NIM : K14190006
Ekosistem bisnis saat ini, mengharuskan para pelaku bisnis beradaptasi dengan
perubahan consumer seperti yang dikemukakan Yuswohady 2020 pada 4 Consumer
Megashifts in Covid-19 Pandemic. Pada pertemuan ini, saya sangat tertarik dengan
pembahasan human centric marketing yang saya rangkum dari pertemuan synchronous
kemarin. Dari pengalaman ibu nana saat membeli serum untuk tanaman, saya dapat melihat
contoh bagaimana trend dapat mengubah kehidupan para target konsumen jika didukung
dengan marketing strategy yang tepat. Pada pandemic ini, kebanyakan orang memiliki more
leisure time yang membuat mereka mencoba kegiatan baru yang sebelumnya tidak sempat
mereka lakukan. Kebanyakan, mereka bingung akan melakukan apa. Namun, kekuatan sosial
media dan ‘advocate’ yang mempengaruhi sebuah society circle dapat menjadi ‘toxic’ atau
racun yang menarik sehingga banyak orang yang ‘try’ lalu lama kelamaan menjadi ‘trend’.
Contohnya @ara.indonesia yang diceritakan bu nana pada pertemuan 7 kemarin. Setelah
pertemuan kemarin, saya langsung ‘ngepoin’ dan ini saja sudah jadi contoh bahwa advocate
nya bu nana sudah bisa membuat saya appeal. Ternyata, mereka baru me-release produknya
pada tanggal 7 September 2020 yang artinya baru berumur 1 bulan! Tapi mereka sudah dapat
memanfaatkan karakteristik konsumen sekarang yang unreal sehingga membuat banyak
orang rela begadang hanya untuk menunggu mereka me-restock produknya.
Produk ara.indonesia mendapat banyak testimoni yang positif dan usut punya usut,
mereka menggandeng ahli yang sudah bergelut di bidang tanaman selama 17 tahun. Maka,
dari segi kualitas produk wajar sekali jika banyak yang terpikat. Mereka juga ‘In’ the market
di waktu yang sangat tepat, ketika trend berkebun tanaman hias sedang berada di puncaknya.
Selain itu, mereka juga menggunakan marketing strategy dengan bekerjasama dengan banyak
micro-influencer yang engangement ratenya cukup tinggi sekitar 4%-7%. Mereka juga
mampu membuat ikatan dengan konsumen melalui instastory yang komunikatif dan
informatif. Menurut saya, mereka sudah berhasil menggunakan human centric marketing dan
peluang yang ada untuk merebut pasar.
Bukan hanya bu nana yang punya hobi baru selama pandemi, saya pun memiliki hobi
baru selama pandemi yaitu nonton film dan series. Berawal dari menganalisis Netflix, saya
jadi kepincut dan berlangganan. Gara-gara itu pula, saya jadi keracunan drama korea dan
kepincut oppa-oppa. Industri film korea memiliki strategi yang sangat baik untuk menarik
penonton dari berbagai Negara melalui koneksi mereka dengan para ‘customer’. Untuk
sekelas series yang tayang di TV saja, produksinya sangat ‘niat’ dan promosinya
dipersiapkan dengan sangat baik. Saat para pemain sudah dipilih secara resmi, mereka akan
melakukan press conference untuk mengumumkan para pemain, sinopsis cerita, dan juga
tanggal rilis film/series mereka. Lewat press conference ini, mereka sudah menimbulkan
awareness para calon penonton terhadap karyanya. Selanjutnya, mereka akan memanfaatkan
karakter netizen korea atau kerap disebut knetz yang ‘kepo’ terhadap kehidupan pribadi para
artis, dengan menyebarkan rumor/foto candid yang menunjukkan kedekatan para pemain
yang akan menimbulkan rasa tertarik untuk membahas dan mencari kebenaran dari kabar
tersebut. Otomatis, film/series tersebut akan semakin ter-highlight dengan adanya kabar
tersebut. Semakin mendekati hari perilisan, mereka akan mulai merilis behind the scene dan
cuplikan film untuk semakin menarik para konsumen, dan akhirnya pada hari H perilisan
mereka akan melakukan countdown. Trik ini memang sudah cukup umum, namun saya
sangat salut dengan para pelaku industri hiburan korea yang dapat membuat koneksi yang
begitu kuat dengan para knetz namun dengan tetap menjaga kualitas karya dan jurnalisme.
Salah satu hal yang juga menarik perhatian saya adalah adanya dispatch atau semacam
lembaga yang sering merilis foto atau video kegiatan para artis secara diam-diam, sehingga
banyak rumor berawal dari postingan di website dispatch. Menurut saya, kehadiran dispatch
ini juga merupakan salah satu strategi dari pemasaran industri hiburan Korea Selatan.
Bagaimana pelaku industri di korea membuat suatu produk menjadi toxic, try
kemudian trend dapat menjadi pembelajaran, sama halnya yang telah dilakukan ara.indonesia
yang dapat menarik banyak konsumen hanya dalam waktu 1 bulan. Conclusionnya adalah,
pelaku bisnis di masa ini harus lebih melihat konsumen, tidak hanya terfokus pada produknya
saja atau menggunakan human centric marketing untuk membangun koneksi dengan para
konsumen.