PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oosit
Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang
memiliki fungsi utama menghasilkan sel gamet betina dan juga berfungsi
memproduksi hormon reproduksi. Terdapat dua bagian pada ovarium yaitu korteks
(bagian lateral) dan medula (bagian medial). Bagian korteks ovarium dilapisi oleh
satu lapis epitelium kuboid dan stroma yang terdiri dari jaringan ikat longgar.
Sedangkan pada bagian medula terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat
(Senger, 1997).
Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium.
folikulogenesis terjadi di dalam ovarium, dimana folikel mengalami berbagai tahap
perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel primordial sampai berkembang
menjadi folikel matang dan oosit siap diovulasikan. Berdasarkan morfologinya
perkembangan folikel dibedakan menjadi dua yaitu folikel preantral dan folikel
antral. Folikel prentral merupakan tahapan folikel yang belum memiliki antrum
sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel yang telah memiliki antrum.
Folikel primordial merupakan bentuk awal dari folikel dan ditemukan pada hewan
setelah lahir dengan jumlah oosit tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez, 2000).
Folikel berisi banyak oosit yang diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih
(Cushman et al, 2000). Folikel primordial kemudian tumbuh menjadi folikel primer
dan sekunder. Folikel primer ditandai dengan adanya pembesaran diameter
oosit yang meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, kemudian diikuti dengan
perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk
pipih menjadi kuboid (Hafez & Hafez, 2000).
Tahap pembentukan folikel sekunder terjadi proliferasi sel kuboid membentuk
beberapa lapisan sel granulosa dan membentuk membran (zona pelusida) yang
mengelilingi oosit (Cushman et al. 2000). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh
lapisan sel epiteloid yang selanjutnya membentuk sel teka interna. Folikel sekunder
dengan sel teka interna disebut folikel preantral (Guerin, 2003). Pada tahap akhir
perkembangan folikel massa sel granulosa mensekresikan cairan folikuler yang
mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan
munculnya antrum di dalam massa sel granulosa. Perkembangan folikel tersier
ditandai dengan antrum yang semakin meluas dan sel yang ada di sekeliling zona
pelusida mulai membentuk korona radiata (Chusman, 2000).
Diameter folikel semakin meningkat karena produksi cairan folikuli yang semakin
meningkat sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel, dinding folikel semakin
menipis hingga akhirnya terjadi ovulasi. Pada kondisi ini, folikel disebut sebagai
folikel de Graaf (Hafez & Hafez, 2000). Proses folikulogenesis juga diikuti dengan
proses pertumbuhan dan pematangan oosit yang disebut dengan oogenesis.
Perkembangan oosit terdiri dari tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan dan
pematangan.
Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia
yang terjadi pada saat pralahir atau sesaat setelah lahir dan kemudian oogonia
berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap
ini disebut germinal vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang
utuh dan nukleus yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan
dan pematangan yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel.
Pertumbuhan oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan
ukuran dari organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus,
butir lemak, peningkatan proses transkrip untuk sintesis protein. Tahap pematangan
oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez & Hafez,
2000).
pada suhu 56oC selama 30 menit, kemudian disimpan pada freezer bersuhu -20oC.
Setelah itu cairan folikel ditambahkan pada media maturasi in vitro sel oosit untuk
kemudian diamati dengan bantuan mikroskop
BAB IV
In vitro maturation (IVM) adalah salah satu tahapan dalam proses IVF. Pada
kebanyakan penelitian, medium dasar untuk IVM diperkaya oleh hormon dan
berbagai konsentrasi serum. Medium maturasi dan pemilihan suplemen protein dan
hormon untuk IVM sangat berperan dalam keberhasilan IVF dan perkembangan
selanjutnya. Menurunnya perkembangan zigot hasil IVF pada kambing merupakan
indikasi bahwa kondisi IVM tidak mendukung maturasi sitoplasmik. Perbaikan sistim
IVM untuk oosit sangat diperlukan dengan maksud menciptakan kondisi in vitro yang
mirip dengan lingkungan in vivo (Wang et al., 2007).
Kualitas oosit sangat mempengaruhi tingkat maturasi yang dihasilkan, seperti
halnya yang dijelaskan oleh Gordon (1994) bahwa oosit dengan morfologi bagus
yaitu kumulus berlapis-lapis, kompak, ooplasma homogen, penampilan COC terang
dan transparan menghasilkan lebih banyak oosit yang maturasi setelah IVM. Telah
diketahui bahwa hubungan antara sel-sel kumulus dan oosit sangat penting, tidak
hanya dalam proses maturasi oosit ke stadium metaphase II tetapi juga pada maturasi
sitoplasma yang diperlukan untuk perkembangan oosit setelah fertilisasi (Moor et al.,
1990, Ka et al., 1997).
Interaksi sel kumulus dan oosit menghasilkan glycosaminoglycan, hormon
steroid, nutrisi, dan faktor-faktor lain yang mendukung maturasi oosit (Yanagimachi
dan Nagai, 1999, Dode dan Graves, 2002). Penambahan BSA maupun NCS pada
media tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan terkait persentase oosit
kualitas A yang mencapai metaphase II (74 dan 75 %). Hal tersebut terjadi
kemungkinan karena baik BSA maupun NCS yang ditambahkan ke dalam media
IVM mengandung komponen yang dibutuhkan dalam perkembangan oosit.
Keberhasilan oosit mencapai maturasi secara in vitro dipengaruhi oleh kualitas
oosit di samping banyak faktor lain yaitu di antaranya media, sistim kultur termasuk
suhu, kelembaban dan kandungan CO2 dalam inkubator. Menurut Gordon (1994)
pada umumnya media untuk maturasi oosit secara in vitro diperkaya dengan serum
atau albumin. BSA mau pun serum yang ditambahkan pada media kultur berfungsi
untuk menyediakan energi dan protein untuk proses metabolik dan anabolik (Maurer,
1992). Albumin tidak hanya membantu dalam ikatan lemah, menyediakan tempat
untuk tercukupinya komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan
kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-molekul kecil.
Younis et al., (1991) menggunakan media yang diperkaya dengan serum untuk
maturasi oosit kambing secara in vitro, dan memperoleh hasil yang bagus. Serum sapi
dalam hal ini fetal calf serum (FCS) digunakan sebagai sumber protein yang utama di
dalam media IVM (Gordon, 1994). Serum mengandung komponen esensial seperti
hormon, vitamin, protein, dan faktor pertumbuhan (van der Valk, 2004), yang
tentunya bermanfaat dalam perkembangan sel. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa kualitas oosit sangat menentukan tingkat maturasi
dari oosit yang dimaturasikan secara in vitro, dimana kualitas A yang paling
baik dibandingkan kualitas B dan C. Maturasi oosit kambing dapat dilakukan
secara in vitro baik menggunakan media yang mengandung BSA maupun
NBCS dengan tingkat maturasi yang seimbang.
Sementara untuk hasil dari penambahan cairan folikel pada media menunjukan
adanya peningkatan ekspansi kumulus. Pengamatan tingkat ekspansi kumulus
dilakukan karena ekspansi kumulus merupakan salah satu indikator oosit telah matang.
Gordon (1994) dan Rahman et al., (2008) menyatakan bahwa ekspansi sel kumulus
dapat digunakan sebagai penanda maturasi oosit. Hal ini dapat terjadi karena sel
kumulus berperan dalam proses perkembangan dan maturasi oosit (Gilchrist et al.,
2008). Pada proses maturasi oosit, sel kumulus berperan sebagai mediator transpor
energi, mikronutrisi, molekul (Cecconi et al., 2008) dan hormon yang diperlukan
dalam dalam proses perkembangan dan maturasi oosit melalui gap junction
communication. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan sel kumulus sangat
penting untuk proses tumbuh dan perkembangan oosit serta berperan dalam proses
maturasi oosit.
Perubahan kondisi intraseluler yang terjadi pada oosit dapat berupa terjadinya
akumulasi ion, karbohidrat dan meningkatkannya jumlah organel seperti ribosom dan
mitokondria yang berpengaruh juga terhadap peningkatan volume dan diameter oosit
(Fair et al., 1997; Hyttel et al., 1997; Johnson dan Everitt, 2007). Perubahan kondisi
fisiologi intraseluler pada oosit tersebut selain berperan dalam maturasi oosit,
berperan juga dalam proses fertilisasi dan perkembangan oosit mencapai embrio
(Johnson dan Everitt, 2007).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Haque et al., (2012) dan Da Costa et al.,
(2013) yang menunjukkan bahwa suplementasi cairan folikel dapat mendukung
perkembangan maturasi oosit. Kondisi tersebut karena cairan folikel mengandung
materi yang dapat mendukung dan menstimulasi perkembangan oosit (Malekshah et
al., 2005). Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Wahjuningsih dan Djati (2012)
bahwa cairan folikel dapat digunakan sebagai bahan suplementasi dalam maturasi
in vitro.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas oosit sangat
menentukan tingkat maturasi dari oosit yang dimaturasikan secara in vitro, dimana
kualitas A yang paling baik dibandingkan kualitas B dan C. Maturasi oosit kambing
dapat dilakukan secara in vitro baik menggunakan media yang mengandung BSA
maupun NBCS dengan tingkat maturasi yang seimbang. Selain itu suplementasi
berupa cairan folikel pada media maturasi memberikan efek terhadap perkembangan
maturasi oosit karena cairan folikel mengandung materi yang dapat mendukung dan
menstimulasi perkembangan oosit.
DAFTAR PUSTAKA