“1). Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan kita,
dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. 2). Ciptaan lain di atas permukaan bumi
diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. 3).
Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai
tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu
merintangi dirinya. 4). Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas
terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada kita dan tak ada
larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada
sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan,
hidup panjang lebih daripada hidup pendek. 5). Begitu seterusnya mengenai hal-hal
lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke
tujuan kita diciptakan.” [LR. 23]
Dimanapun kita berada, kita selalu dihadapkan pada beragam tawaran. Setiap saat kita
dituntut untuk memilah dan memilih, untuk mengambil keputusan dari sekian banyak pilihan
yang ada. Apakah aku akan membaca koran, majalah atau buku? Menonton TV, film atau
bekerja di depan komputer? Memasak, mencuci pakaian, menjemput anak? Itu baru di dalam
rumah yang kecil, belum lagi dengan lingkungan di luar rumahku: sekolah, kampus, tempat
kerja, gereja, mall, supermarket, dan tempat rekreasi. Dihadapkan semua hal tadi, kita tidak
bisa lari begitu saja. Kita selalu harus mengambil keputusan; entah itu keputusan untuk
mengiyakan yang ini atau yang itu. Atau keputusan untuk menolak yang ini atau yang itu.
Pilihan menjadi semakin sulit ketika kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang lebih
serius seperti harus memilih profesi bahkan memilih status hidup menikah atau tidak alias
menjadi religius.
Banyak kali kita menjadi bingung: bagaimana harus mengambil keputusan di hadapan
berbagai macam pilihan tadi? Apa yang mesti menjadi pertimbanganku, apalagi jika semua
pilihan sama baiknya? Tak jarang yang menjadi ukuran akhirnya adalah seleraku. Tetapi, apa
yang terjadi setelahnya? Apa dampak yang kurasakan ketika aku memilih hanya sekedar
berdasarkan seleraku semata? Sewaktu kita memuaskan semua hal sesuai dengan selera
memang ada perasaan senang dan gembira. Namun setelah hal itu selesai, kesenangan dan
kegembiraan tadi tiba-tiba saja lenyap tak berbekas. Perasaan itu hanya sebentar kualami.
Sekarang aku justru merasakan hal yang lain: kesepian, kehampaan dan ketidakpuasan yang
mendorongku untuk memuaskannya lagi.
Pernahkah kita bertanya tentang dasar-dasar dari keputusan-keputusan yang serius,
yang menentukan hidupku dan hidup orang-orang di sekitarku? Bagaimana aku mengenalinya?
Ukuran apa yang kupakai dalam memilih? Dan apa yang kita rasakan setelahnya?
Tentu saja setiap orang selalu berusaha memilih apa yang membawa kebahagiaan.
Oleh karenanya, untuk mengambil keputusan yang membahagiakan dan memberikan makna
hidup, orang perlu sadar dan membedakan dengan pasti mana tujuan dan mana sarana hidup
bagi dirinya. Banyak kali, orang melihat sarana sebagai tujuan dan tujuan sebagai sarana.
Akibatnya, orang menjadi bingung akan hidupnya sendiri. Untuk apa hidup ini?
Sarana mana yang mesti kupilih untuk lebih sampai pada tujuan?
Bisa motor, bisa bus, bisa sepeda dan bisa jalan.
YANG LEBIH KUPILIH sangat tergantung pada situasi dan kondisi realnya. Prinsip
LEBIH bukan karena harganya yang lebih mahal, sesuai tren, atau untuk gengsi. LEBIH di sini
menunjuk pada mana yang lebih untuk dapat mencapai tujuan.
Demikian pula dalam hidup sehari-hari dalam memilih pernak-pernik kehidupan. Ada alat
transportasi dengan berbagai merk motor dan mobil. Ada alat komunikasi dengan berbagai
macam merk seperti Samsung, Nokia, dan Oppo. Ada sepatu dengan berbagai merk seperti
Nike, Adidas dan North Star. Dan ada berbagai macam pakaian, jam tangan, tas, dst. Bahkan
soal aktivitas berkegiatan atau bertekun dalam skripsi. Banyak kali kita disibukan untuk
memilih merknya daripada fungsi TUJUANNYA. Dengan demikian, sarana menjadi tujuan
dan tujuan menjadi sarana.
Tujuan adalah apa yang mau kuperbuat bagi sesama dan semesta sebagai bentuk aku
membalas cintaNya? Untuk menemukannya baik mencermati apa yang menjadi
keprihatinanku di masa lalu hingga saat ini? Apa yang mau kulakukan untuk menjawab
keprihatinan itu? Apa kontribusiku? Misal: aku ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan
untuk mencerdaskan perkembangan anak. Keprihantinanku waktu kecil adalah aku dan teman-
temanku sangat kurang mendapat pengajaran yang baik di kampung kecilku.
Sarana adalah profesi apa yang bisa kugunakan untuk bisa mencapai tujuan di atas? Misal,
menjadi seorang pengajar (guru atau dosen)
Strategi adalah bagaimana step by step aku mengejar saranaku tersebut? Misal, kuliah S1 dan
lanjut S2, mendalami bidang pendidikan anak serta belajar tentang pendampingan orang muda.
Sikap adalah bagaimana aku menghidupi saranaku? Misal, menjadi guru yang totalitas dan
murah hati.
D. TUNTUNAN REFLEKSI
1. Buatlah Narasi Asas dan Dasar Real dan Faktual seperti contoh di bawah ini!
2. Buatlah Examen dan Jurnaling atas hidupmu dengan isi:
Apa yang menyibukanku selama 6 - 12 bulan ini?
Yang menyibukan itu adalah TUJUAN atau SARANA? Yang
POKOK/KUBUTUHKAN atau yang SAMPINGAN/SELERA dalam hidupku?
Apa yang sebenarnya menjadi PRIORITAS/KUBUTUHKAN saat ini?
3. Petakanlah TUJUAN, SARANA, STRATEGI, dan SIKAP yang akan dirimu hidupi
selama masih hidup saat ini! Note: Mulailah dengan apa yang memprihatinkan dirimu
sejak masa lalu!
1. TUJUAN MENCINTAI (=melayani) ALLAH dalam SESAMA & SEMESTA (AMDG) TRUE HAPPINESS
“apa kontribusiku?”
3. DIGUNAKAN
2. SARANA
“apa cita-citaku?” 4. LEPAS BEBAS
3. DILEPASKAN
5. MAGIS
1. KIKI
ASAS DASAR REAL
Aku berasal dari keluarga yang sederhana yang selama kecil ada banyak permasalahan
keluarga. Kedua orangtuaku sibuk kerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
orangtua saya sering sekali cekcok entah apa permasalahan mendasarnya. Bapakku sering
mabuk-mabukan dan saya pernah memergoki kedua orangtuaku masing-masing selingkuh.
Dengan hal tersebut menjadikan aku pribadi yang kurang kasih sayang, kurang perhatian
orangtua dan hal itu sangat berpengaruh pada hidupku hingga dewasa.
Aku selalu aktif mencari perhatian. Apapun yang kulakukan memiliki tujuan agar orang
banyak terutama orangtuaku memperhatikan dan mengapresiasi aku. Aku harus menjadi yang
pertama dan selalu menjadi pusat perhatian. Sangat jelas studi, relasi, organisasi ku kejar agar
aku mendapat perhatian. Aku harus menjadi anak yang pintar dan studi harus berhasil agar
banyak orang terutama orangtuaku memperhatikan dan mengapresiasi. Aku aktif organisasi
sana sini, bisa pimpin teman-temanku, ikuti banyak latihan kepemimpinan semata-mata juga
untuk mencari perhatian dan apresiasi. Soal relasi, aku akan lakukan apapun yang mantan
pacarku inginkan asalkan aku diperhatikannya, bahkan walau harus merelakan banyak hal.
Bahkan saking kurang perhatian, aku juga memiliki banyak laki-laki cadangan untuk mencari
perhatian, dan ketika mereka sudah terlihat berharap maka aku akan tinggalkan sebagai sebuah
kepuasan balas dendam kurang perhatian.
Aku akan marah, ngambek, bahkan mutung jika perhatian dan apresiasi itu tidak ku
dapatkan. Aku bersikap cuek, tidak mau tahu bahkan meninggalkan tanpa alasan orang yang
tidak memperhatikan, meremehkan, dan tidak memberi apresiasi, bahkan kadang bisa
membalas meremehkan dan menjelek-jelekkan. Namun jika banyak orang yang
memperhatikan dan mengapresiasi maka aku akan semakin termotivasi untuk mencari
perhatian dan menjadi sombong. Kebutuhan ingin perhatian adalah sebuah kelekatan yang
selalu mengikuti hidupku dan terus berulang. Hidupku penuh tekanan, tidak merdeka karena
yang ku cari hanyalah perhatian yang tidak memuaskan batin dan hanya melelehkan.
2. SESEL
ASAS & DASAR REAL
Saat aku berusia tiga tahun kedua orang tuaku bercerai dan hak asuh anak saat itu
menjadi hak asuh mamaku, dan sejak TK aku dirawat oleh nenekku sampai lulus SD. Ketika
SMP dan SMA, aku tinggal di Panti Asuhan. Oleh karena itu, aku mengalami defisit afeksi
(kekurangan cinta dan perhatian) dari kedua orang tuaku. Untuk itu, sejak kecil aku selalu
mengejar banyak prestasi, bersaing untuk mendapatkan nilai yang baik supaya kedua orang
tuaku memperhatikanku. Jika mereka tidak merespon apa yang aku dapat aku merasa bahwa
apa yang aku capai itu masih kurang baik dihadapan orang tuaku sehingga mereka tidak
merespon dan memperhatikanku seperti yang kuharapkan.
Ketika SMA aku semakin gencar untuk mancari banyak prestasi, mengikuti banyak
pelatihan, menduduki organisasi-organisasi sebagai ketua supaya aku dibanggakan di
keluargaku dan diperhatikan kedua orang tuaku. Setelah lulus SMA pun, aku mengikuti banyak
kegiatan dengan alasan yang sebenarnya supaya mama dan papaku membanggakan diriku.
Namun sama saja mereka tidak memperhatikan aku seperti yang aku harapkan. Lama-
kelamaan aku merasa percuma. Bagiku apa yang aku lakukan tidak sama sekali mengubah
afeksi mereka kepadaku. Aku tetap merasakan hal yang sama. Mereka tetap saja tidak
memperhatikanku dan membanggakan aku.
Oleh karena itu, aku mempunyai tujuan untuk selalu mencari dan menjadi yang pertama
serta terbaik di antara teman-teman lain supaya jika orang tua tidak memperhatikanku, aku
mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarku dan aku dianggap ada dan penting bagi
mereka. Sekalipun demikian, aku pun tetap merasa kosong dan sepi.
3. AYUK
ASAS & DASAR REAL
Sejak kecil aku pemalu dan penakut. Terutama ketika aku harus bertemu dan
berinteraksi dengan orang/teman baru. Aku yang pemalu cenderung pendiam. Kesulitan dalam
bergaul mulai kurasakan ketika aku ikut misdinar di gereja. Aku hanya selalu berdua dengan
adikku yang adalah saudara kembarku. Kami dikucilkan. Teman-temanku sering sengaja
mencari kesalahanku saat bertugas sebagai misdinar hanya supaya mereka punya alasan untuk
membentak-bentak aku dan adikku. Akupun tumbuh menjadi orang yang pendiam dan tak
percaya diri. Ketika duduk di bangku SMK aku kembali mengalami hal yang sama.
Pengalaman dikucilkan dan ditolak membuatku selalu takut dan terus mengejar
penerimaan. Aku terus memakai topeng hanya supaya aku terus diterima. Aku terus bersikap
baik dan manut, tak pernah menolak, supaya teman-temanku senang bergaul denganku. Aktif
dalam organisasi/komunitas hanya untuk terus memenuhi kebutuhanku akan penerimaan.
Begitupun aku ingin mencapai kesuksesan dengan berwirausaha sendiri supaya aku dipandang
WOW dan berhasil.
Maka ketika aku sudah terus bersikap baik, manut, namun temanku tak membalas
dengan memperhatikanku, aku akan mudah merasa kecewa dan ngambek. Ketika teman-teman
komunitas membuatku kecewa, maka aku menjadi malas bergabung lagi dengan mereka. Atau
kalaupun aku tetap bergabung, maka aku akan setengah-setengah, tak sepenuh hati. Dan ketika
usaha yang kubangun dipandang remeh, maka aku mudah menyerah, lalu mandeg tak berani
bergerak maju. Karena orang lain, pekerjaan dan segala yang kulakukan hanyalah sarana
bagiku mengejar kebutuhanku untuk diterima, diakui dan dipuji.