Anda di halaman 1dari 35

Laporan Pendahuluan

Halusinasi
A. MASALAH UTAMA

Bicara sendiri (Ganguan persepsi sensori : Halusinasi Pendengaran)


B. PROSES TERJADINYA MASALAH
a) Definisi
Menurut Stuart, Keliat, dan Pasaribu (2016) halusinasi merupakan distrosi persepsi
yang tidak nyata dan terjadi pada respons neurobiologis maladaptive.
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,
artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang tidak nyata tanpa stimulus/rangsangan dari
luar (Stuart, 2007).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh
klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang berbicara.

b) Jenis Halusinasi
1. Pendengaran / Suara
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara
sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon
terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007). Klien halusinasi ini biasanya bicara
atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu,
menutup telinga.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
3. Pencuiman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan
yang tidak menyenangkan. Halusinasi ini sering akibat stroke, tumor, kejang, atau
dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses. Pasien halusinasi ini biasanya
sering meludah dan muntah.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain. Pasien halusinasi ini biasanya
menggaruk-garuk permukaan kulit.
6. Chenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau
pembentukan urine.
7. Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

c) Etiologi Halusinasi
1. Faktor Predisposisi Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan
halusinasi adalah:
a Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatanotak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).
d Faktor Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju
alam hayal.
e Faktor Genetik dan Pola Asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang
diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c Sumber koping Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

d) Tanda dan Gejala


Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
b. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
c. Cepat berubah pikiran
d. Tidak mampu atau kurang konsentrasi
e. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba lambat
f. Respon tidak sesuai
g. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari orang ain
h. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata
i. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
j. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
k. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya) dan takut
l. Sulit berhubungan dengan orang lain
m. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
n. Tidak mampu mengikuti perintah
o. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.
Tanda menurut (SDKI,2017)
a Mayor :
Subjektif :
 Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
 Merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, penglihatan atau
pengecapan
Objektif :
 Distorsi sensori
 Respons tidak sesuai
 Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba atau mencium
sesuatu
b Minor:
Subjektif :
 Menyatakan kesal
Objektif :
 Menyendiri
 Melamun
 Konsentrasi buruk
 Disorientasi waktu,tempat, orang atau situasi
 Curiga
 Melihat ke satu arah
 Mondar mandir
 Bicara sendiri
e) Rentang Respon
Rentang Respon Neurobiologis menurut Stuart dan Laria, 2001:

Keterangan Gambar:
a. Respon adaptif  adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budayayang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. 
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. 
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyatan. 
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman
ahli
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
b. Respon psikososial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan. 
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapanyang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
c. Respon maladaptif 
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun
responmaladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankanwalaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataansosial.  
2) Halusinasi merupakan definisian persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternalyang tidak realita atau tidak ada. 
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.

f) Fase – Fase Halusinasi


Fase Halusinasi Karakteristik Perilaku Klien
Fase I: Comforting Klien mengalami ansietas,  Tersenyum, tertawa yang
Ansietas sedang kesepian, rasa bersalah dan tidak sesuai
Halusinasi- takut, mencoba untuk  Menggerakkan bibir tanpa
Menyenangkan berfokus pada pikiran yang suara
“Menyenangkan” menyenangkan untuk  Pergerakan mata yang cepat
meredakan Ansietas.  Respon verbal yang lambat
Individu mengenali bahwa  Diam, dipenuhi rasa yang
pikiran dan pengalaman mengasyikkan
sensori dalam kendali
kesadaran jika ansietas dapat
ditangani (non psikotik)
Fase II: Condemning Pengalaman sensori  Meningkatkan tanda-tanda
Ansietas berat menjijikan dan menakutkan sistem saraf otonom akibat
Halusinasi menjadi klien lepas kendali dan ansietas (Nadi, RR, TD)
menjijikkan. mungkin mencoba untuk meningkat
“Menyalahkan” mengambil jarak dirinya  Penyempitan kemampuan
dengan sumber yang untuk konsentrasi
dipersepsikan. Klien  Asyik dengan pengalaman
mungkin mengalami sensori dan kehilangan
dipermalukan oleh kemampuan membedakan
pengalaman sensori dan halusinasi dan realita
menarik diri dari orang lain.
Psikotik Ringan.
Fase III: Controlling Klien berhenti atau  Lebih cenderung mengikuti
Ansietas berat menghentikan perlawanan petunjuk halusinasinya
Pengalaman sensori terhadap halusinasi dan  Kesulitan berhubungan
menjadi berkuasa menyerah pada halusinasi dengan orang lain
“Mengendalikan” tersebut. Isi halusinasi  Rentang perhatian hanya
menjadi menarik,klien dalam beberapa menit atau
mungkin mengalami detik
pengalaman kesepian jika  Gejala fisik Ansietas berat,
sensori halusinasi berhenti. berkeringat, tremor, tidak
Psikotik. mampu mengikuti petunjuk
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi  Perilaku teror akibat panik
panik umumnya mengancam jika klien  Potensial suicide atau
menjadi melebur mengikuti perintah homocide
dalam halusinasinya. halusinasi. Halusinasi berahir  Aktivitas fisik merefleksikan
dari beberapa jam atau hari isi halusinasi seperti
jika tidak ada intervensi kekerasan, agitasi, menarik
terapiutik. Psikotik Berat. diri, katatonia
 Tidak mampu merespon
terhadap perintah yang
kompleks
 Tidak mampu merespon > 1
orang

g) Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif Stuart, (2007) :
1. Regresi berhubungan dengan masalh proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari-hari.
2. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3. Menarik diri

h) Penatalaksanaan
Penatalaksanaa medis pada pasien halusinasi dibagi menjadi dua :
1. Terapi Farmakologi
1) Haloperidol (HLP)
a) Klasifikasi : antipsikoik, neuroleptik, butirofenon.
b) Indikasi : Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut, pengendalian hiperaktivitas
dan masalah perilaku berat pada anak-anak.
c) Mekanisme kerja
Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat belum dipahami sepenuhnya, tampak
menekan susunan saraf pusat pada pusat subkortikal formasi retricular otak,
mesenfalon dan batang otak.
d) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini pasien depresi susunan saraf dan sumsum
tulang, kerusakan otak subkortikal, penyakit Parkinson dan anak dibawah usia 3
tahun.
e) Efek samping
Sedasi, sakit kepala, kejang insomnia, pusing, mulut kering dan anoreksia.
2) Clorpromazin
a) Klasifikasi sebagai antipsikotik, antiemetic
b) Indikasi
Penanganan gangguan psikotik seperti skizofrenia, fase mania pada gangguan
bipolar, gangguan skizoaktif, ansietas dan agitasi, anak hiperaktif yang
menunjukkan aktivitas motoric yang berlebihan.
c) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja antipsikotik yang tepat belum dipahami sepenuhnya, namun
berhubungan dengan efek antidoparminergik. Antipsikotik dapat menyekat
reseptor dipamine postsinap pada ganglia basal, hipotalamus, system limbic,
batang otak dan medulla.
d) Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien koma atau depresi
sumsum tulang, penyakit Parkinson, insufiensi hati, ginjal dan jantung, anak usia
dibawah 6 bulan dan wanita selama kehamilan dan laktasi.
e) Efek Samping
Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, hipotensi, hipertensi, mual muntah
dan mulut kering.
3) Trihexyphenidil (THP)
a) Klasifikasi antiparkison
b) Indikasi
Segala penyakit parkison, gejala ekstra pyramidal berkaitan dengan obat
antiparkison.
c) Mekanisme Kerja Mengoreksi ketidakseimbangan defisiensi dopamine dan
kelebihan asetilkolin dalam korpus striatum, asetilkolin disekat oleh sinaps untuk
mengurangi efek kolinergik berlebihan.
d) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini, glaucoma sudut tertutup, hipertropi prostat
pada anak dibawah umur 3 tahun.
e) Efek Samping
Mengantuk, pusing, disorientasi, hipotensi, mulut kering ,mual dan muntah

2. Terapi Non Farmakologi


1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok yang sesuai dengan Gangguan Presepsi Sensori :
Halusinasi adalah TAK stimulasi presepsi
2) Elektro Convulsif Therapy (ECT)
Merupakan pengobatan secara fisik menggunakan arus listrik dengan menggunakan
kekuatan 75-100 volt, cara kerja belum diketahu secara jelas namun dapat dikatakan
terapi ini dapat memperpendek lamanya serangan skizofrenia dan dapat
mempermudah kontak dengan orang lain.
3) Pengekangan atau pengikatan
Pengembangan fisik menggunakan pengekangan mekanik seperti manset untuk
pergelangan tangan dan pergelangan kaki, pengekangan dimana pasien dapat
dimobilisasi dengan membalutnya, cara ini dilakukan pada pasien halusinasi yang
mulai menunjukkan perilaku kekerasan diantaranya: marah-marah atau mengamuk.

C. Pohon Masalah
(Akibat) Resiko Perilaku Kekerasan

(Core Problem)
Gangguan Persepsi Sensori :Halusinasi

Isolasi Sosial
(Penyebab)
(Sumber : Nurhalimah, 2016)

D. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Isolasi Sosial
Data Subjektif :
a.) Merasa asyik dengan pikiran sendiri
b.) Merasa ingin sendirian
c.) Merasa tidak aman berada ditempat umum
d.) Merasa berbeda dengan orang lain
e.) Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
Data Objektif :
a.) Menarik diri
b.) Tidak berminat/ berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan
c.) Tidak ada kontak mata
2. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Data subjektif :
a.) Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
b.) Merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, perabaan, atau
pengucapan.
c.) Menyatakan kesal
Data objektif :
a.) Distorsi sensori
b.) Respon tidak sesuai
c.) Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu.
d.) Menyendiri
e.) Melamun
f.) Konsentrasi buruk
g.) Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi
h.) Curiga
i.) Melihat ke satu arah
j.) Mondar-mandir
k.) Bicara sendiri
3. Perilaku kekerasan
Data subjektif :
a.) Mengancam
b.) Mengumpat dengan kata-kata kasar
c.) Suara keras
d.) Bicara ketus
Data Objektif :
a.) Menyerang orang lain
b.) Melukai diri sendiri/orang lain
c.) Merusak lingkungan
d.) Perilaku agresif/amuk
e.) Mata melotot atau pandangan tajam
f.) Tangan mengepal
g.) Rahang mengatup
h.) Wajah memerah
i.) Postur tubuh kaku

E. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi Sosial
2. Halusinasi
3. Perilaku kekerasan
F. Rencana Tindakan Keperawatan

Perencanaan.
Diagnosa
Keperawatan. Tujuan Kriteria Hasil Tindakan keperawatan.

Gangguan Persepsi Tujuan Umum : klien Setelah dilakukan Bina hubungan saling
Sensori : dapat mengenali, 1x pertemuan, percaya dengan cara :
Halusinasi mengontrol, klien dapat a Sapa klien dengan sopan,
pendengaran. memutuskan berinteraksi dan ramah baik secara verbal
halusinasinya. berkomunikasi maupun non verbal.
dengan perawat. b Perkenalkan diri dengan
Tujuan Khusus : Evaluasi : klien sopan.
TUK 1 : klien dapat masih belum bisa c Tanyakan nama klien dan
membina hubungan diajak nama panggilan klien
saling percaya dengan berinteraksi. yang di sukai.
perawat. d Jelaskan tujuan dilakukan
kontak atau pertemuan
dengan klien.
e Bersikap jujur dan
menepati janji.
f Perhatikan kebutuhan
dasar klien.
TUK 2 : klien dapat Setelah a. Adakan kontak sering
mengenal Dilakukan 1x dan singkat dengan
halusinasinya interaksi, klien klien.
dapat mengerti b. Observasi perilaku yang
jelas waktu, isi, berhubungan dengan
frekuensi, situasi halusinasi.
dan kondisi yang c. Menerima halusinasi
menimbulkan sebagai hal yang nyata
halusinasi. bagi klien dan tidak
nyata bagi perawat.
d. Identifikasi bersama
klien waktu munculnya,
isi, dan frekuensi
halusinasi.
e. Diskusikan dengan klien
mengenai perasaannya
TUK 3 : klien dapat Setelah a. Identifikasi bersama klien
mengendalikan Dilakukan 1x tindakan yang bisa
halusinasinya. interaksi, klien dilakukan bila halusinasi
dapat terjadi.
menyebutkan b. Bersama klien
tindakan yang merencanakan kegiatan
bisa mengendali- sehari – hari untuk
kan/mengatsi mencegah terjadinya
haluasinasinya. halusinasi.
c. Dorong klien untuk
memilih cara yang akan
digunakan dalam
mengendalikan
halusinasi.
d. Dorong klien untuk
melakukan tindakan
sesuai dengan cara yang
telah dipilih klien untuk
mengendalikan
halusinasi.
e. Diskusikan dengan klien
hasil upaya yang telah
dilakukan.
TUK 4 : klien dapat Setelah dilakukan a Diskusikan dengan klien
mengkonsumsi obat 1x Interaksi klien dan keluarga tentang obat
untuk mengendalikan menyebutkan yang akan dikonsumsi
halusinasinya. manfaat dan untuk mengendalikan
kerugian minum halusinasinya.
obat. b. Bantu klien untuk minum
obat karena sudah sesuai
dengan anjuran dokter.
c. Observasi tanda dan
gejala akibat efek
samping obat.
d. Bantu klien menggunakan
obat sesuai 5 prinsip
(benar obat, benar dosis,
benar
e. klien, benar pemberian,
dan benar waktu)
TUK 5 : klien Setelah a. BHSP dengan keluarga.
mendapat dukungan dilakukan 1x b. Berikan keluarga
keluarga untuk interaksi keluarga pengetahuan tentang
mengendalikan setuju untuk pengertian halusinasi,
halusinasinya. mendukung klien tanda dan gejala
untuk mengendali halusinasi, penyebab
kan halusinasinya halusinasi, dll)
c. Diskusikan dengan
keluarga tentang cara
merawat klien jika sudah
pulang kerumah
REFERENSI

Azizah, Lilik Ma’rifatul, dkk. 2016. Teori dan Aplikasi Praktik Klinik— Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi Pertama. Yogyakarta : Indomedia Pustaka.
Eko, Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Stuart, G.W. 2007. Buku saku keperawatan jiwa (edisi 5). Alih Bahasa: Kapoh, P. Ramona &
Yudha, E.K. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Yusuf, Ah., dkk.. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. MASALAH UTAMA
Perilaku Kekerasan pasien dengan gangguan jiwa habis bertengkar dengan temannya
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
a.) Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah
tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat
perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah
(Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua
bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekrasan atau riwayat perilaku
kekerasan (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat
membahayakan klien sendiri, lingkungan trmasuk orang lain dan barang-
barang (Fitria, 2010).
b.) Patopsikologi
Konsep Marah (Beck, Rawlins,Willims, 1986:447 dikutip oleh Keliat dan Sinaga, 1999:8)

 Proses Terjadinya Amuk


Amuk merupakan respon kemarahan yang paling maladaptif
yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991). Amuk adalah respon marah
terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah,
putus asa, dan ketidakberdayaan.
Respon marah dapat diekpresikan secara internal atau eksternal.
Secara internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak
diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif
agresif. Respon marah dapat diungkapkanmelalui tiga cara yaitu :
1. Mengungkapkan secara verbal
2. Menekan
3. Menantang

Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif


dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima
tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada
individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku
agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat.
Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat
menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.

Dalam sebuah penelitian Perilaku Kekerasan juga dikaitkan


dengan Halusinasi karena didapatkan hasil adanya hubungan antara
pasien halusinasi pendengaran terhadap resiko perilaku kekerasan
dimana pasien yang mengalami halusinasi pendengaran maka akan
rentan untuk melakukan perilaku kekerasan. Kondisi emosional
atau perilaku kekerasan pasien dipengaruhi oleh kemampuan pasien
dalam mengontrol halusinasinya. Halusinasi bersifat menaklukan.
Halusinasi menjadi lebih rumit dan klien akan mengalami ganguan
dalam menilai lingkungannya. Pengalaman sensorinya menjadi
terganggu halusinasi berubah mengancam, memerintah, memarahi
dan menakutkan apabila tidak emngikuti perintahnya sehingga
klien mulai terasa mengancam.

c.) Etiologi
A. Predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku
kekerasan adalah :
1) Teori Biologis
a) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan rspon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara
perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak
dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus
frontal dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan. (Nuraenah,
2012: 29).
b) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe
karyotype XXYY, pada umunya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak
kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
c) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada jam
sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja
ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah
bersifat agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
d) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya
epineprin, norepenieprin, dopamin, dan serotonim sangat berperan dalam
penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila
ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau
membahayakan akan dihantarkan melalui serabut efferent. Peningkatan
hormon endrogen dan norepineprin serta penurunan serotonim dan GABA
(Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100).
e) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak, tumor
otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindakan kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100).
2) Teori psikologis
a) Teori Psikoanalis
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih
sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang yang rendah.
Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri
perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101).
b) Imitation, modelling and information processing theory Menurut teori
ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru
dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru
perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan
untuk menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif
( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan
tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka
tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah).
Setelah anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing
anak berperilaku sesuai dengan perilaku yang pernah dilihatnya
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
c) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat
marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

B. Presipitasi
Yosep (2011) faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekrasanseringkali berkaitan dengan :
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sbuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2. Ekpresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melakukan kekerasan dalam menyelsaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
 Penyebab lain menurut SDKI (2018)
1) Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2) Stimulus lingkungan
3) Konflik interpersonal
4) Perubahan status mental
5) Putus obat
6) Penyalahgunaan zat/alkohol

C. RENTANG RESPON
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif PK

Klien Klien gagal Klien Klien Perasaan


mampu mencapai merasa mengekspr marah dan
mengungka tujuan tidak dapat esikan bermusuhan
pkan rasa kepuasan saat mengungk secara yang kuat
marah tanpa marah dan apkan fisik, tapi dan hilang
menyalahka tidak dapat perasaanya masih kontrol
n orang lain menemukan , tidak terkontrol, disertai
dan alternatifnya berdaya mendoron amuk,
memberikan dan g orang merusak
kelegaan. menyerah. lain lingkungan.
dengan
ancaman.
Gambar Rentang Respon Marah
1) Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96) :
a.) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b.) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c.) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman.
d.) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
e.) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
2) Respon maladaptif
a.) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
b.) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
c.) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari
hati
d.) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

D. TANDA DAN GEJALA


Menurut (SDKI, 2018)
Mayor :
a.) Subjektif
1. Mengancam
2. Mengumpat dengan kata-kata kasar
3. Suara keras
4. Bicara ketus
b.) Objektif
1. Menyerang orang lain
2. Melukai diri sendiri/orang lain
3. Merusak lingkungan
4. Perilaku agresif/amuk
Minor :
a.) Objektif
1. Mata melotot atau pandangan tajam
2. Tangan mengepal
3. Rahang mengatup
4. Wajah memerah
5. Postur tubuh kaku

Perilaku dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala


perilaku kekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
a.) Muka merah dan tegang
b.) Mata melotot atau pandangan tajam
c.) Tangan mengepal
d.) Rahang mengatup
e.) Wajah memerah dan tegang
f.) Postur tubuh kaku
g.) Pandangan tajam
h.) Jalan mondar mandir
Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika
Sari, 2015: 138):
a.) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
b.) Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
c.) Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d.) Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar,
rasa tercekik dan bingung
e.) Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
f.) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

E. AKIBAT
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai
tinggi, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan.
a.) Memperlihatkan permusuhan
b.) Mendekati orang lain dengan ancaman
c.) Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
d.) Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
e.) Mempunyai rencana untuk melukai

F. MEKANISME KOPING
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a.) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas
adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
b.) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
c.) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
d.) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
e.) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).

G. PENATALAKSANAAN
a.) Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif
rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan
anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
b.) Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi
ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
c.) Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier)
sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
d.) Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi
adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
e.) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).

H. POHON MASALAH

Resiko Mencederai diri


sendiri dan orang lain Effect

Perilaku Kekerasan Core Problem

Halusinasi
Causa

I. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Perilaku kekerasan
Data subjektif :
e.) Mengancam
f.) Mengumpat dengan kata-kata kasar
g.) Suara keras
h.) Bicara ketus
Data Objektif :
j.) Menyerang orang lain
k.) Melukai diri sendiri/orang lain
l.) Merusak lingkungan
m.) Perilaku agresif/amuk
n.) Mata melotot atau pandangan tajam
o.) Tangan mengepal
p.) Rahang mengatup
q.) Wajah memerah
r.) Postur tubuh kaku
2. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Faktor resiko :
a.) Pemikiran waham/delusi
b.) Curiga pada orang lain
c.) Halusinasi
d.) Berencana bunuh diri
e.) Disfungsi sistem keluarga
f.) Kerusakan kognitif
g.) Disorientasi atau konfusi
h.) Kerusakan kontrol impuls
i.) Persepsi pada lingkungan tidak akurat
j.) Alam perasaan depresi
k.) Riwayat kekerasan pada hewan
l.) Kelainan neurologis
m.) Lingkungan tidak teratur
n.) Penganiayaan atau pengabaian anak
o.) Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain
atau destruksi properti orang lain
p.) Implusif
q.) Ilusi
3. Halusinasi
Data subjektif :
d.) Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
e.) Merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, perabaan,
atau pengucapan.

Data objektif :

l.) Distorsi sensori


m.) Respon tidak sesuai
n.) Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau
mencium sesuatu.
o.) Menyendiri
p.) Melamun
q.) Konsentrasi buruk
r.) Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi
s.) Curiga
t.) Melihat ke satu arah
u.) Mondar-mandir
v.) Bicara sendiri
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perilaku kekerasan
2. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan
3. Halusinasi

K. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

TUJUAN INTERVENSI
Tujuan Umum :
Klien tidak mencederai diri sendiri
SP 1 Membina hubungan saling Bina hubungan saling percaya
percaya, identifikasi penyebab a. Mengucapkan salam
perasaan marah, tanda dan gejala Terapeutik
yang dirasakan, perilaku b. Berjabat tangan
kekerasan yang dilakukan, c. Menjelaskan tujuan interaksi
akibatnya serta cara mengontrol d. Membuat kontrak topik,waktu
fisik dan tempat setiap kali bertemu
TUK : pasien
1. Klien dapat membina
hubungan saling percaya

Kriteria Hasil :
1.1 Klien mau membalas
salam
1.2 Klien mau berjabat tangan
1.3 Klien mau menyebutkan
nama
1.4 Klien mau kontak mata
1.5 Klien mau mengetahui
nama perawat
1.6 Klien mau menyediakan
waktu untuk kontak

2. Klien dapat Diskusikan bersama pasien


mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan saat
penyebab perilaku ini dan masa lalu
kekerasan
Kriteria Hasil :
2.1 Klien dapat
mengungkapkan
perasaanya
2.2 Klien dapat
mengungkapkan penyebab
perasaan jengkel/kesal
3. Klien dapat Diskusikan perasaan pasien jika
mengidentifikasi tanda terjadi penyebab perilaku
dan gejala perilaku kekerasan
kekerasan 1) Diskusikan tanda dan gejala
Kriteria Hasil : perilaku kekerasan secara fisik
3.1 Klien dapat 2) Diskusikan tanda dan gejala
mengungkapkan perilaku kekerasan secara
perasaanya psikologis
3.2 Klien dapat menyimpulkan 3) Diskusikan tanda dan gejala
tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
jengkel/kesal yang sosial
dialaminya 4) Diskusikan tanda dan gejala
perilaku kekerasan secara
spiritual
5) Diskusikan tanda dan gejala
perilaku kekerasan secara
intelektual

4. Klien dapat Diskusikan bersama pasien


mengidentifikasi perilaku perilaku kekerasan yang biasa
kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara :
dilakukan 1) Verbal
Kriteria Hasil : 2) Terhadap orang lain
4.1 Klien dapat 3) Terhadap diri sendiri
mengungkapkan perilaku 4) Terhadap lingkungan
kekerasan yang biasa
dilakukan
4.2 Klien dapat bermain peran
sesuai perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan
4.3 Klien dapat mengetahui
cara yang biasa dilakukan
untuk menyelesaikan
masalah
5. Klien dapat Diskusikan dengan pasien akibat
mengidentifikasi akibat perilakunya
perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
5.1 klien dapat menjelaskan
akibat dari cara yang digunakan
klien :
a Akibat pada klien
sendiri
b Akibat pada orang lain
cAkibat pada lingkungan
6. Klien dapat Diskusikan bersama pasien cara
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan
fisik untuk mencegah secara :
perilaku kekerasan 1) Fisik, misalnya pukul kasur
Kriteria Hasil : dan bantal, tarik napas dalam
6.1 klien dapat menyebitkan 2) Obat
contoh pencegahan perilaku 3) Sosial/verbal misalnya
kekerasan secara fisik tarik nafas menyatakan secara asertif rasa
dalam marahnya
4) Spiritual misalnya sholat atau
berdoa sesuai keyakinan pasien
5) Latih pasien mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik,
yaitu latihan napas dalam dan
pukul kasur/bantal, secara
sosial/verbal, secara spiritual,
dan patuh minum obat
6) Ikut sertakan pasien dalam
terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi mengontrol
perilaku kekerasan

7. Klien mendemonstrasikan a Jelaskan jenis-jenis obat


kepatuhan minum obat yang diminum klien
untuk mencegah perilaku b Diskusikan manfaat minum
kekerasan obat dan kerugian berhenti
Kriteria hasil : minum obat tanpa izin
Klien dapat menyebutkan jenis, dokter
dosis, da waktu minum obat serta
manfaat dari obat itu (prinsip 5T)

DAFTAR PUSTAKA

DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Persatuan
Perawat Nasional Indonesia
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta:
Nuha Medika

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka


Aditama.

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalamMerawat


Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta
Timur, 29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:Trans Info
MEdia.

Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai