Anda di halaman 1dari 31

facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.

com/KCUSA

Wasiatku (Sinar Agama):


"Bismillah: Yg perlu diingat adalah bahwa catatan2/dokumen2-ku ( Sinar Agama) bisa
digunakan (halal) untuk apa dan siapa saja serta dalam bentuk apa saja asal berupa
kebaikan dan tidak dibisniskan walau hanya seukuran ongkos jalan/bensin/bus/dll
(keculai biaya foto copy-nya saja atau cd/dvd mentah-nya saja). Begitu pula tidak diedit
dan tidak merubah namanya, hingga yg kurang memahami tulisan atau maksudnya, bisa
bertanya langsung pada alfakir. Selain dari yang ditentukan di atas ini dimana juga
sering ditulis di berbagai catatan dan tulisan di fb ini, adalah tidak dihalalkan.
wassalam."

Sebenarnya aku malu menulis ini:


Teman2 fb yg selalu kucintai dan kudoakan.
Kalau antum memang telah baik sangka pada alfakir ini
lalu telah sempat membaca tulisan2 alfakir
lalu terlihat kebenaran argumentnya secara gamblang,
maka kalau bisa, copy pastelah ke HP, komputer dan hafalan antum.

Hingga dapat membantu menyinari teman2 lainnya dimana saja antum


menjumpai mereka.
Jangan berusaha jadi ustadz, karena hal itu bisa menyimpangkan niat karena
Allah kita kepada dunia fana ini (spt kehormatan, amplop, harga diri dan
semacamnya) tapi berusahalah menjadi hamba dan budak Allah seutuhnya. Itu
saja.

Jadi, belajar, berenung, menulis, ngesave, ngengopy paste dan menghafal serta
membantu yg lainnya, adalah salah satu dari sekian ribu tanggung jawab yg
harus dipikul untuk menjadi budakNya secara utuh.

Afwan banget. Kutulis ini, karena banyaknya hamba2 Tuhan yg harus disantuni
dan banyaknya tanggung jawab yg harus kita lakukan untuk menjadi budakNya
yg diterimaNya.

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 1
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Makna Foto Profil Sinar Agama


Gambar itu memiliki beberapa maksud:

(1). Bermaksud imam Mahdi as. Karena di hdits sunni, ketika Jabin al-Anshari ra bertanya kepada
Nabi saww tentang imam-imam atau washi2 setelah beliau saww, lalu beliau saww menjwb ada 12
orang dan menyebuntukan satu persatu nama2nya sampai kepada imam ke 12 yang bernama
Muhammad yang dijuluki al-Mahdi as, beliau saww mengatakan bahwa yang ke 12 ini akan ghaib
lama sekali hingga yang mau mempercayainya terasa berat. Lalu Jabir ra bertanya, apakah ada
mamfaatnya dikala ghaib itu? Beliau saww menjwb: "Iya, seperti layaknya matahari yang tertutup
mendung." Yakni walau tidak bisa memberikan kepemimpinan dan kepebimbingannya sejelas
matahari karena diuber umat Nabi saww sendiri,akan tetapi, masih bisa menyinari seperti matahari
yang ditutupi awan hingga cukup tidak membuat umat yang mengimaninya, tidak jatuh ke jurang
kesesatan.
(2). Itu dari sisi matahari yang ketutup mendungnya. Dari sisi subuhnya, memiliki 2 makna:

(2-a). Jaman ini saya harapkan sebagai jaman menjelang datangnya imam Mahdi as, yakni
mengharap kehampiran-datangnya. Jd, ia adlah doa dan harapan kita kepada Allah.

(2-b). Ana mengharap dan berdoa padaNya, supaya menjadikanku bagian dari mukaddimah
kehadiran beliau as itu. Karena itulah, kalau doa ini makbul, maka akan bisa mengharap bahwa kita-
kita bagian aktif dari mukaddimah itu. Dalam hadits juga dikatakan bahwa di akhir jaman Qom akan
menjadi tempat ilmu dan fadhilah hingga negara2 barat dan timur akan mengambil mamfaat dari
padanya, hingga tidak satupun yang tidak mendengar hak/kebenaran. Setelah itulah baru datang
imam Mahdi as sebagai penyebab turunnya bencana bagi yang tidak menerimanya. Karena Tuhan
tidak akan mengadzab (memerangi) orang yang tidak menerima kebenaran sementara ia belum
dikenalkan kepada kebenaran itu.

Nah, ketika kebenaran itu syi'ah dan imam Mahdi as, maka kalau nanti imam keluar dan tidak
diterima oleh orang yang memeng tidak mendengar kebenarannya, kewujudannya dan kebenaran
ajarannya, maka sudah jelas tidak boleh diperangi. Tetapi kalau sudah mendengar dengan dalil2
gamblan dan mudah, sebelum beliau as keluar, maka kalau nanti setelah keluar, tidak menerimanya,
maka jelas bisa diperangi. Karena sudah dituruni hujjah, sebelumnya.

Nah, kita mengharap kepada Allah agar menjadikan kita bagian daripadanya, yakni bagian
mukaddimah2 itu.
(3). Sudah tentu makna ke tiga ini adlah makna yang sudah jelas, yaitu bahwa saya tidak ingin
dikenali di fb ini. Yang mungkin sampai akhir jaman dan sampai aku mati (semoga Allah mengampuni
dosa2ku). Karena ana sendiri tidak yakin pada ketawadhuanku, keikhlasanku, ketidak egoanku,
keobyetifanku, ketidak cintaanku pada dunia penghoramatan ...dst. disamping ingin membuat
teman2 leluasa bertanya, berdebat tetapi dengan bijak.

Walhasil, dari masalah-masalah pribadiku sendiri yang tidak aman, karena satu ujung jarum saja kita
riya', sombong, ...dst. maka sudah tidak lagi bisa mengharapkan pahalanya, itupun kalau yang kita
tulis itu sudah benar ....sampai kepaa masalah-masalah sosial, seperti membuat teman2 leluasa
bertanya dan berdebat.
Tetapi keleluasaan ini, bukan berarti saya tidak akan menjewirnya kalau sampai mengulang beberapa
kali hal-hal yang jelas dan sudah ada catatannya. Karena jewera kakak kepada adiknya, yang
dilakukan secara Islami, merupakan hal yang juga bisa dikatakan kewajiban. Yakni diluar umpatan
dan semacamnya, kecuali kalau melecehkan peleceh, yang mana itupun harus dilakukan karena Allah
semata dan sesuai dengan hukum2Nya yang ada.
Wassalam

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 2
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Sedekap Dalam Fatwa2 dan Kitab2 Sunni, bag-1


Bismillah: Sedekap Dalam Fatwa2 dan Kitab2 Sunni

Mukaddimah:
1-Sebenarnya, masalah sedekap ini adalah masalah yg tdk penting sama sekali. Karena di fikih sunni
manapun tdk diwajibkan melakukannya dlm shalat. Kecuali sunni yg terlalu awam atau terlebih para
wahabi yg biasa mengawamkan dirinya dg sok tahu ayat dan hadits walau tdk pernah menyentuh pagar
pendidikan agama yg jangankan universitasnya, sekolah2 dasarnya saja, tdk pernah.

2-Di madzhab sunni yg dibid’ahkan para wahabi yg anti madzhab, sedekap dalam shalat ini memiliki tiga
hukum secara global:

a- Madzhab Hanafi menghukuminya sunnah bagi lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diafdhalkan di
bawah pusar dan untuk wanita di atas dada.

b- Madzhab Syaafi’i menghukumi sunnah untuk lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diafdhalkan di atas
pusar (di dada) agak miring ke kiri.

c- Madzhab Hanbali mensunnahkan bagi lelaki dan perempuan. Afdhalnya berposisi di bawah pusar.

d- Madzhab Maaliki membolehkannya dalam shalat sunnah dan memakruhkannya dalam shalat wajib
serta mensunnahkan pelurusan tangan.

3-Di madzhab syi’ah, sedekap itu tidak boleh dan membatalkan shalat. Karena itu wajib hukumnya
pelurusan tangan, baik dlm shalat wajib atau sunnah.

4-Tujuan penguraian ini, bukan untuk memperuncing masalah yg tdk penting ini, akan tetapi justru ingin
memberikan pengertian bhw sedekap itu bukan hanya tidak termasuk rukun2 yg wajib dlm shalat, akan
tetapi dalil2nya bahkan merupakan dalil2 yg lemah menurut sunni sendiri.

5-Penguraian kelemahan dalil sunni menurut sunni sendiri itu, dan penyebutan dalil pelurusan tangan di
sunni, sekedar ingin memberi tahu bahwa syi’ah itu tdk mengada-ngada dalam Islam dan tdk
mengatasnamakan Ahlulbait as sebagaimana sering dituduhkan. Akan tetapi benar2 mengambil dari
Ahlulbait as yg maksum dan bahkan dikuatkan dg dalil2 sunni.

6-Sedekap diistilahkan dg beberapa istilah, spt “al-Takfiir”, “al-Takattuf”, “al-Dham”, dll-nya. Sedang
pelurusan tangan dg “al-Irsaal”, “al-Isbaal”, “al-I’tidaal”, dll-nya.

7-Dalil2 sedekap yg akan dibawakan beserta dalil kelemahannya nanti, kalaupun dianggap kuat
(dimana hal itu sangat mustahil sebagaimana yg akan kita lihat kemudian), tetap saja tdk
bermakna wajib. Karena itulah mk tdk ada ulama sunni manapun yg mewajibkan sedekap dlm shalat.
Dan semua kitab dan hadits yg akan dinukil disini, semuanya adalah hadits2 dan kitab2 sunni.

8-Dalil2 sedekap, memiliki empat/lima bentuk secara global walaupun diriwayatkan dg berbagai

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 3
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

jalur. Akan tetapi, dilihat dari sisi makna/matan/isi, bisa dikatakan hanya dlm empat bentuk saja
sebagaimana akan maklum nantinya, yaitu:

8-1- Yang mengatakan bhw sedekap itu bagian dari akhlak para nabi:

Nabi saww bersabda: “Kami para nabi diperintah untuk menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan
meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam shalat.”

Hadits ini, diriwayatkan oleh beberapa shahabat: Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Dardaa’
dan Ya’laa bin Murrah. Saya tdk akan menukil semua bentuk riwayatnya dan hanya akan menyebut salah
satunya dari masing2 hadits dan jalur. Hal itu untuk memperpendek tulisan dan yg terpenting adalah bhw
isi dan maksudnya adalah sama saja. Memang, dlm ilmu hadits, kebermacaman bentuk kalimat hadits
dlm satu masalah yg sama dan dari perawi yg sama, bisa membuat hadits tersebut menjadi lemah yg,
diistilahkan dg Muththaribah (bermacam model kalimat). Kita akan bahas sanadnya saja sdh cukup.
Karena yg mempelajarinya, akan mencapai keyakinan pasti, bhw hadits sedekap dlm shalat ini, sama
sekali tdk bisa dijadikan pegangan dan hujjah sebagaimana yg akan maklum. Kalau hal ini ditambah dg
kebermacaman haditsnya, mk hadits2 itu akan semakin tenggelam dlm lautan kelemahan (dhaif) hingga
semakin memustahilkan siapapun untuk menjadikannya hujjah.

8-1-a- Yg dari Ibu ‘Abbaas, ada di kitab: al-Musnad al-Thayaalisi, 345 (2654); Sunan Baihaqii, 4/238.
Jalurnya dari Thayaalisii dari Thalhah bin ‘Umar al-Hadhrami, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah, dari Ibnu
‘Abbaas. Juga diriwayatkan di kitab Sunan al-Daaru Quthni, 1/284. Jalurnya dari Mukhallad bin Yaziid,
dari Thalhah, dari ‘Athaa’ dan Ibnu ‘Abbas.

Kritikan hadits:
Pertama, manufer hadits dari jalur ini, ada pada Thalhah bin ‘Umar al-Makki. Sementara dia, tidak dipakai
(matruuk) oleh beberapa ulama hadits sunni, spt Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibu Junaid dan Ibnu Hajar
(lihat di: al-Jarhu wa al-Ta’diil, 4/278; al-Dhu’afaa-u al-Nasaai, 143; Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21-22;
Taqriibu al-Tahdziib, 1/379; dll.). ‘Umar bin ‘Ali dan Ibnu Mu’iin berkata bhw ia: “Dia tdk ada nilainya,
ditinggalkan dan Yahya dan Abdu al-Rahmaan tdk mau meriwayatkan darinya.” (al-Jarhu wa al-Ta’diil,
4/478).

Bukhari jg berkata: “Dia –Thalhah- tdk memiliki nilai sedikitpun dan Yahya sangat jelek pandangannya
tentang dia.” (Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21). Terlalu banyak lagi komentar2 para ahli hadits dan rijal sunni
yg menjadikan Thalhah bin ‘Umar itu tdk bisa diambil haditsnya.

Ke Dua, ‘Athaa’ termasuk tabi’iin (shahabatnya shahabat Nabi saww) yg meluruskan tangan dalam
shalatnya (Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, 2/276; al-Tamhiid, 20/75; Mu’jamu al-Maudhuu’aat al-
Matruuhah, 2/774).

Jalur2 lain yg menyambung ke Ibnu ‘Abbaas:

8-1-a-1- Dari Harmalah bin Yahya, dari Ibnu Wahab, dari ‘Umar bin al-Haarits, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 4
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

dari Ibnu ‘Abbaas (lihat di kitab: Thabraani dlm al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/199, no: 11485; Shahiih Ibnu
Habbaan, 5/67, no: 1770).

Kritikan Hadits dari jalur ini:


Pertama, sebagaimana yg sdh dijelas di atas ‘Athaa’ adalah taabi’iin yg meluruskan tangannya dlm
shalat. Jadi, riwayat ini dikatakan pengatasnamaan kepadanya (dipalsukan).

Ke Dua, Ibnu Wahab digolongkan oleh Nasaai dan al-Saajii, sebagai orang yg menggampangkan
(sembarangan) urusan periwayatan (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/67).

Ke Tiga, Abu Haatim berkata bhw riwayat Harmalah itu hanya ditulis saja tp tdk bisa dijadikan dalil (al-
Jarhu wa al-Ta’diil, 3/274).

Ke Empat, Ibnu ‘Uddaa menggolongkan Harmalah sebagai orang yg dha’iif/lemah (al-Kaamil fii al-
Dhu’afaa-i, 2/863.

Ke Lima, Umar bin Haarits termasuk yg dilemahkan Ahmad bin Hanbal karena banyak
kemungkaran2nya, yakni hal2 yg mesti ditolak darinya (Tahdziibu al-Tahdziib, 8/14). Dan al-Atsram
menyerangnya dg pedas dan berkata bhw ia salah-salah dalam meriwayatkan dari Qutaadah (Miizaanu
al-I’tidaal, 3/252).

Ke Enam, Harmalah adalah satu2nya orang yg meriwayatkan dari Ibnu Wahab tentang hadits ini
(Miizaanu al-I’tidaal, 1/472), jadi terhitung lemah. Dan masih banyak lagi dalil2 kelemahan jalur ini.

8-1-a-2- Dari Muhammad bin Abi Ya’quub, dari Sufyaan bin ‘Iyyiinah, dari ‘Umar bin Diinaar, dari
Thaawuus, dari Ibnu ‘Abbas (lihat di: al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/7, no: 10851; al-Mu’jamu al-Ausath
Thabraanii, 5/137 (4261). Jalur ini hanya dishahihkan oleh Haitsamii dalam Majma’u al-Zawaa-id-nya,
3/155. Tapi akan terlihat di bawah ini bhw penilaiannya ini sama sekali tidak bisa diterima.

Kritikan jalur ini:


Pertama, Muhammad bin Abi Ya’quub adalah satu2nya orang yg meriwayatkan hadits ini dari Ibnu
‘Iyyiinah (al-Mu’jamu al al-Ausath Thabraanii, 5/137 (4261). Jadi, tdk bisa dikuatkan.

Ke Dua, Abuu Haatim mengatakan bhw Muhammad itu majhuul atau tdk dikenal (al-Jarhu wa al-Ta’diil,
8/122; Tahdziibu al-Tahdziib, 9/34).

Ke Tiga, Bukhari sendiri menyebutnya sebagai anak Ya’quub (Taariikh al-Kabiir, 1/267) dan sebagai
anak Ishaaq (Taariikh al-Kabiir, 1/41). Jadi jelas terdapat kerancuan tentangnya yg membuat haditsnya
menjadi lemah.

Ke Empat, Hakim mengatakan bhw ‘Umar bin Diinaar adalah orang yg menutupi kekurangan
periwayatannya atau mudallis (Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bimaraatibi al-Ma’ruufiina bi al-Tadliis, 42, no. 20;.
Bahkan Sufyaan bin ‘Iyyiinah sendiri mengatakan bhw telah disepakati bhw dia seorang yg mudallis (ibid,
65, no. 52).

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 5
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

8-1-b- Yang dari Ibnu ‘Umar. Dari Yahya bin Sa’iid bin Saalim al-Qaddaah, dari ‘Abdu al-Majiid bin ‘Abdu
al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad, dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/176, no.
279; al-Mu’jamu al-Ausath, 4/41, no. 3053; al-Sunanu al-Kubraa, 2/92).

Kritikan Jalur ini:


Pertama, Baihaqi mengatakan bhw ‘Abdu al-Majiid adalah satu2 perawi yg meriyatkan dari jalur ini dan
ia dikenal dg Thalhah bin Umar dan seorang yg tdk kuat haditsnya (al-Sunan, 2/92).

Ke Dua, Ibnu Habbaan berkata bhw ‘Abdu al-‘Aziiz suka meriwayatkan dari Naafi’ hal2 yg tdk bisa
diragukan hanya karangannya saja (al-Majruuhiin, 2/136-137).

Ke Tiga, Ibnu ‘Uddaa mengatakan bhw ‘Abdu al-Majiid meriwayatkan dari ayahnya dan dari Ibnu ‘Umar
dimana semua hadits2nya ini tdk terjaga (dari kelemahan).

Ke Empat, diriwayatkan dari Yahyaa al-Qaththaan bhw ‘Abdu al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad itu adalah
pendusta (Tahdziibu al-Kamaal, 18/286).

Ke Lima, ‘Ali bin al-Junaid juga memasukkan ‘Abdu al-‘Aziid ke dalam golongan orang2 dha’iif/lemah
(Tahdziibu al-Tahdziib, 6/302). Bgt pula pandangan Ibnu ‘Uddaa (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i).

Ke Lima, Daaru Quthnii mengatakan bhw ‘Abdu al-Majiid tdk bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Kamaal,
18/275). Begitu pula Ibnu Habbaan mengatakan bhw hadits2nya benar2 harus ditolak (al-Majruuhiin,
2/160-161). Begitu pula yg dikatakan Ibnu Abi Haatim bhw ia adalah tdk kuat dan dicela al-Humaini (al-
Jarhu wa al-Ta’diil, 6/64-65). Bukhari juga mengatakan bhw dia itu dicela al-Humaidii (Taariikh al-Kabiir,
6/112).

Ke Enam, dalam riwayat itu ada Yahya dimana didha’iifkan/dilemahkan oleh al-Haitsami (Majma’u al-
Zawaahid, 3/155). Al-Daaru Quthnii jg mengatakan bhw dia itu tidak kuat (Lisaanu al-Mizaan, 6/257).
Dzahabii bahkan mengatakan bhw ia banyak meriwayatkan yg mungkar –manaakir (Mizaanu al-I’tidaal,
4/378). Bgt pula ‘Uqaili menggolongkanya ke dalam manaakiir yakni banyak riwayatnya yg harus ditolak
(al-Shu’afaa-u al-Kabiir, 4/203). Secara keseluruhan hadits ini adalah tergolong hadits yg dilemahkan
ulama sunni (Nailu al-Authaar, 2/200).

8-1-c- Yang dari Abu Hurairah. Al-Daaru Quthnii, dari al-Nadhr bin Islmaa’iil, dari Abu Lailaa, dari ‘Athaa-
u, dari Abu Hurairah (lihat: Sunanu al-Daaru Quthnii, 1/284).

Kritikan jalur ini:


Pertama, di dalam jalur ini terdapa Abu Lailaa yg banyak dibicarakan para ahli hadits dan rijal. Ibnu
Habbaan berkata bhw ia banyak kelirunya dan parah dalam periwayatan dan bahkan suka meriwayatkan
dg sanggakaannya, karena itu riwayatnya harus ditinggalkan sebagaimana yg dilakukan Ahmad bin
Hanbal dan Yahya bin Mu’iin (al-Majruuhiin, 2/244). Syu’bah jg berkata bhw tdk ada yg hafalannya lebih
parah dari dia (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/322). ‘Adbullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bhw ayahnya
mengatakan bhw dia itu sangat buruk hafalannya dan hadits2nya tdk kokoh (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/323).
Dan masih seambrek lagi ulama sunni yg melemahkan dia, spt: al-Jauzjaani, al-Saajii, Ibnu al-Madiinii,
Abu Haatim, Thabari, Hakim, dll-nya. Nasaai jg berkata bhw dia tidak kuat (al-Dhu’afaa-u wa al-

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 6
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Matruukiin, terjemahan 214, no: 550).

Ke Dua, juga terdapat al-Nazhr bin Ismaa’il atau Nadhr bin Ismaa’iil. Ia jg banyak dilemahkan ulama
hadits dan rijal. Ibnu Habbaan berkata bhw ia banyak sekali melakukan kesalahan dan persangkaan
hingga layak untuk ditinggalkan (al-Majruuhiin, 3/51). ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata bhw ia
bertanya kepada ayahnya tentang dia dimana ayahnya mengatakan bhw ia tdk menghafal dan menjaga
isnad/nama2 perawi (al-‘Ilalu wa Ma’rifatu al-Rijaal, 2/256). ‘Abbaas al-Dauri dan Ibnu Syaibah
meriwayatkan dari Yahya bin Mu’iin yg mengatakan bhw dia itu tdk ada apa2nya (Taariikhu Baghdaad,
13/433). Abu Daud mengatakan bhw ia banyak meriwayatkan hadits2 mungkar yakni yg wajib
ditinggalkan (Tahdziibu al-Tahdziib, 10/388; Miizaanu al-I’tidaal, 4/255). Abu Zar’ah mengatakan bhw dia
itu tdk kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/474) dan bgt pula yg dikatakan Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-
Mtruukiin, terjemah ke: 236, no. 624). Dll-nya dari para ulama yg melemahkannya.

8-1-d- Dari Ya’laa bin Murrah. Jalur ini diriwayatkan Thabraanii, dari jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin
Musallamah al-Raazii, dari Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin Maghzaa-u, dari ‘Umar bin ‘Abdullah bin
Ya’laa, dari ayahnya, dari kakeknya (al-Mu’jamu al-Kabiir, 22/263, no. 686).

Kritikan Jalur ini:


Pertama, manufer dari hadits ini ada pada ‘Umar bin ‘Abdullah bin Ya’laa dan ayahnya dimana keduanya
sangat lemah. Al-Daaru Quthnii mengatakan bhw ‘Umar bin ‘Abdullah itu matruuk, yakni mesti
ditinggalkan (Tahdziibu al-Kamaal, 21/420). Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibnu Mu’iin, Abu Haatim dan al-
Saaji, semuanya mengatakan bhw dia itu perawi hadits yg mungkar, yakni mesti ditinggalkan (Tahdziibu
al-Kamaal, 21/420). Bukhari mengatakan bhw dia itu banyak dicela (Taariikh al-Kabiir, 6/170). Jariir bin
‘Abduullah bahkan mengatakan bhw ia peminum khamr (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 5/1693). Zaaidah jg
mengatakan bhw ia melihatnya sendiri minum khamr (Miizaanu al-I’tidaal, 3/211). Dzahabii jg
mengatakan bhw ia dilemahkan orang2 banyak (al-Kaasyif, 2/274).

Ke Dua, terdapat jg yg bernama ‘Abdullah bin Ya’laa. Dia juga lemah. Bukhari mengakatakan bhw ia
diragukan (al-Dhu’afaa-u al-Kabiir al-‘Uqailii, 2/318). Dalam kitab Tuhfatu al-Ahwadzii, 2/87 dikatakan bhw
kalau Bukhari mengatakan “diragukan”, mk jelas tdk bisa dijadikan sandaran hukum. Dzahabi
mengatakan bhw ia dilemahkan oleh banyak orang (Miizaanu al-I’tidaal, 2/528). Ibnu ‘Uddaa dan al-
‘Uqailii memasukkannya dlm golongan perawi yg lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 4/1540; al-Dhu’afaa-u
al-Kabiir, 2/318).

Ke Tiga, dalam sanad di atas ini jg terdapat orang yg bernama Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin
Mugharraa-u. Dia jg lemah spt yg sebelumnya. Bnu al-Madiinii berkata bhw dia tdk ada apa2nya
(Miizaanu al-I’tidaal, 2/592). Ibnu ‘Uddaa jg memasukkannya dlm orang2 yg lemah (al-Kaamil fii al-
Dhu’afaa-i, 4/1599. Al-Saaji juga melemahkannya (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/247). Dll ulama.

8-1-e- Abu al-Dardaa-i. Dalam Mu’jamu al-Zawaa-id diriwayatkan dari Thabraanii (Majma’u al-Zawaa-id,
2/105).

Kritikan Jalur ini: Haitsami mengatakan bhw ia tdk melihat siapapun yg menerjemahkan para perawinya.
Dia juga mengatakan, “Aku tdk berhasil mendapatkan perawinya di Thabraani sebelum kemudian
dilakukan penilaian. Mungkin saja ia menukilkannya dari naskah yg sdh hilang.”

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 7
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

8-2- Yang mengatakan bhw Nabi saww melalukannya (sedekap dalam shalat). Hadits ini
diriwayatkan oleh Syadaad bin Syurahbiil, Ghuthaif bin al-Haarits dan Halb al-Thaa-i. Begitu pula
diriwayatkan secara mursal (diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yg tdk pernah bertemu beliau saww)
melalui Waa-il bin Hajar dan Ibnu Mas’uud dari Thaawuus al-Yamaanii. Bentuk haditsnya bermacam-
macam yg secara keseluruhannya mengabarkan bhw Nabi saww melakukannya.

Saya tdk akan menyebutkan semuanya karena bermuatan sama dan kajian kita lebih banyak ke
sanadnya. Artinya kalau dari sisi sanad saja sdh lemah, mk kalau ditambah dg kebermacaman bentuk
matan atau isinya, maka akan membuat haditsnya semakin tdk berharga. Jadi, saya akan menyebutkan
sebagiannya saja. Misalnya, Syadaad bin Syurahbiil berkata:

“Sekalipun aku bisa lupa, tapi aku tidak pernah lupa bahwa aku pernah melihat Rasul saww berdiri dalam
shalat dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam keadaan memegangnya.”

8-2-a- Yang dari Syadaab. Diriwayatkan oleh Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 7/282, no. 7111), al-
Bazzaar (Kasyfu al-Astaar, 1/254), Bukhaarii (Taariikh al-Kabiir, 4/225), dari Hayaat bin Syuraih al-
Humsii, dari Baqiyyah bin al-Waliid, dari Habiib bin Shaalih, dari ‘Iyaasy bin Muannas, dari Syadaad bin
Syurahbiil al-Anshaarii.

Kritikan Jalur ini:


Pertama, hadits ini mursal (diriwayatkan langsung dari Nabi saww oleh orang yg tdk melihat Nabi saww).
Karena tdk ada bukti bhw Syadaad adalah shahabat Nabi saww. Begitu pula ‘Iyaasy adalah orang yg tdk
diketahui/majhuul. Ibnu ‘Abdu al-Bir berkata bhw Syadaad tdk ada riwayatnya kecuali hadits ini (al-
Ishaabah, 2/1393; al-Istii’aab, 2/137). Begitu pula yg dikatakan al-Bazzaar (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105).

Ke Dua, hadits ini terputus silsilahnya (maqthuu’). Karena ‘Iyaasy itu adalah tdk diketahui
identitasnya/majhuul. Al-Haitsamii berkata bhw tdk ada seorangpun yg menerjemakan dirinya (Majma’u
al-Zawaa-id, 2/105; Nailu al-Authaar, 2/200). Bukharipun jg mengatakan hal yg sama (Taarii Kabiir,
4/225).

Ke Tiga, hadits dg jalur ini jg hanya satu dari Baqiyyah dimana kehanya satu-annya ini saja sdh membuat
hadits ini lemah. Ditambah lagi diriwayatkan dari ‘Iyaasy yg tidak jelas itu. Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku mengira bhw Baqiyyah ini tdk meriwayatkan hadits mungkar, tp dari majhul. Seandainya
meriwayatkan hadits mungkar, mk aku pasti tahu dari mana dia ini (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Al-
Khathiib jg berkata bhw haditsnya –Baqiyyah- banyak mungkarnya (Taariikh Baghdaad, 7/123). Abu
Mashar berkata bhw hendaknya mesti berhati-hati terhadap hadits2nya karena dia tdk bersih (Taariikh
Baghdaad, 7/124; Tahdziibu al-Kamaal, 4/198). ‘Abdu al-Haq berkata bhw dia tdk bisa dijadikan dalil
(Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Dzhabi berkata bhw dia memiliki riwayat2 yg aneh dan mungkar
(Miizaanu al-I’tidaal, 1/339). Ada juga yg mengatakan bhw dia itu lemah/dha’iif, spt: al-Daaru Quthnii (al-
Dhu’afaa-u wa al-Mtruukiin, 187), al-‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiir, 1/112) dan Ibnu ‘Uddaa dlm al-
Dhu’afaa-u-nya. Baihaqii berkata bhw semua bersepakat bahwa Baqiyyah itu bukan hujjah, yakni tidak

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 8
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419).

8-2-b- Yang dari al-Haarits bin Ghathyaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah, 1/342, no. 3933) dan Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 3/276, no. 339). Diriwayatkan melalui
jalur Zaid bin al-Hubaab, dari Mu’awiyyah bin Shaalih, dari Yuunus bin Saif, dari al-Haarits bin Ghathyaf.
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan melalui jalur Hamaad bin Khaalid, dari Mu’aawiyyah, dari Yuusuf
bin Saif dan dari Haarits bin Gathyaf (Musnad Ahmad, 4/105 dan 5/290). Dan juga melalui jalur ‘Abdu al-
Rahmaan bin Mahdi, dari Mu’awiyyah, dari Yuunus bin Saif dan dari Haarits bin Ghathyaf (ibid). Dan
Thabraani meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Wahab, dari Mu’awiyyah bin Shalih, dari Yuunus, dari
Rasyiid al-Habraanii dan dari Haarits bin Ghathyaf (al-Mu’jamu al-Kabiir, 3/276, no. 3400; Haamisy al-
‘Awaashim wa al-Qawaashim, 3/10).

Kritikan Jalur ini:


Pertama, jalur ini sanadnya tidak kokoh (muththarib) dan tdk bisa dipakai, karena ada yg melalui Rasyiid
setelah Yuunus, dan ada yg tdk memakainya sebagaimana maklum di atas. Begitu pula ada yg
mengatakan Yuunus bin Saif dan ada yg mengatakan Yuusuf bin Saif.

Ke dua, rancu dlm nama perawi pertama hadits ini, yaitu al-Haarits. Ada yg mengatakan anak Ghathyaf,
ada yg mengatakan anak Ghuzhaif, dan ada juga yg mengatakan anak Ghudhaif (al-Ishaabah, 1/287;
Taqriibu al-Tahdziib, 2/105). Disamping itu, orang ini dikenal meriwayatkan dari shahabat di riwayat2 lain
selain hadits ini (dimana menunjukkan bhw dirinya adalah tabi'iin, tp di riwayat di atas ia mengakatan bhw
ia melihat langsung yg menunjukkan dirinya shahabat). Karena itu, hadits ini disamping rancu napa
perawinya, juga mursal. Karena itu, tdk bisa dipakai.

Ke Tiga, adanya kejelasan pernyataan dari ulama rijal/hadits bhw ia adalah dari tabi’iin generasi pertama.
Seperti yg dikatakan oleh Ibnu Sa’ad (Sairu A’laami al-Nubalaa-i, 3/455), al-‘Ajali (Taariikhu al-Tsiqaat,
381). Karena itu hadits ini mursal dan tdk bisa dipakai. Mursal karena ia memutus satu sanad yg dari
shahabat dan menjadikannya sebagai riwayat dirinya. Jadi, sama sekali tdk bisa dipakai.

Ke Empat, dlm sanadnya terdapat orang yg bernama Mu’awiyyah bin Shalih yg menurut Dzahabi dan
Abu Haatim tdk bisa dijadikan hujjah, bgt pula Bukhaari tdk meriwayatkan darinya (Miizaanu al-I’tidaal,
4/135). Masih banyak lagi ulama2 rijal yg tidak menilai baik dirinya, spt: Abu Haatim, Yahya bin Sa’iid dan
Ibnu Mu’iin (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/383). Dan masih banyak lagi yg melemahkannya.

8-2-c- Yang diriwayatkan oleh Hullab al-Thaa-ii. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad,
5/226-227), Turmudzii (Shahih Turmudzi, 2/32, no. 252) dan Ibnu Maajah (Sunan Ibnu Maajah, 1/266).
Mereka meriwayatkan dari Abu al-Ahwash, dari Sammak bin Harb, dari Qubaishah bin Halab, dari
ayahnya.

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah (al-Mushannaf, 1/341, no. 3934) yg mengambil juga dari
Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226), al-Daaru Quthnii (Sunan al-Daaru Quthnii, 1/285), Baihaqii
(Sunan Baihaqii, 2/29). Semua meriwayatkan dari Wakii’, dari Sufyaan, dari Sammaak bin Harb, dari
Qubaishah bin Halab al-Thaa-i, dari ayahnya.

Riwayat ini jg diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226) yg diambil dari jalur Yahyaa

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 9
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

bin Sa’iid, dari Sufyaan, dari Sammaak. Di kitab al-Ishaabah, 2/517, dikatakan bhw sebagian orang
melakukan kesalahan, karena itu mereka meriwayatkan dari Sammaak, dari Tamiim bin Tharfah. Ibnu Abi
Haatim dlm kitab ‘ilal, 1/142 mengatakan bhw ia bertanya kepada ayahnya tentang dia (Sammaak) yg
dijawab bhw dia adalah Sammaak dari Qubaishah bin Halab dari ayahnya.

Kritikan Hadits dari jalur ini:


Pertama, Halab memiliki banyak masalah sebagaimana dikatakan dalam Jaami’u al-Tahshiil, 1/294 dan
al-Tahshiil, 1/333. Diantaranya sulit membuktikannya sebagai shahabat karena hanya ada tiga riwayat
darinya yg meriwayatkan dari Rasulullah saww dan semuanya dari jalur Sammaak dan Qubaishah,
sementara Sammaak seorang yg lemah/dha’if dan Qubaishah seorang yg majhul (tdk diketahui). Dan
dikatakan pula bhw banyak beda pendapat ttg namanya. Ada yg mengatakan bhw namanya adalah
Halab, ada yg mengatakan Yaziid yg dijuluki Halab, hingga karena itu sulit untuk memakai hadits ini.

Ke dua, terdapat kerancuan pada kalimatnya. Ada yg mengatakan bhw Nabi saww mengimami shalat
dan ada yg tdk menyebutkannya (padahal satu jalur). Sebagiannya juga ada menyebutkan tempat
peletakan tangan yg di dada hingga karenanya yg model ini ditolak oleh al-Mubaarakfauri (Tuhfatu al-
Ahwadzii, 2/92-95). Semua kerancuan membuat hadits ini tdk bisa dipakai.

Ke Tiga, riwayat ini hanya satu2nya riwayat diriwayatkan oleh Sammaak dari Qubaishah. Sementara
Nasaai mengatakan bwh kalau Sammaak menjadi satu2nya perawi, mk tdk bisa dijadikan dalil (Miizaanu
al-I’tidaal, 2/233; Tahdziib al-Tahdziib, 4/204).

Ke Empat, banyak yg melemahkan Sammaak ini. Ahmad bin Hanbal mengatakan bhw ia tdk kuat (al-
Jarhu wa al-Ta’diil, 4/279). Ibnu Abi Maryam mengatakan bhw Syu’bah bin al-Hajjaaj melemahkannya
(Taariikh Baghdaad, 9/215). Ibnu al-Mubaarak jg melemahkannya (Tahdziibu al-Kamaal, 12/120; al-
Mughnii fii al-Dhu’afaa-i, 1/285). Masih banyak yg melemahkannya spt: Shaalih Juzrah, Ibnu Kharraasy,
al-Daaru Quthnii, Ibnu Jauzii, Syu’bah dan Sufyaan.

Ke Lima, Qubaishah bin Halab adalah orang majhuul (tdk dikenal). Ibnu al-Madanii dan Nasaai
mengatakan bhw dia itu majhuul dimana tdk ada yg meriwayatkan darinya kecuali Sammaak (al-
Khulaashah, 315; Tahdziibu al-Tahdziib, 8/314). Dzahabi juga berkata hal yg sama (Miizaanu al-I’tidaal,
3/384) dan begitu pula al-Syaukanii (Nailu al-Authaar, 2/200). Abu Thaalib al-Abaadii berusa membela
Qubaishah ini dari kemajhuulannya. Akan tetapi terlihat sangat memaksakan diri di hadapan para ahli yg
sdh disebut di atas ini.

8-2-d- Yang riwayat Waail bin Hajar. Jalur ini diriwayatkan oleh banyak pengumpul hadits, spt: shahih
Muslim, 1/301, no. 401; Ahmad bin Hanbal, 4/317-318; Abu ‘Awwaanah dlm Musnadnya, 2/97; Baihaqii
dalam Sunan Kubraanya, 2/28; Thabraanii dlm al-Mu’jam al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Semuanya
meriwayatkan dari Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari ‘Alqamah bin Waail
dan dari pembantu mereka (keluarga Waail) yg mengatakan bhw keduanya (anak Waail ini, yakni ‘Abdu
al-Jabbaar dan ‘Alqamah) meriwayatkan dari ayah mereka, yakni Waail yg menyatakan:

Bahwasannya ia –Waail- pernah melihat p p


Nab saww mengangkat tangannya ketika memulai shalat dan bertakbir (disifati Hammaam, sampai ke

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 10
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

kedua telinga beliau saww), kemudia menyelimuti –badannya- dg bajunya, kemudia meletakkan tangan
kanannya di atas tangan kirinya

Riwayat ini jg diriwayatkan melalui jalur, Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya
(Thabraanii dlm al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Begitu pula melalui Musa bin ‘Umair al-‘Anbari
dan Qais bin Saliim/Sulaim, dari ‘Alqamah bin Waail, dari ayahnya (Nasaai dalam al-Sunanu al-
Kubraanya, 1/309, no.961; al-Daaru Quthnii dlm Sunannya, 1/286 -dg kalimat bhw Waail melihat Nabi
saww kalau berdiri melakukan shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan juga dari
jalur Musa bin ‘Umair (dg dirinya sendiri), dari ‘Alqamah bin Waail al-Hadhrami, dari ayahnya (Ahmad bin
Hanbal, 7/316; al-Daaru Quthnii, 1/286 –dg kalimat yg mengatakan bhw Waail melihat Nabi saww kalau
shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan dg kalimat bhw Waail melihat Nabi saww
kalau berdiri melakukan shalat memegang tangan tangan kirinya dg tangan kanannya, diriwayatkan oleh
Thabraanii dlm al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/9, no. 1; Baihaqii dlm al-Sunan al-Kubraanya, 2/28; Ibnu al-
Mundzir dlm al-Ausathnya, 3/90, no. 1282 tp dg kalimat bhw Nabi saww kalau masuk dlm shalat
memegang tangan kirinya dg tangan kanannya. Dan diriwayatkan pula melalui jalur, Hajar bin Abi al-
‘Anbas, dari ‘Alqamah, dari Waail bin Hajar, dg kalimat bhw Nabi meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dlm Musnadnya, 4/317).

Diriwayatkan juga melalui Muhammad bin Hajar, dari Sa’iid bin ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail bin Hajar, dari
ayahnya, dari ibunya, dari Waail, dengan kalimat bhw Nabi saww kalau masuk masjid dan masuk mihrab
lalu mengangkat tangannya sambil bertakbir, lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya
(Baihaqi dlm al-Sunan al-Kubraanya, 2/30). Dan juga melalui jalur, al-Mas’uudii, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin
Waail, dari Ahlu Baitihi, dari ayahnya dg kalimat bhw Nabi saww ketika memulai shalat mengangkat
kedua tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dalam
Musnadnya, 4/316; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/32-33 tp disini dikatakan dari
keluarganya di kata2 yg mengatakan dari Ahlulbaitnya). Juga diriwayatkan dg jalur, Abu Ishaaq, dari
‘Abdu al-Jabbaar bin Waail dan Waail, dg kalimat bhw Nabi saww kalau shalat meletakkan tangan
kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Thabraanii dl, al-Mu’jamu al-Kabiirnya,
22/25, no. 52). Dan dg kalimat bhw Nabi saww kalau shalat meletakkan lengan kanannya di atas lengan
kirinya (Thabraanii dlm al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 50). Dan dg kalimat bhw ia shalat bersama
Nabi saww lalu melihat Nabi saww meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Thabraanii dlm
al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 51). Dan dg kalimat bhw ia melihat Nabi saww shalat dg meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Ahmad dlm Musnadnya, 4/318;
Thabraanii dlm al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 52). Dan dengan kalimat meletakkan tangan kanannya
dlm shalat ke atas tangan kirinya (Ahmad dlm Musnadnya, 4/318).

Begitu juga diriwayatkan melalui jalur ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hajar dg kalimat
bhw ia melihat cara Nabi saww dimana beliau saww berdiri, lalu bertakbir dg mengangkat tangannya
sampai ke telinga dan kemudian meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiri di dekat
pergelangan tangan (Ahmad bin Hanbal dlm Musnadnya, 4/318; al-Daaru Quthnii dlm Sunannya, 1/314 tp
tanpa kata2 pergelangan tangan; Nasaai dlm Sunannya, 2/126 tp tanpa kata2 punggung tangan; Ibnu
Khaziimah dalam Shahihnya, 1/243, no. 480; Ibnu Jaaruud dalam al-Muntaqaa, 62, no. 208 tp kata2
meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan kiri; Baihaqii dlm al-Sunan al-Kubraanya, 2/28 tp ada
kata2 pergelangan dari lengan; Thabraanii dlm al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/35, no. 82 dg sisipan kata2
antara pergelangan dan lengan;

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 11
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Dan masih banyak lagi model2 hadits atau kalimat2 haditsnya dimana dapat mempengaruhi nilainya
(menjadi lemah).

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, terdapat kerancuan dlm sanad/perawinya sehingga hadits ini tdk bisa dijadikan sandaran
hukum. Sebagian mengatakan dari ‘Alqamah dari ayahnya. Yg lain mengatakan dari, ‘Abdu al-Jabbaar
bin Waail, dari ibunya, dari Waail. Yg lainnya dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya. Begitu pula ada yg dari
‘Abdu al-Jabbaar, dari Orang2 dari Ahlubaitnya/keluarganya, dari ayahnya. Jg ada yg mengatakan dari
‘Alqamah, dari pembantu mereka, dari Waail. Ada jg yg dari ahlulbait/keluarga ‘Abdu al-Jabbaar, dari
ayahnya, Waail.

Ke Dua, terdapat kerancuan yg banyak dalam matan atau kata2nya. Sebagian penukilan kalimat2nya
sdh saya usahakan untuk dibuat seleterleks mungkin. Ada yg menyebutkan kata2 meletakkan (wadha’a)
dan ada yg tdk. Ada yg menyebut letak peletakan tangan kanannya dan ada yg tdk menyebutkan, seperti
pergelangan, lengan atau antara pergelangan dan lengan. Ada yg menyebutkan letak sedekapnya dan
ada yg tdk menyebutkan. Yg menyebutkan peletakan sedekapnya jg ada yg mengatakan di dekat dada
dan ada yg menyebut di dada. Ada jg yg mengatakan memegan tangan kiri dg tangan kanan, ada yg
hanya mengatakan meletakkan. Masih banyak lagi kerancuan kata2 yg membuat hadits ini menjadi tdk
memiliki nilai keshahihan dilihat dari sisi matan atau isinya.

Ada juga yg berusaha membela kerancuan kalimat ini spt al-Mubaarahfauri dg alasan kalau ada salah
satunya yg bisa dilebihkan dari yg lain, mk bisa dijadikan yg shahih (Tuhfatu al-Ahwadzi dlm Syarh Sunan
al-Turmudzi, 2/83).

Pembelaannya ini sama sekali tdk bisa diambil. Karena kerancuan hadits di atas sangat parah hingga
bagaimanapun tdk bisa keluar dari nilai kerancuan. Lagi pula, kerancuan itu memang masih diselamatkan
dg memilih yg paling shahih. Akan tetapi kalau bukan dari jalur yg satu dan perawi yg satu. Tp
sebagaimana maklum, kerancuan matan ini banyak terjadi juga pada yg satu jalur dan perawi. Karena itu,
mk hadits ini tetap rancu dan tdk bisa dipakai.

Ke Tiga, hadits ini munqothi’/terputus. Karena semua riwayatnya kalau bukan dari jalur ‘Alqamah maka
dari ‘Abdu al-Jabbaar yg mana kedua-duanya anak dari Waail. Sementara Ibnu Mu’iin mengatakan bhw
‘Alqamah tdk pernah mendengar riwayat dari ayahnya (Jaami’u a-Tahshiil Fii Ahkaami al-Mursal,
terjamahan no. 536; Miizaanu al-I’tidaal, 5/134; al-Mughnii Fii al-Dhu’afaa-i, 2/442; Tahdziibu al-Tahdziib,
7/248). Abu Bakar al-Bazzar berkata bhw yg mengatakan “Aku sangat kecil hingga tdk bisa tahu
shalatnya ayahku.”, adalah ‘Alqamah, bukan saudaranya yg bernama ‘Abdu al-Jabbaar (Tahdziibu al-
tahdziib, 6/95). Sedang saudaranya, ‘Abdu al-Jabbaar, mk al-Aajiri bertanya kepada Abu Daud ttg dia dan
ayahnya yg kemudian dijawab bhw ia masih dalam kandungan ketika ayahnya, Waail meninggal dunia.
Begitu pula yg dikatakan Bukhari (Taariikh Kabiir, 6/106) dan al-Durri (Tahdziibu al-Kamaal, 16/394), Abu
Haatim (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 6/30), Ibnu Habbaan (al-Tsiqaat, 7/135). Begitu pula yg dikatakan oleh Ibnu
al-Madanii, Ibnu Jariir al-Thabarii, Ya’quub bin Sufyaan, Ya’quub bin Syaibah, al-Daaru Quthnii dan
Hakim (Hasyiah Sairi al-Nubalaa-i, 2/573).

Ke Empat, Kulaib bin Syahaab dan Ahlulbait ‘Abdu al-Jabbaar adalah orang2 yg tdk dikenal (majhuul).

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 12
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Mungkin karena itu Bukhari tdk meriwayatkan darinya dlm shahihnya. Al-Aajiri menukilkan dari Abu Daud
yg berkata bhw ‘Ashim bin Kulaib dan ayahnya (Kulaib) dan kakeknya, tdk ada apa2nya (Tahdziibu al-
kamaal, 24/212). Kulaib bukan seorang shahabat sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar (Tahdziibu al-
Tahdziib, 8/400). Sedang pembantu keluarga Abu Waail, Ahlulbait Waail dan Ahlulbait ‘abdu al-Jabbaar
adalah orang2 yg tdk dikenali siapapun hingga karena itu tdk memiliki nilai apapun.

Ke Lima, Waail bin Hajar ini adalah orang yg sangat negatif, seperti menjadi mata2 Mu’awiyyah di
pasukan imam Ali as. Yang ingin tahu keburukannya bisa melihat ke: Taariikh al-Thabarii, 4/186-213;
Taariikh Ibnu al-Atsiir, 3/239-240; Sairu A’laami al-Nubalaa-i, 2/572).

Dengan semua uraian di atas ini, mk hadits dari Waail ini tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam Islam.

8-2-e- Yang riwayat Ibnu Ma’uud. Diriwayatkan oleh al-Daaru Quthni dalam Sunannya, 1/283. Ia
meriwayatkan dari Ismaa’iil bin Abaan al-Warraaq, dari Mundil, dari Ibnu Abi Lailaa, dari al-Qaasim bin
‘Abdu al-Rahmaan bin ‘Abdullah bin Mas’uud, dari ayahnya dan kakeknya (yg isi haditsnya sama dg di
atas).

Kritikan jalur ini:


Pertama, terdapat perawi yg bernama Muhammad bin ‘Abdu al-Rahmaan bin Abu Laila, dimana sdh
dibahas sebelum ini.

Ke dua, di riwayat ini jg ada perawi yg bernama Mundil bin ‘Ali al-‘Unziy. Orang ini dilemahkan Ahmad bin
Hanbal (al-‘Ilal wa Ma’rifatu al-Rijal, 1/135) dan bahkan dinilai pembohong oleh Syariik dalam beberapa
haditsnya (Bukhari dlm al-Taariikhu al-Shaghiir-nya, 2/151). Al-Daaru Quthni jg pernah ditanya ttg Mundil
dan saudaranya dimana ia menjawab: “Keduanya ditinggalkan (matruuk).” (Haamisy Tahdziibi al-Kamaal
‘An Suaalaati al-Barqii. Ibnu Habbaan jg berkata bhw Mundil itu marafa’ (menyambungkan ke Nabi saww)
apa2 yg mursal (yg diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yg tdk pernah melihat Nabi saww) dan
banyak menentang orang2 tsiqah karena buruknya hafalannya hingga karena itu ia layak untuk dijadikan
ditinggalkan/matruuk (al-Majruuhiin, 3/25). Abur Zar’ah mengatakan bhw ia layyin/tdk kuat (al-Jarhu wa
al-Ta’diil, 8/434). Ibnu Mu’iin jg berkata bhw Mundil dan Habbaan adalah dha’if/lemah (Taariikh Yahya bin
Mu’iin, 2/36, no: 3057). Bgt pula dia/Mundil dilemahkan oleh Nasaai dan Ibnu Qaani’ dan Ibnu Hajar
(Tahdziibu al-Tahdziib, 10/266; Taqriibu al-Tahdziib, 2/280). ......dll dari orang2 yg melemahkan dirinya –
Mundil.

8-2-f- Yg diriwayatkan oleh Thaawuus. Diriwayatkan oleh Abu Daaud, dari Abu Taubah, dari al-Haitsam
(Ibnu Hamiid), dari Tsaur, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Thaawuus, berkata:

p p
“Rasulullah saww meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya lalu meletakkannya di atas
dadanya sementara ia sedang dlm shalat.” (Sunan Abu Daaud, 1/198, no. 759).

Kritikan jalur ini:


Pertama, Thaawuus ini adalah orang yg tdk pernah bertemu dg Nabi saww. Karena itu haditsnya mursal

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 13
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

dan tdk bisa dijadikan sandaran apapun terutama hukum.

Ke dua, salah satu perawi hadits di atas ini terdapat orang yg bernama Sulaimaan bin Muusaa al-
Damasyqy al-Umawi dimana orang ini digolongkan oleh Bukhari ke dalam orang2 yg lemah/dha’iif dan
dikatakan bhw ia memiliki hadits2 mungkar (al-Dhu’afaa-u al-Shaghiiru, 110). Banyak sekali ulama yg
menggolongkannya dalam orang2 yg lemah/dha’iif spt, ‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiiru, 2/140), Nasaai
(al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin, 122), Ibnu ‘Udda (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-u, 3/1119).

Ke tiga, juga terdapat orang yg bernama al-Haitsam bin Hamiid dan Tsaur bin Yaziid yg dalam kitab2 rijal
tdk dianggap sebagai orang yg kuat atau penghafal hadits (ahli hadits).

8-3- Sedang riwayat model yg ke tiga adalah yg meriwayatkan bhw Nabi saww
membenahi shahabat yg salah dalam sedekapnya. Riwayat ini diriwayatkan oleh Inbu Ma’uud dan
Jaabir bin ‘Abdullaah al-Anshaarii. Isi dan maksud haditsnya sama saja, spt:

Ibnu Mas’uud berkata: “Nabi saww melihat aku yg meletakkan tangan kiriku ke atas tangan kananku dlm
shalat, lalu –Nabi saww- mengambil tangan kananku dan meletakkannya ke atas tangan kiriku.”

8-3-a- Yg dari Ibnu Ma’uud. Diriwayatkan oleh Nasaai sesuai jalurnya dari al-Daaru Quthni, dari ‘Umar bin
‘Ali, dari ‘Abdu al-Rahmaan, dari Husyaim, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan dari Ibnu
Mas’uud. Riwayat ini jg diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dengan jalur dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Haatim,
dri Husyaim, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan al-Nahdii, dari ‘Abdullah bin Mas’uud. Jg ,
Abu Daaud dan al-‘Uqaili. Juga diriwayatkan oleh Abu Daaud dg jalur Baihaqii, dari Muhammad bin
Bakkaar, dari Husyaim dari al-Hajjaaj, dari Abu ‘Utsmaan, dari Ibnu Mas’uud. Juga diriwayatkan al-‘Uqailii
dasri kakeknya dan ‘Ali bin ‘Abdu al-‘Aziiz dari Hajjaaj bin al-Manhaal, dari Husyaim dari Hajjaaj bin Abu
Zainab dari Abu ‘Utsmaan dan Ibnu Ma’uud.

Kritikan hadits ini:


Pertama, manufer hadits ini ada pada Hajjaaj dimana ia terkenal dg kedha’iifannya seperti al-Hasan bin
Syujaa’ al-Balkhii, Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin), al-Daaru Quthni, al-‘Uqailii, Ibnu ‘Uddaa (al-
Dhu’afaa-u), dll-nya.

Ke dua, juga terdapat orang yg bernama Husyaim (atau Hasyiim) dimana orang ini dinyatakan terkenal
dg tadlisnya, yakni menutupi kekurangan haditsnya, spt sanad yg tdk nyambung dan semacamnya (Huda
al-Saari, 1/449).

8-3-b- Yg diriwayatkan dari Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaari. Diriwayatkan oleh al-Daaru Quthni dari jalur
Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir bin
‘Abdullah al-Anshaarii. Dlm hadits ini dikatakan bhw Jaabir melihat satu orang yg dibenarkan sedekapnya
seperti yg di riwayat Ibnu Ma’uud di atas.

Kritikan terhadap jalur ini:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 14
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Pertama, cukup dg adanya al-Hajjaaj bin Abu Zainab di atas sudah menunjukkan bhw hadits ini tdk bisa
dipakai sama sekali sebagai sandaran hukum dlm agama Islam.

Ke dua, ditambah dg perawi yg bernama Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii yg digolongkan ke dalam
perawi2 yg lemah/dha’iif oleh beberapa ahli rijaal spt: Ibnu Habbaan (al-Majruuhiin), al-‘Uqaili dan ‘Uddaa
(al-Dhu’afaa-u), dll-nya.

...........(bersambung ke bagian-2).........................

Bismillah: Sedekap Dalam Fatwa2 dan Kitab2 Sunni, bag-2

8-4- Hadits2 yg berderajat Mauquuf (yg dilakukan oleh orang yg bershahabat dg Nabi saww) atau
Marfuu’ (yg dihubungkan kepada Nabi saww) dimana dlm kesepakatan para ahli hadits, bhw
hadits2 yg berderajat spt ini tdk bisa dijadikan dalil dalam menentukan hukum. Namun demikian,
untuk melengkapi bahasan, mk kami nukilkan disini dimana nanti akan terbukti bhw selain masalah
keMauquufannya ini, jg dibarengi dg dha’iifnya para perawinya. Jadi, semakin tdk bisa dipakai karena
selain Mauquuf, hadits2 ini jg dha’iif.

8-4-a- Yg diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d. Hadits ini diriwayatkan oleh berbagai pengumpul hadits sunni,
spt Bukhari (Shahih Bukhari yg disyarahi Ibnu Hajar, 2/224; al-Sunanau al-Kubraa Baihaqii, 2/28).
Diriwayatkan dari jalur ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar dan Sahl bin
Sa’d, bhw ia berkata:

“Orang2 diperintah untuk meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat.” Abu Haazim
berkata: “Yg kutahu bhw dia hanya menghubungkannya (marfuu’) kepada Nabi saww.” Berkata Ibnu
Hajar dlm Syarahannya (keterangannya) terhadap Shahih Bukhari bwh maksud Yunmaa yg Rafa’ahu,
yakni menghubungkannya saja kepada Nabi saww (Fathu al-Baarii, 5/325)

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, dalam hadits ini jelas tdk ketahuan siapa yg memerintah. Mestinya, kalau Nabi saww yg
memerintah, ia berkata: “Kami diperintah”, bukan berkata: “Orang2 diperintah.” Kata2 dlm hadis ini, jelas
bhw yg memerintah itu bukan Nabi saww.

Ke dua, perawi yg meriwayatkan dari Sahl sendiri –Abu Haazim- mengatakan bhw si Sahl itu telah
menghubungkannya saja kepada Nabi saw.

Ke tiga, manufer dari hadits ini adalah dari Maalik, sementara imam Maalik sebagai salah satu imam
madzhab sunni, memakruhkan bersedekap. Jadi, terlihat bhw hadits ini dihubungkan saja kepada imam
Maalik.

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 15
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Ke empat, umur Sahl waktu meninggal adalah 100 th dan meninggalnya di tahun 91 H. Jadi, umur dia di
waktu wafatnya Nabi saww adalah 19 th. Karena itu, mestinya ia mengatakaan bhw kami diperintah Nabi
saww, bukan orang2 diperintah. Terlebih perawi darinya, yakni Abu Haazim mengatakan bhw dia hanya
menghubungkannya kepada Nabi saww.

Ke lima, dilihat dari umur Sahl yg 100 th dan meninggalnya yg di th 91 H, mk ia hidup di jaman berbagai
pemerintahan setelah Nabi saww, sejak dari jaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Imam Ali as,Imam Hasan
as, Mu’awiyyah, Yaziid dan Marwan. Jadi, bisa saja maksud Sahl bukan merafa’kan atau
menghubungkan perintah itu kepada Nabi saww, akan tetapi mmg maksudnya adalah salah satu dari
pemerintahan itu. Kalau hal ini ditambah dg riwayat dari kitab2 Syi’ah yg mengatakan bhw yg menyuruh
sedekap dlm shalat itu adalah Umar, yaitu ketika ia memeriksa tawanan orang2 Iran yg mana para
tawanan meletakkan tangan kanannya di dada sambil membungkuk ke Umar lalu Umar bertanya
perbuata apa ini, kemudian dijawab penghormatan, mk Umar mewajibkan orang2 untuk meletakkan
tangan ke dada ketika shalat untuk menghormati Tuhan. Dan karena Tuhan lebih mulia dari selainNya,
mk tangan yg diletakkan di dada, adalah dua2nya, bukan satu tangan. Perbuatan Umar ini, konon, untuk
membuat orang2 Iran lebih cepat menerima Islam.

8-4-b- Yang diriwayatkan dari imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan di kitab Ibnu Syaibah, Abu Daaud, al-
Daaru Quthni dan Baihaqi dari jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq Abu Syaibah al-Waasithi, dari Ziyaad
bin Zaid al-Siwaa-ii, dari Abu Juhaifah, dari imam Ali as yg berkata:

“Meletakkan telapak tangan ke atas telapak tangan dlm shalat di bawah pusar, adalah sunnah.”

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, hadits ini jelas tdk bisa dipakai karena dihubungkan ke perkataan shahabat, karena hal ini
dikatakan dg Mauquuf sebagaimana maklum.

Ke dua, semua ahli hadits dan rijal sunni melemahkan hadits ini kecuali Ibnu al-Qayyim dimana ia
satu2nya orang sunni yg menshahihkan hadits ini. Sedangkan yg melemahkannya banyak sekali, spt: al-
Nawawii dimana bahkan ia mengatkan bhw kedha’iifannya adalah merupakan kesepakatan; al-Daaru
Quthnii; Baihaqii; dll.

Ke tiga, ada perawi yg bernama ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq yg dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal,
Yahya bin Mu’iin, Abu Haatim, Abu Zar’ah, Abu Bakar bin Khaziimah, al-Bazzar, Ibnu ‘Uddaa, al-‘Uqaili,
Nasaai (al-Dhu’afaa-u), al-Daaru Quthni (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin).

Ke empat, juga terdapat orang yg bernama Ziyaad bin Zaid dimana Abu Haatim, al-Khazrajii, Dzahabi
dan Ibnu Hajar mengatakannya sebagai Majhuul (yg tdk ketahuan identitasnya).

8-4-b- Yg diriwayatkan dari Imam Ali as secara Mauquuf adalah yg diriwayatkan oleh Abu Daaud dan
Ibnu Syaibah dari jalur Abu Thaaluut ‘Abdu al-Salaam, dari Ibnu Jariir al-Dhabii, dari ayahnya yg berkata:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 16
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

“Aku melihat Ali ra menyentuh tangan kirinya dg tangan kanannya di pergelangan di atas pusar.”

Yg dari Abu Syaibah:

“Ali ketika berdiri melakukan shalat, meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya,
sampai ia melakukan ruku’, kecuali kalau ia mau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Ibnu Hazm jg meriwayatkan tentang imam Ali as:

“Kalau shalat Ali lama/panjang dalam berdiri, mk ia memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya
dari tapak tangannya kecuali kalau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Riwayat ini, yaitu yg menandakan bhw bolehnya seseorang menggunakan tangan dalam shalat ketika
perlu, dikuatkan oleh Bukhari dalam shahih Bukhari-nya (hadits ke: 521). Yaitu dg memasukkan
peletakan tangan kanan imam Ali as di atas tangan kirinya ini, dlm “Babu Isti’aanati al-Yadi Fi al-
Shalaati”, yakni “Bab menggunakan tangan dalam shalat.”

Maksud dari penjelasan ini adalah bhw kalau shalat imam Ali as itu sdh panjang atau lama dan terasa
lelah di tangan, mk boleh ditelakkan ke atas yg lain. Artinya, bukanlah sedekap itu ajaran Islam, tp
dibolehkan saja spt menggaruk badan.

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, semua ahli hadits sunni melemahkan hadits ini, spt: Ibnu Hajar, al-Syaukaanii, Abu al-Thayyib
al-Abaadii.

Ke dua, terdapat perawi yg bernama Jariir al-Dhabii dimana Ibnu Jariir mengatakan bhw dia itu tdk
diketahui identitasnya (al-Miizaan).

Ke tiga, terdapat orang yg bernama Ibnu Jariir, dimana orang ini tdk ada yg mentsiqahkannya kecuali
Ibnu Habban sementara Ibnu Habbaan terkenal mentsiqahkan Majaahiil (org yg tdk ketahuan
identitasnya).

Ke empat, haditsnya muththarib alias berbeda-beda kata. Muththarib ini, salah satu kelemahan hadits
sebagaimana disepakati ahli hadits.

8-4-c- Yang diriwayatkan atau dihubungkan ke Abu Hurairah. Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Daaud,
al-Daaru Quthnii, dari jalur ‘Abdu al-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, dari
Sayyaar Abu al-Hakam, dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah al-Asadi yg berkata bhw Abu Hurairah

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 17
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

berkata:

“Memegang tangan dg tangan di bawah pusar dlm shalat adalah sunnah” ( yg diriwayatkan Abu Daaud).

“Meletakkan tangan di atas tangan dlm shalat adalah dari sunnah.” (yg dari al-Daaru Quthni).

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, matannya muththaribah seperti sebelum2nya. Karena itu tdk bisa dijadikan sandaran hukum.
Karena yg satu mengatakan “meletakkan” dan yg lainnya mengatakan “meletakkan”. Satu haditsnya
mengatakan di bawah pusar dan yg lainnya, tdk mengatakan apa2.

Ke dua, hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama sunni spt: Abu Daaud, Baihaqii, Abu al-Thayyib al-
Abaadii, Ibnu ‘Abdu al-Bar.

Ke tiga, ada perawi2 yg dikenal sebagai dha’iif, spt ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, Syaqiiq bin
Salamah.

8-4-d- Yg diriwayatkan dan dihubungkan kepada Ibnu Zubair. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan
dari Jalur/thariiq Baihaqi, diriwayatkan kepada kami oleh Nashr bin 'Ali, dari Abu Ahmad, dari al-'Alaa' bin
Shaalih, dari Zar'ah bin 'Abdurrahmaan yg berkata: Aku mendengar Ibnu Zubair berkata:

"Meratakan dua kaki dan meletakkan tangan di atas tangan adalah sunnah"

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, berkata Ibnu al-Madiinii: 'Alaa' bin Shaalih itu banyak meriwayatkan riwayat2 yg mungkar (tdk
bisa diterima).

Ke dua, Abu Daud tdk meriwayatkan hadits dari Zar'ah bin 'Abdurrahman kecuali dlm hadits ini. Jadi dia
ini bukan perawi yg dibesarkan Abu Daud.

Ke tiga, tidak ada yg mentsiqahkan/menshahihkan Zar'ah bin 'Abdurrahman ini kecuali Ibnu Habbaan
dimana ia mmg suka mentsiqahkan orang2 yg dikenal (majaahiil/majhuul).

8-4-e- Yg diriwatkan dan dihubungkan kepada 'Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Daaru Quthnii dan
Baihaqii dari jalur/thariiq Syujaa' bin Mukhallad al-Falaas, dari Hasyiim, yg berkata Manshuur bhw telah
diriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin Abaan al-Anshaarii, dari 'Aisyah yg berkata:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 18
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

"Ada tiga hal dari kenabian: Mempercepat buka puasa, memperlambat sahur dan meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri dlm shalat." (Baihaqi berkata: Riwayat ini paling shahihnya riwayat dlm
pandangannya).

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, sekali lagi, bhw hadits ini tergolong bagian hadits mauquuf yg tdk bisa dipakai. Beda kalau
'Aisyah berkata spt "Aku melihat Nabi saw shalat dg meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri".
Karena riwayat spt ini, tdk akan dikatakan riwayat atau hadits Nabi saw, bukan pendapat 'Aisyah yg bisa
dikatakan mauquuf atau juga marfuu'. Btw.

Ke dua, riwayat dari 'Aisyah ini, hanya melalui satu orang saja, yaitu si Muhammad bin Abaan. Karena
itu, tdk bisa dijadikan pegangan (tentu selain kemarfuu-'annya di atas).

Ke tiga, Muhammad bin Abaan ini adalah seorang yg majhuul (tdk diketahui siapapun identitasnya)
hingga karena itu, tdk bisa dijadikan pegangan karena tdk bisa dinilai ketsiqahan dan tidaknya.

Ke empat, riwayat kata2 'Aisyah dari Muhammad bin Abaan ini dinilai oleh Bukhari sebagai terputus
(terputus antara Muhammad dan 'Aisyah yg sdh tentu lebih lemah lagi dari terputusnya seorang perawi
dari Nabi saww itu sendiri). Bukhari berkata "Tidak ada cerita/riwayat bhw Muhammad
mendengar/berjumpa dari/dg 'Aisyah.

Ke lima, Ibnu Habbaan berkata bhw yg mengira bhw Muhammad bin Abaan ini mendengar/berjumpa
dari/dg 'Aisyah, mk ia telah mengkhayal.

Ke enam, Ibnu Hajar berkata bhw tidak pernah terdengar bhw Muhammad bin Abaan itu telah
mendengar/berjumpa dari/dg 'Aisyah dimana hal ini dikatakan oleh Bukhari.

Ke tujuh, yg dimaksud dg Manshuur dlm riwayat ini, adalah Manshuur bin Zaadzaan, bukan Manshuur
bin al-Mu'tamar yg dikenal sebagai haafizh hadits dan tsiqah/dipercaya.

Ke delapan, kalau menurut Baihaqi riwayat ini adalah paling shahihnya riwayat dlm hal bersedekap dlm
shalat ini, mk bagaimana dg hadits2 lainnya.

8-4- f- Yg diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu Bakar. Riwayat kata2/perbuatan Abu Bakar ini,
diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari jalur Ibnu Mundzir, dari Yahya bin Sa'iid, dari Tsaur, dari Khaalid bin
Ma'daan, dari Abi Ziyaad maula/pembantu Aali Darraaj yg berkata:

"Aku tidak pernah melihat sesuatu lalu melupakannya. Aku tidak pernah lupa bhw kalau Abu Bakar

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 19
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

melakukan shalat, seperti ini (lalu ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya)." (ini fersi yg
diriwayatkan oleh Abu Syaibah). Sedang yg riwayat fersi Ibnu al-Mundziir spt ini:
"…..ia –Abu Bkar- berdiri seperti ini (lalu ia meletakkan tapak tangan kanannya ke atas siku lengan kirinya
dg menempelkan pergelangannya)."

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, sebagaimana yg telah lalu, hadits ini tergolong hadits marfuu' dan mauquuf yg tdk bisa
dijadikan pegangan.

Ke dua, Ibnu Hajar berkata bhw Abu Ziyaad maula Aali Darraaj itu, tdk diketahui orangnya.

Ke tiga, al-Daaru Quthnii berkata bhw Abu Ziyaad itu matruuk (ditinggalkan/tdk-dipakai).

Ke empat, adanya Taur bin Yaziid yg tdk bisa dipakai sebagaimana sdh diurai di atas di bahasan hadits
Thaawuus (point 8-2-f).

8-4-g- Yg diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu al-Dardaa'. Penghubungan ini diriwayatkan oleh
Ibnu al-Mundzir dari jalur Hajjaaj yg berkata bhw telah diriwayatkan kepada kami oleh Hamaad bin Zaid,
dari 'Ali bin Abi a;-'Aaliyah, dari Mauriq al-'Ajalii yg berkata bhw Abu al-Dardaa' telah berkata:

"Tiga hal termasuk dari kebaikan: Mempercepat ifthar (buka puasa), menyempurnakan sahur dan
meletakkan tangan di atas tangan dlm shalat."

Dan Abu Syaibah juga meriwayatkan kata2 Abu al-Dardaa' di atas itu, melalui Wakii', dari Ismaa'iil bin Abi
Khaalid, dari al-A'masy, dari Mujaahid, dari Mauriq al-'Ajalii, dari Abu al-Dardaa' yg berkata:

"Salah satu akhlak para nabi adalah meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dlm shalat." (al-
Hasitsamii hanya mengisyaratkan terhadap hadits ini dlm kitab Majma'nya dan ia menyebutkan bhw al-
Thabrani telah meriwayatkannya dlm kitab al-Kaabir-nya).

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, ttg yg diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir, sebagaimana maklum bhw hadits ini tdk bisa dipakai
karena marfuu' dan mauquuf.

Ke dua, dlm riwayat itu ada yg bernama 'Ali bin Abi al-'Aliyyah dimana orang ini tdk dikenal.

Ke tiga, Bukhari mengatakan bhw riwayat 'Ali bin Abi al-'Aliyyah dari Mauriq adalah mursal (diriwayatkan
seseorang dari orang lain yg tdk pernah ketemu).

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 20
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Ke empat, ttg yg diriwayatkan oleh Abu Syaibah mk selain kemauquufannya, terdapat perawi yg
bernama Ismaa'iil bin Abu Khaalid dan al-A'masy dimana keduanya telah disifati para ahli hadits sebagai
Mudallis (menyembunyikan kekurangan perawi yg darinya mengambil riwayat atau menyembunyikan
kelemahan riwayatnya, spt merawikan dari anak kecil lalu namanya diganti dg fulan, atau dari orang yg
tdk pernah ketemu tp diucapkan spt pernah bertemu dg-nya…dst.).

8-4-h- Yg dihubungkan kepada 'Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii. Riwayat ttg 'Abdullah bin Jaabir ini,
diriwayatkan oleh al-Thabraanii dlm kitab al-Kaabir-nya dan Ibnu al-Atsiir dlm Usdu al-Ghaabah-nya dari
jalur Hisyam bin 'Ammaar, dari Abdullah bin Abu Sufyaan –orang Madinah- yg berkata "Aku mendengar
dari kakekku 'Uqbah bin Abi 'Aisyah yg berkata":

"Aku melihat shahabat Nabi saw yg bernama 'Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii meletakkan salah datu
tangannya ke atas sikunya dlm shalat."

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, Abdullah bin Abi Sufyaan itu seorang yg majhuul/tdk-dikenal.

Ke dua, Abu Daud berkata bhw Hisyaam bin 'Ammar telah meriwayatkan 400 hadits yg bersanad tp tdk
ada asalnya (hakikatnya).

Ke tiga, Musallamah berkata ttg Hisyaam bin 'Ammaar bhw dia banyak dicela (dibincangkan
keburukannya).

Ke empat, Dzahabi berkata bhw Hisyaam bin 'Ammar itu banyak kemungkarannya (hadits2
mungkar/tertolak-nya) dan telah diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bhw dia itu sangat tdk tentu arah
(kurang akal dan kurang ingatan) smg Allah membunuhnya.

Ke lima, dinukilkan dari Ibnu al-'Ajami bhw ia termasuk orang yg mensifati Hisyaam itu dg "kacau" atau
"campur baur".

Ke enam, dlm riwayat itu jg terdapat perawi yg bernama 'Uqbah dimana orang ini majhuul/tdk-dikenali
dan tdk ada satu orangpun yg mentsiqahkannya.

Ke tujuh, Bukhari dan Abu Haatim tdk berkata apa2pun ttg 'Uqbah itu kecuali hanya berkata bhw ia
meriwayatkan dari Abdullah bin Jaabir dan Abdullah bian Abi Sufyaan (yakni tdk mengomentari apapun,
baik tsiqahnya, nyambungnya, tdk terputusnya, majhuulnya…dst…dimana hal ini berarti, tdk dianggapnya
shahih karena tdk mendapat perhatiannya).

8-5- Dalil sedekap yg diambil dari penafsiran ayat yg berbunyi:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 21
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

"Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan bernaharlah"

Nahar ini memiliki makna kata "leher". Selalunya dan umumnya, para mufassir sunni dan syi'ah,
menafsirkan dg penyembelihan. Yakni karena Nabi saw telah diberi Kautsar, mk beliau saww diperintah
shalat dan menyembelih binatang atas nama Allah swt.

Walau begitu, terlihat tafsir lain dari nahar di ayat ini, spt mengangkat tangan sampai ke leher ketika
melakukan takbiratul-ihram dlm shalat. Bgt pula tafsiran2 yg lain spt menghadap kiblat dll-nya.

Nah, salah satu tafsiran yg dilemahkan sunni sendiri, adalah meletakkan tangan ke atas tangan yg lain
dlm shalat (sedekap). Point kita sekarang ini, akan membahas ttg penafsiran "sedekap" dlm shalat pada
ayat di atas. Dan kita akan melihat kenyataan kelemahannya menurut sunni sendiri spt hadits2 di atas yg
jg dilemahkan para ulama sunni sendiri.

Riwayat ttg penafsiran "sedekap" ini, dihubungkan kepada Anas, Ibnu Abbaas dan imam Ali as. Misalnya
di tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, setelah menulis tafsiran2nya ttg "nahar" itu, ia jg menukilkan bhw
ada makna lain yg dinukilkan dari Ibnu Syaibah, Bukhari (dlm kitab taarikhnya), Ibnu Jariir Thabari, Ibnu
Mundzir, Ibnu Abi Haatim, al-Daaru Quthni, Abu al-Syaikh, Hakim , Murdawaih dan Baihaqi yg
diriwayatkan dari imam Ali as.:

InsyaAllah, kita akan melihat periwayatan/penukilan tafsir di atas satu persatu-satu.

8-5-a- Yg dihubungkan kepada Anas. Tafsiran Anas ini diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Anas yg
berkata:

"Yg termasuk akhlak kenabian adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar."

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, hadits spt ini jelas dari Ana sendiri dan bukan dari Nabi saww karena Anas tdk sedang menukil
hadits Nabi saww. Karena itu, ia adalah hadits mauquuf (perbuatan atau pendapat shahabat dan bukan
Nabi saw) yg sama sekali bukan hujjah spt yg sdh disepakati ulama hadits sunni dan syi'ah.

Ke dua, Al-Mubaarakfaurii berkata: "Aku tdk menemukan sanad hadits ini. Ulama2 dari madzhab Hanafi

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 22
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

menyebutkannya dan menjadikannya hujjah akan tetapi tdk menyebutkan sanadnya. Karena itu tdk bisa
dijadikan hujjah."

Ke tiga, pengaran kitab Al-Durrah berkata: " Hadits Anas yg berkatan: 'Yg termasuk akhlak kenabian….',
yg dikatakan oleh al-'Ainii bhw Ibnu Hazm telah meriwayatkannya, mk sanadnya tdk ada hingga karena
itu tdk dpt dilihat apakah rijal2nya (perawi2nya) adalah orang2 yg dpt diterima/tsiqah atau tidak.

Ke empat, diriwayatkan pula oleh Baihaqii dari jalur 'Aashim al-Ahwal dari seorang lelaki dan Anas spt
riwayat yg diriwayatkan dari Ali dan Abbaas dlm tafsir ayat fashalli lirobbika wanhar. Dan hadits yg dari
satu sisi sdh bukan dari Nabi saww dan dari sisi yg lain, juga majhuul/tdk-dikenal. Karena dikatan dari
seorang lelaki. Jadi, tdk ada nilainya dan tdk bisa dijadikan hujjah/dalil/dasar.

Ke lima, justru ada riwayat yg terkenal dari Anas yg beda dari hadits di atas. Yaitu yg menafsirkan nahar
itu bukan bersedekap. Spt yg diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Thabari, dari Hamiid, dari Haaruun bin al-
Mughiirah, dari 'Anbasah, dari Jaabir, dari Anas bin Maalik yg berkata:

"Pada awalnya Nabi saww bernahar (menyembelih atau apa saja yg penting bukan sedekap dlm shalat)
sebelum shalat. Kemudian diperintah untuk shalat dulu baru setelah itu bernahar."

8-5-b- Yg dinukilkan dan dihubungkan kepada imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah,
al-Daaru Quthni, Haakim, Bukhari (dlm kitab Taarikhnya), Ibnu Jariir (dlm tafsirnya), melalui jalur 'Aashim
al-Jahdari, dari 'Aqabah bin Zhahiir atau Ibnu Dhabyaan atau Ibnu Shabyaan (terdapat perbedaan
periwayatan nama), dari Ali yg berkata:

"(wanhar) Adalah meletakkan tangan kananmu ke atas tangan kirimu dlm shalat."

Dan dlm riwayat yg lain dikatakan: "Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengannya di atas
dadanya."

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, sebagaimana maklum bhw imam Ali as di sunni, tdk spt di syi'ah. Yakni tdk diakui sebagai
maksum sekalipun hadits2 sunni mengatakan maksum. Btw, beliau di mata mereka bukan penerus
agama hingga karena itu, pendapatnya tdk bisa disejajarkan dg hadits Nabi saww hingga dijadikan dalil.
Karena itu, hadit ini, sekali lagi, tergolong hadits mauquuf yg tdk bisa dijadikan dalil.

Orang syi'ah juga tdk bisa mengambil hadits ini, karena banyak cacatnya dlm periwayatannya
sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 23
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Ke dua, Ibnu Katsir berkata bhw penukilan pendapat Ali ini, tdk benar.

Ke tiga, Ibnu al-Turkemaani berkatan bhw dlm sanadnya memiliki goncangan (tdk searah).

Ke empat, matannyapun (kalimatnya) banyak memiliki goncangan (tdk satu/tdk menentu).

Misalnya Bukhari dlm kitab sejarahnya (Taariikh al-Bukhaari), meriwayatkan dg kalimat:

"Meletakkan tangannya di atas pertengahan lengannya di atas dadanya."

Ibnu Syaibah, Ibnu Jariir, Haakim, al-Daaru Quthnii dan Baihaqii meriwayatkan dlm bentuk spt ini:

"Meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dlm shalat."

Baihaqi dan Ibnu Jariir, juga meriwayatkan dlm bentuk spt ini:

"Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengan kirinya, kemudia meletakkannya ke atas
dadanya."

Ke lima, sanadnya jg muththaribah (goncang atau beda2).

Misalnya Bukhari dan Ibnu Syaibah, silsilah perawinya yg dari Yaziid bin Ziyaad, merawikan dari 'Aashim,
dari 'Uqbah dan dari Ali.

Dan di tempat lain dlm Taariikhnya, Bukhari dan jg Haakim, perawiyan yg dari Hamaad bin Zaid, dari
'Aashim al-Jahdari, dari Ayahnya, dari 'Uqbah, dari Ali. Disini nampak ada kelebihan perawi setelah
'Aashim, yaitu ayahnya.

Ahli hadits sunni, Ibnu Abi Haatim, telah menjelaskan kegoncangan perawi hadits tsb dlm kitabnya, al-
Jarahu wa al-Ta'diilu. Dan ulama lain g bernama Ibnu al-Turkemaani dlm kitabnya, al-Jauharu al-Naqii.

Ke enam, karena disebutkan dari imam Ali as, mk perlu adanya penyebutan salah satu dari hadits2 syi'ah
yg datang dari Ahlulbait as. Hal ini, perlu disajikan disini karena Ahlulbait as lebih tahu ttg keadaan
bait/rumah-nya. Jadi, riwayat yg tdk sama dari riwayat Ahlulbait sendiri, mk tdk bisa diterima. Saya akan
menyebutkan bbrp spt:

Dari imam Ja'far as berkata:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 24
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

"Al-Nahru/nahar di hadapan Allah adalah tegap dlm berdiri (tdk miring kanan dan kiri atau ke depan dan
belakang), yaitu dg meluruskan tulang punggungnya dan lehernya dan tdk bersedekap, karena
bersedekap itu dilakukan oleh majusi."

Ke tujuh, penafsiran al-nahru dg leher-binatang, lebih cocok dari tafsiran2 yg lain hingga karena itu, tdk
mungkn imam Ali as yg merupakan murid teragung Nabi saww, perlu menafsirkan nahru itu kepada
makna yg tdk lumrah (meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri) dimana tafsiran yg tdk lumrah ini,
sama sekali tdk berkaitan dg asal kata yg dipakai Qur an, yaitu al-nahru.

Ke delapan, al-Roozi jg berpedapat spt itu, yakni menguatkan tafsiran tegapnya badan dari yg lainnya:

"Penggunaan al-nahru kepada makna leher-binatang, lebih umum dari penggunaan yg lainnya. Karena itu
wajib kita memaknai ayat ini dg makna tsb."

Ke Sembilan, Ibnu Jariir al-Thabari berkata:

"Yg lebih utama bagiku dan paling benar, adalah yg mengatakan bhw makna ayat tsb adalah spt ini:
'Jadikanlah shalatmu untuk Tuhanmu secara menyeluruh dan secara ikhlash serta diiringi dg yang
lainNya dari tuhan2 lain. Bgt pula jadikan qurbanmu untukNya dan bukan untuk patung2, sebagai rasa
syukur kepadaNya terhadap apa2 yg telah diberiakanNya kepadamu sebagai kemuliaah dan kebaikan yg
tdk bisa dibayar dg apapun, dan telah mengkhususkanmu dg-nya, yaitu dg memberikamu al-Kautsar.'."

Ke sepuluh, Ibnu Katsiir jg berkata:

"Apa yg dikatakannya ini (Ibnu Jariir) adalah sebaik-baiknya perkataan. Sebelum dia, Muhammad bin
Ka'ab al-Qurzhii dan 'Athaa', telah sampai kepada kesimpulan ini."

Ke sebelas, Ibnu Katsiir jg berkata setelah menukilkan berbagai riwayat2 yg bermacam-macam itu:

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 25
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

"Semua penafsiran2 ini, sangat aneh. Yg benar adalah pendapat yg pertama, bahwasannya yg dimaksud
dg nahru adalah menyembelih qurban haji."

8-5-c- Yg dinukilkan dan dihubungkan dg Ibnu 'Abbaas. Penukilan tafsiran Ibnu 'Abbaas ini diriwayatkan
oleh Baihaqii dari jalur Ruuh bin al-Musayyad, dari Umar bin Maalik, dari Abu al-Jauzaa', dari Ibnu
'Abbaas dlm firmannya yg berbunyi (fashalli lirobbika wanhar), ia berkata:

"Meletakkan tangan kiri ke atas tangan kanan di dekat leher dlm shalat."

Kritikan terhadap hadits ini:


Pertama, Ibnu Habbaan berkata bhw Ruuh bin al-Musayyab itu adalah orang yg merawikan hadits2
maudhu dari tsiqah lalu merubah sanad2nya dan juga menghilangkan mauquufnya. Riwayatnya tdk boleh
dinukilkan atau ditulis, kecuali kalau hanya untuk pemberitaan (bc: bukan untuk menjadikannya dalil atau
hujjah).

Ke dua, Abu Haatim berkata bhw Ruuh bin al-Musayyab itu orang shalih akan tetapi dhaif/lemah.

Ke tiga, Ibnu Mu'iin berkata bhw Ruuh bin al-Musayyab itu shalih kecil (kata ejekan atau pelemahan dlm
ilmu hadits).

Ke empat, Ibni 'Uddaa berkata dlm kitabnya "Al-Dhu'afaa'" (orang2 yg didhaifkan) tentang Ruuh bin al-
Musayyab itu bahwasannya dia itu meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid al-Raqqaasyi hatits2 yg tdk
terjaga.

Ke lima, dlm riwayat itu terdapat perawi yg bernama 'Umar bin Maalik al-Nakarii dimana Ibnu Habbaan
dlm kitabnya "Al-Tsiqaat": Dia suka salah dan mengharibkan hadits (bc: meriwayatkan hadits2
asing/aneh).

Ke enam, Ibnu 'Uddaa berkata bhw 'Umar bin Maalik itu menukil hadits2 mungkar (yg mesti ditolak) dan
suka mencuri hadits. Dan dia juga berkata bhw 'Umar bin Maalik itu, juga meriwayatkan dari Abu al-
Jauzaa', hadits2 yg tdk terjaga.

Ke tujuh, Abu Ya'laa berkata bhw 'Umar bin Maalik itu adalah seorang yg dhaif/lemah.

Ke delapan, Ibnu Hajar berkata bhw Bukhari mendhaifkannya.

Ke Sembilan, terdapat jarak yg terputus (munqathi') antara Abu al-Jauzaa' dg Ibnu 'Abbaas. Bukhari jg
berkata bhw sanadnya Abu al-Jauzaa' itu memiliki problem. Ia jg berkata bhw orang2 bersengketa ttg-
nya.

Ke sepuluh, Ibnu 'Uddaa berkata bhw Abu al-Jauzaa' itu meriwayatkan dari shahabat Nabi saww spt
Ibnu 'Abbaas, 'Aisyah dan Ibnu Mas'uud, dimana hal ini tdk bisa dibenarkan bhw ia mendengar riwayat2
itu dari mereka (para shahabat).

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 26
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Ke sebelas, Abu Zar'ah berkata bhw hadits ini mursal. Dan berkata Ibnu Jariir bhw Abu al-Jauzaa' itu
banyak memursalkan hadits (menghubungkan kepada orang lain yg tdk ditemuinya hingga seakan ia
meriwayatkan langsung dari mereka).

Ke dua belas, yg paling terkenal dari Ibnu 'Abbaas bhw ia menafsirkan ayat tsb dg qurban di waktu haji.
Spt yg diriwayatkan Ibnu Jariir al-Thabari:

Ke tiga belas, hadits di atas telah dilemahkan oleh para haafizh hadits dari sunni sendiri spt Ibnu Jariir yg
berkata: "Sanad hadits ini, lemah/dha'if."

Tambahan Keterangan:

1-Kejelasan Shalat dan Ketertutupan/kesamaran Sedekap.


Kita telah kaji dalil2 ttg sedekap dlm shalat dimana semua hadits2nya, tdk bisa dijadikan dalil dan hujjah
karena kelemahannya. Kalau kita pertahatikan dalilnya yg lemah itu, mk sangat kontradiksi dg sifat shalat
itu sendiri. Artinya, shalat yg sebegitu besarnya arti dan posisinya dlm Islam dimana menjadi penentu
sejati tidaknya iman seseorang, akan sangat aneh, kalau salah satu kewajibannya, terlihat samar. Karena
itu, sangat diragukan bhw sedekap yg samar itu, bagian dari ajaran shalat yg terang tsb.

Kesamaran dalil sedekap ini, menjadi lebih samar dg banyaknya pengingkar terhadapnya yg datang dari
para shahabat dan pembesar salaf yg mana mereka meluruskan tangan ketika shalat.

2- Banyak sekali shahabat dan para pembesar salaf yg meluruskan tangannya dlm shalat.

Ibnu Syaibah berkata:

"Al-Hasan, al-Mughiirah, Ibnu Zubair, Ibnu Siiriin, Ibnu al-Musayyab, Sa'iid bin Jubair dan al-Nakha'ii,
meluruskan tangan dlm shalat dan tdk meletakkan salah satu tangannya ke atas yg lain. Bahkan
sebagian mereka, mengingkari/melarang orang yg melakukannya (sedekap)." (al-Mushannaf, 1/343; al-
Majmuu', 3/311; al-Mughnii, 1/549; Syarhu al-Kabiir, 1/549; 'Umdatu al-Qaari, 5/279).

3- Imam Maalik bin Anas, sebagaimana sdh dijelaskan di atas, sebagai salah satu imam madzhab
Sunni, memakruhkan sedekap dlm shalat wajib. Pemakruhan imam Maalik ini, tdk lain karena mmg
tdk ada ajaran sedekap itu dlm islam.

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 27
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Empat hal penting menyangkut Imam Maalik bin Anas ini:


a-Ia sebagai alim terbesar salaf yg tdk ada yg tdk mengenalnya.
b- Ia lahir hidup diantara th 93-179 H. Artinya, sangat dekat dg jaman syariat.
c- Ia tinggal di Madinah yg sebagai pembesar alim di kota tsb.
d-Ia seorang yg sangat tsiqah/terpercaya.

Dari keempat hal di atas, mk pandangan beliau ini, sangat memiliki kekhususan. Artinya, dpt diyakini
kebenarannya bhw sedekap itu mmg tdk diajarkan Nabi saww. Karena itu, ketika Maalik ditanya ttg
sedekap dlm shalat, ia menjawab:

"Aku tidak mengetahui/mengenalnya dlm shalat wajib." (al-Mudawwanah, 1/76).

Karena Nabi saww tinggal di Madinah, dan imam Maalik jg spt itu, dan ia sangat dekat dg jaman Nabi
saww, ditambah sebagai alim besar di kota tsb dan ditambah ketsiqahannya, mk dpt diyakini bhw
sedekap ini, bukan ajaran Nabi saww. Terlebih semua alim meriwayatkan bhw madzhab orang2 Madinah,
adalah tdk sedekap dlm shalat.

4- Sebagaimana pentingnya pandangan imam Maalik terhadap sedekap ini, mk tak kalah
pentingnya pandangan orang2 Madinah kala itu. Karena Madinah, adalah kota tempat tinggalnya Nabi
saww dimana orang2nya, sdh pasti lebih tahu ttg perbuatan beliau saww. Nah, karena imam Maalik juga
mengambil dari sebelum2nya dari orang2 Madinah, mk jelas pandangan penduduk Madinah adalah tdk
bersedekap dlm shalat.

Allaamah al-Fudhail berkata:

"Perkataan Maalik itu ("aku tdk mengetahuinya") memiliki arti bhw tdk ada orang Madinah yg
mengetahuinya –sedekap. Karena itu, orang madzhab Maaliki, semuanya tdk ada yg melakukan sedekap
dlm shalat sampai hari ini. Dan para ahli fikih Maalikiyyah dlm kitab2 mereka, berkata: 'Sesunggunya
meluruskan tangan dlm shalat itu, adalah ijama'/kesepakatan semua orang Madinah.'." (al-Risaalataan, 9-
10).

5- Riwayat shalat yg paling terkenal di sunni, adalah hadits berikut ini dimana tdk menyebutkan
adanya sedekap dlm shalat. Hadits ini, sangat penting. Karena perawinya yg jg shahabat (Abu Humaid
al-Saa'idii) semacam sedang dites oleh 10 shahabat yg lain. Dlm riwayat ini, sama sekali tdk menyebut
sedekap. Karena itu, sedekap itu, mmg tdk pernah diketahui shahabat2 Nabi saww.

-
-

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 28
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Abu Humaid al-Saa'idii ketika berada di hadapan 10 orang shahabat yg diantaranya Abu Qutaadah al-
Anshaari (dan Abu Hurairah, Abu Asiid dan Sahl bin Sa'd) berkata: "Aku lebih tahu dari kalin tentang
shalat Rasul saw."

Mereka berkata: "Mengapa bisa begitu? Demi Allah kamu tidak lebih lama dari kami menjadi shahabat
beliau saww dan tdk lebih banyak dari kami dlm mendatangi beliau saww.

Ia menjawab: "Benar".

Mereka berkata: "Kalau begitu, paparkanlah!"

Ia berkata:

"Ketika Rasulullah saw berdiri mendirikan shalat, beliau saww berdiri dg tegap/lurus dan mengangkat
kedua tangannya hingga sama rata dg kedua bahu beliau saww. Kalau ingin melakukan ruku', beliau
saww mengangkat kedua tangan beliau saww sampai rata dg kedua bahu beliau saww sambil mengucap
'Allaahu Akbar', lalu rukuk. Setelah itu beliau saww berdiri lurus lagi (I'tadala) tanpa merendahkan kepala
beliau saww dan tdk menghinakannya. Lalu beliau saww meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut
beliau saww (dan beliau saww membuka jemari2 beliau saww dan membungkukkan punggung beliau
saww).

Kemudian beliau mengucapkan, 'Sami'allaahu Liman Hamidahu' sambil mengangkat kedua tangan beliau
saww dan berdiri tegak hingga semua tulang2 belau saww kembali ke posisinya spt semula. Lalu beliau
saww menjatuhkan ke tanah bersujud sambil mengucap 'Allaahu Akbar'. Beliau saww menjauhkan kedua
lengan bagian atas beliau saww dan ketiak beliau saww dan membuka jemari kedua kaki beliau saww
(dan menyentuhkan hidung, dahi, kedua tapak tangan, kedua lutut beliau dan ujung kaki beliau saww ke
atas tanah). Kemudian beliau saww melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya dg tegap hingga semua
tulang pada posisinya, lalu melakukan sujud sambil mengucap 'Allaahu Akbar'. Kemudian beliau saww
melipat kaki kiri beliau saww dan duduk di atasnya dg tegak hingga semua tulang kembali ke posisinya
sebelum kemudian bangkit.

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 29
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Kemudian beliau saww melakukan hal yg sama pada rakaat ke dua. Ketika beliau saww bangkit dari
kedua sujud beliau saww, mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan beliau saww hingga rata dg
kedua bahu beliau saww seperti waktu memulai shalat. Begitu seterusnya hingga ketika sampai akhir
shalat, beliau saww mengakhirkan kaki kiri beliau saww dan duduk menyamping dg meletakkan kedua
tangan beliau saww di atas kedua pangkal paha beliau saww (beliau saww menghamparkan kaki kiri
beliau saww dan menghadapkan dg dada beliau saww yg bagian kanan ke arah kiblat dan meletakkan
tapak tangan kanan beliau saww ke atas lutut kanan beliau saww dan tangan kiri beliau saww ke atas
lutut kiri beliau saww sambil menunjuk dg jari telunjuk beliau saww) kemudian mengucap salam."

(Riwayat ini diriwayatkan di: Turmudzi, 2/105, no. 304. Sedang yg dilengkapi dg tulisan di dlm kurung,
adalah riwayat yg diriwayatkan oleh: Shahih Bukhari, 2/11; Abu Daud, 1, no. 730-734; Nasai, 2/211; Ibnu
Maajah, 1/337; Ibnu Khaziimah, 1, no. 587, 651 dan 700; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/424; Ibnu
Habbaan, 5, no. 1866, 1867, 1869, 1870, 1871 dan 1876; Ibnu Abi Syaibah, 1/235; Sunan Baihaqi,
2/116).

Catatan Kecil:
a-Hadits ini dishahihkan oleh banyak ulama sunni kecuali satu orang yg bernama Ibnu Hazm (al-
Muhallaa, 3/30) yg, sdh tentu ditentang oleh ulama2 Ahlussunnah yg lain.

b- Abu Humaid ini sedang menjelaskan penglihatannya ttg shalat Nabi saww kepada 10 shahabat yg lain
yg sedang mengetesnya dimana sdh pasti kalau ada kekurangan, akan segera ditegurnya. Akan tetapi,
mereka tdk menyalahkannya sama sekali sementara dlm penjelasannya itu, sama sekali tdk menyebut ttg
sedekap. Karena itu, dpt diyakini bhw Nabi saww tdk bersedekap ketika melakukan shalat.

Semoga tulisan pendek ini, dpt memberikan mamfaat (amin) walau, topiknya tdk terlalu
urgen/darurat/penting karena dari awal, yg melakukan sedekap, tdk menganggapnya sebagai kewajiban
kecuali dari golongan orang awam agama, yaitu orang2 yg tdk mengerti banyak ttg agama dan tdk
mempelajarinya secara spesifik.

Yg jelas, tulisan ini masih memilki banyak kekurangan dan terlalu ringkas bagi pelajar agama. Tp ia sdh
cukup rinci dan bahkan bertele-tele dan bisa membosankan, bagi orang umum. Smg kekurangannya
diampuni Allah dan dimaklumi serta dimaafkan antum semua, amin.

Tulisan ini telah ditulis sejak lama, tp karena selalu melayani pertanyaan keseharian di dinding dan inbox,
akhirnya menjadi terlantar. Karena itu, bagi yg merasa lama menunggu janji saya tempo hari ttg
penjelasan sedekap ini, saya mohon maaf dan keridhaannya.

Dengan tdk membuka fb sama sekali di tgl 27-10-2013, akhirnya penyelesaian akhir dari tulisan ini, dpt
terselesaikan. Sdh tentu, tanpa ijin takwiniNya (pewujudan), tdk mungkin tulisan pendek ini selesai. Smg
saja Ia, sudi memberikan ijin tasyri'iNya terhadap tulisan yg tdk seberapa ini, hingga dpt menjadi
pencerah bagi pencari pencerahan dan membuahkan keberkahan dunia dan akhirat kelak bagi alfakir
sendiri dan bagi semua teman2 budiman sekalian, amin.

wassalam

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 30
facebook.com/sinar.agama – sinaragama.org - facebook.com/KCUSA

Grup FB: Berlangganan Catatan Sinar Agama | Page FB: Sinar Agama 31

Anda mungkin juga menyukai