Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Toraks

2.1.1 Definisi

Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang

mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung

berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma

tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman

mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih

baru, pendekatan invasif yang minimal, dan terapi farmakologis memberikan

kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

cedera ini (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014; Lugo,, et al., 2015).

Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera

berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan

Pneumotoraks juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien

trauma toraks. Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama

beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik

imaging diagnostik dan peningkatan dalam pemahaman patofisologi. Pemahaman

ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma

toraks sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Mattox, et al.,

2013; Marc Eckstein, 2014).

8
9

2.1.2 Epidemiologi

Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat semakin

tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi diiringi oleh

peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Trauma toraks secara langsung

menyumbang 20% sampai 25% dari seluruh kematian akibat trauma, dan

menghasilkan lebih dari 16.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat

begitu pula pada negara berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum

dari cedera yang menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana

kematian langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau

aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang

diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya disebabkan

oleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung, sumbatan jalan napas, dan

perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya kasus trauma toraks

reversibel atau sementara tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan

tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang bertugas di unit gawat darurat

mengetahui lebih banyak mengenai patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis

penanganan lebih lanjut (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; V

Shah & Solanki, 2015).

Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan mengalami

cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35% kasus utama, dan 5%

flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu menunjukkan tanda klinis yang

jelas dan sering dengan mudah saja diabaikan selama evaluasi awal (Eckstein &

Handerson, 2014).
10

Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan

adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien

dengan trauma. Trauma toraks dapat meningkatkan kematian akibat

Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest

69% (Mefire, et al., 2010; Saaiq, et al., 2010).

Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% - 80% dari keseluruhan

trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera

ekstratoraks. Trauma tumpul pada toraks yang menyebabkan cedera biasanya

disebabkan oleh salah satu dari tiga mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada,

cedera akibat penekanan, ataupun cedera deselarasi (Saaiq, et al., 2010).

2.1.3 Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan

trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering

adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam

trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu

depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus

dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang

memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma

tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah

seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi

tinggi seperti pada tembakan senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain
11

adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru yang bisa menyebabkan

Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (Saaiq, et al., 2010).

Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan

sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan

ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera

(Gallagher, 2014).

2.1.4 Anatomi Dinding Toraks

Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada

bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih

panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan

mediastinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua

paru - paru. Di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu;

sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada

yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt,

2013). Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan

mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati oleh

dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh struktur

vaskuler kearah pusat kompartemen kardiovaskuler. Sebagai tambahan, trakea dan

bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam

rongga toraks. ( Ombregt, 2013 ).

Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri

dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di
12

anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang

kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru,

hati dan Lien seperti gambar 2.1 dan gambar 2.2. ( Drake, et al., 2010; Hansen,

2014)

Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior

disusun oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang

costa ( masing – masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar

yang membentang pada ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan,

menggerakkan kosta dan memberikan kekuatan pada ruang interkosta. Bagian

depan dibatasi oleh sternum yang terdiri dari manubrium sternum, body sternum

dan processus xiphoideus. (Drake, et al., 2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen,

2014).

Gambar 2.1
Anatomi Organ Visceral pada Rongga Dada anterior view
(Hansen, 2014)
Sumber : Netter’s Atlas of Human Anatomy; 2014
13

Gambar 2.2
Batas tulang pada dinding toraks (Drake, et al., 2010)

Gambar 2.3
Batas dinding toraks (Drake, et al., 2010)
14

Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan menyokong

spatium interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan tulang rusuk, dan

otot-otot yang melintang melewati beberapa tulang rusuk di antara perlekatan

tulang kosta seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding dada, bersama dengan

otot-otot di antara vertebra dan tulang rusuk secara posterior ( m.levatores

costarum, m.serratus posterior superior, dan m.serratus posterior inferior)

merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga merubah volume torakal

selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat dinding thorakal seperti gambar

2.4 (Drake, et al., 2010).

Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap

spatium interkostalis yang berjalan di antara tulang rusuk yang bersebelahan.

Setiap otot pada kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka masing-

masing:

 m.interkostal eksternal merupakan yang paling superfisial

 m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan

profundal

Muskulus interkostal diinervasi oleh nervus interkostal terkait. Sebagai suatu

kelompok otot. Otot-otot interkostal menyediakan sokongan struktural untuk

spatium interkostalis selama respirasi. Mereka juga menggerakkan tulang rusuk.

Sebelas pasang m.interkostal eksternal memanjang dari tepi bawah tulang rusuk

yang berada di atas hingga tepi atas tulang rusuk di bawahnya. Otot-otot ini

memanjang mengelilingi dinding toraks dari regio tuberkel rusuk hingga kartilage

kosta, dimana tiap lapisan berlanjut sebagai suatu aponeurosis jaringan ikat tipis
15

yang dinamai membrane interkostal eksternal. Muskulus interkostal eksternal

merupakan otot yang paling aktif saat inspirasi.

Sebelas pasang m.interkostal internal berjalan diantara tepi lateral terbawah

lekuk kosta tulang rusuk, hingga permukaan superior rusuk di bawahnya. Otot-

otot ini memanjang dari regio parasternal, dimana mereka berjalan diantara

kartilage kosta yang bersebelahan, menuju angulus rusuk di posterior. Lapisan ini

berlanjut ke medial menuju kolumna vertebralis, pada setiap spatium interkostalis,

sebagai membrane interkostal internal. Serabut otot ini berjalan kearah yang

berlawanan dengan m.interkostal eksternal. Muskulus interkostal internal

merupakan otot yang paling aktif selama ekspirasi. (Drake, et al., 2010)

Muskulus interkostal profunda memiliki serabut dengan orientasi yang sama

dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding toraks

lateral. Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan

sepanjang tepi medial lekuk kosta. Satu hal yang penting disini, berkas

neurovaskular yang terkait dengan spatium interkostalis berjalan mengelilingi

dinding toraks pada suatu bidang di antara muskulus interkostal profunda dan

internal

Muskulus subkostal berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal

profunda, merentang diantara multiple rusuk, dan jumlahnya semakin banyak di

regio bawah dinding toraks posterior seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot - otot ini

memanjang dari permukaan interna satu rusuk sampai dengan permukaan interna

rusuk kedua atau ketiga di bawahnya. Serabut ototnya paralel terhadap jalur
16

m.interkostal internal dan memanjang dari angulus rusuk menuju posisi yang

lebih medial pada rusuk di bawahnya. (Drake, et al., 2010)

Muskulus torakal transversus terdapat pada permukaan dalam dinding toraks

anterior dan berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda seperti

gambar 2.4 dan 2.5. Muskulus torakal transversus muncul dari aspek posterior

prosesus xiphoideus, pars inferior badan sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati

di bawahnya. Otot - otot ini berjalan secara superior dan lateral untuk memasuki

tepi bawah kartilage kostal tulang rusuk III hingga VI. Muskulus torakal

transversus terletak di bawah pembuluh - pembuluh torakal internal dan mengunci

pembuluh ini ke dinding toraks.

Gambar 2.4 Musculature Dinding Toraks ( Putz,2006 )


17

Gambar 2.5 Otot Interkosta (Drake, et al., 2010)

Suplai arterial

Pembuluh-pembuluh darah yang memvaskularisasi dinding toraks terutama

terdiri dari arteri interkostal posterior dan anterior, yang berjalan mengelilingi

dinding toraks dalam spatium interkostalis di antara rusuk - rusuk yang

bersebelahan seperti gambar 2.6. Arteri – arteri ini berasal dari aorta dan arteri

torakal internal, yang berbelok kemudian muncul dari arteri subklavian pada

dasar leher. Bersama - sama, arteri - arteri interkostal membentuk pola seperti

keranjang untuk vaskularisasi seluruh dinding dada.

Arteri interkostal posterior berasal dari pembuluh-pembuluh yang

berhubungan dengan dinding toraks posterior. Dua arteri interkostal posterior


18

yang paling atas pada tiap sisinya berasal dari arteri interkostal suprima, yang

turun memasuki toraks sebagai percabangan trunkus kostoservikal pada leher.

Trunkus kostoservikal merupakan suatu cabang posterior dari arteri subklavian.

Sembilan pasang arteri interkostal posterior sisanya berasal dari permukaan

posterior aorta torakalis. Oleh karena aorta terletak pada sisi kiri kolumna

vertebralis, maka pembuluh-pembuluh interkostal posterior berjalan menuju sisi

kanan dinding toraks dengan menyeberang midline anterior dari badan vertebra,

sehingga pembuluh ini lebih panjang daripada pembuluh pada sisi kiri. Selain

memiliki banyak percabangan yang menyuplai berbagai komponen dinding

toraks, arteri interkostal posterior juga memiliki percabangan yang mengiringi

cabang kutaneus lateral dari nervus interkostal yang menuju area superfisial.

Arteri interkostal anterior berasal dari percabangan lateral arteri torakal

internal, baik secara direk maupun indirek. Setiap arteri interkostal anterior

muncul sebagai suatu cabang mayor dari arteri subkalvian pada leher. Arteri ini

berjalan secara anterior melewati kubah servikal pleura dan turun secara vertikal

melalui apertura torakal superior dan sepanjang aspek profunda dari dinding

torakal anterior. Pada tiap sisi, arteri interkostal anterior terletak posterior

terhadap kartilage kostal dari enam rusuk teratas dan sekitar 1 cm lateral terhadap

sternum. Pada sekitar level spatium interkostalis keenam, arteri ini bercabang

menjadi dua cabang terminal:

 arteri epigastrik superior, yang lanjut berjalan secara inferior menuju

dinding abdomen anterior


19

 arteri muskuloprenikus, yang berjalan sepanjang tepi kostal, melewati

diafragma, dan berakhir di dekat spatium interkostal terakhir

Arteri interkostal anterior yang menyuplai enam spatium interkostal teratas

muncul sebagai cabang lateral dari arteri torakal internal, sedangkan yang

menyuplai spatium yang lebih bawah berasal dari arteri muskuloprenikus.

Pada tiap spatium interkostalis, biasanya terdapat dua arteri interkostal anterior:

 satu yang lewat di bawah tepi rusuk di atasnya;

 satu lagi yang lewat di atas tepi rusuk di bawahnya dan kemudian bertemu

dengan sebuah kolateral percabangan arteri interkostal posterior

Distribusi pembuluh - pembuluh interkostal anterior dan posterior saling tumpang

tindih dan dapat berkembang menjadi hubungan anastomosis. Arteri interkostal

anterior pada umumnya berukuran lebih kecil dari pembuluh posterior

Gambar 2.6 Arteri Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)


20

Suplai Vena

Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai

arterialnya. Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase

menuju sistem vena atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan

vena brakhiosefalika dalam leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri

akan bergabung dan membentuk vena interkostal superior kiri, yang akan

didrainase ke dalam vena brakhiosefalik kiri. Begitu pula dengan vena-vena

interkostal posterior di sisi kanan dapat bergabung dan membentuk vena

interkostal superior kanan, yang akan mengalir ke dalam vena azygos

Gambar 2.7 Vena Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)


21

Drainase Limfatik

Pembuluh limfatik pada dinding toraks didrainase terutama ke dalam

limfonodi yang berhubungan dengan arteri torakal internal (nodus parasternal),

dengan kepala dan leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus

diafrgamatikus). Nodus diafragmatikus terletak posterior terhadap xiphoideus dan

pada lokasi dimana nervus phrenikus memasuki diafragma. Mereka juga ada pada

region - regio dimana diafragma melekat dengan kolumna vertebralis. Nodus

parasternal didrainase ke dalam trunkus bronkhomediastinal. Nodus interkostal

pada toraks atas juga didrainase ke dalam trunkus bronkhomediastinal, sedangkan

nodus interkostal di toraks bawah didrainase ke dalam duktus torakalis. Nodus

yang berkaitan dengan diafragma terinterkoneksi dengan nodus parasternal,

prevertebral, juxtaesofageal, brakhioesefalik, dan aortik lateralis. Regio superfisial

dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi aksilaris pada nodus aksila

atau parasternal seperti gambar 2.8.

Innervasi

Innervasi dinding toraks terutama oleh nervus interkosta, yang merupakan

ramus anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di

antara rusuk-rusuk yang bersebelahan seperti gambar 2.9. Percabangan

terbesarnya adalah cabang kutaneus lateral, yang menembus dinding toraks lateral

dan terbagi menjadi cabang anterior dan cabang posterior yang menginervasi

lapisan kulit di atasnya. Nervus interkostal berakhir sebagai cabang kutaneus

anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage kosta yang
22

bersebelahan, ataupun secra lateral terhadap midline, pada dinding abdomen

anterior, untuk menyuplai kulit pada toraks, nervus interkostal membawa :

 Inervasi somatik motorik kepada otot – otot dinding toraks ( intercostal,

subcostal, and transversus thoracis muscles )

 Innervasi somatik sensoris dari kulit dan pleura parietal;

 Serabut simpatis postganglionic ke perifer.

Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh

cabang kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi

dinding toraks, nervus interkosta juga menginnervasi area lainnya :

 Ramus anterior T1 berkontribusi ke pleksus brakhialis

 Cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis kedua berkontribusi

kepada innervasi kutaneus permukaan medial lengan atas

 Nervus interkostal bawah menyuplai otot, kulit, dan peritoneum dinding

abdomen
23

Gambar 2.8 Sistem Limfatik Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Gambar 2.9 Inervasi Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)


24

2.1.5 Patofisiologi

Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi

pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -

otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif

dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru

selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda

dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu

dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding

dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura

berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun

udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru

dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,

laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta /

pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara

normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner

dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.

Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi

keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014;

Lugo,, et al., 2015).

Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa

faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain

yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien

trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi
25

respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung.

Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan fungsi

kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis

(Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015)

Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai

berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan

anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan

kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan

komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang

lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada

jantung (Saaiq et al., 2010; Lugo, et al., 2015 ).

Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan

sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung

kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi

ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu

penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan

pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013; Lugo,, et al., 2015).

2.1.6 Komplikasi

Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,

pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum

20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan
26

menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade

terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang

sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011; Lugo, et al.,

2015 ; El-Menyar, et al., 2016).

Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang

paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,

perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,

subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma

ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang

cenderung sedikit ( Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015 ).

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun

tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.

Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding

dada (Saaiq, et al., 2010; Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada

fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau

pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk

bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis

dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin, et al., 2015 ; Lugo, et al.,

2015).

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan

patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral.

Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi

penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan


27

pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (Wanek & Mayberry, 2004;

Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015)

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali

disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus

dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium

(dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan

dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic,

et al., 2012).

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling

umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada

dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim,

edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian

paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila

pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT

scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi

mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015).

Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks

sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.

Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan

Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan

terbentuknya emfisema subkutis. Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks

terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba menyebabkan
28

terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur

alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke

mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu

Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan

tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan

tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana

bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi.

Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh

dispneu (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015).

Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke

rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau

mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus

berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan dapat terjadi

hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015). Terjadinya

hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100

mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut mengindikasikan untuk

dilakukan thoracotomy emergency karena sangat beresiko mengancam nyawa

bahkan kematian (Cobanoglu, et al., 2012).

2.1.7 Mortalitas

Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma toraks

dan sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh dunia. Etiologi

dan pola trauma tumpul toraks bervariasi tergantung pada mekanisme cedera dan
29

faktor sosio - ekonomi. Kecelakaan kendaraan bermotor meliputi 60% - 70% dari

total keseluruhan trauma toraks. Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul

toraks tergantung terutama pada keparahan cedera dan adanya cedera terkait

dengan sistem organ lainnya (Huber, et al., 2014; El-Menyar, et al., 2016).

Pada suatu penelitian di daerah Timur Tengah Arab yang menilai presentasi

klinis dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks berdasarkan

mekanisme cedera, didapatkan mayoritas dari korban kecelakaan lalu lintas adalah

laki - laki muda. Pada analisis ini, kontusio paru merupakan tipe trauma tumpul

toraks yang paling umum, diikuti oleh fraktur tulang rusuk, dimana hal ini

konsisten dengan penelitian lainnya. Penelitian sebelumnya melaporkan

hemotoraks dan pneumotoraks sebagai lesi yang paling sering pada trauma

tumpul toraks. Penelitian ini telah mengobservasi suatu proporsi cedera

ekstratoraks yang lebih tinggi di antara pasien trauma tumpul toraks, dimana hal

ini dapat meningkatkan risiko komplikasi. Adanya trauma kepala

dipertimbangkan sebagai prediktor tunggal mortalitas pada pasien trauma tumpul

toraks. Cedera pada hepar dan lien juga meningkatkan risiko mortalitas tiga kali

lipat (Aleassa, et al., 2013; El-Menyar, et al., 2016).

Walaupun terjadi penurunan yang tajam pada angka mortalitas pneumonia

dan ARDS beberapa tahun terakhir ini, komplikasi ini masih menyumbang angka

mortalitas sebesar 20% - 43%. Kontusio pulmonum merupakan cedera intratoraks

tersering yang diasosiasikan dengan mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks,

dimana cedera kepala menjadi cedera ekstratoraks tersering yang dikaitkan

dengan mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks. Puncak mortalitas


30

didapatkan pada hari pertama pasca trauma, merefleksikan tingkat keparahan

cedera dan perawatan pre-rumah sakit, tanpa menghiraukan mekanisme

kecelakaan lalu lintas (El-Menyar, et al., 2016; Aleassa, et al., 2013).

2.1.8 Tatalaksana

Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien

trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of

cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability

assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010;

Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al., 2015).

Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus

dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang

mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension

Pneumotoraks , pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif,

tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang

mengancam nyawa sudah ditangani, maka pemeriksaan sekunder dari kepala

hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest survey harus dilakukan.

Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio

pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik,

disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,

2015).

Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama

untuk intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi

utama dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif


31

merupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks.

Ventilator harus digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan

takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada

pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail chest

yang disertai dengan gangguan hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,

2015).

Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani

dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube.

Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat

ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan menunda

pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap pada

dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya tension

Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube, torakotomi,

dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq, et al., 2010;

Lugo, et al., 2015).

2.2 Sistem Skoring Trauma Toraks

2.2.1 Chest Trauma Score (CTS)

Beberapa sistem penilaian telah dibuat untuk mengevaluasi prognosis pasien

setelah terjadinya trauma pada toraks seperti Pulmonary Contusion Score (PCS)

atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari prognosis

yang menilai mortalitas dan morbiditas setelah trauma tumpul toraks. Trauma
32

multipel toraks dan organ - organ di dalamnya ditemukan pada mayoritas pasien

setelah trauma tumpul toraks (Huber, et al., 2014; Chen, et al., 2014).

Beberapa faktor telah diidentifikasi yang menyebabkan morbiditas dan

mortalitas pasien trauma toraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang

kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari

kontusio pulmonum. Faktor - faktor tersebut diatas berhubungan dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis, dan

emboli pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5 berhubungan

dengan outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok pasien tersebut

mempunyai risiko empat kali lipat kematian dibandingkan dengan kelompok

pasien dengan CTS kurang dari 5 (Chen, et al., 2014).

Trauma toraks yang terlokalisir terjadi bersamaan dengan trauma tumpul pada

toraks. Kebanyakan kasus tersebut berhubungan dengan trauma ringan seperti

fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma oraks berat dengan AIS > 3

terjadi pada 80% - 90% pasien dengan multiple trauma (Chen, et al., 2014).

Sistem CTS dapat memprediksi kemungkinan pasien membutuhkan ventilasi

mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi peningkatan

risiko mortalitas dan perlunya intubasi (Pressley, et al., 2012).

Karena karakteristik yang homogen dari pasien trauma yang datang dengan

poli trauma dengan komorbid yang multipel, CTS tidak dapat mengidentifikasikan

setiap outcome yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan, karena pola manajemen

trauma, pasien selalu overtriage sebagai upaya untuk mencegah cedera yang

terlewat, CTS dibuat untuk meningkatkan sensitivitas dengan spesifisitas yang


33

lebih rendah untuk mencegah terlewatnya pasien dengan kemungkinan outcome

yang lebih jelek. Pada penelitian Chen, et al. (2014) nilai sensitivitas receiver

operating characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory failure sebesar 0,72.

CTS adalah suatu metode yang mudah dan cepat untuk menilai keparahan relatif

dari pasien trauma toraks. Meskipun tidak ada satupun sistem penilaian yang

dapat meramalkan secara sempurna dari outcome, CTS menyediakan suatu

metode yang mengelompokkan trauma dinding Toraks sehingga bisa potensi

untuk mengintervensi lebih awal pasien di dalam rumah sakit (Chen, et al., 2014).

Chest Trauma Score dibuat dari beberapa faktor yang diidentifikasikan

sebelumnya berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, termasuk umur,

jumlah fraktur tulang rusuk, kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau

tidak (Pressley, et al., 2012).

Tabel 2.1.
Sistem Chest Trauma Score (Chen, et al., 2014)
Age score
<45 th 1
45-65 th 2
>65 th 3
Pulmonary contusion score
None 0
Unilateral minor 1
Bilateral minor 2
Unilateral mayor 3
Bilateral mayor 4
Rib score
<3 rib fracture 1
3-5 rib fracture 2
>5 rib fracture 3
Bilateral rib fracture score
No 0
Yes 2
34

2.2.2 Abbreviated Injury Scale (AIS)

Abbreviated Injury Scale memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan

beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome.

AIS sendiri pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971 dan merupakan dasar

dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan.

AIS - 71 hanya untuk trauma tumpul, AIS - 85 meliputi trauma penetrating dan

AIS - 90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari

banyak sistem skoring trauma. Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap

organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS seperti pada table 2.2

(Chawda, et al., 2004).

Tabel 2.2.
Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (Chawda, et al., 2004)

Injury AIS
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
5 Critical
6 Unsurvivable

Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian

tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal.

Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga

bagian tubuh yang mengalami trauma terberat dikuadratkan dan dijumlahkan

sehingga menghasilkan ISS seperti table 2.3 (Chawda, et al., 2004).


35

Tabel 2.3
Abbreviated Injury Scale (AIS) Toraks (Chawda, et al., 2004)

AIS Score Thorax


1 Rib fracture, Thoracic spine strain, Rib cage contusion,
Sternal contusion
Minor
2 2-3 rib fracture, Sternum fracture, Dislocation or fracture
spinous or transverse proces T-spine, Minor compression
Moderate fracture (≤20%) T-spine
3 Lung contusion ≤ 1 lobe unilateral hemato or
pneumothorax, Diagphragm rupture, ≥ 4 rib fracture, Intial
severe not live tear/minor laceration/thrombosis inhalation burn, Minor
threatening dislocation or fracture of lamina body, Pedicle or facet of T-
spine, Compression fracture >1 vertebra or more than 20%
height cord contusion with transient, neurological signs
4 Multilobar lung contusion or laceration,
Hemopneumomediastinum bilateral Hemopneumothorax
severe live flail chest, Myocardial contusion, Tension pneumothorax >
threatening 1000cc, Tracheal fracture, Intimal aortic, tear major
laceration, Subclavian or innominate, Incomplete cord
syndrome
5 Major aortic laceration, Cardiac laceration, Rupture
bronchus/trachea
critical survival Flail chest/inhalation burn requiring mechanical support,
uncertain Laryngotrach separation, Multilobar lung laceration with
tension pneumothorax hemopneumomediastinum or >
1000cc hemothorax, cord laceration or complete cord lesion

2.2.3 Injury Severity Score (ISS)

Skor injury severity score merupakan suatu skoring klinis untuk mengevaluasi

tingkat keparahan trauma. Hal ini berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, dan

periode rawat inap pasca trauma. Kuantifikasi angka survival pasien trauma

menjadi dasar untuk mengevaluasi efektivitas perawatan kesehatan yang diberikan

dan efikasi alternatif terapeutik yang baru (Chawda, et al., 2004; Domingues, et

al., 2011; Ehsai, et al., 2014).


36

Skoring ISS ini digunakan untuk menentukan “trauma mayor”. Koding

cedera traumatik dengan ISS didasarkan pada lokasi anatomis dari enam zona

tubuh. Zona tubuh ini meliputi: 1) kepala atau leher termasuk spina servikal, 2)

wajah termasuk tulang wajah, hidung, mulut, mata, dan telinga, 3) dada, spina

torakal, dan diafragma, 4) abdomen atau pelvis, organ abdominal, dan spina

lumbalis, 5) ekstremitas, tulang pelvis, 6) eksternal. Abbreviated Injury Scale

(AIS) didasarkan pada anatomi dari cedera dan sistem skoring ini

mengklasifikasikan tiap cedera pada zona tubuh berdasarkan keparahan pada

suatu skala angka enam. Oleh karena itu, untuk menghitung ISS, kode AIS

tertinggi diambil dari tiga zona tubuh yang mengalami cedera terparah. Lalu, tiap

kode AIS dikuadratkan kemudian dijumlahkan (ISS=A2+B2+C2, dimana A, B, dan

C merupakan skoring AIS untuk tiga regio tubuh ISS yang mengalami cedera

paling parah). Skoring ISS berkisar antara 1 hingga 75 dan bila salah satu dari tiga

skor adalah 6 maka skor secara otomatis dihitung menjadi 75. Skor 6 atau

unsurvivable dapat mengindikasikan penghentian untuk perawatan lebih lanjut.

Suatu trauma mayor ditentukan bila skor ISS lebih dari 15 (Domingues, et al.,

2011; Ehsaei, et al., 2014).

Walaupun ISS telah menjadi indeks terbaik untuk menentukan tingkat

keparahan trauma selama hampir 20 tahun, namun skoring ini hanya meliputi satu

cedera yang paling parah di setiap regio tubuh, bagaiamanapun, pasien politrauma

dapat memiliki dua cedera terparah pada satu regio tubuh yang sama. Pada kasus

seperti ini, ISS akan meng-underestimate tingkat keparahan trauma (Domingues,

et al., 2011).
37

2.2.4 Thoracic Trauma Severity Score (TTSS)

Data menunjukkan bahwa untuk mendiagnosa dan memberikan terapi pada

pasien dengan trauma toraks masih mengikuti standar yang sangat luas. System

skoring yang dapat membantu dalam memprediksi komplikasi pada pasien dengan

trauma Toraks sangat diperlukan (Aukema, et al., 2011). Untuk hal tersebut pada

tahun 2000 Pape dan kawan - kawan di Jerman mengembangkan suatu scoring

system baru yang bernama Thoracic Trauma Severity Score dengan parameter

yang terdiri dari umur pasien, parameter resusitasi, lesi intraToraks, cedera yang

melibatkan dinding dada, cedera yang melibatkan pleura, ratio dari PaO2/FIO2.

Rontgen dada dapat memberikan data awal pada skor ini. Tujuan

dibuatnya skor ini untuk membantu dokter ataupun tenaga medis pada unit gawat

darurat mengidentifikasi pasien yang mengalami resiko tinggi terjadinya

komplikasi pada trauma toraks. Skor ini dirasakan lebih baik dalam menentukan

keparahan dari cedera toraks dibandingkan dengan skor trauma secara umum

seperti ISS dan TRISS. Grading dari TTSS dapat dilihat pada Tabel 2.4

(Hildebrand, et al., 2002; Aukema, et al., 2011; Subhani, et al., 2014).


38

Tabel 2.4
Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) (Aukema, et al., 2011)

Parameter Finding Points


Age < 30 years of age 0
30 to 41 years of age 1
42 to 54 years of age 2
55 to 70 years of age 3
> 70 years of age 5
PaO2 to FIO2 ratio >400 0
301 – 400 1
201 – 300 2
150 – 200 3
<150 5
Pulmonary Contusion None 0
1 lobe,unilateral 1
1 lobe, bilateral 2
2 lobes,unilateral 2
< 2 lobes bilateral 3
≤ 2 lobes,bilateral 5
Pleural involvement None 0
Pneumothorax 1
Unulateral hemothorax or hemopneumoyhorax 2
Bilateral hemothorax or hemopneumoyhorax 3
Tension pneumothorax 5
Rib fractures None 0
1 to 3 1
3 to 6( will use 4 to 6),unilateral 2
> 3,bilateral 3
flail chest 5
Notes : for calculation of the total score,all categories are summed; a minimum
value of o points and a maximum value of 25 points can be achieved
Penerapan dari skor ini lebih pada peningkatan resiko kematian seiring

dengan meningkatnya skor. Skor 0-5 pada pasien trauma toraks direkomendasikan

untuk rawat jalan, skor 6-10 diindikasikan untuk rawat inap, skor 11- 20

diindikasikan untuk perawatan di ruang intensif dan diatas itu 21-25 merupakan

kasus yang fatal kebanyakan mengalami kematian segera (Subhani, et al., 2014).
39

2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

2.3.1 Definisi ARDS

Awalnya gejala ARDS disebut adult respiratory distress syndrome, namun

saat ini istilah tersebut telah diganti dengan acute respiratory distress syndrome.

ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967, ketika Asbaugh dan

rekannya mendeskripsikan 12 pasien dengan acute respiratory distress, refractori

sianosis terhadap terapi oksigen, penurunan komplians paru, infiltrat menyeluruh

pada rongent toraks. Pada tahun 1988 definisinya diperluas dengan

mempertimbangkan kerusakan fisiologi respirasi menggunakan sistem scoring

kerusakan paru. Sistem scoring ini berdasarkan tekanan positif akhir ekspirasi,

rasio dari PaO2/FiO2, komplians paru dan derajat infiltrat pada radiografi. Pada

tahun 1994 definisi baru direkomendasikan berdasarkan American-European

Consensus Conference Committee (AECC). Konsensus ini memiliki dua

keuntungan. Pertama, dapat mengetahui variasi keparahan cedera paru secara

klinis, pasien dengan hipoksia ringan (PaO2/FiO2 <300) merupakan acute lung

injury (ALI) dan hipoksia berat (PaO2/FiO2 <200) merupakan ARDS. Kedua,

mudah digunakan pada situasi klinis. Gambaran definisi dapat dilihat pada tabel

2.5 (Ware & Matthay, 2000).

Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan sindrom yang ditandai

oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar - kapiler terhadap air, larutan,

dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang

mengandung protein dalam parenkim paru (Sudoyo, 2010).


40

Acute Respiratory Distress Syndrome juga dikenal dengan edema paru non

kardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan

penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit

atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih

tinggi dari tekanan jalan nafas normal (Muttaqin, 2008).

Acute Respiratory Distress Syndrome diakui sebagai bentuk yang paling parah

dari acute lung injury (ALI), suatu bentuk cedera difus alveolar. AECC

mendefinisikan ARDS sebagai kondisi akut yang ditandai dengan infiltrat paru

bilateral dan hipoksemia berat karena tidak adanya bukti untuk edema paru

kardiogenik. Menurut kriteria AECC, yaitu aspek keparahan hipoksemia

diperlukan untuk membuat diagnosis ARDS yang didefinisikan oleh rasio tekanan

parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dengan fraksi oksigen dalam

udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio PaO2/FIO2 kurang dari 200, dan ALI

kurang dari 300. Selain itu, edema paru kardiogenik harus disingkirkan baik oleh

kriteria klinis atau dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) lebih

rendah dari 18 mmHg (Milisavljevic, et al., 2012).


41

Tabel 2.5
Definisi ARDS (Ware & Matthay, 2000)
Reference Year Definition or Criteria Advantages Disadvantages
Petty and 1971 Severe First description, Lacks specific
Ashbaugh dyspnea,tachypnea Summarized criteria to identify
Cyanosis refractory to clinical features patients system-
oxygen therapy, well aticaly
Decreased pulmonary
compliance,Diffuse
alveolar infiltrates on
chest
radiography,Atelectasis,
vascular congestion,
hemorrhage,pulmonary
edema, and hyaline
membranes at autopsy
Murray et 1988 Preexisting direct or Include 4-point Lung injury score
al indirect lung injury,Mild lung injury not predictive of
to moderate or severe scoring system, outcome, Lack
lung injury, Specific clinical specific criteria to
Nonpulmonary organ cause of lung exclude a diagnosis
dysfunction injury. Includes ofcardiogenic
consideration of pulmonary edema
the pressence or
absence of
systemic discase
Bernard et 1994 Acute onset, Bilateral Simple,easy to Does not specify
al infiltrates on chest use,especially in cause, Does not
radiography, Pulmonary clinical consider the
artery wedge pressure ≤ trials,Recognizes presence or absence
18 mmhg or the absence the spectrum of of multiorgan
of clinical evidence of the clinical dysfunction,Radiog
left atrial hypertension, disorder raphic findings not
Acute Lung injury specific
considered to be present
if PaO2 : FiO2 ≤ 300,
Acute respiratory
distress syndrome
considered to be present
if PaO2 : FiO2 is ≤ 200
* PaO2 denotes partial pressure of arterial oxygen, and FiO2 fraction of inspired oxygen

The European Society of Intensive Care Medicine dengan dorongan dari the

American Thoracic Society serta the Society of Critical care Medicine berkumpul

pada sebuah acara panel ahli internasional untuk merevisi definisi ARDS. Panel
42

ini bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan dicetuskan sebuah definisi baru yaitu

definisi Berlin seperti tabel 2.6. Tujuan dari definisi Berlin adalah untuk mencoba

dan meningkatkan fisibilitas, realibilitas, penampakan dan validitas prediktif.

Yang menarik, definisi ini secara empiris mengevaluasi validitas prediktif untuk

mortalitas dibandingkan dengan definisi AECC, dengan menggunakan data yang

berasal dari uji klinis multi-pusat dan pusat tunggal. Terdapat beberapa

modifikasi kunci (oksigenasi, waktu onset akut, x-ray Toraks, dan kriteria

pulmonary wedge pressure) pada definisi Berlin jika dibandingkan dengan

definisi AECC (Fanelli, et al., 2013).

Pada definisi Berlin, tidak terdapat penggunaan dari terminologi Acute Lung

Injury (ALI). ARDS diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat

berdasarkan nilai rasio PaO2/FiO2. Yang penting adalah nilai rasio PaO2/FiO2

dianggap hanya dengan penggunaan CPAP atau nilai PEEP ≥ 5 cmH2O (Fanelli,

et al., 2013).

Waktu onset akut kegagalan pernafasan yang digunakan untuk diagnosis

ARDS jelas didefinisikan dalam definisi Berlin. Hal ini didefinisikan sebagai

paparan terhadap faktor risiko yang diketahui atau perburukan gejala respirasi

dalam satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang

menjelaskan asal kegagalan pernafasan akut (Fanelli, et al., 2013).

Radiografi Toraks dikarakteristikkan dengan opasitas bilateral yang

melibatkan paling tidak 3 kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi

pleura, atelektasis dan nodul. Jika tidak terdapat faktor risiko yang diketahui,

edema akibat kardiogenik harus diekslusi dengan evaluasi objektif dari fungsi
43

kardiak dengan menggunakan ekokardiografi. Akibatnya, pengukuran pulmonary

wedge pressure dapat ditinggalkan karena ARDS dapat terjadi bersamaan dengan

edema hidrostatik yang diakibatkan dari overload cairan atau kegagalan jantung

(Fanelli, et a., 2013).

Tabel 2.6
Definisi ARDS Berlin (Fanelli, et a., 2013)
Definisi Berlin mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome
Waktu Terjadi dalam 1 minggu pada setelah gangguan klinis yang
sudah diketahui sebelumnya atau baru atau gejala respirasi
yang mengalami perburukan.
Pencitraan Opasitas bilateral tidak secara penuh dijelaskan oleh efusi,
Toraks kolaps paru/lobaris, atau nodul.
Sumber Edema Kegagalan pernafasan tidak secara penuh dijelaskan oleh
kegagalan jantung atau kelebihan cairan.
Memerlukan penilaian objektif (contoh Ekokardiografi)
untuk mengeksklusi edema hidrostatik jika faktor risiko
tidak ada.
Oksigenasi
Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg, PEEP atau CPAP
≥5 cmH2O
Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O
Berat PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O

Definisi ARDS Berlin secara empiris mengevaluasi tes validitas prediktif

untuk mortalitas dengan menggunakan database klinis jumlah besar dari uji klinis

multi pusat dan pusat tunggal yang melibatkan 3.670 pasien. Laju mortalitas

ARDS dinyatakan sebesar 27% untuk ringan, 32% untuk sedang dan 45% untuk

berat. Selain itu, jumlah hari bebas ventilator menurun dari ARDS ringan ke berat,

dan stadium ARDS yang lebih berat dihubungkan dengan peningkatan progresif

paru yang ditemukan pada evaluasi CT scan dan shunt fraction (Fanelli, et al.,

2013).
44

2.3.2 Epidemiologi

Perkiraan angka kejadian yang akurat terhadap ALI dan ARDS sulit

ditentukan, hal ini dikarenakan oleh kurangnya definisi yang seragam dan

beranekaragam manifestasi klinis. Perkiraan berdasarkan National Institute of

Health (NIH), angka kejadian di Amerika 75 per 100.000 populasi. Pada

penelitian lain dilaporkan kejadian yang lebih rendah 1,5 – 8,3 per 100.000

populasi (Ware & Matthay, 2000).

Saat ini ARDS memiliki angka kematian yang cukup tinggi 40-60%.

Sebagian besar kematian disebabkan oleh sepsis atau multi organ dysfunction

(MOD) daripada penyebab respirasi primer. Walaupun terapi saat ini dengan

ventilasi tidal volume rendah, pada beberapa kasus kematian langsung disebabkan

oleh kerusakan paru. Pada pasien yang berhasil bertahan hidup dari ARDS fungsi

paru kembali normal dalam 6-12 bulan tanpa memperhatikan derajat keparahan

paru (Ware & Matthay, 2000).

2.3.3 Faktor Risiko

Predisposisi faktor risiko untuk ARDS diklasifikasikan menjadi dua

kelompok. Kelompok pertama terdiri dari kontusio pulmonum, aspirasi dari cairan

lambung, pneumonia, cedera inhalasi dan tenggelam. Pada kelompok kedua terdiri

dari syok traumatik berat yang memerlukan resusitasi cairan dan transfusi yang

berulang, trauma kepala berat, sepsis abdominal, luka bakar, emboli lemak dan

disseminated intravascular coagulation (DIC) (Milisavljevic, et al., 2012).


45

Tabel 2.7
Kelainan klinis yang berkaitan dengan ARDS (Fanelli, et al., 2013)

Direk Indirek
Pneumonia Sepsis non-pulmoner
Aspirasi isi gaster Trauma mayor
Cedera inhalasi Pankreatitis
Kontusio pulmoner Luka bakar berat
Vaskulitis pulmoner Syok non kardiogenik
Tenggelam Overdosis obat-obatan
Transfusi multipel atau Transfusion
associated acute lung injury (TRALI)

Faktor penghalang pertama untuk mencegah ARDS adalah identifikasi

pasien dengan resiko berkembangnya ARDS (Haro, et al., 2013). Faktor risiko

pada pasien dapat dibagi menjadi kondisi predisposisi yaitu sepsis, syok,

pneumonia, aspirasi, trauma dan operasi berisiko tinggi dan risiko yang dapat

dimodifikasi yaitu obesitas, penggunaan alkohol berlebihan, diabetes,

hipoalbumin, asidosis, takipneu. Walaupun dapat terjadi ARDS pada pasien

memiliki faktor risiko teori dari patogenesis ARDS dapat menjelaskan

perkembangan dari kerusakan paru awal menjadi ARDS ringan atau dari ARDS

ringan sedang menjadi ARDS berat. Untuk mengakhiri lingkaran pathogenesis ini

perlu melibatkan berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor eksternal (sepsis,

trauma dan syok) dan penatalaksanaan (Fanelli, et al., 2013; Haro, et al., 2013).
46

Gambar 2.10
Faktor predisposisi ARDS (Haro, et al., 2013)

2.3.4 Patofisiologi ARDS

Acute Respiratory Distress Syndrome dikaitkan dengan kerusakan difus

alveolar dan cedera paru endotel kapiler. Tahap awal digambarkan sebagai

eksudatif, sedangkan fase kemudian adalah fibroproliferative. ARDS awal

ditandai dengan peningkatan tahanan permeabilitas alveolar-kapiler,

menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli. Tahanan alveolar-kapiler

dibentuk oleh endotel mikrovaskuler dan lapisan epitel alveoli. Berbagai beban

mengakibatkan kerusakan baik pada endotel pembuluh darah atau epitel alveolar

dapat mengakibatkan ARDS (Corwin & Elizabeth, 2009).

Cedera pada endothelium kapiler akan meningkatkan permeabilitas kapiler

dan masuknya cairan yang kaya protein ke ruang alveolar. Cedera pada sel-sel

lapisan alveolar akan menyebabkan terjadinya edema paru. Ada dua jenis sel

epitel alveolar yaitu pneumosit tipe I, yang membentuk 90% dari epitel alveolar.
47

Kerusakan pneumosit tipe I memungkinkan peningkatan masuknya cairan ke

dalam alveoli dan penurunan pengeluaran cairan dari ruang alveolar. Pneumosit

tipe II relatif lebih tahan terhadap cedera. Namun, pneumosit tipe II memiliki

beberapa fungsi penting, termasuk produksi surfaktan, transportasi ion, dan

proliferasi dan diferensiasi menjadi pneumosit tipe l setelah cedera selular.

Kerusakan pneumosit tipe II menyebabkan penurunan produksi surfaktan

sehingga terjadi kerusakan alveolar. Gangguan pada proses perbaikan normal di

paru-paru dapat menyebabkan perkembangan fibrosis paru (Milisavljevic, et al.,

2012).

Seperti telah banyak diketahui, secara patologi anatomi kejadian ARDS

dibagi dalam 3 tahap yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan.

Tahap pertama yaitu tahap eksudatif ditandai dengan pembentukan cairan yang

berlebihan, protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan

menumpuk kedalam alveoli (Milisavljevic, et al., 2012).

Tahap kedua, tahap fibroproliferatif pada tahap ini akibat dari respon terhadap

stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa

perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti

jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat

berkurang sehingga tampilan penderita secara klinis seperti pneumonia

(Milisavljevic, et al., 2012).

Tahap ketiga yaitu tahap resolusi dan pemulihan. Pada beberapa penderita

yang dapat melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Edema

paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport
48

H2O melalui aquaporins pada pneumosit tipe I, sementara protein yang tidak larut

dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel

makrofag. Akhirnya reepitelialisasi terjadi pada pneumosit tipe II dari

pneumosit.yang berproliferasi pada dasar membarana basalis. Proses ini

distimulasi oleh growth factors seperti keratinocyte growth factor (KGF).

Neutrofil dibuang melalui proses apoptosis. Sedangkan beberapa penderita yang

lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal ini terjadi secara dini yaitu pada hari ke 5-6

setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar akan dipenuhi oleh sel mesenkim

dengan produk-produknya serta pembentukan pembuluh darah baru. Pembentukan

jaringan fibrosis berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk, apalagi bila

muncul prokolagen III secara dini pada cairan broncho alveolar lavage (BAL)

maka mortalitas akan meningkat. Perbedaaan alveolus normal dan alveolus ARDS

serta proses resolusinya dapat dilihat pada gambar 2.11 dan 2.12 (Milisavljevic, et

al., 2012).
49

Gambar 2.11
Sel alveolus normal (kiri) dan sel alveolus pada ARDS (kanan)
(Ware & Matthay, 2000)

Gambar 2.12
Fase resolusi pada ARDS (Ware & Matthay, 2000)
50

2.3.5 Manifestasi Klinis ARDS

Pada ARDS manifestasi klinis tergantung dari penyebabnya. Pada awal

setelah cedera (12-24 jam pertama) terjadi takipnea, takikardi, penggunaan otot

pernafasan tambahan dan pada auskultasi didapatkan ronki ekspirasi. Pada analisa

gas darah didapatkan hipoksia progresif, hiperkapnea dan asidosis. Pada

pemeriksaan rontgen Toraks didapatkan sebaran infiltrat, pada keadaan klinis

ARDS yang memburuk didapatkan infiltrat yang berkelompok (Milisavljevic, et

al., 2012).

Adapun hipoksia digunakan untuk menggambarkan kondisi rendahnya

kandungan oksigen jaringan ataupun sel akibat gangguan penghantaran oksigen

yang diperlukan pada proses oksidatif. Hipoksemia adalah jumlah oksigen di

darah arterial yang tidak adekuat akibat penurunan PaO2, SaO2, atau hemoglobin.

Adapun komponen yang harus dipenuhi pada hipoksia adalah kadar O2 rendah,

Cardiac output rendah, atau uptake oksigen pada tingkat jaringan rendah dengan

ada atau tanpa adanya hipoksemia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari pertukaran

udara yang tidak efektif disebut hipoksia (Milisavljevic, et al., 2012).

2.3.6 ARDS pada Trauma Toraks

Kontusio pulmonum merupakan cedera pada parenkim paru, yang

kemudian berkembang menjadi edema dan berkumpulnya darah di dalam

alveolus, sehingga menyebabkan berkurangnya struktur dan fungsi paru normal.

Cedera tumpul pada paru selama 24 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan
51

pertukaran gas dan menurunnya komplians paru. Juga menyebabkan terjadinya

reaksi inflamasi pada komponen darah pada paru, 50% - 60% pasien dengan

kontusio pulmonum bilateral akan menjadi ARDS (Miller, et al., 2002; Watkins,

et al., 2012).

2.3.7 Terapi Oksigen

Terapi oksigen adalah upaya pengobatan dengan obat oksigen untuk

mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan, dengan cara meningkatkan

masukkan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen

dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan atau ekstraksi

oksigen jaringan. Pada kondisi normal, sistem respirasi menghirup udara atmosfir

yang mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg, selanjutnya

sampai di alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHg akibat

pengaruh tekanan uap air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan

segera berdifusi ke dalam aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan

tekanan (Mangku & Senapathi, 2010).

Terapi oksigen merupakan upaya untuk meningkatkan masukan oksigen ke

dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik dan

meningkatkan daya ekstraksi oksigen jaringan. Secara umum indikasi klinis terapi

oksigen diberikan pada pasien yang menderita ketidakadekuatan oksigenasi

jaringan yang terjadi akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit

saraf otonom, trauma toraks atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS yang

dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. Teknik dan alat yang digunakan dalam
52

terapi oksigen hendaknya memenuhi kriteria yaitu, mampu mengatur konsentrasi

atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2), tidak menyebabkan akumulasi CO2,

tahanan terhadap pernafasan minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen

dan diterima serta enak dipakai oleh pasien. Beberapa alat yang umum digunakan

untuk terapi oksigen adalah kanul nasal mampu memberikan FiO2 pada kecepatan

aliran 1-6 liter/menit sebesar 24-44%, sungkup muka pada kecepatan aliran 5-8

liter/menit mampu memberikan FiO2 sebesar 40-60%, sungkup muka dengan

kantong penampung dapat memberikan FiO2 antara 60 - 90% (Mangku &

Senapathi, 2010).

Anda mungkin juga menyukai