Anda di halaman 1dari 186

LAPORAN TUGAS

PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORT JALAN RAYA

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Perancangan Bangunan Transport Jalan Raya

Dosen Pengampu :
Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

Disusun Oleh :
Antonius Henry Eka Susanto 21010117140093
Panji Akbar Nugroho 21010117140095
Lancana Ikbar Arta Mudianto 21010117140096
Dania Salsabila 21010117140097

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS
PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORT JALAN RAYA

Disusun Oleh:
Antonius Henry Eka Susanto 21010117140093
Panji Akbar Nugroho 21010117140095
Lancana Ikbar Arta Mudianto 21010117140096
Dania Salsabila 21010117140097

Disahkan oleh Koordinator Pengampu Tugas,


Pada Tanggal................2020

Djoko Purwanto, Ir., M.S.

Disahkan oleh Dosen Pengampu Tugas,


Pada Tanggal................2020

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Tugas
Perancangan Bangunan Transport Jalan Raya ini dengan baik. Pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T. selaku dosen pengampu Laporan
Tugas Mata Kuliah Perancangan Bangunan Transport Jalan Raya.
2. Bapak Djoko Purwanto, Ir., M.S. selaku koordinator pengampu Laporan Tugas
Mata Kuliah Perancangan Bangunan Transport Jalan Raya.
3. Ibu Amelia Kusuma I, S.T., M.T., Bapak Supriyono, Ir., M.T., Bapak Bagus Hario
Setiadji, S.T., M.T., PhD, dan Bapak Djoko Purwanto, Ir., M.S. selaku dosen
pengajar yang telah banyak memberikan pengetahuan dan membimbing kami
selama mata kuliah Perancangan Bangunan Transport Jalan Raya.
4. Orang tua yang juga telah memberikan dukungan dan doa sehingga laporan ini
dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
5. Teman-teman dan berbagai pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah membantu kami menyelesaikan laporan ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam penyusunan laporan ini, untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari rekan sekalian agar penyusunan laporan
berikutnya akan lebih baik. Akhir kata, terima kasih atas perhatiannya dan semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, 27 Juni 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jalan raya merupakan salah satu prasarana transportasi yang dapat
menunjang pengembangan suatu wilayah. Semakin lancar transportasi maka
semakin cepat suatu wilayah berkembang. Meningkatnya jumlah penduduk
akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi, sehingga
perlu dilakukan perencanaan jalan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk
saat ini. Di era revolusi industri 4.0 ini, manusia telah mengenal sistem
perencanaan jalan yang baik dan mudah dikerjakan serta pola perencanaannya
yang makin sempurna.
Meskipun perencanaan sudah makin sempurna, namun kita sebagai
mahasiswa teknik sipil tetap selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu
lintasan jalan yang paling efektif dan efisien dari alternatif-alternatif yang ada,
dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari jalan. Oleh karena itu,
dalam merencanakan suatu lintasan jalan, seorang mahasiswa teknik sipil harus
mampu menyesuaikan keadaan di lapangan dengan teori-teori yang ada
sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal.
Dalam merencanakan suatu jalan raya pasti dipilih pekerjaan yang relatif
mudah untuk menghindari pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang
besar. Dilain pihak kendaraan yang beroperasi di jalan raya menginginkan jalan
yang relatif lurus, tidak ada tanjakan atau turunan. Objek keinginan itu sulit
kita jumpai mengingat keadaan permukaan bumi yang relatif tidak datar,
sehingga perlu dilakukan perencanaan geometrik jalan, yaitu perencanaan jalan
yang dititikberatkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi
fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus
lalu lintas. Faktor yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat
gerakan lalu lintas, ukuran kendaraan,sifat pengemudi dalam mengendalikan
gerak kendaraannya, serta karakteristik arus lalu lintas. Hal tersebut haruslah
menjadi bahan pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran
jalan, serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan
keamanan yang diharapkan.
Selain itu, juga harus diperhatikan elemen-elemen dari perencanaan geometrik
jalan, yaitu :
1. Alinyemen horizontal
Pada gambar alinyemen horizontal, akan terlihat apakah jalan tersebut
merupakan jalan lurus, menikung ke kiri, atau ke kanan dan akan
digambarkan sumbu jalan pada suatu kontur yang terdiri dari garis
lurus,lengkung berbentuk lingkaran serta lengkung peralihan dari bentuk
luruske bentuk busur lingkaran. Pada perencanaan ini dititik beratkan pada
pemilihan letak dan panjang dari bagian-bagian trase jalan, sesuai dengan
kondisi medan sehingga terpenuhi kebutuhan akan pergerakan lalu lintas
dan kenyamanannya.
2. Alinyemen vertikal
Pada gambar alinyemen vertikal, akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa
kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan ini,dipertimbangkan
bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai dengan kondisi medan dengan
memperhatikan fungsi-fungsi dasar dari jalan tersebut. Pemilihan
alinyemen vertikal berkaitan pula dengan pekerjaan tanah yang mungkin
timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus dilakukan
3. Penampang melintang jalan
Bagian-bagian dari jalan seperti lebar dan jumlah lajur, ada atau tidaknya
median, drainase permukaan (selokan samping, gorong-gprpng), trotoar,
jalur sepeda.Koordinasi yang baik antara bentuk alinyemen horizontal dan
vertikal akan memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan.
Dalam perencanaan konstruksi perkerasan jalan, telah dikenal 3 (tiga)
jenis konstruksi perkerasan yaitu: konstruksi perkerasan lentur, konstruksi
perkerasan kaku, dan konstruksi perkerasan komposit. Pada perancangan ini
akan dibahas mengenai perencanaan konstruksi perkerasan lentur dari segi
ketebalan lapis perkerasan, stabilitas konstruksi maupun kekuatannya dengan
perpaduan Metode Bina Marga dan Metode American Association of State
Highway and Transportation Officials (AASHTO).
Metode American Association of State Highway and Transportation
Officials (AASHTO) timbul karena kebutuhan akan standar dan spesifikasi
untuk dijadikan acuan dalam merencanakan jalan baik pada transportasi umum.
Metode perencanaan perkerasan jalan raya dengan American Association of
State Highway and Transportation Officials (AASHTO) berdasarkan analisa
volume lalu lintas, besarnya beban roda yang bekerja, serta harga CBR dari
tanah dasar dan perkerasan.
Salah satu ruas jalan yang akan dirancang adalah Jalan Kunduran -
Ngawen – Blora yang terdapat di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, hal
ini dimaksudkan guna menghubungkan dan memberi kemudahan akses jalan
antar Kecamatan Ngawen, Kecamatan Ngawen, dan Kecamatan Blora. Supaya
ruas jalan tersebut dapat memiliki koordinasi antara alinyemen yang baik dan
dapat melayani arus lalu lintas sesuai dengan umur rencana, maka diperlukan
perencanaan geometrik dan perkerasan yang baik. Dengan dibangunnya ruas
jalan ini maka diharapkan akan menambah dan mempercepat distribusi hasil-
hasil pertanian, perkebunan, kehutanan serta kebutuhan bahan-bahan pokok
pada masyarakat sekitar ruas jalan serta daerah disekitarnya, yang pada
akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat.

1.2. Maksud
Penyusunan laporan perencanaan Jalan Kunduran - Ngawen – Blora ini
dilakukan untuk terwujudnya jalan yang sesuai persyaratan perencanaan baik
perencanaan geometrik jalan maupun perencanaan perkerasan jalan dengan
prinsip efisien dan efektif, sehingga jalan tersebut dapat berfungsi dengan
optimal bagi para pengguna jalan serta memberi rasa kenyamanan dan
keamanan secara psikologis bagi para pengguna jalan yang melintasinya.

1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai berdasarkan latar belakang diatas antara lain:
1. Merancang dan memilih trase jalan yang optimal dan efektif .
2. Merancang penampang melintang jalan berdasarkan analisa lalu lintas.
3. Merancang alinyemen horizontal berdasarkan persyaratan perencanaan
geometrik jalan antar kota.
4. Merancang alinyemen vertikal berdasarkan persyaratan perencanaan
geometrik jalan antar kota.
5. Merancang geometri simpang berdasarkan persyaratan perencanaan
geometrik persimpangan sebidang.
6. Merancang sistem drainase jalan secara tepat dan optimal.
7. Merancang perkerasan jalan berdasarkan persyaratan desain perkerasan
jalan dan memilih jenis perkerasan yang paling optimal.
8. Merancang bangunan / fasilitas pelengkap jalan berdasarkan panduan
penempatan fasilitas perlengkapan jalan.

1.4. Peraturan dan Standar Perancangan Jalan Raya


Perancangan jalan terbagi menjadi dua yaitu perancangan geometri jalan dan
perancangan perkerasan jalan. Dalam perancangan geometri jalan, peraturan
dan standar yang digunakan antara lain :
1. Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 1997, Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997.
2. Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara Perencanaan
Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B.
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.19 Tahun 2011.
4. Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Tahun 1997.
5. Peraturan Menteri Perhubungan No. 13 tahun 2014 tentang Rambu Lalu
Lintas.
6. Panduan Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan Departemen
Perhubungan.
7. Pedoman Konstruksi dan Bangunan Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Departemen Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2006
Sedangkan dalam perancangan perkerasan jalan, peraturan dan standar yang
digunakan antara lain :
1. Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013
1.5. Kriteria Perancangan Jalan

Perancangan jalan pada bagian geometri berdasarkan Pedoman Direktorat


Jenderal Bina Marga 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
No. 038/TBM/1997 antar lain :

1. Klasifikasi jalan
a. Berdasarkan fungsi jalan : Kolektor.
b. Berdasarkan sistem jaringan jalan : Primer.
c. Berdasarkan wewenang pembinaan : Provinsi.
d. Berdasarkan prasarana jalan : Umum (Non tol).
2. Klasifikasi medan
Kemiringan medan (3-25%) : Medan perbukitan dengan Notasi B.
3. Kecepatan rencana minimum dan maksimum
a. Kecepatan rencana minimum : 50 km/jam.
b. Kecepatan rencana maksimum : 60 km/jam (Digunakan)
4. Kendaraan rencana : Kendaraan kecil.
5. Derajat kejenuhan : 0,824 (82,4 %).
6. Konfigurasi tipe jalan minimum : 2/2 UD.
7. Lebar badan jalan (jalur) minimum :7m
8. Lebar ruang jalan minimum
a. Ruang manfaat jalan (Rumaja) : 15 m
b. Ruang milik jalan (Rumija) : 16 m
c. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja) : 17 m
9. Lebar lajur minimum : 3,5 m
10. Lebar bahu jalan minimum :1m
11. Lebar trotoar : 1,5 m
12. Lebar jalur sepeda :1m
13. Luas penampang selokan (trapesium) : 0,625 m2
14. Alinyemen Horizontal
a. Jenis tikungan : Full Circle (FC) dan Spiral Circle Spiral (SCS).
b. Koefisien gesekan maksimum : 0,153
c. Radius minimum : 110 m
d. Superelevasi normal :3%
e. Superelevasi maksimum :8%
f. Ls Maksimum : 50 m
15. Alinyemen vertikal
a. Landai maksimum : 4%
b. Panjang kritis : 600 m
16. Geometri simpang sebidang
a. Bentuk persimpangan : Simpang empat.
b. Jarak pandang masuk : 160 m.
c. Jarak pandang aman : 105 m.
d. Kelandaian belokan maksimum : 2 %
e. Lebar lajur persimpangan : 3,5 m (Jalan Kelas I)

Perancangan jalan pada bagian perkerasan berdasarkan Manual Desain


Perkerasan Jalan Tahun 2013 antara lain :

1. Faktor Pertumbuhan Lalu lintas kolektor primer antar kota : 0,58%


2. Faktor Distribusi Lajur : 60 % : 40 % (2/2 UD)
3. Vehicle Damage Factor : Menggunakan Survey Weight In Motion
(WIM)
BAB II

PERANCANGAN TRASE JALAN

2.1. Faktor – faktor yang memengaruhi Perancangan Trase Jalan

Dalam pemilihan trase jalan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi lokasi
jalan, yaitu :
1. Kondisi Medan
Pada kondisi jalan tertentu, jalan dengan jarak terpendek dari titik akhir
pekerjaan belum tentu merupakan jalan alternatif terbaik. Oleh karena itu,
perlu dipertimbangkan juga dengan aspek kelandaian, panjang kritis serta
kemampuan dari kendaraan untuk melaluinya sehingga kendaraan dapat
berjalan dengan aman dan nyaman. Jika terdapat bukit – bukit, maka jarak
terpendek mungkin akan memiliki kelandaian yang lebih curam, namun
kelandaian yang digunakan tidak boleh melebihi kelandaian maksimum
yang diijinkan yang nilainya tergantung pada kecepatan rencana yang
ditetapkan. Jadi untuk membuat jalan alternatif diusahakan jarak terpendek
dengan kelandaian minimum.
2. Perpotongan dengan Sungai
Perpotongan rencana jalan yang tegak lurus dengan sungai akan
menghasilkan penyebrangan jembatan yang bentangnya lebih pendek
sehingga dapat mempengaruhi biaya pelaksanaannya. Semakin pendek
bentangnya maka biaya konstruksinya akan semakin murah.
3. Daerah Lahan Kritis
Lahan kritis adalah daerah yang rawan longsor, daerah patahan, maupun
genangan. Walaupun dapat diatasi dengan penanganan tertentu, namun
dampaknya pada biaya konstruksi dan pemeliharaan jalan. Apabila
penanganannya kurang memadai, maka dapat mengancam keselamatan
penggunanya. Oleh karena itu, rencanajalan diusahakan untuk tidak
melewati daerah lahan kritis.
4. Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah tangkapan air yang akan dialiri
air hujan untuk mencapai sungai. Pembangunan jalan disekitar kawasan
DAS bisa saja dilakukan untuk memenuhi kehidupan manusia dengan
pertimbangan kehati-hatian, jangan sampai merusak lingkungan disekitar
kawasan DAS itu sendiri seperti tanah longsor dan banjir.
5. Material
Biaya pengangkutan material konstruksi dapat lebih ditekan apabila
penentuan lokasi jalan yang akan dikerjakan mudah untuk dijangkau. Jika
material yang ada memiliki kualitas bagus dan sesuai yang dibutuhkan
konstruksi jalan, maka kualitas jalan yang baik dapat tercapai dengan biaya
yang dapat ditekan karena mudah dijangkau.
6. Galian dan Timbunan
Galian dan timbunan membutuhkan biaya yang cukup banyak. Galian yang
terlalu dalam membutuhkan perencanaan khusus terhadap dinding galian.
Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya longsor. Begitupun dengan
timbunan, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua material tanah galian
dapat dimanfaatkan sebagai bahan timbunan, tergantung pada karakteristik
tanahnya serta spesifikasi yang ditetapkan untuk material timbunan. Oleh
karena itu, dalam perencanaan jalan raya diusahakan agar meminimalkan
jumlah galian dan timbunan dengan mengkombinasikan alinyemen
horizontal dan alinyemen vertikal yang memungkinkan kita untuk
menghitung banyaknya volume galian dan timbunan .
7. Pembebasan Lahan
Prinsip pembebasan tanah adalah membeli tanah yang terkena dampak
pembuatan trase jalan kepada pemilik tanah yang sah sebagai ganti rugi
dari penggunaan lahan sebelumnya untuk kepentingan umum.
8. Lingkungan
Dengan dibangunnya jalan, penggunanya cenderung menghasilkan polusi
untuk lingkungan, baik polusi udara, suara, getaran, dan sebagainya. Semua
itu akan berdampak pada aspek lingkungan sehingga perlu dilakukan usaha
– usaha yang dapat meminimalkan gangguan gangguan tersebut.

9. Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan sedemikian rupa sehingga
dapat menjamin keamanan dari jalannya kendaraan dan pandangan bebas
yang cukup luas bagi pengendara.
2.2. Perancangan trase jalan
2.2.1. Deskripsi lokasi
Lokasi perencanaan trase jalan diasumsikan berada pada daerah
Kabupaten Tegal. Direncanakan 3 buah rencana trase dengan lokasi
titik awal dan titik akhir tiap trase rencana adalah sebagai berikut :
1. Trase alternatif 1
Titik awal berada pada pada koordinat X=300499,108;Y=9219817
elevasi + 195 m, dan titik akhir berada pada koordinat
X=306021,069;Y=9222346,377, elevasi + 140 m
2. Trase alternatif 2
Titik awal berada pada pada koordinat X=300499,108;Y=9219817
elevasi + 197 m, dan titik akhir berada pada koordinat
X=306021,069;Y=9222346,377, elevasi + 130 m
3. Trase alternatif 1
Titik awal berada pada pada koordinat X=300499,108;Y=9219817
elevasi +197 m dan titik akhir berada pada koordinat
X=306021,069;Y=9222346,377, elevasi + 140 m.
Identifikasi medan dari rencana trase jalan dilakukan dengan
melakukan perhitungan kemiringan melintang di sekitar trase yang
tegak lurus kontur. Perhitungan identifikasi medan dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi Medan Jalan Sekitar

Trase Alternatif 1, Trase Alternatif 2, dan Trase Alternatif 3


NO Titik Awal Titik Akhir Delta H Jarak Antar Titik Kemiringan medan (%) Klasifikasi
1 175,0 162,5 12,5 120,496 10,374 Bukit
2 162,5 150,0 12,5 88,837 14,071 Bukit
3 150,0 162,5 -12,5 68,937 -18,132 Bukit
4 162,5 175,0 -12,5 116,405 -10,738 Bukit
5 187,5 175,0 12,5 82,451 15,161 Bukit
6 175,0 162,5 12,5 60,092 20,801 Bukit
7 150,0 137,5 12,5 81,186 15,397 Bukit
8 112,5 125,0 -12,5 134,703 -9,280 Bukit
9 125,0 112,5 12,5 82,597 15,134 Bukit
10 137,5 125,0 12,5 72,607 17,216 Bukit
11 137,5 150,0 -12,5 100,909 -12,387 Bukit
12 125,0 137,5 -12,5 132,414 -9,440 Bukit
13 150,0 162,5 -12,5 126,415 -9,888 Bukit
14 150,0 162,5 -12,5 63,117 -19,804 Bukit
15 162,5 175,0 -12,5 67,656 -18,476 Bukit
16 175,0 187,5 -12,5 82,336 -15,182 Bukit
17 162,5 150,0 12,5 91,705 13,631 Bukit
18 137,5 125,0 12,5 74,735 16,726 Bukit
19 125,0 112,5 12,5 150,254 8,319 Bukit
20 162,5 150,0 12,5 96,787 12,915 Bukit
21 125,0 137,5 -12,5 86,170 -14,506 Bukit
22 125,0 137,5 -12,5 108,238 -11,549 Bukit
23 150,0 162,5 -12,5 78,786 -15,866 Bukit

Berdasarkan analisis klasifikasi medan trase jalan, didapat bahwa


pada trase alternatif jalan 1, 2, dan 3 memiliki medan perbukitan.

2.2.2. Penetapan kecepatan rencana dan jarak pandang


Parameter kecepatan rencana dan jarak pandang perlu diketahui
terlebih dahulu karena akan mempengaruhi kepada analisis
perencanaan jalan selanjutnya. Berikut adalah penjelasan tentang
kecepatan rencana dan jarak pandang
1. Penetapan Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana adalah kecepatan maksimum yang aman dan
dapat dipertahankan sepanjang bagian tertentu pada jalan raya
tersebut. Batasan kecepatan bagi jalan antar kota haruslah sesuai
dengan tipe dan kelas jalan yang bersangkutan. Berikut tabel
kecepatan rencana sesuai fungsi jalan menurut Pedoman Bina
Marga 1997 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
No. 038/TBM/1997.
Tabel 2.2. Kecepatan Rencana (Vr) Sesuai Klasisikasi Jalan di
Kawasan Antar Kota

Sumber : Pedoman Bina Marga 1997 TCPGJAK No.


038/TBM/1997
Pembatasan kecepatan sesuai Pedoman Bina Marga 1997 Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997
disebutkan bahwa jalan kolektor primer dengan medan bukit
didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 50 Km/Jam
dan paling tinggi 60 Km/Jam. Penetapan kecepatan rencana
dipengaruhi oleh klasifikasi medan

2. Penetapan Jarak Pandang


a. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Jarak Pandang Mendahului (Jd) adalah jarak yang
memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di
depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke
lajur semula. Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata
pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.
(Pedoman Bina Marga 1997 TCPGJAK No. 038/TBM/1997)
Jd, dalam satuan, dapat dihitung dengan persamaan
Jd = dl + d2 + d3 + d4
dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke lajur semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan
yang datang dari arah berlawanan setelah proses
mendahului selesai (m),
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 213 d2
(m)
Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan
jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan
tersebut. Panjang jarak mendahului dinyatakan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Panjang Jarak Pandang Mendahului

Sumber :Pedoman Bina Marga 1997 TCPGJAK No.


038/TBM/1997
Penentuan nilai Jd berdasarkan dari kecepatan rencana.
Berdasarkan Tabel 2.3. untuk kecepatan rencana 60 km/jam,
maka nilai jarak pandang mendahului sebesar 350 mkecepatan
rencana.

b. Jarak Pandang Henti (Jh)


Jarak Pandang Henti (Jh) adalah jarak minimum yangdiperlukan
oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya
dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap
titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105
cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan.
Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
 Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan
sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia
harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
 Jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem
sampai kendaraan berhenti.

Jh, dalam satuan meter, dapat dihitung dengan persamaan

di mana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal,
ditetapkan 0,35-0,55.
Jarak pandang henti minimum harus ditetapkan pada setiap
bagian jalan. Jarak pandang henti minimum dinyatakan pada
Tabel 2.3
Tabel 2.4 Jarak Pandang Henti Minimum

Sumber :Pedoman Bina Marga 1997 TCPGJAK No.


038/TBM/1997
Penentuan nilai Jh berdasarkan dari kecepatan rencana.
Berdasarkan Tabel 2.3. untuk kecepatan rencana 60 km/jam,
maka nilai jarak pandang henti minimum sebesar 75 m.

2.2.3. Proses perancangan alternatif trase jalan


Proses perancangan alternatif trase jalan ditinjau dari 2 komponen, yaitu
alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal.
1. Alinyemen Horisontal
Alinyemen horisontal yang ditinjau dalam perancangan alternatif trase
jalan adalah tikungan, dan panjang trase. Gambar alinyemen horizontal
rencana trase jalan 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Alinyemen Horisontal Trase alternatif 1, 2, dan 3
a. Perhitungan Sudut Tikungan

( )

Untuk menghitung nilai azimuth, harus memperhatikan posisi kuadran


dengan melihat tabel aljabar (X2 – X1) dan (Y2 – Y1) seperti pada Tabel
2.5.

Tabel 2.5. Perhitungan Azimuth Sesuai Kuadran

Kuadran (X2 – X1) (Y2 – Y1) Azimuth

I + + α
II + - 180⁰ - α
( )
III - + 360⁰ - α
IV - - 180⁰ + α

Tabel 2.6. Perhitungan Sudut Trase Alternatif 1

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+754.21 301474.138 9221275.680
3+351.10 302631.058 9222376.404
5+021.16 304287.957 9222585.651
6+765.63 306021.069 9222346.377

 α 12 = tan-1( )

α 12 = tan-1( )

α 12 33 46 2 942” (Kuadran I)

 α 23 = tan-1( )

α 23 = tan-1( )

α 23 = 46 25 33 167” (Kuadran

 α 34 = tan-1( )

α 34 = tan-1( )
α 34 82 48 8 335” (Kuadran

 α 45 = tan-1( )

α 45 = tan-1( )

α 45 -82 8 24” (Kuadran II)


α 45 180 + (-82 8 24”)
α 45 97 51 38 097”

Δ1 = I α 23 - α 12 I
Δ1 = I 46 25 33 167” - 33 46 2 942”I
Δ1 = 12 39 30 225”

Δ2 = I α 34 - α 23 I
Δ2 = I 82 48 8 335” - 46 25 33 167” I
Δ2 = 36 22 35 168”

Δ3 = I α 45 - α 34 I
Δ3 = I 97 51 38 097” - 82 48 8 335” I
Δ3 = 15 3 29 762”

Tabel 2.7. Perhitungan Sudut Trase Alternatif 2

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+721.89 301121.162 9221422.996
3+474.89 302810.137 9221892.423
5+227.14 304351.117 9222726.543
6+921.32 306021.069 9222346.377

 α 12 = tan-1( )

α 12 = tan-1( )

α 12 21 10 40 421” (Kuadran
 α 23 = tan-1( )

α 23 = tan-1( )

α 23 74 28 2 899” (Kuadran

 α 34 = tan-1( )

α 34 = tan-1( )

α 34 61 34 25 231” (Kuadran

 α 45 = tan-1( )

α 45 = tan-1( )

α 45 -77 10 48” (Kuadran II)


α 45 180 + (-77 10 48”)
α 45 102 49 29 515”

Δ1 = I α 23 - α 12 I
Δ1 = I 74 28 2 899” - 21 10 40 421” I
Δ1 = 53 17 22 478”

Δ2 = I α 34 - α 23 I
Δ2 = I 61 34 25 231” - 74 28 2 899” I
Δ2 = 12 53 37 667”

Δ3 = I α 45 - α 34 I
Δ3 = I 102 49 29 515”- 61 34 25 231” I
Δ3 = 41 15 4 284”
Tabel 2.8. Perhitungan Sudut Trase Alternatif 3

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+742.52 302064.975 9220581.894
3+475.50 303417.792 9221664.991
4+760.29 304619.209 9222120.273
6+177.97 306021.069 9222346.377

 α 12 = tan-1( )

α 12 = tan-1( )

α 12 = 63 58 38 968” (Kuadran

 α 23 = tan-1( )

α 23 = tan-1( )

α 23 51 19 6.303” (Kuadran I)

 α 34 = tan-1( )

α 34 = tan-1( )

α 34 69 14 44 114” (Kuadran I)

 α 45 = tan-1( )

α 45 = tan-1( )

α 45 80 50 15 902” (Kuadran I)

Δ1 = I α 23 - α 12 I
Δ1 = I 51 19 6.303” - 63 58 38 968” I
Δ1 = 12 39 32 665”

Δ2 = I α 34 - α 23 I
Δ2 = I 69 14 44 114” - 51 19 6.303” I
Δ2 = 17 55 37 81”
Δ3 = I α 45 - α 34 I
Δ3 = I 80 50 15 902” - 69 14 44 114” I
Δ3 = 11 35 31 788”

b. Perhitungan panjang trase jalan

Tabel 2.9. Perhitungan Jarak Trase Alternatif 1

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+754.21 301474.138 9221275.680
3+351.10 302631.058 9222376.404
5+021.16 304287.957 9222585.651
6+765.63 306021.069 9222346.377

 Jarak STA 0+000 ke STA 1+754.21


=√
=√
= 1754.207 m
Jarak sebenarnya adalah 1754.207 m

 Jarak STA 1+754.21 ke STA 3+351.10


=√
=√
= 1596.890 m
Jarak sebenarnya adalah 1596.890 m

 Jarak STA 3+351.10 ke STA 5+021.16


=√

= 1670.059 m
Jarak sebenarnya adalah 1670.059 m
 Jarak STA 5+021.16 ke STA 6+765.63
=√

= 1749.551 m
Jarak sebenarnya adalah 1749.551 m

Σ Jarak sebenarnya trase 1 1754.207 m + 1596.890 m +


1670.059 m + 1749.551 m = 6770.707 m

Tabel 2.10. Perhitungan Jarak Trase Alternatif 2

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+721.89 301121.162 9221422.996
3+474.89 302810.137 9221892.423
5+227.14 304351.117 9222726.543
6+921.32 306021.069 9222346.377

 Jarak STA 0+000 ke STA 1+721.89


=√

= 1721.878 m
Jarak sebenarnya adalah 1721.878 m

 Jarak STA 1+721.89, ke STA 3+474.89


=√

= 1752.997 m
Jarak sebenarnya adalah 1752.997 m

 Jarak STA 3+474.89 ke STA 5+227.14


=√

= 1752.249 m
Jarak sebenarnya adalah 1752.249 m

 Jarak STA 5+227.14 ke STA 6+921.32


=√

= 1712.678 m
Jarak sebenarnya adalah 1712.678 m

Σ Jarak sebenarnya trase 2 = 1721.878 m + 1752.997 m +


1752.249 m + 1712.678 m = 6939.802 m

Tabel 2.11 Perhitungan Jarak Trase Alternatif 3

Koordinat
STA
X Y
0+000 300499.108 9219817.408
1+742.52 302064.975 9220581.894
3+475.50 303417.792 9221664.991
4+760.29 304619.209 9222120.273
6+177.97 306021.069 9222346.377

 Jarak STA 0+000 ke STA 1+742.52


=√

= 1742.521 m
Jarak sebenarnya adalah 1742.521 m

 Jarak STA 1+742.52 ke STA 3+475.50


=√

= 1732.978 m
Jarak sebenarnya adalah 1732.978 m
 Jarak STA 3+475.50 ke STA 4+760.29
=√

= 1284.790 m
Jarak sebenarnya adalah 1284.790 m

 Jarak STA 4+760.29 ke STA 6+177.97


=√

= 1419.977 m
Jarak sebenarnya adalah 1419.977 m

Σ Jarak sebenarnya trase 3 = 1742.521 m + 1732.978 m +


1284.790 m + 1419.977 m = 6180.265 m

2. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal yang ditinjau dalam perancangan alternatif trase


adalah kelandaian memanjang dan galian timbunan rencana trase
jalan. Gambar alinyemen vertikal rencana trase jalan 1, 2, dan 3 dapat
dilihat pada Gambar 2.2 sampai Gambar 2.4.
Gambar 2.2. Potongan Memanjang trase alternatif 1
Gambar 2.3. Potongan Memanjang trase alternatif 2
Gambar 2.4. Potongan Memanjang trase alternatif 3
a. Perhitungan kelandaian memanjang trase
Perhitungan kelandaian memanjang trase didapat dari analisis di civil 3d. Batas
maksimal kelandaian memanjang trase ditetapkan berdasarkan kecepatan
rencana. Untuk kecepatan rencana 60 km/jam, berdasarkan PGJAK 1997
sebesar 8 %. Pada alternatif trase 1, 2, dan 3 berturut-turut memiliki kelandaian
memanjang maksimum sebesar -3,09 %, -2,86 %, dan – 2,57 %.
b. Perhitungan Volume Galian dan Timbunan
Perhitungan volume galian dan timbunan sedapat mungkin seimbang,
sehingga tanah dari hasil pekerjaan galian dapat digunakan pada pekerjaan
timbunan. Agar dana yang dikeluarkan dalam perataan tanah sedikit,
galian dan timbunan dibuat seminimal mungkin.

Dimana, LT1 = Luas timbuan di STA 1

LT2 = Luas timbuan di STA 2

LG1 = Luas galian di STA 1

LG2 = Luas galian di STA 2

Contoh Perhitungan :

STA 0+200 :

LG STA 0+100 = 1768,65 m2

LG STA 0+200 = 956,94

d = 100 m

VG STA 0+200 =

= 136.279,5 m3
Luas dan Volume galian dan timbunan trase alternatif 1, trase alternatif
2, dan trase alternatif 3 terdapat pada Tabel 2.12, Tabel 2.13, dan Tabel
2.14.

Tabel 2.12. Luas &Volume Galian dan Timbunan Trase Alternatif 1

Trase 1
Luas (m2) Volume (m3)
STA
Timbunan Galian Timbunan Galian
0+000 0 2092.64 0 0
0+100 0 1768.65 0 193064.5
0+200 0 956.94 0 136279.5
0+300 0 729.53 0 84323.5
0+400 0 286.77 0 50815
0+500 218.85 0 10942.5 14338.5
0+600 352.36 0 28560.5 0
0+700 427.77 0 39006.5 0
0+800 416.86 0 42231.5 0
0+900 500.84 0 45885 0
1+000 273.48 0 38716 0
1+100 52.07 0 16277.5 0
1+200 0 71.5 2603.5 3575
1+300 0 229.69 0 15059.5
1+400 0 761.96 0 49582.5
1+500 0 994.7 0 87833
1+600 0 849.02 0 92186
1+700 154.34 0 7717 42451
1+800 1211.69 0 68301.5 0
1+900 1538.53 0 137511 0
2+000 1398.43 0 146848 0
2+100 1306.96 0 135269.5 0
2+200 1196.9 0 125193 0
2+300 739.15 0 96802.5 0
2+400 474.83 0 60699 0
2+500 311.98 0 39340.5 0
2+600 310.84 0 31141 0
2+700 24.31 0.09 16757.5 4.5
2+800 0 104.28 1215.5 5218.5
2+900 0 161.19 0 13273.5
3+000 0 562.22 0 36170.5
3+100 0 952.16 0 75719
3+200 0 981.87 0 96701.5
3+300 0 1643.82 0 131284.5
3+400 0 1659.09 0 165145.5
3+500 0 1399.93 0 152951
3+600 0 898.77 0 114935
3+700 0 503.45 0 70111
3+800 127.19 0 6359.5 25172.5
3+900 483.62 0 30540.5 0
4+000 434.43 0 45902.5 0
4+100 543.79 0 48911 0
4+200 0 138.74 27189.5 6937
4+300 155.77 0 7788.5 6937
4+400 0 205.32 7788.5 10266
4+500 51.46 0 2573 10266
4+600 425.54 0 23850 0
4+700 734.54 0 58004 0
4+800 793.15 0 76384.5 0
4+900 280.79 0 53697 0
5+000 745.06 0 51292.5 0
5+100 722.18 0 73362 0
5+200 275.56 0 49887 0
5+300 0 138.28 13778 6914
5+400 0 115.2 0 12674
5+500 326.55 0 16327.5 5760
5+600 0 214.61 16327.5 10730.5
5+700 0 575.07 0 39484
5+800 0 626.8 0 60093.5
5+900 0 768.7 0 69775
6+000 0 398.04 0 58337
6+100 0 79.48 0 23876
6+200 0 520.74 0 30011
6+300 0 551.5 0 53612
6+400 0 70.41 0 31095.5
6+500 0 28.19 0 4930
6+600 0 5.52 0 1685.5
6+700 0 18.32 0 1192
6+765.63 0 18.69 0 1214.48315
Total Volume 1700982 2101985.48
Perbandingan Galian Timbunan 1 1.236
Tabel 2.13. Luas &Volume Galian dan Timbunan Trase Alternatif 2

Trase 2
Luas (m2) Volume (m3)
STA
Timbunan Galian Timbunan Galian
0+000 0 2017.67 0 0
0+100 0 1651.23 0 183445
0+200 0 486.29 0 106876
0+300 0 256.62 0 37145.5
0+400 0 74.69 0 16565.5
0+500 63.77 0 3188.5 3734.5
0+600 349.7 0 20673.5 0
0+700 498.04 0 42387 0
0+800 739.74 0 61889 0
0+900 787.36 0 76355 0
1+000 289.37 0 53836.5 0
1+100 213.48 0 25142.5 0
1+200 908.22 0 56085 0
1+300 1120.84 0 101453 0
1+400 0 147.33 56042 7366.5
1+500 146.44 0 7322 7366.5
1+600 134.68 0 14056 0
1+700 265.23 0 19995.5 0
1+800 719.62 0 49242.5 0
1+900 1246.22 0 98292 0
2+000 1547.05 0 139663.5 0
2+100 1789.48 0 166826.5 0
2+200 1581.93 0 168570.5 0
2+300 1211.51 0 139672 0
2+400 1147 0 117925.5 0
2+500 915.51 0 103125.5 0
2+600 1064.3 0 98990.5 0
2+700 1126.72 0 109551 0
2+800 866.85 0 99678.5 0
2+900 364.09 0 61547 0
3+000 0 239.65 18204.5 11982.5
3+100 0 700.28 0 46996.5
3+200 0 622.57 0 66142.5
3+300 0 1005.49 0 81403
3+400 0 1686 0 134574.5
3+500 0 1898.39 0 179219.5
3+600 0 1393.74 0 164606.5
3+700 0 1341.68 0 136771
3+800 0 1513.37 0 142752.5
3+900 0 855.26 0 118431.5
4+000 0 547.58 0 70142
4+100 0 283.32 0 41545
4+200 0 294.16 0 28874
4+300 0 824.41 0 55928.5
4+400 0 665.61 0 74501
4+500 0 79.8 0 37270.5
4+600 298.7 0 14935 3990
4+700 427.88 0 36329 0
4+800 780.48 0 60418 0
4+900 884.98 0 83273 0
5+000 484.7 0 68484 0
5+100 860.77 0 67273.5 0
5+200 864.7 0 86273.5 0
5+300 838.63 0 85166.5 0
5+400 651.15 0 74489 0
5+500 100.54 0 37584.5 0
5+600 308.73 0 20463.5 0
5+700 122.33 0 21553 0
5+800 0 479.42 6116.5 23971
5+900 0 703.95 0 59168.5
6+000 0 737.92 0 72093.5
6+100 0 533.44 0 63568
6+200 0 283.2 0 40832
6+300 0 500.02 0 39161
6+400 0 777.29 0 63865.5
6+500 0 240.08 0 50868.5
6+600 0 281.02 0 26055
6+700 0 259.64 0 27033
6+800 0 244.57 0 25210.5
6+900 0 295.89 0 27023
6+921.32 0 295.37 0 6302.832
Total Volume 2572074 2282783
Perbandingan Galian Timbunan 1.127 1
Tabel 2.13. Luas &Volume Galian dan Timbunan Trase Alternatif 3

Trase 3
Luas Volume
STA
Timbunan Galian Timbunan Galian
0+000 0 2033.52 0 0
0+100 0 2152.62 0 209307
0+200 0 1886.88 0 201975
0+300 0 1108.34 0 149761
0+400 0 466.04 0 78719
0+500 0 146.62 0 30633
0+600 210.78 0 10539 7331
0+700 0 115.56 10539 5778
0+800 181.02 0 9051 5778
0+900 795.59 0 48830.5 0
1+000 706.73 0 75116 0
1+100 454.98 0 58085.5 0
1+200 394.49 0 42473.5 0
1+300 103.7 0 24909.5 0
1+400 363.38 0 23354 0
1+500 763.92 0 56365 0
1+600 1018 0 89096 0
1+700 764.37 0 89118.5 0
1+800 413.8 0 58908.5 0
1+900 335.06 0 37443 0
2+000 395.51 0 36528.5 0
2+100 0.18 39.06 19784.5 1953
2+200 300.02 0 15010 1953
2+300 665.31 0 48266.5 0
2+400 899.13 0 78222 0
2+500 1094.93 0 99703 0
2+600 1061.19 0 107806 0
2+700 647.16 0 85417.5 0
2+800 199.3 0 42323 0
2+900 10.53 19 10491.5 950
3+000 365.09 0 18781 950
3+100 365.12 0 36510.5 0
3+200 182.9 0 27401 0
3+300 0 232.38 9145 11619
3+400 0 1062.78 0 64758
3+500 0 1615.68 0 133923
3+600 0 2191.69 0 190368.5
3+700 0 1851.72 0 202170.5
3+800 0 1590.91 0 172131.5
3+900 0 1114.21 0 135256
4+000 0 713.15 0 91368
4+100 0 755.67 0 73441
4+200 0 846.53 0 80110
4+300 0 317.98 0 58225.5
4+400 149.03 0 7451.5 15899
4+500 212.3 0 18066.5 0
4+600 444.24 0 32827 0
4+700 212.4 0 32832 0
4+800 242.61 0 22750.5 0
4+900 561.45 0 40203 0
5+000 406.12 0 48378.5 0
5+100 0 70.45 20306 3522.5
5+200 0 482.64 0 27654.5
5+300 0 742.23 0 61243.5
5+400 16.17 0.58 808.5 37140.5
5+500 69.15 0 4266 29
5+600 0 206.31 3457.5 10315.5
5+700 0 568.57 0 38744
5+800 0 178.28 0 37342.5
5+900 0 20.25 0 9926.5
6+000 213.38 0 10669 1012.5
6+100 113.29 0 16333.5 0
6+177.97 70.44 0 7162.714 0
Total Volume 1534731 2151289
Perbandingan Galian Timbunan 1 1.402

2.2.4. Pemilihan Alternatif Trase Jalan Terpilih


Direncanakan jalan kolektor primer perkotaan. Dalam perencanaannya
dibutuhkan pertimbangan. Pertimbangan diantaranya :

1. Panjang Jalan
Pada penetapan alternatif trase yang akan dipilih selalu
dipertimbangkan panjang jalan yang terpendek. Namun, hal
tersebut tidak mutlak karena melihat kondisi geometrik biasa.
2. Kelandaian memanjang
Besarnya kelandaian erat hubungannya dengan jenis medan jalan
yang direncanakan. Pada konsepnya semakin kecil nilai
kelandaian, maka akan semakin baik kondisi geometrik jalan.
3. Sudut Tikungan
Sebisa mungkin jalan kolektor menggunakan sudut kecil pada
tikungan. Tujuannya dari jari-jari yang digunakan pada tikungan
tidak terlalu kecil sehingga tikungan tidak membelok dengan
tajam.
4. Galian dan Timbunan
Volume galian dan timbunan sedapat mungkin memiliki nilai
kecil agar biaya pembangunan dapat ditekan. Diusahakan pula
perbandingannya mendekati 1:1.
5. Tinggi galian dan timbunan
Tinggi galian timbunan diusahakan seminimal mungkin untuk
mempermudah dalam proses konstruksi karena semakin tinggi
galian atau timbunan, maka pekerjaan konstruksi akan lebih berat
dan membutuhkan biaya yang lebih besar.

Sebelumnya telah direncanakan tiga alternatif trase. Dalam


penetapannya diperlukan perbandingan data sehingga dapat dipilih
kondisi geometrik yang sesuai dengan fungsi jalannya. Perbandingan
trase alternatif 1, trase alternatif 2, dan trase alternatif 3 seperti pada
Tabel 2.14.

Tabel 2.14. Perbandingan trase alternatif 1, trase alternatif 2, dan trase alternatif 3

Trase
NO Parameter Trase 1 Trase 2 Trase 3
Terpilih

1 Panjang jalan 6770.707 m 6939.802 m 6180.265 m 3

Kelandaian
-3,09 % -2,86 % -2,57 %
2 memanjang 3
maksimum

Klasifikasi 1,2, atau


3 Bukit Bukit Bukit
medan 3
1,2, atau
4 Jumlah tikungan 3 3 3
3

53 17 12 39
Sudut tikungan 12 39 30 225”
22 478” 32 665”
5 1
Δ1

Sudut tikungan 12 53
36 22 35 168” 17 55 37 81”
6 37 667” 2
Δ2

7 Sudut tikungan 11 35 3
41 15 4 284” 31 788”
Δ3 15 3 29 762”

8 Volume galian 2101985.48 2282783 m3 2151289 m3 1


m3

9 Volume 1700982 m3 2572074 m3 1534731 m3 3


timbunan

10 Galian : Galian : Galian :


Tinggi
45 m 47 m 50 m
Galian&timbunan 1
Timbunan : Timbunan : Timbunan :
maksimum
41 m 50 m 30 m

11 Perbandingan 1.236 : 1 1 : 1.127 1.402 : 1 1


galian timbunan

12 Selisih galian 401003.48 -289291.2 616557.8 1


timbunan m3 m3 m3
Analisa komponen perancangan trase adalah sebagai berikut :

1. Panjang Jalan
Berdasarkan Tabel 1.17, trase 3 memiliki panjang jalan lebih kecil dari
trase 1 dan trase 2, sehingga dari segi ekonomis dipilih trase 3.
2. Kelandaian memanjang maksimum
Kelandaian memanjang trase 1 sebesar -3,09 %, trase 2 sebesar -2,86 %,
dan trase 3 sebesar -2,57 %. Semakin besar nilai kelandaian maksimum
semakin besar sudut tanjakan atau turunan sehingga dapat mengurangi
tingkat keamanan dan kenyamanan pengemudi dipilih trase 3.
3. Klasifikasi medan
Klasifikasi medan trase 1, trase 2, dan trase 3 ditentukan berdasarkan
kondisi kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur pada
daerah trase 1, trase 2, dan trase 3. Dan hasil perhitungan menunjukan
kemiringan medang berada pada rentang 3%-25%, maka jalan termasuk
dalam klasifikasi medan bukit.
4. Jumlah tikungan
Jumlah tikungan trase 1, trase 2, dan trase 3 sama yaitu 3(tiga) tikungan
sehingga ketiga trase alternatif dapat digunakan.
5. Sudut tikungan Δ1
Sudut tikungan Δ1 pada trase 1 sebesar 12 39 30 225”, trase 2 sebesar 53
17 22 478”, dan trase 3 sebesar 12 39 32,665” Dipilih sudut tikungan
yang paling kecil, yaitu sudut tikungan trase 1.
6. Sudut tikungan Δ2
Sudut tikungan Δ2 pada trase 1 sebesar 36 22 35 168” , trase 2 sebesar
12 53 37 667” dan trase 3 sebesar 17 55 37 81” Dipilih sudut tikungan
yang paling kecil, yaitu susut tikungan trase 2.
7. Sudut tikungan Δ3
Sudut tikungan Δ3 pada trase 1 sebesar 15 3 29 762” , trase 2 sebesar 41
15 4 284” dan trase 3 sebesar 11 35 31 788” Dipilih sudut tikungan
yang paling kecil, yaitu susut tikungan trase 3.
8. Volume Galian
Volume galian trase 1 sebesar 2101985.48 m3, trase 2 sebesar 2282783 m3,
dan trase 3 sebesar 2151289 m3. Dipilih trase 1 karena semakin kecil
volume galian, maka kebutuhan biaya konstruksi juga semakin murah dan
ekonomis.
9. Volume Timbunan
Volume timbunan trase 1 sebesar 1700982 m3, trase 2 sebesar 2572074
m3, dan trase 3 sebesar 1534731 m3. Dipilih trase 3 karena semakin kecil
volume timbunan seperti halnya volume galian, maka kebutuhan biaya
konstruksi juga semakin murah dan ekonomis.

10. Tinggi galian timbunan


Tinggi galian terbesar terdapat pada trase 3, dan tinggi timbunan terbesar
terdapat pada trase 2. Tinggi galian terkecil terdapat pada trase 1, dan
tinggi timbunan terkecil terdapat pada trase 3. Maka dipilih yang tinggi
trase 1.

11. Perbandingan galian-timbunan


Trase 1 memiliki perbandingan galian-timbunan sebesar 1.236 : 1, trase 2
sebesar 1 : 1.127, dan trase 3 sebesar 1.402 : 1. Direkomendasikan untuk
perbandingan galian dan timbunan hampir seimbang dengan pertimbangan
agar tidak mendatangkan tanah dari luar untuk menekan biaya, dengan
begitu dipilih trase 1.
12. Selisih galian - timbunan
Selisih galian – timbunan trase 1 yaitu sebesar 401003.48 m3, trase 2
sebesar -289291.2 m3, dan trase 3 sebesar 616557.8 m3. Dipilih trase 1
karena melihat perbandingan antara volume galian dan timbunan yang
hampir seimbang, dan juga meminimalkan jumlah galian timbunan,
sehingga jika ada kebutuhan untuk melakukan timbunan tidak perlu
mendatangkan baru lagi, dan tanah galian bisa dioptimalkan penuh untuk
kebutuhan timbunan dengan mengingat catatan bahwa tidak semua tanah
galian dapat digunakan sebagai tanah timbunan.
Dari hasil pertimbangan parameter-parameter yang ada, maka dipilih trase
Alternatif 1 untuk dijadikan trase jalan karena jika dilihat perbandingannya
dengan trase alternatif 3, trase 1 lebih minim dalam hal galian timbunan,
dan tidak memiliki perbedaan kelandaian maksimum yang signifikan
antara trase 1 dan trase 3. Dan tentunya trase 1 lebih unggul dibandingkan
dengan trase alternatif 2.
BAB III

ANALISIS LALU LINTAS

3.1. Data Jalan

Jalan mayor dan minor dengan fungsi jalan sama dengan Jalan
Kunduran-Ngawen-Blora dan Jalan Panca Arga (Magelang) merupakan
jalan luar kota dan diasumsikan merupakan jalan umum dengan kawasan
kegiatan pemukiman. Berdasarkan analisis medan, jalan dengan tipikal jalan
Kunduran-Ngawen-Blora merupakan daerah perbukitan. Untuk memberi
data lebih atas jalan mayor dan minor, klasifikasi jalan menurut Lampiran
Peraturan Menteri PU no 19/PRT/M/2011 yaitu:

1. Berdasarkan Fungsi Jalan


a. Jalan Arteri

Jalan Arteri melayani angkutan utama dengan ciri-ciri


perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien. (UU RI No 13 Tahun
1980)
b. Jalan Kolektor
Jalan Kolektor melayani angkutan pengumpulan / pembagian
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi (UU RI No 13 Tahun
1980)
c. Jalan Tol
Jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan
sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar tol. (Standar konstruksi dan geometri jalan bebas
hambatan No 007/BM/2009)

Jalan Mayor dan Jalan Minor merupakan jalan kolektor.


Dimana jalan kolektor dirancang untuk perjalanan jarak sedang.
Selain itu, kecepatan rencana kendaraan di jalan kolektor dirancang
rata-rata sedang. Sedangkan kapasitas akses jalan dibatasi secara
efisien.

2. Berdasarkan Sistem Jaringan

a. Sistem Jaringan Jalan Primer

1. Disusun berdasarkan rencana tata ruang, distribusi barang


dan jasa tingkat nasional.

2. Menghubungkan secara terus-menerus menurut kegiatan


nasional (pusat kegiatan nasional, wilayah, lokal,
lingkungan)

3. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

1. Disusun berdasarkan rencana tata ruang dan distribusi


barang dan jasa di tingkat kota.

2. Menghubungkan secara menerus kawasan fungsi primer


(kawasan sekunder I, sekunder II, sekunder III, kawasan
percil).

Jalan Mayor dengan fungsi seperti Jalan Kunduran -


Ngawen – Blora merupakan jalan provinsi. Jalan provinsi adalah
jalan yang diwewenangi oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah
melalui Gubernur/Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Jalan
tersebut menghubungkan Ibukota Kabupaten Blora dengan
beberapa kecamatan di Kabupaten Blora.

Jalan Minor dengan fungsi seperti Jalan Panca Arga


merupakan jalan sekunder. Dimana jalan tersebut disusun
berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan
jasa di Tingkat Provinsi. Jalan tersebut menghubungkan secara
menerus dari kawasan fungsi primer, menuju kawasan sekunder ke
satu, menuju kawasan sekunder kedua, menuju kawasan sekunder
ketiga hingga berakhir di kawasan percil.

3. Berdasar Wewenang Pembinaan


a. Jalan Nasional

1. Menghubungkan ibukota negara (arteri primer) ke ibukota


provinsi (kolektor primer K1)

2. Menghubungkan antar ibukota provinsi

3. Wewenang pembinaan oleh Menteri PU

b. Jalan Provinsi
1. Menghubungkan ibukota provinsi ke ibukota kabupaten/kota
(kolektor primer K2)

2. Menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota (kolektor


primer K3)

3. Wewenang pembinaan oleh Gubernur/Dinas Bina Marga PU

c. Jalan Kabupaten/Kota
1. Menghubungkan ibukota kab/kota ke ibukota kecamatan
(kolektor primer)

2. Menghubungkan antar ibukota kecamatan (lokal primer)

3. Wewenang pembinaan oleh Bupati/Walikota

d. Jalan Desa

Jalan Mayor dengan fungsi jalan seperti Jalan Kunduran -


Ngawen – Blora merupakan jalan primer. Dimana jalan tersebut
dirancang berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi
barang dan jasa di tingkat nasional. Jalan tersebut menghubungkan
antar pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat
kegiatan kota. Dimana sistem jaringan jalan primer merupakan
jalan kolektor primer yang menghubungkan secara berdaya guna
antara pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat
kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal.

Jalan Minor dengan fungsi jalan seperti Jalan Panca Arga


merupakan jalan provinsi. Jalan Provinsi adalah jalan yang
diwewenangi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui
Gubernur / Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. Jalan tersebut
menghubungkan Ibukota Kabupaten dengan beberapa Kecamatan
di Magelang.

4. Berdasarkan Psarana
a. Jalan Bebas Hambatan

1. Jalan umum dengan lalu lintas menerus/tidak terputus (jalan


arteri primer)

2. Pengendalian masuk dibatasi penuh

3. Bukan merupakan jalan simpang sebidang

4. Minimal 4/2 UD @ min. 3,5 m

b. Jalan Raya

1. Jalan umum dengan lalu lintas menerus/tidak terputus

2. Pengendalian dibatasi secara terbatas

3. Jalan lebih atau sama dengan 4/2 UD @3,5 m

c. Jalan Sedang

1. Jalan umum dan merupakan jalan kolektor

2. Pengendalian tidak dibatasi

3. Jalan lebih atau sama dengan 2/2 UD = 7 m

d. Jalan Lingkungan

1. Jalan umum dengan jarak setempat

2. Jalan lebih atau sama dengan 2/2 UD = 5,5 m


Jalan Mayor dan Jalan Minor merupakan jalan umum (non
tol). Dimana jalan tersebut adalah jalan sedang (road) karena jalan
diperuntukkan untuk lalu lintas umum dengan jarak sedang dan
pengendalian jalan masuk tidak dibatasi. Jalan juga memenuhi
syarat minimum 2/2 UD dengan lebar jalan total 7 meter.

Dengan mengikuti fungsi jalan Kunduran-Ngawen-Blora yang


memiliki klasifikasi sebagai jalan kolektor primer. Jalan ini kemudian
direncanakan pelaksanaannya menggunakan perkerasan lentur dan
umur rencana 40 tahun. Perencanaan penentuan VLHR sesuai
timeline masa perencanaan konstruksi hingga akhir operasional
selama umur rencana yaitu:

3.2. Data Lalu Lintas


Data lalu lintas dapat berupa nilai dari data pertumbuhan lalu lintas
dan data pertumbuhan penduduk. Data ini kemudian digunnakan untuk
mencari angka pertumbuhan lalu lintas.
3.2.1. Data Pertumbuhan Lalu Lintas

Data lalu lintas diperoleh dari instansi terkait yaitu


Binamarga Provinsi Jawa Tengah (DPU Bina Marga Cipta Karya).
Data yang diperoleh berupa data lalu lintas tahunan jalan
Kunduran-Ngawen-Blora dan jalan Panca Arga (Magelang). Data
lalu lintas harian diambil pada tahun 2017-2018 pada website
Binamarga Provinsi Jawa Tengah
1. Jalan Mayor (Jalan Kolektor Primer)
Merupakan jalan dengan tipikal lalu lintas jalan sama dengan
Jalan Kunduran-Ngawen-Blora.
LHRT 2017 (Kend/hari) = 764 (Lampiran 3.1)
LHRT 2018 (Kend/hari) = 5830 (Lampiran 3.3)
Pertumbuhan Lalu Lintas
LHRT2018 = LHRT2017 (1+i)n
5830 = 764 (1+i)1
5830 = 764 (1+i)
5830 = 764 + 764i
5066 = 764i
i = 6,63 %
2. Jalan Minor (Jalan Kolektor Sekunder)
Merupakan jalan dengan tipikal lalu lintas jalan sama dengan
Jalan Panca Arga, Magelang.
LHRT 2017 (Kend/hari) = 1774 (Lampiran 3.2)
LHRT 2018 (Kend/hari) = 7217 (Lampiran 3.4)
Pertumbuhan Lalu Lintas
LHRT2018 = LHRT2017 (1+i)n
7217 = 1774 (1+i)1
7217 = 1774 (1+i)
7217 = 1774 + 1774i
5440 = 1774i
i = 3,07 %

3.2.2. Data Pertumbuhan Penduduk


Pengambilan data jumlah penduduk dilakukan melalui
https://jateng.bps.go.id/. Data terkait jumlah penduduk yang
digunakan adalah kabupaten Magelang, Grobogan, dan Blora.
Tabel 3.1. Data Pertumbuhan Penduduk

Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan Penduduk


Regency/Municipality per Tahun/ Annual Population
Growth Rate(%)

2010-2018

Kabupaten/Regency

1. Cilacap 0.57

2. Banyumas 0.96

3. Purbalingga 1.07

4. Banjarnegara 0.68

5. Kebumen 0.37

6. Purworejo 0.36

7. Wonosobo 0.52

8. Magelang 0.99

9. Boyolali 0.64

10. Klaten 0.44

11. Sukoharjo 0.89

12. Wonogiri 0.37

13. Karanganyar 0.97

14. Sragen 0.42

15. Grobogan 0.58

16. Blora 0.47

17. Rembang 0.86

18. Pati 0.63

19. Kudus 1.28

20. Jepara 1.53

21. Demak 1.08


Tabel 3.1. Data Pertumbuhan Penduduk (Lanjutan)

Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan Penduduk


Regency/Municipality per Tahun/ Annual Population
Growth Rate(%)

2010-2018

22. Temanggung 0.96

23. Semarang 1.39

24. Kendal 0.85

25. Batang 0.94

26. Pekalongan 0.76

27. Pemalang 0.37

28. Tegal 0.37

29. Brebes 0.48

Kota/Municipality

1. Magelang 0.36

2. Surakarta 0.45

3. Salatiga 1.46

4. Semarang 1.72

5. Pekalongan 0.98

6 Tegal 0.47

Jawa Tengah 0.78

(Sumber : BPS Jawa Tengah)

Dikarenakan untuk mencari angka pertumbuhan lalu lintas dengan


data lalu lintas harian membutuhkan data setidaknya selama 5 tahun,
sehingga digunakan angka pertumbuhan lalu lintas dari pertumbuhan
penduduk, yaitu:
1. Jalan Mayor
Diasumsikan Jalan Mayor memiliki fungsi yang sama dengan Jalan
Kunduran-Ngawen-Blora yang merupakan Jalan Provinsi yang
menghubungkan Kab. Grobogan dan Kab. Blora, maka diambil i =
0,58
itotal Jalan Mayor = 0,58%

2. Jalan Minor
Diasumsikan Jalan Minor memiliki fungsi yang sama dengan Jalan
Panca Arga yang terletak di Kab. Magelang, maka diambil i = 0,99
itotal Jalan Minor = 0,99%

Dengan jalan mengikuti fungsi Jalan Kunduran-Ngawen-Blora yang


termasuk jalan kolektor primer dengan medan bukit, Angka pertumbuhan
yang didapat kemudian digunakan untuk menghitung perencanaan
penentuan konstruksi jalan. Selain angka pertumbuhan (i), dibutuhkan
parameter lain seperti n, f, k, emp yang akan dibahas.
Lampiran

L.3.1. Data LHRT 2017 daerah Purwodadi


L.3.2. Data LHRT 2017 daerah Magelang
L.3.3. Data LHRT 2018 Kelas A Periode I
L.3.4. Data LHRT 2018 Kelas A Periode I
3.3 Analisis Lalu Lintas
3.3.1 Data Lalu Lintas
Data LHR yang digunakan pada tahun 2018. Jalan
Mayor (Kunduran - Ngawen - Blora) dan Jalan Minor (Jl.
Panca Arga).

Jalan Mayor (Kunduran - Ngawen - Blora)


a. Klasifikasi Jalan : Kolektor Primer
b. Tahun Pengamatan : 2018
c. Sumber Data : DPU Cipta Karya Binamarga Jawa
Tengah

Tabel 3.2 Perhitungan Lalu Lintas

Golongan Jenis Kendaraan Volume Kendaraan (Kend/hari)


1 Sepeda Motor, Sekuter, & Kend. Roda Tiga 21539

2 Sedan, Jeep, Station Wagon 2324


3 Oplet, Pick Up, Suburban, Combi, & Mini Bus 400
4 Pick Up, Mikro Truk, & Mobil Hantaran 831
5a Bus Kecil 361
5b Bus Besar 293
6a Truk Ringan 2 Sumbu 671
6b Truk Sedang 2 Sumbu 720
7a Truk 3 Sumbu 139
7b Truk Gandeng 4
7c Truk Trailer 88
8 Kendaraan Tidak Bermotor 665
Total 28035

3.3.2 Penentuan Nilai Volume Jam Rencana


1. Penentuan Nilai emp
Ekuivalensi Kendaraan Penumpang (emp) dicari
sebagai tahap awal untuk menghitung VJR rencana. Emp
adalah faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan
dibandingkan dengan kendaraan ringan, sehubungan dengan
pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam
arus lalu lintas. Untuk mobil penumpang dan kendaraan
ringan diambil nilai emp = 1 (MKJI,1997)

Pada Tabel 3.1 asumsi pembagian keramaian adalah


60% : 40% karena pembagian ini merupakan pembagian
distribusi jalan tersibuk dan diperlukan untuk mencari FCsp.
Nilai emp jalan untuk jalan 2/2 UD, 4/2 D, dan 6/2 D
berdasarkan MKJI 1997 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3. Emp Untuk Jalan Luar Kota Dua Lajur – Dua Arah Tak Terbagi (2/2 UD)

Tabel 3.4. Emp Untuk Jalan Luar Kota Empat Lajur – Dua Arah (4/2)
Tabel 3.5. Emp Untuk Jalan Luar Kota Enam Lajur – Dua Arah (6/2 D)

Contoh Penentuan emp :


Berdasarkan analisis medan, jalan dengan tipikal jalan Kunduran-
Ngawen-Blora merupakan daerah perbukitan.

Tabel 3.6. Perhitungan nilai emp

VJR Jenis emp


Golongan Jenis Kendaraan
(Kend/jam) Kendaraan 2/2 UD 4/2 D 6/2 D
Sepeda Motor, Sekuter, & Kend.
1 Roda Tiga 2153.9 MC 0.4 0.4 0.4
2 Sedan, Jeep, Station Wagon 232.4 LV 1 1 1
Oplet, Pick Up, Suburban, Combi, &
3 Mini Bus 40 LV 1 1 1
Pick Up, Mikro Truk, & Mobil
4 Hantaran 83.1 LV 1 1 1
5a Bus Kecil 36.1 MHV 1.7 1.8 1.8
5b Bus Besar 29.3 LB 1.7 1.9 1.9
6a Truk Ringan 2 Sumbu 67.1 MHV 1.7 1.8 1.8
6b Truk Sedang 2 Sumbu 72 MHV 1.7 1.8 1.8
7a Truk 3 Sumbu 13.9 LT 3.2 3.5 3.5
7b Truk Gandeng 0.4 LT 3.2 3.5 3.5
7c Truk Trailer 8.8 LT 3.2 3.5 3.5
8 Kendaraan Tidak Bermotor 66.5 0 0 0 0
Total 2803.5
Tabel 3.7. Perhitungan Data Volume Kendaraan 2/2 UD

Golongan Jenis Kendaraan VJR (Kend/jam) Jenis Kendaraan emp VJR (smp/jam)
1 Sepeda Motor, Sekuter, & Kend. Roda Tiga 2153.9 MC 0.4 861.56
2 Sedan, Jeep, Station Wagon 232.4 LV 1 232.4
3 Oplet, Pick Up, Suburban, Combi, & Mini Bus 40 LV 1 40
4 Pick Up, Mikro Truk, & Mobil Hantaran 83.1 LV 1 83.1
5a Bus Kecil 36.1 MHV 1.7 61.37
5b Bus Besar 29.3 LB 1.7 49.81
6a Truk Ringan 2 Sumbu 67.1 MHV 1.7 114.07
6b Truk Sedang 2 Sumbu 72 MHV 1.7 122.4
7a Truk 3 Sumbu 13.9 LT 3.2 44.48
7b Truk Gandeng 0.4 LT 3.2 1.28
7c Truk Trailer 8.8 LT 3.2 28.16
8 Kendaraan Tidak Bermotor 66.5 0 0 0
Total 2803.5 1638.63

Tabel 3.8. Perhitungan Data Volume Kendaraan 4/2 D dan 6/2 D


Golongan Jenis Kendaraan VJR (Kend/jam) Jenis Kendaraan emp VJR (smp/jam)
1 Sepeda Motor, Sekuter, & Kend. Roda Tiga 2153.9 MC 0.4 861.56
2 Sedan, Jeep, Station Wagon 232.4 LV 1 232.4
3 Oplet, Pick Up, Suburban, Combi, & Mini Bus 40 LV 1 40
4 Pick Up, Mikro Truk, & Mobil Hantaran 83.1 LV 1 83.1
5a Bus Kecil 36.1 MHV 1.8 64.98
5b Bus Besar 29.3 LB 1.9 55.67
6a Truk Ringan 2 Sumbu 67.1 MHV 1.8 120.78
6b Truk Sedang 2 Sumbu 72 MHV 1.8 129.6
7a Truk 3 Sumbu 13.9 LT 3.5 48.65
7b Truk Gandeng 0.4 LT 3.5 1.4
7c Truk Trailer 8.8 LT 3.5 30.8
8 Kendaraan Tidak Bermotor 66.5 0 0 0
Total 2803.5 1668.94

2. Penentuan faktor K dan F


Tabel 3.9. Penentuan Nilai VLHR Jalan Kunduran-Ngawen-Blora
Nilai VLHR jalan Kunduran-Ngawen-Blora sebesar 28035
smp/hari, maka nilai faktor K dan faktor F bisa kita ambil di
rentang nilai VLHR 30.000-50.000, maka didapat nilai faktor K
dan faktor F dari interpolasi yaitu 6% untuk faktor K dan 0,8
untuk faktor F.

3. Penentuan VLHR berdasarkan masa Perencanaan, masa


Konstruksi,dan Umur Rencana

Tabel 3.10. Umur Rencana

a. Perencanaan dengan menggunakan perkerasan lentur


Umur rencana = 40 tahun

Data tahun 2018, dengan masa perencanaan satu tahun pada


tahun 2019.
- Perencanaan 2020 – 2021
- Konstruksi 2021 – 2022
- Ada jeda 2 tahun setelah kontruksi selesai dibangun dan
awal masa operasional
- Masa operasional selama umur rencana 2024 – 2064
• Masa Perencanaan.
LHR2021= LHR2020 . (1+i)2

Dengan i = 0,58% (Tingkat Pertumbuhan Jalan Kunduran-Ngawen-Blora)


Tabel 3.11. Nilai VJR pada masa perencanaan

VJR (smp/jam) Hasil (smp/jam)


Golongan (1+i)^n
2/2 UD 4/2, 6/2 2/2 UD 4/2, 6/2
1 861.56 861.56 1.0058 866.5570 866.5570
2 232.40 232.40 1.0058 233.7479 233.7479
3 40.00 40.00 1.0058 40.2320 40.2320
4 83.10 83.10 1.0058 83.5820 83.5820
5a 61.37 64.98 1.0058 61.7259 65.3569
5b 49.81 55.67 1.0058 50.0989 55.9929
6a 114.07 120.78 1.0058 114.7316 121.4805
6b 122.40 129.60 1.0058 123.1099 130.3517
7a 44.48 48.65 1.0058 44.7380 48.9322
7b 1.28 1.40 1.0058 1.2874 1.4081
7c 28.16 30.80 1.0058 28.3233 30.9786
8 0 0 1.0058 0 0
Total 1648.1341 1678.6199

• Masa Konstruksi

LHR2022= LHR2021 . (1+i)2


Dengan i = 0,58% (Tingkat Pertumbuhan Jalan Kunduran-Ngawen-Blora)

Tabel 3.12. Nilai VJR pada masa konstruksi


Golongan VJR (smp/jam) (1+i)^n Hasil (smp/jam)
2/2 UD 4/2, 6/2 2/2 UD 4/2, 6/2
1 866.5570 866.5570 1.0058 871.5831 871.5831
2 233.7479 233.7479 1.0058 235.1037 235.1037
3 40.2320 40.2320 1.0058 40.4653 40.4653
4 83.5820 83.5820 1.0058 84.0668 84.0668
5a 61.7259 65.3569 1.0058 62.0840 65.7360
5b 50.0989 55.9929 1.0058 50.3895 56.3176
6a 114.7316 121.4805 1.0058 115.3970 122.1851
6b 123.1099 130.3517 1.0058 123.8240 131.1077
7a 44.7380 48.9322 1.0058 44.9975 49.2160
Golongan VJR (1+i)^n Hasil Golongan VJR
(smp/jam) (smp/jam) (smp/jam)
7b 1.2874 1.4081 1.0058 1.2949 1.4163
7c 28.3233 30.9786 1.0058 28.4876 31.1583
8 0 0 1.0058 0 0
Total 1657.6932 1688.3558

• Masa Operasional
LHR2024= LHR2022 . (1+i)2
Dengan i = 0,58% (Tingkat Pertumbuhan Jalan Kunduran-Ngawen-Blora)

Tabel 3.13. Nilai VJR pada masa operasional.

VJR (smp/jam) Hasil (smp/jam)


Golongan (1+i)^n
2/2 UD 4/2, 6/2 2/2 UD 4/2, 6/2
1 871.5831 871.5831 1.01163364 881.7228 881.7228
2 235.1037 235.1037 1.01163364 237.8388 237.8388
3 40.4653 40.4653 1.01163364 40.9361 40.9361
4 84.0668 84.0668 1.01163364 85.0448 85.0448
5a 62.0840 65.7360 1.01163364 62.8062 66.5007
5b 50.3895 56.3176 1.01163364 50.9757 56.9728
6a 115.3970 122.1851 1.01163364 116.7395 123.6066
6b 123.8240 131.1077 1.01163364 125.2645 132.6330
7a 44.9975 49.2160 1.01163364 45.5209 49.7885
7b 1.2949 1.4163 1.01163364 1.3100 1.4328
7c 28.4876 31.1583 1.01163364 28.8190 31.5208
8 0 0 1.01163364 0.0000 0.0000
Total 1676.9782 1707.9976

• Masa Umur Rencana

LHR2064= LHR2024 . (1+i)40


Dengan i = 0,58% (Tingkat Pertumbuhan Jalan Kunduran-Ngawen-Blora)

Tabel 3.14. Nilai VJR pada masa akhir umur rencana.


VJR (smp/jam) Hasil (smp/jam)
Golongan (1+i)^n
2/2 UD 4/2, 6/2 2/2 UD 4/2, 6/2
1 881.7228 881.7228 1.2602748 1111.2130 1111.2130
2 237.8388 237.8388 1.2602748 299.7422 299.7422
3 40.9361 40.9361 1.2602748 51.5907 51.5907
4 85.0448 85.0448 1.2602748 107.1798 107.1798
5a 62.8062 66.5007 1.2602748 79.1531 83.8092
5b 50.9757 56.9728 1.2602748 64.2434 71.8014
6a 116.7395 123.6066 1.2602748 147.1239 155.7782
6b 125.2645 132.6330 1.2602748 157.8677 167.1540
7a 45.5209 49.7885 1.2602748 57.3689 62.7472
7b 1.3100 1.4328 1.2602748 1.6509 1.8057
7c 28.8190 31.5208 1.2602748 36.3199 39.7249
8 0.0000 0.0000 1.2602748 0.0000 0.0000
Total 2113.45341 2152.5463
3.4 Analisa Kapasitas Lalu Lintas.
Jalan yang akan diperhitungkan kapasitasnya adalah jalan 2/2 UD, 4/2
D, dan 6/2 D dengan gambar prototype sebagai berikut: (untuk gambar
prototype yang lebih jelas, lihat Lampiran Bab III)

Gambar 3.1 Prototype Jalan 2/2 UD

Gambar 3.2 Prototype Jalan 4/2 D

Gambar 3.3 Prototype Jalan 6/2 D

3.4.1 Penentuan Kapasitas Dasar (Co)

Tabel 3.15. Kapasitas Dasar Ruas Jalan


Perencanaan jalan dengan medan perbukitan sehingga nilai
Co yang dapat diambil adalah Co = 3000 smp/jam total 2 arah
untuk jalan 2/2 UD dan Co = 1850 smp/jam per lajur untuk
4/2 dan 6/2 D. Penentuan tipe alinyemen pada tabel 3.16. ini
didapat pada data saat identifikasi medan trase yaitu perbukitan.

Tabel 3.16. Kriteria Penentuan Tipe Alinyemen

3.4.2 Penentuan Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Lebar Lalu-Lintas


(FCw)

Tabel 3.17. Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Lebar Lalu-Lintas (FCw)


Perencanaan jalan 2/2 UD, 4/2 D, 6/2 D dengan letak jalan
luar kota. Perencanaan lebar jalur lalu lintas (Wc) yaitu 7 m total
dua arah untuk 2/2 UD dan 3,5 m per lajur untuk 4/2 D dan 6/2 D.
Oleh karena itu didapatkan nilai FCw = 1.00 untuk semua
prototype jalan

3.4.3 Penentuan Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pemisahan Arah


(FCSP)

Tabel 3.18. Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pemisahan Arah (FCSP)

Perencanaan jalan 2/2 UD, 4/2 D dengan letak jalan luar


kota dengan pemisahan arah 60:40 (Distribusi Jalan Tersibuk).
Oleh karena itu didapatkan nilai FCSP = 0.94 untuk jalan 2/2
UD dan FCSP = 0,95 untuk jalan 4/2 D

3.4.4 Penentuan Faktor Penyesuaian penyesuaian kapasitas untuk hambatan


samping (FCSF)

Tabel 3.19. Faktor Bobot Hambatan Samping.


Tabel 3.20. Penentuan Kelas Hambatan Samping

Tabel 3.21. Penentuan Kelas Hambatan Samping


untuk Jalan Luar Kota

Dengan faktor penyesuaian akibat hambatan samping untuk jalan enam lajur
menggunakan rumus berikut:
FFV 6, SF = 1 – 0,8 x (1 – FFV 4, SF)

Perencanaan dengan letak jalan luar kota dengan lebar bahu efektif (Ws) = 1.0
m dan kelas hambatan samping SFC yaitu sedang karena jalan memiliki kondisi
khas sebagai jalan luar kota dan diasumsikan merupakan jalan kampung dengan
kegiatan pemukiman sehingga dapat diambil nilai FCSF sebesar 0,91 untuk jalan
2/2 UD, FCSF sebesar 0,95 untuk 4/2 D, dan FCSF sebesar 0,96 untuk 6/2 D.
Dari semua faktor yang sudah ditentukan, maka dapat dihitung nilai kapasitas ruas
jalan dalam MKJI (1997) untuk jalan luar kota adalah sebagai berikut :

1. Kapasitas Jalan 2/2 UD

C = Co x FCw x FCsp x FCsf

C = 3000 x 1 x 0,94 x 0,91

C = 2566,2 smp/jam (2 arah)

2. Kapasitas Jalan 4/2 D

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x 2

C = 1850 x 1 x 0,95 x 0,95 x 2

C = 3339,25 smp/jam (2 arah)

3. Kapasitas Jalan 6/2 D

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x 3

C = 1850 x 1 x 0,95 x 0,96 x 3

C = 5061,6smp/jam (2 arah)

3.5 Analisis Kinerja Lalu Lintas

3.5.1. Penentuan DS ( Derajat Kejenuhan)

DS yang ditentukan dari kondisi yang diamati digunakan sebagai


faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja jalan. Nilai DS tidak boleh
melebihi 0,85 (MKJI 1997) . Jika DS lebih tinggi dari 0,85, maka harus
mengubah dan mencari alternatif asumsi yang berkaitan dengan
penampang melintang jalan karena jalan tersebut sudah tidak mampu
melayani banyaknya kendaraan yang lewat (MKJI 1997).
1. Jalan 2/2 UD

VJR akhir rencana (Q) = 2113,453 smp/jam/ 2 arah

C = 2566,2 smp/jam/ 2 arah.

𝑄
𝐷𝑆 = 𝐶

2113,453
𝐷𝑆 = 2566,2

𝐷𝑆 = 0,824 < 0,85 (𝑂𝐾)

2. Jalan 4/2 D

VJR akhir rencana (Q) = 2152,5463 smp/jam/ 2 arah

C = 3339,25 smp/jam/ 2 arah.

𝑄
𝐷𝑆 = 𝐶

2152,5463
𝐷𝑆 = 3339,25

𝐷𝑆 = 0,645 < 0,85 (𝑂𝐾)

3. Jalan 6/2 D

VJR akhir rencana (Q) = 2152,5463 smp/jam/ 2 arah

C = 5061,6 smp/jam/ 2 arah.

𝑄
𝐷𝑆 = 𝐶

2152,5463
𝐷𝑆 = 5061,6

𝐷𝑆 = 0,425 < 0,85 (𝑂𝐾)


3.5.2. Pembahasan
Dari hasil perhitungan diatas, perhitungan nilai DS masih memenuhi
syarat MKJI 1997 yaitu nilainya kurang dari 0,85. Sehingga, ruas jalan
dengan perkerasan lentur dan umur rencana = 40 tahun masih dapat
melayani arus kendaraan yang lewat dengan baik dengan nilai yang
paling mendekati 0,85 atau efektivitas dan memenuhi keekonomisan
adalah 2/2 UD. Maka, jalan yang direncanakan (2/2 UD) untuk jalan
kolektor primer sudah tepat.
Dikarenakan DS < 0,85, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi
jalan 2/2 UD belum mengalami kejenuhan sehingga tidak diperlukan
alternatif untuk mengurangi nilai derajat kejenuhan. Kepadatan jalan 2/2
UD yang mendekati nilai 0,85 masih aman dan efektif tidak
menyebabkan kemacetan. Nilai DS yang tidak terlalu rendah juga
memenuhi faktor ekonomis dan tidak boros
Dengan nilai DS yang optimal maka pelayanan yang diberikan
sudah baik. Penetapan jalan selebar 7 m sudah membuat lalu lintas
berkinerja dengan baik.
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

SUMBU JALAN

DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA) PENAMPANG MELINTANG


DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) TIPE JALAN 2 / 2 UD
+5.00 m
DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA) +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR LALU LINTAS JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 1000 1000 1500 150 1750 2500
3500 3500
15000 15000
-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096
DANIA SALSABILA
21010117140097

PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 2 / 2 UD TANGGAL DISETUJUI

SKALA 1 : 150
DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

1 DARI 3 1 : 150

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

PENAMPANG MELINTANG
SUMBU JALAN
TIPE JALAN 4 / 2 D
DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA)

DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA)

DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)


+5.00 m +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
JALUR LALU LINTAS
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 3500 3500 3500 3500 1000 1000 1500 150 1750 2500

-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 4 / 2 D LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096
SKALA 1 : 200
DANIA SALSABILA
21010117140097

TANGGAL DISETUJUI

DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

3 DARI 3 1 : 200

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

PENAMPANG MELINTANG
SUMBU JALAN
TIPE JALAN 6 / 2 D
DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA)

DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA)

DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

+5.00 m +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR LALU LINTAS JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 3500 3500 3500 3500 3500 3500 1000 1000 1500 150 1750 2500
19000 19000
-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096

PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 6 / 2 D DANIA SALSABILA


21010117140097
SKALA 1 : 200 TANGGAL DISETUJUI

DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

2 DARI 3 1 : 200

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


BAB III
PENAMPANG MELINTANG JALAN

3.1. Gambaran Kawasan yang Dilayani


Perencanaan jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen –
Blora mengambil lokasi kawasan permukiman dimana memungkinkan
berbagai aktivitas dari masyarakat yang beragam. Tujuan umum perencanaan
jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen – Blora ini adalah
meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman
guna mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni,
produktif dan berkelanjutan. Jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan
Kunduran - Ngawen – Blora memiliki komposisi penampang melintang yang
cukup lengkap, hal ini dibuktikan dengan tersedianya fasilitas jalur sepeda bagi
kendaraan tidak bermotor (sepeda) dan trotoar bagi pejalan kaki untuk
mendukung aktivitas masyarakat sekitar untuk memudahkan pemenuhan
kebutuhan sehari- hari mereka. Berikut ini kami lampirkan gambar kawasan
yang dilayani oleh Jalan Kunduran - Ngawen – Blora yang berupa permukiman
penduduk, dan fasilitas umum seperti pasar,dll.

Gambar 3.1. Kawasan yang Dilayani oleh Jalan Kunduran - Ngawen – Blora
3.2 Komposisi Penampang Melintang

Komposisi penampang melintang jalan kolektor primer terdiri dari : jalur dan
lajur lalu lintas, bahu jalan, trotoar, selokan samping, jalur sepeda.
3.2.1. Jalur dan Lajur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas adalah bagian dari Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)
yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa
perkerasan jalan.
Lajur lalu lintas merupakan bagian dari jalur lalu lintas yang
memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, dimana memiliki lebar yang
cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
Jalur lalu lintas dapat terdiri beberapa Lajur lalu lintas.
Jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen –
Blora merupakan jalan kolektor, sehingga digunakan tipe jalur dan lajur
lalu lintas 2/2 UD (2 Jalur – 2 Lajur – 2 Arah, Tidak Terbagi) dengan lebar
jalan total 7 meter. Nilai Degree of Saturation (DS) perhitungan adalah
0,824 dimana kurang dari 0,85, sehingga tipe jalan yang direncanakan
sudah tepat. Tipe perkerasan yang dipilih adalah perkerasan lentur dengan
umur rencana 10 tahun.
Tabel 1.1. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.


038/TBM/1997)
Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada
alinyemen lurus jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran -
Ngawen – Blora memerlukan kemiringan melintang normal sebesar 3%
yang bila dikonversi dalam satuan derajat menjadi 1,718º untuk perkerasan
aspal dan perkerasan beton. Sedangkan di jalan tikungan terdapat
superelevasi dengan kemiringan maksimal sebesar 8% yang bila
dikonversi dalam satuan derajat menjadi 4,574º

3.2.2. Bahu Jalan


Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas
dan harus diperkeras yang berfungsi sebagai lajur lalu lintas darurat,
tempat berhenti sementara, dan atau tempat parkir darurat, ruang bebas
samping bagi lalu lintas, dan penyangga samping untuk kestabilan
perkerasan jalur lalu lintas.
Pada jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen –
Blora digunakan tipe hanya ada bahu luar yaitu bahu kiri, sesuai tipe jalan
2/2 UD. Oleh karena jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran -
Ngawen – Blora termasuk jalan non tol dan alasan ekonomis dari fungsi
jalan kolektor, maka dipilih lebar bahu jalan efektif yang digunakan
sebesar 1 meter. Semakin lebar bahu jalan maka kinerja jalan tersebut
semakin baik.
Kemiringan melintang bahu jalan yang digunakan pada jalan lurus
sebesar i = 5% yang bila dikonversi dalam satuan derajat menjadi 2,862º
untuk fungsi drainase, sedangkan pada jalan tikungan (misalnya pada
tikungan belok kiri), kemiringan tikungan sisi dalam / kiri sebesar i = e %
dan kemiringan tikungan sisi luar / kanan sebesar i = 8 – e % apabila
𝑒
dikonversi dalam satuan derajat menggunakan rumus : Arc Tan (100)

Lapis struktur bahu jalan yang digunakan pada Pada jalan yang
memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen – Blora adalah bahu
jalan tidak diperkeras (Unpaved Shoulder) untuk jalan di daerah datar (i <
4% atau 2,291º) dengan material lapis agregat S (batu pecah) setebal 20
cm. Sedangkan pada jalan tanjakan / turunan (i > 4% atau 2,291º)
digunakan bahu jalan diperkeras (Paved Shoulder) dengan material
agregat A setebal 20 cm dan Hotmix AC BC setebal 6 cm atau dengan
beton fc’ = 20 MPa setebal 20 cm.

3.2.3. Trotoar
Trotoar adalah bagian jalan khusus untuk pejalan kaki yang
ditempatkan sejajar dengan jalur lalu lintas dan terpisah dari jalur lalu
lintas.
Jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen –
Blora merupakan jalan antar kota dengan volume kendaraan > 1000
kendaraan/12 jam dan volume pejalan kaki > 300 orang/12 jam sehingga
diperlukan trotoar dengan lebar optimal 1,5 meter. Alasan pemilihan
trotoar oleh karena dikanan dan kiri jalan rencana adalah area
permukiman, dimana banyak kegiatan masyarakat yang dilakukan dengan
berjalan kaki, terutama untuk memberi kenyamanan dan keamanan secara
psikologis bagi pejalan kaki.

3.2.4. Selokan Samping


Selokan samping merupakan salran drainase jalan yang berfungsi
menampung dan membuang air dari permukaan jalan, menampung dan
membuang air dari daerah pengaliran sekitar jalan minimal selebar 100
meter sisi kiri dan kanan jalan.
Bentuk selokan samping pada jalan yang memiliki fungsi seperti
Jalan Kunduran - Ngawen – Blora adalah trapesium, pemilihan ini
berdasarkan aspek keselamatan pengendara apabila terjadi kecelakaan,
dimana bentuk trapesium dapat meminimalisir kematian daripada bentuk
segi empat.
Luas penampang selokan samping berbentuk trapesium sebesar
0,625 m2, tinggi trapesium 0,5 m, dan jumlah sisi sejajar trapesium sebesar
2,5 m. Dimana lebar sisi atas trapesium sebesar 1,75 m, sedangkan lebar
sisi bawah trapesium sebesar 0,75 m. Pada daerah datar jalan yang
memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen – Blora dengan i < 4%
atau 2,291º digunakan material selokan samping berupa selokan tanah
karena kecepatan aliran kecil sehingga mengakibatkan adanya endapan
pada selokan tersebut. Sedangkan pada daerah tanjakan / turunan jalan
yang memiliki fungsi seperti Jalan Kunduran - Ngawen – Blora dengan i
> 4% atau 2,291º digunakan material selokan samping berupa beton atau
pasangan batu karena kecepatan aliran besar sehingga mengakibatkan
adanya gerusan pada selokan tersebut.

3.2.5. Jalur Sepeda


Jalur sepeda merupakan jalur khusus untuk kendaraan roda kurang
dari empat dan kendaraan tak bermesin (sepeda, becak, andong,dll) yang
terletak sejajar dengan jalur lalu lintas dan harus terpisah dari jalur lalu
lintas.
Berdasarkan data LHR jalan yang memiliki fungsi seperti Jalan
Kunduran - Ngawen – Blora, diperoleh volume kendaraan tidak bermotor
termasuk sepeda yang cukup besar dimana lebih dari 500 buah / 12 jam,
ditambah adanya volume kendaraan yang lebih dari 2000 kendaraan / 12
jam, Maka perlu adanya jalur sepeda untuk menjamin keselamatan
pengendara sepeda dan memberi rasa aman secara psikologis bagi
pengendara sepeda. Lebar jalur sepeda yang digunakan adalah 1 meter
dengan kecepatan rencana 15 km/jam.
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

SUMBU JALAN

DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA) PENAMPANG MELINTANG


DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) TIPE JALAN 2 / 2 UD
+5.00 m
DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA) +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR LALU LINTAS JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 1000 1000 1500 150 1750 2500
3500 3500
15000 15000
-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096
DANIA SALSABILA
21010117140097

PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 2 / 2 UD TANGGAL DISETUJUI

SKALA 1 : 150
DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

1 DARI 3 1 : 150

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

PENAMPANG MELINTANG
SUMBU JALAN
TIPE JALAN 4 / 2 D
DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA)

DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA)

DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)


+5.00 m +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
JALUR LALU LINTAS
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 3500 3500 3500 3500 1000 1000 1500 150 1750 2500

-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 4 / 2 D LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096
SKALA 1 : 200
DANIA SALSABILA
21010117140097

TANGGAL DISETUJUI

DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

3 DARI 3 1 : 200

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR

PENAMPANG MELINTANG
SUMBU JALAN
TIPE JALAN 6 / 2 D
DAERAH PENGAWASAN JALAN (DAWASJA)

DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA)

DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

+5.00 m +5.00 m

KETERANGAN

SATUAN DALAM MM
SELOKAN SAMPING TROTOAR BAHU JALAN JALUR SEPEDA JALUR LALU LINTAS JALUR SEPEDA BAHU JALAN TROTOAR SELOKAN SAMPING

0.00 m 0.00 m

2500 1750 150 1500 1000 1000 3500 3500 3500 3500 3500 3500 1000 1000 1500 150 1750 2500
19000 19000
-1.50 m -1.50 m
BATAS KEDALAMAN DAERAH MANFAAT JALAN (DAMAJA)

NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
21010117140096

PENAMPANG MELINTANG TIPE JALAN 6 / 2 D DANIA SALSABILA


21010117140097
SKALA 1 : 200 TANGGAL DISETUJUI

DOSEN

Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.

NO GAMBAR SKALA

2 DARI 3 1 : 200

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


BAB IV
PERANCANGAN ALINYEMEN HORISONTAL

4.1. Dasar Teori


4.1.1. Pengertian
Alinyemen horisontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal.
Terdiri dari bagian lurus dan lengkung. Perancangan geometri pada bagian
lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima
oleh kendaraan yang berjalan dengan kecepatan rencana (PGJAK 1997 : 27).
4.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perancangan alinyemen horisontal
1. Faktor gesekan samping
Gesekan kearah melintang jalan antara ban dengan permukaan jalan.
Koefisien melintang dipengaruhi oleh tipe dan perkerasan jalan, tipe dan
kondisi ban, tekanan ban, kecepatan kendaraan, dan kondisi cuaca.
Kriteria koefisien gesekan maksimum dalam perancangan, yaitu :
VR ≥ 80 km/jam → fm = -0,000125VR + 0,24
VR < 80 km/jam → fm = -0,00065VR + 0,192
2. Superelevasi
Superelevasi merupakan suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada
saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan V R. Nilai superelevasi (e)
maksimum yang dianjurkan Bina Marga adalah :
e max = 10 % → VR ≥ 30 km/jam, luar kota
e max = 8 % → VR < 30 km/jam, luar kota
e max = 6 % → jalan perkotaan
3. Jari-jari tikungan
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut :
𝑉𝑅 2
𝑅𝑚𝑖𝑛 =
127(𝑒 𝑚𝑎𝑥 + 𝑓𝑚)

Rmin = jari-jari tikungan minimum


VR = kecepatan rencana
e max = superelevasi maksimum
fm = koefisien gesek
Penetapan nilai Rmin juga bisa didapat dari Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Panjang Jari-jari Tikungan Minimum
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber : Pedoman Bina Marga 1997 TCPGJAK No. 038/TBM/1997

4. Lengkung peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian
lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R. Berfungsi
mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari lurus ke lengkung,
sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di
tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan
mendekati atau meninggalkan tikungan. Panjang lengkung peralihan
ditetapkan atas pertimbangan :
a. Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk
menghindari kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan
3 detik.
b. Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi
berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman.
c. Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan dari kelandaian normal
ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re max yang
ditetapkan :
untuk VR ≤ 70 km/jam → Re max = 0,035 m/m/detik
untuk VR ≥ 80 km/jam → Re max = 0,025 m/m/detik
Besarnya lengkung peralihan (Ls) diambil nilai yang terbesar dari 3 rumus
berikut :
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = 𝑇
3,6
T = waktu tempuh sepanjang Ls = 3 detik
VR = kecepatan rencana (km/jam)
b. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
𝑉𝑅 3 𝑉𝑅∙ 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 − 2,727
𝑅∙𝐶 𝐶
R = jari-jari tikungan (m)
e = superelevasi (%)
c = perubahan percepatan rata-rata = 1 – 3 m/s2
c. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛)𝑉𝑅
𝐿𝑠 =
3,6𝑅𝑒
em = superelevasi maksimum (%)
en = superelevasi normal (%)
Re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan
(m/m/detik)
5. Pelebaran jalur lalu lintas di tikungan
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi
pelayanan lalu lintas di bagian tikungan sehingga sama dengan atau
mendekati pelayanan di bagian tangent. Pelebaran di tikungan
mempertimbangkan :
a. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada
lajurnya.
b. Penambahan lebar lajur yang dipakai saat melakukan gerakan
melingkar.
c. Pelebaran di tikungan oleh radius belok kendaraan rencana.
d. Pelebaran kurang dari 0,6 m diabaikan.
e. Untuk jalan 1 jalur, 3 lajur, Wc dikalikan 1,5.
f. Untuk jalan 1 jalur, 4 lajur, Wc dikalikan 2.
4.1.3. Jenis-Jenis Tikungan
Ada 3 jenis tikungan pada perencanaan lengkung horizontal, yaitu :
1. Full Circle (FC)
Tikungan FC memiliki Jari-jari tikungannya (Rc) besar, sementara sudut
tangent (∆) kecil. Tikungan Full Circle dan diagram superelevasi tikungan
Full Circle dapat dilihat pada Gambar 4.1. dan Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Tikungan Full Circle


Keterangan :
PI = point of intersection
Rc = jari-jari tikungan
∆ = sudut tangent
TC = titik batas tangent ke circle
CT = titik batas circle ke tangent
Ec = jarak PI ke lengkung circle (m)
Tc = jarak antara TC dan PI atau PI ke CT (m)
Gambar 4.2. Diagram Superelevasi FC

Rumus-rumus untuk lengkung FC :


1
𝑇𝑐 = 𝑅𝑐 ∙ tan ∆
2

𝐿𝑐 = 2𝜋𝑅
360°
1
𝐸𝑐 = 𝑇𝑐 ∙ tan ∆
4
Dimana :
Tc = tangent circle
Rc = jari-jari tikungan
∆ = sudut tangent

2. Spiral Circle Spiral (SCS)


Tikungan dengan jari-jari dan sudut tangent sedang. Tikungan SCS
menggunakan lengkung peralihan dengan bentuk spiral. Tikungan SCS dan
diagram superelevasi tikungan SCS dapat dilihat pada Gambar 4.3. dan
Gambar 4.4.
Gambar 4.3. Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)

Gambar 4.4. Diagram Superelevasi SCS

Rumus-rumus lengkung SCS :


∆𝑐 = ∆ ∙ 2𝜃𝑠
∆𝑐
𝐿𝑐 = 2𝜋𝑅𝑐
360
2𝜃𝑠
𝐿𝑠 = 2𝜋𝑅𝑐
360
𝐿𝑠 360
𝜃𝑠 = ×
2𝑅𝑐 2𝜋

𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan +𝑘
2

𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) sec − 𝑅𝑐
5
𝑃 = 𝑝′ ∙ 𝐿𝑠
𝐾 = 𝑘′ ∙ 𝐿𝑠
𝐿 = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠
𝐿𝑐 3
𝑋𝑠 = 𝐿𝑠 − ( )
40𝑅𝑐
𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 =
6𝑅𝑐

Keterangan :
P’, k’ = didapat dari tabel J Barnett.

3. Spiral Spiral (SS)


Tikungan SS terdiri dari 2 lengkung spiral dan tanpa terdapat bagian circle.
Jari-jari tikungannya (Rc) kecil, sementara sudut tangent (∆) besar.
Tikungan SS dan diagram superelevasi tikungan SS dapat dilihat pada
Gambar 4.5. dan Gambar 4.6.

Gambar 4.5. Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)


Gambar 4.6. Diagram Superelevasi SS

Rumus-rumus lengkung SS :

𝜃𝑠 =
2
2𝜃𝑠
𝐿𝑠 = ( ) 2𝜋𝑅𝑐
360
𝐿𝑡 = 2𝐿𝑠

𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan +𝑘
2

𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) sec − 𝑅𝑐
2
Cek → Ls ≥ Ls minimum
4.2. Tahapan Perancangan Lengkung Horisontal
Perancangan lengkung horisontal dapat dilihat melalui flowchart berikut :
1. Pemilihan Jenis Tikungan

2. Proses Perencanaan Tikungan


4.3. Perhitungan Alinyemen Horisontal
1. Tikungan 1
a. Data Tikungan 1 :
- ∆1 = 12°39′ 225"
- Vr = 60 km/jam
- e max = 8%
- en = 3%
- f max = 0,00065 x VR +0,192
= 0,00065 x 60 +0,192
= 0,153
𝑉𝑅2 602
Rmin = =
127 (𝑒 𝑀𝑎𝑘𝑠+𝑓 𝑀𝑎𝑘𝑠) 127(0,08+ 0,153)

= 121,659 m
Berdasarkan PGJAK 1997, Rmin untuk VR = 60 km/jam adalah 110 m
Jari – jari rencana diambil 550 m

b. Perhitungan Ls’
- Bedasarkan waktu tempuh)
𝑉𝑅 60
Ls = 3,6 𝑇 = 3,6 × 3 = 50 m

- Bedasarkan Gaya Sentrifugal


72 72
C= = = 0,576
𝑉𝑅+65 60+65
𝑉𝑅3 𝑉𝑅 ×𝑒
Ls = 0,022 – 2,727
𝑅𝐶 ×𝐶 𝑐

603 60×0,03
= 0,022 - 2,727
550×0.576 0,576

= 6,478 m
- Bedasarkan Perubahan Kelandaian

(𝑒𝑚 −𝑒𝑛 )𝑉𝑅 (0.08−0.03)60


Ls = =
3,6 × 𝑅𝑒 3,6 × 0,035

= 23,809 m
Dari ketiga perhitungan Ls diambil nilai terbesar yaitu 50 m
Dengan nilai Ls = 50 m, berdasarkan Silvia Sukirman 113-115, dengan nilai emax = 8
%, maka didapat nilai e = 7.7 %
c. Pemilihan Tipe Tikungan

Lc = 180° × 𝜋 × 𝑅𝑐
12°39′30,225"
= × 3,14 × 550
180°

= 121,512 m < 25 m (Bukan Spiral – Spiral)


𝐿2 502
P = 24×𝑠𝑅 = 24 ×550
𝐶

= 0,189 < 0,25 (Diambil Full Circle)

d. Perhitungan Elemen Tikungan



Lc = 360° × 2𝜋 × 𝑅𝑐
12°39′30,225"
= × 2𝜋 × 550
360°

= 121,512 m
1
Tc = 𝑅𝑐 × tan(2 ∆)
1
= 550 × tan(2 × 12°39′30,225")

= 61,004 m
2Tc = 2 x 61,004 = 122,008 m
1
Ec = 𝑇𝑐 × tan (2 ∆)
1
= 61,004 × tan (2 𝑥 12°39′ 30,225”)

= 3,373 m
Check :
Lc < 2Tc, 121,512 m < 122,008 m (OK)
2. Tikungan 2
a. Data Tikungan 2 :
- ∆1 = 36°22′ 35,167"
- Vr = 60 km/jam
- e max = 8%
- en = 3%
- f max = 0,00065 x VR +0,192
= 0,00065 x 60 +0,192
= 0,153
𝑉𝑅2 602
Rmin = = 127(0,08+ 0,153)
127 (𝑒 𝑀𝑎𝑘𝑠+𝑓 𝑀𝑎𝑘𝑠)

= 121,659 m
Berdasarkan PGJAK 1997, Rmin untuk VR = 60 km/jam adalah 110 m
Jari – jari rencana diambil 150 m

b. Perhitungan Ls’
- Bedasarkan waktu tempuh)
𝑅𝑉 60
Ls = 3,6 𝑇 = 3,6 × 3 = 50 m

- Bedasarkan Gaya Sentrifugal


72 72
C= = = 0,576
𝑉𝑅+65 60+65
𝑉𝑅3 𝑉𝑅 ×𝑒
Ls = 0,022 – 2,727
𝑅𝐶 ×𝐶 𝑐

603 60×0,03
= 0,022 - 2,727
150×0.576 0,576
= 46,478 m
- Bedasarkan Perubahan Kelandaian
(𝑒𝑚 −𝑒𝑛 )𝑉𝑅 (0.08−0.03)60
Ls = =
3,6 × 𝑅𝑒 3,6 × 0,035

= 23,809 m
Dari ketiga perhitungan Ls diambil nilai terbesar yaitu 50 m
Dengan nilai Ls = 50 m, berdasarkan Silvia Sukirman 113-115, dengan nilai emax =
80 km/jam, maka didapat nilai e = 7.7 %
c. Pemilihan Tipe Tikungan

Lc = 180° × 𝜋 × 𝑅𝑐
36°22′ 35,167"
= × 3,14 × 150
180°

= 95,233 m < 25 m (Bukan Spiral – Spiral)


𝐿2 502
P = 24×𝑠𝑅 = 24 ×150
𝐶

= 0,694 > 0,25 (Bukan Full Circle)


e < 1,5en
0,077 < 1,5 x 0,03
0,077 > 0,045 (Bukan Full Circle)
Maka diambil tipe tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)

d. Perhitungan Elemen Tikungan


1
θs = × tan(2 ∆)
1
= 400 × tan(2 × 18°7′0")

= 9,549
p* = 0,014 (Dari Tabel J.Barnett)
k* = 0,499 (Dari Tabel J.Barnett)
Ts = 74,49 m
Es = 8,625 m
Ltot = 195,233 m
Xs = 29,167 m
Ys = 2,77 m
3. Tikungan 3
e. Data Tikungan 3 :
- ∆1 = 15°3′ 29,762"
- Vr = 60 km/jam
- e max = 8%
- en = 3%
- f max = 0,00065 x VR +0,192
= 0,00065 x 60 +0,192
= 0,153
𝑉𝑅2 602
Rmin = = 127(0,08+ 0,153)
127 (𝑒 𝑀𝑎𝑘𝑠+𝑓 𝑀𝑎𝑘𝑠)

= 121,659 m
Berdasarkan PGJAK 1997, Rmin untuk VR = 60 km/jam adalah 110 m
Jari – jari rencana diambil 550 m

f. Perhitungan Ls’
- Bedasarkan waktu tempuh)
𝑉𝑅 60
Ls = 3,6 𝑇 = 3,6 × 3 = 50 m

- Bedasarkan Gaya Sentrifugal


72 72
C= = = 0,576
𝑉𝑅+65 60+65
𝑉𝑅3 𝑉𝑅 ×𝑒
Ls = 0,022 – 2,727
𝑅𝐶 ×𝐶 𝑐

603 60×0,03
= 0,022 - 2,727
550×0.576 0,576
= 6,478 m
- Bedasarkan Perubahan Kelandaian

(𝑒𝑚 −𝑒𝑛 )𝑉𝑅 (0.08−0.03)60


Ls = =
3,6 × 𝑅𝑒 3,6 × 0,035

= 23,809 m
Dari ketiga perhitungan Ls diambil nilai terbesar yaitu 50 m
Dengan nilai Ls = 50 m, berdasarkan Silvia Sukirman 113-115, dengan nilai emax =
80 km/jam, maka didapat nilai e = 7.7 %
g. Pemilihan Tipe Tikungan

Lc = 180° × 𝜋 × 𝑅𝑐
15°3′ 29,762"
= × 3,14 × 550
180°

= 144,549 m < 25 m (Bukan Spiral – Spiral)


𝐿2 502
P = 24×𝑠𝑅 = 24 ×550
𝐶

= 0,189 < 0,25 (Diambil Full Circle)

h. Perhitungan Elemen Tikungan



Lc = 360° × 2𝜋 × 𝑅𝑐
15°3′ 29,762"
= × 2𝜋 × 550
360°

= 144,549 m
1
Tc = 𝑅𝑐 × tan(2 ∆)
1
= 550 × tan(2 × 12°39′30,225")

= 72,693 m
2Tc = 2 x 72,693 = 145,387 m
1
Ec = 𝑇𝑐 × tan (2 ∆)
1
= 61,004 × tan (2 𝑥 15°3′ 29,762")

= 4,783 m
Check :
Lc < 2Tc, 144,549 m < 145,387 m (OK)

4. Perhitungan Stasioning
a. Tikungan 1
Stasion PI = 1+753,96
Stasion TC = Station PI – Tc
= 1+753,96 – 61,004
= 1+692,956
Stasion CT = Station PI + Tc
= 1+753,96 + 61,004
= 1+814,964
b. Tikungan 2
Stasion PI = 3+348,73
Stasion TS = Stasion PI – Ts
= 3+348,73 – 74,49
= 3+274,24
Stasion SC = Stasion TS + Xs
= 3+274,24 + 29,167
= 3+303,407
Stasion ST = Stasion PI + Ts
= 3+348,73 + 74,49
= 3+423,22
Stasion CS = Stasion ST - Xs
= 3+423,22 - 29,167
= 3+394,053
c. Tikungan 3
Stasion PI = 5+016,50
Stasion TC = Station PI – Tc
= 5+016,50 – 72,693
= 4+943,807
Stasion CT = Station PI + Tc
= 5+016,50 + 72,693
= 5+089,193
5. Perhitungan pelebaran di tikungan

B = √(√𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 1⁄2 𝑏)2 + (𝑝 + 𝐴)2 − √𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 1⁄2 𝑏

Keterangan :
Rc = Radius jalur sebelah dalam - 1⁄2 Lebar Perkerasan + 1⁄2 b
p = Jarak gandar kendaraan = 7,6 m
h = Tonjolan kendaraan = 2,4 m
B = Lebar Perkerasan tikungan
b = Lebar kendaraan rencana = 2,6 m
U =B–b
U = Off Tracking
0,105 𝑉𝑅
Z =
√𝑅𝑐

Z = Lebar tambahan akibat kesukaran pengemudi


BT = n (B+C) + Z
BT = Lebar total perkerasan tikungan
n = Jumlah lajjur
C = Kapasitas
BN = n × lebar lajur
BN = Lebar total perkerasan bagian lurus
∆𝑏 = BT – BN

a. Perhitungan Perkerasan Tikungan 1


Lebar perkerasan ditempati saat kendaraan di tikungan

B = √(√𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 1⁄2 𝑏)2 + (𝑝 + ℎ)2 − √𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 𝑏/2

2
= √(√5502 − (7.6 + 2.4)2 + 1⁄2 2.6) + (7.6 + 2.4)2 − √5502 − (7.6 + 2.4)2 + 2,6/2

= 2,691 m
Off Tracking
U =B–b
= 2,691-2,6
= 0.091
Lebar Tambahan
0,105 𝑉𝑅
Z =
√𝑅𝑐
0,105 𝑥 60
=
√550
= 0.268
Lebar Total Perkerasan
BT = n (B+C) + Z
= 2 (2,691+1) + 0,268
= 7,65 m
BN = 2 x 3,5
= 7,0 m
∆𝑏 = BT – BN
= 7,65 – 7,0
= 0,65 m

b. Perhitungan Perkerasan Tikungan 2


Lebar perkerasan ditempati saat kendaraan di tikungan

B = √(√𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 1⁄2 𝑏)2 + (𝑝 + ℎ)2 − √𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 𝑏/2

2
= √(√1502 − (7.6 + 2.4)2 + 1⁄2 2.6) + (7.6 + 2.4)2 − √1502 − (7.6 + 2.4)2 + 2.6/2

= 2,931 𝑚
Off Tracking
U =B–b
= 2,931 - 2,6
= 0,331
Lebar Tambahan
0,105 𝑉𝑅
Z =
√𝑅𝑐
0,105 𝑥 60
=
√150

= 0,514
Lebar Total Perkerasan
BT = n (B+C) + Z
= 2 (2,931+1) + 0,514
= 8.376 m
BN = 2 x 3,5
= 7,0 m
∆𝑏 = BT – BN
= 8,376 – 7,0
= 1,376 m
c. Perhitungan Perkerasan Tikungan 3
Lebar perkerasan ditempati saat kendaraan di tikungan

B = √(√𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 1⁄2 𝑏)2 + (𝑝 + ℎ)2 − √𝑅𝐶 2 − (𝑝 + ℎ)2 + 𝑏/2

2
= √(√5502 − (7.6 + 2.4)2 + 1⁄2 2.6) + (7.6 + 2.4)2 − √5502 − (7.6 + 2.4)2 + 2,6/2

= 2,691 m
Off Tracking
U =B–b
= 2,691-2,6
= 0.091
Lebar Tambahan
0,105 𝑉𝑅
Z =
√𝑅𝑐
0,105 𝑥 60
=
√550

= 0.268
Lebar Total Perkerasan
BT = n (B+C) + Z
= 2 (2,691+1) + 0,268
= 7,65 m
BN = 2 x 3,5
= 7,0 m
∆𝑏 = BT – BN
= 7,65 – 7,0
= 0,65 m
PI
TC Ec Δ CT
DATA TIKUNGAN 1
STA PI 1+753,96 Lc
STA TC 1+692,956
STA CT 1+814,964
Ec 3,373
Lc 121,512 DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
Tc 61,004 FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Δ 12°39'30,225'' Δ/2 Δ/2 SEMARANG
RC RC
Rc 550 m
VR 60 km/jam TUGAS
Ls' 50 m
PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI
e 7.70% JALAN RAYA

GAMBAR

LENGKUNG HORISONTAL TIKUNGAN 1 DAN


CL
Lengkung Spiral Lengkung Spiral DIAGRAM SUPERELEVASI
Fiktif (Ls') Fiktif (Ls')
2
Ls' 1
Ls'
1
3 Ls'
2
3 Ls'
O
3 3

DISUSUN OLEH
Lengkung Circle (Lc)
TIKUNGAN 1 (FULL CIRCLE)
(TS) (ST)
SKALA 1 : 500 ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093
Sisi Luar Perkerasan

e = 0%
+emax = 8 %
e = 0% PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095
TC CL CL CT
-en = 3%
-emax = 8 %
-en = 3% LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
Sisi Dalam Perkerasan
DANIA SALSABILA 21010117140097
+emax +emax
+ex +ex DIPERIKSA OLEH
-en -en -ex -ex -en -en
-emax -emax
A B C C B A

DIAGRAM SUPERELEVASI TIKUNGAN 1


SKALA 1 : 1000

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
Ts PI
DATA TIKUNGAN 2 Δ
STA PI 3+348,73 XS Es
STA TS 3+274,24 SC CS
p p
STA SC 3+303,407
TS Lc ST
STA CS 3+394,053
Ls Ls
STA ST 3+423,22
Δ 36°22'35,167'' RC
R C RC DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
Rc 150 m
RC FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
VR 60 km/jam
SEMARANG
Ls 50 m
e 7.70%
TUGAS
ϴs 9,549°
Δ-2ϴs ϴs
Ts 74,49 m ϴs PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI
JALAN RAYA
Lc 95,233 m
Es 8,625 m GAMBAR
L total (Lc+2Ls) 195,233 m
Xs 29,167 m LENGKUNG HORISONTAL TIKUNGAN 2 DAN
DIAGRAM SUPERELEVASI
Ys 2,77 m
DISUSUN OLEH
CL
Lengkung Spiral (Ls)

XS
Lengkung Spiral (Ls)

XS
O ANTONIUS HENRY EKA S
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140093
21010117140095
Lengkung Circle (Lc)
LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
TIKUNGAN 2 (SPIRAL CIRCLE SPIRAL) DANIA SALSABILA 21010117140097
Sisi Luar Perkerasan
SKALA 1 : 1000
e = 0% TS +ex SC
+emax = 8 %
CS +ex ST e = 0%
DIPERIKSA OLEH
-ex CL -ex
-emax = 8 %
-en = 3% -en = 3%
Sisi Dalam Perkerasan

+3% +ex +emax +emax +ex +3%


0% 0%
-en -en -en -3% -ex -3% -3% -en
-emax -emax -ex

A B C D E E D C B A

DIAGRAM SUPERELEVASI TIKUNGAN 2


SKALA 1 : 1000
AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.
NIP : 197603212000122001
PI
TC Ec Δ CT
DATA TIKUNGAN 3
STA PI 1+753,96 Lc
STA TC 1+692,956
STA CT 1+814,964
Ec 4.783 m
Lc 144,549 m DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
Tc 72,693 m FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Δ 15°3'29,762'' Δ/2 Δ/2 SEMARANG
RC RC
Rc 550 m
VR 60 km/jam TUGAS
Ls' 50 m
PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI
e 7.70% JALAN RAYA

GAMBAR

LENGKUNG HORISONTAL TIKUNGAN 3 DAN


DIAGRAM SUPERELEVASI
CL O
Lengkung Spiral Lengkung Spiral
Fiktif (Ls') Fiktif (Ls') DISUSUN OLEH
2
3 Ls' 1
3 Ls'
1
3 Ls' 2
3 Ls' TIKUNGAN 3 (FULL CIRCLE)
Lengkung Circle (Lc)
SKALA 1 : 500 ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095
(TS) (ST)
Sisi Luar Perkerasan LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
+emax = 8 %
e = 0%
TC CL CL CT
e = 0%
DANIA SALSABILA 21010117140097
-emax = 8 %
-en = 3% -en = 3%
Sisi Dalam Perkerasan
DIPERIKSA OLEH
+emax +emax
+ex +ex

-en -en -ex -ex -en -en


-emax -emax
A B C C B A

DIAGRAM SUPERELEVASI TIKUNGAN 3


SKALA 1 : 1000

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
BAB V

PERANCANGAN ALINYEMEN VERTIKAL

5.1. Pengertian Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang


permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 jalur 2 arah
atau melalui tepi dalam masing-masing. Perkerasan untuk jalan dengan
median alinyemen vertikal seringkali disebut sebagai penampang memanjang
jalan yang terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung.
Alinyemen vertikal ditinjau dari titik perencanaan, bagian lurus dapat
berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan) dan landai nol
(datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau
lengkung cembung.

5.2. Kelandaian Maksimum dan Panjang Kritis


5.2.1 Kelandaian Maksimum
Pembatasan kelandaian maksimum dimaksudkan untuk
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan
yang berarti. Kelandaian yang sesuai dengan VR , ditetapkan sesuai
dengan Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Kelandaian Maksimum yang Diijinkan

Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian Maksimal (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Sumber : Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

5.2.2 Panjang Landai Kritis


Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus
disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya
sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR.
Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari 1 menit. Panjang
kritis dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Panjang Kritis Pada Kelandaian

Kecepatan awal
Kelandaian (%)
tanjakan
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

5.3. Lengkung Vertikal


Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat
perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dalam standar ini ditetapkan berbentuk parabola
sederhana. Panjang lengkung vertikal cembung, berdasarkan jarak pandang
henti yang dapat ditentukan dengan rumus berikut:
a. Jika jarak pandang lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung
(S < L)
𝐴. 𝑆 2
𝐿=
405
b. Jika jarak pandang lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung
(S > L)
405
𝐿 = 2𝑆 −
𝐴
Keterangan:

L = Panjang lengkung cembung (m)

A = Perbedaan landai aljabar (%)


S = Jarak pandang henti (m)
c. Panjang minimum lengkung vertikul ditentukan dengan rumus sebagai
berikut :
𝐿 = 𝐴. 𝑌
𝑆2
𝐿=
405
Keterangan :
L = Panjang lengkung vertikal (m)

A = Perbedaan landai aljabar (%)


S = Jarak pandang henti (m)
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10
cm dan tinggi mata 120 cm
Nilai Y dapat ditentukan berdasarkan pada Tabel 5.3 berikut,

Kecepatan Rencana (km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan Y

< 40 1,5
40 – 60 3
> 60 8

Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997


5.4. Flowchart Tahapan Perancangan Lengkung Vertikal

Mulai

Persiapan Data Teknis


(Stasiun, Elevasi, Kecepatan Rencana (VR), S, g2 dan g1)

Menentukan Panjang Lengkung Vertikal


(Lv minimum 1, Lv minimum 2, Kondisi S < Lv, Kondisi S > Lv)

Perhitungan Stationing dan Elevasi Rencana

Selesai
5.5. Analisis Perencanaan Lengkung Vertikal
a. Lengkung Vertikal 1

• Data Teknis
STA PPV1 = 1+727,11
Elevasi = 147,65 m
VR = 60 km/jam
S = 73,64 m
A = |𝑔1 – 𝑔2|
= |(−3,09%) − (−2,26%)|
= 0,83% (cekung)

• Menentukan Panjang Lengkung Vertikal


- Lv minimum 1
Vr = 60 km/jam, nilai Y diambil 3
Lv = A . Y
= 0,83 (3)
= 2,49 m
- Lv minimum 2
𝑆2
Lv =
405
73,642
= 405

= 13,2898 m
- Kondisi S < Lv (Jarak pandang henti < panjang lengkung vertikal
cembung)
𝐴𝑆 2
Lv = 405
0,83(73,64)2
= 405
= 11,1135 m
- Kondisi S > Lv (Jarak pandang henti > panjang lengkung vertikal
cekung)
405
Lv = 2𝑆 − 𝐴
405
= 2(73,64) − 0,83

= -340,67 m

Dari perhitungan diatas panjang lengkung vertical (Lv)


direncanakan sebesar 15 m.

• Perhitungan Stationing dan Elevasi Rencana


𝐴.𝐿𝑣
Ev = 800
0,83 . 15
= 800

= 0,0155625 m
1 2
𝐴.( 𝐿𝑣)
4
y = 200.𝐿𝑣
1 2
0,83.( .15)
4
= 200.15

= 0,00389 m
Perhitungan koordinat titik X1, X2, X3 dan X4
X1 = 0,25 . Lv
= 0,25 . 15
= 3,75 m
X2 = 0,50 . Lv
= 0,50 . 15
= 7,5 m
X3 = 0,75 . Lv
= 0,75 . 15
= 11,25 m
X4 = Lv
= 15 m
i) STA PLV1 = STA PPV1 – X2
= 1+727,11- 7,5
= 1+719,61
Elevasi PLV1 = Elv PPV1 + ( ½ . Lv . g1)
= 147,65 + ( ½ . 15 . 3,09%)
= 147,88 m

ii) STA X1 = STA PLV1 + X1


= 1+719,61+ 3,75
= 1+723,36

Elevasi X1 = Elv PPV1 +( ¼ . Lv . g1) + y


= 147,65 + ( ¼ . 15 . 3,09%) + 0,00389
= 147,77 m

iii) STA PPV1 = 1+727,11


Elevasi PPV1 = Elv PPV1 + Ev
= 147,65 + 0,0155625
= 147,6655 m

iv) STA X2 = STA PLV1 + X3


= 1+719,61+ 37,5
= 1+757,11
Elevasi X2 = Elv PPV1 - ( ¼ . Lv . g2) + y
= 147,6655 – ( ¼ . 15 . 2.26%) + 0,00389
= 147,585 m

v) STA PTV1 = STA PLV1 + Lv


= 1+719,61+ 15
= 1+734,61
Elevasi PTV1 = Elv PPV1 - ( ½ . Lv . g2)
= 147,6655 – ( ½ . 15 . 2,26%)
= 147,496 m
b. Lengkung Vertikal 2

• Data Teknis
STA PPV2 = 2+353,75
Elevasi = 127,417 m
VR = 60 km/jam
S = 73,64 m
A = |𝑔1 – 𝑔2|
= |(−2,26%) − (−1,21%)|
= 1,05% (cekung)

• Menentukan Panjang Lengkung Vertikal


- Lv minimum 1
Vr = 60 km/jam, nilai Y diambil 3
Lv = A . Y
= 1,05 (3)
= 3,15 m
- Lv minimum 2
𝑆2
Lv = 405
73,642
= 405

= 13,389 m
- Kondisi S < Lv (Jarak pandang henti < panjang lengkung vertikal
cembung)
𝐴𝑆 2
Lv = 405
1,05(73,64)2
= 405

= 14,059 m
- Kondisi S > Lv (Jarak pandang henti > panjang lengkung vertikal
cekung)
405
Lv = 2𝑆 − 𝐴
405
= 2(73,64) − 1,05

= -238,434 m

Dari perhitungan diatas panjang lengkung vertical (Lv)


direncanakan sebesar 15 m.

• Perhitungan Stationing dan Elevasi Rencana


𝐴.𝐿𝑣
Ev = 800
1,05 . 15
= 800

= 0,0196875 m
1 2
𝐴.( 𝐿𝑣)
4
y = 200.𝐿𝑣
1 2
1,05.( .15)
4
= 200.15

= 0,00492 m
Perhitungan koordinat titik X1, X2, X3 dan X4
X1 = 0,25 . Lv
= 0,25 . 15
= 3,75 m
X2 = 0,50 . Lv
= 0,50 . 15
= 7,5 m
X3 = 0,75 . Lv
= 0,75 . 15
= 11,5 m
X4 = Lv
= 15 m

i) STA PLV2 = STA PPV2 – X2


= 2+353,75- 7,5
= 2+346,25

Elevasi PLV2 = Elv PPV2 + ( ½ . Lv . g1)


= 127,417 + ( ½ . 15 . 2,26%)
= 127,5865 m

ii) STA X1 = STA PLV2 + X1


= 2+346,25+ 3,75
= 2+350
Elevasi X1 = Elv PPV2 + ( ¼ . Lv . g1) + Y
= 127,417 + ( ¼ .15 . 2,26%) + 0,00492
= 127,507 m

iii) STA PPV2 = 2+353,75


Elevasi PPV2 = Elv PPV2 + Ev
= 127,417 + 0,0196875
= 127,4367 m

iv) STA X2 = STA PLV2 + X3


= 2+346,25+ 11,5
= 2+357,75
Elevasi X2 = Elv PPV2 + ( ¼ . Lv . g2) + Y
= 127,4367 + ( ¼ . 15 . 1,21%) + 0,00492
= 127,487 m

v) STA PTV2 = STA PLV2 + Lv


= 2+346,25+ 15
= 2+361,25
Elevasi PTV2 = Elv PPV2 - ( ½ . Lv . g2)
= 127,4367 + ( ½ . 15 . 1,21%)
= 127,52745 m
c. Lengkung Vertikal 3

• Data Teknis
STA PPV3 = 3+156,35
Elevasi = 118,493 m
VR = 60 km/jam
S = 73,640 m
A = |𝑔1 – 𝑔2|
= |(−1,21%) − (1,11%)|
= 2,32% (cembung)

• Menentukan Panjang Lengkung Vertikal


- Lv minimum 1
Vr = 60 km/jam, nilai Y diambil 3
Lv = A . Y
= 2,32 (3)
= 6,96 m
- Lv minimum 2
𝑆2
Lv = 405
73,6402
= 405

= 13,389 m
- Kondisi S < Lv (Jarak pandang henti < panjang lengkung vertikal
cembung)
𝐴𝑆 2
Lv = 405
2,32(73,64)2
= 405

= 31,06422 m
- Kondisi S > Lv (Jarak pandang henti > panjang lengkung vertikal
cekung)
405
Lv = 2𝑆 − 𝐴
405
= 2(73,64) − 2,32

= -27,289 m

Dari perhitungan diatas panjang lengkung vertical (Lv)


direncanakan sebesar 15 m.

• Perhitungan Stationing dan Elevasi Rencana


𝐴.𝐿𝑣
Ev = 800
2,32 . 15
= 800

= 0,0435 m
1 2
𝐴.( 𝐿𝑣)
4
y = 200.𝐿𝑣
1 2
2,32.( .15)
4
= 200.15

= 0,010875 m
Perhitungan koordinat titik X1, X2, X3 dan X4
X1 = 0,25 . Lv
= 0,25 . 15
= 3,75 m
X2 = 0,50 . Lv
= 0,50 . 15
= 7,5 m
X3 = 0,75 . Lv
= 0,75 . 15
= 11,5 m
X4 = Lv
= 15 m
i) STA PLV3 = STA PPV3 – X2
= 3+156,35- 7,5
= 3+148,85
Elevasi PLV3 = Elv PPV3 – ( ½ . Lv . g1)
= 118,493 + ( ½ . 15 . 1,21%)
= 118,58375 m

ii) STA X1 = STA PLV3 + X1


= 3+148,85+ 3,75
= 3+152,6
Elevasi X1 = Elv PPV3 + ( ¼ . Lv . g1) + Y
= 118,493 + ( ¼ . 15 . 1,21%) + 0,010875
= 118,54925 m

iii) STA PPV3 = 3+156,35


Elevasi PPV3 = Elv PPV3 + Ev
= 118,493 + 0,0435
= 118,5365 m

iv) STA X2 = STA PLV3 + X3


= 3+148,85+ 11,5
= 3+160,35
Elevasi X2 = Elv PPV3 + ( ¼ . Lv . g2) + Y
= 118,493 + ( ¼ . 15 . 1.11%) + 0,010875
= 118,5455 m

v) STA PTV3 = STA PLV3 + Lv


= 3+148,85+ 15
= 3+163,85
Elevasi PTV3 = Elv PPV3 - ( ½ . Lv . g2)
= 118,5365 + ( ½ . 15 . 1,11%)
= 118,62 m
d. Lengkung Vertikal 4

• Data Teknis
STA PPV4 = 4+500,00
Elevasi = 132,606 m
VR = 60 km/jam
S = 73,64 m
A = |𝑔1 – 𝑔2|
= |(1,11%) − (0,22%)|
= 0,89% (cembung)

• Menentukan Panjang Lengkung Vertikal


- Lv minimum 1
Vr = 60 km/jam, nilai Y diambil 3
Lv = A . Y
= 0,89 (3)
= 2,67 m
- Lv minimum 2
𝑆2
Lv =
405
73,642
= 405

= 13,38975 m
- Kondisi S < Lv (Jarak pandang henti < panjang lengkung vertikal
cembung)
𝐴𝑆 2
Lv = 405
0,89(73,64)2
= 405
= 11,91688 m
- Kondisi S > Lv (Jarak pandang henti > panjang lengkung vertikal
cekung)
405
Lv = 2𝑆 − 𝐴
405
= 2(73,64) − 0,89

= -307,776 m

Dari perhitungan diatas panjang lengkung vertical (Lv)


direncanakan sebesar 15 m.

• Perhitungan Stationing dan Elevasi Rencana


𝐴.𝐿𝑣
Ev = 800
0,89 . 15
= 800

= 0,0166875 m
1 2
𝐴.( 𝐿𝑣)
4
y = 200.𝐿𝑣
1 2
0,89.( .15)
4
= 200.15

= 0,004172 m
Perhitungan koordinat titik X1, X2, X3 dan X4
X1 = 0,25 . Lv
= 0,25 . 15
= 3,75 m
X2 = 0,50 . Lv
= 0,50 . 15
= 7,5 m
X3 = 0,75 . Lv
= 0,75 . 15
= 11,5 m
X4 = Lv
= 15 m
i) STA PLV4 = STA PPV4 – X2
= 4+500,00- 7,5
= 4+492,50
Elevasi PLV4 = Elv PPV4 - ( ½ . Lv . g1)
= 132,606 - ( ½ . 15 . 1,11%)
= 132,52275 m

ii) STA X1 = STA PLV4 + X1


= 4+492,50+ 3,75
= 4+496,25
Elevasi X1 = Elv PPV4 - ( ¼ . Lv . g1) + Y
= 132,606 - ( ¼ . 15 . 1,11) + 0,004172
= 132,568547 m

iii) STA PPV4 = 4+500,00


Elevasi PPV4 = Elv PPV4 - Ev
= 132,606 - 0,0166875
= 132,589 m

iv) STA X2 = STA PLV4 + X3


= 4+492,50+ 11,5
= 4+504
Elevasi X2 = Elv PPV4 - ( ¼ . Lv . g2) - Y
= 132,606 - ( ¼ . 15 . 0,22%) - 0,004172
= 132,5935

v) STA PTV4 = STA PLV4 + Lv


= 4+492,50+ 15
= 4+507,50
Elevasi PTV4 = Elv PPV4 + ( ½ . Lv . g2)
= 132,606 + ( ½ . 15 . 0,22%)
= 132,6225 m
148,00 148,00

147,90 PLV1 147,90

147,80 X1 147,80

147,70 147,70

147,60
X2 147,60 DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
PPV1
147,50
PTV1 147,50
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
147,40 147,40
SEMARANG

147,30 147,30

TUGAS
147,20 147,20

PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI


147,10 147,10
JALAN RAYA
147,00 147,00
GAMBAR
0
1+719,61

1+723,36

1+727,11

1+757,11

1+734,61
LENGKUNG VERTIKAL 1
STA
DISUSUN OLEH
Jarak (m) 3,75 3,75 3,75 3,75
ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093

+147.496
PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095
+147.88

+147.76

+147.66

Elevasi (m) +147.58 LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096


DANIA SALSABILA 21010117140097

-3,09 -3,09 -2,26 -2,26 DIPERIKSA OLEH


Kelandaian (%)

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
128,00 128,00

127,90 127,90

127,80 127,80

127,70 127,70

127,60 PLV2 127,60 DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


X1 PTV2 FAKULTAS TEKNIK
127,50 X2 127,50
UNIVERSITAS DIPONEGORO
127,40 127,40
SEMARANG
PPV2
127,30 127,30

TUGAS
127,20 127,20

PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI


127,10 127,10
JALAN RAYA
127,00 127,00
GAMBAR
0
2+346,25

2+350,00

2+353,75

2+357,75

2+361,25
LENGKUNG VERTIKAL 2
STA
DISUSUN OLEH
Jarak (m) 3,75 3,75 3,75 3,75
ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093
+127.586

+127.507

PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095


+127.44

+127.48

+127.53
Elevasi (m) LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
DANIA SALSABILA 21010117140097

-2,26 -2,26 -1,21 -1,21 DIPERIKSA OLEH


Kelandaian (%)

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
119,00 119,00

118,90 118,90

118,80 118,80

118,70 118,70

PLV3 PTV3
118,60
X1 PPV3 X2 118,60 DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
118,50 118,50
UNIVERSITAS DIPONEGORO
118,40 118,40
SEMARANG

118,30 118,30

TUGAS
118,20 118,20

PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI


118,10 118,10
JALAN RAYA
118,00 118,00
GAMBAR
0
3+148,85

3+152,60

3+156,35

3+160,35

3+163,85
LENGKUNG VERTIKAL 3
STA
DISUSUN OLEH
Jarak (m) 3,75 3,75 3,75 3,75
ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095
+118.58

+118.55

+118.53

+118.55

+118.62
Elevasi (m) LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
DANIA SALSABILA 21010117140097

-1,21 -1,21 1,11 1,11 DIPERIKSA OLEH


Kelandaian (%)

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
132,00 132,00

132,90 132,90

132,80 132,80

132,70 132,70

PPV4 X2 PTV4
132,60
PLV4 X1 132,60 DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
132,50 132,50
UNIVERSITAS DIPONEGORO
132,40 132,40
SEMARANG

132,30 132,30

TUGAS
132,20 132,20

PERANCANGAN BANGUNAN TRANSPORTASI


132,10 132,10
JALAN RAYA
132,00 132,00
GAMBAR
0
4+492,50

4+492,50

4+500,00

4+504,00

4+507,50
LENGKUNG VERTIKAL 4
STA
DISUSUN OLEH
Jarak (m) 3,75 3,75 3,75 3,75
ANTONIUS HENRY EKA S 21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO 21010117140095
+132.52

+132.57

+132.59

+132.62

+132.62
Elevasi (m) LANCANA IKBAR ARTA M 21010117140096
DANIA SALSABILA 21010117140097

Kelandaian (%) 1,11 1,11 0,22 0,22 DIPERIKSA OLEH

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


NIP : 197603212000122001
BAB VI
KOORDINASI ALINYEMEN HORIZONTAL DAN VERTIKAL

6.1. Maksud Koordinasi Antara Alinyemen Horizontal dan Vertikal


Alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal jalan kolektor perlu
dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan
yang baik, dalam arti memudahkan pengemudi dalam mengemudikan
kendaraannya dengan aman dan nyaman.
Bentuk kesatuan kedua elemen tersebut diharapkan memberikan kesan
atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui
didepannya, sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
A. Lengkung horizontal sebaiknya berimpit dengan lengkung vertikal dan
secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
alinyemen vertikal.
B. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
C. Lengkung vertikal cekung pada landai jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.
D. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan.
E. Tikungan yang tajam diantara dua bagian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.
Pada perancangan jalan tidak terjadi overlap karena pada lengkung
horizontal dan lengkung vertikal tidak saling bertemu pada suatu titik
sehingga dapat dikatakan jalan tersebut sudah baik.
Apabila terjadi overlap pada perancangan jalan, maka alinyemen
vertikal harus diubah pada posisi dimana tidak terdapat lengkung horizontal.
STA

Jarak (m)

Elevasi Tanah Asli (m)

Elevasi Tanah Rencana (m)


100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
210
220
230
240
250

ALINYEMEN HORISONTAL

0
ALINYEMEN VERTIKAL
+190.50 +250.00 0+000
0+000

+190.20 +236.19 0+100


0+100

+189.40 +213.45 0+200


0+200

+187.70 +204.46 0+300


0+300

+183.50 +190.70 0+400


0+400

+180.00 +172.90 0+500


0+500

+177.80 +166.56 0+600


0+600
-3,0

+174.50 +162.47 0+700


0+700
9%

+170.00 +158.50 0+800


0+800

+168.40 +153.46 0+900


0+900

+165.20 +156.05 1+000


1+000

+160.40 +159.30 1+100


1+100

+158.40 +160.03 1+200


1+200

+156.30 +161.43 1+300


1+300

+151.80 +171.27 1+400


1+400

+149.20 +174.27 1+500


1+500

+146.00 +167.38 1+600


1+600

TC : 1+692,96 1+700
PLV1 : 1+719,61 +144.00 +137.37
1+700
TC : 1+692,96

PI : 1+753,96 PPV1 : 1+727,11


PTV1 : 1+734,61
+140.00 +108.59 1+800
1+800
PI : 1+753,96
PPV1 : 1+727,11

CT : 1+814,96
+139.30 +98.00 1+900
1+900
PLV1 : 1+719,61 PTV1 : 1+734,61

CT : 1+814,96

+137.60 +99.24 2+000


2+000

+133.80 +99.23 2+100


2+100
-2,26%

+130.84 +99.75 2+200


2+200

2+300
2+300 +128.50 +108.95
PLV2 : 2+346,25
PPV2 : 2+353,75
PTV2 : 2+361,25 +127.23 +113.65 2+400
2+400
PPV2 : 2+353,75

+125.00 +116.57 2+500


2+500
PLV2 : 2+346,25 PTV2 : 2+361,25

+123.42 +115.27 2+600


2+600

+122.28 +121.77 2+700


2+700

+121.59 +125.05 2+800


-1,21%

2+800

+120.84 +125.23 2+900


2+900

+120.00 +134.06 3+000


3+000

+119.00 +142.57 3+100


3+100
PLV3 : 3+148,85
PPV3 : 3+156,35
PTV3 : 3+163,85 +119.20 +142.96 3+200
3+200
PPV3 : 3+156,35

TS : 3+274,24
TS : 3+274,24

+119.95 +161.19 3+300


3+300
SC : 3+303,41
PI : 3+348,73
PLV3 : 3+148,85 PTV3 : 3+163,85

CS : 3+394,05 +120.00 +162.53 3+400


3+400
PI : 3+348,73

ST : 3+423,22
+121.00 +158.81 3+500
3+500
SC : 3+303,41 CS : 3+394,05

ST : 3+423,22

+122.32 +145.57 3+600


3+600

+124.20 +137.33 3+700


SKALA : 1:30.000

3+700

+125.00 +120.30 3+800


3+800

+125.43 +112.46 3+900


3+900

+127.81 +114.34 4+000


4+000
1,11%

SKALA : 1:30.000
+129.00 +112.50 4+100
4+100

+130.00 +133.04 4+200


4+200

+130.48 +124.84 4+300


4+300

+131.00 +137.23 4+400


4+400

PLV4 : 4+492,50 +132.11 +130.03 4+500


4+500 PPV4 : 4+500
PTV4 : 4+507,50
PPV4 : 4+500

+132.00 +120.60 4+600


4+600

+132.20 +112.90 4+700


4+700
PLV4 : 4+492,50 PTV4 : 4+507,50

+132.51 +112.09 4+800


4+800

+133.00 +125.11 4+900


4+900

TC : 4+943,81
TC : 4+943,81

+133.04 +113.63 5+000


5+000
PI : 5+016,50
CT : 5+089,19 5+100
PI : 5+016,50

+133.12 +114.88
5+100

+133.13 +128.28 5+200


KOORDINASI ALINYEMEN HORIZONTAL DAN VERTIKAL
CT : 5+089,19

5+200
0,22%

+133.60 +137.80 5+300


5+300

+134.72 +137.78 5+400


5+400

+135.00 +124.99 5+500


5+500

+135.28 +140.75 5+600


5+600

+136.00 +149.90 5+700


5+700

+136.20 +151.33 5+800


5+800
PENAMPANG MEMANJANG TRASE 1 DENGAN ALINYEMEN HORIZONTAL DAN VERTIKAL

+136.50 +155.41 5+900


5+900

+137.00 +146.35 6+000


6+000

+137.00 +138.34 6+100


6+100

+137.40 +149.80 6+200


6+200

+137.60 +150.77 6+300


6+300

+137.90 +138.41 6+400


6+400

+137.42 +137.50 6+500


6+500

+137.72 +136.77 6+600


6+600

+137.53 +137.54 6+700


6+700
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

6+800
6+800
0
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
210
220
230
240
250

DANIA SALSABILA
TANAH
RENCANA
TANAH ASLI

PANJI AKBAR NUGROHO


LANCANA IKBAR ARTA M
ANTONIUS HENRY EKA S
TUGAS

VERTIKAL
GAMBAR
SEMARANG

DISUSUN OLEH
KETERANGAN

DIPERIKSA OLEH
FAKULTAS TEKNIK

NIP : 197603212000122001
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORTASI JALAN RAYA

PENAMPANG MEMANJANG TRASE DAN

AMELIA KUSUMA INDRIASTUTI, ST.MT.


KOORDINASI ALINYEMEN HORISONTAL &

GALIAN

21010117140097
21010117140096
21010117140095
21010117140093
TIMBUNAN
BAB VII
PERANCANGAN GEOMETRI SIMPANG

7.1 Landasan Teori Perancangan Geometri Simpang


7.1.1. Pengertian Persimpangan dan Jenis Konflik
Persimpangan adalah tempat bertemunya dua ruas jalan atau lebih,
persimpangan juga merupakan titik konflik dan tempat kemacetan pada
sistem jaringan jalan, terutama pada jalan perkotaan. Pengaturan
persimpangan diperlukan, diantaranya untuk mengurangi kecelakaan dan
untuk meningkatkan kapasitas dimana pada persimpangan kapasitas akan
berkurang karena adanya konflik. Kinerja seluruh sistem tergantung pada
pengelolaan konflik antar pergerakan yang terjadi. Jenis-jenis konflik
diantaranya:
a. Crossing, adalah jenis konflik yang terjadi apabila ada pergerakan
menyebrang arah secara diagonal.
b. Merging, adalah jenis konflik yang terjadi apabila ada dua arah
pergerakan yang berbeda, kemudian bergabung menjadi satu arah.
c. Diverging, adalah jenis konflik yang terjadi apabila ada pergerakan dari
satu arah menjadi dua arah atau lebih.
d. Weaving, adalah jenis konflik yang terjadi apabila ada gerakan
mengambil arah dari sisi jalan yang berlawanan dengan arah yang
dituju pada suatu ruas jalan.

Untuk lebih jelasnya, maka jenis konflik dapat dilihat pada Gambar 6.1

Gambar 7.1 Jenis-Jenis Konflik pada Persimpangan


7.1.2. Jenis Pengaturan Persimpangan
Jenis pengaturan persimpangan dibagi menjadi 2, yaitu persimpangan
sebidang dan persimpangan tidak sebidang.

A. Persimpangan Sebidang
Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana berbagai jalan atau
ujung jalan yang masuk ke persimpangan, mengarahkan lalu lintas masuk
ke jalur yang berlawanan dengan lalu lintas lainnya, seperti misalnya
persimpangan pada jalan-jalan kota. Persimpangan ini memiliki
ketinggian atau elevasi yang sama. Perencanaan persimpangan yang baik
akan menghasilkan kualitas operasional yang baik seperti tingkat
pelayanan, waktu tundaan, panjang antrian, dan kapasitas.
❖ Simpang Prioritas (Priority Intersection)
Apabila aliran arus lalu lintas kecil, pengendalian pergerakan lalu
lintas pada simpang bisa dicapai dengan kontrol prioritas. Bentuk
kontrol prioritas adalah kendaraan pada jalur minor memberikan jalan
kepada kendaraan pada jalan mayor. Aliran lalu lintas prioritas dapat
dirancang dengan memasang tanda berhenti (Stop), memberikan jalan
(Give away), mengalah (Yield) atau rambu jalan pelan-pelan pada
jalan minor.
❖ Simpang Bersinyal (Signalized Intersection)
Simpang bersinyal merupakan level tertinggi dari pengaturan lalu
lintas pada persimpangan sebidang, dimana pergerakan kendaraan
diatur/dikoordinasikan secara sistematik menggunakan sinyal.
Penggunaan sinyal dengan lampu bisa warna merah-kuning-hijau,
diterpkan untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas
yang saling berbenturan dalam dimensi waktu.
❖ Simpang Tak Bersinyal (Unsignalized Intersection)
Simpang tak bersinyal adalah simpang yang pergerakan kendaraannya
tidak diatur oleh sinyal, melainkan menggunakan rambu jalan. Hal ini
berguna untuk koordinasi antara jalan mayor dan minor.
❖ Bundaran (Roundabout)
Bundaran atau pulau di tengah persimpangan dapat bertindak sebagai
pengontrol, pembagi, pengarah bagi sistem lalu lintas berputar satu
arah. Pada cara ini gerakan penyilangan hilang dan diganti dengan
gerakan salinan. Pengemudi yang masuk bundaran harus memberikan
prioritas kepada kendaraan yang berada pada sisi kanannya. Tujuan
utama bundaran adalah melayani gerakan yang menerus, namun hal
ini tergantung dari kapasitas dan luas daerah yang tersedia. Aturan
awal pengaturan lalu lintas dengan bundaran adalah kendaraan yang
berada di dalam bundaran harus mendapatkan prioritas untuk keluar
dari bundaran.
❖ Kanalisasi
Kanalisasi untuk mengarahkan kendaraan atau memisahkannya dari
arah pendekat yang mau belok ke kiri, lurus, ataupun belok ke kanan.
Dapat berupa pulau dengan kerb yang lebih tinggi dari jalan ataupun
hanya berupa garis marka jalan.
❖ Pembatasan belok
Pembatasan belok untuk mengurangi jumlah konflik sehingga akan
memperkecil tundaan dan meningkatkan kapasitas simpang.

B. Persimpangan Tidak Sebidang


Persimpangan tidak sebidang adalah persimpangan dimana ruas jalan
saling bertemu pada bidang yang berbeda, biasanya bidang atas dan
bawah. Jenis-jenis persimpangan sebidang diantaranya:
❖ Simpang susun dengan ramp (interchange), merupakan persimpangan
dimana memungkinkan kendaraan untuk berpindah dari suatu lengan
ke lengan simpang lainnya.
❖ Fly over dan Underpass, merupakan persimpangan dimana tidak
memungkinkan kendaraan berpindah dari suatu lengan ke lengan
simpang lainnya.
7.1.3. Ketentuan Umum Perancangan Persimpangan Sebidang
Persimpangan sebidang merupakan pertemuan dari lengan / ruas jalan
dalam satu bidang datar. Persimpangan sebidang harus :
1. Memenuhi aspek keselamatan, kelancaran, efisien, ekonomis, dan
kenyamanan.
2. Mempertimbangkan jenis kendaraan rencana.
3. Mempertimbangkan efisiensi perencanaan.
4. Mendukung hiraki fungsi dan kelas jalan dalam suatu tatanan sistem
jaringan jalan secara konsisten.
5. Mempertimbangkan pandangan bebas pemakai jalan.
6. Mempertimbangkan drainase jalan.
7. Mempertimbangkan kepentingan penyandang cacat.

7.1.4. Bentuk Persimpangan Sebidang


Persimpangan sebidang yang merupakan pertemuan antar lengan jalan
dimana ada yang saling tegak lurus membentuk sudut 90o, maupun ada
yang tidak saling tegak lurus. Jumlah lengan pada persimpangan ada yang
berjumlah tiga, empat, dan lima sesuai perencanaan dan kondisi medan.
A. Persimpangan Saling Tegak Lurus
Persimpangan saling tegak lurus merupakan semua persimpangan
sebidang dimana pertemuan lengan dengan lengan harus saling tegak lurus
(⊥), toleransi sudut tertentu.

Gambar 7.2 Bentuk Persimpangan Saling Tegak Lurus


(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
B. Persimpangan Tidak Saling Tegak Lurus
Untuk hal-hal dimana kondisi medan sangat sulit (karena paktor topografi
atau lahan terbatas) maka bentuk persimpangan saling tegak lurus sulit
diperoleh, maka bentuk persimpangan bisa tidak saling tegak lurus.

Gambar 7.3 Bentuk Persimpangan Tidak Saling Tegak Lurus

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

Simpang empat tidak saling tegak lurus tersebut, memiliki sudut


persimpangan sebesar 80o, dimana sudah memenuhi persyaratan sudut
persimpangan minimal yaitu 65o

Gambar 7.4 Sudut Persimpangan


(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

7.1.5. Daerah Persimpangan Sebidang


Persimpangan harus mempunyai kemudahan pandang ke arah
memanjang dan menyamping, sesuai dengan jarak pandang masuk dan
jarak pandang untuk keselamatan. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan
sebagai berikut:

A. Jarak pandang masuk diperlukan untuk pengendara di jalan minor


masuk ke jalan utama, didasarkan pada asumsi kendaraan pada jalan
utama tidak mengurangi kecepatan.

B. Jarak pandang aman persimpangan disediakan untuk kendaraan agar


dapat berhenti sebelum persimpangan.

Tabel 7.1 Jarak Pandang Pada Persimpangan

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

C. Gradien alinyemen vertikal diusahakan serendah mungkin/datar.

D. Kelandaian relatif belokan persimpangan tidak lebih dari 2 %, fungsi


utama kelandaian untuk mengalirkan air permukaan (run-off drainage).

E. Persimpangan pada daerah tikungan harus dihindarkan sejauh mungkin,


minimal lebih besar dari jarak pandang henti, yaitu dimulai dari titik
peralihan tangen ke lengkung (TC/TS) sampai ke daerah persimpangan.
Gambar 7.5 Jarak Persimpangan dengan Tikungan
(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

F. Bagian-bagian dari jalan di persimpangan atau potongan melintang


akan terdiri atas ;
a. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA).
b. Daerah Milik Jalan (DAMIJA), dan.
c. Daerah Pengawasan Jalan (DAWASJA).
Tipikal dari masing-masing potongan di persimpangan harus seperti
yang diilustrasikan pada Gambar 7.6 sebagai berikut :

Gambar 7.6 Bagian-Bagian Jalan Tipe 2/2 UD


(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

7.1.6. Lebar Jalur pada Persimpangan


A. Lajur merupakan bagian dari jalur yang memanjang, memiliki lebar
yang cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan selain
sepeda motor;
a. Lebar lajur tergantung kepada kecepatan rencana dan kendaraan
rencana, terutama dalam melakukan manuver pergerakan
membelok;

b. Kebutuhan lajur membelok ditetapkan dengan mengacu pada MKJI;


B. Lajur belok kanan sebaiknya disediakan pada setiap persimpangan,
terkecuali untuk hal-hal berikut ;
a. Adanya larangan untuk belok kanan;
b. Kelas jalan II, III, dan IV dan masih mempunyai kapasitas yang
memadai;
c. Jalan dua jalur dimana kecepatan rencana kurang dari 40 km/jam;
d. Volume rencana kurang dari 200 kendaraan/jam, atau perbandingan
yang melakukan belok kanan kurang 20 % dari total volume masuk
pada lengan bersangkutan;
C. Lebar lajur tambahan ditetapkan antara 2,27 s/d 3,50 meter, lebar lajur
masuk persimpangan untuk lintasan menerus dapat dikurangi sampai
dengan angka yang tercantum pada kolom ketiga Tabel 7.2
Tabel 7.2 Lebar Jalur di Persimpangan

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
D. Lengan persimpangan untuk lalu lintas menerus dimana, lajur masuk
dan lajur keluar harus berada pada satu lintasan/poros garis lurus;
E. Jumlah lajur di persimpangan mengacu pada MKJI.
F. Pergeseran poros lajur tambahan (jika diperlukan) harus dengan
lengkung/taper yang tepat. Standar taper tercantum pada Tabel 7.3 dan
panjang minimum taper tercantum pada Tabel 7.4
Tabel 7.3 Standar Taper dari Pergeseran Poros Lajur

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
Tabel 7.4 Panjang Minimum Taper

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
Tabel 7.5 Panjang Lajur Belok Kanan

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
Gambar 7.6 Panjang Lajur Belok Kanan
(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

7.1.7. Kanal pada Persimpangan Sebidang


Kanal adalah lajur khusus untuk belok kiri. Lajur khusus belok kiri harus
dilengkapi pulau lalu lintas. Lebar kanal merupakan fungsi dari manuver
kendaraan rencana membelok, seperti tercantum pada Tabel 7.6

Tabel 7.6 Lebar Kanal pada Persimpangan Sebidang

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

Pulau lalu lintas dipisahkan dari lajur lalu lintas diperlukan daerah bebas
selebar 50 cm disisi kiri dan kanan, dan masih diperlukan daerah bebas
digunakan untuk menggeser mundur sudut/hidung pulau (set back), lihat
Gambar 7.7 merupakan desain belok kiri dengan kanal dan pulau lalu
lintas.

Gambar 7.7 Desain Belok Kiri dengan Kanal


(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

7.1.8. Pulau Lalu Lintas


Pulau lalu lintas mempunyai fungsi :
a. Mengatur lalu lintas.
b. Memperlancar arus lalu lintas.
c. Bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlindung bagi pejalan kaki yang
melakukan penyeberangan jalan.
Ruang pada pulau lalu lintas dapat dimanfaatkan untuk penempatan
fasilitas jalan seperti : rambu lalu lintas, tiang lampu penerangan, land
skap. (dengan catatan tidak mengganggu pandangan pemakai jalan)

Ukuran minimum pulau lalu lintas tersebut tercantum pada Tabel 7.7
Tabel 7.7 Dimensi Minimum Pulau Lalu Lintas

7.1.9. Lintasan Belokan Pada Persimpangan


Lintasan belokan pada persimpangan ditetapkan berdasarkan kendaraan
rencana, dalam Tabel 7.8 lintasan yang didasarkan pada pengaturan lalu
lintas dan kelas jalan.
Tabel 7.8 Lintasan Belokan pada Persimpangan

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
7.1.10. Pemotongan Sudut Pulau Lalu Lintas

Sudut persimpangan harus dilakukan pemotongan, guna menjamin


keamanan dan kelancaran dari kendaraan saat melakukan belokan, bagi
pejalan kaki, dan sepeda. Panjang potongan sudut tercantum pada Tabel
7.9
Tabel 7.9 Potongan Sudut Pulau Lalu Lintas

(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara


Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)

Gambar 7.8 Penerapan Potongan Sudut pada Persimpangan


(Sumber : Pedoman Direktorat Jenderal Bina Marga 2002, Tata Cara
Perencanaan Geometrik Persimpangan Sebidang Pt T-02-2002-B)
7.1.11. Prinsip – Prinsip lalu Lintas Persimpangan
Prinsip untuk manajemen persimpangan berfungsi ganda yaitu
untuk keperluan pengendalian persimpangan dan untuk keperluan
peningkatan kapasitas persimpangan. Persimpangan adalah simpul pada
jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan
berpotongan. Lalu lintas pada masing-masing kaki persimpangan
menggunakan ruang jalan pada persimpangan secara bersamaan dengan
lalu lintasnya. Sasaran yang harus dicapai pada pengendalian
persimpangan adalah :
▪ Mengurangi maupun menghindari kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang disebabkan oleh adanya titik konflik.
▪ Menjaga agar kapasitas persimpangan operasinya dapat optimal
sesuai rencana.
▪ Memberikan petunjuk yang jelas dan pasti serta sederhana dalam
mengarahkan lalu lintas yang menggunakan persimpangan.
Upaya perbaikan kinerja persimpangan dengan meningkatkan kapasitas
sebaiknya dilakukan secara berhierarki sebagai berikut :
▪ Penambahan lebar pendekat. Jika mungkin untuk menambah lebar
pendekat, pengaruh terbaik dari tindakan ini akan diperoleh jika
pelebaran dilakukan pada pendekat – pendekat denga rasio arus
simpang (FR) tertinggi.
▪ Larangan gerakan belok kanan. Pelarangan bagi satu atau lebih
gerakan belok kanan biasanya menaikkan kapasitas, terutama jika hal
itu meyebabkan pengurangan jumlah fase yang diperlukan.
Fungsi operasional utama persimpangan adalah menyediakan ruang
untuk perpindahan atau perpindahan arah perjalanan. Persimpangan
merupakan bagian penting dari jalan raya. Oleh karena itu, efisiensi,
keamanan, kecepatan, biaya operasional, dan kapasitas suatu
persimpangan tergantung pada desain dari persimpangan itu sendiri.
7.2 Kriteria Desain Persimpangan Sebidang

Pesimpangan sebidang antara Jalan Mayor (Jalan yang memiliki fungsi seperti
Jalan Kunduran - Ngawen – Blora dimana termasuk Jalan Kolektor, Primer,
Provinsi, Non Tol) dan Jalan Minor (Jalan Panca Arga, Magelang dimana
termasuk Jalan Kolektor, Sekunder, Provinsi, Non Tol), maka kriteria desain
persimpangan sebidang yang digunakan adalah sebagai berikut:
A. Jenis pengaturan simpang : Persimpangan sebidang bersinyal
B. Bentuk dan jenis persimpangan : Persimpangan 4 lengan yang tidak
saling tegak lurus
C. Sudut persimpangan : 80o
D. Kecepatan Rencana : 60 Km/Jam
E. Jarak pandang pada persimpangan
▪ Jarak pandang masuk : 160 meter
▪ Jarak pandang aman : 105 meter
F. Kelandaian belokan maksimum :2%
G. Komponen jalan mayor (Jalan Kolektor, Primer, Provinsi, Non Tol) :

▪ Konfigurasi jalan : 2/2 D

▪ Lebar per lajur jalan : 3,5 meter

▪ Lebar bahu luar jalan : 1 meter

▪ Lebar saluran samping : 1,75 meter

H. Komponen jalan minor (Jalan Kolektor, Sekunder, Provinsi, Non Tol) :

▪ Konfigurasi jalan : 2/2 UD

▪ Lebar per lajur jalan : 3,5 meter

▪ Lebar bahu luar jalan : 1 meter

▪ Lebar saluran samping : 1,75 meter

I. Lebar lajur pada persimpangan : 3,5 meter (Kelas Jalan I)


J. Panjang minimum taper : 40 meter
K. Lebar lajur belok kanan
▪ Panjang minimum lajur perlambatan (Ld) : 30 meter
▪ Panjang minimum lajur pergeseran (Lc) : 30 meter
L. Lebar lajur belok kiri : 3.5 meter
M. Jari-jari sisi luar kanal : 15 meter
N. Tipe dan dimensi minimum pulau lalu lintas
▪ Tipe pulau lalu lintas : Tipe A
▪ Panjang Wa : 1 meter
▪ Panjang La : 3 meter
▪ Panjang Ra : 0,5 meter
O. Panjang potongan sudut pulau lalu lintas : 12 meter
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION
B
U
S
T

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PERANCANGAN BANGUNAN
TRANSPORT JALAN RAYA

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

JUDUL GAMBAR
SIMPANG BERSINYAL
R = 15 m
EMPAT LENGAN
TIDAK SALING TEGAK LURUS
10 m
20 m
KETERANGAN

3500 10001750
STA 1+700

1750 1000 3500


SATUAN DALAM MM
80
°
NAMA MAHASISWA
ANTONIUS HENRY EKA SUSANTO
21010117140093
PANJI AKBAR NUGROHO
21010117140095
1750100
0 350
0
LANCANA IKBAR ARTA MUDIANTO
3500
1000175
0
21010117140096
DANIA SALSABILA
21010117140097
TANGGAL DISETUJUI
SIMPANG BERSINYAL EMPAT LENGAN TIDAK SALING TEGAK LURUS
SKALA 1: 1000
DOSEN
Simpang Bersinyal Empat Lengan Tidak Saling Tegak Lurus
Amelia Kusuma Indriastuti, S.T., M.T.
Selatan ke Utara Barat dan Timur
Jalan Mayor (S-U) : Kolektor Primer Jalan Minor (B-T) : Kolektor Sekunder
NO GAMBAR SKALA
Tipe Jalan : 2/2 UD Tipe Jalan : 2/2 UD
Lebar Lajur : 3.5 meter Lebar Lajur : 3.5 meter 1 DARI 1 1 : 1000
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION
BAB VIII

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE DAN

BANGUNAN DRAINASE JALAN

8.1 Pengertian Drainase Jalan Raya

Sistem drainase jalan merupakan serangkaian bangunan air yang berfungsi


untuk membuang kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air perencanaan
sistem drainase jalan didasarkan pada keberadaan air permukaan dan bawah
permukaan. (Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan Perencanaan Sistem
Drainase Jalan)

8.2 Sistem Drainase Permukaan

• Jenis Bangunan Drainase Jalan


a) Selokan Samping Jalan
Bahan yang digunakan untuk membuat saluran ditentukan oleh besarnya
kecepatan rencana aliran air yang mengalir di saluran samping tersebut.

Tabel 8.1 Kecepatan Aliran Air yang Diizinkan


Berdasarkan Jenis Material
Kecepatan Air
No Jenis Bahan
yang Diizinkan
1 Pasir halus 0,45
2 Lempung kepasiran 0,5
3 Lanau aluvial 0,6
4 Kerikil halus 0,75
5 Lempung kokoh 0,75
6 Lempung padat 1,1
Kecepatan Air
No Jenis Bahan
yang Diizinkan
7 Kerikil kasar 1,2
8 Batuan besar 1,5
9 Pasangan batu 1,5
10 Beton 1,5
11 Beton bertulang 1,5
(Sumber: Perencanaan Drainase Jalan Departemen PU 2006 : 15)

Kemiringan saluran ditentukan berdasarkan bahan yang digunakan.


Hubungan antara bahan yang digunakan dengan kemiringan saluran arah
memanjang dapat dilihat pada Tabel 8.2

Tabel 8.2 Kemiringan Saluran Berdasarkan Jenis Material


Kemiringan
Jenis Material
No Saluran
1 Tanah asli 0-5
2 Kerikil 5 - 7,5
3 Pasangan > 7,5
(Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU 2006 : 15)

Tabel 8.3 Reduced Mean (Yn)

(Sumber: CD Soemarto, 1999)


Tabel 8.4 Reduced Standard Deviation (Sn)

(Sumber: CD Soemarto, 1999)

Tabel 8.5 Reduced Variable (Yt)

(Sumber: CD Soemarto, 1999)


Tabel 8.6 Koefisien Hambatan (nd) Berdasarkan Kondisi Permukaan

(Sumber: Perencanaan Sistem Drainaase Jalan pada T – 02 – 2006 – B hal 10


dari 99)

Tabel 8.7 Harga Koefisien Pengaliran (c) dan Harga Faktor Limpasan (Fk)

(Sumber: Perencanaan Sistem Drainaase Jalan pada T – 02 – 2006 – B hal


9 dari 99)
Tabel 8.8 Kemiringan Talud Berdasarkan Debit

(Sumber: Perencanaan Sistem Drainaase Jalan pada T – 02 – 2006 – B hal


19 dari 99)

Pematah arus utuk mengurangi kecepatan aliran diperlukan untuk saluran


yang Panjang dan mempunyai kemiringan cukup besar. Pemasangan jarak
pematah arus harus sesuai pada Tabel 8.9
Tabel 8.9 Hubungan Kemiringan Saluran dan Jarak Pematah Arus
Ls 6% 7% 8% 9% 10%
Lp 16 m 10 m 8m 7m 6m
(Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU 2006 : 15)

b) Gorong – Gorong
Ditempatkan melintang jalan, kemiringan 0,5 – 2 % dan berfungsi
menampung air dari selokan samping yang terdapat pada bak penampung,
diantaranya bisa lebih dari dua aliran jarak antara gorong-gorong 100 m
untuk daerah datar dan 50 m untuk daerah pegunungan. Bentuk gorong-
gorong diantaranya kotak dan bulat (Dmin 80 cm). Tipe dan bahan gorong-
gorong yang permanen dengan desain umur rencana untuk periode ulang
atau kala ulang hujan untuk perencanaan gorong-gorong disesuaikan
dengan fungsi jalan tempat gorong-goring yang berlokasi di:
• Jalan tol = 25 tahun
• Jalan arteri = 10 tahun
• Jalan kolektor = 7 tahun
• Jalan local = 5 tahun
8.3 Perancangan Kebutuhan Bangunan Drainase Jalan
8.3.1 Perhitungan Drainase
8.3.1.1 Intensitas Hujan
No. Tahun x (x-x̅) (x-x̅)^2
1 2008 137 6.700 44.890
2 2009 122 -8.300 68.890
3 2010 199 68.700 4719.690
4 2011 136 5.700 32.490
5 2012 89 -41.300 1705.690
6 2013 180 49.700 2470.090
7 2014 131 0.700 0.490
8 2015 126 -4.300 18.490
9 2016 76 -54.300 2948.490
10 2017 107 -23.300 542.890
Jumlah 1303 0.000 12552.100
Rata-rata 130.3 0.000 1255.210
Sumber:
http://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file/dokumen_usulan/dr
ainase/DRAINASE_97a7cbe80dd68a8e5576ff6a62e68c34eda294ab.pdf

Dimana:
𝑥̅
𝑥̅ = , 𝑛 = 10
𝑛
1303
𝑥̅ = = 130,3
10
• Standar Deviasi

∑(𝑥̅ − 𝑥̅)2
𝑆𝑑 = √
𝑛

12552,1
𝑆𝑑 = √
10

Sd = 35,429
Kemudian, dengan n = 10 dan periode ulang 7 tahun (fungsi jalan
sebagai jalan kolektor). Diperoleh data:
Yt = 1,80002 (Tabel 8.5, Periode Ulang 7 Tahun)
Yn = 0,4952 (Tabel 8.3, n = 10)
Sn = 0,9496 (Tabel 8.4, n = 10)

𝑆𝑑
𝑋𝑡 = 𝑥̅ + (𝑌𝑡 − 𝑌𝑛)
𝑆𝑛
35,429
𝑋𝑡 = 130,3 + (1,80002 − 0,4952)
0,9496
𝑋𝑡 = 178,982 𝑚𝑚/𝑗𝑎𝑚
𝑋𝑡
𝐼 = 90% .
4
178,982
𝐼 = 0,9 .
4
𝐼 = 40,271 𝑚𝑚/𝑗𝑎𝑚

8.3.1.2 Pendimensian Saluran Samping


• Catchment Area

Gambar 8.1 Catchment Area


Gambar 8.2 Detail Catchment Area
Dimana:
L1 = Lebar setengah jalur lalu lintas (m).
Pada penampang melintang jalan yang dirancang, tiap
lajur jalan memiliki lebar 3,5 m. Maka, lebar setengah jalur
lalu lintas (L1) memiliki lebar 3,5 m + lebar jalur sepeda 1
m
L2 = Lebar bahu luar jalan sampai ke selokan.
Pada penampang melintang jalan yang dirancang, bahu
luar pada jalan memiliki lebar 2,5 m
L3 = Lebar ke arah luar badan jalan, maksimal 100 m.

A. Perhitungan t1
2 𝑛𝑑
𝑡1 = ( . 3,28. Lc. )0,167
3 √𝑠
Dengan:
Lc = lebar yang ditinjau
nd = lapisan permukaan
(Tabel 1 Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan)
• Perhitungan t1 untuk L1
- Lebar L1 = 4,5 m
- Lapisan permukaan aspal = 0,013 (untuk lapis semen
dan aspal beton, Tabel 8.6)
- Kemiringan (s) = 0,03
Maka:
2 0,013 0,167
ti untuk L1 = ( . 3,28.4,5. )
3 √0,03
ti untuk L1 = 0,951 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
• Perhitungan t1 untuk L2
- Lebar L2 = 2,5 m (bahu jalan)
- Lapisan permukaan aspal = 0,013 (Tabel 8.6)
- Kemiringan (s) = 0,05
Maka:
2 0,013 0,167
ti untuk L2 = ( . 3,28.2,5. )
3 √0,05
ti untuk L1 = 0,862 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
• Perhitungan t1 untuk L3
- Lebar L3 = 100 m (tanah)
- Lapisan permukaan tanah = 0,2 (Tabel 8.6)
- Kemiringan (s) = 0,01
Maka:
2 0,2 0,167
ti untuk L3 = ( . 3,28.100. )
3 √0,01
ti untuk L1 = 2,761 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
Total waktu indeks untuk L = L1+L2+L3
t1 total = t1L1+t1L2+t1L3
t1 total = 0,951+0,862+2,761
t1 total = 4,574 menit
B. Penentuan panjang saluran
L diambil dari potongan memanjang trase dengan
kemiringan terpanjang, yaitu L = 1750 m

C. Perhitungan t2
• Panjang saluran (L) = 1750 m
• Kecepatan (valiran) = 1,50 m/s (Tabel 8.1 untuk
Material Beton)
Maka:
𝐿 1750
𝑡2 = = = 19,444 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
60𝑣 60.1,5

D. Perhitungan tc
tc = t1 + t2
Pada perhitungan sebelumnya, di dapat:
t1 = 4,574 menit
t2 = 19,444 menit
Maka, tc = 4,574 + 19,4 = 24,018 menit
E. Perhitungan koefisien pengaliran
ΣCi. Ai
𝐶=
ΣA
Dengan:
Ci = koefisien pengaliran
Ai = luas daerah pengaliran
• Pada daerah L1 aspal
- Perkerasan aspal → C = 0,8 (Tabel 8.7)
- Luas (A1) → L1.Panjang Saluran = 4,5.1750
= 7875 m2
• Pada daerah L1 bahu
- Perkerasan aspal → C = 0,8 (Tabel 8.7)
- Luas (A2) → L2.Panjang Saluran = 2,5.1750
= 4375 m2
• Pada daerah L1 tanah
- Perkerasan tanah → C = 0,4 (Tabel 8.7)
- Luas (A3) →L3.Panjang Saluran = 100.1750
= 175000 m2
A total = A1+A2+A3 = 7875+4375+175000 = 187250 m2
Maka,
C1. A1 + C2. A2 + C3. A3
𝐶=
A1 + A2 + A3
0,8.7875 + 0,8.4375 + 0,4.175000
𝐶=
187250
𝐶 = 0,426
F. Perhitungan debit
1
𝑄= . 𝐶𝐼𝐴
3,6
Dengan:
Q = Debit aliran (m3/s)
C = Koefisien pengaliran (dari perhitungan c total)
I = Intensitas curah hujan (mm/jam) (dari perhitungan I)
A = Luas daerah tangkapan (km2)
Maka:
1
𝑄= . 0,426 . 40,271 . [(7875 + 4375 + 175000)10−6 ]
3,6
𝑄 = 0,892 m3/s
G. Pendimensian saluran samping
• Bahan material = Beton
• Bentuk saluran = Trapesium
• V izin (m/s) = 1,5 m/s
• Luas penampang basah:
𝑄
𝐹= (𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎)
Vizin
0,892
𝑄= = 0,595 m2
1,5

• Ketentuan Dimensi
Berdasarkan pedoman perencanaan drainase jalan pada T-
02-2006-B bahwa luas penampang minimum saluran
adalam 0,5 m2.
- F = (B + m.H) . H
Dimana:
B = 1,5 H
m = 1,0 (Tabel 8.8, Q 0,00 – 0,75)

maka:
F = (B+m.H).H
0,595 = (1,5H+H).H
H2 = 0,238 m
H = 0,488 m → H diambil = 0,5 m
- Tinggi jagaan (w)
𝑤 = √0,5𝐻

𝑤 = √0,5.0,5
𝑤 = 0,5
- Tinggi saluran =H+W
H+W = 0,5 + 0,5 =1m
- Lebar atas saluran (ɑ)
ɑ = B + 2mH
ɑ = 0,75 + 2.1.0,5
ɑ = 1,75 m
- Checking F > 0,5 m2
(B + mH) H > 0,5 m2
(0,75 + 1.0,5) 0,5 > 0,5 m2
0,625 m2 > 0,5 m2 (OK)
Dengan demikian, didapat dimensi saluran samping
B = 0,75 m
H = 0,5 m
ɑ = 1,75 m
Berdasarkan perhitungan untuk pendimensian saluran,
didapat:
B = 0,75 m
H = 0,5 m
ɑ = 1,75 m
Tinggi jagaan = 0,5 m
Tinggi saluran =1m

8.3.1.3 Perhitungan Dimensi Gorong-Gorong

Gambar 8.1 Sketsa Tampak Atas

Berdasarkan sketsa di atas, pada kelandaian rencana timbunan


perencanaan terlihat cekungan air mengalir menuju satu titik dimana
air berkumpul. Pada titik tersebut perlu diberi gorong-gorong agar
air dapat mengalir dengan lancar menuju area pembuangan. Pada
daerah gorong-gorong, diterima air dari dua cekungan sehingga
debit yang direncanakan dua kali debit saluran maka:
Qgorong-gorong = Q segmen 1 + Q segmen 2
Qgorong-gorong = 2Q saluran
Diketahui pada perhitungan sebelumnya, Qsaluran = 0,892 m3/s
Vijin = 1,5 m/s (Tabel 8.1)
• Luas penampang basah
𝑄
𝐹=
V

Dengan:
Qgorong-gorong = 2Q saluran
= 2 . 0,892
= 1,784 m3/s
Vijin = 1,5 m/s
Maka:
𝑄
𝐹=
V
1,784
𝐹=
1,5
𝐹 = 1,189 m2

• Dimensi gorong-gorong
1 2
𝐹= π𝐷
4
1
1 = π𝐷2
4
4 . 1,189
𝐷2 =
π
𝐷 = 1,514
Karena syarat minimal gorong-gorong memiliki diameter = 1 m,
maka diambil D = 1,514 m

• Tinggi jagaan
Tinggi jagaan = 20% . D
= 0,2 . 1,514
= 0,303 m
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

BETON
1750

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

500

TANAH ASLI
500

750

POTONGAN MELINTANG SALURAN SAMPING


SKALA 1 : 10

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

D D

INLET OUTLET

1000 1500 1000 1000 3500 3500 1000 1000 1500 1000

TAMPAK ATAS GORONG-GORONG


SKALA 1:100

5% 5% 3% 3% 3% 3% 5% 5%

INLET OUTLET

POTONGAN D-D
SKALA 1:100

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

303
152

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

TANAH URUG

1514
BETON

152
303
PAS BATU BRONJONG

PASIR
TANAH ASLI

1514
303 1818 303

DETAIL GORONG - GORONG


SKALA 1 : 10

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


BAB IX

PERANCANGAN BANGUNAN PELENGKAP DAN FASILITAS JALAN

9.1 Jenis Bangunan Pelengkap Jalan


a) Rambu
Rambu lalu lintas adalah bagian dari pelengkap jalan yang memuat lambing,
huruf, angka, kalimat, dan perpaduan diantaranya. Rambu lalu lintas
digunakan untuk memberi peringatan, perintah, larangan, dan petunjuk bagi
pengguna jalan. Rambu lalu lintas diatur menurut Peraturan Menteri
Perhubungan No. 13 Tahun 2004. Agar rambu dapat terlihat baik siang,
malam, saat cerah, maupun saat hujan maka bahan harus terbuat dari
retroreflektif.
1. Rambu Peringatan
Rambu yang memberikan petunjuk kepada pengguna jalan mengenai
bahaya yang akan dihadapi dan berpotensi berbahaya. Warna rambu
peringatan adalah kuning dengan garis hitam. Rambu peringatan
ditempatkan pada posisi sebelum atau pada bagian jalan yang berbahaya

Tabel 9.1 Penempatan Rambu Peringatan


Kecepatan (km/jam) > 100 81-100 61-80 ≤ 60
Jarak (m) 160 100 80 50

(Sumber: Panduan Penempatan Fasilitas Pelengkap Jalan, Departemen


Perhubungan)

2. Rambu Larangan
Rambu larangan adalah rambu lalu lintas yang menyatakan Batasan-
batasan yang tidak boleh dilakukan oleh pengguna jalan. Warna dasar dari
rambu larangan adalah putih dengan lambang hitam atau merah. Rambu
larangan ditempatkan sedekat mungkin dengan bagian awal dimulainya
larangan hingga bagian jalan berikutnya.
3. Rambu Perintah
Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perintah
yang wajib dilakukan oleh pengguna jalan. Warna dasar rambu perintah
adalah biru dengan tulisan putih. Rambu perintah wajib ditempatkan
sedekat mungkin dengan lokasi (kurang lebih 50 m dari lokasi).
4. Rambu Petunjuk
Rambu petunjuk adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada
pengguna jalan mengenai informasi jalan yang meliputi jurusan, arah, dan
rambu petunjuk wilayah. Rambu petunjuk memiliki warna dasar biru
untuk informasi batas kota dan fasilitas umum, dan hijau untuk informasi
petunjuk jalan dengan tulisan berwarna putih. Rambu petunjuk
ditempatkan di kiri jalan atau diatas daerah manfaat jalan sebelum tempat,
daerah, atau lokasi yang ditinjau dengan jarak maksimum 50 m atau untuk
jenis rambu 100 m minimum 350 m.

Jarak penempatan rambu:


1. Rambu Sebelah Kiri
- Rambu ditempatkan di sebelah kiri menurut arah lalu lintas
- Jarak penempatan rambu yang terdekat dengan bagian tepi terluar bahu
jalan minimal 0,6 m
- Penempatan rambu lalu lintas mudah dilihat oleh pengguna jalan
2. Rambu Sebelah Kanan
- Mempertimbangkan lokasi dan kondisi lalu lintas, rambu ditempatkan
di sebelah kanan atau di atas daerah manfaat jalan
- Rambu dipasang pada medan tempat lain dengan jarak 0,3 m dari
bagian paling luar medan
Tinggi rambu:
1. Ketinggian penempatan rambu pada sisi jalan minimal 1,75 m dan
maksimal 2,65 m diukur dari permukaan jalan sampai dengan sisi dari
rambu bawah
2. Ketinggian penempatan rambu di lokasi fasilitas pejalan kaki minimal 2 m
dan maksimal 2,69 m diukur dari permukaan fasilitas pejalan kaki hingga
bagian bawah rambu

b) Guard Rail dan Guard Post


Guard rail dan guard post dipasang untuk memenuhi syarat kenyamanan
pengemudi dan memberikan rasa aman kepada pengemudi.
1. Guard Rail
Guard Rail dipasang pada sisi kiri atau kanan jalan. Guard rail terbuat dari
bahan papan baja atau concrete barrier. Guard rail berfungsi untuk
menghalangi pandangan pengemudi ke arah jurang dan sebagai pagar
pengaman jalan agar pengemudi tidak keluar lintasan saat sedang
melintas.
2. Guard Post
Guide post dipasang pada sisi kiri dan kanan jalan. Guard post adalah
sebuah bangunan mirip patok yang terbuat dari beton atau pipa baja.

c) Patok KM (Patok Kilometer)


Patok KM merupakan alat pelengkap jalan yang dipasang setiap satu
kilometer untuk menunjukkan jarak yang ditempuh pengemudi yang melewati
suatu jalan.
d) Patok HM (Patok Hektometer)
Patok HM merupakan alat pelengkap jalan yang dipasang setiap 100 meter
untuk menunjukkan jarak yang ditempuh pengemudi yang melewati suatu
jalan.
9.2 Jenis Fasilitas Jalan
a) Marka Jalan
Marka jalan adalah suatu tanda yang ada di permukaan jalan atau di atas
permukaan jalan yang meliputi tanda garis yang membujur, garis melintang,
garis serong, serta lambing lain yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu
lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
1. Marka Garis Membujur
Marka yang sejajar terhadap sumbu jalan dan terdiri dari garis putus-putus,
tidak terputus, dan kombinasi keduanya
2. Marka Garis Melintang
Marka yang tegak lurus terhadap sumbu jalan dan digunakan untuk
menghentikan atau mengurangi kecepatan kendaraan

b) Lampu
Tuntutan penerangan jalan umum meningkat dengan pertambahan tingkat
kepadatan aktivitas pengguna jalan. Lampu meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan bagi pengguna jalan.
1. Tipe Pilar
Lampu tipe pilar mahal pada pengoperasiannya. Lampu tipe pilar dibuat
hanya untuk penerangan intensitas rendah dan merupakan model kuno.
2. Tipe Berkedip
Lampu tipe berkedip membutuhkan alat pengontrol dan penggunaannya
tidak dapat disambungkan langsung ke saluran utama.
- Lampu air raksa
Memberikan cahaya kebiruan tetapi warna dapat diganti dan dilapisi
untuk memberi emulsi putih
- Lampu sodium tekanan rendah
Memberikan cahaya utama kuning dan merupakan lampu yang paling
efektif digunalan dengan kekuatan 135 unit dan cenderung terbakar bila
rusak
- Lampu sodium tekanan tinggi
Memberikan cahaya putih agak dingin dalam penampilan. Bola lampu
sama dengan lampu air raksa

Tabel 9.2 Rambu-rambu Lalu Lintas


Gambar Rambu Keterangan Stationing

Rambu Peringatan
-
Tikungan ke Kiri

STA 1+720 Kiri


Rambu Peringatan
STA 3+310 Kiri
Tikungan ke Kanan
STA 4+080 Kiri

STA 3+100
Rambu Peringatan
STA 4+500
Tanjakan
STA 6+800

STA 0+100
Rambu Peringatan
STA 1+700
Turunan
STA 2+300
Rambu Pengarah
-
Tikungan ke Kiri

STA 1+750
sepanjang tikungan
Rambu Pengarah STA 3+340
Tikungan ke Kanan sepanjang tikungan
STA 5+000
sepanjang tikungan

Rambu Batas Kecepatan STA 1+750


60 km/jam STA 5+000

Rambu Batas Kecepatan


STA 3+350
80 km/jam

Rambu Tanda
STA 6+800
Penyebrangan Jalan

(Sumber: Katalog Rambu Lalu Lintas Peraturan Menteri No 13 Tahun


2014 tentang Rambu Lalu Lintas)
Gambar 9.1 Gambar Teknis Rambu Lalu Lintas
(Sumber: Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat)
Gambar 9.2 Gambar Teknis Marka Jalan
(Sumber: Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat)

Gambar 9.3 Gambar Teknis Marka Tempat Penyebrangan (Zebra Cross)


(Sumber: Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat)
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

225 225

225 225
0 75
75 0 900

530
375

450
BAUT Ø 10 BAUT Ø 10 BAUT Ø 10
Minimal 600 mm dari Minimal 600 mm dari Minimal 600 mm dari
750

bahu jalan bahu jalan bahu jalan


375

900
530

450
2050
2250

2050
ANGKUR ANGKUR ANGKUR
PIPA GALVANIS Ø50 PIPA GALVANIS Ø50 PIPA GALVANIS Ø50
BETON BERTULANG BETON BERTULANG BETON BERTULANG

TANAH ASLI
500

TANAH ASLI TANAH ASLI


500

500
100 300 100 100 300 100 100 300 100

AMBANG JALAN AMBANG JALAN AMBANG JALAN

TIPE A TIPE B TIPE C


SKALA 1:20 SKALA 1:20 SKALA 1:20

BANGUNAN PELENGKAP JALAN


SKALA 1:100

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

600
600

2000

1400

1400

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


2000
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

1100

1100
5000

3000

3000
2500

2500
300 300 300 300

DETAIL MARKA PANAH DETAIL MARKA PANAH DETAIL MARKA PANAH DETAIL MARKA PANAH
SKALA 1:100 SKALA 1:100 SKALA 1:100 SKALA 1:100

MARKA PENUH WARNA PUTIH

120
MARKA PUTUS-PUTUS

120
5000 8000 5000

MARKA JALAN
SKALA 1:100

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


BAB X
PERANCANGAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

10.1 Pengertian Perkerasan Jalan


Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara
lapisan tanah dasar dan roda kendaraan yang berfungsi memberikan
pelayanan kepada sarana transportasi dimana diharapkan selama masa
pelayanan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Dalam perancangan ini, jalan
didesain dengan perkerasan lentur dan perkerasan kaku.
Perkerasan jalan raya adalah bagian jalan raya yang diperkeras
dengan lapis konstruksi tertentu; yang memiliki ketebalan, kekuatan,
kekakuan, serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu
lintas diatasnya ke tanah dasar secara aman dan nyaman tanpa kerusakan
yang berarti.
10.2 Perkerasan Lentur / Flexible Pavement
Perkerasan lentur merupakan struktur perkerasan yang terbuat dari
agregat dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Pada
umumnya, struktur perkerasan lentur terdiri dari: lapis pondasi bawah
(subbase course), lapis pondasi atas (base course), dan lapis permukkaan
(surface course). Dalam perancangan ini, digunakan metode Bina Marga
tahun 2002.
Persamaan dasar metode Bina Marga 2002 sebagai berikut:
∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094 + 2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19

10.2.1 Parameter Lalu Lintas


a. Angka ekivalen beban kendaraan (E)
Dalam perancangan perkerasan jalan, maka perlu
dihitung terlebih dahulu angka ekivalen beban sumbu
kendaraan (E) untuk setiap jenis golongan.
4
Angka ekivalen sumbu tunggal = (𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 (𝑡𝑜𝑛))
8,160
4
Angka ekivalen sumbu ganda = 0,086 (𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 (𝑡𝑜𝑛))
8,160
4
Angka ekivalen sumbu triple = 0,053 (𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 (𝑡𝑜𝑛))
8,160

• Golongan 2 = Kendaraan ringan 2 ton (1+1)


4 4
1 1
=( ) +( )
8,160 8,160
= 0,000451
• Golongan 3 & 4 = Micro truk, minibus 5 ton (1,5+3,5)
4 4
1,5 3,5
=( ) +( )
8,160 8,160
= 0,035
• Golongan 5A = Bus kecil 8 ton (3+5)
4 4
3 5
=( ) +( )
8,160 8,160
= 0,159
• Golongan 5B = Bus besar 9 ton (3+6)
4 4
3 6
=( ) +( )
8,160 8,160
= 0,311
• Golongan 6A = Truk 2 as 8 ton (3+5)
4 4
3 5
=( ) +( )
8,160 8,160
= 0,159
• Golongan 6B = Truk 2 as 14 ton (6+8)
4 4
6 8
=( ) +( )
8,160 8,160
= 1,216
• Golongan 7A = Truk 3 as 24 ton (6+9.9)
4 4
6 18
=( ) + 0,086 ( )
8,160 8,160
= 2,329
• Golongan 7B = Truk 4 as, truk gandeng 32 ton (6+10+8+8)
4 4 4 4
6 10 8 8
=( ) +( ) +( ) +( )
8,160 8,160 8,160 8,160
= 4,395
• Golongan 7C = Truk semi trailer 34 ton (6+5.5+6.6.6)
4 4 4
6 10 18
=( ) + 0,086 ( ) + 0,053 ( )
8,160 8,160 8,160
= 1,741

b. Beban dan tingkat pertumbuhan lalu lintas (W18)


̅18 = ∑{𝐿𝐻𝑅𝑖 𝑥 𝐸𝑖 𝑥 𝐺𝑅 } 𝑥 365 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 2 𝑎𝑟𝑎ℎ)
𝑊
• Dari BAB 3, didapatkan data sebagai berikut :
Umur Rencana = 20 Tahun
Pertumbuhan Lalu Lintas (i) = 3,61%
Data lalu lintas tahun 2018 ruas Kunduran-Ngawen-Blora
Golongan 1 = 21.539 kend/hari
Golongan 2 = 2.324 kend/hari
Golongan 3 = 400 kend/hari
Golongan 4 = 831 kend/hari
Golongan 5a = 361 kend/hari
Golongan 5b = 293 kend/hari
Golongan 6a = 671 kend/hari
Golongan 6b = 720 kend/hari
Golongan 7a = 139 kend/hari
Golongan 7b = 8 kend/hari
Golongan 7c = 88 kend/hari
Golongan 8 = 665 kend/hari
• Faktor Pertumbuhan Tahunan
(1 + 𝑖)𝑛 − 1
𝐺𝑅 =
𝑖
(1 + 0,0361)20 − 1
=
0,0361
= 28,601

• Contoh Perhitungan
Golongan 2
LHR =2.324 kend/hari
E = 0,000451
GR = 28,601%
LHR x E x GR = 2.324 x 0,000451 x 28,601
= 29,984 ESAL/hari
Perhitungan untuk golongan 1 hingga golongan 8 dapat
dilihat pada Tabel 10.1 berikut.
Tabel 10.1 Perhitungan ESAL
VLHR x E x
Golongan VLHR E GR GR
kend/hari ESAL/hari
1 21539 0,00000 28,60149 0
2 2324 0,00045 28,60149 29,984
3 400 0,03499 28,60149 400,285
4 831 0,03499 28,60149 831,593
5A 361 0,15924 28,60149 1644,144
5B 293 0,31058 28,60149 2602,732
6A 671 0,15924 28,60149 3056,013
6B 720 1,21616 28,60149 25044,384
7A 139 2,32855 28,60149 9257,380
7B 4 4,39548 28,60149 502,869
7C 88 1,74117 28,60149 4382,406
8 665 0,00000 28,60149 0
TOTAL 28035 47751,791

̅18 = ∑{𝐿𝐻𝑅𝑖 𝑥 𝐸𝑖 𝑥 𝐺𝑅 } 𝑥 365


𝑊
= 47751,791 x 365
= 17429403,86 ESAL/tahun/2 arah
̅18 (pada lajur rencana)
𝑊18 = 𝐷𝐷 𝑥 𝐷𝐿 𝑥 𝑊

• Faktor distribusi arah (DD)


Untuk jalan 2 arah, maka nilai DD sebesar 0,5 (Pedoman
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, 2002).
• Faktor distribusi lajur (DL)
Untuk jalan dengan 2 lajur per arah, maka nilai DL sebesar
80% - 100%. Digunakan nilai DLsebesar 90% (Pedoman
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, 2002).

̅18
𝑊18 = 𝐷𝐷 𝑥 𝐷𝐿 𝑥 𝑊
= 0,5 𝑥 0,9 𝑥 17429403,86
= 7843231,74 ESAL

c. Realibilitas (R) dan deviasi standar keseluruhan (So)


• Zr
Untuk jalan arteri luar kota, maka nilai R sebesar 75% -
95% (Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur,
2002). Digunakan nilai R sebesar 95%. Untuk nilai R =
95%, maka nilai Z; sebesar -1,645.
• So
Deviasi standar (So) memiliki rentang nilai 0,4 - 0,5
(Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, 2002).
Digunakan nilai So sebesar 0,45.

10.2.2 Daya Dukung Tanah Dasar


Daya dukung tanah dasar (DDT) dinyatakan dengan
modulus resilien (MR) yang dapat diperoleh memalui korelasi
nilai California Bearing Ratio (CBR). Pada perancangan ini,
nilai CBR pada tanah dasar didapat dari uji lapangan dengan
menggunakan alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP). Data
CBR lapangan didapat dari Laboratorium Mekanika Tanah
Universitas Diponegoro. Pengujian dilakukan pada 5 titik, dan
didapat nilai CBR untuk masing – masing titik seperti pada
Tabel 10.2.
Tabel 10.2 Nilai CBR

Titik CBR (%)


T.1 5
T.2 6
T.3 7

Sumber : Laboratorium Mekanika Tanah Universitas Diponegoro

Nilai CBR segmen dapat dihitung secara analitis dengan persamaan


berikut :

𝐶𝐵𝑅𝑚𝑎𝑥 − 𝐶𝐵𝑅𝑚𝑖𝑛
𝐶𝐵𝑅𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 = 𝐶𝐵𝑅𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 −
𝑅

5+6+7
• 𝐶𝐵𝑅𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 = 3

= 6%
• R = 1,91 (untuk 3 titik pengamatan)
7−5
𝐶𝐵𝑅𝑠𝑒𝑔𝑚𝑒𝑛 = 6 −
1,91
= 4,953 %
Nilai modulus resilien (MR) tanah dasar dihitung dengan persamaan
berikut :
MR = 1500 x CBR
= 1500 x 4,953
= 7429,5 psi

10.2.3 Indeks Permukaan


Kinerja perkerasan jalan lentur dalam metode Bina Marga dapat
dinyatakan dengan parameter indeks permukaan (IP). Untuk dapat
mengetahui kinerja selama umur reneana, maka perlu dihitung
selisih dari indeks permukaan (ΔPSI), dimana:
∆PSI = IPo- IPt
Nilai indeks permukaan pada awal umur reneana (IPo)
ditentukan berdasarkan jenis perkerasan dan nilai ketidakrataan
(IRI). Untuk jenis lapis perkerasan aspal beton/laston dengan IRI ≤
1 mm, maka nilai IPo ≥ 4 (Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan
Lentur, 2002). Digunakan nilai IPo sebesar 4,2.
Nilai indeks permukaan pada akhir umur reneana (IPt)
ditentukan berdasarkan klasifikasi jalan dan beban lalu lintas.
Untuk jalan arteri dengan beban lalu lintas tinggi, maka permukaan
jalan diharapkan masih eukup baik dan stabil pada akhir umur
reneana, dengan nilai IPt = 2,5 (Pedoman Pereneanaan Tebal
Perkerasan Lentur, 2002).
Sehingga, didapat nilai selisih dari indeks permukaan
(∆PSI), sebagai berikut:
∆PSI = IPo- IPt
= 4,2 – 2,5
= 1,7

10.2.4 Mutu Material Perkerasan


Direneanakan struktur perkerasan lentur dengan modulus
resilien sebagai berikut:
• Lapis Permukaan AC-WC : EAC-WC = 2800 MPa
= 406.000 psi
• Lapis Permukaan AC-BC : EAC-BC = 2500 MPa
= 362.500 psi
• Lapis Pondasi Atas Granular : CBR = 95 %
ELPA-A = 29.500 psi
• Lapis Pondasi Bawah Granular : CBR = 70 %
ELPA-B = 18750 psi
• Tanah Dasar : MR = 6960 psi

10.2.5 Menentukan Nilai Struktural (SN)


Nilai SN dapat ditentukan dari persamaan berikut :
∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094 + 2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19
• Nilai SN3 pada lapis pondasi bawah (dengan modulus resilien
tanah dasar)

∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19

+2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
Maka didapat nilai SN3 sebesar 5,069.
• Nilai SN2 pada lapis pondasi atas (dengan modulus resilien
pondasi bawah)

∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19

+2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
Maka didapat nilai SN3 sebesar 3,653.
• Nilai SN1-2 pada lapis aspal beton AC-BC (dengan modulus
pondasi atas)

∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19

+2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
Maka didapat nilai SN1-2 sebesar 3,074.
• Nilai SN1-1 pada lapis aspal beton AC-WC (dengan modulus
lapisan AC-BC)

∆𝑃𝑆𝐼
𝑙𝑜𝑔 ( )
4,2−1,5
𝑙𝑜𝑔𝑊18 = 𝑍𝑟 (𝑆0 ) + 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + 1094
0,40 + (𝑆𝑁+1)5,19

+2,32𝑙𝑜𝑔𝑀𝑅 − 8,07
Maka didapat nilai SN1-1 sebesar 1,100.

10.2.6 Koefisien Drainase (m)


Koefisien drainase dapat ditentukan dari kualitas drainase dan
persentase hari hujan dalam setahun. Kualitas drainase untuk jalan
direncanakan kategori baik/air hilang dalam waktu 1 hari (Pedoman
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, 2002). Persentase hari hujan
dalam setahun dapat dihitung sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖𝑛 ℎ𝑢𝑗𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
𝑃= 𝑥 100%
365
Contoh perhitungan pada tahun 2010 :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖𝑛 ℎ𝑢𝑗𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
𝑃= 𝑥 100%
365
113
= 𝑥 100%
365
= 30,96%
Rata-rata presentase hari hujan selama 5 tahun (tahun 2004-
2008) dapat dilihat pada Tabel 10.3

Tabel 10.3 Rata-rata Presentase Hari Hujan Tahun 2010-2019

Jumlah Hari Hujan (hari/bulan) Presentase


Total Hari
Hari
Tahun Hujan
Hujan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nov Des (hari/tahun)
(%)
2004 21 19 23 11 8 4 7 0 0 0 5 15 113 30,96
2005 18 15 15 15 5 4 8 2 4 5 7 17 115 31,51
2006 23 18 19 14 10 1 0 0 0 0 7 11 103 28,22
2007 8 17 11 6 5 7 0 0 0 2 6 11 73 20
2008 11 17 5 11 3 5 1 3 0 8 7 10 81 22,19
Rata-Rata 26,576

Untuk kualitas drainase baik dan persentase hari hujan dalam


setahun > 25%, maka didapat koefisien drainase sebesar 1,00
(Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, 2002).

10.2.7 Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-masing lapisan
didapat dengan cara grafis dan analitis.
• Lapis permukaan aspal beton
Koefisien kekuatan relatif laston (a1) didapat dari grafik pada
Gambar 10.1.
Gambar 10.1 Grafik Koefisien Kekuatan Relatif Laston (a1)
• Lapis pondasi atas granular
a2 = 0,249 (log EB) – 0,977
= 0,249 (log 29500) – 0,977
= 0,136
• Lapis pondasi bawah granular
a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839
= 0,227 (log 18750) – 0,839
= 0,131
10.2.8 Batas-batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan
Batas minimum tebal lapis perkerasan ditentukan berdasarkan
beban lalu lintas. Untuk beban lalu lintas (WI8) sebesar 6437372,54
ESAL/tahun, maka didapat tebal minimum untuk beton aspal
sebesar 3,5 inci dan tebal minimum untuk lapis pondasi agregat
sebesar 6 inci (Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur,
2002).
10.2.9 Tebal Lapis Perkerasan
Tebal masing-masing lapis perkerasan dapat dihitung dengan
memasukkan parameter nilai struktural (SN), koefisien kekuatan
relatif (a), dan koefisien drainase (m).
1. Lapis permukaan aspal beton AC-WC
SN1-1 = a1-1.D1-1
1,100 = 0,42 . (D1-1)
D1-1 = 2,62 inch = 6,7 cm
2. Lapis permukaan aspal beton AC-BC
SN1-2 = a1-1.D1-1 + a1-2.D1-2
2,965 = 0,42 . 2,62 + 0,4 . (D1-2)
D1-2 = 4,94 inch = 12,5 cm
3. Lapis pondasi atas
SN2 = a1-1.D1-1 + a1-2.D1-2 + a2.D2.m2
1,847 = 0,42 . 2,62 + 0,4 . 4,94 + 0,136 . (D2) . 1
D2 = 4,26 inch = 10,8 cm
4. Lapis pondasi bawah
SN3 = a1-1.D1-1 + a1-2.D1-2 + a2.D2.m2 + a3.D3.m3
1,847 = 0,42 . 2,62 + 0,4 . 4,94 + 0,136 . 4,26 . 1 + 0,131 .
(D3) . 1
D2 = 10,81 inch = 27,4 cm
Total lapis permukaan aspal beton = 2,62 + 4,94
= 7,55 inch > 3,5 inch (OK)
Total lapis pondasi agregat = 4,26 + 10,81
= 15,1 inch > 6 inch (OK)
PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION


PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

Lapis Permukaan
6,7

AC - WC
12,5

Lapis Permukaan
AC - DC

Lapis Pondasi Atas


10,8

Granular

Lapis Pondasi Bawah


27,4

Granular

Tanah Dasar

DETAIL LAPIS PERKERASAN


SKALA 1:100

PRODUCED BY AN AUTODESK STUDENT VERSION

Anda mungkin juga menyukai