TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma
mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih
cedera ini (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014; Lugo,, et al., 2015).
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera
berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan
Pneumotoraks juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien
beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik
ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma
8
9
2.1.2 Epidemiologi
Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat semakin
tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi diiringi oleh
menyumbang 20% sampai 25% dari seluruh kematian akibat trauma, dan
begitu pula pada negara berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum
dari cedera yang menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana
kematian langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau
aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang
diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya disebabkan
perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya kasus trauma toraks
tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang bertugas di unit gawat darurat
penanganan lebih lanjut (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; V
Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan mengalami
cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35% kasus utama, dan 5%
flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu menunjukkan tanda klinis yang
jelas dan sering dengan mudah saja diabaikan selama evaluasi awal (Eckstein &
Handerson, 2014).
10
adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien
Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest
trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera
disebabkan oleh salah satu dari tiga mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada,
2.1.3 Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan
trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus
memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma
seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi
tinggi seperti pada tembakan senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain
11
adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru yang bisa menyebabkan
sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera
(Gallagher, 2014).
bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih
panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan
paru - paru. Di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu;
sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada
yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt,
2013). Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan
mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati oleh
dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh struktur
bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di
12
anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang
kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru,
hati dan Lien seperti gambar 2.1 dan gambar 2.2. ( Drake, et al., 2010; Hansen,
2014)
Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior
disusun oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang
costa ( masing – masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar
yang membentang pada ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan,
depan dibatasi oleh sternum yang terdiri dari manubrium sternum, body sternum
dan processus xiphoideus. (Drake, et al., 2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen,
2014).
Gambar 2.1
Anatomi Organ Visceral pada Rongga Dada anterior view
(Hansen, 2014)
Sumber : Netter’s Atlas of Human Anatomy; 2014
13
Gambar 2.2
Batas tulang pada dinding toraks (Drake, et al., 2010)
Gambar 2.3
Batas dinding toraks (Drake, et al., 2010)
14
Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan menyokong
spatium interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan tulang rusuk, dan
tulang kosta seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding dada, bersama dengan
merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga merubah volume torakal
selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat dinding thorakal seperti gambar
Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap
Setiap otot pada kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka masing-
masing:
profundal
Sebelas pasang m.interkostal eksternal memanjang dari tepi bawah tulang rusuk
yang berada di atas hingga tepi atas tulang rusuk di bawahnya. Otot-otot ini
memanjang mengelilingi dinding toraks dari regio tuberkel rusuk hingga kartilage
kosta, dimana tiap lapisan berlanjut sebagai suatu aponeurosis jaringan ikat tipis
15
lekuk kosta tulang rusuk, hingga permukaan superior rusuk di bawahnya. Otot-
otot ini memanjang dari regio parasternal, dimana mereka berjalan diantara
kartilage kosta yang bersebelahan, menuju angulus rusuk di posterior. Lapisan ini
sebagai membrane interkostal internal. Serabut otot ini berjalan kearah yang
merupakan otot yang paling aktif selama ekspirasi. (Drake, et al., 2010)
dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding toraks
lateral. Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan
sepanjang tepi medial lekuk kosta. Satu hal yang penting disini, berkas
dinding toraks pada suatu bidang di antara muskulus interkostal profunda dan
internal
regio bawah dinding toraks posterior seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot - otot ini
memanjang dari permukaan interna satu rusuk sampai dengan permukaan interna
rusuk kedua atau ketiga di bawahnya. Serabut ototnya paralel terhadap jalur
16
m.interkostal internal dan memanjang dari angulus rusuk menuju posisi yang
anterior dan berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda seperti
gambar 2.4 dan 2.5. Muskulus torakal transversus muncul dari aspek posterior
prosesus xiphoideus, pars inferior badan sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati
di bawahnya. Otot - otot ini berjalan secara superior dan lateral untuk memasuki
tepi bawah kartilage kostal tulang rusuk III hingga VI. Muskulus torakal
Suplai arterial
terdiri dari arteri interkostal posterior dan anterior, yang berjalan mengelilingi
bersebelahan seperti gambar 2.6. Arteri – arteri ini berasal dari aorta dan arteri
torakal internal, yang berbelok kemudian muncul dari arteri subklavian pada
dasar leher. Bersama - sama, arteri - arteri interkostal membentuk pola seperti
yang paling atas pada tiap sisinya berasal dari arteri interkostal suprima, yang
posterior aorta torakalis. Oleh karena aorta terletak pada sisi kiri kolumna
kanan dinding toraks dengan menyeberang midline anterior dari badan vertebra,
sehingga pembuluh ini lebih panjang daripada pembuluh pada sisi kiri. Selain
cabang kutaneus lateral dari nervus interkostal yang menuju area superfisial.
internal, baik secara direk maupun indirek. Setiap arteri interkostal anterior
muncul sebagai suatu cabang mayor dari arteri subkalvian pada leher. Arteri ini
berjalan secara anterior melewati kubah servikal pleura dan turun secara vertikal
melalui apertura torakal superior dan sepanjang aspek profunda dari dinding
torakal anterior. Pada tiap sisi, arteri interkostal anterior terletak posterior
terhadap kartilage kostal dari enam rusuk teratas dan sekitar 1 cm lateral terhadap
sternum. Pada sekitar level spatium interkostalis keenam, arteri ini bercabang
muncul sebagai cabang lateral dari arteri torakal internal, sedangkan yang
Pada tiap spatium interkostalis, biasanya terdapat dua arteri interkostal anterior:
satu lagi yang lewat di atas tepi rusuk di bawahnya dan kemudian bertemu
Suplai Vena
Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai
arterialnya. Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase
menuju sistem vena atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan
vena brakhiosefalika dalam leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri
akan bergabung dan membentuk vena interkostal superior kiri, yang akan
Drainase Limfatik
dengan kepala dan leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus
pada lokasi dimana nervus phrenikus memasuki diafragma. Mereka juga ada pada
dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi aksilaris pada nodus aksila
Innervasi
ramus anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di
terbesarnya adalah cabang kutaneus lateral, yang menembus dinding toraks lateral
dan terbagi menjadi cabang anterior dan cabang posterior yang menginervasi
anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage kosta yang
22
Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh
cabang kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi
abdomen
23
2.1.5 Patofisiologi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -
dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru
dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu
dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding
dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura
berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun
udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru
dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,
pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014;
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa
faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain
yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien
trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi
25
(Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015)
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan
anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan
lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013; Lugo,, et al., 2015).
2.1.6 Komplikasi
20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan
26
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang
sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011; Lugo, et al.,
Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,
perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,
Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding
dada (Saaiq, et al., 2010; Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada
fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau
pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk
dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin, et al., 2015 ; Lugo, et al.,
2015).
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral.
Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi
pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (Wanek & Mayberry, 2004;
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic,
et al., 2012).
Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling
umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada
pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT
scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.
terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba menyebabkan
28
tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana
bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi.
Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh
Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke
rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau
mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus
hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100
mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut mengindikasikan untuk
2.1.7 Mortalitas
Trauma tumpul toraks meliputi 10% - 15% dari semua cedera trauma toraks
dan sekitar 25% dari seluruh kematian akibat trauma di seluruh dunia. Etiologi
dan pola trauma tumpul toraks bervariasi tergantung pada mekanisme cedera dan
29
faktor sosio - ekonomi. Kecelakaan kendaraan bermotor meliputi 60% - 70% dari
total keseluruhan trauma toraks. Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul
toraks tergantung terutama pada keparahan cedera dan adanya cedera terkait
dengan sistem organ lainnya (Huber, et al., 2014; El-Menyar, et al., 2016).
Pada suatu penelitian di daerah Timur Tengah Arab yang menilai presentasi
klinis dan mortalitas berbasis waktu dari trauma tumpul toraks berdasarkan
mekanisme cedera, didapatkan mayoritas dari korban kecelakaan lalu lintas adalah
laki - laki muda. Pada analisis ini, kontusio paru merupakan tipe trauma tumpul
toraks yang paling umum, diikuti oleh fraktur tulang rusuk, dimana hal ini
hemotoraks dan pneumotoraks sebagai lesi yang paling sering pada trauma
ekstratoraks yang lebih tinggi di antara pasien trauma tumpul toraks, dimana hal
toraks. Cedera pada hepar dan lien juga meningkatkan risiko mortalitas tiga kali
dan ARDS beberapa tahun terakhir ini, komplikasi ini masih menyumbang angka
tersering yang diasosiasikan dengan mortalitas pada pasien trauma tumpul toraks,
2.1.8 Tatalaksana
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien
trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of
tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang
hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest survey harus dilakukan.
Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio
disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,
2015).
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama
merupakan salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks.
takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada
pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail chest
yang disertai dengan gangguan hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,
2015).
Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat
pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap pada
dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq, et al., 2010;
setelah terjadinya trauma pada toraks seperti Pulmonary Contusion Score (PCS)
atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari prognosis
yang menilai mortalitas dan morbiditas setelah trauma tumpul toraks. Trauma
32
multipel toraks dan organ - organ di dalamnya ditemukan pada mayoritas pasien
setelah trauma tumpul toraks (Huber, et al., 2014; Chen, et al., 2014).
mortalitas pasien trauma toraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang
kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari
peningkatan morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis, dan
emboli pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5 berhubungan
dengan outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok pasien tersebut
Trauma toraks yang terlokalisir terjadi bersamaan dengan trauma tumpul pada
fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma oraks berat dengan AIS > 3
terjadi pada 80% - 90% pasien dengan multiple trauma (Chen, et al., 2014).
mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi peningkatan
Karena karakteristik yang homogen dari pasien trauma yang datang dengan
poli trauma dengan komorbid yang multipel, CTS tidak dapat mengidentifikasikan
setiap outcome yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan, karena pola manajemen
trauma, pasien selalu overtriage sebagai upaya untuk mencegah cedera yang
yang lebih jelek. Pada penelitian Chen, et al. (2014) nilai sensitivitas receiver
operating characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory failure sebesar 0,72.
CTS adalah suatu metode yang mudah dan cepat untuk menilai keparahan relatif
dari pasien trauma toraks. Meskipun tidak ada satupun sistem penilaian yang
untuk mengintervensi lebih awal pasien di dalam rumah sakit (Chen, et al., 2014).
jumlah fraktur tulang rusuk, kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau
Tabel 2.1.
Sistem Chest Trauma Score (Chen, et al., 2014)
Age score
<45 th 1
45-65 th 2
>65 th 3
Pulmonary contusion score
None 0
Unilateral minor 1
Bilateral minor 2
Unilateral mayor 3
Bilateral mayor 4
Rib score
<3 rib fracture 1
3-5 rib fracture 2
>5 rib fracture 3
Bilateral rib fracture score
No 0
Yes 2
34
beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome.
AIS sendiri pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971 dan merupakan dasar
dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan.
AIS - 71 hanya untuk trauma tumpul, AIS - 85 meliputi trauma penetrating dan
AIS - 90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari
banyak sistem skoring trauma. Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap
organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS seperti pada table 2.2
Tabel 2.2.
Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (Chawda, et al., 2004)
Injury AIS
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
5 Critical
6 Unsurvivable
Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian
tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal.
Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga
Tabel 2.3
Abbreviated Injury Scale (AIS) Toraks (Chawda, et al., 2004)
Skor injury severity score merupakan suatu skoring klinis untuk mengevaluasi
tingkat keparahan trauma. Hal ini berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, dan
periode rawat inap pasca trauma. Kuantifikasi angka survival pasien trauma
dan efikasi alternatif terapeutik yang baru (Chawda, et al., 2004; Domingues, et
cedera traumatik dengan ISS didasarkan pada lokasi anatomis dari enam zona
tubuh. Zona tubuh ini meliputi: 1) kepala atau leher termasuk spina servikal, 2)
wajah termasuk tulang wajah, hidung, mulut, mata, dan telinga, 3) dada, spina
torakal, dan diafragma, 4) abdomen atau pelvis, organ abdominal, dan spina
(AIS) didasarkan pada anatomi dari cedera dan sistem skoring ini
suatu skala angka enam. Oleh karena itu, untuk menghitung ISS, kode AIS
tertinggi diambil dari tiga zona tubuh yang mengalami cedera terparah. Lalu, tiap
C merupakan skoring AIS untuk tiga regio tubuh ISS yang mengalami cedera
paling parah). Skoring ISS berkisar antara 1 hingga 75 dan bila salah satu dari tiga
skor adalah 6 maka skor secara otomatis dihitung menjadi 75. Skor 6 atau
Suatu trauma mayor ditentukan bila skor ISS lebih dari 15 (Domingues, et al.,
keparahan trauma selama hampir 20 tahun, namun skoring ini hanya meliputi satu
cedera yang paling parah di setiap regio tubuh, bagaiamanapun, pasien politrauma
dapat memiliki dua cedera terparah pada satu regio tubuh yang sama. Pada kasus
et al., 2011).
37
pasien dengan trauma toraks masih mengikuti standar yang sangat luas. System
skoring yang dapat membantu dalam memprediksi komplikasi pada pasien dengan
trauma Toraks sangat diperlukan (Aukema, et al., 2011). Untuk hal tersebut pada
tahun 2000 Pape dan kawan - kawan di Jerman mengembangkan suatu scoring
system baru yang bernama Thoracic Trauma Severity Score dengan parameter
yang terdiri dari umur pasien, parameter resusitasi, lesi intraToraks, cedera yang
melibatkan dinding dada, cedera yang melibatkan pleura, ratio dari PaO2/FIO2.
Rontgen dada dapat memberikan data awal pada skor ini. Tujuan
dibuatnya skor ini untuk membantu dokter ataupun tenaga medis pada unit gawat
komplikasi pada trauma toraks. Skor ini dirasakan lebih baik dalam menentukan
keparahan dari cedera toraks dibandingkan dengan skor trauma secara umum
seperti ISS dan TRISS. Grading dari TTSS dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4
Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) (Aukema, et al., 2011)
dengan meningkatnya skor. Skor 0-5 pada pasien trauma toraks direkomendasikan
untuk rawat jalan, skor 6-10 diindikasikan untuk rawat inap, skor 11- 20
diindikasikan untuk perawatan di ruang intensif dan diatas itu 21-25 merupakan
kasus yang fatal kebanyakan mengalami kematian segera (Subhani, et al., 2014).
39
saat ini istilah tersebut telah diganti dengan acute respiratory distress syndrome.
ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967, ketika Asbaugh dan
kerusakan paru. Sistem scoring ini berdasarkan tekanan positif akhir ekspirasi,
rasio dari PaO2/FiO2, komplians paru dan derajat infiltrat pada radiografi. Pada
klinis, pasien dengan hipoksia ringan (PaO2/FiO2 <300) merupakan acute lung
injury (ALI) dan hipoksia berat (PaO2/FiO2 <200) merupakan ARDS. Kedua,
mudah digunakan pada situasi klinis. Gambaran definisi dapat dilihat pada tabel
dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang
Acute Respiratory Distress Syndrome juga dikenal dengan edema paru non
atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih
Acute Respiratory Distress Syndrome diakui sebagai bentuk yang paling parah
dari acute lung injury (ALI), suatu bentuk cedera difus alveolar. AECC
mendefinisikan ARDS sebagai kondisi akut yang ditandai dengan infiltrat paru
bilateral dan hipoksemia berat karena tidak adanya bukti untuk edema paru
diperlukan untuk membuat diagnosis ARDS yang didefinisikan oleh rasio tekanan
parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dengan fraksi oksigen dalam
udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio PaO2/FIO2 kurang dari 200, dan ALI
kurang dari 300. Selain itu, edema paru kardiogenik harus disingkirkan baik oleh
kriteria klinis atau dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) lebih
Tabel 2.5
Definisi ARDS (Ware & Matthay, 2000)
Reference Year Definition or Criteria Advantages Disadvantages
Petty and 1971 Severe First description, Lacks specific
Ashbaugh dyspnea,tachypnea Summarized criteria to identify
Cyanosis refractory to clinical features patients system-
oxygen therapy, well aticaly
Decreased pulmonary
compliance,Diffuse
alveolar infiltrates on
chest
radiography,Atelectasis,
vascular congestion,
hemorrhage,pulmonary
edema, and hyaline
membranes at autopsy
Murray et 1988 Preexisting direct or Include 4-point Lung injury score
al indirect lung injury,Mild lung injury not predictive of
to moderate or severe scoring system, outcome, Lack
lung injury, Specific clinical specific criteria to
Nonpulmonary organ cause of lung exclude a diagnosis
dysfunction injury. Includes ofcardiogenic
consideration of pulmonary edema
the pressence or
absence of
systemic discase
Bernard et 1994 Acute onset, Bilateral Simple,easy to Does not specify
al infiltrates on chest use,especially in cause, Does not
radiography, Pulmonary clinical consider the
artery wedge pressure ≤ trials,Recognizes presence or absence
18 mmhg or the absence the spectrum of of multiorgan
of clinical evidence of the clinical dysfunction,Radiog
left atrial hypertension, disorder raphic findings not
Acute Lung injury specific
considered to be present
if PaO2 : FiO2 ≤ 300,
Acute respiratory
distress syndrome
considered to be present
if PaO2 : FiO2 is ≤ 200
* PaO2 denotes partial pressure of arterial oxygen, and FiO2 fraction of inspired oxygen
The European Society of Intensive Care Medicine dengan dorongan dari the
American Thoracic Society serta the Society of Critical care Medicine berkumpul
pada sebuah acara panel ahli internasional untuk merevisi definisi ARDS. Panel
42
ini bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan dicetuskan sebuah definisi baru yaitu
definisi Berlin seperti tabel 2.6. Tujuan dari definisi Berlin adalah untuk mencoba
Yang menarik, definisi ini secara empiris mengevaluasi validitas prediktif untuk
berasal dari uji klinis multi-pusat dan pusat tunggal. Terdapat beberapa
modifikasi kunci (oksigenasi, waktu onset akut, x-ray Toraks, dan kriteria
Pada definisi Berlin, tidak terdapat penggunaan dari terminologi Acute Lung
berdasarkan nilai rasio PaO2/FiO2. Yang penting adalah nilai rasio PaO2/FiO2
dianggap hanya dengan penggunaan CPAP atau nilai PEEP ≥ 5 cmH2O (Fanelli,
et al., 2013).
ARDS jelas didefinisikan dalam definisi Berlin. Hal ini didefinisikan sebagai
paparan terhadap faktor risiko yang diketahui atau perburukan gejala respirasi
dalam satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang
melibatkan paling tidak 3 kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi
pleura, atelektasis dan nodul. Jika tidak terdapat faktor risiko yang diketahui,
edema akibat kardiogenik harus diekslusi dengan evaluasi objektif dari fungsi
43
wedge pressure dapat ditinggalkan karena ARDS dapat terjadi bersamaan dengan
edema hidrostatik yang diakibatkan dari overload cairan atau kegagalan jantung
Tabel 2.6
Definisi ARDS Berlin (Fanelli, et a., 2013)
Definisi Berlin mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome
Waktu Terjadi dalam 1 minggu pada setelah gangguan klinis yang
sudah diketahui sebelumnya atau baru atau gejala respirasi
yang mengalami perburukan.
Pencitraan Opasitas bilateral tidak secara penuh dijelaskan oleh efusi,
Toraks kolaps paru/lobaris, atau nodul.
Sumber Edema Kegagalan pernafasan tidak secara penuh dijelaskan oleh
kegagalan jantung atau kelebihan cairan.
Memerlukan penilaian objektif (contoh Ekokardiografi)
untuk mengeksklusi edema hidrostatik jika faktor risiko
tidak ada.
Oksigenasi
Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg, PEEP atau CPAP
≥5 cmH2O
Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O
Berat PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O
untuk mortalitas dengan menggunakan database klinis jumlah besar dari uji klinis
multi pusat dan pusat tunggal yang melibatkan 3.670 pasien. Laju mortalitas
ARDS dinyatakan sebesar 27% untuk ringan, 32% untuk sedang dan 45% untuk
berat. Selain itu, jumlah hari bebas ventilator menurun dari ARDS ringan ke berat,
dan stadium ARDS yang lebih berat dihubungkan dengan peningkatan progresif
paru yang ditemukan pada evaluasi CT scan dan shunt fraction (Fanelli, et al.,
2013).
44
2.3.2 Epidemiologi
Perkiraan angka kejadian yang akurat terhadap ALI dan ARDS sulit
ditentukan, hal ini dikarenakan oleh kurangnya definisi yang seragam dan
penelitian lain dilaporkan kejadian yang lebih rendah 1,5 – 8,3 per 100.000
Saat ini ARDS memiliki angka kematian yang cukup tinggi 40-60%.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh sepsis atau multi organ dysfunction
(MOD) daripada penyebab respirasi primer. Walaupun terapi saat ini dengan
ventilasi tidal volume rendah, pada beberapa kasus kematian langsung disebabkan
oleh kerusakan paru. Pada pasien yang berhasil bertahan hidup dari ARDS fungsi
paru kembali normal dalam 6-12 bulan tanpa memperhatikan derajat keparahan
kelompok. Kelompok pertama terdiri dari kontusio pulmonum, aspirasi dari cairan
lambung, pneumonia, cedera inhalasi dan tenggelam. Pada kelompok kedua terdiri
dari syok traumatik berat yang memerlukan resusitasi cairan dan transfusi yang
berulang, trauma kepala berat, sepsis abdominal, luka bakar, emboli lemak dan
Tabel 2.7
Kelainan klinis yang berkaitan dengan ARDS (Fanelli, et al., 2013)
Direk Indirek
Pneumonia Sepsis non-pulmoner
Aspirasi isi gaster Trauma mayor
Cedera inhalasi Pankreatitis
Kontusio pulmoner Luka bakar berat
Vaskulitis pulmoner Syok non kardiogenik
Tenggelam Overdosis obat-obatan
Transfusi multipel atau Transfusion
associated acute lung injury (TRALI)
pasien dengan resiko berkembangnya ARDS (Haro, et al., 2013). Faktor risiko
pada pasien dapat dibagi menjadi kondisi predisposisi yaitu sepsis, syok,
pneumonia, aspirasi, trauma dan operasi berisiko tinggi dan risiko yang dapat
perkembangan dari kerusakan paru awal menjadi ARDS ringan atau dari ARDS
ringan sedang menjadi ARDS berat. Untuk mengakhiri lingkaran pathogenesis ini
perlu melibatkan berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor eksternal (sepsis,
trauma dan syok) dan penatalaksanaan (Fanelli, et al., 2013; Haro, et al., 2013).
46
Gambar 2.10
Faktor predisposisi ARDS (Haro, et al., 2013)
alveolar dan cedera paru endotel kapiler. Tahap awal digambarkan sebagai
dibentuk oleh endotel mikrovaskuler dan lapisan epitel alveoli. Berbagai beban
mengakibatkan kerusakan baik pada endotel pembuluh darah atau epitel alveolar
dan masuknya cairan yang kaya protein ke ruang alveolar. Cedera pada sel-sel
lapisan alveolar akan menyebabkan terjadinya edema paru. Ada dua jenis sel
epitel alveolar yaitu pneumosit tipe I, yang membentuk 90% dari epitel alveolar.
47
dalam alveoli dan penurunan pengeluaran cairan dari ruang alveolar. Pneumosit
tipe II relatif lebih tahan terhadap cedera. Namun, pneumosit tipe II memiliki
2012).
dibagi dalam 3 tahap yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan.
Tahap pertama yaitu tahap eksudatif ditandai dengan pembentukan cairan yang
berlebihan, protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan
Tahap kedua, tahap fibroproliferatif pada tahap ini akibat dari respon terhadap
stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa
perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti
jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat
Tahap ketiga yaitu tahap resolusi dan pemulihan. Pada beberapa penderita
yang dapat melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Edema
paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport
48
H2O melalui aquaporins pada pneumosit tipe I, sementara protein yang tidak larut
dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel
lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal ini terjadi secara dini yaitu pada hari ke 5-6
setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar akan dipenuhi oleh sel mesenkim
jaringan fibrosis berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk, apalagi bila
muncul prokolagen III secara dini pada cairan broncho alveolar lavage (BAL)
maka mortalitas akan meningkat. Perbedaaan alveolus normal dan alveolus ARDS
serta proses resolusinya dapat dilihat pada gambar 2.11 dan 2.12 (Milisavljevic, et
al., 2012).
49
Gambar 2.11
Sel alveolus normal (kiri) dan sel alveolus pada ARDS (kanan)
(Ware & Matthay, 2000)
Gambar 2.12
Fase resolusi pada ARDS (Ware & Matthay, 2000)
50
setelah cedera (12-24 jam pertama) terjadi takipnea, takikardi, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan pada auskultasi didapatkan ronki ekspirasi. Pada analisa
al., 2012).
darah arterial yang tidak adekuat akibat penurunan PaO2, SaO2, atau hemoglobin.
Adapun komponen yang harus dipenuhi pada hipoksia adalah kadar O2 rendah,
Cardiac output rendah, atau uptake oksigen pada tingkat jaringan rendah dengan
ada atau tanpa adanya hipoksemia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari pertukaran
Cedera tumpul pada paru selama 24 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan
51
reaksi inflamasi pada komponen darah pada paru, 50% - 60% pasien dengan
kontusio pulmonum bilateral akan menjadi ARDS (Miller, et al., 2002; Watkins,
et al., 2012).
oksigen jaringan. Pada kondisi normal, sistem respirasi menghirup udara atmosfir
yang mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg, selanjutnya
sampai di alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHg akibat
pengaruh tekanan uap air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan
segera berdifusi ke dalam aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan
meningkatkan daya ekstraksi oksigen jaringan. Secara umum indikasi klinis terapi
jaringan yang terjadi akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit
saraf otonom, trauma toraks atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS yang
dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. Teknik dan alat yang digunakan dalam
52
atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2), tidak menyebabkan akumulasi CO2,
tahanan terhadap pernafasan minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen
dan diterima serta enak dipakai oleh pasien. Beberapa alat yang umum digunakan
untuk terapi oksigen adalah kanul nasal mampu memberikan FiO2 pada kecepatan
aliran 1-6 liter/menit sebesar 24-44%, sungkup muka pada kecepatan aliran 5-8
Senapathi, 2010).