Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Toksikologi Obat

Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan


sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek
toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik
lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan
kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed)
makhluk tadi.

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam


memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut
berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut
telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan
penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai
kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.

Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,


menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang
relatif kecil dapat mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi
kimia. Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan
fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan

5
6

atau mengakibatkan kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan,


hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat
seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. 10

Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO


adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang
menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku,
fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa
keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang
dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan
sampai dapat menyebabkan kematian.

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan


untuk di gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk
memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih


banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga
bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat
digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang
tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan
dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila
dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief,
1991).
7

Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena


dosis berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan
metabolisme atau ekskresi.

B. Model Masuk Dan Daya Keracunan

Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,


menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang
relative kecil dapat mengakibatkan cederadari tubuh dengan adanya rekasi
kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain dari racun adalah suatu bahan
dimana ketika diserap oleh tubuh organisme makhluk hidup akan
menyebabkan kematian atau perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat
diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute
lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat, atau
secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan sebagaisetiap keadaan yang
menunjukkan kelainan multisystem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif
Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan cara
memberikanobat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung melalui alat
pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan materi toksik, baik
kecelakaan dank arena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.

Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :

1. Cara terjadinya terdiri dari:


a. Self poisoning

Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang


berlebih tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak
membahayakan. Pasien tidak bermaksud bunuhdiri tetapi hanya
untuk mencari perhatian saja.

b. Attempted Suicide
8

Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa


berakhir dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir
dengan dosis yang dipakai.

c. Accidental poisoning

Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya


factor kesengajaan.

d. Homicidal poisoning

Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan


sengaja meracuni orang lain.

2. Mulai waktu terjadi


a. Keracunan kronik

Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah


pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setalah pemajanan
berkali-kali dalam dosis relative kecil ciri khasnya adalah zat
penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh lebih
panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini diakibatkan
oleh keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus
menerus dan efeknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang
(minggu, bulan, atau tahun). Misalnya, menghirup uap benzene dan
senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt. Kloroform, karbon
tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan
menimbulkan penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap
timbal akan menimbulkan kerusakan dalam darah.

b. Keracunan akut

Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering


mengenai banyak orang (pada keracunan dapat mengenai seluruh
keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti sindrom
9

penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma. Keracunan ini juga


karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat
dilihat atau dirasakan dalam waktu pendek. Contoh, keracunan
fenol menyebabkan diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang
kesdaran atau kematian dalam waktu singkat.

3. Menurut alat tubuh yang terkena

Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang


terkena, contohnya racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.

4. Menurut jenis bahan kimia

Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat


toksik yang sama, misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat,
organoklorin dan sebagainya.

Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka


bakar kimiawi), melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga
(tawon, kalajengking, dan laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan
yaitu keracunan yang disebabkan oleh perubahan kimia (fermentasi)
dan pembusukan karena kerja bakteri (daging busuk) pada bahan
makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung asam
sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang
maupun kepiting, dan keracunan juga dapat disebabkan karena
penyalahgunaan zat yang terdiri dari penyalahgunaan obat stimultan
(Amphetamine), depresan (Barbiturate), atau halusinogen (morfin),
dan penyalahgunaan alcohol.

Racun yang sering menyebabkan keracunan dan


simptomatisnya: Asam kuat (nitrit, hidroklorid, sulfat)
10

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia,
kita sadar dan tahu bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah
beracun, sedangkan untuk bahaya pada kesehatan sangat tergantung
pada jumlah zat kimia yang masuk kedalam tubuh.

Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia


yang setiap hari kita konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan
kesehatan. Namun, jika kita terlalu banyak mengkonsumsinya, maka
akan membahayakan kesehatan kita. Demikian juga obat yang lainnya,
akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis tertentu, jangan terlalu
banyak ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep dokter.

Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh


melewati tiga saluran, yakni:

a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti.
Hal ini sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan
kimia langsung menggunakan mulut atau makan dan minum di
laboratorium
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit
ialah aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap
lewat pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari
kasus keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor)
memberikan efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan
HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah
dan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.
d. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
e. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).
11

C. Klasifikasi Daya Keracunan

Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan


lain-lain.

1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin,


Agen Oranye, Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

D. Keracunan Obat Spesifik


1. Asetaminofen

Efek toksik :

a. Keracunan akut
 Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah.
Diaphoresis, pucat, depresi SSP
 Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri
abdomen RUQ, hematomegali ringan)
b. Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
c. Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada
penderita alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal
yang berat, disertai dehidrasi, icterus, koaguloathi, hipoglikemi,
dan ATN.

Terapi :

a. Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon


aktif
b. Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat

2. Obat Anti Kolinergik


12

Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis.


Keracunan kronik dalam 1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.

Efek Toksik :

a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,


gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus,
dilatasi pupil, kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine,
menimgkatnya nadi, tensi, respirasi, dan suhu.
f. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke
terjadinyarhabdomiolisis dan hipertermi
g. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval
DT dengan takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.

Terapi :

a. Korban aktif
b. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidote :
physostigmine (inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v.
dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)
e. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma,
gangguan konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
f. Benzodiazepine

Efek Toksik

a. Eksitasi paradoksal
13

b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)


c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin
dan kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)

Terapi over dosis benzodiazepine

a. Karbon aktif
b. Respiratory support bila perlu
c. Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)

Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek


yang diinginkan atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi
replase, dapat diulang dengan interval 20 menit, dengan dosis
maksimum 3 mg/jam.

Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan


trisiklik antidepresan, atau penderita ketergantungan benzodiazepine.

Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.

3. b-Blocker

Efek toksik :

Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.

a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP


b. b-blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c. Efek toksik pada SSP : kejang
d. Kulit : pucat & dingin
e. Jarang : bronkospasme dan edema paru
f. Hiperkalemi
g. Hipoglikemi
14

h. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi


nafas)
i. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar,
asistol
j. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de
pointes

Terapi :

a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan
vasopresor
c. Pada keracunan berat :
1) Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via
infuse
2) Calcium
3) Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4) Pacu jantung (internal/eksternal)
5) IABP
6) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi b-agonis, epinefrin s.c.,
aminofilin i.v.
7) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain,
Mg, overdrive pacing
8) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol :
dapat dilakukan prosedur ekstrakorporeal
4. Calcium Channel Blocker (CCB)

Efek toksik :

Mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :

a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP


b. Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c. Kejang
15

d. Hipotensi ® iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard ® edema


paru
e. EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan
interval QT (terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark,
asistol
f. Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g. Hiperglikemi

Terapi :

a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi simptomatis :
1) Atropine
2) Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10%
30 cc i.v. dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x).
3) Isoproterenol
4) Glukagon (dosis seperti pada overdosis b-blocker)
5) Electrical pacing (internal/eksternal)
c. Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
d. Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk
mengembalikan metabolisme miokard dan meningkatkan
kontraktilitas miokard dengan : regular insulin dosis tinggi (0,1 –
0,2 U/kgBB bolus i.v. diikuti dengan 0,1 – 1 U/kgBB/jam, bersama
dengan glukosa 25 gr bolus, diikuti infus glukosa 20% 1
gr/kgBB/jam, serta kalium).
e. Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan
cairan.
f. Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin
(tunggal/kombinasi)
g. Pada shock refrakter : I A B P.
5. Karbon Monoksida
16

Efek toksik :

a. Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat,


peroksidasi lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b. Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c. Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil
keputusan,
d. Kekakuan, dan pingsan
e. Mual, muntah, diare
f. Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema
paru,
g. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal
jantung, dan hipotensi
h. Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-
tempat yang tertekan
i. Creatin kinase serum meningkat
j. Laktat dehidrogenase serum meningkat
k. Nekrosis otot ® mioglobinuria ® gagal ginjal
l. Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena
disertai edema papil atau atrofi optic
m. Metabolik asidosis
n. Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa
berwarna merah ceri)
p. Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele
neuropsikiatrik (perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan,
buta, tuli, inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3 minggu
setelah paparan
6. Glikosida Jantung
17

Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan


digoksin denyut jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi
melambat atau terdapat irama jantung yang ireguler dengan konsisten.

Efek toksik :

a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node


b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus
bradikardi, berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel
premature, bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.:
PAT dengan AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3)
atau adanya bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai
adanya keracunan glikosida jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia

Terapi :

a. Karbon aktif dosis berulang


b. Koreksi K, Mg, Ca
c. Koreksi hipoksia
d. Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin,
dopamine, epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5
menit sampai 15 mg/kg), serta isoproterenol
e. Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium,
dan amiodaron
18

f. Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan


digoxin-specific Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit.
Tiap vial antidot (40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg digoksin.
Biasanya pada keracunan akut diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-
15 vial.
g. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5
mEq/lt (walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
h. Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)
i. Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)
j. Obat-obatan golongan NSAID

Efek toksik :

a. Mual, muntah, nyeri perut


b. Mengantuk, sakit kepala
c. Glikosuri, hematuri, proteinuria
d. Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e. Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan
berkeringat
f. Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma,
depresi nafas, kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif
sering mengakibatkan : asidosis metabolic.
g. Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
h. Ketoprofen dan naproxen : kejang

Terapi :

a. Karbon aktif dosis berulan


b. Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat
berguna.

SALISILAT (termasuk aspirin)


19

Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna
ungu.

Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150
mg/kgBB) :

a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea ® dehidrasi dan


menurunnya fungsi ginjal
b. Demam, tinitus, letargi, konfusi
c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi
ekskresi bikarbonat melalui urine
d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan
ketosis
e. Alkalemia dan asiduria paradoksal
f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h. Prothrombin time memanjang
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang,
kolaps kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak &
kardiak). Saat ini terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik
dengan alkalosis/asidosis respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :

a. Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan


sudah terjadi dalam 12-24 jam
b. Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya
dilakukan lavase lambung dan irigasi seluruh usus
c. Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan
bezoar lambung
d. Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar
glukosanya terus dipantau
e. Saline i.v. sampai beberapa liter
20

f. Suplemen glukosa
g. Oksigen
h. Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i. Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j. Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline.
Kontraindikasi diuresis: edema otak/paru, gagal ginjal
k. 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt
cairan infus saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
l. Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans
cairan
m. Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat
mendekati/>100 mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan
kontraindikasi/kegagalan prosedur di atas.

E. Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


1. `Prinsip um

Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi


tanda-tanda vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat
eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan
ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk,


banyaknya racun, selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat
keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik substansi
penyebab keracuan amatlah penting.

Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas


pertama adalah dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang terarah dan singkat Juga disarankan
21

pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada


penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis
yang tidak jelas.

Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan


akan terjadi secara lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan toksikologi darah dan urin, serta
dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi. Selama absorpsi
dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi
dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan
toksisitasnya. Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam
darah dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen
glikol, atau methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot,
dialisis).

Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun


per oral dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi
lebih lama dibutuhkan bila terdapat keracunan per oral yang
menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus
dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga
lebih lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi
metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.

Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai


dengan terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada
penemuan klinis dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera
timbul efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap
bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada
22

dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan


stabilisasi. Terhadap semua pasien yang simtomatis harus dilakukan
pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung,
dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-
ray dapat berguna.

2. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak
ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ
menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan. Indikasi untuk
perawatan di ICU adalah sebagai berikut:
a. Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi,
abnormalitas konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi,
kejang)
b. Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi
percepatan eliminasi racun
c. Penderita dengan kemunduran klinis progresif
d. Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan

Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada


pelayanan kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD,
tergantung dari lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang
diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan
pernafasan).

Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan


pemeriksaan kontinu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai
tidak mungkin lagi dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.
23

3. Penatalaksanaan problem respirasi

Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat


penting untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena
komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena
penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak akurat, perlunya oksigenasi
dan ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan oksimetri atau
analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya
untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis
pada penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara, maupun yang
tidak mampu duduk atau minum tanpa dibantu.

Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas,


hipoksia, dan untuk memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk
mencegah hipertermia, asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan
dengan hiperaktivitas neuromuskuler.

Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak.


Edema paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita
abnormalitas konduksi jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner
penting untuk mengetahui etiologi dan dapat langsung sebagai terapi.

Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran


ekstrakorporeal ( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass
kardiopulmoner), ventilasi parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi
oksigen hiperbarik.
24

4. Terapi kardiovaskuler

Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk


pemulihan tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi
yang tidak responsif dengan ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin,
epinefrin atau dopamine dosis tinggi.

Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan


tindakan intraaortic balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi
venoarterial atau kardiopulmoner. Pada keracunan b-blocker dan calcium
channel blocker, efektif diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi
antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan
glikosida jantung yang berat.

SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir


selalu disebabkan karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik
secara menyeluruh. Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau
sedang dan hanya memerlukan observasi atau sedasi nonspesifik dengan
benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada umumnya
merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia, dan
berespon dengan pemberian cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk
kasus berat atau yang berhubungan dengan instabilitas hemodinamik,
nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.

Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan


kombinasi a dan b blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil
atau diltiazem), atau kombinasi b blocker – vasodilator (esmolol dan
nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk penderita keracunan
antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.
25

5. Terapi SSP

Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya


mengarah ke hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan
komplikasinya, dan harus diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi
berlebihan reseptor katekolamin (pada keracunan simpatomimetik atau
halusinogen dan putus obat) atau kejang akibat menurunnya aktivitas
GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor glisin (keracunan
strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA seperti
dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam
merespon GABA.

Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA


memerlukan piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA.
Kejang yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan b blocker
antidepresan siklik) akan memerlukan anti konvulsan membran aktif
seperti fenitoin sebagaimana yang meningkatkan GABA.

6. Pencegahan Absorpsi Racun


a. Dekontaminasi Gastrointestinal

Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan


prosedur mana yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun
tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan terjadi kemudian,
availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya
keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan
sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase
lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan.
26

Tidak cukup data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan


hal-hal tsb. pada keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.

Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang


disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan
lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan sampai timbul
gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita akan sembuh dari
keracunan dengan semata-mata perawatan suportif yang baik, namun
komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya aspirasi,
dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan
secara selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan
bilamana toksisitas diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek
toksik maksimal sudah terlewati tanpa efek signifikan.

b. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain

Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau


cairan jernih lainnya yang dapat diminum merupakan terapi inisial
untuk eksposur topikal (kecuali logam alkali, kalsium oksida, fosfor).
Untuk irigasi mata dipilih salin sedangkan untuk dekontaminasi kulit
paling baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun
melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau oksigen.

7. Percepatan eliminasi racun

Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas


yang nyata atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas,
biaya, dan resiko terapi.

a. Karbon aktif dosis multiple


Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat
eliminasi substansi yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara
mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui empedu,
disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif kedalam
27

lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang


direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk
mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas gastrointestinal
yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi
hampir semua substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati
seperti hemodialisis untuk beberapa agen (misalnya fenobarbital,
teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat
eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang tidak bisa
diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa obstruksi usus,
pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada penderita-penderita
dengan motilitas usus yang rendah.
b. Diuresis paksa dan perubahan pH urin

Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat


mencegah reabsorpsi renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh
filtrasi glomerulus dan sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih
permeable terhadap molekul yang tidak terion dibandingkan yang
dapat terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan diionisasi dan
terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang sifatnya
basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.

Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol,


bromida, kalsium, fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.

Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam)
mempercepat eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid,
klorpropamid, diflunisal, fluorida, metotreksat, fenobarbital,
sulfonamid, dan salisilat.

8. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal


28

Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin,


hemofiltrasi, plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk
mengeluarkan toksin dari aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini
adalah :

a. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis


walaupun sudah diberi terapi suportif yang agresif;
b. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,
ireversibel, atau fatal;
c. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
d. Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi
alami seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
e. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang
berat
9. Tehnik eliminasi lainnya

Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi.


Pengeluaran karbon monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian
oksigen hiperbarik.

a. Pemberian antidot

Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan :


menetralisir racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk
ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja
sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/
reseptor substrat tsb.).

Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah


keracunan : asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan,
benzodizepin, b-blocker, CCB, CO, glikosida jantung, agen kolinergik,
sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen glikol, fluorida,
29

logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia,


narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.

Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian


besar juga potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman
membutuhkan identifikasi yang benar keracunan spesifik atau
sindromnya.

b. Pencegahan Paparan Ulang

Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang


dewasa yang pernah terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati
instruksi penggunaan obat dan bahan kimia yang aman (sesuai yang
tertera pada labelnya). Penderita yang menurun kesadarannya harus
dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas
kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita
harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan
kimia penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait
juga harus diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan
tertentu/tem- pat kerja.

Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya


terbaik adalah membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/
minuman tsb.

Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian


psikiatrik, disposisi, dan follow-up. Bila mereka diberi resep obat
harus dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor kepatuhan minum
obatnya, serta dinilai respon terapinya.

Anda mungkin juga menyukai