YUSAK M. T. SIAHAAN
FK PRESS
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2018
ii NYERI: PATOFISIOLOGI – ASESMEN – TATALAKSANA
NYERI
●Patofisiologi ●Asesmen ●Tatalaksana
Penulis :
Yusak M. T. Siahaan
ISBN : 978-979-98173-9-6
Editor :
Vivien Puspitasari
Desain sampul :
Nata P.H.L. dan Staf FK UPH/SMF Neurologi Siloam Hospitals Lippo Village
Penerbit :
FK Press
Universitas Pelita Harapan
Lippo Village, Karawaci, Tangerang 15811
Tel: +62-21-5460901
Fax: +62-21-5460908
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terbitnya buku ini. Rasa terima kasih yang tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada seluruh keluarga besar, khususnya bagi kedua orang
tua. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk istri tercinta dr.
Maria Irawaty, Sp.PD, KIC, serta anak-anak yang terkasih Henoch
Gugun Siahaan dan Rudolph Yeremia Siahaan atas dukungan dan
pengertian yang memotivasi penulis untuk terus berkarya. Rasa
terimakasih juga ditujukan bagi teman sejawat bagian Neurologi Dr.
dr. Vivien Puspitasari, Sp.S; Dr. dr. Rocksy F. V. Situmeang, Sp.S; dr.
Vonny F. Goenawan, Sp.S; dr. Lilie Lalisang, Sp.S; dr. Pricilla Y.
Gunawan, Sp.S; dr. Retno J. Ketaren, Sp.S; dr. Evlyne E. Suryawijaya,
Sp.S dan rekan sejawat Siloam Hospitals Lippo Village Karawaci yang
mendukung dalam proses pembuatan tulisan ini, bagi dr. Pamela
Tiffani, dr. Kennytha Y, dr. Vinson Hartoyo, dr. Mikha Hutabarat dan
dr. Willy Jefri yang telah aktif berkontribusi dalam proses penyelesaian
tulisan ini.
iv NYERI: PATOFISIOLOGI – ASESMEN – TATALAKSANA
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi .........................................................................................iv
Kata Sambutan ...............................................................................vi
Kata Pengantar.............................................................................viii
Pendahuluan .................................................................................. ix
KATA SAMBUTAN
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera untuk kita semua
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena atas rahmat dan karunianya buku dengan judul NYERI:
PATOFISIOLOGI, ASESMEN DAN TATALAKSANA dapat
diterbitkan.
Nyeri merupakan gejala yang umum ditemukan dan merupakan salah satu
alasan utama kunjungan pasien di poliklinik. Nyeri didefinisikan sebagai
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial. Penilaian dan tatalaksana nyeri semakin
penting dirasakan, sehingga nyeri saat ini telah dianggap sebagai tanda vital
kelima. Pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai etiologi,
patofisiologi, dan asesmen nyeri untuk dapat melakukan penilaian dan
tatalaksana nyeri yang komprehensif.
Kami menyambut baik terbitnya buku ini karena buku yang mengangkat
tema nyeri, khususnya tatalaksana nyeri secara komprehensif dengan
mengetahui etiologi dan patofisiologinya masih belum banyak tersedia. Kami
berharap terbitnya buku ini dapat memacu minat menulis di kalangan profesi
dokter, terutama klinisi, untuk dapat membagi pengalaman klinisnya secara
ilmiah.
Kami juga berharap buku ini dapat memberikan manfaat, baik sebagai
sumber acuan ilmiah, maupun sebagai sumber panduan dalam praktik sehari-hari
bagi teman sejawat spesialis saraf, residen dan dokter umum, sebagai bagian dari
proses belajar yang berkesinambungan. Akhir kata, kami berharap agar buku ini
dapat memperkaya wawasan dan meningkatkan profesionalisme seluruh anggota
PERDOSSI di seluruh Indonesia.
Wassalamualaikum Wr Wb.
KATA SAMBUTAN
KATA PENGANTAR
Nyeri merupakan salah satu masalah yang paling sering dihadapi di semua
praktik pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan kondisi akut, kronis
maupun penyakit yang melatarbelakanginya. Hampir semua penderita penyakit
dengan kondisi tahap lanjut mengalami pengalaman nyeri, dan nyeri tersebut
merupakan gejala yang paling ditakuti baik penderita maupun keluarganya.
Tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa nyeri seringkali ditangani dengan
tidak maksimal, bahkan merupakan salah satu gejala dari suatu penyakit dengan
asesmen dan tatalaksana terburuk. Masalah utama yang menyebabkan tidak
tercapainya manajemen nyeri yang baik adalah kurangnya pengetahuan dan
pengalaman dokter maupun tenaga kesehatan lainnya.
Karenanya pengetahuan tentang nyeri yang meliputi patofisiologi,
asesmen dan tatalaksananya sangat penting terutama bagi professional yang
bergerak di bidang kesehatan. Dengan latar belakang kondisi tersebut dan
terinspirasi oleh buku “Pain Is A Gift” yang ditulis oleh Paul Brand, penulis
memberanikan diri menyusun buku “Nyeri: Patofisiologi, Asesmen dan
Tatalaksana”. Dengan menyertakan patofisiologi nyeri yang sistematis, asesmen
nyeri yang lengkap dan tatalaksana yang komprehensif maka penulis berharap
buku ini dapat digunakan oleh semua yang terlibat dalam praktik pelayanan
nyeri. Tentu saja membaca banyak buku mengenai nyeri tidak membuat
seseorang menjadi seorang ahli di bidang nyeri, karena pengalaman menghadapi
pasien-pasien nyeri dalam praktik sehari-hari juga merupakan guru yang sangat
berharga.
Penulis
NYERI ix
PENDAHULUAN
NEUROANATOMI NYERI
1. Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor sensorik yang bertanggungjawab mendeteksi
stimulus yang bersifat noksius, dan merubah stimulus tersebut menjadi
sinyal elektrik yang kemudian dikonduksikan ke sistem saraf pusat.
Reseptor sensorik tersebut adalah ujung-ujung serabut saraf aferen
primer Aδ dan C yang tersebar di seluruh tubuh seperti kulit, visera,
otot, sendi dan meningen.[1]
Nosiseptor aferen primer merupakan neuron-neuron pseudounipolar
dengan badan sel neuron terletak pada Ganglia Radiks Dorsalis (DRG).
Neuron tersebut akan mengubah stimulus noksius berupa panas, dingin,
mekanik, kimia, maupun stimulus metabolik (seperti pH yang rendah)
menjadi suatu aksi potensial.[1, 2]
Gambar 2. Diameter akson dan kecepatan konduksi pada saraf tepi [4]
NYERI 3
Unit nosiseptor
Gambar di bawah menunjukkan diagram skematik dari unit nosiseptor.
- Terminal nosiseptor
Ujung terminal nosiseptor digambarkan sebagai “ujung saraf yang
telanjang”. Umumnya nosiseptor tidak bermielin, dan apabila nosiseptor
bermielin maka serabut saraf itu akan kehilangan selubung mielinnya
sebelum memasuki area terminal. Terminal nosiseptor yang berperan
dalam proses transduksi terdiri dari reseptor membran dan kanal-kanal.
Namun, bentuk dan konfigurasi dari terminal tersebut tidaklah sama di
sepanjang unit-unit nosiseptor.[6]
Gambar 4. Proyeksi Serabut Saraf Aferen pada Kornu Dorsalis Medula Spinalis
Lamina III – IV
Lamina III merupakan tempat neuron-neuron interneuron inhibisi,
sedangkan pada Lamina IV terdapat neuron-neuron proyeksi.
Lamina V
Merupakan leher dari kornu dorsalis. Neuron-neuron pada lamina
V terutama terlibat dalam proses perubahan stimulus reseptor-
reseptor mekanik dari kulit, otot dan sendi, seperti halnya nosiseptor-
nosiseptor dari visera. Aferen nosiseptor visera primer memasuki
kornu dorsalis dan berakhir pada lamina ini. Neuron pada lamina V
berespon terhadap input noksius dan non-noksius yang disebut sebagai
neuron Wide Dynamic Range (WDR). Pada lamina ini terjadi pertemuan
berbagai macam input seperti input nosiseptif, rasa raba serta input
visera.
Pengaturan pada lamina tersebut menjadi semakin kompleks saat
WDR juga berespon terhadap input dari level spinal yang berdekatan.
Kondisi bertemunya beberapa input dalam satu lamina pada level spinal
tertentu dapat menjelaskan mekanisme terjadinya nyeri alih (referral
pain). Aferen visera yang memasuki kornu dorsalis pada level yang
sama dengan aferen somatik akan memberi input pada neuron-neuron
WDR sehingga nyeri yang asalnya dari visera dapat dirasakan sebagai
nyeri pada dermatom tertentu.
8 PATOFISIOLOGI NYERI
Jalur Spinotalamik
Jalur ini mempunyai sel-sel yang berasal dari lamina I, IV dan V,
menyeberang garis tengah menuju komisura anterior lalu naik melalui
jalur spinotalamik anterolateral. Kebanyakan neuron-neuron tersebut
berakhir pada nukleus ventral talamus yang kemudian akan dikirim ke
korteks somatosensorik.
Beberapa neuron berakhir pada bagian talamus medial dimana proyeksi
akan dikirim ke area kortikal, limbik dan area motorik. Proyeksi ini
seringkali dikaitkan dengan respon emosi dan motorik pada stimulus
yang menyakitkan.
Jalur Spinomesensepalik
Jalur ini akan berakhir pada kolikulus superior dan Periaquaductal
Gray (PAG). Sistem ini memegang peranan penting sebagai bagian dari
proses modulasi input aferen nosiseptif dibanding sebagai bagian dari
proses persepsi nyeri. Koliculus superior dianggap terlibat dalam
NYERI 11
Jalur Spinoretikular
Jalur ini berakhir pada medula dan pons dengan proyeksi yang
dihantarkan ke talamus medial. Jalur ini berperan dalam mekanisme
descending modulation dari talamus medial dan jalur spinotalamik.
Kolumna Dorsalis
Mayoritas neuron-neuron ascending pada jalur ini adalah sensorik dan
bukan nosiseptif. Mereka menuju nukleus kuneatus dan nukleus grasilis yang
berperan mengantarkan informasi nosiseptif visera.
6. Kortek Serebri
Nyeri adalah pengalaman yang subyektif, terkadang berhubungan
langsung dengan stimulus nosiseptif tetapi terkadang tanpa stimulus nosiseptif
(nyeri neuropati atau nyeri psikogenik). Teknik pemeriksaan radiologi
terbaru telah menunjukkan adanya kejadian di dalam otak yang berkaitan
dengan persepsi nyeri.[7]
Efek analgesik dari morfin merupakan bagian dari aksi jalur descending. Jalur
descending tersebut bersifat inhibitor pada kornu dorsalis dan menurunkan
input ascending nosiseptif. Input pada PAG datang dari korteks prefrontal
yang juga bagian dari komponen emosi dari nyeri, hipotalamus dan jalur
spinomesenterika. Integrasi dari semua informasi pada PAG mempengaruhi
respon otonom, motorik dan emosi.[7]
12 PATOFISIOLOGI NYERI
NEUROFISIOLOGI NYERI
1. Membran Potensial
Membran potensial merupakan perbedaan potensial listrik antara
dinding sebelah luar dan sebelah dalam dari suatu membran sel.
Perbedaan muatan listrik tersebut merupakan hasil dari perbedaan
konsentrasi kalium dan natrium antar membran sel yang diatur oleh
asupan ion.
Terdapat 2 kondisi membran potensial, yaitu membran potensial
istirahat dan transport aktif. [11, 12]
- Membran potensial Istirahat
Membran potensial istirahat merupakan membran potensial saat sel
saraf berada pada kondisi istirahat, biasanya sebesar -90 mV. Faktor yang
berperan pada resting membrane meliputi potensial difusi K (-94 mV),
potensial difusi Na (+64 mV) dan pompa Na-K (-4 mV).
Dalam keadaan membran potensial istirahat terdapat perbedaan
potensial antara sisi dalam dan sisi luar membran yang disebut sebagai
potensial istirahat sel dimana pada sisi dalam sel (intrasel) muatan listrik
dalam keadaan negatif sedangkan pada daerah ekstrasel dalam kondisi
positif. Dalam keadaan membran potensial istirahat tersebut baik sisi
dalam maupun sisi luar membran sel terdapat ion-ion potasium (K) dan
natrium (Na), tetapi dengan konsentrasi yang berbeda.
Konsentrasi ion K pada sisi dalam membran sekitar 35 kali lebih
tinggi dibanding konsentrasi ion K pada sisi luar. Sebaliknya konsentrasi
ion Na pada sisi luar membran sel 10 kali lebih tinggi dibanding
konsentrasi di dalam. Adanya perbedaan konsentrasi ion K dan Na pada
sisi dalam dan luar membran tersebut mendorong terjadinya difusi ion
yang menembus membran sel.
- Transpor Aktif
Transpor aktif terjadi karena adanya pompa Na+ dan K+ yang lebih
banyak mengeluarkan ion positif (3 ion Na akan keluar setiap 2 ion K
masuk). Kejadian ini menimbulkan gradien konsentrasi yang tinggi antara
ion Na+ dan ion K+ untuk modal awal agar terjadi difusi.
2. Potensial Aksi
Potensial aksi merupakan suatu perubahan cepat pada membran
potensial yang menyebar di sepanjang serabut saraf. Setiap potensial aksi
dimulai dengan perubahan mendadak dari membran potensial yang
dalam potensial negatif menjadi potensial positif dan kemudian berakhir
dengan kecepatan yang hampir sama kembali ke potensial negatif. Untuk
menghantarkan sinyal saraf, potensial aksi bergerak di sepanjang serabut
saraf sampai tiba di ujung serabut.
Selama potensial aksi, depolarisasi membran ke ambang potensial
mencetuskan serangkaian perubahan permeabilitas akibat perubahan
pada kanal-kanal pintu voltase. Perubahan permeabilitas ini menyebabkan
pembalikan membran potensial secara singkat, dengan influks Na+
sebagai penyebab fase naik (dari -70 mV ke +30 mV), diikuti oleh refluks
K+ selama fase turun (dari puncak kembali ke potensial istirahat).
Sebelum kembali ke status istirahat, potensial aksi menimbulkan
potensial aksi baru yang identik di daerah yang berdekatan melalui aliran
arus, sehingga daerah yang sebelumnya tidak aktif mencapai aktif. Siklus
yang terus menerus ini berlanjut sampai potensial aksi menyebar ke
seluruh membran sel tanpa mengalami penyusutan.[12]
Terdapat dua cara perambatan potensial aksi yaitu hantaran kontinu
dan saltatorik. Penghantaran pada serabut saraf tak bermielin seringkali
disebut hantaran kontinu, karena tidak adanya mielin maka hantaran
tersebut menyebar pada semua membran sehingga berjalan lambat.
Sedangkan penghantaran pada serabut saraf tak bermielin disebut
sebagai hantaran saltatorik, adanya mielin menyebabkan arus listrik
hanya terjadi pada celah antar mielin kemudian melompat lompat pada
nodus ranvier sehingga berlangsung lebih cepat.[12]
14 PATOFISIOLOGI NYERI
- Aktivasi
Ketika membran potensial istirahat menjadi kurang negatif bila
dibandingkan saat keadaan istirahat, potensial akan meningkat dari -90
milivolt menjadi 0, dan akhirnya mencapai suatu voltase tertentu
(biasanya berkisar antara -70 dan -50 milivolt). Keadaan ini
menyebabkan perubahan bentuk yang tiba-tiba pada pintu aktivasi, yang
membalikkan pintu secara keseluruhan sehingga pintu dalam posisi
terbuka maksimal. Inilah yang disebut sebagai keadaan teraktivasi, yaitu
ion natrium berdifusi melalui kanal, dan dapat meningkatkan
permeabilitas natrium membran sebesar 500 – 5000 kali lipat.[13]
NYERI 15
- Inaktivasi
Kenaikan voltase yang sama besarnya dengan yang membuka pintu
aktivasi juga akan menutup pintu inaktivasi. Walau demikian pintu
inaktivasi menutup setelah pintu aktivasi terbuka. Dengan kata lain,
perubahan bentuk yang membalikkan pintu inaktivasi menjadi tertutup
merupakan proses yang lebih lambat daripada proses perubahan bentuk
yang membuka pintu akivasi. Setelah kanal natrium tersebut terbuka,
pintu inaktivasi akan menutup dan ion natrium tidak lagi dapat berdifusi
melewati membran. Pada saat inilah membran potensial mulai pulih
kembali ke keadaan istirahat, atau yang biasa disebut sebagai tahap
repolarisasi.
Sifat penting lainnya mengenai potensial aksi adalah bahwa pintu
yang inaktif tidak akan membuka lagi, hingga membran potensial kembali
ke atau mendekati nilai membran potensial istirahat yang normal. Oleh
karena itu, tidaklah mungkin bahwa kanal ion natrium akan kembali
terbuka sebelum adanya repolarisasi pada serabut saraf.
- Depolarisasi
Pada tahap ini, membran secara tiba-tiba menjadi sangat permeabel
terhadap ion natrium. Hal ini menyebabkan kanal ion natrium terbuka
dengan cepat dan sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif
berdifusi masuk ke dalam akson. Keadaan membran yang awalnya
terpolarisasi dengan nilai -90 milivolt secara cepat menjadi semakin
positif akibat difusi dari natrium.
Aktifnya kanal ion natrium pada awal depolarisasi memunculkan
suatu aliran masuk positif, sebagai pemicu terbukanya kanal-kanal ion
natrium yang lain, sehingga natrium akan terus berdifusi ke dalam akson
hingga tercapai konsentrasi tertentu.
- Repolarisasi
Tahapan ini berlangsung setelah tahap depolarisasi berakhir, dan
membran menjadi lebih permeabel terhadap ion kalium. Berakhirnya
tahap depolarisasi adalah ketika kanal ion natrium tertutup dengan
cepat, diikuti oleh pembukaan kanal ion kalium secara lambat. Saat kanal
ion kalium telah terbuka secara sempurna, sejumlah besar ion kalium
akan berdifusi keluar akson secara cepat. Hal ini menyebabkan membran
potensial yang sebelumnya positif karena depolarisasi kembali bersifat
negatif, dan ketika sifat negatif itu telah dicapai, kanal ion kalium akan
kembali menutup secara lambat.
- Hiperpolarisasi
Setelah tahap repolarisasi berakhir, terdapat suatu kondisi yang
disebut positive after potential. Kondisi tersebut merupakan kondisi
membran potensial dalam keadaan yang lebih negatif dari kondisi
NYERI 17
- Sinaps Eksitatori
Suatu kondisi dimana kanal-kanal pintu perantara kimia terbuka.
Terbukanya kanal Na+ dan K+ akan menyebabkan timbulnya EPSP
(Excitatory Post Sypnatic Potential), suatu depolarisasi kecil yang membawa
sel pasca-sinaps mendekati ambang batas terjadinya potensial aksi.
- Sinaps Inhibitori
Merupakan sinaps dimana suatu impuls saraf pada sel-sel pre-sinaps
melepascan neurotransmiter inhibitori yang mencetuskan terbukanya
berbagai kanal-kanal ion pada membran sel-sel pasca-sinaps sehingga
kondisi ion-ion negatif akan masuk ke dalam sel (atau ion-ion positif akan
keluar sel).
18 PATOFISIOLOGI NYERI
- Sinaps Kimiawi
Ruang antara neuron pre-sinaps dan pasca-sinaps disebut celah
sinaptik, dimana pada sinaps kimia secara substansi lebih besar dibanding
sinaps elektrikal. Tetapi faktor utama pada sinaps kimia bukanlah celah
tersebut melainkan adanya suatu organel yang disebut sebagai vesikel-
vesikel sinaptik yang terdapat pada terminal pre-sinaps.
Vesikel-vesikel pre-sinaps tersebut mengandung satu atau lebih
neurotransmiter. Saat bergabung dengan membran pre-sinaps vesikel-
vesikel tersebut akan mengeluarkan neurotransmiter ke celah sinaptik
melalui proses eksositosis.
- Sinaps Elektrik
Berbeda dengan sinaps kimia yang tergantung pada terlepasnya
vesikel-vesikel maka sinaps elektrik merupakan gap junction berupa kanal
dari sitoplasma neuron prasinaps ke neuron pasca-sinaps. Gap Junction
akan menyebabkan ion-ion mengalir melalui kanal-kanal interseluler
secara pasif. Aliran ion tersebut akan merubah membran potensial
pasca-sinaps dan memulai proses potensial aksi. Sinaps elektrik dapat
berjalan dua arah sedangkan sinaps kimia hanya satu arah. Dibanding
sinaps kimia, sinaps elektrik memiliki respon yang cepat dan penting
untuk gerakan refleks.[12]
Neurotransmiter
Fungsi dari neurotransmiter adalah berikatan dengan protein-protein
reseptor dari membran neuron pasca-sinaps. Neurotransmiter terdapat
pada vesikel sinasp yang berkerumun di bagian bawah membran pre
sinaps. Neurotransmiter tersebut akan dilepascan melalui suatu proses
yang disebut eksositosis, saat potensial aksi mencapai ujung akson.[12, 13]
Mekanisme depolarisasi akan menyebabkan kanal-kanal kalsium
terbuka. Terbukanya kanal tersebut menyebabkan vesikel yang
membawa neurotransmiter berfusi dengan sel membran. Fusi
tersebutlah yang memberi efek terlepasnya neurotransmiter pada celah
sinaps.
NYERI 21
- Jenis-jenis neurotransmiter
Ada banyak cara yang berbeda dalam mengklasifikasi neurotransmitter,
salah satunya berdasarkan struktur kimia neurotransmiter.
- Reseptor Neurotransmiter
Terbuka atau tertutupnya kanal-kanal pasca-sinaps dipengaruhi oleh
protein-protein reseptor neurotransmiter yang salah satunya disebut
sebagai reseptor ionotropik yang berhubungan secara langsung dengan
kanal-kanal. Reseptor tersebut mempunyai 2 fungsi. Kelompok pertama
adalah sisi ekstraseluler yang menyatu dengan neurotransmiter dan
sebuah membran yang akan membentuk kanal-kanal ion. Kelompok
kedua adalah reseptor-reseptor metabotropik, yang tidak memiliki kanal
sebagai bagian dari strukturnya tetapi akan mempengaruhi kanal-kanal
melalui aktivasi molekular perantara yang disebut G Protein sehingga
reseptor metabolik disebut sebagai Reseptor G Protein coupled.
Reseptor Metabotropik
Aktivasi dari reseptor-reseptor neurotransmiter jenis ini hanya
menyebabkan kanal-kanal ion terbuka dan tertutup secara tidak
langsung. Hal tersebut disebabkan protein dimana neurotransmiter
akan berikatan bukan suatu kanal-kanal ion. Proses aktivasi
tergantung pada aktivasi beberapa molekul dalam sel dan seringkali
melibatkan second messenger pathway. Karena memerlukan beberapa
tahap proses pengikatan neurotransmiter dengan reseptornya, maka
efek yang dihasilkan akan lebih lambat dibanding dengan jenis
reseptor ionotropik. Seperti halnya reseptor ionotropik, reseptor
metabotropik ini juga mempunyai efek eksitatorik dan inhibitorik
sebagai respon ikatan dengan neurotransmiter.
1. Proses Transduksi
Merupakan suatu proses fisiologis dimana terjadi perubahan
berbagai stimulus noksius menjadi potensial aksi pada ujung-ujung
terminal nosiseptor. Ujung-ujung terminal nosiseptor normalnya
mempunyai ambang aktivitas yang tinggi untuk memulai potensial aksi
sehingga diperlukan stimulasi tertentu untuk memulai potensial aksi
seperti misalnya stimulus noksius.
Stimulus noksius yang terdiri dari mekanik, suhu dan kimia tersebut
akan dikonversikan/ ditransduksikan menjadi potensial aksi melalui
reseptor khusus pada ujung-ujung terminal nosiseptor (serabut saraf C
dan Aδ). Perubahan stimulus noksius menjadi potensial aksi
dimungkinkan akibat perubahan permeabilitas pada reseptor-reseptor
terhadap berbagai ion terutama ion Na sehingga memicu terjadinya
proses depolarisasi.[4, 16]
Dengan demikian proses transduksi akan dimulai saat ujung-ujung
terminal nosiseptor (serabut saraf C dan Aδ) terdepolarisasi oleh
stimulus-stimulus noksius di atas.
- Depolarisasi
Tereksitasinya ujung-ujung saraf aferen nosiseptor mengakibatkan
perubahan permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion
terutama Na+. Terbukanya kanal ion memungkinkan aliran masuk
berbagai macam ion terutama Na + ke ruangan intraselular. Kenaikan
kadar Na+ intraselular tersebut akan menyebabkan depolariasi sebagian
membran, demikian juga Kation (K+) akan masuk melalui kanal-kanal ion
dan menginduksi terjadinya depolarisasi lokal.[1, 15]
Depolarisasi akan membuka kanal ion lainnya yang dinamakan
Voltage Sensitive Ion Channel (VSIC) yang saat dalam keadaan istirahat
akan tertutup rapat. VSIC yang terbuka menyebabkan membanjirnya
Na+ ke ruangan intraselular, peristiwa tersebut akan terus berlanjut dan
membangkitkan potensial aksi yang akan dikonduksikan ke kornu
dorsalis medula spinalis
NYERI 27
Gambar 18. Ambang batas eksitasi yang akan memulai proses depolarisasi
- Aktivasi nosiseptor
Neuron-neuron sensorik mentransduksi stimulus-stimulus baik
mekanik, suhu, dan kimia yang akan ditransmisikan ke pusat yang lebih
tinggi untuk memulai proses sensasi nyeri. Terdapat tiga aktivasi
nosiseptor utama, yaitu terhadap panas, mekanik, dan kimia.[18, 19]
2. Proses Transmisi
Merupakan proses penghantaran impuls potensial aksi nosiseptif
yang merupakan hasil proses transduksi dari sistem saraf perifer menuju
sistem saraf pusat oleh akson nosiseptor aferen primer. Terdapat 2 tipe
serabut nosiseptor yang mengkonduksikan potensial aksi tersebut
menuju medula spinalis yaitu serabut saraf Aδ dan serabut saraf C.
Serabut saraf Aδ mempunyai mielin yang tipis dan berhubungan dengan
nyeri yang lambat, tajam dan terlokalisir. Serabut saraf C yang
merupakan serabut saraf tidak bermielin berhubungan dengan nyeri yang
sangat lambat, tumpul dan difus.[18, 19]
30 PATOFISIOLOGI NYERI
Gambar 20. Proses transmisi nyeri dari sistem saraf perifer hingga
sistem saraf pusat
Impuls potensial aksi yang dibawa oleh serabut saraf C dan Aδ akan
berakhir pada kornu dorsalis medula spinalis. Di sini terjadi transfer
informasi dari neuron nosiseptif primer kepada neuron-neuron di kornu
dorsalis dan akan diteruskan ke neuron proyeksi yang akan melanjutkan
impuls tersebut ke otak.
Terminal pre-sinaps serabut saraf C akan memasuki kornu dorsalis
pada lamina I dan II. Pada lamina II serabut saraf C akan bersinaps dalam
interneuron-interneuron. Serabut saraf Aδ akan memasuki lamina I dan
V kornu dorsalis medula spinalis, sedangkan serabut saraf Aβ akan
memasuki lamina III, IV dan V.[15]
NYERI 31
- Traktus neospinotalamik
Nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A-δ dan kemudian
berakhir pada kornu dorsalis medula spinalis, setelah itu bersinaps
dengan dendrit pada traktus neospinotalamik melalui bantuan suatu
neurotransmiter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan
menyebrang ke sisi lain melalui komisura alba anterior, berakhir pada
32 PATOFISIOLOGI NYERI
- Traktus paleospinotalamik
Nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari kornu
dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian
dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V kornu dorsalis,
bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur
cepat, menyebrangi sisi berlawanan melalui komisura alba anterior dan
naik melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir di dalam
batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di talamus dan yang
lainnya pada medula, pons, dan substantia grisea sentralis dari tektum
mesensefalon.
Gambar 23. Beberapa jalur transmisi impuls nyeri dari kornu dorsalis menuju otak
3. Proses Modulasi
Modulasi dari transmisi nosiseptif merupakan suatu proses adaptasi
yang melibatkan mekanisme eksitatori dan inhibitori.
Terdapat 3 mekanisme penting dalam proses modulasi nyeri yaitu
inhibisi segmental, sistem opioid endogen dan Descending Inhibitory Nerve
System (DINS)[2, 14]
34 PATOFISIOLOGI NYERI
- Inhibisi Segmental
Aktivasi serabut saraf bermielin Aβ dianggap berhubungan dengan
mekanoreseptor ambang batas rendah seperti misalnya sentuhan.
Aktivasi tersebut dianggap dapat menstimulasi saraf inhibitori pada
medula spinalis yang selanjutnya akan menghambat proses transmisi.[7]
Sebagai contoh proses modulasi adalah kemampuan menurunkan sensasi
nyeri tajam dengan mengaktivasi mekanoreseptor ambang batas rendah,
misalnya bila kita mengalami trauma pada telapak kaki maka reaksi alami
adalah dengan menggosok-gosok area yang luka selama 1 atau 2 menit
akan dapat mengurangi rasa nyeri tersebut.
Gambar 24. Skema sirkuit lokal yang pada kornu dorsalis medula spinalis
4. Persepsi
Hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi pada akhirnya menghasilkan suatu proses
subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Persepsi nyeri merupakan
hasil akhir dari aktivitas neuronal dari transmisi nyeri dimana nyeri
menjadi suatu pengalaman multidemensi yang disadari. Pengalaman
multidemensi tersebut meliputi komponen-komponen afektif
motivasional, diskriminasi sensorik, emosi dan tingkah laku. Ketika
stimulus yang dapat menyebabkan rasa sakit ditransmisikan ke batang
otak dan talamus, beberapa area kortikal akan teraktivasi.[20, 21]
Area-area tersebut adalah:
- Sistem Retikular: sistem yang bertanggungjawab untuk respon
otonom dan motorik serta sebagai suatu peringatan seseorang
untuk melakukan sesuatu, seperti misalnya, tangan secara otomatis
akan bergerak saat tersentuh sesuatu yang panas. Sistem ini juga
berperan dalam respon afektif motivasional terhadap nyeri, seperti
misalnya memperhatikan dan merawat luka pada tangan sesudah
digerakkan dari sumber rasa panas.[7, 21]
Gambar 27. Perjalanan impuls nyeri sejak saraf perifer hingga menghasilkan proses
subyektif sebagai persepsi nyeri
SENSITISASI NYERI
Sensitisasi nyeri merupakan salah satu manifestasi dari plastisitas saraf.
Plastisitas itu sendiri merupakan kemampuan sistem saraf yang dapat
memodifikasi fungsinya berdasarkan kondisi-kondisi yang berbeda.Salah
satu manifestasi plastisitas saraf adalah nyeri yang berhubungan dengan
kondisi hipersensitifitas. Nyeri tersebut merupakan konsekuensi dari
perubahan-perubahan dini post translational termasuk di dalamnya
mekanisme fosforilasi pada membran saraf sepanjang jalur nosiseptif.
Terdapat 2 tipe sensitisasi nyeri, yaitu sensitisasi perifer dan sensitisasi
sentral sedangkan bentuk plastisitas saraf lainnya adalah Fenomena Wind
Up dan Long Term Potentiation (LTP) yang akan dibahas terpisah.
NYERI 39
1. Sensitisasi perifer
Sensitisasi perifer menggambarkan bentuk plastisitas nosiseptor, dimana
terjadi penurunan ambang batas depolarisasi dan peningkatan respon
dari nosiseptor yang pada awalnya sebagai pendeteksi stimulus noksius
hingga menjadi pendeteksi stimulus non-noksious. Sebagai hasilnya adalah
stimulus dengan intensitas rendah yang awalnya adalah aktivitas reguler
menjadi stimulus yang dapat mencetuskan sensasi nyeri. Sebagai contoh
adalah perubahan sensitifitas terhadap panas sesudah terkena sengatan
matahari, dimana air yang biasanya dirasakan hangat akan dirasakan
seperti rasa terbakar pada area yang terkena sengatan matahari.
- Mediator Inflamasi
Terminal nosiseptor selain dapat diaktivasi oleh stimulus-stimulus di
atas, juga dapat diaktivasi dan disensitisasi secara langsung oleh banyak
mediator inflamasi yang dilepascan oleh jaringan yang rusak. Kerusakan
jaringan menghasilkan mediator-mediator inflamasi sebagai reaksi
inflamasi yang akan secara cepat bekerja untuk memperbaiki jaringan
yang rusak tersebut. Sensasi nyeri dalam proses inflamasi muncul dalam
usaha proteksi jaringan dari kerusakan lebih lanjut.
Kerusakan jaringan tersebut menyebabkan peningkatan sensitivitas
nosiseptor terhadap stimulus suhu maupun mekanik seperti yang
ditunjukan oleh gambar 29.[24]
NYERI 41
o Bradikinin
Bradikinin merupakan komponen paling berpotensi dalam mensensitisasi
neuron-neuron nosiseptor. Bradikinin dan kalidin merupakan aktivator
reseptor B2 yang kuat. Keduanya bertanggung jawab untuk sensitisasi
akut dan aktivasi. Reseptor B2 terekspresikan secara luas baik di sistem
saraf maupun pada jaringan non-neuron dan terekspresikan dalam
jumlah yang kecil pada kondisi normal, tetapi meningkat pada keadaan
inflamasi yang berkepanjangan. Sedangkan Reseptor B1 diinduksi melalui
nosiseptor primer oleh sel-sel glial dan dapat mensensitisasi arus yang
berkaitan dengan stimulus panas pada neuron-neuron ganglia akar
dorsalis.
Selain dapat menurunkan ambang batas kanal-kanal ion TRPV1,
bradikinin juga dapat mensensitisasi nosiseptor dengan memodulasi
kanal-kanal ion lainnya dengan menurunkan aktivitas kanal potasium
sehingga sel-sel akan lebih eksitabel dengan penurunan ambang batas
potensial.
o Prostaglandin
Prostaglandin mensensitisasi kanal-kanal Natrium dan kalsium serta
menekan arus kalium. Prostaglandin diturunkan dari asam arakidonat
yang dilepascan dari membran fosfolipid oleh aksi esterase fosfolipase
A2. Pada manusia, PGE2 dan PGE1 lebih dapat mensensitisasi
dibandingkan dengan PGF2a, PGD2, atau TxA2. Keduanya mempunyai
efek yang hampir sama, tetapi berbeda dalam hal waktu.
o Histamin
Sumber utama histamin adalah sel mast. Degranulasi sel ini terjadi akibat
stimulasi oleh substansi P dan peptida vasoaktif intestinal. Kadar histamin
di ekstraselular akan meningkat secara substansial. Namun demikian,
peran terhadap sensitisasi tidak jelas, karena histamin lebih merangsang
sensasi gatal dibanding nyeri dan secara langsung mengaktivasi hanya
sedikit neuron.
o Serotonin
Serotonin atau 5-hydroxytryptamine (5-HT) akan muncul pada
peningkatan kadar jaringan yang mengalami inflamasi terutama dari sel
mast dan platelet. Serotonin dapat secara langsung mengeksitasi neuron-
neuron melalui aktivasi reseptor 5 HT3 yang merupakan kanal-kanal ion
dan dapat sebagai tambahan untuk mensensitisasi melalui reseptor G
coupled 5 – HTA. Secara tidak langsung, serotonin juga dapat
mensensitisasi melalui aktivasi monosit dan pelepasan interleukin 6 dari
sel-sel endotelial.
NYERI 43
o Proton
Kondisi asam dapat terjadi pada keadaan inflamasi dan iskemik. Proton
dapat secara langsung mengaktivasi kanal-kanal transduksi, tetapi kadar
pH yang diperlukan untuk mengaktivasi sangat jarang didapat, bahkan
pada keadaan infeksi maupun kerusakan jaringan yang berat. Proton juga
dapat mensensitisasi neuron-neuron bekerjasama dengan bradikinin,
ATP dan mediator-mediator inflamasi.
o ATP
Sebagai mediator inflamasi, ATP mengaktivasi baik reseptor purin
ionotropik P2X maupun reseptor metabotropik P2Y. Kadar ATP yang
tinggi diperlukan untuk mengaktivasi reseptor purin P2X, terkadang
kadar yang tinggi tersebut dapat dicapai oleh jaringan yang rusak atau
keadaan iskemik.
o Neurotrofin
Neurotrofin termasuk Nerve Growth Factor (NGF), Brain-derived
Neurotrophic Factor (BDNF) dan neurotrophin 3-5, mengaktivasi
reseptor tirosinkinase dari kelompok Trk. Efek neurotropin dapat dibagi
dalam efek jangka pendek yang dimediasi kanal-kanal ion fosforilasi dan
lalu lintas kanal-kanal ion dalam membran. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan jangka panjang yang terutama disebabkan oleh
perubahan pada ekspresi gen.
Kepentingan NGF sebagai mediator inflamasi juga disebabkan transpor
retrograd ke dalam nukleus sel yang akan mendorong pengaturan jangka
panjang dari ekspresi gen termasuk TRPV1, ASIC (Acid Sensing Ion
Channel), kanal Natrium neuropeptida seperti substansi P dan CGRP dan
juga reseptor-reseptor bradikinin.[29]
o Nitrit Oksida
Nitrit Oksida (NO) dapat diaktivasi oleh iritan yang noksius, yaitu NO
itu sendiri serta neuron-neuron ganglia akar dorsalis setelah terjadinya
suatu perlukaan atau kerusakan.[25]
Nitrit Oksida merupakan mediator inflamasi yang “short lived” sehingga
hanya mempunyai efek lokal. NO dapat berperan melalui sel membran
sehingga dapat memberi efek pada sel-sel di lokasi dimana NO
diproduksi. Efek yang paling dikenal adalah aktivasi langsung soluble
guanylate cyclase oleh NO yang mendorong peningkatan kadar cGMP
dan aktivasi protein kinase G pada sel target.
44 PATOFISIOLOGI NYERI
o Prokinetisin
Prokinetisin Receptor 1 (PKR1) dan ligannya Bv8 terekpresikan pada nyeri
yang terinduksi oleh inflamasi. Blokade reseptor tersebut dapat berguna
menurunkan nyeri terutama pada terapi kanker.
o Protease
Protease merupakan kelompok dari G protein coupled receptors untuk
regulasi hemostasis dan nyeri. Protease dilepascan selama proses
perlukaan dan selama proses pembekuan darah, bekerja melalui Protease
Activated Receptor (PARs). PARs bertanggung jawab terhadap proses
sensitisasi neuron-neuron melalui PKC dependent phosphorylation dari
TRPV1.
o Sitokin
Sel imun memberikan kontribusi terhadap proses sensitisasi melalui
suatu kerjasama yang komplek. Monosit dan jaringan makrofag
melepascan TNFα (Tumor Necrosis Factor – Alpha) melalui berbagai
stimulus termasuk produk-produk mikrobial komplemen dari jaringan
yang rusak.
Komponen TNFα mengaktivasi reseptor-reseptor TNFR1 dan TNFR2
yang dibentuk selama proses inflamasi. Komponen ini juga berperan
dalam inflamasi kronik seperti artritis, serta sebagai pemicu dari lepasnya
kaskade sitokin, termasuk interleukin 1β, 6 dan 8 yang merupakan
sitokin proinflamasi terkuat.
Di antara interleukin-interleukin tersebut, 1β dan NGF mempunyai
peran kuat dalam mensensitisasi neuron. Kaskade tersebut di atas
akhirnya mendorong terbentuknya prostaglandin. Selain melalui kaskade
tersebut, sitokin juga memberi efek langsung pada nosiseptor.[29, 30]
o Kemokin
Kemokin merupakan kelompok keluarga sitokin kecil atau suatu protein
yang disekresikan oleh sel. Kemokin tersebut berperan sebagai molekul
yang penting dalam proses migrasi sel sistem imun. Beberapa kemokin
berperan dalam mengontrol sel-sel sistem imun, seperti misalnya
mengarahkan limfosit ke nodus limfe sehingga mereka dapat menyeleksi
adanya invasi patogen melalui interaksi dengan Antigen Presenting Cell
(APC).[30]
Beberapa diantaranya juga berperan dalam proses inflamasi dan
dilepascan sebagai respon terhadap infeksi bakteri, virus, maupun
komponen-komponen yang menyebabkan kerusakan fisik seperti pada
penyakit gout. Pelepasan kemokin seringkali distimulasi oleh sitokin
proinflamasi (proinflamatory cytokines) seperti interleukin 1. Anggota
NYERI 45
CCL3 (Chemokine C-C motif Ligand 3) dan CCL4 (Chemokine C-C motif
Ligand 4) dianggap dapat mengontrol dan menekan infeksi virus HIV-1
(Human Immunodeficiency Virus type 1).
Bradykinin,
Penghantar
Protein G prostaglandin, BK-1, BK-2, DP, EP, FP, IP, TP
kaskade kedua
endocannabinoids
Modifikasi
Reseptor Growth factors, TrkA, Trk-B, Trk-C, NT-4/5,
bergantung pada
sitokin sitokin NT-3, IL-1RI, Sil-6R, TNFR1
aktivitas kanal
o Reseptor Glutamat
Glutamat adalah neurotransmiter eksitatori yang paling banyak
ditemukan di susunan saraf pusat dan mengaktivasi berbagai variasi
spesifik reseptor-reseptor. Subtipe reseptor glutamat dikategorikan
menjadi dua tipe dasar, yaitu ligand atau directly-gated ion channels dan
reseptor G protein-coupled ‘metabotropic glutamate’ (mGlu).[32]
Bentuk reseptor ligand-gated ion channel untuk glutamat dibedakan
melalui spesifitas mereka berikatan dengan ligan-ligan yang berbeda.
Sebagai contoh, reseptor NMDA, disebut NMDA karena dia berikatan
dengan agonis sintetik glutamate-like N-methyl-D-aspartate.
Berdasarkan fungsinya, reseptor NMDA mengandung konduktan
kanal kation yang permeabilitasnya tinggi terhadap Na+, K+, dan Ca2+.
Kanal tersebut akan terbuka ketika glutamat berikatan dengan reseptor.
Aksi glutamat dipotensiasi oleh poliamin dan diblok oleh Mg2+
ekstraselular. Ketika membran sel mengalami depolarisasi, Mg2+
dikeluarkan dari kanal, dan bila glutamat berikatan dengan reseptornya,
maka kanal akan terbuka sehingga Na2+ dan Ca2+ akan masuk.[33]
o Reseptor Kainate
Terdapat 2 reseptor subtipe ionotropik glutamat, yaitu Neurotoxin
kainate yang berikatan dengan reseptor glutamat dan reseptor-reseptor
kainat tertentu yang berantagonis dengan obat AMPA. Sebagai contoh,
serat-serat primer aferen C di medula spinalis didepolarisasi oleh
kainate, tetapi bukan AMPA.[33]
o Reseptor-Tirosin kinase
Tirosin kinase yang berikatan dengan reseptor dapat menyebabkan
terjadinya perubahan reseptor. Autofosforilasi intraselular pada setiap
lokasi reseptor menyebabkan terjadinya interaksi dengan SH2 (Src
Homology 2). [34]
48 PATOFISIOLOGI NYERI
o Protein G-Receptor
Protein G dapat digolongkan sebagai inhibitor (Gi/o) atau eksitator
(Gs/Gq/11). Saat aktivasi, terjadi perubahan dari protein reseptor yang
menyebabkan interaksi antara reseptor dan protein-G.[35]
- Kanal-kanal ion
Kanal ion dianggap sebagai salah satu faktor yang penting terjadinya
sensitisasi nosiseptor. Berikut adalah kanal-kanal yang berperan dalam
proses sensitisasi:[25, 36]
o Kanal-kanal Transient Receptor Potential (TRP)
Kanal TRP merupakan kanal-kanal ion utama yang terlibat dalam
sensitisasi. Terdapat 3 kanal TRP yang sensitif terhadap termal/
suhu, yaitu TRPV1, TRPA1, dan TRPM8, yang diekspresikan pada
neuron-neuron somatosensorik.
o Kanal TRPV1
Merupakan kelompok vaniloid yang dapat diaktivasi oleh suhu
>420C dan stimulus kimia. Proses sensitisasi tersebut dapat terjadi
melalui aktivasi fospolipase C oleh mediator-mediator inflamasi
seperti bradikinin atapun NGF dan juga melalui mekanisme
fosforilasi oleh PKA (cAMP-dependent protein kinase) dan PKC
(phospholipid-dependent protein kinase).
o Kanal TRPA1
Dapat mendeteksi zat-zat kimia seperi akrolein, zat-zat dalam
rokok dan formalin. Semua zat kimia tersebut dapat mendorong
sensasi terbakar atau tertusuk.
o P2X Purinoceptors
Kanal-kanal ion P2X, maupun P2Y G protein Coupled Receptor, dapat
memodulasi eksitabilitas neuronal. Reseptor P2X isoform 1-3
diekspresikan pada neuron-neuron sensorik dan pada jantung
manusia. Terjadinya inflamasi perifer akan mendorong potensi dan
efektifitas reseptor P2X agonis.[25]
NYERI 49
o Kanal-kanal Sodium
Terdapat 9 kanal sodium pada manusia dengan kegunaan yang
berbeda baik dalam hal batas ambang aktivasi, waktu yang
diperlukan untuk inaktivasi serta pemulihan sesudah inaktivasi.
Seperti misalnya Kanal sodium Subtipe Nav 1.7, 1.8, dan 1.9 yang
terlokalisir hanya pada serabut saraf C sedangkan subtipe Nav 1.6
terutama terdapat pada neuron-neuron serabut saraf A.[37, 38]
Kanal Nav1.8
Kontributor utama aksi potensial pada nosiseptor, Kanal
tersebut teraktivasi hanya bila dalam keadaan depolarisasi yang
kuat.
Kanal Nav 1.7
Mampu memediasi aktivitas nosiseptor-nosiseptor dengan
aktivitas cetusan listrik yang lambat.
Voltage-Gated Na+Channel (VGSCs)
Mengontrol eksistasi neuron sehingga pemakaian terapi yang
bertujuan menghambat kanal ini mungkin efektif untuk
pengobatan hiperalgesia. [38, 39]
o Kanal-kanal Potasium
Kanal Potasium merupakan kelompok terbesar dari kanal-kanal ion
dan berperan dalam konduksi pada semua sel-sel neuronal.
Penurunan konduktansi dalam kanal potasium meningkatkan
eksitabilitas neuronal. Konduktansi dari kanal-kanal potasium dapat
diturunkan dengan stimulasi jalur formasi cAMP dan fosforilasi yang
dimediasi oleh PKA.[25, 40]
o Kanal-kanal Kalsium
Modulasi dari masuknya kalsium ke dalam sitoplasma oleh kanal-
kanal calcium voltage gated atau kanal-kanal permeable calciumakan
mendorong terjadinya eksositosis Substansi P dan CGRP dari
neuron-neuron nosiseptif.[25]
2. Sensitisisasi sentral
Nyeri itu sendiri seringkali memodifikasi cara kerja sistem saraf pusat,
sehingga seseorang menjadi lebih sensitif atau bertambah nyeri meskipun
tanpa provokasi atau provokasi yang ringan. Sensitisasi ini disebut
sensitisasi sentral karena melibatkan perubahan-perubahan dalam sistem
saraf pusat khususnya otak dan medula spinalis.
Sensitisasi sentral adalah peningkatan eksitabilitas neuron dalam
sistem saraf pusat, sehingga input yang normal menghasilkan respon
abnormal. Peningkatan eksitabilitas tersebut terutama dicetuskan oleh
“burst” aktivitas pada nosiseptor yang akan merubah koneksi sinaps
antara nosiseptor dan neuron-neuron pada medula spinalis yang
seringkali disebut sebagai activity dependent synaptic plasticity.[15]
Sebagai contoh, aktivasi serabut saraf dengan ambang batas
depolarisasi yang rendah oleh sentuhan ringan pada kulit akan mulai
mengaktivasi neuron-neuron medula spinalis (input dari ekstremitas)
atau batang otak (input dari kepala) yang normalnya hanya berespon
terhadap stimulus noksius. Sebagai akibatnya suatu input yang normalnya
mencetuskan hanya sensasi non-noksius saat ini dapat menyebabkan
nyeri.
Walaupun nyeri dirasakan seperti asalnya dari perifer, sebenarnya
merupakan manifestasi dari proses sensorik yang abnormal dalam sistem
saraf sentral (pusat). Beberapa contoh sensitisasi sentral adalah alodinia
taktil dan perluasan area nyeri pada kerusakan jaringan ataupun nyeri
pasca- operasi.
- Mekanisme terjadinya sensitisasi sentral
Neuron-neuron nosiseptif medula spinalis menunjukkan peningkatan
eksitabilitas sesudah terjadinya kerusakan atau proses inflamasi pada
saraf perifer. Hal tersebut ditandai dengan dilepascannya
neurotransmiter eksitatori, terutama glutamat dan aspartat. Kedua
neurotransmiter eksitatori tersebut akan mengaktifkan reseptor a-
amino-3-hidroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-
aspartat (NMDA) yang akan menyebabkan masuknya ion kalsium (Ca++)
dari kanal-kanal Voltaged gated Ca++.[41, 42]
NYERI 51
Gambar 33. Manifestasi klinis alodinia dan hyperalgesia pada sensitisasi sentral
- Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang bersifat ”self limiting” dan memberikan
fungsi protektif biologis yang ditandai dengan adanya peringatan
pada kerusakan jaringan yang sedang berlangsung, dengan demikian
rasa nyeri dapat merupakan suatu gejala dari proses penyakit yang
terjadi pada daerah luka atau jaringan yang sakit.[54]
Nyeri akut umumnya bersifat nosiseptif dan terjadi sekunder
akibat paparan terhadap zat kimia, trauma mekanik, atau stimulasi
termal dari reseptor nyeri Aδ dan C polimodal. Nyeri akut awalnya
didefinisikan secara sederhana berkaitan dengan lamanya menderita
nyeri, tapi saat ini nyeri akut dipandang sebagai nyeri yang
kompleks, pengalaman yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan emosi dan fungsi kognitif yang terjadi sebagai respon
terhadap trauma jaringan.[55]
Berbeda dengan nyeri kronik, nyeri akut umumnya disertai
dengan gangguan patologis dan akan membaik seiring penyembuhan
kerusakan atau terhentinya penyebab yang mendasari timbulnya
nyeri tersebut. Penyebab utama nyeri akut diantaranya adalah nyeri
akibat trauma, operasi, persalinan, prosedur medis maupun
penyakit-penyakit tertentu.
58 TERMINOLOGI NYERI
- Nyeri kronik
Nyeri kronik merupakan kondisi yang sering ditemui, dialami oleh
lebih dari 20% penduduk dunia dan mencapai 15-20% kunjungan
pasien ke dokter. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama 3-6 bulan sesudah onset atau sesudah melewati
proses penyembuhan, nyeri tersebut akan dirasakan terus menerus
dan dapat bertahan dalam waktu tahunan.[55]
Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronik tidak mengaktifkan
fungsi protektif biologis. Nyeri kronik tidak hanya menjadi gejala
dari suatu proses penyakit, tetapi nyeri kronik itu sendiri adalah
bagian dari proses penyakit. Meskipun demikian terkadang disertai
gangguan patologis yang ringan tetapi tidak tepat untuk menjelaskan
kaitan gangguan patologis tersebut dengan nyeri yang diderita.
Nyeri jenis ini sulit untuk disembuhkan dan bahkan jika tidak
ditangani secara adekuat dapat menimbulkan gejala lainnya berupa
kecemasan, rasa takut, depresi, kurang tidur, dan gangguan pada
interaksi sosial sehingga akan menyebabkan penurunan kualitas
hidup.
Nyeri kronik dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropati atau
keduanya yang disebabkan oleh trauma, keganasan, penyakit kronis
lainnya yang sulit disembuhkan (fibromialgia, artritis, neuropati).
2. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah sindrom nyeri yang disebabkan oleh kerusakan
pada jaringan tubuh, kerusakan tersebut dapat berupa memar, fraktur
tulang, luka bakar, atau apa saja yang dapat merusak jaringan.[61]
Nyeri nosiseptif dimediasi oleh reseptor-reseptor pada serabut
saraf Aδ dan C yang umumnya terdapat pada kulit, tulang, otot dan usus.
Reseptor-reseptor tersebut berperan secara biologis melokalisir
stimulus-stimulus yang bersifat noksius.[15]
Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri somatik atau visera. Nyeri
somatik cenderung mudah dilokalisir, konstan dan digambarkan sebagai
rasa tajam, berdenyut dan perih. Sedangkan nyeri visera cenderung
hilang timbul pada distribusi area nyeri yang tidak jelas dan umumnya
dirasakan seperti rasa tertekan dan terkadang kolik. Tipe nyeri ini secara
tipikal menyebabkan rasa sakit tajam atau berdenyut.[4]
3. Nyeri Neuropati
Nyeri neuropati adalah label yang diberikan pada sekumpulan gejala
yang merupakan akibat langsung dari luka atau disfungsi dari akson
sensorik pada sistem saraf pusat atau perifer. Nyeri neuropati
didefinisikan sebagai nyeri yang diinisiasi atau diakibatkan suatu lesi
primer atau disfungsi pada sistem saraf.[62]
62 TERMINOLOGI NYERI
o Ectopic Discharge
Ectopic discharge menunjuk pada timbulnya potensial aksi secara
spontan akibat perubahan distribusi kanal-kanal ion Natrium. Hal
tersebut dianggap sebagai mekanisme perbaikan yang akan
meningkatkan kemungkinan transmisi potensial aksi melalui segmen
yang mengalami demielinisasi. Perubahan pada kanal kanal ion Na
berupa peningkatan densitas membran kanal-kanal Natrium.
Peningkatan densitas membran kanal ion Natrium terjadi pada
sisi proksimal saraf yang mengalami kerusakan termasuk pada
membran kanal natrium Ganglia Radiks Dorsalis (DRG).
Peningkatan densitas tersebut menyebabkan neuron-neuron
menjadi hipereksitabel dan mencetuskan timbulnya aktivitas ektopik
yang dianggap awal dari timbulnya nyeri spontan dan paroksismal.[64]
Selain perubahan densitas, juga terbentuk “ectopic neuronal
pacemaker” yang terjadi di sepanjang saraf yang rusak, misalnya pada
badan sel neuron Ganglia Radiks Dorsalisa atau pada fokal area
sepanjang akson yang terdemielinisasi tersebut. Pacemaker ektopik
juga dapat terjadi pada bagian ujung proksimal yang disebut sebagai
neuroma. Neuroma terdiri dari akson-akson yang menyebar
(sprouting) dan mempunyai tingkat persarafan simpatis tertentu.
Pada neuroma terjadi akumulasi kanal natrium pada bagian ujung
distal yang dapat memodulasi sensitivitasnya.[64, 65]
- Mekanisme Sentral
Kerusakan pada saraf tepi menyebabkan perubahan perubahan
baik secara anatomi maupun neurokimia pada sistem saraf pusat.
Plastisitas sistem saraf pusat tersebut berperan penting dalam
terjadinya nyeri neuropati.
Seperti halnya mekanisme sensitisasi perifer, kerusakan
jaringan juga akan mencetuskan sensitisasi neuron kornu dorsalis
medula spinalis yang ditandai meningkatnya aktivitas spontan dari
NYERI 65
Afferent Sprouting
Serabut saraf Aβ (serabut saraf dengan mielin tebal)
umumnya akan berpenetrasi ke kornu dorsalis menuju area
ventral dan berakhir pada lamina III atau lamina yang lebih
dalam. Sedangkan serabut saraf C (serabut saraf tanpa mielin)
akan berpenetrasi secara langsung dan umumnya akan berakhir
pada lamina yang tidak lebih dalam dari lamina II suatu area yang
secara konsisten umumnya terdiri dari neuron-neuron
nosiseptif.[68, 73]
Pasca-terjadinya kerusakan saraf perifer, serabut saraf aferen
dengan mielin tebal akan mengalami sprouting (menyebar) ke
arah dorsal dari lamina III menuju lamina I dan II. Dengan
terjadinya reorganisasi sinaptik tersebut maka stimulasi dari
reseptor mekanik dengan ambang batas rendah (serabut saraf
Aβ) dapat menghasilkan eksitasi neuron-neuron serabut saraf
Aβ dan akan dianggap sebagai suatu nyeri.[64, 68]
4. Nyeri Deaferentasi
Nyeri deaferentasi merupakan salah satu tipe nyeri yang
diakibatkan interupsi dari impuls saraf aferen baik secara komplit
maupun inkomplit. Nyeri tersebut diakibatkan interupsi terhadap
jaras spinotalamik pada semua tingkatan sistem saraf. Ini berarti
nyeri deaferentasi tersebut dapat disebabkan oleh lesi pada sistem
saraf pusat (nyeri talamik, infark batang otak dengan nyeri bulbar)
maupun akibat kerusakan pada saraf tepi (neuralgia pasca-herpetika,
nyeri pasca-amputasi).[72]
Input sensoris yang terinterupsi tersebut selain dapat
meningkatkan sensitivitas dan iritabilitas dari neuron-neuron di
sepanjang jalur sistem saraf tersebut, juga bila terjadi dalam jangka
waktu tertentu dapat menurunkan sejumlah neuron-neuron
inhibitori pada nukleus orde ke-2 dan ke-3 dari sistem saraf pusat.
Faktor-faktor di atas dapat menimbulkan cetusan-cetusan spontan
pada neuron-neuron orde 2 dan 3, karenanya nyeri dapat timbul
pada area dengan sensasi yang berkurang atau hilang. Hal tersebut
sering disebut sebagai nyeri sentral.[73]
5. Nyeri Inflamasi
Nyeri inflamasi terjadi sebagai hasil dari meningkatnya eksitabilitas
serabut-serabut saraf nosiseptif akibat teraktivasinya mediator
mediator inflamasi. Masing-masing komponen yang dihasilkan
proses inflamasi dapat mengaktivasi atau mensensitasi neuron
neuron aferen atau mendorong masuknya sel-sel imun pada area
yang terinflamasi yang juga akan melepascan mediator-mediator
inflamasi. Sensitisasi dari neuron-neuron aferen akan mendorong
menurunnya ambang aktivasi nyeri dan meningkatkan respon
terhadap stimulus noksius.[15]
6. Nyeri Fungsional
Pada nyeri fungsional tidak ditemukan abnormalitas pada saraf tepi
dan defisit neurologis. Beberapa kondisi umum yang memiliki
gambaran nyeri tersebut diantaranya fibromialgia, irritable bowel
syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri
kepala tipe tegang. Nyeri terjadi akibat meningkatnya sensitivitas
terhadap nyeri yang tidak disertai stimulus noksius, patologi atau
inflamasi perifer.[75, 76]
68 TERMINOLOGI NYERI
ANAMNESA
Keluhan nyeri yang dilaporkan pasien merupakan indikator nyeri yang
paling dapat dipercaya. Gambaran obyektif seperti misalnya takikardi
atau wajah yang meringis bukan merupakan petanda spesifik untuk nyeri
dan tidak dapat menggantikan peran keluhan nyeri yang dilaporkan
pasien secara langsung kecuali dalam kondisi pasien tidak dapat
berkomunikasi. Karenanya menanyakan langsung keluhan nyeri yang
diderita merupakan bagian penting dari suatu asesmen nyeri.
Riwayat perjalanan penyakit yang komprehensif akan memberi
banyak keuntungan termasuk perkembangan kemajuan pengobatan, efek
samping obat-obat yang digunakan serta perbaikan fungsi dan kualitas
hidup penderita.
o Lokasi
Dimana nyeri dirasakan, apakah di area tertentu (pinggang,
bahu, lengan), satu sisi tubuh atau seluruh tubuh.[81]
Nyeri lokal: nyeri yang terbatas pada tempat asal nyeri
(contoh: nyeri kutaneus, nyeri visera, artritis, tendinitis)
Nyeri alih: nyeri yang dialihkan ke struktur yang lebih
jauh (contoh: angina, pankreatitis, appendisitis,
kolesistitis akut)
Nyeri proyeksi/transmisi: nyeri yang dirasakan sepanjang
saraf dengan distribusi segmental (contoh: herpes
zoster), atau distribusi perifer (contoh: trigeminal
neuralgia)
Pola dermatomal: nyeri neuropati perifer
Non-dermatomal: nyeri neuropati sentral, fibromyalgia
Tanpa ada pola tertentu: sindrom nyeri regional
kompleks
o Intensitas
Seberapa besar derajat nyeri yang dirasakan pasien, salah
satunya dengan menanyakan skala nyeri pada angka antara
0-10. Bila angka 0 menunjukkan tidak ada rasa nyeri dan
angka 10 untuk nyeri yang sangat hebat
NYERI 71
o Diagram nyeri
Penting untuk memvisualisasikan tanda dan gejala pasien
Dapat membantu menggambarkan apakah suatu nyeri yang
diderita merupakan suatu nyeri lokal, nyeri alih atau nyeri
proyeksi/ transmisi
Riwayat Psikososial
o Riwayat psikososial dapat memberikan informasi untuk
memahami bagaimana nyeri memberi dampak terhadap pasien
dan keluarga. Stresor baru dapat mempengaruhi dinamika
berkeluarga dan dapat mempengaruhi hasil akhir pengobatan.
o Riwayat penyalahgunaan obat–obatan (alkohol, obat terlarang,
rokok) dapat meningkatkan kecurigaan bahwa rasa sakit adalah
NYERI 73
SKALA NYERI
Salah satu alat yang penting dalam asesmen nyeri adalah penilaian skala
nyeri. Penilaian skala nyeri yang ideal haruslah akurat, sensitif, valid dan
berguna bagi klinisi serta juga dapat memisahkan aspek sensorik nyeri
dari aspek emosi. Saat ini penilaian skala nyeri tidak hanya melibatkan
satu dimensi saja (unidimensi) yaitu keluhan pasien tentang intensitas
nyeri, tetapi juga bersifat multidimensi yang melibatkan semua aspek
yang dapat dipengaruhi oleh kondisi nyeri.
74 ASESMEN NYERI
- Multidimensional Tool
Meskipun tidak sering digunakan, multidimensional tools penting untuk
menggambarkan informasi tentang karakteristik nyeri dan efek pada
kehidupan pasien sehari–hari. Alat tersebut dirancang agar pasien dapat
mengevaluasi nyeri setiap hari dan melaporkannya ke dokter yang
merawat.[82]
Status Mental
o Perlu dilakukan evaluasi status mental untuk mengetahui orientasi
pasien, memori jangka panjang dan jangka pendek serta fungsi
kognisi
o Penilaian emosi termasuk tanda-tanda depresi dan kecemasan.
Pemeriksaan Sendi[87]
o Selalu melakukan pemeriksaan terhadap 2 sisi bagian tubuh pasien
untuk mendeteksi adanya ketidaksimetrisan
o Catat gerak aktif seluruh sendi, apakah ada limitasi, asimetri atau
diskinesia
o Catat gerak pasif beberapa sendi yang terlihat abnormal saat tes
gerak aktif
o Lakukan palpasi tiap sendi untuk menilai area tertentu dari nyeri
o Tes stabilitas sendi untuk mengetahui apakah ada kerusakan ligamen
2. Pencitraan[91]
- Pemeriksaan X-Ray, CT scan, MRI, USG bertujuan mendeteksi
kelainan struktural penyebab nyeri atau faktor yang mempersulit
pengobatan
o Pemeriksaan X-ray :
digunakan untuk skrining awal adanya fraktur atau kelainan
lainnya pada tulang belakang, spondilolistesis maupun
spondilosis.
o Radionuclid Scanning
Suntikan technetium-99m-labeled phosphate yang diikuti
pemeriksaan whole-body bone scan dapat mendeteksi perubahan-
perubahan regional pada metabolisme tulang. Bone Scan tersebut
sangat berguna dalam mendeteksi osteomielitis dini, fraktur
kompresi, keganasan primer maupun metastase pada pasien
dengan nyeri pinggang yang belum diketahui penyebabnya
Tabel 4. Tujuan tatalaksana pengobatan pada nyeri akut dan nyeri kronik [95]
Nyeri Akut Nyeri Kronik
1. Model terapi: Farmakoterapi 1. Model terapi: Manajemen
rehabiltasi penyakit
2. Tujuan: menurunkan intensitas 2. Tujuan: memperbaiki fungsi
nyeri sebagai tujuan utama (fisik, psikologis dan sosial)
dengan mengupayakan sebagai tujuan utama
penyembuhan dan menghindari
berkembang menjadi nyeri
kronik
3. Umumnya “time limited” dan 3. Keterlibatan keaktifan pasien
berhasil dalam program pengobatan
menentukan keberhasilan
4. Pengobatan dan nyeri
4. Pengobatan berhenti saat nyeri umumnya tidak berhenti
hilang
b. Rektal
Definisi: pemakaian obat supositori melalui rektum
Obat: opioid dan non-opioid
88 TATALAKSANA NYERI
c. Intramuskular (IM)
Definisi: pemberian obat melalui suntikan pada otot–otot besar
seperti misalnya otot gluteus dan vastus lateralis
Obat: opiod dan non-opioid
Tidak diberikan pada nyeri kronik karena mempunyai beberapa
kerugian misalnya nyeri saat penyuntikan, kadar obat dalam darah
yang fluktuatif dan kemungkinan timbulnya fibrosis pada kulit.
d. Intravena
Definisi: pemberian obat melalui suntikan pada pembuluh darah
vena, dapat satu kali atau berulang, dapat berupa bolus maupun
kontinu, dengan atau tanpa menggunakan PCA (Patient Controlled
Analgesia)
Obat: opioid, non-opioid maupun obat terapi tambahan
Keuntungan: paling efektif untuk onset efek analgesia yang cepat
dan bila perlu dapat dilakukan titrasi yang cepat. Pemberian secara
bolus dapat memberikan efek yang cepat tetapi durasi keadaan
analgesia tidak lama dibanding dengan Intramuskular (IM)
e. Subkutan
Definisi: pemberian obat dengan suntikan tepat di bawah kulit
dengan menggunakan jarum yang kecil
Obat: opioid
Keuntungan: Kadar obat dalam darah akan selalu dalam level yang
tetap dan onset timbulnya efek analgesia sama dengan pemberian
IM, tetapi mempunyai durasi efek analgesia yang lebih lama.
f. Topikal
Definisi: obat secara langsung ditempatkan di kulit dan
berpenetrasi melalui kulit tersebut
Obat : OAINS (Obat Anti Inflamasi Non-Steroid), anestesi lokal
dan capsaicin
Keuntungan: efek bersifat lokal (tidak mempengaruhi level pada
serum secara signifikan), efek samping hanya terbatas pada reaksi
lokal, tidak ada interaksi antar obat, mudah untuk digunakan, dan
tidak perlu dilakukan titrasi.
NYERI 89
g. Transdermal
Definisi: merupakan alternatif cara pemberian obat yang
menyenangkan, dimana obat akan dihantarkan secara terus
menerus tanpa menggunakan suntikan atau syringe pump
Obat: opioid, terapi adjuvan
Keuntungan: lebih nyaman, tidak invasif, dan analgesia yang
dihasilkan lebih lama dan stabil
Kerugian: pada dosis pertama, efek obat akan memakan waktu
lebih lama, dan penyerapan obat dipengaruhi oleh panas dari
dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) [100]
h. Oral Transmukosa
Definisi: pemberian obat melalui mulut, termasuk sublingual (di
bawah lidah), dan pemberian melalui gusi atau mukosa pipi
Obat: opioid
Keuntungan: mudah untuk digunakan, namun memerlukan
supervisi dari tenaga kesehatan. Mencegah terjadinya metabolisme
obat pada liver yang biasanya berhubungan dengan opioid oral.
Kerugian: absorpsi obat cenderung bervariasi, rasanya pahit, dan
dosisnya terbatas.
j. Intranasal
Definisi: Pemberian obat dengan dosis obat yang sudah dikalibrasi
melalui lubang hidung dengan menggunakan alat aerosol kecil
Obat: butorphanol, sumatriptan
Keuntungan: dapat memanfaatkan peredaran darah yang banyak
pada hidung sehingga dapat menghindari metabolisme yang
berlebih pada hepar.
k. Sublingual, vaginal
Definisi: Menempatkan obat di bawah lidah (sublingual), atau di
dalam vagina
Obat: Opioid
Keuntungan: cara seperti ini dapat digunakan untuk pasien dengan
gangguan mengunyah atau bila akses intravena yang sulit.
n. Epidural kontinu
Definisi: infus kontinu obat-obatan pada ruang epidural melalui
kateter. Kateter dapat dimasukkan ke bawah kulit atau melalui
operasi dan ditanam untuk penggunaan manajemen nyeri jangka
panjang (contoh: nyeri kanker)
Obat: opioid, obat anestesi lokal
Keuntungan: Dapat digunakan untuk nyeri akut (contoh: nyeri
pasca-operasi, obstetri, nyeri pasca-trauma) dan nyeri kronis
(contoh: nyeri kanker, nyeri neuropati). Tidak perlu penggunaan
kateter untuk suntikan berulang, mengurangi penyebaran rostral
analgesia, mengurangi risiko dari kontaminasi kateter, lebih kuat
daripada pemberian sistemik.[104]
Kerugian: Kemungkinan migrasi kateter dan efek samping (contoh:
jaringan kulit dan subkutis di sekitar kateter dapat mengalami
hematoma, abses, dan meningitis).
p. Infiltasi lokal
Definisi: infiltrasi pada berbagai struktur tubuh melalui infiltrasi
lokal, dengan atau tanpa obat kortikosteroid
Obat: anestesi lokal (contoh: bupivacaine, kortikosteroid)
Keuntungan: digunakan untuk nyeri akut (nyeri pasca-operasi,
nyeri pasca-operasi sendi, bursitis akut, tendinitis, spasme otot),
dan nyeri kronik (trigger point pada sindroma miofasial, artritis,
dan sindroma facet)
6. Titrasi dosis
Kegunaan titrasi adalah agar terjadi keseimbangan antara hilangnya nyeri
dan efek samping. Tujuannya adalah menggunakan dosis terkecil yang
dapat menghasilkan efek yang memuaskan dengan efek samping yang
minimal.
Obat adjuvan
o Contoh pemakaian
Acetaminofen 325 mg + kodein 30 mg 4x1
- Tahap III
o Terapi opioid
o Nyeri hebat (skala 7-10/10)
o Obat-obat yang digunakan
Oxycodone, Morfin, Hidromorfin, Fentanil, Methadone
Obat adjuvan
Analgesia Non-Opioid
Langkah pertama yang efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang pada nyeri somatik, nyeri kanker atau nyeri akut berdasar Tangga
Analgesia WHO adalah menggunakan analgesia non-opioid, terutama
asetaminofen (parasetamol) dan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid
(OAINS). Walaupun keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesia,
tetapi asetaminofen tidak memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS.
Obat-obat golongan OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut
derajat ringan, penyakit inflamasi muskuloskeletal yang kronik seperti
artritis, dan nyeri ringan akibat kanker.[109]
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja utama dari obat golongan OAINS adalah inhibisi
enzim siklooksigenase (COX) yang menyebabkan terhambatnya
sintesis prostaglandin. Prostaglandin adalah salah satu substansia
yang dihasilkan dari proses inflamasi, yang merangsang nosiseptor
sehingga menimbulkan impuls nosiseptif.[109]
Prostaglandin mempunyai 2 efek di dalam tubuh yaitu efek
fisiologis dan efek farmakologis, bergantung pada penyebabnya dan
enzim yang berperan. Efek fisiologis prostaglandin diantaranya
adalah menurunkan sekresi asam lambung, meningkatkan aliran
darah ke ginjal karena adanya reseptor PGD2 (Prostaglandin D2)
yang berfungsi untuk vasodilatasi dan sebagai antiplatelet dengan
adanya reseptor TXA2 yang penting untuk agregasi platelet.[109, 110]
Sedangkan peran prostaglandin dalam proses patologis adalah
sebagai mediator timbulnya rasa sakit. Ketika terjadi peradangan,
maka enzim fosfolipase A2 menjadi aktif dan membentuk asam
arakidonat yang dengan bantuan enzim siklooksigenase COX2
membentuk prostaglandin.
Terdapat 3 macam enzim siklooksigenase yang mengubah asam
arakidonat menjadi prostaglandin siklooksigenase. OAINS
merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX
terdiri dari dua jenis, yaitu:[111]
1. COX-1 (Konstitutif)
o Menghasilkan prostaglandin untuk peran fisiologis.
o Memediasi proses seluler normal dan mengontrol produksi
prostaglandin yang berdampak pada fungsi fisiologis
homeostatis seperti misalnya mengontrol suhu, proteksi
mukosa lambung, mempertahankan fungsi platelet dan tonus
vaskular ginjal.
o Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak
diinginkan seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal,
perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus.
2. COX-2 (Indusibel)
o Menghasilkan prostaglandin yang bersifat patologis yang
berperan dalam proses nyeri dan peradangan.
o Bentuk ini umumnya terlibat dalam respon tubuh terhadap
proses inflamasi yang diinduksi oleh jaringan yang akan
memproduksi prostaglandin yang sensitif terhadap
nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi
NYERI 97
Indikasi
Obat golongan ini mempunyai indikasi yang luas dalam
tatalaksana nyeri terutama pada kasus dimana terdapat
komponen nyeri dan inflamasi, demikian juga OAINS efektif
untuk kasus nyeri akut maupun kronik. Pada nyeri akut, OAINS
efektif digunakan pada derajat nyeri ringan maupun sedang. Pada
tatalaksana nyeri kronik, OAINS juga efektif digunakan
terutama pada kasus nyeri somatik seperti misalnya nyeri otot
dan nyeri akibat destruksi sendi, dimana obat golongan ini dapat
menurunkan atau menghilangkan nyeri, dan juga mengurangi
edema.[112]
Tabel 5. Indikasi penggunaan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid[112]
Nyeri akibat inflamasi dan kerusakan jaringan
Sprains, strains dan reumatik
Nyeri punggung dan skiatika
Osteoatritis dan reumatoid atritis
Gout akut
Inflamasi artropatis (contoh: ankylosing spondylitis, psoriatic arthritis,
Reiter’s syndrome)
Dysmenorrhea, sakit kepala dam migrain
Nyeri pasca- operasi
Kolik renal dan bilier
Antipiretik
Kondisi inflamasi lainnya
rasa nyeri dan perbaikan fungsi yang cukup besar hanya pada
ankilosing spondilitis.[109, 114]
Kombinasi OAINS.
Pada umumnya tidak dianjurkan pemakaian dua jenis OAINS secara
bersamaan, karena tidak banyak memberikan manfaat dan bahkan
meningkatkan risiko kejadian efek samping. Adakalanya gabungan
OAINS tersebut dipakai dimana salah satunya hanya diberikan
sebagai terapi tambahan sewaktu-waktu, misalnya:
o Pemakaian ketoprofen supositoria pada malam hari dapat
ditambahkan pada pemakaian OAINS lainnya, misal sodium
diclofenac atau celecoxib yang diberikan secara rutin
o Kombinasi OAINS dengan analgesia lain sejauh ini masih dapat
dipertanggungjawabkan, misal pemberian OAINS dan
100 TATALAKSANA NYERI
o Asam indoleasetik:
Indomethacin
Indikasi: nyeri sedang-berat pada osteoartritis, artritis
rematik, ankilosing spondilitis, artritis gout akut, nyeri akut
pada bahu (bursitis dan/atau tendinitis).
Dosis awal : 25 mg
Frekuensi penggunaan: 2-4x/hari tiap 6-12 jam.
Bentuk sediaan: oral (kapsul, suspensi, sediaan lepas lambat,
dan rektal supositoria.
Meloxicam
Indikasi: osteoartritis
Dosis awal : 7,5 mg
Frekuensi penggunaan: 1x/ hari tiap 24 jam
Bentuk sediaan: tablet
Efek Samping
Obat golongan OAINS umumnya ditoleransi dengan baik,
meskipun demikian distribusi yang luas dari prostaglandin dan
ketidakmampuan secara akurat menjangkau area target
pengobatan menyebabkan timbulnya reaksi efek samping. Efek
samping yang timbul ternyata berhubungan dengan beberapa
faktor risiko. Berikut adalah beberapa faktor risiko yang seringkali
berhubungan dengan efek samping gangguan intestinal.
- Ginjal
Dapat berupa retensi garam dan air, gangguan ginjal akut, nekrosis
renal papilari, sindroma nefrotik dan nefritis interstitial.
- Kardiovaskular
Obat obat tradisional OAINS telah dikenal sebagai faktor risiko
hipertensi dan gagal jantung terutama sebagai efek dari kerusakan
ginjal. Saat ini terjadi peningkatan kejadian kardiovaskular yang
berkaitan dengan pemakaian COX-2 inhibitor pada penderita
dengan faktor risiko tinggi.
- Tulang
Pemakaian OAINS efektif dalam menghilangkan nyeri inflamasi pada
kasus muskuloskeletal tetapi juga dapat mempengaruhi proses
penyembuhan fraktur.
- Hati
Efek samping pada hati yang paling umum adalah peningkatan ringan
(2-5%) enzim-enzim hati terutama pada pasien artritis rematik,
gangguan jantung kongestif, gagal ginjal dan pada pemakai alkohol.
- Platelet
Obat golongan OAINS mencegah terjadinya agregasi platelet
Indikasi
Pada pencegahan penyakit kardiovaskular, inhibisi dari produksi
COX-mediated thromboxane-A2 pada platelet dapat mengurangi
agregasi platelet dan juga formasi trombus. Berkurangnya DNA
pada platelet mengartikan sintesis ulang dari COX tidaklah
memungkinkan dan proses inhibisi akan berlangsung selama masa
hidup setiap platelet. Hal ini berlainan dengan OAINS yang lain,
dimana mereka adalah inhibitor yang reversibel.[117]
Kontraindikasi
Penggunaan aspirin merupakan kontraindikasi pada anak-anak dan
remaja di bawah umur 16 tahun. Penelitian epidemiologi
menunjukan hubungan antara penggunaan aspirin pada anak-anak
dan Sindrom Reye, suatu gangguan metabolik dengan ciri-ciri
meningkatnya tekanan intrakranial, edema serebral dan fatty liver
yang luas. Namun biasanya kasus ini ditemukan pada orang dewasa
dan pada masa penyembuhan setelah infeksi virus.[118]
o Sistem Respiratori
Asma yang diinduksi oleh aspirin sangatlah berbahaya. Prevalensi
dari kejadian ini pada orang dewasa yang menggunakan OAINS
tradisional adalah 5-10% dan dapat meningkat sampai 14-23%
jika memiliki polip nasal. Namun mekanisme dari kejadian ini
masih belum dipahami.
o Reaksi Hipersentivitas
Reaksi ini berhubungan dengan inhibisi dari COX yang
menghasilkan peningkatan asam arakidonat. Akhirnya hasil dari
jalur alternatif metabolisme tersebut menghasilkan peningkatan
dari pembentukan leukotrin.
o Sistem Renal
Prostaglandin pada renal merubah tonus pada arteriol aferen
secara langsung, dan merubah arteriol eferen secara tidak
langsung (melalui sistem renin angiotensin). Efek ini sangat
penting ketika terdapat gangguan pada aliran darah renal, seperti
contoh dehidrasi, perdarahan, konsumsi ACEI dan diuretik.
Kondisi tersebut sering dijumpai pada pasien perioperatif
sehingga penggunaan OAINS dikontraiindikasikan. Namun,
COX-2 diekspresikan secara konstitutif pada ginjal dan sekarang
terbukti bahwa selektif inhibitor COX-2 tidak bersifat renal
sparing.
Oleh karena itu, penggunaan jangka panjang dari OAINS dapat
menghasilkan retensi dari air dan natrium yang akan
memperburuk keadaan hipertensi maupun menyebabkan gagal
jantung. Pasien berusia 65 tahun ke atas lebih memiliki
kecenderungan untuk terjadi gagal ginjal jika mengkonsumsi
OAINS (18% vs 11% pada grup kontrol).
o Sistem Hematologi
Aspirin secara ireversibel mengasetilasi di tempat aktif enzim
COX pada platelet. Efek ini berlangsung selama siklus hidup
106 TATALAKSANA NYERI
o Efek lainnya
Dermatologis (contohnya, eritema multiform).
Meningitis aseptik yang kadang masih dikelirukan dengan
penyebab lain dari meningitis setelah blok saraf neuraxial.
Sindrom Reye pada anak-anak yang mengkonsumsi aspirin.
3. Asetaminofen
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin yang
digunakan sebagai obat analgesik non-narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama pada sistim saraf pusat.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Proses penghambatan
siklooksigenase sentral tersebut lebih kuat dibanding aspirin sehingga
parasetamol memiliki efek antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas.[109] Bila dipakai secara reguler dan dengan dosis yang
tepat parasetamol adalah komponen yang sangat berguna dalam
menanggulangi nyeri kronik.[121]
Sediaan parasetamol intravena saat ini menjadi alternatif pilihan,
karena tidak menyebabkan efek samping berlebih dan bioavabilitasnya
yang dapat diketahui. Pada beberapa kasus nyeri penambahan
parasetamol pada pemakaian OAINS atau opiod dapat memberikan
keuntungan tambahan.
Efek samping
Parasetamol sangat ditoleransi oleh tubuh dengan efek samping yang
minimal. Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria sedangkan gejala yang lebih
berat umumnya berupa demam dan lesi pada mukosa.
Terjadinya ruam kulit dan diskrasiasis darah sebagai efek samping
tersebut sangat jarang terjadi. Kewaspadaan tetap dilakukan saat
melakukan peresepan parasetamol dalam kasus insufisiensi ginjal yang
berat dimana waktu eliminasi menjadi lebih panjang demikian dapat juga
pemakaian pada penderita penyakit liver yang signifikan, alkoholik kronis,
malnutrisi dan dehidrasi.[109, 118]
Dosis Toksik
Pemakaian parasetamol dengan dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6
gram pada orang dewasa dapat berpotensi hepatotoksik. Dosis 4 g pada
anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas
berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.[109]
108 TATALAKSANA NYERI
Analgesia opioid
Obat-obat opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin yang telah digunakan secara luas dalam dunia
medis dan sangat efektif digunakan sebagai obat analgesia untuk nyeri
sedang sampai hebat.[122] Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak
disebut reseptor opioid sedangkan obat yang mempunyai sifat antagonis
terhadap efek opioid disebut antagonis opioid. Yang termasuk golongan
obat-obat opioid adalah obat yang berasal dari opium morfin, senyawa
semisintetik morfin dan senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
[123]
o Antagonis opioid
Tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor.
Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi
kompetitif atau inhibisi non-kompetitif. Contoh Obat opioid
antagonis pada reseptor mu adalah nalokson, naltreakson,
nalmefen, metilnaltrekson.
- Indikasi
Obat-obat opiod digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai
berat, terutama nyeri pada bagian visera. Penggunaan berulang
dapat mengakibatkan ketergantungan, walaupun demikian hal
tersebut tidak menjadi alasan tidak digunakannya obat-obat
tersebut untuk mengatasi nyeri pada penyakit terminal.
- Efek Samping
Berbagai jenis analgesia opioid memiliki banyak efek samping yang
sama walaupun terdapat perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif.
Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan
rasa mengantuk.
Beberapa efek samping yang umum terjadi [124, 127]
o Depresi pernafasan
Depresi pernafasan merupakan efek samping yang paling serius.
Agonis morfin bekerja pada pusat sistem respirasi sehingga
dapat menimbulkan peningkatan depresi pernafasan sampai
pada kondisi henti nafas. Pada manusia, kematian akibat agonis
morfin hampir selalu diakibatkan henti nafas.
Dosis terapeutik dapat menurunkan semua fase aktivitas
pernafasan, meskipun demikian akumulasi CO2 mampu
menstimulasi kemoreseptor dan memberikan efek kompensasi pada
laju pernafasan yang sebenarnya menutupi derajat depresi
NYERI 111
o Sedasi
Analgesia Opioid dapat menyebabkan sedasi dan rasa mengantuk.
Walaupun efek tersebut berguna pada kondisi klinik tertentu tetapi
sebenarnya bukan suatu efek ikutan yang diinginkan terutama pada
pasien rawat jalan
o Konstipasi
Efek samping yang paling sering dari opioid adalah konstipasi. Obat
jenis ini bekerja pada banyak area dari traktus gastrointestinal dan
medula spinalis sehingga seringkali memberikan efek penurunan
sekresi intestinal dan peristaltik dengan gejala yang muncul berupa
konstipasi. Toleransi efek opioid terhadap otot-otot polos terjadi
sangat lambat sehingga konstipasi seringkali menetap terutama pada
pemakain obat ini pada nyeri kronik.
o Imunosupresi
Pemakaian opioid jangka panjang akan memberikan efek
imunosupresi yang akan meningkatkan risiko infeksi dan
menurunkan supresi tumor. Hal ini dimungkinkan karena opioid
mempunyai efek langsung pada sistem imun dan efek tidak langsung
secara sentral melalui mekanisme yang dimediasi oleh sistem saraf.
112 TATALAKSANA NYERI
o Sublingual
Tidak melewati metabolisme lintas pertama
Obat yang paling sering digunakan untuk rute ini adalah
Buprenorfin
o Supositoria
Alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat
yang disertai dengan mual dan muntah
Tidak ideal untuk terapi nyeri akut karena bereaksi lambat
dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu
Dosis rektal untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar
setengah yang dibutuhkan oleh rute oral
Ketersediaan obat terbatas
o Intramuskular
Analgesia yang dapat secara reguler setiap 4 jam
Diperlukan penilaian analgesia reguler, pencatatan skor nyeri
dan pengembangan algoritme pemberian analgesia,
tergantung dari tingkat nyeri
o Kodein Fosfat
Indikasi : nyeri ringan sampai sedang
Waktu paruh 3 jam, efikasi 1/10 morfin, efek
ketergantungan lebih rendah
Digunakan untuk nyeri ringan dan sedang
Dosis
Per oral, 30-60 mg setiap 4 jam ketika dibutuhkan,
hingga maksimal 240 mg sehari; anak 1-12 tahun, 3
mg/kg bb sehari dengan dosis terbagi.
Injeksi intramuskular, 30-60 mg setiap 4 jam ketika
dibutuhkan.
o Petidin Hidroklorida
Merupakan analgesia yang cepat tetapi bertahan hanya
untuk waktu singkat, kurang menimbulkan konstipasi
dibanding morfin, tetapi kurang kuat sebagai analgesia,
bahkan dalam dosis tinggi.
Indikasi: nyeri sedang sampai berat digunakan sebagai
analgesia baik pada obstetrik maupun sebagai analgesia
perioperatif.
Waktu paruh 5 jam, efektivitas lebih besar dari kodein, tapi
lebih kecil dari morfin, durasi analgesianya 3-5 jam dengan
efek puncak tercapai dlm 1 jam (injeksi) atau 2 jam (oral)
Diberikan secara oral atau intramuskular
Efek sampingnya setara dengan morfin
Dosis:
Nyeri akut, oral 50-150 mg tiap 4 jam; Anak: 0.5-2
mg/kg bb.
Injeksi subkutan atau intramuskular, 25-100 mg, diulang
setelah 4 jam; Anak: injeksi intramuskular, 0.5-2 mg/kg
bb.
Injeksi intravena perlahan, 25-50 mg, diulang setelah 4
jam.
Nyeri pasca- bedah, injeksi subkutan atau intramuskular,
25-100 mg setiap 2-3 jam jika diperlukan; anak, injeksi
intramuskular, 0.5-2 mg/kg bb.
114 TATALAKSANA NYERI
o Tramadol Hidroclorida
Bekerja sebagai analgesia melalui dua mekanisme yaitu efek
opioid serta memacu jalur serotoninergik dan adrenergik.
Indikasi: nyeri sedang sampai berat.
Waktu paruh 6 jam, efikasi 10-20% morfin, sebanding
dengan Petidin
Sifat adiktif minimal, efek samping lebih ringan daripada
morfin
Dosis: oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari tiap 4
jam, intramuskular atau intravena (lebih dari 2-3 menit)
atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam.
o Fentanil
Indikasi : nyeri pada pasien yang sudah dalam terapi opioid
untuk nyeri kanker kronik dan nyeri kronik yang sukar
ditangani
Efikasinya 80 x morfin, efeknya berakhir dalam 30-60 menit
(dosis tunggal)
Dosis 2,5 mg, 5 mg, 7,5 mg, 10 mg/cakram
transdermal; self-adhesive; transparan; tape fentanil; '25'
patch (melepascan kira-kira 25 mcg/jam untuk 72 jam);
'50' patch (melepascan kira-kira 50 mcg/jam untuk 72 jam);
'75' patch (melepascan kira-kira 75 mcg/jam untuk 72 jam);
'100' patch (melepascan kira-kira 100 mcg/jam untuk 72
jam).
Rekomendasi penggunaan analgesik pada manajemen nyeri
akut
Tatalaksana nyeri akut dimulai dengan mengidentifikasi penyebab yang
melatarbelakanginya dan tatalaksana penyakit yang mendasari tersebut.
Lini pertama terapi simptomatik untuk nyeri ringan dan sedang adalah
asetaminofen atau Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS). Pilihan
antara kedua jenis obat tersebut tergantung pada tipe nyeri dan faktor
risiko efek samping penggunaan OAINS (misalnya gangguan
gastrointestinal, gangguan ginjal).[94]
Obat obat jenis OAINS mempunyai efek analgesik yang hampir
sama, tetapi Cyclooxygenase-2-selective OAINS (misal celecoxib) harus
diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular dan lebih mahal dibanding yang non-selective. Apabila obat
lini pertama tersebut tidak memberikan efek yang signifikan untuk nyeri
ringan dan sedang maka dapat digunakan dua jenis obat yang mempunyai
jalur yang berbeda dan diberikan secara simultan misalnya kombinasi
asetaminofen/ opioid.[128]
NYERI 115
Tabel 7. STEPS sebagai pengobatan sebagai terapi untuk nyeri akut pada pasien dewasa
Golongan
Keamanaan Tolerability Effectiveness* Simplicity
Obat
325 sampai 650 mg
oral tiap 4 sampai 6
jam
Hepatotoksik or
Asetaminofen Sangat Baik +
Renaltoksik 1.000 mg oral 3
sampai 4 kali/hari
Maksimal: 4.000mg per
hari
COX--2
Disfungsi
OAINS
Hepar 100 sampai 200 mg
selektif Baik ++
Disfungsi oral dua kali/hari
(contoh:
Renal
celecoxib
[Celebrex])
2.5 sampai 10mg
Kombinasi
hidrokodone oral tiap
opiod Setara dengan
4 sampai 6 jam
(contoh: komponen Baik +++
Maksimum 4.000mg
hidrokodon/ individual
acetaminofen tiap hari
asetaminofen)
10 sampai 30 mg oral
Mual/ Muntah
Opioid (e.g. tiap 3 sampai 4 jam
Depresi nafas
morphine) Baik +++ Dosis bergantung pada
Sedasi
variasi sediaan dan
formulasi obat
Serupa
Dual-action dengan
opioids (e.g., Opioid 50 sampai 100 mg oral
Baik +++
tapentadol serotonin tiap 4 sampai 6 jam
[Nucynta]) sindroma
(jarang)
116 TATALAKSANA NYERI
Efek Samping
- Sedasi
- Bibir kering
- Perubahan fungsi kognitif, terlebih pada agen trisiklik
- Disfungsi seksual berupa impoten dan gangguan orgasme
sangat umum dan seringkali berhubungan dengan dosis[131]
- Golongan Antikonvulsan
Antikonvulsan sering digunakan dalam tatalaksana nyeri neuropati,
migrain, dan sindrom nyeri kepala lainnya namun demikian peran
antikonvulsan sebagai obat adjuvan analgesik cenderung lebih
terbatas dibandingkan obat-obatan antidepresan.[132]
Obat antikonvulsan pertama yang efektif digunakan sebagai terapi
nyeri adalah fenitoin. Pada tahun 1942, fenitoin diketahui dapat
menjadi pilihan terapi neuralgia trigeminal yang kemudian diikuti oleh
karbamazepin yang terbukti efektif menurunkan nyeri pada neuralgia
trigeminal dan kondisi nyeri neuropati lainnya.
Mekanisme Kerja
Ada 2 mekanisme kerja obat antikonvulsan sebagai adjuvan
analgesia yaitu:[132]
- menurunkan maksimum “firing rate” dari neuron neuron
dengan cara mengganggu aktivitas dari kanal ion pada
membran sel
- meningkatkan efek neurotrasmiter inhibisi seperti misalnya
gamma aminobutyric acid (GABA)
o Karbamazepin
Mekanisme kerja: memodulasi uptake kalsium, yang
bersifat dependent terhadap depolarisasi, menambah
pengeluaran 5-HT dan memblokir arus reseptor NMDA.
Indikasi: lini pertama pada tatalaksana nyeri neuralgia
trigeminal, nyeri neuropati diabetika, neuralgia
glossofaringeal, nyeri pada Multipel Sklerosis, nyeri
kanker dan nyeri sentral
Dosis: 200-400 mg. 3x/ hari
NYERI 119
o Sodium Valproate
Mekanisme kerja: meningkatkan kadar GABA inhibitori
pada sistem saraf pusat dan potensiasi dari fungsi
GABAnergik (terutama pada otak) yang mampu
menginhibisi nyeri.
Indikasi: nyeri kepala migren (profilaksis) dan neuralgia
trigeminal
Dosis : 250–500 mg, 3x/hari
o Lamotrigine
Mekanisme kerja: menekan pengeluaran glutamat, yang
merupakan asam amino bersifat eksitatori yang terlibat
dalam hipereksitabilitas neuronal.
Indikasi: nyeri sentral dan sebagai terapi tambahan pada
neuralgia trigeminal
Dosis: 50-200 mg, 2x/ hari
o Gabapentin
Mekanisme kerja: merupakan analog GABA, memiliki
aksi inhibisi pada kanal voltage-gated calcium, yang
berperan dalam menghambat salah satu subunit yang
bertanggung jawab dalam timbulnya nyeri.
Indikasi: nyeri neuropati diabetik, nyeri talamik, nyeri
phantom
Dosis: 300–1200 mg, 3x/hari
o Pregabalin
Mekanisme kerja: senyawa yang lebih baru dan memiliki
mekanisme yang serupa dengan gabapentin.
Indikasi: nyeri neuropati diabetik, neuralgia trigeminal
Dosis: 150-300 mg, 2-3x/hari
Efek Samping :
- Sedasi
- Ataksia
- Mual
- Kelelahan/ fatigue
- Disfungsi hepar
- Ruam pada kulit
Efek samping umumnya akan membaik seiring dengan
pemakaian obat yang terus menerus. Tetapi terdapat laporan
yang menyebutkan efek samping akan dapat menetap bahkan
120 TATALAKSANA NYERI
o Agonis α-adrenergik
Agonis α-adrenergik bekerja pada reseptor adrenergik yang
terletak pada lamina I kornu dorsalis medula spinalis dan
beberapa area pada batang otak. Selain efek analgesia, aktivasi
dari beberapa tempat ini cenderung menghasilkan efek sedasi,
namun tidak membuat adanya depresi pernafasan, yang
memberikan keuntungan bermakna dengan opioid. Klonidin,
tizanidine, dan dexmedetomidine merupakan obat-obatan agonis
α-adrenergik yang memberikan efek analgesia yang baik.
- Klonidin
Mekanisme kerja
Studi menunjukkan bahwa morfin dan klonidin
menghasilkan inhibisi yang bersifat dose dependent
pada transmisi nosiseptif di saraf spinal yang
dimediasi oleh reseptor yang berbeda-beda. Ini
NYERI 121
Toksin Botulinum
- Mekanisme kerja
Menghambat langsung transmisi neuromuskular melalui
inaktivasi yang permanen pada protein kunci yang berhubungan
dengan pengeluaran asetilkolin pada motor end plate. Efek
inhibitori pada transmisi kolinergik juga terdapat pada toksin
botulinum.
- Indikasi
Toksin botulinum yang sudah dipurifikasi telah digunakan
secara bertahun-tahun untuk pengobatan spastisitas.
Keluhan nyeri sering terjadi pada otot-otot yang mengalami
spastisitas, sehingga pemakaian toksin botulinum akan
mengurangi spastisitas dan menurunkan derajat maupun
intensitas nyeri
Mekanisme analgesia dari toksin botulinum ini adalah
menghambat neurotransmiter eksitatori. Durasi kerja dari
toksin botulinum dapat bertahan sampai 3 bulan, dan jika
berhasil dapat diulang dengan interval 3-4 bulan kemudian.[134]
122 TATALAKSANA NYERI
- Efek samping
Dalam pemakaian jangka panjang, terdapat risiko timbulnya
reaksi antibodi terhadap toksin tersebut. Hal ini terjadi pada
10% pasien yang menerima toksin botulinum tipe A dalam
waktu 1 tahun. Bersamaan dengan itu, pasien juga memiliki
risiko terhadap respon inflamasi lokal dan reaksi
sensitivitas.[130]
Paralisis yang signifikan hanya terjadi pada keadaan
overdosis. Kelemahan otot dapat terjadi namun akan pulih
kembali setelah efek dari toksin tersebut menghilang, yang
memakan waktu sekitar beberapa minggu.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dalam tatalaksana nyeri tidaklah
mempunyai peran yang siginifikan tetapi obat golongan ini akan
mempunyai peran penting pada banyak kondisi yang berhubungan
dengan aktivitas autoimun yang bermanifestasi nyeri.[130]
Sebagai terapi adjuvan, kortikosteroid dapat secara langsung
menurunkan nyeri dimana glukortikoid dianggap mampu
menurunkan nyeri dengan menghambat sintesis prostaglandin yang
mempunyai efek lainnya berupa penurunan permeabilitas vaskular
dan edema jaringan.
Penelitian menunjukan bahwa reseptor steroid juga ditemukan
pada sistem saraf perifer dan sentral sehingga dianggap dapat
bertanggungjawab dalam pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan
dan plastisitas neuron. Secara khusus kortikosteroid juga mampu
menurunkan letupan spontan pada saraf yang mengalami
kerusakan.[135]
Kortikosteroid memiliki peran yang terbatas dalam tatalaksana
nyeri. Dalam praktek sehari-hari kortikosteroid bisa diberikan dalam
dosis tinggi atau dosis rendah. Pemberian dosis tinggi
(dexamethasone 100 mg, diikuti 96 mg per hari) diberikan pada
pasien dengan kompresi medula spinalis atau nyeri berat yang tidak
bisa dhilangkan dengan opioid saja. Pemberian dosis tinggi dapat
diturunkan dosisnya (tapering off) dalam waktu beberapa hari atau
beberapa minggu setelah pasien menerima terapi obat analgesia yang
berbeda (opioid atau terapi radiasi).
Meskipun memiliki peran yang terbatas dalam praktek sehari
hari tetapi dalam tatalaksana nyeri paliatif obat kortikosteroid
merupakan salah satu obat yang sering digunakan. Canadian Study
mencatat 40% penderita kanker yang rawat jalan mendapat terapi
kortikosteroid dimana dexamethasone merupakan obat yang paling
NYERI 123
- Nyeri Muskuloskeletal
Kortikosteroid sering digunakan pada kondisi artritis dan
degeneratif. Hasil studi menunjukkan efektifitas sedang
kadang disertai komplikasi lokal seperti infeksi dan degradasi
synovial.[130]
Pengunaan kortikosteroid pada kondisi penyakit kronik
atau pada pasien dengan proses pemulihan pasca-cedera
harus ditinjau ulang karena kortikosteroid merupakan
hormon katabolik yang dapat mengganggu penyembuhan.
Obat golongan kortikosteroid yang sering digunakan di
Amerika Serikat pada kasus-kasus muskuloskeletal adalah
Betametason Sodium, Metilprednisolon, Triamsinolon
asetonid dan triamsinolon hexacetonida. [66]
Durasi aktif kortikosteroid tergantung pada persiapan
secara umum, kortikosteroid dengan masa kerja singkat
adalah triamsinolon asetoni. Pemakaian kortikosteroid
jangka panjang dengan masa kerja lama dapat sedikit
meningkatkan komplikasi diantaranya ruptur tendon dan
atrofi jaringan.
Anestesi Lokal
Penggunaan anestesi lokal telah secara luas digunakan untuk mengontrol
nyeri pasca- operasi, sebagai terapi nyeri akut maupun kronik.
Penggunaan anestesi lokal pada tatalaksana nyeri terbukti memberikan
keuntungan lebih dibanding penggunaan analgesik opioid terutama bila
penyebab nyeri tersebut berhubungan dengan satu area atau regio
tertentu. Anestesi lokal juga sering digunakan sebagai terapi tambahan
pada obat-obat analgesik sistemik atau saat diperlukan suatu tindakan
blok epidural.[138]
Mengganti penggunaan obat-obat OAINS dan opiod dengan blok
anestesi lokal akan menurunkan jumlah penggunaan obat sistemik,
menurunkan risiko terjadinya efek samping dan mencegah kemungkinan
tercapainya kadar toksik suatu obat. Obat anestesi lokal yang digunakan
mempunyai perbedaan dalam hal potensi, toksisitas, lama kerja, stabilitas
kelarutan dalam air serta kemampuannya menembus membran mukosa.
Karena perbedaan sifat-sifat tersebut maka penting sekali untuk
memperhatikan dan menentukan jenis obat dalam beberapa metode
atau rute pemberian.[138]
- Formulasi
Secara kimiawi obat anestetik lokal dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan, yaitu [139]
Golongan I : Ester(-COO-): Prokain, Tetrakain, Kokain, Benzokain,
Kloroprokain
Golongan II : Golongan Amida (-NHCO-): Lidokain, Mepivakain,
Bupivakain, Prilokain
NYERI 125
- Mekanisme Kerja
Mekanisme molekular yang mendasari kerja obat anestesi lokal
adalah kemampuan memblok kanal-kanal sodium pada membran sel
neuron sehingga menghambat atau mencegah transmisi impuls yang
tidak normal. Bila disuntikan pada satu area tertentu obat anestesi
lokal akan memberikan efek analgesia perifer tetapi bila diberikan
secara sistemik maka obat tersebut tidak menimbulkan blok konduksi
seperti yang terjadi pada injeksi lokal dan topikal melainkan dapat
menekan aktivitas listrik yang menyimpang pada struktur-struktur
yang berkaitan dengan nyeri.[139]
- Toksisitas
Efek toksik umumnya berhubungan dengan kadar obat dalam plasma
yang tinggi. Efek toksisitas dapat berupa rasa pusing, sedasi, dan
parestesi di sekitar mulut. Efek toksik lainnya sering terjadi pada
penyuntikan intravena diantaranya kejang dan syok kardiovaskular.
Reaksi hipersensitiv dapat timbul pada pemakaian obat anestesi lokal
tipe ester seperti kokain, prokain dan benzokain.[140]
- Indikasi
Pada tatalaksana nyeri akut maupun kronik, pemberian obat anestesi
lokal dilakukan melalui cara yang berbeda untuk kepentingan yang
berbeda [140]
o Blok Regional
Umum digunakan untuk manajemen nyeri akut pada periode
perioperasi
Blok neuroaksial
Menempatkan obat anestesi lokal pada level medula spinalis:[141]
- Injeksi intratekal
Menempatkan obat anestesi lokal pada cairan serebrospinalis.
- Injeksi epidural
Menempatkan obat anestesi lokal pada membran dural yang
menyelubungi medula spinalis. Obat tersebut akan
memblokade radiks saat keluar dari foramina intervetebra.
Prosedur tersebut dapat dilakukan pada semua level tulang
belakang dari servikal sampai kauda sakral
126 TATALAKSANA NYERI
Blok Paravetebra
Menempatkan obat pada area paravetebra, kira-kira 5 cm sisi
lateral prosesus spinosus di bawah otot erector spina. Prosedur
ini akan dapat memblokade radiks, saraf simpatik, ganglia akar
dorsalis dan umum dilakukan pada level torakal.
Blok radiks
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri radikular. Menempatkan
obat anestesi lokal dosis kecil (2 ml) pada radiks dengan
menggunakan bantuan X-ray.
Sediaan
Larutan Lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi
Larutan Lidokain 1-2% untuk anestesia blok dan topikal.
Lidocain patch 5
Indikasi
Bila diberikan secara intravena obat tersebut dapat digunakan
untuk tatalaksana nyeri neuropati yang menurut Cochrane
review mempunyai efektifitas sebaik obat anti nyeri neuropati
lainnya tanpa efek samping yang bermakna.[80]
NYERI 129
Anestesia regional
Adjuvan terapi pada nyeri pasca-operasi
Anestesia infiltrasi
Blokade saraf
Efek samping
Umumnya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya
mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan
mental, koma, dan bangkitan.
Lidokain dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan
kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau akibat henti jantung.
Kejang
Reaksi alergi berupa anafilaksis
o Bupivakain (markain)
Merupakan anesteti lokal yang mempunyai masa kerja yang
panjang, dengan efek blokade terhadap sensorik lebih besar
daripada motorik
Mekanisme kerja
Blokade konduksi impuls saraf dengan cara meningkatkan
ambang batas eksitasi elektrikal pada serabut saraf,
memperlambat perluasan impuls saraf dan menurunkan
kecepatan potensial aksi. Efek blokade tersebut secara klinis
selain menurunkan fungsi suhu, raba dan propioseptif tetapi
yang utama mengurangi bahkan menghilangkan nyeri
Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih
kardiotoksik daripada lidokain.
Sediaan
Konsentrasi efektif minimal 0,125%.
Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi
0,25% untuk anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan
paravertebral
Indikasi
Lokal infiltasi
Blokade saraf perifer, blokade lumbal dan kaudal
Efek samping
Bersifat lebih kardiotoksik dibanding lidokain
Indikasi
EMLA dioleskan dikulit intak 1-2 jam sebelum tindakan untuk
mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri,
untuk miringotomi pada anak, mencabut bulu halus dan
membuang tato. Tidak dianjurkan untuk mukosa atau kulit
terluka.
Obat-Obatan Topikal
Sejalan dengan semakin dipahaminya patofisiologi nyeri dan mekanisme
kerja obat-obat analgesia maka metode baru penghantaran obat pun
semakin berkembang. Tujuan utama upaya penemuan-penemuan baru
tersebut adalah menghambat perjalanan nyeri pada sisi perifer dengan
kualitas obat yang maksimal dan efek samping sistemik yang minimal.
Pemberian obat topikal adalah salah satu hasil penemuan baru
tersebut.[146]
Penelitian-penelitian menunjukan obat yang diberikan secara topikal
mempunyai efektifitas sama dengan pemberian obat melalui oral, bahkan
dengan efek samping sistemik yang lebih minimal. Obat-obat topikal yang
saat ini dikenal mampu memberikan efek perifer yang signifikan
diantaranya obat golongan OAINS, obat anestesi lokal, Capsaicin, Alpha
adrenoreseptor dan cannabinoid.[147]
Berikut adalah beberapa contoh obat-obat topikal, mekanisme kerja,
indikasi dan dosis pemakaian: [146, 148]
- Lidocaine Patch 5
Lidocaine patch 5% merupakan obat topikal yang terdiri dari suatu
material yang adesif yang berisi lidokain 5% (700 mg)
o Mekanisme Kerja
Menghambat aktivitas neuronal kanal-kanal sodium yang dipercaya
berperan sebagai penyebab nyeri
Menghambat ekspresi dari nitrit oksida dan lepasnya sitokin
proinflamasi dari sel
Berperan sebagai agen yang memproteksi stimulus pada pasien-
pasien dengan alodinia.
o Indikasi dan efikasi
Neuralgia Pasca-Herpetika
Lidocaine patch adalah obat pertama yang diterima oleh US Food
and Drug Administration (FDA) untuk tatalaksana nyeri neuralgia
post herpetika
Nyeri Neuropati Perifer
Neuralgia Pasca-Torakotomi
Meralgia Parestetika
Neuralgia intercostal
NYERI 131
Nyeri Pasca-Mastektomi
Nyeri Neuropati Diabetika
Nyeri Neuropati HIV
Nyeri Pinggang akut dan kronik
Nyeri miofasial
Osteoartritis
o Efek Samping
Efek samping umumnya berupa iritasi ringan pada kulit terutama
pada area tempat peletakan obat
Efek samping yang lebih berat umumnya terjadi pada area kulit di
bawah obat dan cenderung akan membaik tanpa intevensi obat-
obat lainnya, misalnya
Dermatitis: 1.8%
Pruritis: 1.1%
Rash: 1%
o Dosis
Diberikan 3 lidocaine patch pada area yang paling sakit dan tidak
digunakan lebih dari 12 jam
Peningkatan dosis dapat diberikan sampai 4 lidocaine patch dalam 1
hari atau 2 kali sehari tiap 12 jam selama 3 hari berturut-turut
Lidocaine patch 5% harus diberikan dengan pertimbangan dan
perhatian khusus pada penderita gangguan hati, penderita yang
rutin minum obat antiaritmia atau mereka yang sedang
menggunakan obat anestesi lokal lainnya.
- Capsaicin Topikal
o Formulasi
Capsaicin (trans-8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide) terdiri dari
komponen red chili pepper yang dapat menurunkan intensitas nyeri
secara signifikan pada berbagai jenis nyeri
o Mekanisme Kerja
Capsaicin termasuk ke dalam famili vanilloid yang berikatan
dengan reseptor yang disebut vanilloid receptor subtype 1 (VR1).
Kanal-kanal ion VR1 termasuk ke dalam kelompok TRP kanal kanal
ion dan dikenal sebagai TRPV1. Aktivasi TRPV1 oleh capsaicin akan
menyebabkan depolarisasi neuron-neuron sensorik dan mendorong
terjadinya sensitisasi perifer melalui faktor-faktor luar seperti
misalnya panas ataupun asidosis.
Capsaicin juga dianggap mampu menurunkan Substansi P pada
terminal aferen yang secara transien akan menurunkan densitas
serabut-serabut saraf C di kulit.
o Efikasi
Neuralgia Post Herpetika
Nyeri muskuloskeletal termasuk diantaranya osteoartritis dan
artritis reumatoid
Nyeri Post Mastektomi
Nyeri Neuropati HIV
Nyeri Neuropati Diabetika
o Efek samping
Sensasi terbakar pada area dimana obat dioleskan merupakan efek
samping utama yang berkaitan dengan pemakaian capsaicin topikal.
Efek samping tersebut umumnya akan membaik dalam 3 hari – 2
minggu. Umumnya Capsaicin cream 0.025% lebih toleran
dibanding sediaan 0.075%.
Sensasi terbakar pada bagian tubuh lainnya
Pasien dianjurkan untuk membersihkan tangan segera setelah
mengoleskan obat, karena umumnya terjadi iritasi berupa rasa
terbakar pada bagian tubuh lainnya akibat sentuhan tangan yang
belum dicuci misal mata, genitalia
Batuk dan pilek
Apabila terhisap, capsaicin akan mengiritasi hidung dan paru
o Dosis
Topikal krim capsaicin 8% umumnya diberikan 3 atau 4 kali sehari
NYERI 133
- Topikal OAINS
Tujuan pemberian topikal OAINS adalah meminimalisasi efek sistemik
dan meningkatkan kepatuhan pemakaian obat. Obat-obat topikal OAINS
dalam bentuk, gel, krim maupun spray diharapkan mampu berpenetrasi
melalui kulit, jaringan lemak dan otot-otot dalam dosis yang dianggap
cukup untuk mencetuskan efek perifer
134 TATALAKSANA NYERI
o Formulasi
Natrium Diklofenak topikal terdapat dalam kemasan patch, gel dan
krim terutama pada negara-negara Eropa dan Asia. Di Amerika
Serikat kemasan OAINS Patch masih dalam penelitian untuk
pengobatan nyeri akibat perlukaan pada olahraga.
o Efikasi
Topikal OAINS telah disetujui untuk pengobatan nyeri pada
osteoartritis dan “sports Injury” pada negara-negara di Eropa dan
Asia.
The Cochrane Study Group telah menyetujui pemakaian topikal
OAINS jangka pendek untuk pengobatan nyeri pada Tendinitis
Elbow.
Pada kondisi nyeri muskuloskeletal akut, OAINS topikal (terutama
diklofenak, ibuprofen, ketoprofen dan piroxicam) dapat
menurunkan nyeri secara signifikan tanpa disertai efek samping
sistemik seperti yang seringkali terjadi pada pemberian OAINS
secara oral.
o Efek Samping
Reaksi lokal pada kulit
Efek sistemik
- Transdermal Fentanyl
o Formulasi
Fentanil merupakan opioid yang memiliki kadar lipid yang tinggi
sehingga memudahkan untuk digunakan dalam bentuk sediaan
patches.
Transdermal fentanil memiliki 4 lapisan, yaitu lapisan
impermeabel, lapisan penyimpanan obat, membran pengaturan
kecepatan dan lapisan adesif. Fentanil akan berdifusi melalui
lapisan membran kontrol yang dapat mengatur pemakaian obat
tersebut selama 72 jam.
o Mekanisme Kerja
Fentanil akan berikatan dengan Reseptor U dalam sistem saraf
pusat yang memberikan efek analgesia.
Kadar lipofilik fentanil yang tinggi menghasilkan difusi yang cepat
ke dalam lapisan lemak epidermis yang dikuti dengan gerakan
lambat ke dalam lapisan dermis yang penuh cairan (hidrofilik) lalu
masuk ke sirkulasi darah di subkutis.
Deposit fentanil dalam lapisan keratin epidermis menyebabkan
onset lambat dan efek transdermal fentanil ini memanjang.
Anatomi posisi patch tidak mempengaruhi absorpsi.
NYERI 135
o Indikasi
Terutama digunakan untuk nyeri kronik akibat kanker, tetapi saat
ini dapat digunakan untuk kasus kasus nyeri yang non-malignansi
Pasien memerlukan pemberian obat yang “continuous, around the
clock” untuk waktu tertentu
Tidak dapat diatasi oleh jenis obat lainnya seperti analgesia
non-steroid, obat kombinasi opioid
o Dosis dan cara pemberian
Obat opioid yang telah ditoleransi dengan baik oleh pasien,
berarti pasien telah menerima 60 mg morfin atau 30 mg
oksikodon atau 8 mg oral hidromorfin selama minimal 1 minggu
Penderita yang belum pernah menerima analgesia opioid kuat
maka dosis awal yang diberikan satu patch '25 mcg/jam' diganti
setelah 72 jam; penderita yang pernah menerima analgesia opioid
maka dosis awal didasarkan kebutuhan opioid dalam 24 jam
sebelumnya (morfin sulfat oral 90 mg per 24 jam-satu tape '24
mcg/jam
o Efek samping
Depresi pernapasan
Sistem saraf: sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi,
rasa mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan,
kejang
Pencernaan: mual, muntah, konstipasi
Kardiovaskular: aritmia, hipotensi postural
Reproduksi, ekskresi & endokrin: retensi urin, oliguria
Efek kolinergik: bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia,
tremor otot, pergerakan yang tidak terkoordinasi, delirium atau
disorientasi, halusinasi
Berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit
Terapi Perifer
Terapi perifer merupakan suatu terapi dengan melakukan stimulasi pada
kulit pasien yang dapat memunculkan efek analgesia dan mengurangi
nyeri [149]
1. Dingin (cold)
- Disebut juga cryoterapi, berupa suatu substansi atau medium fisik
terhadap tubuh dengan tujuan mengeluarkan rasa panas,
menurunkan temperatur pada area kontak dan jaringan
sekitarnya.[150]
- Umumnya digunakan pada trauma akut, nyeri kronik ataupun
spasme otot.
- Penggunaan dingin/es untuk sebagai terapi terhadap proses inflamasi
akut atau jaringan yang rusak biasanya dilakukan berdasar protokol
RICE (Rest, Ice, Compresion, Elevation). Mendinginkan jaringan yang
luka dianggap akan menurunkan respon inflamasi yang nantinya akan
menurunkan rasa nyeri.[149]
- Mekanisme kerja:[149, 150]
o Menurunkan pelepasan histamin
o Mendorong vasokonstriksi
o Menurunkan aktivitas “muscle spindle”, jauh menurunkan proteksi
spasme otot, menurunkan rasa nyeri
NYERI 137
- Efek samping
Penggunaan es tidak boleh secara langsung ditempatkan pada area
jaringan yang rusak, es harus dibungkus sesuatu (misalnya kain)
karena penggunaan es secara langsung ke kulit akan menyebabkan
kerusakan pada kulit.
Selain itu penggunaan es harus dihindari pada kondisi tertentu
seperti misalnya Penyakit Raynaud, Paroxismal Cryglobuminemia dan
Cold haemoglobinuria.[149]
2. Panas
- Penggunaan panas telah lama digunakan untuk mengurangi rasa
nyeri, terutama digunakan sesudah respon inflamasi akut menurun.
- Mekanisme kerja panas menurunkan nyeri:[149, 150]
o Proses transduksi dari panas dimediasi oleh reseptor TRP
Vaniloid 1 dimana kanal-kanal ionnya diaktifasi oleh panas yang
noksius. Reseptor TRPV1 terdapat di neuron aferen primer,
medula spinalis dan otak. Aktifasi reseptor reseptor TRPV1 dalam
otak akan memodulasi jalur Nociceptive Descending
o Peningkatan temperatur jaringan akan menstimulasi vasodilatasi
dan peningkatan aliran darah ke jaringan yang dapat mendorong
peningkatan proses penyembuhan melalui suplai nutrien dan
oksigen ke area jaringan yang mengalami kerusakan atau gangguan
o Meningkatkan elastisitas jaringan konektif
o Relaksasi otot
- Indikasi
Kebanyakan penelitian mengenai TENS mempunyai kekuatan yang
lemah terutama bila berkaitan dengan pemakaian plasebo sebagai
pembanding. Terdapat bukti yang walaupun tidak kuat, menunjukan
bahwa TENS paling tidak dapat digunakan sebagai terapi tambahan
pada nyeri akut.[153]
NYERI 139
- Kontraindikasi
Elektroda tidak boleh diletakan di bagian anterior glotis, karena
stimulasi pada daerah tersebut berpotensi menghambat aliran
pernafasan, demikian juga stimulasi pada sinus karotis dapat
menyebabkan perubahan kardiovaskular
4. Akupuntur
Pengobatan cina mempunyai mekanisme yang kompleks untuk
menjabarkan suatu penyakit. Tujuan dari akupuntur adalah untuk
mengharmonisasi aliran Qi (chi) untuk memperbaiki keseimbangan
antara individu dan penyembuhan penyakit.[149]
Mekanisme kerja akupuntur tidak dapat sepenuhnya dimengerti
sampai saat ini. Pengobatan modern menjelaskan mekanisme
hilangnya nyeri pada pengobatan akupuntur adalah dengan
mengunakan konsep neuromodulasi.
Neuromodulasi adalah suatu interaksi yang kompleks dari sinyal-
sinyal elektrik dan neurotransmiter kimiawi yang pada akhirnya
mampu memodifikasi jaringan saraf. [154]
- Efikasi
Akupuntur memiliki level evidence yang tinggi berdasarkan review
sistematik pada beberapa nyeri berikut:
o Sakit kepala
o Osteoartritis genu
o Fibromyalgia
o Epikondilitis lateral
o Nyeri miofasial
o Nyeri kronik post operatif
5. Latihan
Latihan yang dilakukan sebagai tatalakasana nyeri non-farmakalogi
diantaranya adalah gerakan gerakan aktif – pasif dan ambulasi. Latihan
yang dilakukan secara rutin akan meningkatkan aliran darah,
mencegah kekakuan dan kontraktur otot dan menghilangkan rasa
nyeri.[155]
6. Pemijatan
Pijat merupakan manipulasi pada jaringan lunak dengan teknik yang
bervariasi (friksi, perkusi, vibrasi) untuk pemulihan. Pemijatan
dianggap mampu merelaksasikan pikiran dan otot dan meningkatkan
ambang nyeri. Reseptor reseptor perifer pada tubuh distimulasi oleh
pemijatan tersebut dan efektif menurunkan nyeri pada kasus kasus
tertentu misalnya lumbago walaupun pada umumnya hanya
memberikan efek singkat.[155]
Menurut 2 review sistemik tentang efikasi pemijatan pada nyeri
pinggang kronik dan akut, pemijatan tidak memberikan efek analgesia
yang signifikan.[157]
7. Hidroterapi (Balneotherapy)
Seringkali didefinisikan sebagai penggunaan air untuk pengobatan.
Efek dari hidroterapi berhubungan dengan efek mekanikal dan suhu.
Panas akan menstimulasi sistem imun, stimulasi sistem sirkulasi dan
digestif, meningkatkan aliran darah serta relaksasi otot yang akhirnya
dapat mengurangi rasa nyeri. Beberapa literatur menyebutkan
hidroterapi efektif diterapkan pada kasus nyeri pinggang dan lumbago
kronik.[155]
Cognitive-Behavioral Therapies
Cognitive Behavioral Therapies (CBT) merupakan suatu bagian dari
pendekatan multimodal pada tatalaksana nyeri yang tidak hanya
mempengaruhi derajat nyeri tetapi mampu menolong penderita untuk
NYERI 141
2. Pengalihan
Teknik ini digunakan untuk meningkatkan toleransi terhadap rasa
nyeri dan menurunkan sensitifitas terhadap nyeri tersebut. Metode
ini diantaranya menonton televisi, membaca buku dan mendengarkan
musik.[155]
3. Berdoa
Banyak penderita nyeri kronik mengunakan metode ini. Berdoa
ternyata mampu menurunkan derajat nyeri pada orang tua dengan
menurunkan depresi dan kecemasan yang disebabkan oleh nyeri
kronik tersebut.[155]
4. Yoga
Yoga dapat membuat relaksasi dengan menggunakan latihan
pernafasan dan meditasi dengan gerakan-gerakan yang lambat. Yoga
dianggap berguna dalam mengurangi nyeri muskuloskeletal dengan
menggunakan gerakan-gerakan untuk melonggarkan otot dan
meningkatkan kekuatannya. Beberapa penelitian menyebutkan latihan
yoga selama 16 minggu dapat menurunkan nyeri pada lumbago
kronik.[155]
5. Hipnosis
Hipnosis adalah suatu tahap perubahan kesadaran yang mirip dengan
keadaan tidur. Kondisi tersebut dapat tercapai apabila tubuh dalam
keadaan rileks dan fokus pada satu objek. Cara kerja hipnosis
142 TATALAKSANA NYERI
6. Bio-feedback
“Biological feedback” pada dasarnya adalah memberi masukan pada
pasien agar dapat merelaksasikan atau mengontrol fungsi fungsi
psikologisnya. Dengan terapi biofeedback tubuh dilatih agar dapat
mengatasi rasa sakit dan stres yang berlebih dengan cara merubah
perilaku dan perasaan. Teknik relaksasi ini dapat menggunakan
instrumen pemantauan untuk mengukur dan memberikan umpan
balik informasi tentang kondisi ketegangan otot, respon keringat dan
suhu kulit. Bio-feedback dapat digunakan untuk pengobatan
ketegangan otot, migren dan gangguan gerak.[155, 160]
Teknik Intervensi
The Medicare Payment Advisory Commission (MedPAC) menyatakan teknik
intervensi pada manajemen nyeri sebagai suatu prosedur yang bersifat
minimal invasif, seperti misalnya penempatan obat melalui jarum pada
target, ablasi pada target saraf dan beberapa teknik pembedahan seperti
misalnya disektomi dan implantasi dari pompa infus serta stimulator
medula spinalis (spinal cord stimulators).[161]
Area manajemen intervensi nyeri tidak hanya mengobati nyeri tetapi
juga sebagai metode mendiagnosa penyebab nyeri. Kedua tujuan
manajemen intervensi tersebut dapat dicapai melalui metode intevensi
seperti misalnya blok saraf, anestesi regional, injeksi kortikosteroid,
opiod intratekal, metode destruksi saraf (radiofrequency dan alkohol)
dan teknik stimulator saraf seperti misalnya spinal cord stimulation atau
pompa intratekal (intrathecal pump).
Prosedur intervensi diperkenalkan sebagai teknik baru tatalaksana
nyeri sejak 1960, dan dikembangkan diantaranya oleh John Bonica, tetapi
Steven Waldman menggunakan istilah prosedur intervensi pertama kali
pada tahun 1996 dan Prof Raj memulai pelatihan spesialis intervensi
nyeri ke seluruh dunia. Penggunaan tatalaksana nyeri kronik dengan
metode intervensi sangat tergantung pada prosedur apa yang digunakan
dan strategi langkah demi langkah berdasar “evidence based guidelines”.
Pendekatan algoritma pada manajemen intervensi nyeri pada tahap
awal didasari penggunaan metode yang sederhana, biaya rendah dan
prosedur yang minimal invasif dan berlanjut pada metode dengan biaya
lebih mahal dan lebih invasif. Umumnya prosedur intervensi diawali
dengan diagnostik dan terapeutik blok lalu berlanjut dengan metode
neurolisis, radiofrequency, prosedur intradiskal dan kemungkinan
pemakaian spinal cord stimulator (SCS).[162]
Berikut adalah beberapa metode manajemen intervensi nyeri
1. Neurolisis [162, 163]
Indikasi
Manajemen nyeri kronik, nyeri yang intraktabel, yang tidak
berespon terhadap modalitas lainnya
Pengobatan nyeri kanker pada pasien yang memiliki harapan
hidup kurang dari 1 tahun
Jenis Neurolisis/ Ablasi Denervasi kimia
Neurolisis Kimia [143, 163]
Teknik neurolisis ini memerlukan agen neurolitik yang mampu
merusak struktur saraf yang terlibat dalam proses persepsi nyeri
sehingga dapat memberikan efek analgesia yang lama.
Indikasi:
144 TATALAKSANA NYERI
Radiofrequency Ablasi
Radiofrequensi Ablasi seringkali juga disebut sebagai radiofrekuensi
denervasi atau rhizotomy, digunakan untuk penanganan rasa sakit
pada beberapa kasus nyeri kronik seperti trigeminal neuralgia, nyeri
punggung kronis, neuralgia pasca-herpetik, sindrom kompleks
regional nyeri, nyeri iskemik, servikobrakialgia, nyeri pasca-
torakotomi, neuralgia oksipital, dan nyeri radikular lumbal maupun
servikal.[165]
NYERI 145
Cryoneurolisis
Merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan kondisi dingin
yang ekstrim dalam upaya menghasilkan efek analgesia. Keuntungan
metode ini adalah tidak adanya kondisi neuritis atau formasi
neuroma, efek analgesia yang lebih lama dan efek samping yang
reversibel.[163]
Studi obervasional menunjukan metode tersebut efektif untuk
pasien dengan nyeri akibat sendi facet artropati lumbal, post
neuralgia thoracotomi atau nyeri akibat gangguan saraf tepi.[163]
Prosedur Operasi
Terdapat beberapa prosedur bedah saraf yang dilakukan dengan
menggunakan dasar neurolisis. Prinsip dasar prosedur bedah saraf
tersebut adalah menginterupsi jalur sensoris menuju otak atau di
dalam otak dan batang otak. Interupsi jalur saraf tersebut akan
menyebabkan perubahan pada transmisi atau persepsi nyeri.
Efektifitas teknik tersebut dalam upaya memberikan efek analgesia
bervariasi dan beberapa diantaranya disertai efek samping.
Prosedur bedah saraf tersebut diantaranya adalah neurorektomi
(kranial, perifer dan simpatektomi), Cordotomi dan
Talamotomi.[163]
2. Prosedur Blok
Blok saraf/ Ganglion
- Pleksus Celiac
Prosedur blok pleksus Celiac merupakan suntikan yang dilakukan
dengan menggunakan panduan fluoroskopi untuk mengurangi
nyeri abdomen yang disebabkan oleh kanker atau pankreatitis
kronis. Suntikan anestesi lokal digunakan untuk memblokade saraf
146 TATALAKSANA NYERI
- Blok Hipogastrik
Blok pada pleksus hipogastrik dengan menggunakan panduan
fluoroskopi digunakan untuk mengatasi nyeri pelvis. Nyeri pelvis
tersebut dapat disebabkan adanya gangguan atau penyakit pada
kolon, kandung kemih, uterus atau ovarium, prostat atau testis,
dan organ lain dalam pelvis. Prosedur ini juga dapat membantu
mengurangi nyeri pelvis dari endometriosis, sindroma pencernaan
terganggu, cedera radiasi dan kanker pelvis.[170]
4. Discogram
Merupakan sebuah prosedur intervensi nyeri dengan menggunakan
panduan flouroskopi dan kontras yang disuntikan ke dalam diskus
vertebralis. Metode ini dapat digunakan sebagai alat diagnosis apakah
diskus vertebralis tersebut merupakan generator nyeri yang sedang
diderita pasien melalui identifikasi adanya robekan atau abnormalitas
pada diskus vertebra. Walaupun tidak sering terjadi, namun
komplikasi dari pemeriksaan discogram yaitu infeksi, perdarahan dan
reaksi alergi terhadap medikasi dan kerusakan saraf.[176]
6. Implantable Pump
Metode ini dlakukan pada pasien-pasien “terminal illness” seperti
misalnya Kanker atau kondisi dimana pasien tidak dapat mentoleransi
efek samping dari obat-obat oral dengan dosis tinggi. Dengan metode
ini obat obat seperti opioid, clonidin, obat obat anestesi akan secara
NYERI 149
8. Caudal Neuroplasty
Fibrosis epidural dapat terjadi pasca-operasi spinal yang
mengakibatkan nyeri. Kaudal neuroplasti adalah metode dimana
kateter dimasukan pada lapisan epidural regio kaudal tulang belakang
150 TATALAKSANA NYERI
DAFTAR PUSTAKA
25. Fischer, M. and S. Mak, Sensitisation of Nociceptors – What are ion channels doing?
Open Pain J, 2010. 3: p. 82-96.
26. Cafferty, W., Peripheral mechanism. Core topics in pain, ed. A. Holdcroft and S.
Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press. 7-16.
27. Schaible, H., A. Ebersberger, and G. Natura, Update on peripheral mechanisms of
pain: beyond prostaglandins and cytokines. Arthritis Research and Therapy, 2011. 13:
p. 210-7.
28. White, F.A., S.K. Bhangoo, and R.J. Miller, Chemokines: integrators of pain and
inflammation. Nat Rev Drug Discov, 2005. 4: p. 834-44.
29. Liedtke, W.B. and S. Heller, TRP ion channel function in sensory transduction and
cellular signaling cascades. 2007, USA: CRC Press.
30. Carpenter, K. and A. Dickenson, Periperal and Central Sensitization. Core topics in
pain, ed. A. Holdcroft and S. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University
Press.
31. Johnson, E.E. and D.G. Lambert, Receptor Mechanism. Core topics in pain, ed. A.
Holdcroft and S. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
32. Fundytus, M.E., Glutamate receptors and nociception: implications for the drug
treatment of pain. CNS Drugs, 2001. 15(1): p. 29-58.
33. Bardoni, R., Role of Presynaptic Glutamate Receptors in Pain Transmission at the Spinal
Cord Level. Curr Neuropharmacol, 2013. 11(5): p. 477-83.
34. Hubbard, S.R. and M.T. Miller, Receptor tyrosine kinases: mechanisms of activation and
signalling. Curr Opin Cell Biol, 2007. 19(2): p. 117-23.
35. H.L. Pan, e.a., Modulation of Pain Transmission by G Protein-Coupled Receptors.
Pharmacol Ther, 2007. 117(1): p. 141-61.
36. Dib-Hajj, S.D., T.R. Cummins, and e.a. J.A. Black, Sodium channels in normal and
pathological pain. Annu Rev Neurosci, 2010. 33: p. 325-47.
37. Fukuoka, T., et al., Comparative study of the distribution of the alpha-subunits of
voltage-gated sodium channels in normal and axotomized rat dorsal root ganglion
neurons. J Comp Neurol, 2008. 510(2): p. 188-206.
38. Amir, R., et al., The role of sodium channel in chronic inflamatory and neuropathic pain.
J Pain, 2006. 7: p. 1-29.
39. Black, J.A., et al., Changes in the expression of tetrodotoxin-sensitive sodium channels
within dorsal root ganglia neurones in inflammatory pain. Pain, 2004. 108(3): p. 237-
47.
40. Tsantoulas, C. and S.B.M. Mahon, Opening paths to novel analgesics: the role of
potassium channels in chronic pain. Trends Neurosci 2014. 37(3): p. 146-58.
41. Bennet, D., Central mechanism. Core topics in pain,, ed. A. Holdcroft and S. Jaggar.
2005, Cambridge: Cambridge University Press.
42. Coe, C., Central mechanism. Pain management : from basics to clinical practice, ed.
J. Hughes. 2008, Philadelphia: Churchil Livington Elsevier.
43. Ness, T. and A. Randich, Substrates of spinal cord nociceptive processing. 4th ed.
Bonica’s management of pain, ed. S. Fishman, J. Ballantyne, and J. Rathme. 2010,
Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins.
44. Herrero, J., J. Laird, and J. Garcia, Wind-up of spinal cord neurones and pain sensation
progress. Neurology, 2000. 61: p. 169-203.
45. Li, J., D.A. Simone, and A. Larson, Windup leads to characteristics of central
sensitization. Pain, 1999. 79: p. 75-82.
46. Eide, P.K., Wind-up and the NMDA receptor complex from a clinical perspective.
European Journal of Pain, 2000. 4: p. 5-17.
47. Ji, R., et al., Central sensitization and LTP: do pain and memory are similar mechanism.
Neuroscience, 2003. 26: p. 696-705.
NYERI 153
48. Leppert, W., The Role of Corticosteroids in the Treatment of Pain in Cancer Patients.
Curr Pain Headache Rep, 2012. 16(4): p. 307-13.
49. Sandkühler, J., Understanding LTP in pain pathway. Mol Pain, 2007. 3: p. 9-17.
50. Lisman, J., R. Yasuda, and S. Raghavachari, Mechanisms of CaMKII action in long-term
potentiation. Nat Rev Neurosci, 2012. 13(3): p. 169-82.
51. Luscher, C. and R.C. Malenka, NMDA Receptor-Dependent Long-Term Potentiation
and Long-Term Depression (LTP/LTD). Cold Spring Harb Perspect Biol, 2012. 4(6): p.
a005710.
52. Grichnik, K.P. and F.M. Ferrante, The difference between acute and chronic pain. Mt
Sinai J Med, 1991. 58(3): p. 217-20.
53. Turk, D.C. and A. Okifuji, Pain terms and taxonomies of pain. 4th ed. Bonica’s
management of pain, ed. S. Fishman, J. Ballantyne, and J. Rathme. 2010, Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins.
54. Schug, A.S., et al., Acute management Scientific Ecidence. Australian and New
Zealand College of Anaesthetist, 2015: p. 1-13.
55. Merskey, H. and N. Bogug, Classification of Chronic Pain : description of Chronic pain
Syndrome and definitions of pain terms. International Association for the Study of
Pain. 2002, Seatle: Task Force on Taxonomy.
56. A.K. Knudsen, e.a., Classification of pain in cancer Patients a systematic literature
review. Palliative Medicine, 2009. 23: p. 295-308.
57. U. Wesselman, e.a., Emerging Therapies and Novel Approaches to Visceral pain. Drug
Discov Today Ther Strateg, 2009. 6(3): p. 89-95.
58. Cimmino, M.A., C. Ferrone, and M. Cutolo, Epidemiology of chronic musculoskeletal
pain. Best Pract Res Clin Rheumatol, 2011. 25(2): p. 173-83.
59. Nicholson, B., Differential diagnosis: nociceptive and neuropathic pain. Am J Manag
Care, 2006. 12(9): p. 256-62.
60. Macres, S., S. Richermer, and P. Duran. Understanding neuropathic pain. 2000;
Available from: http://www.spineuniverse.com/treatment/pain/
61. Larrea, L.G., The Pathophysiology of Neuropathic Pain: Critical Review of Models and
Mechanisms in Pain: Refresher Courses, 15th World Congress on Pain, ed. S.N.
Raja and C.L. Sommer. 2014, Washington: IASP Press.
62. Bridges, D., S. Thompson, and A.S. Ricel, Mechanisms of neuropathic pain. Br J
Anaesth, 2001. 87: p. 12-26.
63. M.Hanna, A. Holdcroft, and S.I. Jaggar, Neuropathic Pain. Core topics in pain, ed. A.
Holdcroft and S. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
64. Yaksh, T., Neuropathic Pain. Pain Medicine and Management, ed. M.S. Wallace and
P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
65. Cohen, S.P. and J. Mao, Neuropathic pain: mechanisms and their clinical implications.
BMJ, 2014. 348: p. f7656.
66. Wittich, C.M., et al., Musculoskeletal Injection. Mayo Clin Proc, 2009. 84(9): p. 831-
7.
67. Yaksh, T. and Q. Xu, A brief comparison of the pathophysiology of inflammatory versus
neuropathic pain. Curr Opin Anaesthesiol, 2011. 24(4): p. 400-7.
68. Rygh, L.J., et al., Cellular memory in spinal nociceptive circuity. Scand J of Psychol,
2002. 43: p. 153-9.
69. Treede, R.D., Pain and hyperalgesia, definition and theory. Handbook of clinical
neurology, ed. F. Cervero and T.S. Jensen. 2006, Edinburgh: Elsevier.
70. Campbell, J.N., Nerve lesions and the generation of pain. Muscle Nerve, 2001.
24(10): p. 1261-73.
71. Woolf, C.J., P. Shortland, and E. Coggeshall, Peripheral nerve injury triggers central
sprouting of myelinated afferents. Nature 1992. 355: p. 75-8.
154 NYERI
72. Hanakawa, T., Neural mechanisms underlying deafferentation pain: a hypothesis from a
neuroimaging perspective. J Orthop Sci, 2012. 17(3): p. 331-5.
73. Davar, G. and R.J. Maciewicz, Deafferentation pain syndromes. Neurol Clin, 1989. 7:
p. 289-304.
74. Canavero, S. and Bonicalzi, Central Pain Syndrome: Pathophysiology, Diagnosis and
Management. 1st ed. Lesions causing CP and Location. 2007: Cambridge
University Press
75. Hilliard, P.E., Functional Pain Syndromes: Presentation and Pathophysiology.
Anesthesiology, 2010. 112: p. 1298.
76. Baeyer, C.L. and G.D. Champion, Commentary Multiple Pains as Functional Pain
Syndromes. Journal of Pediatric Psychology 2010. 36(4): p. 433-7.
77. Fink, R., Pain assessment: the cornerstone to optimal pain management. Proc (Bayl
Univ Med Cent), 2000. 13(3): p. 236-9.
78. Powell, R.A., et al., Pain History and Pain Assessment. Guide to Pain Management in
Low-Resource Settings, ed. A. Kopf and N.B. Patel. 2010, Seatle: IASP.
79. Holdcroft, A., Pain History. Core topics in pain, ed. A. Holdcroft and S.I. Jaggar.
2005, Cambridge: Cambridge University Press.
80. H. Breivik, e.a., Assessment of pain. Br. J. Anaesth, 2008. 101(1): p. 17-24.
81. Haefeli, M. and A. Elfering, Pain assessment. Eur Spine J, 2006. 15(Suppl 1): p. S17–
S.
82. Jensen, M.P., Measurement of Pain. 4th ed. Bonica’s management of pain, ed. S.
Fishman, J. Ballantyne, and J. Rathme. 2010, Baltimore: Lippincott Williams and
Wilkins.
83. Hjermstad, M.J., Studies comparing Numerical Rating Scales, Verbal Rating Scales, and
Visual Analogue Scales for assessment of pain intensity in adults: a systematic literature
review. J Pain Symptom Manage, 2011. 41(6): p. 1073-93.
84. Kumar, S.P., Utilization of Brief Pain Inventory as an Assessment Tool for Pain in
Patients with Cancer: A Focused Review. Indian J Palliat Care, 2011. 17(2): p. 108-15.
85. Cruccu, G., et al., EFNS guidelines on neuropathic pain assessment. Eur J Neurol,
2004. 11: p. 153-62.
86. Blount, L.B. and Loiselle, Behavioural assessment of pediatric pain. Pain Res Manag,
2009. 14(1): p. 47-52.
87. Krabak, B.J. and S.J. Jarmain, History and Physical Examination. Pain Medicine and
Management, ed. M.S. Wallace and P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
88. Walker, W.C., D.X. Cifu, and e.a. M. Gardner, Functional assessment in patients with
chronic pain: Can physicians predict performance? Am J Phys Med Rehabil, 2001. 80:
p. 162.
89. Emril, D.R. and K.Y. Ho, Treatment of trigeminal neuralgia: role of radiofrequency
ablation. J Pain Res, 2010. 3: p. 249-54.
90. Jaggar, S.I. and A. Holdcroft, Principles of pain evaluation. Core topics in pain, ed. A.
Holdcroft and S.I. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
91. Parker, M.W. and K.J. Murphy, Radiologic Evaluation. Pain Medicine and
Management, ed. M.S. Wallace and P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
92. Rudin, N.J., Electromyography nerve conduction Studies. Pain Medicine and
Management, ed. M.S. Wallace and S. P.S. 2005, New York: Mc Graw Hill.
93. Berry, P.H., R.C. Chapman, and E.C. Covington, Pain : Current Understanding of
Assesmen. Management and Treatment. 2001: National Pharmaceutical Council.
94. Blondell, R.D., M. Azadfard, and A.M. Wisniewski, Pharmacologic Therapy for Acute
Pain. American Family Physician, 2013. 87: p. 766-71.
95. Pither, C., Overview of treatment of chronic pain. Core topics in pain, ed. A.
Holdcroft and S.I. Jaggar. 2005, Cambrige: Cambrige University Press.
NYERI 155
96. Lipman, A.G., Rational Pharmacotherapy. 4th ed. Bonica’s management of pain, ed.
S. Fishman, J. Ballantyne, and J. Rathme. 2010, Baltimore: Lippincott Williams and
Wilkins.
97. Murnion, B.P., Combination analgesics in adults. Aust Prescr, 2010. 33: p. 113-5.
98. Skoglund, L.A., Routes, formulations and drug combinations. Core topics in pain, ed.
A. Holdcroft and S. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
99. Shirodkar, S. Dosage Forms and Routes of Administration. Available from:
https://www.scribd.com/doc/22880389/Dosage-Forms-and-Routes-of-
Administration.
100. Prausbitz, M.R. and R. Langer, Transdermal drug delivery. Nat Biotechnol, 2008.
26(11): p. 1261-8.
101. Potenoy, R.K., et al., Oral transmucosal fentanyl citrate (OTFC) for the treatment of
breakthrough pain in cancer patients: a controlled dose titration study. Pain, 1999.
79(2-3): p. 303-12.
102. Momeni, M., M. Crucitti, and M.D. Kock, Patient-controlled analgesia in the
management of postoperative pain. Drugs, 2006. 66(18): p. 2321-37.
103. Patak, L.S., A.R. Tait, and L. Mirafzali, Patient Perspectives of Patient-Controlled
Analgesia (PCA) and Methods for Improving Pain Control and Patient Satisfaction. Reg
Anesth Pain Med, 2013. 38(4): p. 326-33.
104. Behera, K., G.D. Puri, and B. Ghai, Patient-controlled epidural analgesia with fentanyl
and bupivacaine provides better analgesia than intravenous morphine patient-controlled
analgesia for early thoracotomy pain. Journal of Post Graduate Medicine, 2008.
54(2): p. 84-90.
105. Shafer, A.L. and A.J. Donnelly, Management of postoperative pain by continuous
epidural infusion of analgesics. Clin Pharm, 1991. 10(10): p. 745-64.
106. Cousins, M.J., D.B. Carr, and T. Horlocker, Neural Blockade in Clinical nesthesia and
Pain Medicine. Br. J. Anaesth, 2010. 104(2): p. 270.
107. Vargas-Schaffer, G. and G.V. Schaffer, Is the WHO analgesic ladder still valid?Twenty-
four years of experience. Can Fam Physician, 2010. 56(6): p. 514-7.
108. Miguel, R., Interventional treatment of cancer pain: the fourth step in the world Health
Organization analgesic ladder? Cancer Control, 2000. 7(2): p. 149-56.
109. Lloyd, A., Non Steroid antiinflamatory drugs and Paracetamol. Pain management: from
basics to clinical practice, ed. J. Hughes. 2008, Philadelphia: Churcil Livington
Elsevier.
110. Green, G.A., Understanding NSAIDs: from aspirin to COX-2. Clin Cornerstone, 2001.
3(5): p. 50-60.
111. Cashman, J. and A. Holdcroft, Non Steroid Anti Inflamatory drug. Core topics in pain,
ed. A. Holdcroft and S. Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
112. Pountos, I., et al., Nonsteroidal anti-inflammatory drugs: prostaglandins, indications, and
side effects. International Journal of Interferon, Cytokine and Mediator Research,
2011. 3: p. 19-27.
113. Ong, C.K.S., et al., An Evidence-Based Update on Nonsteroidal Anti-Inflammatory
Drugs. Clin Med Res, 2007. 5(1): p. 19-34.
114. Pelletier, P.J., et al., Efficacy and safety of oral NSAIDs and analgesics in the
management of osteoarthritis: Evidence from real-life setting trials and surveys. Seminars
in Arthritis and Rheumatism, 2016. 45: p. 522-7.
115. Tulder, M.W.v., R.J. Scholten, and e.a. B.W. Koes, Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs for low back pain: a systematic review within the framework of the Cochrane
Collaboration Back Review Group. Spine 2000. 25(19): p. 2501-13.
116. Conaghan, P.G., A turbulent decade for NSAIDs: update on current concepts of
classification, epidemiology, comparative efficacy, and toxicity. Rheumatol Int, 2012.
32(6): p. 1491-502.
156 NYERI
117. Loes, M.W., Acetaminophen and Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. Pain Medicine
and Management, ed. M.S. Wallace and P.S. Staats. 2005, New York Mc Graw Hill.
118. Bawanendran, A. and A. Lipman, Nonsteroidal Anti Inflamatory Drugs and
Acetaminophen. 4th ed. Bonica’s management of pain, ed. S. Fishman, J. Ballantyne,
and J. Rathme. 2010, Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins.
119. Bellamy, N., Treating musculoskeletal disease with NSAIDs Practitioner's guide. Can
Fam Physician, 1996. 42: p. 482-6, 489-92.
120. Huang, E.S., et al., Long Term Use of Aspirin and the Risk of Gastrointestinal Bleeding.
Am J Med, 2011. 124(5): p. 426-33.
121. Ennis, Z.N., et al., Acetaminophen for Chronic Pain: A Systematic Review on Efficacy.
Basic Clin Pharmacol Toxicol, 2016. 118(3): p. 184-9.
122. Hasani, R.A.A. and M.R. Bruchas, Molecular Mechanisms of Opioid Receptor-
Dependent Signaling and Behavior. Anesthesiology, 2011. 115(6): p. 1363-81.
123. Rosenblum, A., et al., Opioids and the Treatment of Chronic Pain: Controversies,
Current Status, and Future Directions. Exp Clin Psychopharmacol, 2008. 16(5): p.
405-16.
124. Udhyakumar, G., Opioids. Pain management: from basics to clinical practice, ed. J.
Hughes. 2008, Philadelphia: Churcil Livington Elsevier.
125. Bromley, L., Opioids and codeine. Core topics in pain, ed. A. Holdcroft and S.
Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
126. Inturisi, C.E. and A.G. Lipma, Opioid Analgesics. 4th ed. Bonica’s management of
pain, ed. S. Fishman, J. Ballantyne, and J. Rathme. 2010, Baltimore: Lippincott
Williams and Wilkins.
127. Inturisi, C.E., Clinical Pharmacology of Opioids for Pain. The Clinical Journal of Pain,
2002. 18(4): p. 11.
128. Zimmer, G., Acute pain management. Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide, ed. J. Tintinalli, G. Kelen, and J. Stapczynski. 2004, New York:
McGraw-Hill.
129. Guay, D.R., Adjunctive agents in the management of chronic pain. Pharmacotherapy,
2005. 21(9): p. 1070-81.
130. Kapur, D., Adjuvant and miscellaneous drugs used in pain management. Pain
management: from basics to clinical practice, ed. J. Hughes. 2008, Philadelphia:
Churcil Livington Elsevier.
131. Stannard, C.F., Antidepressants, anticonvulsants, local anaesthetics, antiarrhythmics and
calcium channel antagonists. Core topics in pain, ed. A. Holdcroft and S. Jaggar.
2005, Cambridge: Cambridge University Press.
132. Lussier, D., A.G. Huskey, and R.K. Portenoy, Adjuvant Analgesics in Cancer Pain
Managemen. The Oncologist, 2004. 9: p. 571-91.
133. Backonja, M.M., Anticonvulsan Drugs. Pain Medicine and Management, ed. M.S.
Wallace and P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
134. Argoff, C.E., Botulinum Toxin Injections. Pain Medicine and Management, ed. M.S.
Wallace and P.S. Staats. 2005, New York Mc Graw Hill.
135. Vyvey, M., Steroids as pain relief adjuvants. Can Fam Physician, 2010. 56(12): p.
1295-7.
136. Goldberg, H., et al., Oral steroids for acute radiculopathy due to a herniated lumbar
disk: a randomized clinical trial. JAMA, 2015. 313(19): p. 1915-23.
137. Holve, R.L. and H. Barkan, Oral Steroids in Initial Treatment of Acute Sciatica. J Am
Board Fam Med, 2008. 21(5): p. 469-74.
138. Bagshaw, K.R., et al., Pain management via local anesthetics and responsive hydrogels.
Ther Deliv, 2015. 6(2): p. 165-76.
139. Scholz, A., Mechanisms of (local) anaesthetics on voltage-gated sodium and other ion
channels. Br J Anaesth, 2002. 89(1): p. 52-61.
NYERI 157
140. Kumar, A., Local Anesthetic other membrane stabilisers. Pain management: from
basics to clinical practice, ed. J. Hughes. 2008, Philadelphia: Churcil Livington
Elsevier.
141. Curatolo, M., Regional anesthesia in pain management. Curr Opin Anaesthesiol,
2016. 29(5): p. 614-9.
142. Capdevila, X., M. Ponrouch, and O. Choquet, Continuous peripheral nerve blocks in
clinical practice. Curr Opin Anaesthesiol, 2008. 21(5): p. 619-23.
143. Heavner, J.E., Drugs Used in Interventional Tehniques. 2nd ed. Interventional Pain
management : Image guided Procedure, ed. P.P. Raj. 2008, Philadelphia: Saunders
Elsevier.
144. Mercandett, M. and A.J. Cohen. Local Anesthesia With Sedation. 2015 Nov 04, 2015
[cited 2016; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1817607.
145. Golzari, S.E., et al., Lidocaine and Pain Management in the Emergency Department: A
Review Article. Anesth Pain Med, 2014. 4(1): p. e15444.
146. Jorge, L.L., C.C. Feres, and V.E.P. Teles, Topical preparations for pain relief: efficacy
and patient adherence. J Pain Res, 2011. 4: p. 11-24.
147. Stanos, S.P. and K.E. Galluzi, Topical Therapies in the Management of Chronic Pain.
Postgraduate Medicine 2013. 125: p. 25-33.
148. Galer, B.S. and A.R. Gammaitoni, Topical Agents. Pain Medicine and Management,
ed. M.S. Wallace and P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
149. Dodds, A., Non Pharmacological Interventions. Pain management: from basics to
clinical practice, ed. J. Hughes. 2008, Philadelphia: Churcil Livington Elsevier.
150. Malanga, G.A., N. Yan, and J. Stark, Mechanisms and efficacy of heat and cold
therapies for musculoskeletal Injury. Postgrad Med,Early Online, 2015: p. 1-9.
151. Garra, G., A.J. Singer, and R.L.e. al., Heat or cold packs for neck and back strain: a
randomized controlled trial of efficacy. Acad Emerg Med, 2010. 17(5): p. 484-9.
152. DeSantana, J.M., et al., Effectiveness of Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation for
Treatment of Hyperalgesia and Pain. Curr Rheumatol Rep, 2008. 10(6): p. 492-9.
153. Pak, S.C., et al., Nonpharmacological Interventions for Pain Management in
Paramedicine and the Emergency Setting. A Review of the Literature. Evidence-
Based Complementary and Alternative Medicine, 2015. 873039: p. 1-8.
154. Leung, A.Y., Acupuncture. Pain Medicine and Management, ed. M.S. Wallace and
P.S. Staats. 2005, New York: Mc Graw Hill.
155. Demir, Y., Non-Pharmacological Therapies in Pain Management. Pain Management -
Current Issues and Opinions, ed. G. Racz. 2012, Rijeka: InTech.
156. Filshie, J. and R. Zarnegar, Acupuncture. Core topics in pain, ed. A. Holdcroft and S.
Jaggar. 2005, Cambridge: Cambridge University Press.
157. Chou, R. and L.H. Huffman, Nonpharmacologic therapies for acute and chronic low
back pain: a review of the evidence for an American Pain Society/American College of
Physicians clinical practice guideline. Ann Intern Med, 2007. 147(7): p. 492-504.
158. D.M. Ehde, T.M. Dillworth, and J.A. Turner, Cognitive-behavioral therapy for
individuals with chronic pain: efficacy, innovations, and directions for research. Am
Psychol, 2014. 69(2): p. 153-66.
159. Elkins, G., M.P. Jensen, and D.R. Patterson, Hypnotherapy for the Management of
Chronic Pain. Int J Clin Exp Hypn, 2007. 55(3): p. 275-87.
160. Chang, K.L., et al., Chronic pain management: non pharmacological therapies for
chronic pain. FP Essent, 2015. 432: p. 21-6.
161. Manchikant, L., et al., Recommendations of the Medicare Payment Advisory Commission
(MEDPAC) on the Health Care Delivery System: the impact on interventional pain
management in 2014 and beyond. Pain Physician, 2013. 16(5): p. 419-40.
162. Manchikanti, L., V. Singh, and e.a. D. Kloth, Interventional techniques in the
management of chronic pain. Pain Physician, 2001. 4: p. 24-96.
158 NYERI
163. Rowe, D.S. Neurolytic Techniques For Pain Management. 1998 Oct 1998; Available
from: http://www.coccyx.org/medabs/rowe.htm.
164. Weksler, N., et al., Phenol neurolysis for severe chronic nonmalignant pain: is the old
also obsolete? Pain Med, 2007. 8(4): p. 332-7.
165. Zundert, J.V., M. Sluijter, and M.v. Kleef, Thermal and Pulsed Radiofrequency.
Interventional Pain manajemen Image Guided Procedures, ed. P.P. Raj. 2008,
Philadelphia: Sauders Elsevier.
166. Koning, H.M. and D.P. Mackie, Percutaneous radiofrequency facet denervation in low
back pain. The Pain Clinic, 1994. 7(3): p. 199-204.
167. Nitscke, A.M. and C.E. Ray, Percutaneous Neurolytic Celiac Plexus Block. Semin
Intervent Radiol, 2013. 30(3): p. 318-32.
168. Chambers, W.A., Nerve blocks in palliative care. Br. J. Anaesth, 2008. 101(1): p. 95-
100.
169. Toshniwal, G.R., G.P. Dureja, and S.M. Prashanth, Transsacrococcygeal approach to
ganglion impar block for management of chronic perineal pain: a prospective
observational study. Pain Physician, 2007. 10(5): p. 661-6.
170. Schmidt, A.P., S.T. Schmidt, and S.M. Ribeiro, Is Superior hypogastric plexus block
effective for treatment of chronic pelvic pain ? Res Bras anestesiol 2005. 55(6): p. 55-
68.
171. Kopaz, D.J. and G.E. Thompson, Intercostal nerve Block 2nd ed. Interventional Pain
management, ed. S.D. Waldman. 2001, Philadelphia: Saunders.
172. Saracco, M.G., et al., Greater Occipital Nerve Block in Chronic Migrain. Neural Sci,
2010. 31: p. 179-80.
173. Bogduk, N., Diagnostic nerve blocks in chronic pain. Pain Best Practice and Research
Compendium ed. H. Breivik and M. Shipley. 2007, London: Elsevier.
174. Yucel, I., Y. Demiraran, and E. Degirmenci, Complex regional pain syndrome type I:
efficacy of stellate ganglion blockade. Journal of Orthopaedic and Traumatology.
10(4): p. 179-83.
175. Elias, M., Cervical sympathetic and stellate ganglion blocks. Pain Physician, 2000.
3(294-304).
176. Neal, J. and J.P. Rathmell, Complication in Regional Anesthesia. Tech RegAnesth Pain
Med, 2007. 11(3): p. 157-63.
177. Barolat, G., B. Ketcik, and J. He, Long-term outcome of spinal cord stimulation for
chronic pain management. Neuromodulation, 1998. 1: p. 19-29.
178. Maron, J. and J.D. Loeser, Spinal opioid infusion in treatment of chronic pain of non-
malignant origin. Clin J Pain, 1996. 12: p. 174-9.
179. McCall, T., C. Cole, and A. Dailey, Vertebroplasty and kypoplasty : a comparative
review review of efficacy and adverse events. Current Reviews in Musculosceletal
medicine 2008. 1(1): p. 17-23.
180. Jo, D.H., Neuroplasty. The Korean Journal of Pain, 2012. 25(2): p. 73-4.
181. Racz, G.B., J.E. Heavner, and A. Trescot, A Percutaneous lysis of Epidural Adhesions
Evidence for Safety and efficacy. Pain Pract 2008. 8: p. 277-86.
182. Assietti, R., et al., Treatment of discogenic low back apin with intradiscal Electrothermal
therapy (IDET) : 24 months follow up in 50 consecutive patients. Acta Neurochir
Suppl., 2011. 108: p. 103-5.
BIODATA PENULIS
Dr. dr. Yusak Mangara Tua Siahaan,
Sp.S, FIPP, CIPS lahir di Cirebon, 20
November 1967. Dokter lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta ini
mengawali tugas pertamanya pada tahun 1994
di Puskesmas Nanga Jelak, Nanga Mau dan
Menukung, Kalimantan Barat selama tiga
tahun.
Ketertarikan di bidang saraf mendorongnya untuk melanjutkan
pendidikan Spesialis Saraf pada tahun 1998 di Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang. Setelah mendapatkan gelarnya,
beliau meniti karir sebagai Dokter Spesialis Saraf di Siloam
Hospitals Lippo Village, Tangerang. Selama bekerja, beliau juga
mengabdikan diri di bidang pendidikan sebagai pengajar di Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan dan dipercayai menjabat
sebagai Kepala Departemen Neurologi hingga saat ini.