteristik anak diskalkulia adalah:
1. Ditandai dengan gangguan dalam memahami pola hubungan keruangan
Contoh dari gangguan tersebut seperti “atas-bawah, puncak-dasar,
jauh-dekat, besar-kecil,tinggi-rendah, depan-belakang, awal-akhir” . Pada
siswa yang telah memasuki Sekolah Dasar biasanya sudah mampu
menguasai konsep tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari siswa telah
memahami konsep tersebut dari pengalaman yang dimiliki siswa melalui
lingkungan sosialnya baik ketika mereka bermain dengan temannya atau di
dalam kehidupan sehari-harinya.24
Siswa yang mengalami memahami konsep tentang pola hubungan
keruangandapat disebabkan oleh faktor kesulitan dalam berkomunikasi
dan lingkup sosialnya tidak mendukung kondisi yang kondusif agar
terjalin komunikasi.. Hal tersebut disebabkan oleh dua kondisi,
diantaranya kondisi instrinsik yang ada karena ketidakmampuan otak dan
kondisi ekstrinsik berupa lingkup sosial yang tidak mendukung adanya
komunikasi sehingga menyebabkan siswa mengalami gangguan dalam
memahami beberapa konsep pola hubungan keruangan.
Gangguan yang dialami siswa dalam memahami konsep-konsep pola
hubungan keruangan bisa menyulitkan pemahaman siswa mengenai sistem
bilangan secara keseluruhan. Keadaan yang tampak apabila siswa tidak
bisa melakukannya seperti siswa merasakan jarak tiap angka pada garis
bilangan atau penggaris, sehingga tidak mengetahui bahwa angka 4
ternyata lebih dekat ke angka 5 daripada ke angka 7

23
Ibid., 43.
24
Akhmadi, Kebijakan Pendidikan Anak di Indonesia (Bandung: PT Media Utama, 2011), 79.
15

2. Abnormalitas persepsi visual


Ketidakmampuan siswa dalam melihat macam-macam objek dalam
satu kelompok dan hubungan diantaranya dapat terjadi dikarenakan adanya
gejala abnormalitas persepsi visual. Siswa yang mengalami abnormalitas
persepsi visual akan terlihat tidak mampu apabila disuruh untuk
menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing benda tersebut
terdiri dari empat atau lima anggota.
Sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan melihat macam-macam
objek dalam suatu kelompok pastilah dapat secara cepat dan tepat dalam
menentukan jumlah objek dalam suatu kelompok karena hal tersebut
sering terjadi dalam kontak pada lingkungan sosial. Abnormalitas persepsi
visual yang dialami siswa dengan masalah tersebut akan menghitung
anggota benda tersebut satu persatu terlebih dahulu sebelum kemudian
menjumlahkannya.
3. Asosiasi visual-motorik
Siswa diskalkulia tidak dapat menghitung beberapa benda dengan
berurutan sambil membilang benda tersebut. Contohnya seperti
menghitung jumlah suatu bilangan “satu, dua, tiga, ...”. tanpa
memperhatikan bahwa benda ynag dihitung tersebut bukan benda
bilanagn pertama akan tetapi siswa baru memegang benda kedua namun
baru mengucapkan “satu” atau kebalikannya baru menyentuh benda
pertama namun ia sudah mengucapkan “dua”. Oleh sebab itu siswa
dengan masalah tersebut menunjukkan kesan bahwa ia hanya menghafal
bilangan tapi tidak memahami maknanya.25
4. Perseverasi
Siswa yang mengalami masalah perseverasi ditandai dengan hanya
fokus pada satu objek saja dengan waktu yang lama sehingga awalnya
dapat menyelesaikan tugas dengan baik, namun lambat laun fokusnya
melekat pada objek yang lain.
5. Ketidakmampuan dalam mengenal dan memahami simbol

25
Ibid., 81.
16

Sebagian siswa diskalkulia yang mengalami ketidakmampuan dalam


mengenal dan menggunakan beberapa simbol matematika, seperti : +, -, ×,
÷, >, < dan simbol lainnya. Ketidakmampuan dalam memahami simbol
dikarenakan adanya gangguan memori pada otak atau adanya gangguan
persepsi visual.
6. Gangguan penghayatan tubuh
Siswa yang menalami kesulitan berhitung dapat ditandai dengan
adanya gangguan penghayatan tubuh (body image). Siswa yang
mengalami masalah ini akan merasa sukar untuk memahami hubungan
dari bagian-bagian tubuhnya sendiri. Gangguan yang dialami siswa
tersebut seperti siswa disuruh untuk menggambar bagian tubuh manusia,
maka yang ia lakukan adalah menggambar dengan beberapa bagian yang
tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang tidak
tepat. Contohnya, kaki diletakkan di tangan, atau bagian telinga yang
diletakkan pada bagian hidung, dan sebagainya.26
7. Kesulitan memahami bahasa dan membaca
Siswa yang mengalami kesulitan pada memahami bahasa dan
membaca disebabkan karena pelajaran matematika banyak menggunakan
simbol-simbol tertentu. Oleh karenanya, kesulitan dalam kemampyan
memahami bahasa dapat mempengaruhi kemampuan siswa pada pelajaran,
seperti halnya soal matematika yang didesain berbentuk soal cerita
menuntut kemampuan membaca untuk menyelesaikanny sehingga siswa
yang mengalami kesulitan memahami bahasa dan membaca akan susah
untuk menyelesaikan soal tersebut.
8. Performance IQ lebih rendah daripada Verbal IQ
Apabila dilakukan tes inteligensi dengan mengandalkan alat WISC
maka akan diperoleh siswa yang mengalami diskalkulia memiliki skor
Performance IQ (PIQ) yang lebih rendah daripada skor Verbal IQ (VIQ).
Hal tersebut dikarenakan tes inteligensi tersebut mempunyai dua kategori
sub tes, diantaranya tes performance dan tes verbal. Cakupan isi dari sub

26
Ibid., 83.
17

tes performance diantaranya melengkapi objek, menyusun objek,


menyusun gambar, menyusun balok dan coding. Sedangkan sub tes verbal
terdiri dari Informasi, persamaan, aritmatika, bendahara kata, serta
pemahaman. Penyebab rendahnya skor PIQ tersebut berkaitan dengan
kesulitan dalam memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual,
dan juga adanya gangguan asosisasi visual-motorik yang dialami siswa
diskalkulia.27
Faktor-faktor yang mempengaruhi diskalkulia antara lain:
1. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis mencakup kesehatan fisik, pertimbangan
neurologis dan jenis kelamin. Kelelahan juga merupakan kondisi
yang tidak menguntungkan bagi anak untuk belajar, khususnya
belajar membaca. Gangguan pada alat bicara, alat pendengaran dan
alat penglihatan bisa memperlambat kemajuan belajar membaca
anak. Guru harus sensitif terhadap gangguan yang dialami seorang
anak, semakin cepat guru mengetahuinya, makin cepat pula masalah
anak dapat diselesaikan.28
2. Faktor Intelektual
Secara umum, intelegensi anak tidak sepenuhnya mempengaruhi
berhasil atau tidaknya anak dalam membaca permulaan. Faktor
metode mengajar guru, prosedur dan kemampuan guru juga turut
mempengaruhi kemampuan membaca permulaan anak.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga mempengaruhi kemajuan kemampuan
membaca siswa. Lingkungan dapat membentuk pribadi, sikap, nilai
dan kemampuan bahasa anak. Kondisi di rumah mempengaruhi
pribadi dan penyesuaian diri anak dalam masyarakat, kondisi ini pada
gilirannya dapat membantu anak, dan dapat juga menghalangi anak
belajar membaca. Faktor sosial ekonomi, orang tua, dan lingkungan
27
Ibid., 86.
28
Muhammad Zein, Prespektif Gender dalam Pembelajaran Matematika (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), 66.
18

merupakan faktor yang membentuk lingkungan rumah siswa.


Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa status sosial ekonomi
siswa mempengaruhi kemampuan verbal siswa. Anak-anak yang
mendapat contoh bahasa yang baik dari orang dewasa serta orang tua
yang berbicara mendorong anak-anak mereka berbicara akan
mendukung perkembangan bahasa dan intelegensi anak.29
4. Faktor Psikologis
Faktor psikologis mencakup motivasi, minat dan kematangan
sosial, emosi dan penyesuaian diri. Suasana belajar yang kondusif dan
menyenangkan akan mengoptimalkan kerja otak siswa, ini akan
memotivasi siswa agar belajar intensif. Seseorang tidak berminat
belajar membaca jika dalam keadaan tertekan. Seseorang siswa harus
mempunyai pengontrolan emosi pada tingkat tertentu. Anak yang
mudah marah, menangis, atau menarik diri akan mendapat kesulitan
dalam belajar membaca, sebaliknya anak yang lebih mudah
mengontrol emosinya akan lebih mudah memusatkan perhatiannya
pada teks yang dibaca dan dihiutng.30
Adapun jenis-jenis diskalkulia menurut Patricia dan Zamzam antara lain:
1. Diskalkulia kuantitatif adalah siswa mengalami kesulitan dalam
keterampilan menghitung dan mengkalkulasi.
2. Diskalkulia kualitatif adalah siswa mengalami kesulitan menguasai
keterampilan yang diperlukan dalam melakukan operasi matematika
seperti penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan akar
kuadrat.
3. Diskalkulia intermediate adalah siswa tidak mampu untuk
mengoperasikan simbol atau bilangan, seperti , t, -, x, ÷, √. Selain itu
siswa juga mengalami kesulitan ketika jumlahnya lebih besar dari
1.000.000 sehingga siswa akan membutuhkan bantuan untuk
memanipulasi atau membacanya.

29
Ibid., 67.
30
Ibid., 68.
19

4. Diskalkulia verbal yaitu siswa dapat membaca dan menulis bilangan


akan tetapi mengalami kesulitan dan tidak dapat paham tentang makna
dari bilangan, mengingat nama bilangan, atau mengenali bilangan
ketika diucapkan oleh seseorang.31
5. Diskalkulia practognostic yaitu siswa mengalami kesulitan
dalammelakukan manipulasi sesuatu secara matematis, misalnya
apabila membandingkan bilangan dalam melihat mana yang lebih kecil
atau besar akan mengalami kesulitan dengan kuantitas, volume atau
persamaannyambaik secara praktis ataupun sistematis.
6. Diskalkulia leksikal yaitu siswa mampu membaca digit secara tunggal,
akan tetapi tidak dapat mengingat dalam hal jumlah yang besar.
7. Diskalkulia grafis yaitu siswa mengalami kesulitan dalam menulis
simbol dan bilangan matematika baik berupa angka, lambang, dan
sebagainya.
8. Diskalkulia indiagnostik merupakan kesulitan yang dialami siswa
dalam mengingat ide atau konsep matematika setelah selesai
mempelajarinya, hal tersebut mempengaruhi dalam memahami
pembelajaran berikutnya.
9. Diskalkulia operasional yaitu siswa mengalami kesulitan dalam
melakukan operasi dan hitungan aritmatika, selain itu juga memiliki
masalah untuk melakukan perhitungan yang membutuhkan
memanipulasi angka dan pemahaman terhadap simbol matematika.32

31
Iftayani Azhari, Gangguan Belajar Diskalkulia (Medan: PT Tiga Press, 2016), 31.
32
Ibid., 32.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

1. Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan


adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga
memerlukan usaha yang lebih keras untuk dapat mengatasinya. Dapat
dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami
hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang
dicapainya berada dibawah yang semestinya.
2. Disleksia adalah gangguan kemampuan dan kesulitan yang memberikan efek
terhadap proses belajar, diantaranya adalah gangguan dalam proses membaca,
mengucapkan, menulis dan terkadang sulit untuk memberikan kode
(pengkodean) angka ataupun huruf.
3. Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak anak tidak bisa menulis atau
mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan karena mereka tidak bisa
menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik
halusnya (tangan) untuk menulis.
4. Diskalkulia adalah kesulitan belajar matematika atau ketidakmampuan dalam
melaksanakan keterampilan matematika dengan kapasitas intelektual pada diri
seseorang. Selain itu pengertian diskalkulia juga dapat diartikan sebagai
masalah yang dapat memberikan dampak terhadap pengoperasian perhitungan
dalam matematika

20
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi, Kebijakan Pendidikan Anak di Indonesia. Bandung: PT Media Utama,
2011.
Aphrodita, Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak Disgrafia.
Yogyakarta: Javalitera, 2013.
Azhari, Iftayani, Gangguan Belajar Diskalkulia. Medan: PT Tiga Press, 2016.
Depdikbud, Modul Diagnostik Kesulitan Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka
Press, 2008.
Dimyanti, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal, 2001.
Gunadi, Tri, Kurikulum Bagi Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar.
Jakarta: Penebar Plus, 2009.
Mangunsong, Frieda, Psikologi dan Pendidikan ABK jilid 1. Depok, LPSP3 UI,
2014.
Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Nuha Letra, 2010.
Patrisia, Diskalkulia (Kesulitan Matematika). Malang: CV Jaya, 2012.
Prayitno, Materi Layanan Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud Press, 2004.
Rahman, Hibana, Bimbingan dan Konseling Pola ABK. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2018.
Rinarki, Jati, Pendidikan dan Bimbingan ABK. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017.
Santoso, Hargio, Cara Memahami & Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta: Gosyeb Publishing, 2011.
Zein, Muhammad, Prespektif Gender dalam Pembelajaran Matematika. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014.

21

Anda mungkin juga menyukai