Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Ternak kambing menduduki peranan penting dalam sistem pertanian dan


peternakan di Indonesia, hal ini digambarkan dengan adanya perkembangan teknologi
reproduksi seperti bioteknologi reproduksi inseminasi buatan, sinkronisasi estrus,
super ovulasi, in vitro maturation (IVM), in vitro fertilization (IVF), in vitro culture
(IVC), transfer embrio (TE), dan kloning, diharapkan mampu meningkatan produksi
dan produktivitas kambing dan dapat membantu mengatasi masalah efisiensi
reproduksi. Fertilisasi in vitro merupakan salah satu bioteknologi reproduksi yang
dapat dipakai untuk memproduksi embrio dengan memanfaatkan ovarium yang
berasal dari rumah pemotongan hewan (RPH) (Wattimena, 2011).
Dengan kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi, limbah rumah potong hewan
khususnya hewan kambing betina berupa ovarium sebagai sumber sel gamet betina
melalui suatu rekayasa bioteknologi dapat dimanfaatkan sehingga menjadi suatu
produk yang sangat berharga berupa embrio. Selain itu, ovarium juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber cairan folikel yang dapat digunakan sebagai
suplementasi media maturasi in vitro (Yoshida et al, 1992). Hal tersebut
dimemungkinkan dengan penerapan teknologi fertilisasi in vitro yang dilaksanakan
melalui proses aspirasi. (Boediono dan Damayanti, 1996).
Setiap ovarium mengandung oosit dalam jumlah yang sangat banyak, tetapi hanya
sedikit sekali dari jumlah oosit tersebut yang dimatangkan dan diovulasikan selama
masa subur atau pada masa reproduksi. Oosit yang diperoleh dari koleksi oosit pada
ovarium mempunyai stadium yang berbeda-beda, sehingga perlu dimaturasi untuk
menghasilkan oosit yang siap difertilisasi. Meskipun secara in vitro atau melalui
ovulasi dapat dihasilkan oosit matang dalam jumlah yang banyak, namun sedikit
sekali oosit yang dapat dibuahi oleh spermatozoa (Cushman et al, 2002). Koleksi sel
telur dari ovarium limbah hasil pemotongan dari RPH memiliki keragaman kualitas
dan stadium sel telur sehingga perlu dilakukan maturasi in vitro (Widayati, 1999).
Maturasi in vitro memiliki peran penting dalam keberhasilan fertilisasi in vitro
(Wattimena, 2011). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan maturasi in
vitro adalah medium maturasi.
Medium maturasi dan pemilihan suplemen protein dan hormon untuk IVM
sangat berperan dalam keberhasilan IVF dan perkembangan selanjutnya.
Menurunnya perkembangan zigot hasil IVF pada kambing merupakan indikasi
bahwa kondisi IVM tidak mendukung maturasi sitoplasmik. Perbaikan sistim
IVM untuk oosit sangat diperlukan dengan maksud menciptakan kondisi in vitro
yang mirip dengan lingkungan in vivo (Wang et al., 2007).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Oosit
Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang
memiliki fungsi utama menghasilkan sel gamet betina dan juga berfungsi
memproduksi hormon reproduksi. Terdapat dua bagian pada ovarium yaitu korteks
(bagian lateral) dan medula (bagian medial). Bagian korteks ovarium dilapisi oleh
satu lapis epitelium kuboid dan stroma yang terdiri dari jaringan ikat longgar.
Sedangkan pada bagian medula terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat
(Senger, 1997).
Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium.
folikulogenesis terjadi di dalam ovarium, dimana folikel mengalami berbagai tahap
perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang
menjadi folikel matang dan oosit siap diovulasikan. Berdasarkan morfologinya
perkembangan folikel dibedakan menjadi dua yaitu folikel preantral dan folikel
antral. Folikel prentral merupakan tahapan folikel yang belum memiliki antrum
sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel yang telah memiliki antrum.
Folikel primordial merupakan bentuk awal dari folikel dan ditemukan pada hewan
setelah lahir dengan jumlah oosit tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez, 2000).
Folikel berisi banyak oosit yang diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih
(Cushman et al, 2000). Folikel primordial kemudian tumbuh menjadi folikel primer
dan sekunder. Folikel primer ditandai dengan adanya pembesaran diameter
oosit yang meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, kemudian diikuti dengan
perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk
pipih menjadi kuboid (Hafez & Hafez, 2000).
Tahap pembentukan folikel sekunder terjadi proliferasi sel kuboid membentuk
beberapa lapisan sel granulosa dan membentuk membran (zona pelusida) yang
mengelilingi oosit (Cushman et al. 2000). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh
lapisan sel epiteloid yang selanjutnya membentuk sel teka interna. Folikel sekunder
dengan sel teka interna disebut folikel preantral (Guerin, 2003). Pada tahap akhir
perkembangan folikel massa sel granulosa mensekresikan cairan folikuler yang
mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan
munculnya antrum di dalam massa sel granulosa. Perkembangan folikel tersier
ditandai dengan antrum yang semakin meluas dan sel yang ada di sekeliling zona
pelusida mulai membentuk korona radiata (Chusman, 2000).
Diameter folikel semakin meningkat karena produksi cairan folikuli yang semakin
meningkat sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel, dinding folikel semakin
menipis hingga akhirnya terjadi ovulasi. Pada kondisi ini, folikel disebut sebagai
folikel de Graaf (Hafez & Hafez, 2000). Proses folikulogenesis juga diikuti dengan
proses pertumbuhan dan pematangan oosit yang disebut dengan oogenesis.
Perkembangan oosit terdiri dari tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan dan
pematangan.
Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia
yang terjadi pada saat pralahir atau sesaat setelah lahir dan kemudian oogonia
berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap
ini disebut germinal vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang
utuh dan nukleus yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan
dan pematangan yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel.
Pertumbuhan oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan
ukuran dari organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus,
butir lemak, peningkatan proses transkrip untuk sintesis protein. Tahap pematangan
oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez & Hafez,
2000).

2.2 Koleksi oosit


Ovarium kambing dikoleksi dari RPH, pisahkan dari jaringan dan lemak lalu cuci
menggunakan NaCl fisiologis 0,9% dengan tambahan antibiotik dan dibawa ke
laboratorium dengan menggunakan termos yang berisi medium NaCl 0,9% bersuhu
25°C - 30°C tidak lebih dari 2 jam setelah pemotongan. Sesampainya di laboratorium
ovarium gelas ukur diambil dari termos dan dimasukkan dalam water bath dengan
suhu 30°C, kemudian dilakukan aspirasi folikel.
Koleksi oosit menggunakan teknik aspirasi dari folikel yang berukuran 2-6 mm
dengan mengunakan jarum 18 G yang dihubungkan dengan Syiringe disposable 5 ml
yang berisi 0,5–1 ml. Cairan yang diperoleh dari folikel ditampung dalam tabung
yang terpisah yang telah ditambahkan PBS 5 mL, endapkan didalam waterbath pada
suhu 30ᴼC setelah 15 menit supernatant dibuang. Perlakuan ini sebanyak dua kali,
kemudian dilakukan pencarian oosit dengan menuangkan endapan tersebut pada
cawan petri steril yang didasarnyasudahdiberigaris-gariskotak (0,5 x 0,5 cm) di
bawah mikroskop stereokopis.
Hasil koleksi kemudian dikelompokkan dalam kualitas A, B, dan C.
Penilaian berdasarkan bentuk selulernya dan keseragaman sito- plasmanya,
sebagai berikut :
1). Kualitas A (baik): kumulus lebih dari 2 lapis, kompak, ooplasma
homogen, penampilan Cumulus oocyte complexe (COC) terang dan
transparan;
2).Kualitas B (sedang): kumulus lebih dari 2 lapis, kompak,
ooplasma homogen, tapi COC tampak agak gelap;
3). Kualitas C (jelek): kumulus tidak kompak, ooplasma ireguler,
gelap, COC tampak gelap

2.3 Maturasi Oosit in vitro


Maturasi oosit secara in vitro menggunakan oosit yang belum mengalami
pematangan (immature), baik pematangan inti maupun pematangan sitoplasma
(Krisher et al. 2007). Pematangan inti meliputi berbagai tahapan meiosis yang
berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase
diploten ke metaphase II. (Gordon, 2003). Membran inti akan mengadakan penyatuan
dengan vesicle membentuk germinal vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami
pelepasan membran inti membentuk germinal vesicle breakdown (GVBD). Tahap
selanjutnya, mikrotubulus dan mikrofilamen membungkus kromosom hal ini yang
akan mempengaruhi keberhasilan tahap pembelahan meiosis.
Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I
(MI). Tahap metaphase II (MII) akan terjadi dan ditandai dengan terbantuknya badan
kutub I dan oosit yang sudah matang siap untuk difertilisasi (Pawshe et al. 1994).
Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan struktur di
dalam sitoplasma. Pematangan sitoplasma ditandai dengan penambahan kompetensi
biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimia di dalam sel
yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan potensi perkembangannya setelah
fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan dan perkembangan embrio
preimplantasi (Gordon, 2003).
Beberapa perubahan akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma
diantaranya terjadi migrasi kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria
dan lipid droplet yang akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan
keberadaan reticulum endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor
(MPF) dan metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat
diketahui secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks,
pembentukan pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).

2.4 Media Maturasi


Maturasi oosit in vitro adalah proses pematangan oosit yang dilakukan diluar
tubuh yang dapat menghasilkan oosit matang dalam jumlah besar yang siap untuk
proses fertilisasi in vitro dalam rangka penerapan teknologi reproduksi berupa
produksi embrio secara in vitro. Proses maturasi oosit in vitro dilakukan pada media,
suhu dan tekanan oksigen tertentu. Ukuran folikel, hormon, serum, dan faktor
pertumbuhan dalam medium maturasi in vitro serta kondisi kultur sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan maturasi oosit (Rahman et al., 2008).
Penurunan perkembangan zigot hasil IVF pada kambing merupakan
indikasi bahwa kondisi IVM tidak mendukung maturasi sitoplasmik. Perbaikan
sistim IVM untuk oosit sangat diperlukan dengan maksud menciptakan kondisi
in vitro yang mirip dengan lingkungan in vivo (Wang et al., 2007). Kandungan
medium dalam proses IVM dibuat semirip mungkin dengan kondisi in vivo dengan
menambahkan serum, protein, hormon, atau dengan suplementasi cairan folikel
(Isobe dan Terada, 2001).
Cairan folikel diketahui mengandung peptide growth factor (Nicolas et al., 2005),
insulin-like growth factor binding protein, follicle stimulating hormone (FSH),
luteinizing hormone / LH (Avery et al., 2003) dan estradiol (Deshpande dan Pathak,
2010) yang mendukung dalam maturasi oosit. Wahjuningsih dan Djati (2012) juga
melaporkan bahwa cairan folikel mengandung protein extracellular-regulated kinase 2
(ERK2) dan protein p90rsk yang berperan dalam proses pengontrolan meiosis dan
maturasi oosit.
Selain cairan folikel penambahan serum serta albumin juga diperlukan dengan
maksud menciptakan kondisi in vitro yang mirip dengan lingkungan in vivo
serum yang digunakan antara lain bovine serum albumin (BSA) dengan yang
mengandung new born calf serum (NCS). BSA mau pun serum yang
ditambahkan pada media kultur berfungsi untuk menyediakan energi dan
protein untuk proses metabolik dan anabolik (Maurer, 1992). Albumin tidak
hanya membantu dalam ikatan lemah, menyediakan tempat untuk
tercukupinya komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan
kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-
molekul kecil.
BAB III
METODE

Protokol untuk in vitro maturation (IVM) oosit kambing merupakan


modifikasi dari metode yang dilakukan oleh Wang et al., (2007). IVM
dilakukan dalam 2 macam medium yang dibedakan hanya pada jenis serum yaitu
0,4 mg/ml BSA dan 10% NCS. Sebagai media dasarnya adalah 100 µl TCM
199 yang ditambah dengan bLH (0,02 U/ml), bFSH (0,02 U/ml), estradiol â-
17 (1µg/ml), sodium pyruvate (0,2 mM), penicillin- streptomycin (50
µg/ml). Oosit yang sudah dimasukkan dalam medium tersebut diinkubasikan

pada suhu 39oC dalam 5% CO2 inkubator selama 24-27 jam.

Di samping itu juga dilakukan pengecatan oosit untuk menentukan tingkat


maturasi nukleus. Oosit difiksasi dalam larutan asam asetat– ethanol (1:3) selama 2-7
hari. Pengecatan dilakukan dengan jalan meneteskan staining media (orcein 1%)
hingga mengenai oosit, dan dibiarkan selama kurang lebih 1 menit, kemudian staining
media diganti dengan restaining media sehingga berwarna terang. Selanjutnya oosit
diamati tingkat maturasinya di bawah mikroskop phasecontrast. Tingkatan maturasi
nukleus adalah vesikula germinalis (GV), germinal vesicle break down (GVBD),
metaphase I, anaphase I, telophase I, dan metaphase II.
Selain penambahan serum dan albumin penambahan cairan folikel juga dapat
memberi pengaruh dalam proses maturasi in vitro sel oosit. Pengumpulan cairan
folikel diperoleh dari folikel ovarium kambing berukuran 3-8 mm dengan sistem
pooling (Isobe dan Terada, 2001). Pengumpulan dan penyimpanan cairan folikel
mengikuti metode Haque et al., (2012) dengan modifikasi. Cairan folikel yang
terkumpul disentrifus 3000 rpm selama 20 menit dan disaring menggunakan milipore
filter 0,22 µm (Sartorius stedim). Cairan folikel diinaktivasi di dalam penangas air

pada suhu 56oC selama 30 menit, kemudian disimpan pada freezer bersuhu -20oC.
Setelah itu cairan folikel ditambahkan pada media maturasi in vitro sel oosit untuk
kemudian diamati dengan bantuan mikroskop

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

In vitro maturation (IVM) adalah salah satu tahapan dalam proses IVF. Pada
kebanyakan penelitian, medium dasar untuk IVM diperkaya oleh hormon dan
berbagai konsentrasi serum. Medium maturasi dan pemilihan suplemen protein dan
hormon untuk IVM sangat berperan dalam keberhasilan IVF dan perkembangan
selanjutnya. Menurunnya perkembangan zigot hasil IVF pada kambing merupakan
indikasi bahwa kondisi IVM tidak mendukung maturasi sitoplasmik. Perbaikan sistim
IVM untuk oosit sangat diperlukan dengan maksud menciptakan kondisi in vitro yang
mirip dengan lingkungan in vivo (Wang et al., 2007).
Kualitas oosit sangat mempengaruhi tingkat maturasi yang dihasilkan, seperti
halnya yang dijelaskan oleh Gordon (1994) bahwa oosit dengan morfologi bagus
yaitu kumulus berlapis-lapis, kompak, ooplasma homogen, penampilan COC terang
dan transparan menghasilkan lebih banyak oosit yang maturasi setelah IVM. Telah
diketahui bahwa hubungan antara sel-sel kumulus dan oosit sangat penting, tidak
hanya dalam proses maturasi oosit ke stadium metaphase II tetapi juga pada maturasi
sitoplasma yang diperlukan untuk perkembangan oosit setelah fertilisasi (Moor et al.,
1990, Ka et al., 1997).
Interaksi sel kumulus dan oosit menghasilkan glycosaminoglycan, hormon
steroid, nutrisi, dan faktor-faktor lain yang mendukung maturasi oosit (Yanagimachi
dan Nagai, 1999, Dode dan Graves, 2002). Penambahan BSA maupun NCS pada
media tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan terkait persentase oosit
kualitas A yang mencapai metaphase II (74 dan 75 %). Hal tersebut terjadi
kemungkinan karena baik BSA maupun NCS yang ditambahkan ke dalam media
IVM mengandung komponen yang dibutuhkan dalam perkembangan oosit.
Keberhasilan oosit mencapai maturasi secara in vitro dipengaruhi oleh kualitas
oosit di samping banyak faktor lain yaitu di antaranya media, sistim kultur termasuk
suhu, kelembaban dan kandungan CO2 dalam inkubator. Menurut Gordon (1994)
pada umumnya media untuk maturasi oosit secara in vitro diperkaya dengan serum
atau albumin. BSA mau pun serum yang ditambahkan pada media kultur berfungsi
untuk menyediakan energi dan protein untuk proses metabolik dan anabolik (Maurer,
1992). Albumin tidak hanya membantu dalam ikatan lemah, menyediakan tempat
untuk tercukupinya komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan
kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-molekul kecil.

Younis et al., (1991) menggunakan media yang diperkaya dengan serum untuk
maturasi oosit kambing secara in vitro, dan memperoleh hasil yang bagus. Serum sapi
dalam hal ini fetal calf serum (FCS) digunakan sebagai sumber protein yang utama di
dalam media IVM (Gordon, 1994). Serum mengandung komponen esensial seperti
hormon, vitamin, protein, dan faktor pertumbuhan (van der Valk, 2004), yang
tentunya bermanfaat dalam perkembangan sel. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa kualitas oosit sangat menentukan tingkat maturasi
dari oosit yang dimaturasikan secara in vitro, dimana kualitas A yang paling
baik dibandingkan kualitas B dan C. Maturasi oosit kambing dapat dilakukan
secara in vitro baik menggunakan media yang mengandung BSA maupun
NBCS dengan tingkat maturasi yang seimbang.
Sementara untuk hasil dari penambahan cairan folikel pada media menunjukan
adanya peningkatan ekspansi kumulus. Pengamatan tingkat ekspansi kumulus
dilakukan karena ekspansi kumulus merupakan salah satu indikator oosit telah matang.
Gordon (1994) dan Rahman et al., (2008) menyatakan bahwa ekspansi sel kumulus
dapat digunakan sebagai penanda maturasi oosit. Hal ini dapat terjadi karena sel
kumulus berperan dalam proses perkembangan dan maturasi oosit (Gilchrist et al.,
2008). Pada proses maturasi oosit, sel kumulus berperan sebagai mediator transpor
energi, mikronutrisi, molekul (Cecconi et al., 2008) dan hormon yang diperlukan
dalam dalam proses perkembangan dan maturasi oosit melalui gap junction
communication. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan sel kumulus sangat
penting untuk proses tumbuh dan perkembangan oosit serta berperan dalam proses
maturasi oosit.

Perubahan kondisi intraseluler yang terjadi pada oosit dapat berupa terjadinya
akumulasi ion, karbohidrat dan meningkatkannya jumlah organel seperti ribosom dan
mitokondria yang berpengaruh juga terhadap peningkatan volume dan diameter oosit
(Fair et al., 1997; Hyttel et al., 1997; Johnson dan Everitt, 2007). Perubahan kondisi
fisiologi intraseluler pada oosit tersebut selain berperan dalam maturasi oosit,
berperan juga dalam proses fertilisasi dan perkembangan oosit mencapai embrio
(Johnson dan Everitt, 2007).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Haque et al., (2012) dan Da Costa et al.,
(2013) yang menunjukkan bahwa suplementasi cairan folikel dapat mendukung
perkembangan maturasi oosit. Kondisi tersebut karena cairan folikel mengandung
materi yang dapat mendukung dan menstimulasi perkembangan oosit (Malekshah et
al., 2005). Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Wahjuningsih dan Djati (2012)
bahwa cairan folikel dapat digunakan sebagai bahan suplementasi dalam maturasi
in vitro.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas oosit sangat
menentukan tingkat maturasi dari oosit yang dimaturasikan secara in vitro, dimana
kualitas A yang paling baik dibandingkan kualitas B dan C. Maturasi oosit kambing
dapat dilakukan secara in vitro baik menggunakan media yang mengandung BSA
maupun NBCS dengan tingkat maturasi yang seimbang. Selain itu suplementasi
berupa cairan folikel pada media maturasi memberikan efek terhadap perkembangan
maturasi oosit karena cairan folikel mengandung materi yang dapat mendukung dan
menstimulasi perkembangan oosit.
DAFTAR PUSTAKA

Avery B, Strobech L, Jacobsen T, Bogh IB, Greve T. 2003. In vitro maturation of


bovine cumulus-oocyte complexes in undiluted follicular fluid, effect on
nuclear maturation, pronucleus formation and embryo
development.Theriogenology 59: 987-999
Boediono A dan Damayanti T. 1996. Dari limbah rumah potong hewan bisa
dihasilkan kambing . Spektrum 10 :32-33.
Cecconi S, Mauro A, Capacchietti G, Berardinelli P, Bernabò N, Di Vincenza AR,
Mattioli M, Barboni B. 2008. Meiotic maturation of incompetent prepubertal
sheep oocyte is induced br paracrine factor(s) relased by gonadotropine-
stimulated oocyte-cumulus cell complexes and involves mitogen activated
protein kinase activation. Endocrinology 149: 100-107.
Cushman RA, Wahl CM, Fortune JE. 2002. Bovine ovarian cortical pieces grafted to
chick embryonic membranes: a model for studies on the activation of
primordial follicles. Human Reprod 17: 48-54.
Da Costa N, Wahjuningsih S, Isnaini N. 2013. Suplementation with goat follicular
fluid in the in vitro maturation medium toward cumulus expansion and
nucleus transformation. Journal of Biologi Agriculture and Healthcare 3 (3):
108-113.
Deshpande SB, Pathak MM. 2010. Hormonal and biochemical profiles in follicular
fluid of unovulated follicles in superovulated goats ovaries. Veterinary Word
3 (5): 221-223.
Dode MA, Graves C, 2002. Involment of steroid hormone on in vitro maturation of
pig oocytes. Theriogenology 57: 811-821.
Ducibella T, Huneau D, Angelichio E, Xu Z, Schultz RM, Kopf GS, Fissore R,
Madoux S, Ozil JP. 2002. Egg-to-embryo transition is driven by differential
responses to Ca2+ oscillation number. Dev Biol 250: 280-291
Fair T, Hulshof SCJ, Hyttel P, Greve T. 1997. Oocyte ultrastructure in bovine
primordial to early tertiary follicles.Anatomy Embryo 195: 327-336
Gilchrist RB, Lane M, Thompson JG. 2008. Oocyte-secreted factors: regulation of
cumulus cell function and oocyte quality. Human Reproduction14(2):159-177
Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Oxon UK. Cab
International. Wellingford.
Gordon I. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos, 2nd edition. London
(GB): CABI publishing.
Guerin, J. F. 2003. Folliculogenesis and Ovulation.http //www.gfmer.ch/Books/
Reproductive_health /Folliculogenesis_and_ovulation.html.
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th edition. USA (US):
Lippincott Williams & Wilkins.
Haque SAM, Khandoker MAMY, Kabiraj SK, Asad LY, Fakruzzaman M, Tareq
KMA. 2012. Effect of goat follicular fluid in vitro production of embryos in
Black Bengal Goats. Iranian Journal of Applied Animal Science 2(3): 287-
294.
Hyttel P, Fair T, Callesen H, Greve T. 1997. Oocyte growth, capacitation and final
maturaration in cattle. Theriogenology 47: 23-32.
Isobe N, Terada T. 2001. Effect of bovine follicular fluid added to the maturation
medium on sperm penetration in pig oocytes matured in vitro. Journal of
International Development and Cooperation7(1): 59-66.
Johnson MH, Everitt BJ. 2007. Essential Reproduction. Australia. Blackwell
Publishing.
Ka HH, Sawai K, Wang WH, Im KS, Niwa K. 1997. Amino acids in maturation
medium and presence of cumulus cell at fertilization promote male pronuclear
formation in porcine oocytes matured and penetrated in vitro. Biol Reprod 57:
1478-1483.
Krisher RL, Brad AM, Herrick JR, Sparman ML, Swain JE. 2007. A comparative
analysis of metabolism and viability in porcine oocytes during in vitro
maturation. Anim Reprod Sci. 98:72-96.
Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells
synergistically improve mouse early embryo development in vivo. J.
Reproduction and Development 51: 195-199.
Maurer MJ. 1992. Toward serum free. Chemical defined media for mammalian cell
culture. A practical approach. 2 nd ed. New York. Oxford University Press.
Moor RM, Mattioli M, Ding J, Nagai T, 1990. Maturation of pig oocytes in vivo and
in vitro. Reprod Fertil 40 (Suppl), 197-210.
Nicolas MO, Leese G, Picton HM, Harris SE. 2005. Fluctuation in bovine ovarian
follicular fluid composition throughout the oestrous cycle.Reproduction
129:219-228.
Pawshe, C.H., S.M. Totey And S.K. Jain. 1994. A comparison of three methods of
recovery of goat oocytes for in vitro maturation and fertilization.
Theriogenology 42:117-125.
Rahman, A.N.M.A., R.B. Abdullah, and W.E. Wan-Khadijah. 2008. In vitro
maturation of oocytes with special reference to goat: A Review. Biotechnol.
7(4):599-611.
Senger PL. 1997. Pathways to Pragnancy and Parturition. Washington (US): Current
Conceptions Inc.
van der Valk J, Mellor D, Brands R, Fischer R, Gruber F, Gsthraunthaler G,
Hellebrekers L, Hyllner J, Jonker FH, Prieto P, Thalen M, Baumans V, 2004.
The humanecollection of fetal bovine serum and possibilities for serum-free
cell and tissue culture. Toxicology in Vitro 18: 1–12.
Wahyuningsih S,Djati S. 2012. Protein expression of goat follicular fluid
(GFF).Journal of Agricultural Science and Technology 2: 917-920.
Wang ZG, Zu ZR, Yu SD. 2007. Effects of oocytes collection techniques and
maturation media on in vitro maturation and subsequent embryo development
in Boer goat. J Anim Sci 52(1): 21-25.
Wattimena, J. 2011. Pematangan oosit domba secara in vitro dalam berbagai jenis
serum. J. Agrinimal 1: 22-27.
Widayati, D. T. 1999. Pengaruh Ukuran Folikel terhadap Qualitas Oosit kambign
Etawa (PE) dan Kemampuan Maturasi In Vitro. Buletin Peternakan. 23(3):94-
102.
Yamauchi N, Nagai T. 1999. Male pronuclear formation in denuded porcine oocytes
after in vitro maturation in the presence of cysteamine. Biol Reprod 61: 828-
833.
Yoshida, M., Y. Mizoguchiu, K Ishigaki, T. Kojima, and T. Nagai.1992. Effet of
Maturation Media on Male Pronucleus formation in Pig Oocytes Matured In
Vitro. Reprod. Development.31:68.
Younis AI, KA Zuelke, KM Harper, MA Oliveira, Brackett BG. 1991. In vitro
fertilization of goat oocytes. Biol Reprod 44: 1177-1182.

Anda mungkin juga menyukai