Anda di halaman 1dari 33

SIRI-PESSE: ETOS KEBUDAYAAN BUGIS

(MASYARAKAT SULAWESI SELATAN/BARAT) 1

Oleh:
Prof. Dr. Mashadi Said, DAL., M.Pd2

Abstrak
Salah satu suku yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan adalah suku Bugis
(yang terdiri atas empat etnis: Bugis, Makassar, Mandar, Toraja). Suku Bugis dikenal
sebagai masyarakat pengembara di seluruh Nusantara, bahkan di belahan dunia lain
seperti Australia, Afrika, Selandia Baru, Thailand, dan lain-lain. Suku Bugis memiliki
keistimewaan tersendiri dengan etos kebudayaannya, yaitu ‘Siri-pesse’. Siri’ berarti
malu dan Pesse berarti daya juang (driving force) atau motivasi tinggi untuk
berprestasi. Bagi orang Bugis, hanya dengan budaya ‘Siri’-Pesse’ inilah seseorang
disebut manusia yang bermartabat. Hal ini dapat dicermati dalam banyak ungkapan
dalam Lontara’ (kanon) orang Bugis. Makalah ini bertujuan memaparkan pengertian
etos kebudayaan Siri’-pesse dan elaborasinya dalam beberapa nilai penting,
kevisioneran (mappatepu), integritas (alempureng, awaraningeng, mappaddupa,
agettengeng), spiritualisitas (mappasanre ri elo ullena Alla Taala).

Kata kunci: Siri’-Pesse, Sulawesi Selatan, budaya Nusantara

Pendahuluan
Masyarakat Bugis umumnya menempati daerah provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di jazirah selatan Pulau Sulawesi. Pulau
Sulawesi adalah salah satu pulau dari lima pulau besar di Indonesia (Sulawesi, Jawa, Kalimantan
(Borneo), Jawa, dan Irian. Banyak pula orang Bugis hidup di perantauan, baik di dalam negeri
Republik Indonesia maupun di manca negara. Di dalam negeri, mereka menempati daerah
Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera (Sepanjang pantai yang menghadap laut Jawa),
Nusa Tenggara Timur dan Barat, Maluku, dan Irian Jaya.

1 Disajikan LISE I Nasional IKAMI Sulawesi Selatan


2 Dosen Universitas Pancasila, Jakarta; dapat dihubungi pada 082133337511

1
Sebelum pemakaran wilayah, Sulawesi Selatan didiami empat etnik utama, yaitu Bugis,
Makassar, Mandar, dan Toraja. Sebelum pemekaran wilayah, Sulawesi Barat, juga termasuk
wilayah Sulawesi Selatan yang dihuni oleh etnik Mandar saat ini. Tiap etnik mempunyai bahasa
dan kekhasan budaya yang membedakan satu dengan yang lain. Masyarakat yang mendiami
bagian selatan sulawesi tersebut memiliki karya sastra, yang merupakan epik terpanjang di dunia,
bernama I La Galigo. Karya tersebut ditulis dalam aksara Bugis. Sebelum bahasa Indonesia
menduduki posisi penting dalam masa Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahasa Bugis
merupakan bahasa untuk semua kegiatan kebudayaan, baik dalam pemerintahan, perdagangan,
maupun dalam kesusastraan. Bahasa Bugis termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.
Bahasa Bugis mempunyai sistem tulisan sendiri yang silabik (mempunyai suku kata tersendiri).
Tulisan Bugis tersebut adalah sebagai berikut.

ca ja nya nca

Siri’ dan Pesse: Dua Prinsip Kehidupan Masyarakat Bugis

Ada dua prinsip yang paling menentukan pola kehidupan manusia Bugis, yaitu Siri’ dan
Pesse. Prinsip pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya menyadari
kedudukan dirinya dan manusia lain sebagai persona (tau sipakatau). Setiap individu harus dapat
menempatkan dirinya sebagai manusia (tau), sebagai makhluk yang kedudukannya paling mulia

2
di antara makhluk lain di dunia ini. Manusia yang mampu menempatkan manusia lain sebagai
tau (persona) adalah individu yang memuliakan kedudukannya sebagai persona pula. Prinsip
kedua menuntut agar manusia yang mempunyai harkat dan martabat itu mampu memelihara,
mempertahankan, dan memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Jadi, manusia
yang berharkat dan bermartabat adalah manusia yang menyadari kedudukannya sebagai persona
dan mempunyai keberanian untuk mengambil tindakan guna memelihara dan memperjuangkan
harkat kemanusiaan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam kedudukan
sebagai makhluk sosial.
Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk konkret semua
interaksi dalam dunia empiri. Tuntutan prinsip itu, selalu disadari oleh masyarakat Bugis sebagai
sesuatu hal yang menjadi landasan dalam bertingkah laku. Sejak anak lahir, kedua prinsip itu
telah ditanamkan dalam keluarga agar kelakuannya menunjukkan dirinya sebagai persona dan
memperlakukan manusia lain sebagai persona pula (tau sipakatau), serta siap menegakkan harkat
dan martabat manusia, baik harkat dan martabat untuk dirinya sendiri, keluarga, negara, maupun
orang lain. Kedua prinsip ini menyatu dalam diri manusia Bugis sebagai prinsip hidupnya.
Siri’ bermakna “harga diri/kehormatan” dapat dilihat dalam kalimat: “Naia tau matanre
siri’e, tĕnna pujiwi minrĕng, tĕnna puji toi mellau”. Artinya: Orang yang mempunyai harga diri
tidak suka mengutang dan juga tidak suka mengemis”. Kata matanre siri’ mengandung makna
harga diri. Konsep siri’ yang dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung makna yang
penting, yaitu “harga diri dan martabat” karena dalam aplikasinya, masyarakat Bugis
memandang bahwa tanpa harga diri dan martabat, hidup tidak ada artinya. Ambo Enre (1991:
14) mengemukakan bahwa dari sekian banyak makna siri’, harga dirilah yang merupakan
intinya.
Bagi manusia Bugis, siri’ adalah jiwa mereka yang harus dipegang teguh dan dijunjung
tinggi dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Manusia Bugis yang berbuat semaunya dan
tidak lagi mempedulikan aturan adat (etika panggadĕrĕng) dianggap sebagai manusia yang tidak
lagi mempunyai siri’. Manusia yang demikian itu tidak lagi mempunyai tempat dan nilai di
tengah masyarakatnya. Seseorang yang tidak lagi mempunyai siri’ diumpamakan sebagai
bangkai yang berjalan, tentunya tidak mempunyai harkat dan martabat. Dalam ungkapan Bugis
disebutkan: Siri’ emmi to riasĕng tau (Hanya dengan siri’lah kita dianggap manusia).

3
Usaha menegakkan siri’ pada diri manusia Bugis diperlukan ketangguhan pribadi yang
oleh masyarakat Bugis dinamakan urane tongĕng (laki-laki benaran). Urane tongĕng tidak
dipandang dari segi fisiknya yang tegap lagi gagah, melainkan dari segi keberaniannya
menghadapi tantangan dalam menegakkan siri’ . Itulah sebabnya, ada lagi julukan yang paling
ditakuti oleh laki-laki Bugis, yaitu julukan pellorĕng yang berarti penakut atau pengecut karena
julukan itu diperuntukkan kepada pemuda atau pria yang tidak dapat menjalankan suatu misi
siri’. Apalagi, julukan pellorĕng diidentikkan dengan kawe-kawe atau calabai (banci), bukan
lelaki.
Prinsip yang tidak terpisahkan dengan siri’ ialah pĕsse. Secara harfiah ‘pĕsse’ bermakna
‘pedas’. Sifat pedas dapat dijumpai pada buah lombok (cabe) dan merica. Lombok dan merica
memiliki rasa pedas yang menggigit. Pĕsse mengandung makna metaforis dari sifat lombok dan
merica yang memiliki rasa pedas yang menggigit. Artinya, manusia Bugis memiliki nyali yang
besar untuk mengambil ’tindakan’ atau ‘aksi’ dalam arti yang seluas-luasnya.
Kata ’pĕsse’ dapat dilihat dalam konteks ’tau de’gaga pĕssena’ (orang yang tidak
memiliki nyali), maka ’pĕsse’ berarti ’nyali’. Sebaliknya, orang yang memiliki karakter lembek
sering dijuluki tau de’gaga pĕssena (orang yang tidak memiliki nyali). Orang yang tidak bernyali
tidak mampu memperjuangkan ‘siri’ (harkat dan martabat) dan dijuluki dengan ‘tau de’gaga
pĕssena’. Orang yang tidak memiliki pĕsse memiliki sifat penakut, munafik, kecut, culas,
lembek, malas, dan sejenisnya. Sebaliknya, orang yang memiliki pĕsse memiliki sifat berani,
tangguh, teguh, ulet, tabah, sabar, rajin, dan sejenisnya. Konsep pĕsse identik dengan konsep
’jihad’ dalam Islam. Kata jihad berasal dari kata ’jahada’ berarti berjuang, bersungguh-sungguh,
atau usaha keras.

Ciri Pribadi Siri’-Pĕsse


Konsep siri’-pĕsse ditulis secara bergandengan. Hal ini berarti bahwa konsep siri’ dan pĕsse
adalah konsep kembar yang menyatu dalam diri manusia Bugis. Dengan kata lain, kedua konsep
itu tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia Bugis. Konsep siri’-pĕsse menuntut manusia untuk
berinteraksi berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, yaitu harkat dan martabat. Harkat
dan martabat manusia harus ditegakkan dan diperjuangkan. Karena itu, setiap manusia Bugis
tidak terlepas dari perjuangan itu. Perilaku yang melanggar ketentuan adat harus dicegah dan
dihilangkan karena adat siri’-pĕsse tidak menghendakinya. Siapa saja melanggar norma adat

4
berarti melanggar harkat dan martabat kemanusiaan dan pelanggar harus siap menanggung risiko
atas pelanggarannya.
Konsep siri’-pĕsse menuntut manusia Bugis untuk berperilaku sebagai tau (manusia) atau tau
tongĕng (manusia tulen) bukan tau-tau (orang-orangan). Manusia yang berperilaku jahat sering
diasosiasikan dengan anjing (asu) atau binatang karena sifat anjing atau binatang menurut orang
Bugis tidak mengenal etika atau nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, manusia yang berperilaku
sebagai tau adalah manusia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia atau dalam
bahasa Bugis disebut matanre siri’ (manusia yang tinggi siri’-nya). Dan, hanya manusia yang
tinggi siri’-nyalah yang dapat memanusiakan sesama manusia, yaitu menempatkan posisi
manusia pada tempat terhormat atau mulia (tau sipakatau).
Manusia yang berperilaku sebagai tau adalah manusia yang senantiasa memelihara hati,
jujur, cendekia, berani, teguh, konsekuen, berdaya saing tinggi, bekerja keras dan tekun,
berbuat patut atau wajar, cermat dalam berbicara dan mengambil tindakan, sabar dalam
menghadapi cobaan hidup, merdeka dalam hidup, solider atau setia kawan, serta
menyandarkan segala usahanya pada ketetapan Mutlak Yang Maha Kuasa. Manusia yang
demikian itulah yang memenuhi kualitas pribadi siri’-pĕsse.

Bawaan Hati yang Baik (Wawang Ati Mapaccing)

Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat
baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’
(niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata
bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan
pikiran yang baik.
Dalam Lontara’ disebutkan:
Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue (LPT: 164)
Artinya:
Dua kujadikan pagar, yaitu bunga nangka dan hiasan kuku.
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lĕmpu yang berasosiasi dengan kata jujur,
sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara
Lontara’ dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam

5
perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena hanya dengan niat suci (baik), tindakan manusia
akan mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati
yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Ia
sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya secara lebih tepat.
Makna kedua adalah menjaga arah hati. Lontara’ menyebutkan:
Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab
pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh
perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada turunannya.

Kutipan Lontara’ di atas menitikberatkan pentingnya seseorang untuk memelihara arah


hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu
berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan.
Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama
manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang
individu untuk memikirkan hal buruk terhadap sesama manusia.
Makna ketiga adalah seseorang tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu, emosi,
perasaan, kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk
menegakkan harkat dan martabat manusia. Dalam Lontara’ Latoa ditekankan bahwa bawaan hati
yang baik menimbulkan perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peran yang
amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan perkataan dan perbuatan yang benar yang
sekaligus dapat menimbulkan keberhasilan dan mendapat rida dari Allah Taala. Lontara
menyebutkan:
Empat hal yang membawa kepada kebaikan:
a. Pikiran yang benar;
b. Jualan yang halal;
c. Melaksanakan perbuatan yang benar;
d. Berhati-hati dalam bertindak.

Itikad serta pikiran yang baik tidaklah mudah untuk diwujudkan dalam dunia realitas.
Keduanya memerlukan keberanian moral serta kejujuran.

6
Dalam Lontara’ disebutkan:

Makkĕda toi torioloe, naia riasĕnnge nawa-nawa patuju na madeceng, sanre’pi


riawaraningennge, namadeceng, naia awaraningennge, naiaro gau’ duanrupae, lĕmpu’
maneppa natettongi, namadeceng. (LLT: 32; 26)
Artinya:
Berkata pula para sesepuh, adapun yang disebut niat yang benar (itikad yang baik)
apabila ia bersandar pada keberanian, barulah baik, dan adapun keberanian, apabila ia
bersandar pada niat yang benar, barulah baik, maka adapun perbuatan yang dua ini,
haruslah dibarengi dengan kejujuran.

Kejujuran (Alĕmpurĕng)

Dalam bahasa Bugis, jujur berarti lĕmpu’ yang menurut arti harfiahnya adalah lurus, lawan
dari kata jekko atau bengkok. Dalam berbagai konteks, adakalanya kata ini juga berarti ikhlas,
baik, bersih diri atau adil, sehingga kata yang menjadi lawannya adalah culas, curang, dusta,
khianat, seleweng, tipu, aniaya, dan semacamnya (Said, 1996).
Bagi Lontara’, manusia yang jujur memiliki lima ciri. Pertama, manusia yang jujur adalah
manusia yang dapat melihat kesalahan yang dilakukannya sendiri dan mengakui kesalahan yang
telah dilakukannya. Kedua, manusia yang jujur adalah manusia yang dapat memaafkan
kesalahan orang lain terhadap dirinya. Ciri ketiga ialah kalau diberi kekuasaan untuk menangani
suatu urusan ia tidak berkhianat. Ciri keempat, manusia yang jujur adalah kalau dipercaya tidak
berkhianat. Maksudnya, manusia yang jujur menyadari pentingnya nilai amanah yang diberikan
kepadanya. Manusia yang demikian itu adalah manusia patut risanreki (disandari), dan
rirĕnnuangi (dipercaya). Ciri kelima manusia yang jujur adalah menepati janji yang telah
diucapkan. Bagi manusia Bugis, manusia yang ucapannya tidak serasi dengan perbuatannya,
tidak mendapat tempat yang terhormat di mata masyarakat. Lontara’ menyebutkan:
Sabbinna lĕmpu’e limai, narekko salai naengaui asalanna, narekko rionroi sala
naddampĕngiwi tau ripasalanna, narekko risanrekiwi de’napacekoang, narekko
rirĕnnuangi de’napacekoang, narekko majjanciwi narupaiwi janjinna. (LPT: 156; 29)
Artinya:

7
Bukti kejujuran ada lima:
a. Kalau bersalah ia mengakui kesalahannya
b. Kalau ada kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya, ia memaafkannya
c. Kalau “disandari”*, ia tidak mengecewakan
d. Kalau dipercayai, ia tidak khianat
e. Kalau berjanji, ia menepati janji.

Bagi manusia Bugis orang yang jujur adalah yang menjadikan dirinya sebagai titik tolak
sebagaimana ungkapan Bugis: kabbĕcci alemu iolo inappa mukabĕcci taue (cubit dirimu sendiri
dahulu, sebelum engkau mencubit orang lain). Selanjutnya Lontara’ Latoa menyebutkan:

Makkĕdatopi Toriolota, nakko ĕngka muelorĕng napogau taue rapanna lopi, maelokko
tonangiwi, mupatonangianngi taue, ianaro riasĕng malĕmpu makkuae. (LLT: 33; 30)
Artinya:
Berkata pula para sesepuh, apabila engkau menghendaki agar sesuatu dikerjakan orang
banyak, umpamakanlah perahu, apabila engkau suka menaikinya, itulah yang engkau
muati orang lain, itulah yang disebut jujur.
Kecendekiaan (Amaccangĕng)

Macca berasal dari kata acca yang berarti cakap, cendekia, atau intelek. Di dalam lontara’
disebutkan bahwa orang yang mengetahui hukum adat dan bijaksana disebut toaccata atau orang
pintar kita. Definisi kecakapan di ungkapan dalam lontara’ sebagai berikut.
Aja nasalaiko acca sibawa lĕmpu,
Naia riasĕnnge acca,
de’ gaga masussa napogau,
de’to ada masussa nabali ada madeceng malĕmmae,
matĕppĕi ri padanna tau,
Naia riasĕnnge lĕmpu,
makĕssing gau’na,
patujui nawanawanna,
madecenngi ampena,

8
namatau ri Dewata Seuwaee. (LPT: 154)

Artinya:

Jangan sampai engkau kealfaan kecendekiaan dan kejujuran.


Yang dinamakan kepandaian ialah tidak ada sesuatu yang sulit dilakukan.,
tidak ada pertanyaan yang sulit dijawab, dia juga percaya kepada sesamanya manusia.
Adapun yang dimaksud kejujuran ialah baik perbuatannya, benar pikirannya, dan takut
pada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ciri orang cendekia adalah mampu melakukan
sesuatu, mengemukakan pendapat, mampu mengatasi berbagai macam persoalan, sehingga
dipercaya sesamanya. Namun demikian, kepandaian saja tidak cukup; pendampingnya adalah
kejujuran. Ungkapan ini berarti bahwa kepandaian dan kejujuran adalah dua hal yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan, khususnya bagi mereka yang diberikan kepercayaan oleh rakyat
sebagai pemimpin atau pemegang amanah. Seorang yang jujur, harus pula mau mendengar saran
orang lain dan berbuat baik serta mempunyai niat yang suci (baik) dan lebih penting adalah takut
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Syarat kecakapan atau kompetensi dalam dunia realitas masyarakat Bugis dalam mengangkat
seorang pemimpin merupakan hal yang paling mutlak. Seorang pemimpin yang dapat
mengantarkan masyarakat ke jenjang kehidupan yang lebih baik haruslah memiliki kecakapan.
Kalau ia tidak memiliki kemampuan dalam mengemban tugas kepemimpinannya, maka semua
masyarakat akan enggan untuk mengikuti ke arah mana mereka akan dibawa. Dalam sebuah
syair lagu Bugis seperti yang dituturkan oleh Kulla Lagousi:

Mui maega pabbisena nabĕnngo pallopinna teawa nalurĕng.


(Kulla Lagousi; 38)
Artinya:
Walaupun banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya saya tidak mau
menumpang.

9
Sebagai masyarakat bahari, masyarakat Bugis amat memerlukan seorang juru mudi yang
andal untuk mengemudikan perahu guna mengantarkan penumpangannya ke tempat tujuan.
Kalau tidak, maka perahu yang dikemudikannya akan sesat di tengah lautan yang sangat luas
atau ditelan ombak yang maha dahsyat. Pengemudi (pemimpin di kapal atau perahu) yang
handal, bagi masyarakat Bugis adalah pengemudi yang pandai, yaitu seorang yang memahami
seluk beluk perahu atau kapal, memiliki pengetahuan tentang lautan, seperti arah angin, cuaca,
ilmu perbintangan, kawasan karang, dan seterusnya. Jadi, syair tersebut memberi isyarat bahwa
keberhasilan seorang pemimpin dalam sebuah negara, tidaklah ditentukan oleh banyaknya orang
kepercayaan di sekelilingnya, tetapi oleh pemimpin itu sendiri. Kalau pemimpin itu sendiri tidak
memahami seluk beluk kenegaraan, niscaya ia tidak akan mampu mengantarkan masyarakatnya
ke tujuan yang dikehendaki.
Bagi manusia Bugis, orang yang cakap adalah orang yang mampu atau dengan mudah
melakukan suatu pekerjaan. Artinya, memahami seluk-beluk pekerjaan yang dilakukannya dan
terampil melakukan pekerjaannya. Selanjutnya, ia juga mampu melihat akibat yang mungkin
terjadi atas rencana atau pekerjaan yang dilakukan. Suatu rencana harus dapat diteliti apakah
layak untuk dilakukan atau tidak.

Riasĕnnge maccca ĕppa’i:


1) Naitai ri olona gau’e najĕppuiwi munrinna.
1) Mappasitinajai ada mappasiratang wenru’
3) Saroi mase ri silasanae pakkutanai alena.
4) Poadai ada matojo enrĕnnge ada melĕmma.( LPT: 151)
Artinya:

Yang dimaksud cakap ada empat cirinya:


1) Menyelami latar belakang persoalan dan mengetahui benar akibatnya.
2) Melayakkan kata dan memantaskan sesuatu.
3) Merendahkan diri selayaknya selaras dengan harga dirinya.
4) (Dapat) mengucapkan kata tegas dan lemah lembut.

10
Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang cakap tidak hanya mampu mengutarakan
pendapatnya secara lugas, tetapi juga mampu menyelami kelayakan suatu rencana atas suatu
pekerjaan. Di samping itu, seorang yang cakap harus pula mampu menempatkan diri dan
mengutarakan perkataan atau kalimat yang pantas. Orang cakap selalu bertindak bijaksana, baik
dalam perkataan maupun dalam tindak tanduknya. Ia menghormati orang lain karena ia
mengetahui bahwa orang lain mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimilikinya. Dengan
kata lain, manusia yang cakap adalah manusia yang bertindak patut tanpa melupakan harga
dirinya. Ia mengerti bahwa kehormatan akan datang dengan sendirinya karena ia telah membagi
kepandaiannya kepada orang lain.

Keberanian (Awaraningĕng)

Kata warani dalam bahasa Bugis sama dengan berani atau kesatria dalam bahasa Indonesia.
Orang yang berani ialah orang yang tidak gampang takut, tidak mudah terkecut dan tidak
tergolong pencemas atau pengecut. Keberanian biasa dikaitkan dengan kejantanan atau kelaki-
lakian. Dalam masyarakat Bugis, orang yang berani sering disanjung dengan gelar “woroane”
atau “jantan”.
Keberanian yang dimaksudkan di sini bukanlah suatu kenekatan. Keberanian yang dimaksud
adalah “keberanian moral” yang berarti menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap
mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban demi harkat dan martabat
kemanusiaan. Orang yang memiliki keberanian, menurut Lontara’, tidak mundur dari tugas dan
tanggung jawab dalam membela kebenaran walaupun orang tersebut diisolasi dari lingkungan,
dicela, ditendang atau diancam oleh orang banyak, oleh orang yang kuat dan mempunyai
kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani. Keberanian moral adalah kesetiaan
terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik.
Orang berani memiliki sikap mandiri. Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan
untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah. Jadi, kemandirian terutama
merupakan keutamaan intelektual atau kognitif. Ketekadan dalam bertindak yang didasari sikap
mandiri disebut keberanian moral.

11
Tettakkini napolei ada maja’, ada madeceng, de’ najampangiwi karebae. Naĕngkalengai
tĕnna ĕngkalinga toi. Tĕmmetaui ri pariolo, tĕmmataui ri parimunri. Tĕmmetaui mita
bali. Waraniwi taro pangkaukĕng rimapĕrrie ri tĕmmaaperrie riakkuannae waraniwi
passu ada matojo, malĕmma ri sipato’nae. Waraniwi nrente’ bicara matĕrre, bicara
mapecca’ ri sitongĕnnae. Waraniwi mappakainge’, mappangaja ri tomarajae, ri
tobaiccu’e, ri nasagenae. Waraniwi mate. (LLT: 87)

Artinya:
Tidak terkejut mendengar berita baik atau buruk, mempertimbangkan berita yang
didengarnya secara matang, tidak takut disuruh ke depan, tidak takut ia ditempatkan di
belakang, tidak takut menghadapi musuh, berani mengambil tindakan, baik pada situasi
yang sulit maupun pada situasi yang biasa. Berani mengeluarkan perkataan yang keras
maupun lunak secara wajar. Berani memutuskan perkara baik yang sulit maupun yang
mudah berdasarkan kebenaran. Berani mengingatkan atau memberi nasihat baik kepada
penguasa/pembesar maupun kepada orang banyak menurut kemampuannya. Berani mati.

Keberanian moral berarti berpihak pada kebenaran melawan kemungkaran. Orang yang
memiliki keberanian moral tidak tunduk pada kekuatan yang mengiming-imingi akan
kedudukan, maupun kekayaan; Ia teguh pada pendirian yang benar; Ia tidak akan berkompromi
pada kekuatan yang menawarkan kesenangan; Ia tidak goyah pada idealisme yang diembannya.
Adapun tanda orang berani disebutkan dalam Lontara’ sebagai berikut.
Tanrana tau waranie:
a. Napappada-pada riĕngkana enrĕnnge ri de’na
b. Cedde’na enrĕnnge ri maegana
c. Rimengkalingana kareba’ maja de’na tassunrewa ri kareba madeceng de’na
takkauang. (LPT: 31)

Artinya:
(Tandanya orang berani:
a. Menyamakan ada atau tidaknya
b. Menyamakan sedikit atau banyaknya

12
c. Pada saat mendengar kabar buruk ia tak gentar dan pada saat mendengar kabar baik ia
tak menampakkan kegembiraan yang berlebihan).

Salah satu kelebihan orang berani ialah mampu mengendalikan diri dan perasaannya.
Artinya, ia tidak menampakkan kegelisahan ketika mendengar keritikan atas dirinya atau tidak
cepat terpesona jika mendengar sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Orang berani dapat
melaksanakan tanggung jawabnya dengan ikhlas. Ia tidak tergantung kepada siapa pun kecuali
kepada dirinya sendiri, ia percaya pada dirinya sendiri.

Keteguhan dalam Pendirian (agĕttĕngĕng)

Kata agĕttĕngĕng berasal dari kata gĕttĕng yang berarti tidak kendur. Dari kata dasar ini,
dapat dibentuk kata jadian magĕttĕng (kata sifat) dan agĕttĕngĕng (kata benda). Yang pertama
berarti memegang atau sama sekali tidak kendur, sedangkan yang kedua artinya
ketidakkenduran. Jadi, agĕttĕngĕng berarti keadaan sikap yang tidak mudah goyah atau kendur.
Seorang yang teguh atau setia pada keyakinan tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam
godaan atau tantangan yang dapat memengaruhi keyakinannya.
Orang yang teguh dalam pendirian atau setia pada keyakinannya tidak akan mengingkari
janji atau melanggar suatu kesepakatan yang telah diputuskan secara bersama-sama, walaupun
dia mendapat ancaman dari yang lebih berkuasa terhadap dirinya. Ia yakin bahwa janji yang
telah dibuatnya adalah suatu hal yang harus ditaati atau dijalankan. Bahkan, ia tidak akan
mengubah kesepakatan itu sedikit pun walau ia mendapat berbagai godaan yang menggiurkan.
Selanjutnya, orang yang teguh selalu setia pada keyakinan, pernyataannya selalu tepat. Ia
tidak berliku-liku hanya agar dapat selamat dari suatu ancaman yang dihadapinya, karena ia
memahami bahwa apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran. Dan, jika ia berbuat, ia tidak
menyerah atau berhenti sebelum pekerjaannya selesai. To Macca di Luwu (To Ciung) berkata:

Ĕppa’ gau’na gĕttĕnnge. Seuwani, tĕssalai janci enrĕnnge tĕssorosi ulu ada. Maduanna,
tĕllukae anu pura enrĕnnge tĕppinrae assiturusĕng. Matĕlunna, rekko mabbicarai,
parapi’i, rekko mabbinru’i purapi napajajiwi. Maĕppa’na puadai ada kuae topa pogau
gau’ makkĕnna tutturĕng. (Lontara’ Andi Pabbarangi: Warta: 51)

13
Artinya:
Empat tanda perwujudan keteguhan pendirian. Pertama, tidak mengingkari janji serta
tidak melanggar persetujuan. Kedua, tidak membongkar barang jadi dan tidak mengubah
hasil kesepakatan. Ketiga, jika ia berbicara selalu tepat sasaran. Jika ia berbuat, ia tidak
berhenti hingga selesai. Keempat, jika ia berkata atau melakukan suatu perbuatan selalu
mempunyai dasar.

Bagi masyarakat Bugis, salah satu syarat orang yang dapat menduduki posisi petugas negara
adalah yang memiliki keteguhan pendirian. Orang yang dapat bertindak tegas adalah orang yang
mengetahui peraturan negara dengan baik dan takut pada Tuhan Yang Maha Esa. Ia tidak
membedakan antara satu manusia dengan manusia lain, apakah itu sanak keluarganya atau sama
sekali tidak ada hubungan dengannya. Ia harus taat pada hukum yang telah disepakati. Ketentuan
hukum yang telah disepakati itu disebut adĕ. Ia percaya dan sadar bahwa aturan yang telah
disepakati merupakan hal yang harus ditaati. Ia sadar bahwa dengan menaati aturan adat,
ketenteraman negara akan terjamin.
Makkĕdatopi Arung Bila, iapa makkulle ri ala parewa ri tanae, missĕng majĕppuenngi
pitue uangĕnna seuani najĕppuipi adĕ’e, maduanna missĕppi bĕttuang, matĕllunna
magĕttĕppi, maĕppa’na metauppi ri Dewata Seuwaee, malimanna naiseppi ri asĕnnge
wari, maennenna najĕppuipi ri asĕnnge rapang, mapitunna, naiseng najĕppuipi ri
asĕnnge bicara. (LLT: 71; 50)
Artinya:
Berkata pula Arung Bila, barulah boleh diangkat menjadi petugas negara, bila mereka
memahami dengan baik tujuh hal, pertama memahami adĕ’, kedua memahami kaidah
kehidupan, ketiga berpendirian teguh, keempat takut kepada Dewata, memahami wari,
keenam memahami rapang, dan memahami bicara dengan baik.

Kekonsekuenan (mappaddupa)

Mappa’dupa (konsekuen) mempunyai makna yang sama dengan ungkapan Ia ada ia gau’
dan taro ada taro gau’, yaitu dua ungkapan yang amat terkenal pada masyarakat Bugis. Kedua
ungkapan itu berarti “satunya kata dengan perbuatan” atau biasa disebut konsekuen. Seseorang

14
dapat dipercayai oleh masyarakat bila ia dapat menyelaraskan antara ucapan dengan
perbuatannya.
Pasicippe’i lilamu nabatelamu (Lontara’ Amirullah, Warta: 43)
Artinya:
Selaraskan lidahmu dengan jejak langkahmu (tindakanmu).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa nilai seseorang ditentukan oleh selarasnya antara
ucapan dan tindakan. Semakin selaras antara ucapan dengan tindakan semakin tinggi pula nilai
orang itu. Sebaliknya, orang yang tidak bisa membuktikan ucapannya dalam perbuatan nyata
disebut pembual. Bagi masyarakat Bugis, bukti nyata lebih utama daripada ucapan. Mereka lebih
suka orang yang “diam”, tetapi dapat melakukan sesuatu daripada orang yang senang
memproklamirkan sesuatu yang sesungguhnya tidak mampu membuktikannya dalam perbuatan
nyata. Ungkapan Lontara’ yang menegaskan hal tersebut adalah sebagai berikut.
Sideceddecenna ada de’e ri olona, ĕngka ri munrinna. Sija’ja’na ada ĕngka ri olona,
de’e rimunrinna. (Lontara’ Tamangong Ngewa: Warta: 43)
Artinya:
Sebaik-baiknya bicara tidak ada mendahuluinya, tetapi ada kenyataan. Seburuk-buruknya
bicara ada mendahuluinya, tetapi tidak ada kenyataan.
Menurut orang tua Bugis, satu kenyataan jauh lebih berarti daripada seribu bicara. Artinya,
orang akan lebih menghargai yang sedikit dalam bentuk nyata daripada mengharapkan banyak,
tetapi sebatas konsep atau janji belaka. Bagi Kajao (seorang cendekiawan Bugis), zaman dimana
banyak orang hanya mengeluarkan janji kosong dinamakan “zaman ayam berkokok”.
Maksudnya, tong kosong nyaring bunyinya.
Andi Abu Bakar Punagi (1995) menuturkan bahwa La Tiringĕng To Taba 3
pernah
menyatakan:
Adĕ’ emmi natotau, molaitta gau, rupaetta janci (Punagi, 1995)
Artinya:
Hanya karena perkataan maka kita disebut orang, dibuktikan dengan perbuatan dan
menepati janji.

3 Abad xv

15
Bagi manusia Bugis, berkata benar meliputi hal yang menyangkut penegakan undang-
undang, hukum peradilan dan menepati janji. Hal tersebut merupakan syarat bagi suatu negara
yang baik.
Naia ri asĕng wanua ĕppa’i:
a. Adĕ’ ri peasseri
b. Adĕ’ ri atutui
c. Rapang ri pannĕnnungĕng
d. Janci tĕnriallupai (LPT: 66; 55)

Artinya:
Adapun yang disebut negeri itu ada empat:
a. Adat diperkuat (dilaksanakan dengan betul)
b. Adat dijaga dan dipelihara (jangan sampai dilanggar)
c. Hukum (pertimbangan sesuai yang pernah kejadian) ditegakkan terus.
d. Janji (ikrar) tak dilupakan (ditepati)

Berdaya-saing Tinggi (Tĕnricau)

Kata tĕnricau berasal dari dua kata yaitu tĕnri (tidak) cau (kalah). Jadi, tĕnricau artinya
tidak kalah. Dalam perjuangan untuk mencapai suatu keberhasilan, manusia Bugis pantang
menyerah. Dalam menjalani persaingan hidup, ia dituntut untuk tampil sebagai pemenang atau
pantang mundur. Ungkapan Lontara’ berikut mengisyaratkan betapa pentingnya melakukan
gerak cepat dan memenangi persaingan:

Aja’ mumaelo’ ribĕtta makkalla ri cappa alletennge (LPT: 56)


Artinya:
Janganlah mau didahului menginjakkan kaki di ujung titian.
Ungkapan di atas memberi pelajaran kepada setiap orang bahwa dalam hidup ini terdapat
persaingan yang cukup ketat. Karena itu, agar kita dapat menjadi pemenang, kita harus mampu
menggunakan kesempatan. Kita harus dapat memanfaatkan kemampuan yang ada, sehingga
persaingan itu dapat dimenangkan. Titian* yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja dan siapa

16
yang terdahulu menginjakkan kaki pada titian itu, berarti dialah yang berhak meniti terlebih
dahulu. Ini berarti bahwa bertindak cepat dengan penuh keberanian, walaupun mengandung
risiko besar, merupakan syarat mutlak untuk menjadi pemenang. Namun demikian, tidak ada
keberuntungan besar tanpa perbuatan besar dan tidak ada perbuatan besar tanpa risiko besar.
Kalau seseorang ingin menjadi pemenang, pertama-tama ia harus berpikir sebagai seorang
pemenang. Ia harus mempunyai keyakinan bahwa tidak ada kesuksesan tanpa cita-cita besar. Ia
harus tangguh dan tekun dalam meraih apa yang dicita-citakannya. Dalam sebuah ungkapan
Lontara’ ditekankan:
Resopa natinulu, natĕmmanginngi malomo naletei pammase Dewata Seuwaee. (LSW:
463)
Artinya:
Hanya dengan kerja keras dan ketekunan, sering menjadi titian rahmat Ilahi.
Ungkapan itu memberi pelajaran bahwa untuk memperoleh rahmat Ilahi (keberhasilan),
seseorang tidak hanya berdo’a, tetapi harus bekerja keras dan tidak kalah dalam menghadapi
segala macam tantangan yang dihadapi.

Usaha dan Ketekunan (Reso na Tinulu)

Reso na tinulu terdiri atas dua kata, yaitu reso dan tinulu yang dihubungkan oleh na (dan).
Secara harfiah reso berarti usaha dan tinulu berarti tekun. Bagi masyarakat Bugis, untuk
mendapatkan prestasi dalam hidup, hanya dapat ditempuh dengan usaha yang disertai dengan
ketekunan. Tanpa usaha yang disertai ketekunan mustahil prestasi itu dapat dicapai. Dalam
ungkapan Lontara’ disebutkan:

1. Ekalaki de’ga gaga gare pallaommu muonro sere ri lalĕnnge? Dekkua de’gaga
pallaoammu laoko ri barugae mengkalinga bicara adĕ’, iaregga laoko ri pasae
mengkalinga ada pabbalu’.
2. Resopa natinulu kuae topa tĕmmanginngi malomo naletei pammase Dewata Seuwae.
(LPT: 32; 62)

Artinya:

17
1. Wahai anak muda tidak adakah kegiatanmu sehingga engkau berada di tepi jalan?
Jika tidak ada kegiatanmu pergilah ke Baruga (balai pertemuan) mendengar cerita
adat, ataukah engkau ke pasar mendengar celoteh penjual.
2. Hanya usaha, kerajinan, dan ketekunanlah sering menjadi titian rahmat Ilahi.

Ungkapan di atas, memberi petunjuk bagi anak-anak muda yang berkeliaran di pinggir jalan
tanpa kegiatan positif. Mereka yang berkeliaran di tengah jalan, dihimbau untuk memanfaatkan
waktunya untuk menuntut ilmu dengan pergi ke balai pertemuan mendengarkan ajaran adat
istiadat, tata krama, atau hukum adat. Menuntut ilmu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat
walau sekedar mendengar celoteh penjual obat* di pasar adalah lebih baik daripada duduk
nongkrong di pinggir jalan.
Bagi manusia Bugis, usaha saja belumlah cukup untuk mengantar seseorang mencapai tujuan
yang dicita-citakan. Usaha tersebut haruslah disertai dengan ketekunan dan ketabahan. Hal itu
merupakan syarat mutlak dalam menghadapi tantangan pekerjaan dan dalam meraih suatu
keberhasilan. Dengan perkataan lain, hanya dengan usaha keras dan ketekunanlah suatu usaha
akan mendapatkan hasil yang memuaskan dan mendapat berkah dari Ilahi.
Mengenai perlunya manusia mempunyai sikap tekun untuk memperoleh keberhasilan dalam
hidupnya, disebutkan dalam sebuah ungkapan tentang bagaimana titik-titik air dapat melubangi
batu cadas yang demikian kokohnya:

Wae tĕtti sebbo’ batu leppana. (LPT: 48)


Artinya:
Air menetes (setitik demi setitik) dapat melubangi batu cadas.

Penciptaan (Mappatepu)

Mappatepu berasal dari kata tepu yang berarti ’selesai’. Para tetua Bugis selalu menasihatkan
kepada kaum muda untuk melakukan ritual batin yang dikenal dengan istilah ’mappatepu’
sebelum melakukan suatu kegiatan agar kegiatan tersebut dapat berhasil. Istilah ini mengandung
makna bahwa dalam melakukan kegiatan, kita harus melakukan ’cetak biru’ mengenai tujuan

18
akhir kita. Kita harus mengimajinasikan seperti apa hasil akhir kegiatan kita sebelum melakukan
suatu kegiatan. Dalam batin dan dalam pikiran, kita harus yakini akan hasil setiap kegiatan
sebelum dimulai. Hal ini sama dengan ketika kita mau membangun rumah; kita harus melihat
dalam mata batin kita bagaimana rupa rumah idaman kita, bagaimana bentuknya, bagaimana
interiornya, bagaimana catnya, bagaimana atapnya, berapa banyak kamarnya, bagaimana
pekarangannya, bahan apa yang akan digunakan untuk lantainya, bagaimana kamar mandinya,
dan sebagainya. Dalam ungkapan Bugis yang sangat terkenal disebutkan:
Lettu memĕnno munappa lao (sampailah kamu di tempat tujuan sebelum kamu
berangkat)
Sebagai masyarakat yang suka melakukan perjalanan jauh atau berlayar, nasihat ini
mengandung arti bahwa kita harus meyakini bahwa kita membayangkan sudah tiba di tempat
tujuan sebelum melakukan perjalanan. Artinya, perjalanan itu sudah berhasil dengan baik
sebelum dilakukan. Pinggawa Sawi (nahkoda kapal) biasanya melakukan doa ritual sebelum
berlayar. Ia harus mewujudkan impiannya dalam benak, dengan penuh keyakinan, bahwa
perjalanan yang akan ditempuhnya itu telah menuai hasil dan tiba di tempat tujuan dengan
selamat.
Sama halnya para orang tua sering menasihati anaknya yang masih sekolah: lulusu memĕnno
munappa ujiang (kamu harus melihat dirimu sudah lulus sebelum menempuh ujian). Maksudnya
adalah genggamlah keadaan lulus ujian sebelum menempuh ujian. Hal ini bukan berarti bahwa
anak itu tidak perlu belajar, tetapi ia harus ’mappattepu’ (mempersiapkan dirinya dengan baik
sampai benar-benar yakin bahwa ia bisa lulus dengan baik) sebelum menempuh ujian. Ia harus
yakin bahwa persiapannya itu telah memenuhi syarat untuk lulus dalam ujian.
Untuk mempersiapkan diri memasuki dunia pernikahan, para pria muda dibekali suatu petuah
sebagai berikut.

Aggulilingiwi dapurĕnnge bekka pitu munappa botting (Kamu harus sanggup


mengelilingi dapur tujuh kali, barulah kamu menikah.)

Maksudnya adalah seorang pria sudah melihat dirinya hidup berkecukupan bersama istrinya
sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia harus memiliki persiapan yang matang sebelum

19
menikah. Ia harus sanggup memenuhi belanja keluarga yang akan dibangunnya selama tujuh hari
(setiap saat).
Jadi, mappattepu adalah menetapkan visi atau tujuan yang hendak dicapai dengan penuh
keyakinan bahwa tujuan itu dapat dicapai, pantas diraih, dan memang dapat digapai. Mappattepu
mengandung makna bahwa keinginan itu sudah diraih sebelum melakukan suatu kegiatan. Dalam
mencari rezeki halal (dalle hallala), tetua Bugis selalu menasihatkan: warekkĕng memĕnni
dallemu munappa lao massappa dalle (genggamlah rezekimu sebelum engkau berangkat
bekerja). Maksudnya adalah kita harus meyakini bahwa kita telah menerima rezeki yang hendak
kita cari sebelum kita berangkat mencarinya. Lihatlah sekarang ini bahwa rezeki itu ada dalam
genggaman kita. Tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk meraihnya kecuali Dewata
Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Karena itu, kita harus bersandar kepada Tuhan Yang Maha Esa
(mappasanre ri elo ullena Alla Taala). Bila kita tidak mencapai sepenuhnya apa yang kita
inginkan, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Yang paling penting adalah kita telah
berusaha keras karena tidak ada yang dapat menghalangi kemauan Tuhan.
Jadi, mappattepu adalah mengalihkan khayalan menjadi kenyataan. Menciptakan sesuatu
dalam benak seolah-olah hal itu telah menjadi kenyataan dan yakin bahwa hal itu akan menjadi
kenyataan. Tidak ada yang bisa terjadi tanpa penciptaan. Dalam dunia Bugis, penciptaan
(mappattepu) sering disertai dengan ’mantra’. Seperti dalam mantra berikut dibaca sebelum
bangun dari tempat tidur untuk meyakini bahwa seorang pria akan tetap sebagai pria tulen yang
tak tertandingi dan memiliki nyali yang besar: Bulu’ tĕmmaruttunna Alla Taala kuonroi
maccalinrung. Ĕngkaga balinna Alla Taala na ĕngka balikku. Mĕtte’ka’ tĕnri bali, massa’daka’
tĕnri sumpala’ (Gunung yang kokoh dan kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang saya tempati
berlindung. Adakah yang dapat menandingi Allah, sehingga ada yang dapat menandingiku?
Kalau saya berbicara tidak ada yang menyahut, dan kalau saya mengemukakan pendapat, tidak
ada yang bisa menyanggah). Mantra ini dimaksudkan agar dalam berhadapan dengan seseorang,
kita akan percaya diri dan tampil sebagai pemenang.
Dengan demikian, mappattepu adalah suatu cara atau jalan kehidupan untuk menciptakan
cetak biru atau visualisasi atas wujud harapan atau niat. Ia merupakan keyakinan terdalam bahwa
suatu harapan atau niat akan terwujud dengan baik. Harapan atau niat tidak akan terwujud
dengan baik tanpa keyakinan ini. Karena itu, untuk menegakkan harkat dan martabat manusia,
selain pĕsse, kemampuan mappatepu merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki

20
seseorang untuk menegakkan, membela, melindungi, dan meningkatkan harkat dan martabat
manusia.

Kewajaran atau kepatutan (mappasitinaja)


Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas, wajar atau patut.
Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar.
Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre
sebagai berikut.
Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau’i alau’e, ri parimanianngi maniannge, ri pariasĕ’i
ri asĕ’e, ri pariawai ri awae. (Ambo Enre, 1992: 4)
Artinya:
Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di
Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di
bawah.

Pada ungkapan itu tergambar bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia
mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu
menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak orang lain, ia
memahami haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain secara
manusiawi. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak yang patut dihormati.

Kecermatan (atikĕrĕng)

Kata atikĕrĕng berasal dari kata tikĕ yang berarti cermat, berhati-hati, teliti, atau waspada.
Persamaan kata tikĕ adalah makaritutu yang berarti berhati-hati dalam berkata atau bertindak.
Seseorang yang berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan atau dalam bertindak, akan
memikirkan secara matang sebelum mengeluarkan suatu pernyataan atau sebelum melakukan
suatu perbuatan. Orang yang bertindak waspada (matikĕ) senantiasa mempelajari akibat yang
akan ditimbulkan dari suatu pernyataan atau suatu perbuatan. Sehingga, ia lebih baik diam
daripada membicarakan sesuatu yang tidak ada gunanya.

21
Limampuangĕnngi taue mĕngkaiwi naripuji ri Dewata Seuwaee enrĕnnge ri padanna
tau:
a. Narekko ĕngka maelo napogau’ naitapi addimunrinna, ĕngkapi madeceng
napogau’i.
b. De’namagĕlli ri pakainge
c. Malĕmpu’i ri Dewata Seuwae
d. De’sa naduppa maja’i karebae
e. Iapa nasigala magĕllipi, ia naolae ada
f. magĕlli, ripakkĕkĕngi ada iarega gau’
ri pada-padanna. (LPT: 99)

Artinya:

Lima yang dimulai seseorang baru disenangi oleh Tuhan dan sesama manusia:
a. Kalau ada yang hendak dilakukan, tinjau dahulu akibatnya, kalau baik baru
dilakukan.
b. Tidak marah kalau diperingati.
c. Jujur kepada Tuhan
d. Tidak berperasangka buruk pada berita yang datang
e. Ia berselisih kalau tersinggung. Yang menyebabkan ia tersinggung, kalau difitnah
mengatakan dan melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak dilakukannya.

Ungkapan Lontara’ di atas, menunjukkan bahwa kalau seseorang hendak melakukan sesuatu,
hendaklah ia memikirkan konsekuensi dari perbuatan yang mungkin akan ditimbulkan. Ia harus
yakin bahwa pernyataan atau pekerjaannya itu membawa manfaat bagi dirinya dan sesama
manusia.

Kemerdekaan (amaradekangĕng)

Kata amaradekangĕng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas.
Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam LSW sebagai berikut.

22
Niaa riasĕnnge maradeka, tĕllumi pannessai: seuani, tĕnrilawai ri olona. Maduanna,
tĕnriangkai’ riada-adanna. Matĕllunna, tĕnri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao
orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa. (LSW: 249; 82)
Artinya:
Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak
dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak
dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak
kebebasan.
Bertitik tolak dari definisi di atas, jelas bahwa adat amaradekangĕng atau kebebasan yang ada
pada diri manusia Bugis mengandung dua pengertian, yaitu kebebasan eksistensial dan
kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial berarti kebebasan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri.
Kebebasan itu harus dihayati dan dimiliki. Namun demikian, kebebasan eksistensial masih
harus dibatasi oleh keterhubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam suatu tatanan
yang telah disepakati secara bersama-sama. Inilah yang disebut kebebasan sosial. Dalam
Lontara’ disebutkan:

Makkĕdatoi adĕ’na Wajo maradekae Arung Panua, tanaemmi ata, naia toma-ketanae
maradekai, najajiang alena, mannganga tĕnngana Wajo nauttama, mannganga tanana
Wajo nassu. Ajena mpawai alena tama, ajena mpawai alena nassu laje’ tĕnripatang,
mallĕkku tĕnripakkĕddĕ to Wajo’e, naripatang muto naripakkĕddĕ muto, narekko
natingarai bali Wajo, maelo are’gi teriwanua Wajo. Iatopa rekkua sipakennaiwi ada-ada
ri lalempanua ri lalenna Wajo, ri patanni, ri pakkĕddĕ’ni to Wajoe, naripasilolongeng
adĕ’ akkĕda adangĕnna, nainappa nalappĕssang mĕssu muttama ri Wajo. (LSW: 380)

Artinya:

Berkata pula Arung Saotanre: Adatnya Wajo menetapkan kebebasan pemerintah dan
rakyat, hanya negeri yang abdi, tetapi pemilik negeri bebas, mereka melahirkan diri
(dengan bebas), terbuka pintu Wajo lalu mereka masuk, terbuka pintu Wajo lalu keluar.
Kaki mereka yang membawanya masuk, dan kaki mereka mengantarnya keluar, mereka

23
melayang tidak boleh ditahan, bila meneleku, tidak boleh dibangkitkan orang Wajo itu,
tetapi boleh juga mereka ditahan dan dibangkitkan, bila Wajo menghadapi musuh atau
Wajo hendak memerangi suatu negeri. Demikian pula bila mereka mempunyai persoalan
di dalam Wajo, maka ditahan dan dibangkitkanlah orang Wajo, kemudian diselasaikan
persoalannya, lalu dilepaskan keluar (dari) dan masuk di Wajo.

Bagi masyarakat Bugis, adat adalah segala-galanya. Seseorang hanya harus tunduk pada
peraturan adat menurut hukum yang berlaku. Adat menjamin kebebasan mereka dan tidak ada
seorang pun yang dapat memaksanya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat.
Mereka bukannya abdi negara yang dapat dijadikan sebagai objek oleh pemerintah atau
penguasa, melainkan mereka adalah subjek. Dalam Lontara ditegaskan:
Maradekakĕng tanaemi ata, adĕ assiturusĕnna Wajo napopuang (LSW: 251)
Artinya:
Kami merdeka, hanya negeri yang abdi, hukum yang telah disepakatilah kami pertuan.
Lontara’ telah menempatkan manusia pada posisi yang amat penting. Ia menempati sebagai
posisi subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-galanya. Bilamana dalam suatu perkara,
terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin masyarakat, maka hal itu harus dikembalikan
kepada rakyat.
Sebuah ungkapan yang terdapat dalam tradisi Lontara’, dapat dijadikan sebagai salah satu
bukti utama bagaimana rakyat atau manusia telah menempati posisi yang amat strategis dalam
kehidupan bernegara.
Rusa’ taro arung, tĕnrusa’ taro adĕ’,
Rusa’ taro adĕ’, tĕnrusa’ taro anang,
Rusa’ taro anang, tĕnrusa’ taro taro to maega.
(Mattulada, 1975: 349)
Artinya:
Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan Adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan Kaum,
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak (rakyat).

24
Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bagaimana pentingnya arti, peran, kekuatan, kebebasan
masyarakat atau rakyat dalam menentukan kepentingan hidupnya. Masyarakat berhak
mengawasi jalannya pemerintahan termasuk dalam hal pengadilan. Pengadilan menempati posisi
yang amat penting untuk menegakkan keadilan.

Kesolideran (assimĕllĕrĕng4)

Konsep assimĕllĕrĕng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu


anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain,
antara warga masyarakat dengan warga lain, antara satu manusia atau sekelompok manusia
dengan manusia lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan
penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan
cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan
konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara, saling kasih mengasihi). Sebaliknya, orang yang
tidak memedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut
bĕttĕ’ pĕrru (tega).
Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu adalah: Pertama,
sependeritaan dan kasih mengasihi. Kedua, sama-sama bergembira. Artinya, kalau kita
merasakan kegembiraan, kita patut mengikutkan orang lain untuk menikmati kegembiraan atau
kebahagiaan kita. Umpama, suatu hari, seorang pelaut yang memperoleh tangkapan ikan lebih
banyak, ia patut membagikan hasil tangkapannya kepada tetangga atau keluarga dekatnya.
Sebaliknya, kalau ada anggota keluarga atau masyarakat merasakan pederitaan, maka setiap
anggota keluarga atau anggota masyatakat harus ikut merasakan penderitaan itu dan mengambil
langkah untuk mengatasinya. Ketiga, rela memberikan harta benda sewajarnya. Artinya, kalau
seorang anggota keluarga atau kawan sangat memerlukan bantuan, maka kita berkewajiban
mengulurkan tangan sesuai dengan kemampuan kita. Keempat, ingat mengingatkan dalam hal
yang benar. Artinya, jika seorang anggota keluarga atau teman khilaf atau melakukan
pelanggaran adat atau peraturan yang telah disepakati, maka kita berkewajiban untuk memberi
peringatan atas kekeliruannya itu. Kelima, selalu maaf memaafkan. Artinya, memberi maaf atas
kesalahan seseorang yang pernah ia lakukan terhadap diri pribadi kita.
4Assimĕllĕrĕng berasal dari kata “simĕllĕrĕng” berarti kasih mengasihi, ditambah awalan as- assimĕllĕrĕng yang berarti keadaan saling
kasih mengasihi.

25
Kelima hal tersebut, ditekankan dalam Lontara’ sebagai berikut.

Lima saba’ padecengi assiajinngĕng:


Seuani, sianrasa-rasannge nasiammase-masei;
maduanna, sipakkario-rio;
matĕllunna, tĕnsicarinnaianngĕng ri sitinajae;
maĕppa’na, sipakaingĕ’e ri gau patujue;
malimanna, siaddampĕngĕng pulanae. (LPT: 5)

Artinya:

Lima sebab yang memperbaiki hubungan kekeluargaan:


1. Sependeritaan dan kasih mengasihi
2. Sama-sama bergembira
3. Rela memberikan harta benda sewajarnya
4. Ingat mengingatkan dalam hal yang benar
5. Selalu maaf memaafkan.

Tawakkal (Mappasanre ri elo ullena Alla Taala)

Mappasanre ri elo ullena Alla Taala artinya menyandarkan segala usaha manusia pada
ketetapan atau keputusan mutlak Tuhan Sang Maha Pencipta. Artinya, di samping manusia
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impiannya, ia tidak boleh lupa bahwa masih ada
yang lebih kuasa dari manusia. Walaupun manusia mempunyai kelebihan, ia tidak boleh lupa
bahwa kelebihannya masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan kelebihan Tuhan.
Bagi manusia Bugis, ketika tertimpa suatu musibah, ia dapat menerima keadaan itu dengan
penuh kesabaran dan bila mendapat keberuntungan, ia akan bersyukur kepada Tuhan. Ambo
Enre (1992) mengutip sebuah elong (nyanyian) sebagai berikut.
Aga guna masarae,
tĕnri’ lesangĕnna,

26
pura makkuae.
Tĕmmaakullei labu,
matanna ĕssoe,
ri tĕnngana bitarae.
Rilesangi manĕng mua,
banna bawang toto’e,
tĕnri’ lesangĕnna.
Tudannga ri pesonaku,
kusanre ri toto’ku,
kutajĕng pammase. (Ambo Enre, 1992: 27)

Artinya:
Untuk apa bersedih,
tak dapat dihindari,
yang sudah menjadi takdir.
Tak akan tenggelam matahari di tengah langit,
semuanya dapat dihindari kecuali takdir,
telah jelas ketentuannya.
Kududuk dengan pasrah,
bersandar pada takdir,
kunantikan rahmat Ilahi.

Pasrah yang dikemukakan di atas, bukanlah pasrah tanpa alasan, perhitungan, dan usaha,
melainkan perasaan pasrah yang telah didahului oleh suatu usaha keras. Pasrah yang amat
dilarang adalah pasrah yang sama sekali tidak disertai dengan usaha. Dalam bahasa Bugis,
pasrah yang tanpa disertai usaha disebut pesona buru’, suatu sikap yang oleh masyarakat Bugis
amat tidak terpuji. Jadi, pasrah yang dimaksudkan adalah ’tawakkal’.
Selanjutnya, pendirian manusia Bugis mengenai takdir dinyatakan dalam elong berikut ini:

nawanawapa nagau’
tinulu tĕmmanginngi

27
nalurĕng toto (Ambo Enre, 1992: 28)

Artinya:
Hanya niat disertai tindakan terus-menerus
ketekunan yang
akan mengantarkan takdir.

Maksud ungkapan tersebut adalah sikap pasrah kepada Tuhan hanya dapat dilakukan setelah
manusia melakukan tiga hal. Pertama, ia harus melakukan perencanaan. Perencanaan yang
matang mutlak dalam suatu usaha agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Hanya dengan
perencanaan yang baik dan benarlah, hasil dari suatu usaha diharapkan mendapat keberhasilan
dan ridha Ilahi. Kedua, melaksanakan perencanaan itu dengan sebaik-baiknya. Manusia yang
merencanakan sesuatu, tetapi tanpa pelaksanaan adalah sia-sia. Rencana saja tidak cukup. Untuk
mencapai suatu keberhasilan, tindakannya mutlak diperlukan. Ketiga, rencana itu harus
dilakukan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Orang yang malas tidak mempunyai
tempat dalam masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, untuk mencapai suatu keberhasilan,
ketekunan, kesungguhan, dalam berusaha mutlak diperlukan. Seorang pria yang tidak kuat
berusaha disebut “woroane malea” (laki-laki lembek yang tidak mungkin dapat memberi makan
anak-istrinya).

Penutup

Ada dua prinsip dasar yang menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Bugis. Prinsip
pertama (siri’), menuntut agar manusia selalu berusaha untuk memelihara dan meningkatkan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang paling mulia. Prinsip kedua, yaitu pĕsse
menyatakan bahwa manusia harus mempunyai keberanian, ketekadan, keteguhan, dan
kesungguhan yang dilandasi kewajiban moral untuk mengambil tindakan nyata guna memelihara
dan meningkatkan harkat dan martabat manusia, baik untuk diri sendiri, keluarga, pemimpin,
maupun untuk orang lain. pĕsse menjadikan manusia Bugis berani tampil ke depan untuk
melakukan tindakan, perjuangan, dan bahkan perlawanan bila harkat dan martabat manusia
terlecehkan, terzalimi, atau direndahkan. Karena itu, manusia yang tidak memiliki tindakan

28
keberanian untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia (siri’) dianggap orang yang
tidak memiliki pĕsse.
Berdasarkan pandangan ini, terwujudlah performansi khas manusia Bugis yang disebut
pribadi siri’-pĕsse . Pribadi siri’-pĕsse adalah pribadi yang menjadikan prinsip “tau sipakatau”
sebagai landasan dalam bertindak. Pribadi khas yang menunjukkan performansi yang amat
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, yaitu pribadi siri’-pĕsse yang siap berjuang
demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Ciri pribadi siri’-pĕsse terwujud dari pribadi
manusia Bugis yang mempunyai keberanian moral, bawaan hati yang baik, jujur, cendekia,
teguh, konsekuen, berdaya saing tinggi, berusaha keras lagi tekun, Melakukan penciptaan atau
merujuk pada tujuan akhir berlaku wajar atau patut, cermat, tanggung jawab, terbuka, merdeka,
solider, serta bertawakkal kepada Tuhan.
Mengapa budaya siri’-pĕsse masih harus dipertahankan? Karena, budaya siri’-pĕsse pada
hakikatnya menyangkut ajaran moral kepemimpinan, menyangkut unsur kesetiaan kepada
bangsa dan Negara, menyangkut ketaatan manusia kepada hukum, menyangkut masalah
pengabdian manusia kepada hukum dan lingkungan hidupnya. Budaya siri’-pĕsse yang menjadi
inti kebudayaan masyarakat Bugis dan Sulawesi Selatan pada umumnya, sama sekali tidaklah
memproduksi manusia “cengeng” yang apabila menghadapi kesulitan, lalu merengek-rengek
minta dikasihani, tidak pula memproduksi manusia penjilat, parasit, khianat, pemimpin otoriter
yang menggunakan kekuasaan untuk mengambil keuntungan di atas kerugian rakyat, tidak pula
menghasilkan manusia serakah, nepotisme, aji mumpung, dan hipokrit. Budaya siri’-pĕsse
adalah budaya yang menghargai prestasi, jauh dari sikap mengambil keuntungan di atas
penderitaan orang lain, korupsi, nepotisme dan kolusi, yang telah terbukti menghancurkan sendi
kehidupan bangsa.

Daftar Bacaan

Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.


Abdullah, H. (1990). Reaktualisasi Etos Budaya Manusia Bugis. Solo: CV. Ramadhani.
Abidin, A. Z. (1969). Filsafat Hidup Sulapa Ĕppa Orang-Orang Bugis-Makassar. Bingkisan No.
12. Th. III Agustus 1969.

29
Abidin, A. Z. (1985). Wajo Pada Abad XV--XVI; Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi
Selatan dari Lontara. Bandung: Penerbit Alumni.
Abidin, A. Z. (1988). Siri’ dan Kejahatan Tinjauan dari Segi Budaya Hukum dan Adat: Makalah
disampaikan pada Seminar/Widyakarya siri’ dan Kejahatan: UNHAS, Kepolisian Daerah
Sul-Sel & Tenggara, Kejaksaan Tinggi, 16--18 Juni 1988.
Abidin, A. Z. (1992). Nilai Budaya Sirik sebagai Motivasi untuk Meningkatkan Mutu
Pendidikan di Sulawesi Selatan: Makalah disajikan pada Seminar Nasional dan Diskusi
Panel Pendidikan di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, Januari 1992.
Ambo Enre, F. (1982). Ritumpanna Welenrengnge: Telaah Filologis Sebuah Episode Sastera
Bugis Klasik Galigo. Disertasi Universitas Indonesia: tidak dipublikasikan.
Ambo Enre, F. (1992). Beberapa Nilai Sosial Budaya Dalam Ungkapan dan sastra Bugis. Pinisi.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni, 1 (3): 1---32.
Andaya, L. Y. (1979). A Village Perception of Arung Palakka and the Makassar War of 1666-
1669, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.). Perception of the Past in the South
East Asia (hlm. 360-378). Singapore: Asian Studies of Australia.
Andaya, L. Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka. VKI, 91. The Hague: Martinus Nijhorf.
Awuy, T. F. (1995). Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yokyakarta: Penerbit CV
Jentera Wacana Publika.
Berger, P. L., Berger, B., dan Kellner, H. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran
Manusia. Terjemahan oleh A. Widyartaya. (1992). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Etzioni, A. (1988). The Moral Dimension: Toward a New Economics. New York: The Pree
Press, Macmillan, Inc.
Gonggong, A. (1992). Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga
Pemberontak. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Harvey, B. S. (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Cornell
University. Ann Arbor: University Microfilms International.
Inkeles, A. dan Smith, H. D. (1974). Becoming Modern: Individual Change in Six Developing
Countries. Cambridge: Harvard University Press.
Kern, R.A. I La Galigo. Terjemahan oleh La Side dan Sagimun M.D. (1993). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

30
Koentjaraningrat (Ed.). (1975). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Jambatan.
Koenjaraningrat. (1989). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat. (1993). Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Koentjaraningrat. (1993). Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lopa, B. (1988). Reaktualisasi Budaya siri’ dalam Proses Modernisasi. Makalah disampaikan
pada Temu Budaya Daerah Sulawesi Selatan, 6-10 Juni 1988 di Ujung Pandang.
Magnis-Suseno, F. (1975). Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Penerbit Yayasan Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (1993). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mattulada, H.A. (1977). Peran Tata Nilai Masyarakat Desa dalam Pembangunan. Budaya Jaya,
X (12): 761---775.
Mattulada, H.A. (1980). Islam di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: (Tanpa Penerbit).
Mattulada, H.A. (Ed.). (1990). Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta: Depdikbud. Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Mattulada, H.A.(1996). Nilai-Nilai Dasar Dalam Etika Sosial Kehidupan Masyarakat Sulawesi
Selatan. Makalah disajikan dalam Pertemuan dan pertukaran pikiran dalam
pembentukan Sekolah Unggulan di Ujung Pandang, 12 Desember 1996.
Mattulada, H.A. (1996). Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib,
dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (hal.21---90). Yogyakarta:
LKPSM.
Mukhlis, P. dkk. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya.
Noorduyn, J. (Ed.). (1968). Some Aspects of Makassar-Buginĕsse Historiography: London:
Oxford University Press.
Pelras, Christian. (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

31
Punagi, A.A. (1969). Kepribadian Orang Bugis dalam Bertutur Kata. Bingkisan, No. 12. Tahun
II 1969.
Rahim, R. (1982). Sikap Mental Bugis (Berdasarkan Lontara’-Lontara’ Latoa dan Budi
Istikharah). Ujung Pandang. Universitas Hasanuddin.
Rahim, R. (1985). Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University
Press.
Said, M. (1976). Etik Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Said, M. (2016). Jati Diri Manusia Bugis: Jakarta: Pro deLeader.

BIODATA SINGKAT

Prof. Dr. Drs. Mashadi Said, DAL, M.Pd dilahirkan 5 April 1961, di Palopo, Sulawesi Selatan; guru
besar dalam bidang pendidikan bahasa Inggris pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Pancasila, Jakarta. Pada tahun 2000 s.d. 2007, dia banyak mencurahkan perhatian dalam bidang hak
asasi manusia dan menjadi anggota Kelompok Kerja HAM untuk sosialisasi HAM ke berbagai
jenjang pendidikan di seluruh Indonesia, pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia,
KEMENKUMHAM. Menjadi pelatih HAM nasional dan internasional. Artikelnya yang berjudul
“Human Rights Advocacy Utilizing Religious Perspectives and Opinion Leaders: Promoting
National Human Rights Education in Indonesia telah diterbitkan oleh The New Tactics Project of
the Center for Victims of Torture pada tahun 2006, Minneapolis, Amerika Serikat dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Kirgistan. Mashadi Menyelesaikan Sarjana dalam
bidang Pendidikan bahasa dan Sastra Inggris, tahun 1984 di IKIP Ujung Pandang (sekarang
Universitas Negeri Makassar); Postgraduate Diploma in Applied Linguistics di Regional language
Center (RELC), Singapura, tahun 1989-1990, Magister dan Doktor Pendidikan Bahasa Inggris di
IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), th 1998, dan Program of Academic
Recharging, tahun 2009-2010 di Ohio State University, Amerika Serikat. Mashadi menjadi Ketua
Pokja Sosialisasi Hak Asasi Manusia dari tingkat SD s.d. Perguruan Tinggi, th 2000 s.d. 2002;
Sekretaris Program Magister Sastra dan Ketua Program studi Sastra Inggris di Universitas
Gunadarma, Jakarta 2002 s.d. 2014; asesor BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi,
sejak tahun 2007); menjadi Dekan Psikologi, Ketua Penjaminan Mutu, dan Wakil Rektor bidang
Akademik dan Kemahasiswaan di Universitas Azzahra, 2014 s.d. 2018; menjadi Kepala Lembaga

32
Bahasa Universitas Pancasila sejak 2019 dan aktif dalam Aliansi Perguruan Anti Penyalahgunaan
Narkoba (ARTIPENA) sejak tahun 2015 dan saat ini sebagai Dewan Etik ARTIPENA.

33

Anda mungkin juga menyukai