Anda di halaman 1dari 790

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR.

REZA
DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. REYNALDO

OFFICE ADDRESS:

Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 20132
Tlp 021-22475872 WA/Line 082122727364
WA. 081380385694/081314412212

www.optimamedis.com
ILMU
P E N YA K I T
DALAM
1. Reaksi hipersensitivitas
1. Reaksi hipersensitivitas
2. Hipertiroid
Hipertiroidisme

Kumar and Clark Clinical Medicine


Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Graves’ disease(penyebab Manifestasi klinis hipertiroid
hipertiroid terbanyak) • Apathetic thyrotoxicosis
• Pr:Lk5–10:1, usia terbanyak – dpt terjadi pada org tua dengan
40 - 60 thn satu2nya gejala berupa letargi

• Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII • Thyroid storm/krisis


(+pada 80%), anti-TPO, tiroid(mengancam jiwa,
antithyroglobulin; ANA mortalitas 20–50%):
• Manifestasi klinis yaitu gejala – delirium, demam, takikardia,
hipertiroid ditambah: – hipertensisistolik dengan tekanan
nadi melebar &↓MAP, gejala
– Goiter
pencernaan;
• diffusa, tdk nyeri, terdengar
bruit
– ophthalmopati: 90% kasus
• Edema periorbital, retraksi
kelopak, proptosis
– myxedema pretibial (3%):
• edema di tungkai bawah akibat
dermopati infiltratif
Pemeriksaan penunjang • Hipertiroid Subklinis
• ↑FT4 &FT3; ↓TSH (↑ pada sebab
sekunder) – ↓TSH ringan &free T4
• RAIU scan utk menentukan normal,tanpa gejala klinis
penyebab – 15%  hipertiroid dlm 2 thn;
• Tidak perlu periksa autoantibodi ↑resiko AF & osteoporosis
kecuali pada kehamilan (resiko fetal
Graves)
• Dapat terjadi hipercalciuria,
hipercalcemia, anemia
• Indeks Wayne
– Skor>19 hipertiroid
– Skor<11 eutiroid
– Antara 11-19 equivocal
• The diagnosis of hyperthyroidism is based upon thyroid function tests. In patients in whom there is
a clinical suspicion of hyperthyroidism, the best initial test is serum TSH.
Penyakit Endokrin
20.
Radioactive Iodine
3. GERD
• Definition:
– Suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu.

• Symptoms:
– Heartburn; midline retrosternal burning sensation
that radiates to the throat, occasionally to the
intrascapular region.
– Others: regurgitation, dysphagia, regurgitation of
excessive saliva.

GI-Liver secrets
GERD
Clinical Presentation of GERD
Typikal Ektraesofageal
• Heartburn
• Laryngitis
• Regurgitation
• Asthma

Atypikal • Sinusitis
• Chronic cough
• Chest pain
• Aspiration pneumonia
• Nausea
• Dental erosion
• Vomiting
• Bronchospasm
• Bloating
• Sore throat
• Dyspepsia
• Epigastric pain

Badillo R, et al. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2014.


Richter JE. Gastroenterol Clin North Am. 2007.
Alarm symptoms
• Progressive dysphagia
• Odynophagia
• Unknown weight loss
• New onset anemia
• Hematemesis and/or melena
• Familiy history with
malignancy of stomach
and/or esophagus.
• Persistent vomiting
GERD Classification
• Non-erosive reflux disease/NERD
– 60-70% of GERD
– Normal endoscopy

• Erosive esophagitis
– 20-30% of GERD
– Endoscopy found mucosal break in esophagus
Indication for Endoscopy
• Endoscopy in GERD indicated for patients:
– Had alarm symptoms
– The patient does not respond to the PPI empirical
therapy with a dose of 2 times a day.

• Endoscopy in GERD
– The findings of reflux esophagitis has specificity of 90-
95% for GERD.
– Los Angeles or Savary-Miller classification for severity
of esophagitis.

ASGE. Gastrointest Endosc. 2007


Konsensus Nasional Penatalaksanaan GERD di Indonesia. 2013
 Tata laksana
 Non farmako: hindari pencetus, turunkan BB, hindari makan besar &
terlambat terutama 2-3 jam sebelum tidur, elevasi kepala saat tidur
 Farmako: PPI (sd 2x/hr), antacids, PPI menghilangkan 80–90% gejala;
ES: diare, ↑ risiko C. diff
 Bedah: fundoplication jika refrakter thhdp farmakologi: berhasil >
90%, tapi > 1⁄2 kembali ke farmakologi setelah 10 tahun
 Komplikasi
 Barrett’s esophagus: 10–15%
 Adenocarcinoma Esophageal: risiko 0.5%/tahun
 Tujuan Pengobatan
 Hilangkan gejala
 Sembuhkan esofagitis
 Tanggulangi dan cegah komplikasi
 Pertahankan remisi
GERD
4. Pielonefritis Akut
• Trias gejala pielonefritis: demam, nyeri ketok CVA, mual/
muntah.

• Pemeriksaan penunjang:
– Urinalisis: didapatkan pyuria (>5-10 leukosit/LPB), atau
didapatkan esterase leukosit yang positif.
– Pemeriksaan radiologi umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakka diagnosis, kecuali pada gejala yang tidak khas, atau
pada pasien yang tidak respons terhadap terapi.

• Tatalaksana adalah antibiotik. DOC: fluoroquinolones,


cephalosporins, penicillins, extended-spectrum penicillins,
carbapenems, atau aminoglycosides.
4. Pyelonefritis
• Uncomplicated Pyelonephritis
– Mild to moderate cases
– Severe cases

• Complicated Pyelonephritis
– Infection associated with a condition, such as a
structural or functional abnormality of the
genitourinary tract, or the presence of an underlying
disease, which increase the risk of a more serious
outcome than expected from UTI
Complicated UTI
• Hospital acquired infection
• Symptoms for > 7 days
• Renal failure
• Renal transplantation
• Immunosuppression
• Catheter, stent, nephrostomy
• Recent urinary instrumentation
• Obstruction
• Anatomic abnormality
• Urologic dysfunction
Klasifikasi ISK
4. Pielonefritis

• Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal
terapi), terapi dapat dibatasi selama 7-10 hari.
• Pada laki-laki muda (< 35 tahun), sebaiknya fluoroquinolone diteruskan
hingga 14 hari. Karena risiko aktivitas seksual lebih aktif.
• Pada beberapa penelitian pemberian golongan β-lactam kurang dari 14 hari
berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi.
• Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari
dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari.
Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
4. Severe Uncomplicated Pyelonephritis
• Terapi antibiotic IV dahulu, setelah perbaikan dapat diganti antibiotic
oral hingga total pengobatan selama 1-2 minggu
Complicated Pyelonephritis
• Antibiotik IV durasi 7-14 hari
5. Anemia
• Menurut WHO, anemia merupakan keadaan
dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah
merah, baik itu dalam kadar hemoglobin dan
atau hematokrit, selama volume darah total
dalam batas normal
• WHO memakai standard kadar Hb < 12,5 g/dL
untuk dapat menegakkan diagnosis anemia
• Di Amerika, digunakan batas Hb < 13,5 g/ dL
untuk laki-laki dan <12,5 dL untuk perempuan.
5. Gejala anemia
• Gejala dapat bervariasi
• Pada anemia karena
kehilangan darah yang akut,
lemah atau pun tidak
sadar.
• Sementara pada keadaan
pendarahan kronisbadan
lemah atau bahkan tidak
bergejala sama sekali.
• Pada anemia hemolisis
perubahan warna kulit
menjadi warna kuning
(ikterus) karena proses
hemolisis yang menghasilkan
bilirubin
5. Anemia
http://emedicine.medscape.com/article/954506-workup
Anemia Normositik

Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.


5. Indeks Eritrosit
• Indeks eritrosit/ indeks • mean corpuscular volume (MCV)
kospouskuleradalah batasan untuk
– Volume/ ukuran eritrosit :
ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.
mikrositik (ukuran kecil),
• terdiri atas :
normositik (ukuran normal),
– (MCV : mean corpuscular volume) dan makrositik (ukuran
– (MCH : mean corpuscular besar).
hemoglobin)
– (MCHC : mean corpuscular
• mean corpuscular hemoglobin
hemoglobin) (MCH)
– (RDW : RBC distribution width atau – bobot hemoglobin di dalam
luas distribusi eritrosit)  perbedaan eritrosit tanpa
ukuran
memperhatikan ukurannya.
• Indeks eritrosit dipergunakan secara
luas dalam mengklasifikasi anemia • mean corpuscular hemoglobin
atau sebagai penunjang dalam concentration (MCHC)
membedakan berbagai macam – konsentrasi hemoglobin per
anemia. unit volume eritrosit.
Hipokrom: MCH ˂ normal Hiperkrom:
MCH ˃ normal
Mikrositik: MCV ˂ normal
Makrositik: MCV ˃ normal
Parameter pengukuran anemia

Measurement Normal Range


A. RCC 5 million 4 to 5.7
B. Hemoglobin 15 g% 12 to 17
C. Hematocrit 45 % 38 to 50

MCV C ÷ A x 10 = 90 fl
MCH B ÷ A x 10 = 30 pg
MCHC (%) B ÷ C x 100 = 33%
www.drsarma.in
5. Pembahasan Soal
• Pada soal didapatkan HB 10, Ht 27, eritrosit 3
juta.
• Maka menghitung MCV = (Ht/Jumlah eritrosit)
x 10  (27/3) x 10 = 90
• MCV = 90  maka anemia pasien termasuk ke
dalam anemia normositik normokrom
6-7. Diabetes Mellitus
Klasifikasi DM: Faktor Risiko
• DM tipe 1 ( destruksi sel , umumnya diikuti
defisiensi insulin absolut): • Usia > 45 tahun
– Immune-mediated atau Idiopatik, biasa pada • Berat badan lebih: > 110 % BB
usia muda idaman atau IMT > 23 kg/m2
• DM tipe 2 • Hipertensi ( TD  140/90 mmHg )
– bervariasi mulai dari yang: predominan
resistensi insulin dengan defisiensi insulin • Riwayat DM dalam garis keturunan
relatif – predominan defek sekretorik dengan • Riwayat abortus berulang,
resistensi insulin
melahirkan bayi cacat, atau BB lahir
– biasa pada usia dewasa
bayi > 4.000 gram
• Tipe spesifik lain:
– Defek genetik pada fungsi sel ; Defek genetik
• Riwayat DM gestasional
pada kerja insulin; • Riwayat TGT atau GDPT
– Penyakit eksokrin pancreas; • Penderita penyakit jantung koroner,
– Endokrinopati; tuberkulosis,
– Diinduksi obat atau zat kimia; Infeksi; Bentuk
tidak lazim dari immune mediated DM; • Hipertiroidisme
– Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan • Kolesterol HDL  35 mg/dL dan
dengan DM atau trigliserida  250 mg/dL
• DM gestasional
GEJALA DM
• Keluhan klasik DM
– Poliuria
– Polidipsia
– Polifagia
– Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
• Keluhan lain :
– Lemah badan
– Kesemutan
– Pandangan kabur
– Disfungsi ereksi pada pria
– Pruritus vulvae pada wanita
Pemeriksaan HbA1c (> 6.5%) oleh ADA (American
Diabetic Association) 2011 sudah dimasukan menjadi
salah satu kriteria DM.
Diabetes Mellitus
• Kriteria diagnosis DM:
1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi


Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan


keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained
weight loss), atau

4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang


terstandarisasi NGSP

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Diabetes Mellitus
• Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria
normal atau DM digolongkan ke dalam
prediabetes (TGT & GDPT):
– Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
• GDP 100-125 mg/dL, dan
• TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT):
• Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan
• Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
– Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Alur Diagnosis
DM 2011
Diabetes Mellitus
• Cara pelaksanaan TTGO:
– Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan &
beraktivitas seperti biasa,
– Puasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, boleh minum air tanpa gula,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa puasa,
– Diberikan glukosa 75 gram dalam air 250 ml, diminum
dalam 5 menit,
– Puasa kembali selama 2 jam,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah
beban glukosa,
– Selama proses pemeriksaan, subjek tetap istirahat & tidak
merokok.

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


Monitoring Terapi DM
• Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah:

A. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah


Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
• Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai.
• Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
• Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
• Glukosa 2 jam setelah makan, atau
• Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
Monitoring Terapi DM
B. Pemeriksaan HbA1C
• Cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya.
• Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi,
HbA1c diperiksa:
– setiap 3 bulan ,atau
– tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%).
• HbA1C tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi
pada kondisi tertentu seperti:
– anemia,
– hemoglobinopati,
– riwayat transfusi darah 2-3
bulan terakhir,
– keadaan lain yang mempengaruhi umur
eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
Monitoring Terapi DM
C. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
• Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan
menggunakan darah kapiler.
• Waktu yang dianjurkan:
– pada saat sebelum
makan,
– 2 jam setelah makan (untuk menilai ekskursi
glukosa),
– menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan
– di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala), atau
– ketika mengalami gejala seperti
hypoglycemic spells .
8. Penyakit katup Jantung
8. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


8. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
8. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
9. Rheumatoid Arthritis

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
Gambaran Klinis dan Patofisiologi
• GEJALA UMUM
– Demam
– Lemas
– Penurunan Berat Badan
• GEJALA LOKAL
– Poliartritis simetris terutama
pada PIP, MCP
– Kekakuan sendi >30 menit
– Sendi merah, bengkak
– Deformitas sendi
• EKSTRA-ARTIKULAR
– Nodul Rematoid
– Keratokonjungtivitis sicca
– Efusi pericardium
– Pyoderma gangrenosum
– Anemia
Rheumatoid Arthritis

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Rheumatoid Arthritis
• Skor 6/lebih: definite RA.
• Faktor reumatoid: autoantibodi terhadap IgG
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint
hyperextension of the DIP joint. with flexion of the DIP joint .

Rheumatoid Arthritis
Ulnar deviation of the fingers with wasting
Rheumatoid nodules &
of the small muscles of the hands and
olecranon bursitis.
synovial swelling at the wrists, the extensor
tendon sheaths, MCP & PIP.
Terapi
1. Synthetic DMARDS 3. low-dose
glucocorticoids

2. Biologic DMARDS

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
Rheumatoid Arthritis
Kompetensi Dokter Umum

O’Dell J. et al. Rheumatoid Arthtritis in Imboden JB. et al. Current Diagnosis and Treatment Rheumatology. 3rd edition. 2013
10. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler
mendorong cairan ke
ekstravaskular

Permeabilitas kapiler menjaga


keseimbangan pertukaran zat
intra-ekstavaskular

Tekanan onkotik menjaga


cairan tetap di dalam
intravaskular

Saluran limfatik, tempat aliran


molekul besar yang tidak bisa
masuk ke kapiler 1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia:
F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17.
10. Efusi Pleura
Tekanan hidrostatik kapiler 
Contoh: CHF

Permeabilitas kapiler 
Contoh: inflamasi/infeksi

Aliran Limfatik 
Contoh: obstruksi (keganasan),
destruksi (radioterapi)

Tekanan onkotik 
Contoh: hipoalbuminemia

1.Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Serous fluid. Urinalysis and body fluids. 5th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2008. p.221-32.
2.Light RW. Physiology of the pleural space. In: Light RW, ed. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013:8-17..
10. Efusi Pleura
10. Efusi
Pleura
10. Efusi Pleura

• Garis Ellis-Damoiseau  garis lengkung konveks dengan puncak pada


garis aksilaris media
• Segitiga Garland  daerah timpani yang dibatasi vertebrae torakalis,
garis Ellis-Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan
• Segitiga Grocco  daerah redup kontralateral yang dibatasi garis
vertebrae, perpanjangan garis Ellis-Damoiseau ke kontralateral dan
batas paru belakang
11. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
Coombs murmur);
• Carditis: – and a high-pitched,
decrescendo, diastolic murmur
– (40% of patients) of aortic regurgitation heard at
– and may include cardiomegaly, the aortic area.
new murmur, congestive heart – Murmurs of mitral and aortic
failure, and pericarditis, with or stenosis are observed in
without a rub and valvular chronic valvular heart disease.
disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.

• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.

• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):


– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic fever-treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic
to penicillin  erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat
culture is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks
to be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day
– for 2-6 weeks to be tapered off
Rheumatic Fever -Pprevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4
week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention

Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis


• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10
years since last episode or until 40 years of age (whichever
is longer), sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or
well into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


TABEL KLASIFIKASI PGK BERDASARKAN
12. Gagal Ginjal DERAJATNYA
Derajat Deskripsi LFG (ml/mnt/1,73m2)
Kronik
Definisi
1 LFG normal atau ↑ ≥ 90
• Kerusakan ginjal (renal damage) yang
terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau 2 60-89
Penurunan LFG ↓ ringan
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
3a Penurunan LFG ↓ ringan 30-59
– Kelainan patologis
– Terdapat tanda kelainan ginjal, hingga sedang
termasuk kelainan dalam komposisi 3b Penurunan LFG ↓
darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging test). sedang hingga berat
• LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 4 Penurunan LFG ↓ berat 15-29
selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. 5 <15 atau dialisis
Stage Kreatinin Terapi
Gagal ginjal
Sumber: KDIGO 2012
1 Early ♀: < 1,5 ♂: < 2 Reserve progression
Klasifikasi di samping banyak digunakan, berdasarkan
guideline dari National Kidney Foundation. Rumus
2 Latent 1,5-2,5 Stop progression Kockroft-Gault dijadikan dasar penghitungan LFG.
3 Emergent 2,5-3,5 Slow progression

4 Imminent 3,5-5,0 Persiapan ESRD


LFG (ml/mnt/1,73m2) =
(140-umur) x BB* / 72x kretinin plasma (mg/dl)
5 ESRD > 5,0 Dialysis/
Transplantasi *pada perempuan dikalikan 0,85
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
PENYAKIT GINJAL
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Terapi Penyakit Dasar PGK
– Waktu yang optimal untuk memberikan terapi untuk penyakit
dasar PGK adalah sebelum terjadinya penurunan LFG (Tabel)
– Namun bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

• Memperlambat Progresifitas PGK


– Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal
adalah adanya hiperfiltrasi intraglomerular yang disebabkan
oleh berkurangnya massa ginjal dan aktivasi sistem renin-
angiotensin.
– Hiperfiltrasi ini kemudian menyebabkan terjadinya kebocoran
protein melewati glomerulus sehingga timbul proteinuria
– Sehingga, cara yang penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
adalah dengan pembatasan asupan protein dan memberikan
obat antihipertensi untuk mengontrol hipertensi sistemik dan
glomerular.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Anemia
– Penanganan anemia pada PGK adalah dengan memberikan EPO
– Status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan
besi untuk dapat bekerja
– Transfusi harus dihindari kecuali anemia gagal berespon
terhadap pemberian EPO dan pasien simptomatik
– Sasaran Hb menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gr/dl.
• Dalam penanganan nefropati diabetik diperlukan kontrol
gula darah yang baik
– Kadar glukosa preprandial yang direkomendasikan adalah 90-
130 mg/dl dan kadar HbA1c harus <7%.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Pemberian terapi antihipertensi
– Untuk menurunkan albuminuria dan mengurangi progresifitasnya
meskipun pada pasien diabetes yang normotensi
– Secara umum, penggunaan ACE inhibitor dan ARB memiliki efek
renoprotektif, dengan jalan menurunkan tekanan intraglomerular
dan menginhibisi jalur angiotensin yang menginduksi sklerosis
ginjal, serta menghambat jalur mediasi TGF-β.
• Osteodistrofi renal
– mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1.25(OH)2D3) , asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
– Pemberian pengikat fosfat seperti garam kalsium, alumunium
hidroksida, atau garam magnesium dapat diberikan untuk
menghambat absorpsi fosfat
– Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
• Imbalans cairan dan elektrolit
– Berasumsi bahwa insensible water loss adalah 500-800 ml/hari (sesuai dengan
luas permukaan tubuh), maka air yang masuk per hari dianjurkan 500-800 ml
ditambah jumlah urin
– Elektrolit yang harus diawasi kadarnya adalah kalium karena hiperkalemia
dapat menyebabkan aritmia jantung
– Selain itu, natrium juga perlu diawasi untuk mengendalikan hipertensi dan
edema
• Terapi pengganti ginjal diindikasikan bila klirens kreatinin <15
ml/menit
– Dibandingkan dengan pasien nondiabetik, hemodialisis pada pasien DM lebih
sering menimbulkan komplikasi seperti hipotensi (karena adanya neuropati
autonom yang menyebabkan hilangnya refleks takikardia), sulitnya akses vena,
dan cepatnya progresi retinopati
12. CKD
12. SLE
• Merupakan
penyakit
inflamasi
autoimun kronis
 peradangan
pada kulit, sendi,
ginjal, paru-paru,
sistem saraf dan
organ tubuh
lainnya
12. SLE
Tatalaksana SLE
• Pilar Pengobatan SLE:
– Edukasi dan konseling
– Program rehabilitasi
• Istirahat
• Terapi fisik
• Terapi dengan modalitas
• Ortotik, dll
– Pengobatan medikamentosa
• OAINS
• Antimalaria
• Steroid
• Imunosupresan/sitotoksik
• Terapi lain
13. PENYAKIT HEPATOBILIER
Lokasi Nyeri Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis Terapi
Fisis Penunjang
Urea breath test (+): H.
pylori
Membaik dgn makan PPI: ome/lansoprazol
Endoskopi:
Nyeri epigastrik (ulkus duodenum), H. pylori:
Tidak spesifik eritema (gastritis akut) Dispepsia
Kembung Memburuk dgn makan klaritromisin+amoksili
atropi (gastritis kronik)
(ulkus gastrikum) n+PPI
luka sd submukosa
(ulkus)

Nyeri tekan & defans,


Gejala: mual &
perdarahan
muntah, Demam Peningkatan enzim Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik retroperitoneal
Penyebab: alkohol amylase & lipase di Pankreatitis Nutrisi enteral
menjalar ke punggung (Cullen: periumbilikal,
(30%), batu empedu darah Analgesik
Gray Turner:
(35%)
pinggang), Hipotensi

Prodromal (demam,
Nyeri kanan atas/ Transaminase, Serologi
malaise, mual)  Ikterus, Hepatomegali Hepatitis Akut Suportif
epigastrium HAV, HBSAg, Anti HBS
kuning.
Risk: Female, Fat,
Fourty, Hamil Nyeri tekan abdomen
Nyeri kanan atas/ USG: hiperekoik dgn Kolesistektomi
Prepitasi makanan Berlangsung 30-180 Kolelitiasis
epigastrium acoustic window Asam ursodeoksikolat
berlemak, Mual, TIDAK menit
Demam

Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik/ USG: penebalan dinding
Mual/muntah, AB: sefalosporin gen.
kanan atas menjalar Murphy Sign kandung empedu Kolesistitis
Demam 3 + metronidazol
ke bahu/ punggung (double rims)
Kolesistektomi
Kolelitiasis
• Definisi
• Batu di kandung empedu
• Empedu – garam empedu, phospholipid,
kolesterol; ↑ saturasi kolseterol di empedu +
mempercepat nukleasi + hypomotilitas kandung
empedu batu empedu
• Klinis
• Tipe: batu kolesterol 90%, batu pigmen 10%
• Kolik bilier: nyeri perut kanan atas atau
epigastrium, tiba2, bertahan 30 menit sd 3 jam,
menjalar ke scapula, mual
• Dipicu makanan berlemak
• Tata laksana
• Cholecystectomy (CCY), laparoscopic, jika
symptomatik
• Ursodeoxycholic acid (jarang) untuk batu
cholesterol jika tidak bisa operasi
• Komplikasi
• Kolsesistitis
• Koledokolitiasis  kolangitis
Penyakit Hepatobilier
• Pencitraan untuk diagnosis batu empedu:
• USG:
• pilihan pertama untuk diagnosis kandung empedu, rutin untuk
memperlihatkan besar, bentuk, penebalan kandung empedu, &
saluran empedu ekstrahepatik.
• Foto polos abdomen:
• tidak dapat memperlihatkan kolesistitis akut.
• Hanya 15% batu yang dapat terlihat.
• CT scan abdomen:
• kurang sensitif & mahal, tapi mampu memperlihatkan abses
perikolesistik yang kecil.
• ERCP:
• bermanfaat untuk deteksi & mengambil batu saluran empedu, invasif
& berisiko pankreatitis & kolangitis.
• MRCP:
• pencitraan saluran empedu tanpa risiko, tetapi bergantung operator &
bukan modalitas terapi.
Pemeriksaan penunjang kolelitiasis
• Ultrasonography
(US)pemeriksaan
penunjang pilihan untuk
mengidentifikasi batu
empedu
– Dapat mendeteksi batu
empedu sebesar 2 mm
– sensitivitas > 95%
– Cepat, noninvasif, dapat Ultrasound image obtained with a 4-MHz
dilakukan secara bedside, transducer demonstrates a stone in the
– Tidak melibatkan radiasi gallbladder neck with typical acoustic
shadow
Koledokolitiasis
• Definisi
• Batu di duktus biliaris
koledokus
• Klinis
• Asymptomatic (50%)
• Kolik bilier: nyeri perut
kanan atas atau
epigastrium, tiba2,
bertahan 30 menit sd 3
jam, menjalar ke scapula,
mual
• Obstruksi bilier  ikterik,
pruritis, mual
• Tata laksana
• ERCP & papillotomy
• CCY
• Komplikasi
• Cholangitis, cholecystitis,
pancreatitis, stricture
Cholecystitis
• Cholecystitis is inflammation of the gallbladder that occurs
most commonly because of an obstruction of the cystic duct
by gallstones arising from the gallbladder (cholelithiasis).
• Clinical symptoms of acute cholecystitis include abdominal
pain (right upper abdominal pain), nausea, vomiting, and
fever
• Jaundice may be noted in approximately 15% of patients
• Murphy’s sign are the characteristic findings of acute
cholecystitis.
• A positive Murphy’s sign has a specificity of 79%–96% for
acute cholecystitis.
Penyakit Hepatobilier
• Diagnosis kolesistitis:
• Murphy sign atau nyeri tekan
abdomen kanan atas
• Demam, leukositosis, atau
peningkatan CRP
• USG: ditemukan batu (90-95%
kasus), tanda inflamasi kandung
empedu (penebalan
dinding/double rim cairan
perikolesistik, dilatasi duktus
biliaris)

• Temuan lab lainnya:


• aminotransferase meningkat
sedang (biasanya <5 kali batas
atas)
• Bilirubin meningkat ringan (<5
mg/dL), bila tinggi kemungkinan
koledokolitiasis

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. McGraw-Hill


Pocket medicine. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Penyakit Hepatobilier
• Temuan USG kolesistitis:
• Sonographic Murphy sign
(nyeri tekan timbul ketika
probe USG ditekan ke arah
kandung empedu)
• Penebalan dinding kandung
empedu (>4 mm)
• Pembesaran kandung
empedu (long axis diameter
>8 cm, short axis diameter
>4 cm)
• Impacted stone,
pericholecystic fluid
collection
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Murphy sign
Penyakit Hepatobilier
Kolesistitis
• Terapi Medik
• Puasa, NGT, tatalaksana cairan & elektrolit
• NSAID untuk analgesik karena lebih sedikit menimbulkan
spasme sfingter Oddi daripada morfin.
• Antibiotik IV: piperacillin, ampicillin sulbactam,
ciprofloxacin, moxifloxacin, & sefalosporin generasi 3.
• Terapi Bedah
• Waktu optimal untuk operasi tergantung kestabilan pasien.
• Kolesistektomi dini (dalam 72 jam) merupakan terapi
pilihan pada sebagian besar pasien kolesistitis akut.
Kolangitis
• Definisi
• Obstruction duktus koledokus biliar  infeksi
sisi proximal dari obstruksi

• Etiologi:
• Batu duktus bilier/ koledokolitiasia (85%)
• Keganasan (biliar, pancreas) atau striktur jinak
• Infiltrasi cacing (Clonorchis sinensis,
Opisthorchis viverrini)

• Klinis
• Charcot’s triad: nyeri perut kanan atas, ikterik,
demam/menggigil; 70%
• Reynold’s pentad: Charcot’s triad + shock dan
gangguan kesadaran;15%

• Tata laksana
• Antibiotik (broad spectrum) :ampicillin +
gentamicin (atau levofloxacin) + MNZ (jika
berat); carbapenems; pip/tazo
• 20% butuh dekompresi bilier cito via ERCP
(papillotomy, extraksi, stent).
14. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
 Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
 Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


 Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
 Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
 Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
 Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
 Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


14. Angina Pektoris Stabil
• Nyeri dada muncul saat aktivitas, stres emosional
• Nyeri dada hilang dengan istirahat atau nitrogliserin
• Nyeri dada muncul <20 menit.
• Disebabkan oleh obstruksi pada arterikoroner
epikardial akibat aterosklerosis.
• Diagnosis
– Stress test
– Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan terapi
yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi.
15. Tuberkulosis
• Penyakit infeksi yang di sebabkan oleh
mycrobacterium tubercolosis dengan gejala
yang sangat bervariasi
• Kuman TB berbentuk batang, memiliki sifat
tahan asam terhadap pewarnaan Ziehl
Neelsen sehingga dinamakan Basil Tahan
Asam (BTA).
Tanda dan Gejala
1. Gejala lokal/ gejala respiratorik
 batuk - batuk > 2 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan fisik
• Pada TB paru
• tergantung luas kelainan struktur paru.
• Umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior.
• Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah.
• Pleuritis TB
• kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura.
• Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
• Pada limfadenitis TB
• terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah axila
Pembagian kasus TB
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
 Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5
(satu bulan sebelum akhir pengobatan)
 Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
15. Tuberkulosis
OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 
– Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
– Pasien TB paru terdiagnosis klinis
– Pasien TB ekstra paru

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) 


– Pasien kambuh
– Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
– Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji
Kepekaan Obat
Secara umum, resistensi terhadap obat
antituberkulosis terbagi atas :
• Resistensi primer
– apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB, (2)
• Resistensi sekunder
– bilamana pasien memiliki riwayat pengobatan
• Resistensi inisial
– jika riwayat pengobatan tidak diketahui dengan pasti
Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji
Kepekaan Obat
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
16. SEPSIS
EGDT

• Early goal
directed
therapy
• Improve sepsis
survival
Sepsis Guideline 2016

• SOFA Criteria > 2 define as organ dysfunction


Sepsis 2016
Sepsis 2016
Perbedaan kriteria sepsis lama dan
baru

Terminologi Sepsis Kriteria Lama Sepsis 2016


Sepsis SIRS disertai dengan Disfungsi organ akibat
infeksi fokal infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi Tidak ada
organ
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang
walaupun dengan membutuhkan
pemberian cairan adekuat vasopressor untuk
mempertahankan
MAP>65 dan laktat >2
mmol/L
17-18. Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
17-18. Hepatitis B clinical course
HEPATITIS VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


17-18. Hepatitis
19. Hepatitis C
 90% transfusion,
50% IDU
 Little evidence of
sexual or perinatal
transmission
 Incubation 1-5 (2)
mo
 Acute infection:
 75% subclinical
 25% jaundice
 Chronicity
 50%
 Cirrhosis: 20% of
chronic
HCV chronic infection is a systemic disease

Acute
Contamination Hepatitis
< 30% Lymphoma
> 70%
Chronic
Recovery > 95% Infection Vasculitis
Chronic
10%
Hepatitis
Cryoglobulinemia
> 20%
40%
HCC Cirrhosis
Lymphotropism
Liver disease « Chronic inflammation » Vasculitis
Signs and Symptoms
• Individuals may have one or more of the
following symptoms, while others experience
no symptoms:
–Tiredness –Weight loss
–Nausea –Abdominal pain
–Muscle or joint pain –Itchiness
–Trouble sleeping –Depression
–Loss of appetite –Dark urine (pee)
Signs and Symptoms
• A few may have specific liver related
symptoms initially:
– Pale stool (poo)
– Jaundice (yellowing of the skin or eyes)
Pemeriksaan
Tatalaksana
• Combination pegylated • Non-nucleoside inhibitors
interferon-α and ribavirin (NNIs)
(nucleoside analog) • Protease inhibitor
• Mechanism poorly • TGF-β
understood • Cyclosporin A
• Protein synthesis • Arsenic trioxide
suppression; degradation
of plus strand RNA • RNA therapieis
• 50-80% effective
Tatalaksana
Side effects:
• Flu-like symptoms, tiredness, hair loss, trouble with
thinking, moodiness, and depression
• Hematologic
– Anemia
– bone marrow suppression by IFN  neutropenia,
thrombocytopenia
– ribavirin directly toxic to red blood cells  hemolysis
• Worsening of liver disease
20. DISPEPSIA
• Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.

• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau


beberapa gejala berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas,
mual, muntah, dan sendawa.

• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
– Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
– Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


KLASIFIKASI DISPEPSIA FUNGSIONAL (ROMA III)

Epigastric pain syndrome Post prandial distress


syndrome
• Dispepsia fungsional dengan gejala • Dispepsia fungsional dengan gejala
predominan nyeri epigastrium predominan gejala ketidaknyaman
• Diagnostic criteria* Must include all pada perut
of the following: • Diagnostic criteria (Must include one
– Pain or burning localized to the or both of the following):
epigastrium of at least moderate – Bothersome postprandial fullness,
severity, at least once per week occurring after ordinary-sized meals, at
least several times per week
– The pain is intermittent
– Early satiation that prevents finishing a
– Not generalized or localized to other regular meal, at least several times per
abdominal or chest regions week
– Not relieved by defecation or passage * Criteria fulfilled for the last 3 months with
of flatus symptom onset at least 6 months prior to
– Not fulfilling criteria for gallbladder diagnosis
and sphincter of Oddi disorders • Supportive criteria
* Criteria fulfilled for the last 3 months – Upper abdominal bloating or
with symptom onset at least 6 months postprandial nausea or excessive
prior to diagnosis belching can be present
– Epigastric pain syndrome may coexist
Ya Tidak
Dispepsia
• Gejala predominan
– Nyeri epigastrium
 PPI
(omeprazole,
lansoprazole, dll)
– Cepat kenyang,
mual, muntah 
Agen prokinetik
(contoh:
metoklopramid,
domperidon)
• Dapat
dikombinasikan
antara PPI dan agen
prokinetik
21. Pneumothorax
Definisi: Pneumotoraks udara bebas di dalam rongga pleura

KIRCHER & SWARTEL

• A.B–a.b X 100% = LUAS PNEUMOTORAK


• A.B
Jenis pneumotorak berdasarkan fistel

• Pneumotorak tertutup (Simple Pneumothorax)


– Setelah terjadi pneumotorak vistel tertutup secara
spontan
• Pneumotorak terbuka (Open Penumothorax)
– Ada hub antara pleura dengan brokus
– Ada hub antara pleura dengan dinding dada
• Pneumotorak ventil (Tension Pneumothorax)
– Berbahaya oleh karena termasuk kegawatan paru
– Sifat ventil dimana udara bisa masuk tapi tidak
bisa keluar
– Gejala mendadak dan makin lama makin berat
– Segera pasang wsd atau mini wsd ( kontra ventil )
Jenis Pneumotorak Menurut kejadian
 P. spontan
 Primer ( idio patik )

 Sekunder ( disertai py dasar )

 P. traumatik
 P. iatrogenik ( oleh karena efek samping
tindakan )
 P. katamenial
 Terapeutik
Udara
 Pato fisiologi
Ruptur / kebocoran
dinding alveol

Intertisial paru

Septa lobuler

Perifer Sentral
 
Bleb Pneumomediastinum

Distensi

Pecah

Pneumotoraks
• Mekanisme pneumotorak
Diagnosis pneumotorak
 Anamnesis
o Gejala penyakit dasar
o Sesak napas mendadak
o Nyeri dada
o Tanpa atau dg penyakit paru sebelumnya
• PF ; Takipnea Taki kardi
• PF Paru
:In ; Tertinggal pada pergerakan napas
Lebih cembung , sela iga melebar
Pal ; Fremitus melemah , Deviasi trakea
Per; Hipersonor, tanda 2 pendorongan organ
Aus; Suara napas melemah / tidak terdengar
Diagnosis pneumotorak
Ro : Paru kolaps
Pleural line
Daerah avascular
Hiper radio lusen
Sela iga melebar
tanda-tanda pendorongan
Kalau kurang jelas ro torak
CT Scan Thorak
NB: tidak dilakukan pada kasus tension
pneumotoraks
PNEUMOTORAKS

WSD
Gambar Soal
21. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.

Simple Trauma tumpul • Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan


pneumotoraks spontan udara bocor ke dalam rongga dada.
• Nyeri dada, dispneu, takipneu.
• Suara napas menurun/ menghilang, perkusi
dada hipersonor
Open Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar
pneumotoraks area toraks masuk ke rongga pleura.
• Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis.
• Suara napas menurun/menghilang
• Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi
• Sucking chest wound
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Tension Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah,
pneumotoraks di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi
dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea.
(mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas menghilang, perkusi
hipersonor.
Flail chest Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas
tulang iga, • Pernapasan paradoksal
melibatkan minimal 3
tulang iga.
Efusi pleura CHF, pneumonia, • Sesak, batuk, nyeri dada, yang
keganasan, TB paru, disebabkan oleh iritasi pleura.
emboli paru • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun,
pergerakan dinding dada tertinggal
pada area yang terkena.
Pneumonia Infeksi, inflamasi • Demam, dispneu, batuk, ronki
Hemopneumothorax
• Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam
rongga pleura.
http://emedicine.medscape.com/article/433779
Flail chest:
FLAIL CHEST • Beberapa tulang iga
• Beberapa garis fraktur pada
satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If multiple
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang rib fractures occur along the midlateral
berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding (red arrows) or anterior chest wall
dada yang bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest (dotted
black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
22. Luka Bakar
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
• 40 x 45 x 4cc = 7200cc
Indikasi Resusitasi Cairan
• Rumus Baxter adalah
dasar pemberian cairan
pertama kali
• Titrasi sesuai produksi
urine
– Bila kurang dari target
0,5-1 cc/KgBB/Jam
tambahkan volume
cairan resusitasi menjadi
150% pada jam
berikutnya atau bolus
cairan 5-10cc/KgBB
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Seorang perempuan, berat 60 kg dengan luka
bakar di dada dan perut, karena ledakan kompor
1 jam yang lalu. Terdapat eritem di dada dan
perut, bula, bula pecah, suara serak tidak ada.
• Kebutuhan cairan 4x18%x60 kg = 4320 cc/24 jam
– 2160 cc dalam 8 jam pertama 270 cc/jam
– 2160 cc dalam 16 jam berikutnya
• Saat pemberian cairan jam pertama urine 30
cc/jam (sesuai target 0,5-1 cc/KgBB/Jam
• jam ke-2 didapatkan urine 10 cc/jam (kurang dari
target.
A. Jam berikutnya diberikan 270ccx150% = 405
cc/ jam kemudian nilai ulang produksi urine
jam berikutnya
– Masih kurang? Tambah jadi 405ccx150%= 607,5
cc/jam
B. Atau berikan bolus cairan 5-10 cc/kgBB
secepatnya (utk pasien ini 300-500 cc). Nilai
urine jam berikutnya
– Masih kurang? Boleh pilih A atau B lagi
Indikasi Rawat Inap Luka Bakar
Luka Bakar Khusus
• Luka bakar listrik
– Target urine lebih banyak (1-2cc/kgBB/jam)
• mencegah sumbatan mioglobin di ginjal
• bila tidak memenuhi target dengan penambahan volume
cairan
• pertimbangkan pemberian manitol 12,5 g setiap 1000 cc
cairan resusitasi
– Fasciotomi segera untuk kompartemen syndrome
• Luka bakar anak <10 thn
– Risiko hipoglikemiaberikan cairan maintenance
tambahan yang mengandung glukosa (dihitung
dengan rumus Darrow/Holliday Segar)
23. ATLS Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-line immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
24. Urolithiasis
Nyeri Alih
25. BPH
BPH

adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
PREVALENSI
 Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
 Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
 Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.

Faktor Hormonal
Testosteron –> hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya
hiperplasia prostat

Ketidaksei
Teori mbangan Interaksi Berkurangnya
Teori sel
dihidrotest antara stroma- kematian sel
stem
osteron estrogen- epitel prostat
testosteron
PATOFISIOLOGI

Kelenjar Prostat terdiri Mekanisme BPH secara umum


dari atas 3 jaringan : patofisiologi penyebab hasil dari faktor statik
BPH secara jelas (pelebaran prostat
• Epitel atau secara berangsur-
glandular, stromal belum diketahui
dengan pasti. angsur) dan faktor
atau otot polos, dan dinamik (pemaparan
kapsul. Namun diduga terhadap agen atau
• Jaringan stromal intaprostatik kondisi yang
dan kapsul dihidrosteron (DHT) menyebabkan
ditempeli dengan dan 5α- reduktase tipe konstriksi otot polos
reseptor adrenergik II ikut terlibat. kelenjar.)
α1.
TANDA DAN GEJALA

Tanda klinis terpenting BPH


 Sering kencing adalah ditemukannya
 Sulit kencing pembesaran konsistensi
 Nyeri saat berkemih kenyal, pool atas tidak teraba
 Urin berdarah pada pemeriksaan colok
 Nyeri saat ejakulasi dubur/ digital rectal
 Cairan ejakulasi examination (DRE). Apabila
berdarah teraba indurasi atau terdapat
 Gangguan ereksi bagian yang teraba keras,
 Nyeri pinggul atau perlu dipikirkan kemungkinan
punggung prostat stadium 1 dan 2.
Manifestasi Klinis
Dapat dibagi ke dalam dua kategori :

Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau Iritatif :
faktor statik hasil dari
mengurangi obstruksi yang
pengosongan sudah berjalan
kandung kemih. lama pada leher
kandung kemih.
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1

– PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP


– as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA may be
used as a prognostic marker for BPH
Gambaran BNO IVP
Pada BNO IVP dapat ditemukan:
• Indentasi caudal buli-buli
• Elevasi pada intraureter
menghasilkan bentuk J-ureter
(fish-hook appearance)
• Divertikulasi dan trabekulasi
vesika urinaria

“Fish Hook appearance”(di tandai


dengan anak panah)

Indentasi caudal buli-buli


Pada USG (TRUS, Transrectal
Ultrasound)
• Pembesaran kelenjar
pada zona sentral
• Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
• Kalsifikasi antara zona
sentral
• Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
 Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.

 Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc.

 Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.

 Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin
serum
Sedang 8-19 Semua tanda di atas ditambah
obstruktif penghilangan gejala dan
iritatif penghilangan gejala (tanda dari
detrusor yang tidak stabil)
Parah ≥ 20 Semua hal di atas ditambah satu atau
lebih komplikasi BPH
Terapi Farmakologi
 Jika gejala ringan
 maka pasien cukup dilakukan watchful waiting (perubahan
gaya hidup).
 Jika gejala sedang
 maka pasien diberikan obat tunggal antagonis α adrenergik
atau inhibitor 5α- reductase.
 Jika keparahan berlanjut
 maka obat yang diberikan bisa dalam bentuk kombinasi
keduanya.
 Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.
Algoritma manajemen terapi BPH
BPH

Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala parah


ringan sedang dan komplikasi BPH

Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor

Jika respon Jika respon Jika respon Jika respon tidak


berlanjut tidak berlanjut, berlanjut berlanjut, operasi
operasi
antagonis α adrenergik
• Mekanisme kerja
– memblok reseptor adrenergik α 1 sehingga
mengurangi faktor dinamis pada BPH dan akhirnya
berefek relaksasi pada otot polos prostat.
inhibitor 5α- reductase
• Mekanisme kerja dari obat ini adalah
mengurangi volume prostat dengan
menurunkan kadar hormon testosteron.
• 5α-reduktase inhibitor digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa
blocker.
Terapi Non Farmakologi
 Pembatasan Minuman Berkafein
 Tidak mengkonsumsi alkohol
 Pemantauan beberapa obat seperti diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan
 Diet rendah lemak
 Meningkatkan asupan buah-buahan dan
sayuran
 Latihan fisik secara teratur
 Tidak merokok
26. Hemoroid
27. Appendisitis
Sign of Appendicitis
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ar
ticles/PMC3299622/
28. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi
– fraktur radius distal disertai dislokasi atau subluksasi sendi
radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia
– fraktur ulna sepertiga proksimal disertai dislokasi ke
anterior dari kapitulum radius.
• Fraktur Colles:
– fraktur melintang pada radius tepat diatas pergelangan
tangan dengan pergeseran dorsal fragmen distal.
• Fraktur Smith:
– Fraktur smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior
(volar), karena itu sering disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nded


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
29. Invaginasi
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf

30. Trauma Uretra


• Curiga adanya trauma
pada traktus urinarius
bag.bawah, bila:
– Terdapat trauma
disekitar traktus
urinarius terutama
fraktur pelvis
– Retensi urin setelah
kecelakaan
– Darah pada muara OUE
– Ekimosis dan hematom
perineal
Uretra Anterior:
• Anatomy:
– Bulbous urethra
Uretra Posterior :
– Pendulous urethra • Anatomy
– Fossa navicularis – Prostatic urethra
• Etiologi: – Membranous urethra
– Straddle type injuries • Etiologi:
– Intrumentasi – Fraktur tulang Pelvis
– Fractur penis • Gejala klinis:
• Gejala Klinis: – Darah pada muara OUE
– Disuria, hematuria – Nyeri Pelvis/suprapubis
– Hematom skrotal – Perineal/scrotal hematom
– Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan – RT Prostat letak tinggi atau
pada fasia Buck’s sampai ke dalam fasia melayang
Colles‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum • Radiologi:
– will be present if the injury has disrupted Buck’s – Pelvic photo
fascia and tracks deep to Colles’ fascia, creating a
– Urethrogram
characteristic ‘‘butterfly’’ hematoma in the
perineum • Therapy:
• Therapy: – Cystostomi
– Cystostomi – Delayed Repair
– Immediate Repair
• Don't pass a diagnostic • Retrograde
catheter up the patient's urethrography
urethra because: – Modalitas pencitraan yang
– The information it will give utama untuk mengevaluasi
will be unreliable. uretra pada kasus trauma
– May contaminate the dan inflamasi pada uretra
haematoma round the
injury.
– May damage the slender
bridge of tissue that joins
the two halves of his
injured urethra

Posterior urethral rupture above the


intact urogenital diaphragm
following blunt trauma

http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
Ruptur Uretra Anterior
DIAGNOSIS
• Penyebab tersering : Klinis :
straddle injury ( cedera • Perdarahan
selangkangan ) peruretra/hematuri
• Hematom / butterfly
hematom
Jenis kerusakan : • Kadang retensi urine
• Kontusio uretra
• Ruptur parsial • Kontusio : ekstravasasi

• Ruptur total • Ruptur : ekstravasasi
+ bulbosa
Sleeve Hematom

Butterfly Hematom
TINDAKAN
Kontusio :
• observasi 4-6 bln
• evaluasi: uretrografi ulang

Ruptur :
• Sistostomi 1 bulan
• 3 bulan uroflometri, k/p uretrogram .
• striktura, lakukan sachse.
RUPTUR URETRA POSTERIOR
• Ruptur uretra pars COLAPINTO DAN MCCOLLUM
(1976 ) :
prostato – • Stretching (teregang)
membranasea. – Tidak ada ekstravasasi.
• Terbanyak disebabkan • Uretra putus diatas prostato
membranasea
fraktur tulang pelvis. – Diaphragma urogenital utuh
– Ekstravasasi terbatas pada
• Robeknya ligamen pubo diaphragma urogenital.
- prostatikum • Uretra posterior,
diaph.Urogenital & uretra pars
bulbosa proksimal rusak.
– Ekstravasasi sampai perineum
DIAGNOSIS
GAMBARAN KHAS :
• PERDARAHAN PER URETRA
• RETENSI URINE
• RT : FLOATING PROSTAT. Floating Prostat

URETROGRAFI :
• EKSTRAVASASI KONTRAS PD PARS PROSTATO
MEMBRANASEA
• FRAKTUR PELVIS.
Uretrografi

Ruptur Parsial

Ruptur total
TINDAKAN KOMPLIKASI
AKUT : SISTOSTOMI • Striktura uretra
• Disfungsi ereksi
STABIL :
• Inkontinentia urine
• Primary endoskopic
realigment, 1 minggu
paska ruptur
• Uretroplasti, 3 bulan
paska ruptur.
• Rail roading kateter
dilakukan bila bersamaan
dg operasi lain.
31. Ileus Obstruktif
• Ileus:
– Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari
gerakan peristaltik usus.
• Obstruksi:
– Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan
karena adanya kelainan struktural sehingga
menghalangi gerak peristaltik usus.
– Obstruksi dapat parsial atau komplit
– Obstruksi simple atau strangulated
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
32. Dislokasi Panggul
ANTERIOR POSTERIOR

Paling sering terjadi akibat trauma


Jarang terjadi (10%)
dashboard saat mengerem (90%)

Dislokasi anterior acetabulum Dislokasi posterior acetabulum

Fleksi panggul, internal rotasi,


Ekstensi panggul, abduksi,
adduksi, ekstremitas terlihat
eksternal rotasi
memendek
soundnet.cs.princeton.edu
Posterior Hip Dislocation
Gejala
• Nyeri lutus
• Nyeri pada sendi
panggul bag.
belakang
• Sulit
menggerakkan
ekstremitas
bawah
• Kaki terlihat
memendek dan
dalam posisi
fleksi, endorotasi
dan adduksi
Risk Factor
• Kecelakaan
• Improper seating
adjustment
• sudden break in
the car
netterimages.com
soundnet.cs.princeton.edu

Anterior Hip Dislocation


Gejala
• Nyeri pada sendi
panggul
• Tidak dapat berjalan
atau melakukan
adduksi dari kaki.
• The leg is externally
rotated, abducted,
and extended at the
hip

netterimages.com
Tatalaksana Dislokasi Sendi Panggul:
Reposisi
• Bila pasien tidak memiliki komplikasi lain:
– Berikan Anestetic atau sedative dan manipulasi
tulang sehingga kembali pada posisi yang
seharusnya reduction/reposisi
• Pada beberapa kasus, reduksi harus dilakukan
di OK dan diperlukan pembedahan
• Setelah tindakan, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis ulang atau CT-scan
untuk mengetahui posisi dari sendi.
33. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)

Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


34. Compartment Syndrome
35. Osteosarkoma
36. Jaras Penglihatan
• N. Optikus  N. II
– Mulai dari optic disc dan
berlanjut hingga kiasma
optikum
– Terdiri atas 4 bagian
• Intraocular – 1 mm
• Intraorbital – 30 mm (di dekat
foramina optikum, dikelilingi
oleh Annulus of Zinn)
• Intracanalicular – 6‐9 mm
(terdapat arteri ophthalmic di
bagian inferolateralnya, sinus
ethmoid posterior dan spenoid
terletak di bagian medialnya)
• Intracranial – 10 mm (terletak di
atas sinus cavernous sinus and
menyatu dengan bagian
kontralateralnya membentuk
chiasma)
• Kiasma optikum
– Berbentuk pipih
berukuran 12mm
horizontally dan 8mm
anteroposterior
– Dibungkus oleh pia
mater dan dikelilingi
oleh CSF
– Variasi lokasi dari kiasma
• central chiasma
• prefixed chiasma
• post fixed chiasma
Gangguan Lapang Pandang:
Hemianopia
• Hemianopia, also known as Hemianopsia is
loss of vision in either the right or left sides
of both eyes
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hemianopia
Relative Afferent
Pupillary Defect (RAPD)
• The physiological basis of the RAPD test is that, in
healthy eyes, the reaction of the pupils in the right and
left eyes are linked  consensual light reflex.
• light reflex pathway has two parts :
1. The afferent part of the pathway (red) refers to the
nerve impulse/message sent from the pupil to the brain
along the optic nerve when a light is shone in that eye.
2. The efferent part of the pathway (blue) is the
impulse/message that is sent from the mid-brain back to
both pupils via the ciliary ganglion and the third cranial
nerve (the oculomotor nerve), causing both pupils to
constrict, even though only one eye is being stimulated
by the light
Broadway DC. Relative Afferent Pupillary Defect. Community Eye Health Journal | VolUME 25 ISSUES 79 & 80 | 2012
• Common causes of unilateral • A RAPD is an extremely important
optic nerve disorders that can be localising clinical sign that can be
associated with a RAPD include : detected by a simple, quick, non-
– Maculopathy (retinal detachment, invasive clinical test, provided
major retinal vascular occlusion, that the test is performed
extensive retinal damage) carefully and correctly
– ischaemic optic neuropathy, • The ‘swinging light test’ is used to
– optic neuritis, detect a relative afferent pupil
– optic nerve compression (orbital defect (RAPD)
tumours or dysthyroid eye
disease), • A positive RAPD means there are
– trauma, and differences between the two eyes
– asymmetric glaucoma. in the afferent pathway due to
retinal or optic nerve disease.
• Less common causes include
– infective, infiltrative,
carcinomatous, or radiation optic
neuropathy.

Broadway D.C.How to test for a relative afferent pupillary defect. Community eye health journal: 25(79). 2012
Swinging light test
• The swinging light test :
– Used to detect a RAPD; detecting differences between the
two eyes in how they respond to a light shone in one eye
at the time
• The test can be very useful for detecting unilateral or
asymmetrical disesase of the retina or optic nerve (but
only optic nerve disease that occurs in front of the
optic chiasm)
• Interpretation:
– Swinging light test Normal
– Swinging light test positif RAPD
– Swinging light test negatif  non reactive pupil
The swinging light test
Swinging light test Normal Swinging light test + Swinging light test -
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail: sdhawan@sdhawan.com

37. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
 Senile
 Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
 Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
 Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
 Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
 Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
 Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
 Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
 Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
 Hereditary
 Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
 Capsular – Near-sightedness (myopia
 Subcapsular shift) Early in the
 Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
 Cortical lens may be increased
 Lamellar – Reduce the perception of
 Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
 Congenital (since birth) the lens
 Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
 Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
 Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
 Senile
– Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011


Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang • 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 this stage, lens may become swollen due to
tahun
continued hydration  ‘intumescent cataract’),
matur, hipermatur
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak • Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan
• Etiologi :belum diketahui secara pasti  kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
multifaktorial: • Penyulit : Glaukoma, uveitis
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan • Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi
yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa,
seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi
cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak nuklear
• kekeruhan terutama pada nukleus • Akibat myiopic shift,individu dengan
dibagian sentral lensa. presbiopia dapat membaca tanpa
• Terjadi akibat sklerosis nuklear; kacamata (disebut penglihatan
nukleus cenderung menjadi gelap kedua/second sight).
dan keras (sklerosis), berubah dari • Menyebabkan gangguan yang lebih besar
jernih menjadi kuning sampai coklat. pada penglihatan jauh daripada
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 60- penglihatan dekat
70 tahun dan progresivitasnya • Bisa terjadi pada pasien diabetes melitus
lambat. dan miopia tinggi
• Pengerasan yang progresif dari • Bisa timbul diplopia monokular (akbibat
nukleus lensa peningkatan indeks perubahan mendadak indeks refraksi
refraksi lensa terjadi perpindahan antara korteks dan nuklear) dan
miopik (myopic shift), dikenal sbg gangguan diskriminasi warna (terutama
miopia lentikularis. biru dan ungu, akibat kuningnya lensa)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak kortikal
• Kekeruhan pada korteks lensa ( bisa di • Gejala katarak kortikal adalah
daerah anterior, posterior dan equatorial fotofobia dari sumber cahaya
korteks) fokal yang terus-menerus dan
• Muncul pada usia 40-60 tahun dan diplopia monokular
progresivitasnya lambat. • Kekeruhan dimulai dari celah dan
• Terdapat wedge-shape opacities/cortical vakoula antara serabut lensa oleh
spokes atau gambaran seperti ruji. karena hidrasi oleh korteks.
• Efeknya terhadap fungsi penglihatan • Disebabkan oleh berkurangnya
bervariasi, tergantung dari jarak protein total, asam amnio, dan
kekeruhan terhadap aksial penglihatan
kalium yang dihubungkan dengan
• Katarak kortikal umumnya tidak memberi peningkatan konsentrasi natrium
gejala sampai tingkat progresifitas lanjut dan hidrasi lensa, diikuti oleh
ketika jari-jari korteks membahayakan axis koagulasi protein.
penglihatan (penglihatan dirasakan lebih
baik pada cahaya terang ketika pupil
miosis.)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan
Lokasi
Katarak subkapsular posterior
(katarak cupuliformis)
• Terdapat pada korteks di dekat kapsul • Kadang mengalami diplopia
posterior bagian sentral dan biasanya di monokular.
aksial.
• Sering terlihat pada pasien
• Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 yang lebih muda dibandingkan
tahun dan progresivitasnya cepat.
dengan pasien katarak nuklear
• Sejak awal, menimbulkan gangguan
/ kortikal.
penglihatan karena adanya keterlibatan
sumbu penglihatan. • Sering ditemukan pada pasien
• Gejala yang timbul adalah fotofobia dan DM, miopia tinggi dan retinitis
penurunan visus dibawah kondisi cahaya pigmentosa, akibat trauma,
terang, akomodasi, atau miotikum. penggunaan kortikosteroid
• Penglihatan dirasakan lebih baik ketika sistemik atau topikal,
pupil midriasis pada malam hari dengan inflamasi, dan paparan radiasi
cahaya yang suram (day blindness) ion.
• Ketajaman penglihatan dekat menjadi
lebih berkurang daripada penglihatan
jauh.
BEDAH KATARAK
Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau
ekstrakapsular:
•Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) :
 Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya
 Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai
ligamen hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK):
 Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa
anterior sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut
 Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama
keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi
sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma,
mata dengan predisposisi terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien
mengalami ablasio retina, mata dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan
getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi
lumbus yang kecil

Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata


38. ASTIGMATISME - DEFINISI
• Ketika cahaya yang
masuk ke dalam
mata secara paralel
tiudak membentuk
satu titik fokus di
retina.

http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME
• Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis
sempurna (bulat)  pada astigmat kornea
berbentuk seperti bola rugby.
• Bagian lengkung yang paling landai dan yang
paling curam mengakibatkan cahaya
direfraksikan secara berbeda dari kedua
meridian  mengakibatkan distorsi bayangan
• Kekuatan refraksi pada horizontal plane
memproyeksikan gambar/ garis vertikal.
• Kekuatan refraksi pada vertical plane
memproyeksikan gambar/ garis horizontal.
• The amount of astigmatism is equal to the
difference in refracting power of the two
principal meridians

http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI :
ETIOLOGI
• Astigmatisme korneal: When
the cornea has unequal curvature
on the anterior surface – 90% PLACIDO
penyebab astigmatisme  bisa
dites dgn tes Placido
(keratoscope)
• Astigmatisme lentikular: When
the crystalline lens has an
unequal on the surface or in its
layers
• Astigmatigma total: The sum of
corneal astigmatism and Astigmatisme korneal akibat trauma
lenticular astigmatism pada kornea. Perhatikan iregularitas
bayangan placido
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN

ASTIGMATISME REGULER

• Kedua bidang meridian


utamanya saling tegak lurus. • Kebanyakan kasus
(meredian di mana terdapat astigmatisme adalah
daya bias terkuat dan terlemah astigmatisme reguler
di sistem optis bolamata).
• Cth: • 3 tipe:
– jika daya bias terkuat berada – are with-the-rule
pada meredian 90°, maka daya – against-the-rule
bias terlemahnya berada pada
meredian 180° – oblique astigmatism
– Jika daya bias terkuat berada
pada meredian 45°, maka daya
bias terlemah berada pada
meredian 135°.
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN

ASTIGMATISME IREGULER

• When the two principal


meridians are not
perpendicular to each
other
• Curvature of any one
meridian is not uniform
• Associated with trauma,
disease, or degeneration
• VA is often not correctable
to 20/20

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO
THE RETINA
• SIMPLE ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused on the retina and
the other is not focused on the retina (with accommodation
relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus simpleks
• astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM
– When both principal meridians are focused either in front or
behind the retina (with accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus kompositus
• astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused in front of the
retina and the other is focused behind the retina (with
accommodation relaxed)
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN
COMPARING THE TWO EYES

SYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians • Example


or axes of the two eyes – OD: pl -1.00 x 175
are symmetrical (e.g., – OS: pl -1.00 x 005
both eyes are WTR or • Both eyes are WTR
ATR) astigmatism, and the sum of
the two axes equal
• Ciri yang mudah dikenali approximately 180
adalah axis cylindris mata
kanan dan kiri yang bila
dijumlahkan akan bernilai
180° (toleransi sampai 10-
15°).

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN
COMPARING THE TWO EYES

ASYMMETRICAL ASTIGMATISM

• The principal meridians • Example:


or axes of the two eyes – OD: pl -1.00 x 180
are not symmetrical – OS: pl -1.00 x 090
(e.g., one eye is WTR – One eye is WTR
while the other eye is astigmatism, and the
ATR) other eye is ATR
astigmatism, and the
• The sum of the two sum of the two axes do
axes of the two eyes not equal approximately
does not equal 180
approximately 180

Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry


Toric/Spherocylinder lens pada koreksi
Astigmatisme

They have a different focal power in different meridians.

http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif
http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

• Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui
jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di
retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z


• Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada,
nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi
C (silinder) ± .… x …..°
atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
• Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau
plus
• Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama.
Cara transposisi:
• To convert plus cyl to minus cyl:
– Add the cylinder power to the sphere power
– Change the sign of the cyl from + to –
– Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is
greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl:
– add the cylinder power to the sphere
– Change the sign of the cylinder to from - to +
– Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang


jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder
notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
• OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan
lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900
artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan


lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan
Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00
C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180
adalah -6,00 D
39. Glaukoma Akut
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

Tatalaksana Glaukoma Akut


• Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya
kemudian bila tekanan normal dan mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
– Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol
0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol
0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan timolol maleate 0.1%,
0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit,
reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
– Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam
menurunkan TIO glaukoma akut sudut tertutup.
– Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
– Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
– Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3
x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada
glaukoma akut sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai
bekerja 1 jam, puncak pada 4 jam)
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

Tatalaksana Glaukoma Akut


• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
– Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan
travoprost 0.004% (1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
– Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
– Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
– Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
– Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah
serangan
• Pengurangan volume vitreus
– Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan
20% atau urea IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
– isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
– analgesics
– antiemetics
– Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris
decreasing pupillary block
– Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
40. Dry Eye Syndrome
(Keratokonjungtivitis Sicca)
• International Dry Eye Workshop (DEWS) 2007
definition:
– Mata kering merupakan penyakit multifaktorial
pada produksi air mata dan permukaan mata yang
menyebakan rasa tidak nyaman, gangguan
penglihatan, dan instabilitas lapisan air mata yang
beresiko menyebabkan kerusakan permukaan
okular. Kondisi ini disertai pula dengan
peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan
peradangan pada permukaan mata.
• Dry eye is a disorder of the
tear film due to tear
deficiency or excessive tear
evaporation which causes
damage to the
interpalpebral ocular
surface and is associated
with symptoms of ocular
discomfort
• Tear film  total thickness
7-10 µm, consist of:
– Mucus layer (0.02- 0.04 µm)
– Aqueous layer (6.5 µm)
– Lipid layer (0.1 µm)
ELEMENTS OF OCULAR DEFENCE
Stable precorneal tear film

• Lipid • Meibomian gland

Compositional • Lacrimal gland


• Aqueous
factors
• Ocular surface
• Mucin epithelium

• Lid • Tear spread


Hydrodynamic blinking • Tear clearance
factor
• Lid • Prevents
closure evaporation
VICIOUS CYCLE OF
DRY EYE

KCS Loss of goblet


cells

VICIOUS CYCLE

Tear film Absence of


destabilizes mucin
CLASSIFICATION

• Tear-deficient dry eye:


– There is a disorder of lacrimal function or a
failure of transfer of lacrimal fluid into the
conjunctival sac
• Tear-sufficient dry eye:
– Lacrimal function is normal, the tear
abnormality is due to increased tear
evaporation
TEAR - DEFICIENT

Sjogren syndrome Non- Sjogren tear deficient

Lacrimal Lacrimal
Primary Secondary Reflex
Disease obstruction

Rh arthritis Primary Contact


SLE Cong Secondary lens
Wegener’s Trachoma
alacrimia Sarcoid VII n
Granulomatosis Pemphigoid
Primary HIV Palsy
Systemic Burns
lacrimal Vit A def Neurop-
sclerosis disease keratitis
EVAPORATIVE

Oil Ocular surface


Lid related Contact lens
deficient disorder

Blink,
Secondary Aperture Xerophthalmia
Primary
abnormal
Blepharitis
Absent
Meibomian Lid surface
glands
gland incongruity
Distichiasis
disease
CLINICAL MANIFESTATION

• Burning or itching • Sore or tired eyes


• Fluctuating vision • History of Styes
• Foreign body sensation • Ocular discharge
• Grittiness or irritation • Light sensitivity
• Contact lens discomfort
• Watering or excessive
tearing
Dry Eye Severity Level
Variable 4 (must have signs
1 2 3
and symptoms)
Moderate,
Mild, episodic;
episodic or Severe, frequent or
Discomfort (severity occurs under Severe or disabling,
chronic; occurs constant; occurs
and frequency) environmental constant
with or without without stress
stress
stress
None or Annoying or Annoying, chronic
Constant and possibly
Visual symptoms episodic mild activity-limiting, or constant,
disabling
fatigue episodic activity-limiting
Conjunctival injection None to mild None to mild +/– +/++
Moderate to
Conjunctival staining None to mild Variable Marked
marked
Corneal staining
Severe punctate
(severity and None to mild Variable Marked central
erosions
location)
Filamentary
Filamentary keratitis,
Mild debris, keratitis, mucus
Corneal and tear mucus clumping,
None to mild decreased clumping,
signs increased tear debris,
meniscus increased tear
ulceration
debris
Trichiasis,
Lid and meibomian MGD variably MGD variably
MGD frequent keratinization,
glands present present
symblepharon
Tear breakup time Variable ≤ 10 s ≤5s Immediate

Schirmer score Variable ≤ 10 mm/5 min ≤ 5 mm/5 min ≤ 2 mm/5 min

MGD=meibomian gland dysfunction.


DIAGNOSIS

• Slit lamp examination


• Demonstration of tear instability (Tear film break up time,
TBUT) with Tearscope/ Xeroscope
• Demonstration of ocular surface damage
– Schirmer’s test
– Fluorescein Staining
– Rose bengal stain
– Lissamine Green Staining
• Demonstration of tear hyperosmolarity
SCHIRMER’S TEST

• Measurement of the aqueous layer quantity only


• 5x30 strips of Whatman filter paper
• The amount of moistening is of the exposed paper is
recorded at the end of 5minutes
SCHIRMER’S TEST
Measures total reflex and basic tear secretion
Results:
 Normals will wet approximately 10 to 30mm at the
end of 5minutes.
 If wetting > 30 mm, reflex tearing is intact but not
controlled or tear drainage is insufficient
 A value of <5mm indicates hyposecretion
Treatment
• Level 1 treatment consists of the
following: • If level 2 treatment is
– Education and environmental or dietary inadequate, level 3
modifications measures are added,
– Elimination of offending systemic including the following:
medications
– Preserved artificial tear substitutes, – Autologous serum or
gels, and ointments umbilical cord serum
– Eyelid therapy – Contact lenses
• If level 1 treatment is inadequate, level – Permanent punctal occlusion
2 measures are added, including the
following: • If level 3 treatment is
– Nonpreserved artificial tear substitutes inadequate, level 4
– Anti-inflammatory agents (topical
cyclosporine, topical steroids) treatment, consisting of the
– Tetracyclines (for meibomitis or administration of systemic
rosacea) anti-inflammatory agents, is
– Punctal plugs (after inflammation has
been controlled) added.
– Secretagogues
– Moisture chamber spectacles
NEUROLOGI
41. Kejang
• Kejang merupakan perubahan fungsi otak
mendadak dan sementara sebagai dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat
mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
– Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi .
Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
– Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jtuh dari udara, parestesia.
– Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
– Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks
– Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
– Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
– Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
– Durasi >30 detik,
– frekuensi tidak menentu
– Setelah kejang pasien tampak bingung/ pingsan
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a) Kejang absens
– Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
– Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
– Awitan dan akhiran cepat, setelah kejang, kembali waspada dan konsentrasi penuh
– Dipicu oleh hiperventilasi
b) Kejang mioklonik
– Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
– Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron
dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
– Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
– Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c) Kejang tonik klonik
– Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang
tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
– Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
– Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
– Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d) Kejang atonik
– Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk,atau jatuh ke tanah.
– Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
http://doosesyndrome.org/mae-explained/atypical-absence-seizures https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/absence-atypical-
overview.html
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17484751

Atypical Absence Seizure


• Similar to absence seizures but, as the name suggests, they
are unusual or not typical.
• The child will stare, as with an absence seizure, but more
pronounced motor symptoms such as tonic (stiffening) or
clonic (jerking) spells or may have automatisms
(involuntary behaviours) or tone changes of the head (head
drop) and body.
• Variabel impairments of consciusnesswill be somewhat
responsive
• Last longer than typical absences
• Precipitated by drowsiness
• Not provoked by hyperventilation or photic stimulation
• Usually more difficult to treat
• Associated with a severely abnormal cognitive and
neurodevelopmental outcome in children
EEG
• Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang
mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik
di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan
interpretasinya.
• Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan
untuk tindakan dan penanganan selanjutnya
kepada pasien.
• Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.
Epilepsi
• Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010


Epilepsy - Classification
• Focal seizures – account
for 80% of adult epilepsies
- Simple partial seizures
- Complex partial seizures
- Partial seizures secondarilly
generalised

• Generalised seizures
(include absance
type)

• Unclassified seizures
Pilihan Terapi Sindrom Epilepsi Etosuksimid: tidak tersedia di Indonesia

Level of confidence:
A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai
monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perdossi. 2014
Farmakoterapi Childhood Absence
Perbandingan Odds Ratio
Asam Valproat vs Ethosuximide 1,26 (95% CI; 0,80 – 1,98)
Ethosuximide vs Lamotrigine 2,66 (95% CI; 1,65 – 4,28)
Asam Valproat vs Lamotrigine 3,34 (95% CI; 2,06 – 5,42)

• Dari table di atas dapat disimpulkan asam valproate dan ethosuximide lebih
efektif dbandingkan lamotrigine dalam tatalaksasa kejang absans.
• Tidak ada perbedaan bermakna antara efektifitas asam valproate dan
ethosuximide.
• Di negara-negara barat ethoximide lebih dipilih dibandingkan asam valproate
karena memiliki efek samping terhadap attentional dysfunction yang lebih
rendah.
• Namun ethosuximide tidak terdapat di Indonesia (secara umum), sehingga
terapi lini pertama untuk kejang absans di Indonesia adalah asam valproate.

Ethosuximide, Valproic Acid, and Lamotrigine in Childhood Absence Epilepsy. Glauser TA, et al. 2010. NEJM, 362(9): 790-799.
Penghentian OAE
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara
bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :


– Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
– Gambaran EEG normal
– Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
– Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010


2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
– Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan
kekambuhannya.
– Epilepsi simtomatik
– Gambaran EEG abnormal
– Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
– Penggunaan OAE lebih dari 1
– Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah
memulai terapi
– Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
– Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila
penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih
dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan
menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
42. Cluster Type Headache
Klasifikasi
Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi,
International Headache Society telah mengklasifikasikan cluster
headache menjadi dua tipe :

A. Episodik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu
sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya
periode cluster selanjutnya.

B. Kronik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari
satu tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri
berlangsung kurang dari dua minggu.
43. Carpal Tunnel Syndrome
Terapi Konservatif
• Istirahatkan pergelangan tangan
• Obat antiinflamasi nonsteroid
• Pemasangan bidai pada posisi netral
pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang
terus-menerus atau hanya pada malam hari
selama 2-3 minggu
• lnjeksi steroid
• Kontrol cairan,misalnya dengan pemberian
diuretika
• Vitamin B6 (piridoksin)
• Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan
vaskularisasi pergelangan tangan
Terapi Operatif
• Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis
nervus medianus pada pergelangan tangan.
• Operasi hanya dilakukan:
• pada kasus yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi konservatif
• bila terjadi gangguan sensorik yang berat
• adanya atrofi otot-otot thenar.
44. Neuralgia Trigeminal (Tic Douloureux)
45. Parkinson
• Parkinson:
– Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
– Gangguan kronik progresif:
• Tremor  resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
• Rigidity  cogwheel phenomenon, hipertonus
• Akinesia/bradikinesia  gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
• Postural Instability  berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik
– Gerakan involunter ditandai secara khas oleh
gerakan melempar dan menjangkau keluar yang
kasar, terutama oleh otot-otot bahu dan pelvis.
– Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington
– Gangguan herediter autosomal dominan, onset
pada usia pertengahan dan berjalan progresif
sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 10
± 12 tahun
Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik Gejala Spesifik

• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :

1. Rigiditas : peningkatan tonus otot


2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Pull-test:
• Berdiri di belakang penderita, kemudian
berikan sedikit tarikan pada bahu
penderita.
• Lalu perhatikan ada atau tidaknya gerakan
menstabilkan postur tubuhnya.
• Hilangnya refleks ini akan memberikan
gambaran sikap jatuh penderita seolah-olah
akan duduk di kursi atau biasa disebut
sitting en bloc.
Penatalaksanaan Parkinson
• Prinsip pengobatan parkinson adalah
meningkatkan aktivitas dopaminergik di
jalur nigrostriatal dengan memberikan :
– Levodopa  diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
– Agonis dopamine
– Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecol-
O-methyltransferase
– Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005


ILMU
PSIKIATRI
46. TILIKAN
• Tilikan adalah kemampuan seseorang untuk memahami sebab
sesungguhnya dan arti dari suatu situasi (termasuk di
dalamnya gejala yang dialaminya sendiri).
Derajat Deskripsi

1 penyangkalan total terhadap penyakitnya

2 ambivalensi terhadap penyakitnya

3 menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya

4 menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan tetapi tidak memahami penyebab
sakitnya
5 menyadari penyakitnya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
6 menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk
mencapai perbaikan
47. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar

Bipolar tipe I Bipolar tipe II

1 atau lebih episode


Episode depresi
manik, dapat Lebih sering pada
Pada pria dan wanita berulang dan episode
diawali/diikuti depresi wanita
hipomanik
mayor atau hipomanik

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17696573
Bipolar Tipe I (DSM 5) Bipolar Tipe II (DSM 5)
Minimal 1 episode yang memenuhi Minimal terdapat 1 episode yang
kriteria manik memenuhi kriteria hipomanik dan
minimal satu episode depresi mayor
Dapat diikuti atau diawali oleh episode Tidak pernah mengalami episode
hipomanik atau depresi mayor manik
Bukan merupakan kelainan Bukan merupakan kelainan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizoafektif, skizofrenia, gangguan
waham, atau kelainan psikotik lainnya waham, atau kelainan psikotik lainnya

Gejala depresi dan afek yang tidak


dapat diprediksi akibat alterasi antara
periode depresi dan hipomania
menyebabkan distres sosial,
pekerjaan, dan area fungsional lain.
Episode Manik (DSM 5)
A. Mood meningkat secara abnormal dan persisten, iritabel, disertai
peningkatan aktivitas atau energi, berlangsung selama minimal 1
minggu dan terjadi sepanjang hari, hampir setiap hari.
B. Selama periode gangguan mood dan peningkatan energi,
terdapat min. 3 gejala (4 jika hanya terdapat mood iritabel):
1. Percaya diri meningkat/grandiositas
2. Kebutuhan tidur berkurang
3. Bicara banyak
4. Flight of ideas
5. Mudah terdistraksi
6. Peningkatan aktivitas bertujuan atau agitasi psikomotor
7. Keterlibatan berlebihan pada aktivitas yang berpotensi memiliki
konsekuensi (banyak belanja, investasi, dll)
C. Gangguan menyebabkan disfungsi sosial
D. Bukan akibat efek obat-obatan atau kondisi medis lain.
Episode Hipomanik (DSM 5)
A. Mood meningkat secara abnormal dan persisten, iritabel, disertai
peningkatan aktivitas atau energi, berlangsung selama minimal 1 minggu
dan terjadi sepanjang hari, hampir setiap hari.
B. Selama periode gangguan mood dan peningkatan energi, terdapat min. 3
gejala (4 jika hanya terdapat mood iritabel):
1. Percaya diri meningkat/grandiositas
2. Kebutuhan tidur berkurang
3. Bicara banyak
4. Flight of ideas
5. Mudah terdistraksi
6. Peningkatan aktivitas bertujuan atau agitasi psikomotor
7. Keterlibatan berlebihan pada aktivitas yang berpotensi memiliki konsekuensi
(banyak belanja, investasi, dll)
C. Gangguan tidak menimbulkan perubahan fungsional individu
D. Gangguan mood dapat diobservasi oleh orang lain
E. Gangguan tidak menimbulkan disfungsi sosial atau pekerjaan dan tidak
membutuhkan hospitalisasi. Jika ada gejala psikotik  manik
F. Bukan akibat efek obat-obatan atau kondisi medis lain.
Episode Depresi Mayor (DSM 5)
A. Terdapat minimal lima dari gejala-gejala berikut yang timbul selama 2 minggu dan
menimbulkan perubahan fungsional individu:
1. Afek depresi sepanjang hari
2. Kehilangan minat untuk beraktivitas
3. Penurunan berat badan tanpa diet, peningkatan berat badan, atau
perubahan pola makan
4. Insomnia atau hipersomnia
5. Agitasi psikomotor atau retardasi
6. Fatigue/merasa tidak berenergi
7. Merasa tidak berguna/merasa bersalah
8. Gangguan konsentrasi
9. Pikiran berulang tentang kematian, ide atau percobaan bunuh diri
Gejala yg harus ada adalah salah satu dari: afek depresi atau kehilangan minat
B. Gejala menimbulkan distres sosial, pekerjaan, area fungsional lain secara
signifikan
C. Bukan akibat efek obat-obatan atau kondisi medis lain.
Bipolar tipe I dan II
Keterangan:
Pada bipolar tipe II,
episode peningkatan
mood lebih ke arah
hipomanik.

Pada bipolar tipe I,


episode peningkatan
mood lebih berlebihan
(full-blown manik, bisa
disertai dengan gejala
psikotik)

http://www.medscape.com/viewarticle/754573
Tatalaksana: Mood Stabilizer
Tatalaksana Gangguan Bipolar
FASE AKUT (DOC: Lithium) MAINTENANCE
• Manik – Lithium atau Asam valproat,
– Lithium, atau setidaknya selama 6 bulan.
– Asam valproat
– Antipsikotik perlu diteruskan
bila pasien cenderung memiliki
• Depresi risiko mengalami gejala psikotik
– Lithium, atau berulang
– Lamotrigine
– Monoterapi dengan – Psikoterapi
antidepresan tidak
direkomendasikan – Electroconvulsive therapy
(ECT)
• Gejala psikotik
– Antipsikotik, diutamakan
golongan atipikal

American Psychiatric Association, 2010


48. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF (F42)

PEDOMAN DIAGNOSIS PPDGJ-III:


• Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala
obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-
duanya harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya 2 minggu berturut-turut.
• Hal tersebut merupakan sumber penderitaan
(distress) atau menganggu aktivitas
penderita.
Gejala obsesif mencakup:
• Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
• Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan oleh penderita.
• Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas
bukan untuk merupakan hal yang memberi kepuasan
atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai
kesenangan seperti dimaksud diatas);
• Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
Obsessive-Compulsive Disorder (DSM 5)
• Adanya obsesi, kompulsif, atau keduanya:
– Definisi obsesi:
• Pikiran persisten berulang yg tidak diinginkan, dan pada sebagian
besar individu menyebabkan distres/kecemasan
• Individu berupaya mengabaikan/menghilangkan pikiran tersebut
dengan pikiran atau tindakan lain (melakukan tindakan kompulsif)
– Definisi kompulsi:
• Perilaku repetitif sebagai respon dari obsesi atau berdasarkan
peraturan yang dirasa harus ditaati dengan kaku
• Perilaku bertujuan mencegah/menghilangkan kecemasan/distres
atau kejadian yang ditakutkan, namun tidak terdapat korelasi nyata
antara tindakan yang dilakukan dengan kejadian tersebut
• Obsesi dan kompulsi bersifat time consuming atau
menyebabkan distres signifikan/gangguan sosial, pekerjaan,
dll
• Bukan efek obat-obatan atau kondisi medis lain
• Tidak disebabkan oleh diagnosis lain (terutama ansietas)
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (1)
• OCD tipe Checking  ketakutan irasional yang
membuat pasien terobsesi untuk memeriksa
sesuatu berulang-ulang.
• OCD tipe Contamination  ketakutan terkena
penyakit dan mati pada diri sendiri dan orang
yang dicintai. Contoh:kebiasaan cuci tangan
berkali-kali karena takut kuman.
• OCD tipe Hoarding  penderita mengumpulkan
barang yang tidak berharga karena takut akan
terjadi hal-hal buruk jika barang tersebut
dibuang.
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (2)
• OCD tipe Rumination  pasien memikirkan
pikiran-pikiran yang tidak produktif tetapi
berulang-ulang. Contohnya preokupasi
tentang kehidupan setelah kematian.
• OCD tipe symmetry dan orderliness  pasien
terfokus untuk mengatur semua obyek sejajar,
urut, dan simetris.
Tatalaksana Gangguan Obsesif Kompulsif

Koran LM, Hanna GL, Hollander E, Nestadt G, Simpson HB, for the American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with
obsessive-compulsive disorder. Am J Psychiatry. 2007;164(7 suppl):5–53.
Tatalaksana Medikamentosa
Gangguan Obsesif Kompulsif
STARTING TARGET MAXIMAL
DOSAGE (MG DOSAGE (MG DOSAGE (MG
SRI PER DAY) PER DAY) PER DAY)
Citalopram 20 40 to 60 80
(Celexa)
Escitalopram 10 20 40
(Lexapro)
Fluoxetine 20 40 to 60 80
(Prozac)*
Fluvoxamine* 50 200 300
Paroxetine 20 40 to 60 60
(Paxil)*
Sertraline (Zoloft)* 50 200 200

Koran LM, Hanna GL, Hollander E, Nestadt G, Simpson HB, for the American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with
obsessive-compulsive disorder. Am J Psychiatry. 2007;164(7 suppl):5–53.
49. GANGGUAN PANIK

• DSM-IV mengklasifikasikan gangguan panik


menjadi:
– Gangguan panik dengan agorafobia
– Gangguan panik tanpa agorafobia

• Secara epidemiologis, sebagian besar


gangguan panik disertai dengan agorafobia.
Panic Attack Specifiers
(4 or more symptoms)
• Palpitations, pounding • Nausea or abdominal
heart, or accelerated distress
heart rate • Feeling dizzy, unsteady,
• Sweating light-headed, faint
• Trembing or shaking • Chills or heat sensations
• Sensation or shortness • Paresthesias
of breath • Derealization or
• Feeling of choking depersonalization
• Chest pain or • Fear of losing control
discomfort • Fear of dying

DSM-IV-TR
Pedoman Diagnosis Gangguan Panik
• Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan ansietas fobik.

• Harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas


berat dalam masa kira-kira satu bulan.

• Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif


tidak ada bahaya.

• Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang


dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation)

PPDGJ-III
Pedoman Diagnosis Agorafobia
• Cemas berlebihan apabila berada di tempat-
tempat atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk
menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin
tidak bisa didapatkan.

• Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi


perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai
dengan adanya distress atau kecemasan akan
kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau
gejala-gejala menyerupai panik, atau sering minta
ditemani ditemani kalau keluar rumah.

DSM-IV
Gangguan Panik dengan Agorafobia
(DSM-IV)
Gangguan Panik Tanpa Agorafobia
(DSM-IV)
Tatalaksana Gangguan Panik
• Cognitive-Behavioral Therapy • Medication
– This is a combination of cognitive – SSRIs
therapy • the first line of medication treatment for
– Cognitive therapymodify or panic disorder
eliminate thought patterns – Tricyclic antidepressants
contributing to the patient’s symptoms – High-potency benzodiazepines
– Behavioral therapy aims to help the • Ex: Clonazepam
patient to change his or her behavior. • may cause depression and are associated
– Cognitive-behavioral therapy generally with adverse effects during use and after
discontinuation of therapy
requires at least eight to 12 weeks
• Poorer outcome and global functioning than
• Some people may need a longer time
antidepresant
in treatment to learn and implement
the skills – monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
• Treatment i n Emergency • Combination Therapy
Departement • Psychodynamic therapy
– Oral benzodiazepine – help to relieve the stress that contributes to
– Iv medication, e.x. Lorazepam panic attacks, they do not seem to stop the
– Sometimes beta blockers are used to attacks directly
reduce anxiety
http://www.aafp.org/afp/2005/0215/p733.html
Ven XR :Venlafaxine extended release
• SNRI : Serotonin norephinephrine
reuptake inhibitor

http://www.currentpsychiatry.com/home/article/panic-
disorder-break-the-fear-
circuit/990b7a325883ba278cdf8e46222a61f9.html
50. Skizofrenia
Pedoman Diagnostik
• Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat
jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-
gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
– Thought echo, atau thought insertion or withdrawal, atau
thought broadcasting
– Delusion of control/ passivity/ influence/ perception
– Halusinasi auditorik
– Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain)

Referensi: PPDGJ-III
Pedoman Diagnostik Skizofrenia
• Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang
harus selalu ada secara jelas:
– Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja
– Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensia atau
pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
– Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atay
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
– Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan
respons emosional yang menumpul tidak wajar

• Telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau


lebih
Referensi: PPDGJ-III
PPDGJ

SKIZOFRENIA
Skizofrenia Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1
bulan
Paranoid merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik 15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan,
senyum sendiri
Katatonik stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran
obsesif berulang
Waham menetap hanya waham
Psikotik akut gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang
memenuhi skizofrenia
Simpleks Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek
tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala
psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna
(tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
Skizofrenia Paranoid
Halusinasi dan/ waham arus yang menonjol:

• Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau


memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

• Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi


waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi
(delusion of influence) atau passivity (delussion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam, adalah yang paling khas;
Skizofrenia vs Skizoafektif vs
Gangguan Mood dengan Gejala Psikotik
Skizofrenia Skizoafektif Gangguan mood disertai
gejala psikotik

Gejala Kronik, sejak awal Kronik, sejak awal Hanyaada setelah episode
psikotik onset sakit onset sakit gangguan mood terjadi

Gangguan Tidak ada, atau ada Ada terus menerus Ada, memenuhi kriteria
mood tetapi tidak selama sakit diagnosis gangguan mood
menonjol berlangsung. Gejala (manik/ depresi)
mayor gangguan mood
belum tentu ada

Lama Kronik Kronik Episodik


penyakit
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
51. Eritrasma
• Etiologi
• Corynebacterium minutissimum (coral red pada lampu Wood)

• Predileksi dan Faktor Risiko


• Pada daerah lipatan kulit, lipatan paha (pria) dan antar jari kaki
(wanita)
• Suhu lembab, keringat, DM, obesitas, higienitas buruk, usia tua,
imunokompromais

• Klasifikasi Berdasarkan Lokasi


• Eritrasma interdigitalis: Diantara jari kaki 3,4, dan 5
• Eritrasma intertriginosa: Di ketiak, selangkangan, bawah payudara,
umbilikus
• Eritrasma generalisata: Pada tubuh

https://www.dermnetnz.org/topics/erythrasma
Eritrasma
• Efloresensi
• Plak berwarna pink kemerahan dengan skuama halus 
berubah menjadi coklat dan bersisik
• Histopatologi Jaringan
• Hipergranulosis, dilatasi vaskular, dan infiltrat limfosit
perivaskular ringan
• Mikroskopik
• Bakteri batang dengan filamen (bersegmen) dan bentuk
coccoid
• Terapi
• Topikal
• Larutan klindamisin HCl, krim eritromisin/ mikonazol, krim asam
fusidat, salep Whitfield
• Oral Antibiotik
• Eritromisin (DOC)
• Tetrasiklin
https://books.google.co.id/books?id=wrX8CAAAQBAJ&pg=PA376&lpg=PA376&dq=eritrasma+coccoid+filament&source=bl&ots=Z95YYYOG3y&sig=XXV_bB2zzXVXel4ikqQXBRYpbNA&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=eritrasma%20coccoid%20filament&f=false
https://www.dermnetnz.org/topics/erythromycin/
Pemeriksaan Lampu Wood
WARNA ETIOLOGI
Kuning Emas Tinea versicolor – M. furfur

Hijau Pucat Trichophyton schoenleini


Hijau Kekuningan Microsporum audouini or M.
(terang) Canis
Tosca - Biru Pseudomonas aeruginosa
Pink – Coral Porphyria Cutanea Tarda

Ash-Leaf-Shaped Tuberous Sclerosis


Putih Pucat Hypopigmentation
Coklat-Ungu Hyperpigmentation
Putih terang, Depigmentation, Vitiligo
Putih Kebiruan
Putih terang Albinism
Bluewhite Leprosy
52. Kandidiosis Kutis
• Candidiosis: penyakit yang disebabkan oleh genus candida
• Klasifikasi:
- Kandidiosis mukosa: kandidiosis oral, perleche, vulvovaginitis, balanitis, mukokutan
kronik, bronkopulmonar
- Kandidiosis kutis: lokalisata, generalisata, paronikia dan onikomikosis, dan
granulomatosa
- Kandidiosis sistemik: endokarditis, meningitis, pyelonefritis, septikemia
- Reaksi id (kandidid)/autoeczematization: reaksi akut generalisat pada kulit akibat
multifaktorial
• Faktor predisposisi
- Endogen: perubahan fisiologik (kehamilan, obesitas, iatrogenik, DM, penyakit kronik), usia
(orang tua dan bayi), imunologik
- Eksogen: iklim panas, kelembapan tinggi, kebiasaan berendam kaki, kontak dengan
penderita

Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015


Kandidiosis Kutis
• Bentuk klinis:
- Kandidiosis intertriginosa:
- Kandidiosis perianal
- Kandidiosis kutis generalisata

• Pemeriksaan diagnostik: KOH (ditemukan sel ragi, blastospora, atau hifa


semu), kultur agar Saboraud
• Tatalaksana:
- menghindari faktor predisposisi
- Antifungal: group azol oral (ketokonazole, fluconazole), topikal
(miconazole)
Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015
53. Cutaneus larva Etiologi: Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum
migrans

Dalam 5-10 hari jadi


filariform
Ke manusia hanya bisa
menginfeksi kulit

Berkembangbiaknya di hewan

Menetas dalam 1-2 hari

Telur di tanah

Faktor resiko: TIDAK MEMAKAI ALAS KAKI, atau


berhubungan dengan tanah dan pasir (tentara,
petani, anak-anak bermain tanpa alas kaki)
A. caninum dan A. braziliense
• Kedua cacing ini termasuk dalam hookworm, satu keluarga dengan Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus.
• Akan tetapi, A. caninum dan A. braziliense tidak menimbulkan gejala seberat A.
duodenale maupun necator.
• Kedua cacing ini mempenetrasi kulit dan biasanya hanya menyebabkan lesi kulit
serpiginosa.
• Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi, sedangkan Ancylostoma braziliense
kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral
• A. caninum dapat menyebabkan manifestasi lebih jauh berupa infeksi pada saluran
cerna yang menimbulkan suatu enteritis eosinofilik dan dapat menginvasi mata
sehingga menimbulkan diffuse unilateral subacute neuroretinitis.
• Ancylostoma braziliense endemik pada anjing dan kucing
• sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut
Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia
Gejala dan temuan klinis
Larva masuk ke kulit

Gejala:
1. Peradangan berbentuk Lesi serpiginosa
- linear
- berkelok-kelok
- menimbul
- Progresif
2. Gatal di malam hari
• Terapi
• DOC: Tiabendazole  sediaan oral sudah ditarik dari peredaran dipilih sediaan
krim atau lotion 15% 2-3x/hari selama 5 hari
• Alernatif: Albendazole 1x400 mg selama 3 hari, Cryotherapy, Kloretil
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 125-126
54. Psoriasis
• Penyakit kulit kronik yang ditandai oleh papul
dan plak eritematosa dengan skuama tebal.
Dapat timbul erupsi pustular dan
eritrodermik.
• Predileksi: kulit kepala, siku dan lutut, tangan,
kaki, batang tubuh, dan kuku. Pada kuku 
pitting nail
• Faktor pencetus: trauma, infeksi, medikasi
• Pemeriksaan fisik:
• Fenomena Kobner: pada kulit yang sehat akan
timbul lesi jika mendapat trauma
• Fenomena auspitz: timbul bercak perdarahan jika
seluruh skuama diangkat
• Fenomena tetesan lilin: skuama digores berwarna
putih seperti lilin

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas
Tanda Penjelasan

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


Fenomena
goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya
tetesan lilin
indeks bias.

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Fenomena
papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
Auspitz
berlapis-lapis hingga habis.

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang


Fenomena
timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita
Kobner
psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena
trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari
infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain

Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan


Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
Psoriasis: Tatalaksana
Biopsi dikerjakan jika secara klinis gejala
psoriasis tidak khas

Mayoritas psoriasis terbagi menjadi 3


macam, yaitu gutata,
eritroderma/pustular, dan plak kronik
(paling sering)
Guttate self limiting+spontaneous
resolution in 6-12 weeks.
Eritroderma fast acting systemic

Keterangan gambar:
Garis solidfirst line
Garis putus-putussecond line
Cyclosporin bukan first line
BB-UVB:broadband UVB
BSA: body surface area
FAE: fumaric acid ester
NB-UVB: narrowband UVB
PUVA: psoralen+UVA light

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
55. Pioderma: Ektima

• Ulkus superfisial dengan krusta di atasnya.


• Etiologi: streptokokus.
• Umumnya merupakan komplikasi dari
impetigo yang diabaikan.
• Sering dijumpai pada ekstremitas bawah
anak-anak, lansia, atau penderita diabetes.
• Penatalaksanaan sama dengan tatalaksana
impetigo.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Pioderma: Impetigo Krustosa
• Etiologi: streptokokus grup A.
• Predileksi: sekitar lubang hidung dan mulut.
• Lesi kulit eritema dan vesikel yang cepat pecah,
setelah pecah terbentuk krusta tebal berwarna
kuning madu. Tampak erosi jika krusta
dilepaskan.
• Dapat dijumpai limfadenopati regional dan
penyebaran pada area tengah wajah jika tidak
diobati.
• Pada sebagian kasus dapat sembuh dengan
sendirinya, namun dapat pula berprogresi
membentuk ulkus dangkalektima.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Pioderma: Impetigo Bulosa

• Etiologi: Staphylococcus aureus.


• Lesi vesikel yang berprogresi cepat menjadi bula
kendur, awalnya bula berisi cairan serosa
kekuningan yang kemudian berubah menjadi
keruh. Bula batas tegas, nikolsky sign negatif.
• Pada pewarnaan Gram dapat ditemukan bakteri
kokus Gram positif berkelompok.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Tatalaksana Pioderma
• Jaga hygiene
• Angkat krusta bila ada
• Antibiotik topikal:
• Mupirosin 2% krim 2x sehari selama 7 hari
• Asam fusidat 2% krim 2x sehari selama 7 hari
• Retapamulin 1% salep 2x sehari selama 5 hari
• Basitrasin krim 2x sehari  namun sudah tidak direkomendasikan
• Jika lesi luas (dan ektima), tatalaksana dengan antibiotik sistemik
• Dicloxacillin 4x 250-500 mg/hari selama 5-7 hari
• Amoxicillin+klavulanat 25 mg/kg 3x sehari
• Cephalexin 4x 250-500 mg/hari
• Jika dicurigai MRSA: vankomisin 1-2 g IV selama 7 hari
• Insisi+drainase untuk lesi fluktuatif.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
ILMU
KESEHATAN
ANAK
56. Cerebral Palsy
• Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan
postur tubuh; yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap
kehidupan dengan latar belakang penyakit yang tidak progresif.
• Definisi dari cerebral palsy terdiri dari beberapa kondisi, yaitu: lokasi lesi
terdapat di otak, lesi permanen dan tidak progresif meski gambaran
kliniknya dapat berubah seiring waktu, lesi muncul di awal kehidupan dan
mengganggu perkembangan otak yang normal, gambaran kliniknya di
dominasi oleh gangguan gerak dan postur dan gangguan kemampuan
pasien untuk menggunakan ototnya secara sadar.
• Mungkin juga diiringi komplikasi lain dari gangguan neurologis dan tanda
maupun gejala mental.
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic, metabolic,
ischemic, infectious, and other acquired etiologies that produce a
common group of neurologic phenotypes
Cerebral Palsy Risk factor
Klasifikasi palsi cerebral:
• Tipe Spastik (jenis paling banyak)
– Lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal.
– Terjadi peningkatan konstan pada tonus otot, peningkatan reflex
otot kadang di sertai klonus (reflex peregangan otot yang
meningkat) dan tanda Babinski positif.
• Tipe Diskinetik: akibat lesi pada basal ganglia atau batang
otak. Terdiri dari distonia dan koreaatetosis. Terkait dengan
gerakan involunter.
• Tipe Ataksik terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal. lokasi lesi utama yang menyebabkan
kelainan ini adalah cerebellum.
• Tipe Campuran merupakan gabungan dari 2 jenis (biasanya
tipe spastik dan koreoatetoid)
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
57. Pediatric Aspiration Pneumonia
• Aspiration is defined as the inhalation of either
oropharyngeal or gastric contents into the lower airways,
that is, the act of taking foreign material into the lungs.
• There are four types of aspiration syndromes.
– Aspiration of gastric acid causes a chemical pneumonitis which
has also been called Mendelson's syndrome.
– Aspiration of bacteria from oral and pharyngeal areas causes
aspiration pneumonia.
– Aspiration of oil (eg, mineral oil or vegetable oil) causes
exogenous lipoid pneumonia, an unusual form of pneumonia.
– Aspiration of a foreign body may cause an acute respiratory
emergency and, in some cases, may predispose the patient to
bacterial pneumonia.
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Radiologic Findings in Aspirated
Foreign Body
• Normal findings
• Air trapping
• Mediastinal shift
• Atelectasis
• Pneumonia
• Lobar collapse
• Consolidation
• Radiopaque foreign body
Pediatric Airway Foreign Body
Complications
• The most common complications among children in whom the diagnosis
was delayed were croup, pneumonia, pneumothorax, atelectasis, stricture,
and perforation (multicenter study, Reilly et. al)
• The pathogenesis of pulmonary infection which is related to either partial
or complete obstruction of the airway that results in retained secretions
and subsequent bacterial overgrowth.
• Consider the diagnosis of foreign body aspiration in all children who have
unexplainable pulmonary pathology, such as persistent lung infections
(recurrent pneumonia or lung abscess), bronchiectasis, or new-onset
asthmatic symptoms.
• In these instances, the use of flexible bronchoscopy may aid in the
diagnosis.
• Less common complications of chronic aspiration of a foreign body include
perforation of the bronchial tree and fistula formation.
Pediatric Aspiration Pneumonia
Treatment
• Empiric antibiotic regimens for community-
acquired aspiration pneumonia must cover oral
anaerobes. Appropriate antibiotic regimens for
hospitalized children include:
– Ampicillin-sulbactam 150 to 200 mg/kg per day of the
ampicillin component IV in four divided doses;
maximum 8 g/day of the ampicillin component, or
– Clindamycin 30 to 40 mg/kg per day IV in three or
four divided doses to a maximum of 1 to 2 g/day if
MRSA etiology is suspected.
58-59. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
 Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin O,
yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman grup
A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
Tekanan di dalam Jantung

60. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect location determine newborn  right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aortic stenosis  left-


sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. perfusion) & right-sided HF
Patent Ductus Arteriosus
Duktus Arteriosus Persisten
• Kelainan berupa duktus (pembuluh yang menghubungkan
arteri pulmonalis kiri dan aorta desenden) yang tetap
terbuka setelah bayi lahir
• Pada bayi cukup bulan  duktus menutup secara
fungsional dalam 12 jam setelah lahir dan lengkap dalam 2-
3 minggu
• Dijumpai 5-10% dari seluruh PJB, perempuan : laki-laki (3:1)
• Etiologi :
– Kegagalan penutupan pada bayi cukup bulan akibat kelainan
struktur otot polos duktus
– Pada prematur  menurunnya responsivitas duktus terhadap
O2 dan peran relaksasi aktif dari PGE2 dan prostasiklin (PGI1)
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana

Parasetamol IV 15 mg/kgBB/kali, 4x/hari selama 3 hari  menutup DAP pada bayi yg


belum mendapat asupan peroral
61. HEMOSTASIS
Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the
stoppage of bleeding, which is vitally important when
blood vessels are damaged.
Following an injury to blood vessels several actions
may help prevent blood loss, including:

Formation of a clot
Hemostasis
1. Fase vaskular: vasokonstriksi
2. Fase platelet: agregasi dan adhesi
trombosit
3. Fase koagulasi: ada jalur
ekstrinsik, jalur intrinsik dan
bersatu di common pathway
4. Fase retraksi
5. Fase destruksi / fibrinolisis

http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/health-
general/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors

Components of coagulation factor:


~ fibrinogen factor I
~ prothrombin factor II
~ tissue factor (thromboplastin) factor III
~ Ca-ion (Ca++) factor IV
~ pro-accelerin (labile factor) factor V
~ pro-convertin (stable factor) factor VII
~ anti-hemophilic factor factor VIII
~ Christmas-factor factor IX
~ Stuart-Prower factor factor X
~ plasma tromboplastin antecedent factor XI
~ Hageman factor factor XII
~ fibrin stabilizing factor(Laki-Roland) factor XIII

Kuliah Hemostasis FKUI.


Bleeding Time
• It indicates how well platelets interact with blood vessel
walls to form blood clots.
• BT is the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when bleeding stops.
• Used most often to detect qualitative defects of platelets.
• BT is prolonged in purpuras, but normal in coagulation
disorders like haemophilia.
• Purpuras can be due to
– Platelet defects - Thrombocytopenic purpura (ITP & TTP)
– Vascular defects - Senile purpura, Henoch Schonlein purpura
• Platelets are important in preventing small vessel bleeding
by causing vasoconstriction and platelet plug formation.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
Clotting Time
• CT the interval between the moment when bleeding
starts and the moment when the fibrin thread is first
seen.
• BT depends on the integrity of platelets and vessel
walls, whereas CT depends on the availability of
coagulation factors.
• In coagulation disorders like haemophilia, CT is
prolonged but BT remains normal.
• CT is also prolonged in conditions like vitamin K
deficiency, liver diseases, disseminated intravascular
coagulation, overdosage of anticoagulants etc.

http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
PT & APTT
• activated partial thromboplastin time (aPTT)
 untuk mengevaluasi jalur intrinsik kaskade
koagulasi
• prothrombin time (PT)  untuk mengevaluasi
jalur ekstrinsik kaskade koagulasi
BLEEDING

Mild Severe

intervention

stopped
continues

prolonged delayed

Platelet disorder Coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Spontaneous bleeding
(without injury)

SUPERFICIAL, MULTIPLE DEEP, SOLITARY


petechiae, hematoma,
purpura, hemarthrosis
ecchymoses

platelet disorder coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders

Kuliah Hemostasis FKUI.


Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
62. Hemofilia
• Hemophilia is the most common inherited bleeding disorder.
• There are:
– Hemophilia A : deficiency of factor VIII
– Hemophilia B : deficiency of factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : in which signs and symptoms are often mild, is caused by
insufficient clotting factor XI.
• Both hemophilia A and B are inherited as X-linked recessive disorders
• Symptoms could occur since the patient begin to crawl
• Incidence:
– hemophilia A (± 85%)
– hemophilia B (± 15%)
• Approximately 70% had family history of bleeding problems
• Clinical manifestasion: mild, Moderate, severe
• Inherited as sex (X)-linked recessive
• Genes of factor VIII/IX are located on the distal part of the long arm (q) of X
chromosome
• Female (women) are carriers
Hemofilia
Clinical manifestation
• Bleeding:
– usually deep (hematoma,
hemarthrosis)
– spontaneous or following mild
trauma
• Type:
– Hemarthrosis
– Hematoma
– intracranial hemorrhage
– Hematuria
– Epistaxis
– bleeding of the frenulum (baby)
– Unusual bleeding after
vaccinations
– In infants, unexplained irritability

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Diagnosis

• history of abnormal bleeding in a boy


• normal platelet count
• bleeding time usually normal
• clotting time: prolonged
• prothrombin time usually normal
• partial thromboplastin time prolonged
• decreased antihemophilic factor

Antenatal diagnosis
• antihemophilic factor level
• F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
Tatalaksana Hemofilia
Tatalaksana Hemofilia
• For treatment of acute bleeds, target levels by
hemorrhage severity are as follows:
– Mild hemorrhages (eg, early hemarthrosis, epistaxis,
gingival bleeding): Maintain an FVIII level of 30%
– Major hemorrhages (eg, hemarthrosis or muscle
bleeds with pain and swelling, prophylaxis after head
trauma with negative findings on examination):
Maintain an FVIII level of at least 50%
– Life-threatening bleeding episodes (ie, major trauma
or surgery, advanced or recurrent hemarthrosis):
Maintain an FVIII level of 80-100%
Blood Replacement Therapy
factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (unit/ml) (ml)

fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200


cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor - VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor - IX concentrate - 25 - 35 20

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


63. Morbili/Rubeola/Campak + taksonomi
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus
• Family : Paramyxoviridae
• Order : Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus

3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Etiologi: Morbilivirus dari • Prodromal
family Paramyxoviridae – Hari 7-11 setelah eksposure
• Kelompok yang rentan: – Demam, batuk,
– Bayi dan anak usia <5 tahun konjungtivitis,sekret hidung.
– Dewasa >20 tahun
(cough, coryza, conjunctivitis
 3C)
– Wanita hamil
– Imunodefisiensi (HIV, leukemia) • Enanthem  ruam
• Musim: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi • Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan bertahan
selama 2 hari.
• Masa infeksius: 1-2 hari sblm
prodromal s.d. 4 hari setelah
muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak) – manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin, atau
berat; 1 dari 20 anak penderita sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita campak) timbulnya penyakit
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan
vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Imunisasi campak
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
64-65. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


Vibrio Cholerae
PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position
drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
TERAPI
• Rehidrasi sesuai dengan status dehidrasi
pasien
• Antibiotik, diindikasikan pada pasien
dengan dehidrasi berat di atas 2 tahun.
• Antibiotik yang sensitif untuk strain
vibrio cholerae : Tetrasiklin, doksisiklin,
kotrimoksazol, eritromisin, dan
kloramfenikol
• Erythromycin 12.5 mg/kg/ 6 hours for 3
days.
• azithromycin, 20 mg/kg, in a single dose,
without exceeding 1 g
• Tetrasiklin:
– <8 years: Not recommended
– Single dose: 25 mg/kg PO; not to exceed
1 g/dose
Sumber: WHO Cholera. 2011. | emedicine | PAHO
– Multiple dose: 40 mg/kg/day PO divided
q6hr for 3 days; not to exceed 2 g/day
Guidelines for Cholera Treatment with Antibiotics
DOC FOR SPECIAL
RECOMMENDATION DOC ALTERNATE
POPULATIONS

Ab for cholera Erythromycin is


WHO patients with severe Doxycycline Tetracycline recommended drug
dehydration only for children

Erythromycin or
azithromycin DOC for
Ab for cholera pregnant women and
patients with Ciprofloxacin children
PAHO Doxycycline
moderate or severe Azithromycin Ciprofloxacin &
dehydration doxycycline as
second-line for
children

Ab for severely Erythromycin


MSF dehydrated patients Doxycycline Cotrimoxazole
only Chloramphenicol
Prinsip terapi cairan
• Rehidrasi merupakan prioritas pertama pada
cholera
• Pemberian cairan terbagi menjadi 2 fase yaitu
rehidrasi dan maintenance
• Fase rehidrasi:
– mencapai status hidrasi normal dalam waktu ≤ 4 jam.
– Lebih diutamakan untuk menggunakan ringer
lactate, jika tidak ada bisa menggunakan NaCl 0.9%
• Fase maintenance:
– menjaga status hidrasi normal terutama melalui oral
dengan menggunakan oralit
Prinsip pemilihan cairan secara umum
pada pediatrik
• Resuscitated with isotonic IV solutions
(normal saline 0.9% or Ringer’s lactate)
• Maintenance disarankan: Ringer’s lactate
solution with 5% dextrose or 0.9% normal
saline with 5% glucose or half-normal saline
(0.45% sodium chloride) with 5% glucose
Cairan Darrow

• Direkomendasikan pada pasien dengan intake oral yang buruk atau tidak
sama sekali, terutama yang membutuhkan terapi pengganti cairan dalam
jumlah yang besar dan untuk mencegah atau mengoreksi hipofosfatemia
• Pemberiannya harus diencerkan dahulu
• Mengandung aluminium sehingga penggunaannya harus hati-hati karena
bersifat toksik
Cairan KA-EN 3A

• KA-EN 3A diindikasikan sebagai cairan maintenance untuk


mempertahankan derajat hidrasi dan keseimbangan elektrolit pada
pasien yang tidak bisa atau sulit memperoleh intake secara oral
• Cairan ini direkomendasikanuntuk digunakan pada bayi dan anak-anak,
post operasi, dan pada kasus dehidrasi hipertonik yang disertai
hipokalemia.
Cairan KA-EN 3B

• KA-EN 3A diindikasikan sebagai cairan maintenance untuk mempertahankan


derajat hidrasi dan keseimbangan elektrolit pada pasien yang tidak bisa atau sulit
memperoleh intake secara oral
• Cairan ini direkomendasikan untuk digunakan pada dewasa, post operasi, dan pada
kasus dehidrasi hipertonik yang disertai hipokalemia.
Cairan D5 ¼ NS

• Direkomendasikan pada pasien yang mengalami kehilangan cairan


ekstraselular sedang berat, seperti pada kasus trauma, luka bakar, post
pembedahan, dan syok perdarahan.
• Penggunaan cairan ini bukan untuk menggantikan peranan transfusi
melainkan sebagai terapi tambahan
66. Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
• glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat
• dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
DM Tipe 1 vs Tipe 2

http://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
Kriteria Diagnosis DM pada Anak
• Kriteria diagnostik
• Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah.
• Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
– Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan
yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1
mmol/L).
– Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Tes Toleransi Glukosa
• Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
• Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar
glukosa darah tidak menyakinkan.
• Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g).
• Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka
waktu 5 menit.
• Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat
(150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak puasa semalam
menjelang TTG dilakukan.
– Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
– Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
• Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa
oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa
• Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

• Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:


Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar
glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

• Anak dikatakan normal apabila :


Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L)
dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
• Pemeriksaan Penunjang :
– Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Peptide (untuk membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2), pemeriksaan
autoantibodi yaitu: cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
– Penderita lama : HbA1c Setiap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
• Tatalaksana: Insulin

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
67. Sindrom Nefrotik
• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan
gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥
2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan
sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus
eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein)
KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.
Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif change nephrotic syndrome
dari ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik (lipoid nephrosis) merupakan
mayoritas bersifat idiopatik, yang penyebab tersering dari sindrom
belum diketahui patofisiologinya nefrotik pada anak, mencakup
secara jelas, namun diperkirakan 90% kasus di bawah 10 tahun dan
terdapat keterlibatan sistem >50% pd anak yg lbh tua.
imunitas tubuh, terutama sel • Faktor risiko kekambuhan:
limfosit-T riwayat atopi, usia saat serangan
• Gejala klasik: proteinuria, edema, pertama, jenis kelamin dan
hiperlipidemia, hipoalbuminemia infeksi saluran pernapasan akut
• Gejala lain : hipertensi, akut (ISPA) bagian atas yang
hematuria, dan penurunan fungsi menyertai atau mendahului
ginjal terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom Nefrotik
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
68. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek
pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri
dari komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala
klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (gen rantai beta ada di kromosom 11) yang
mayoritas ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa(gen rantai alfa ada di kromosom 16)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


Orang tua Orang tua Orang tua Orang tua
Pembawa sifat Pembawa sifat normal
Pembawa sifat

Pembawa Thalassemia Pembawa Pembawa


Normal Normal
sifat Major sifat sifat
Seminar Awam, 21-06-2007
Seminar Awam, 21-06-2007
   

2 2   4

2  2 = 97 %
(Hb A)
2 2  4
(Hb H)
 

   2  2 (Hb F) 
  2  2 (Hb F)< 1 % 2  2   4 (Hb Bart`s)
 2  2 (Hb A2) 2-3 %    2  2 (Hb A2) 
 2  2  4 ?

Normal  - Thal  - Thal


  
Excess

22 Precipitation Fe free radicals


HbF
Selective survival of Haemolysis Destruction of RBC precursors
HbF-containing cells

Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells

Tissue hypoxia
Anaemia
Erythopoietin

Marrow expansion Transfusion

Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate
Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modified from Weatherall, DJ

The pathophysiology of  thalassaemia


Post Graduate Haematology, 1999
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe) peripheral blood smear of patient with homozygous beta
thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly bodies,
thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from Stanley Schrier@
2001 in ASH Image Bank 2001; doi:10.1182/ashimagebank-2001-
• Analisis Hb 100208)

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA,


Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb
kualitatif
Thalassemia
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali • Splenektomi  jika memenuhi
jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan
dengan jarak 2 minggu • Splenomegali masif
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
cooley, gangguan tumbuh kembang ml/kg/tahun
• Transfusi darah selanjutnya jika hb<8
g/dL SAMPAI kadar Hb 10-11 g/dL • Transplantasi (sumsum tulang,
(dlm bentuk PRC rendah Leukosit) darah umbilikal)
• Medikamentosa • Fetal hemoglobin inducer
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari (meningkatkan Hgb F yg
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe membawa O2 lebih baik dari Hgb
bebas dan me<<< deposit hemosiderin).
Dilakukan Jika Ferritin level > 1000 A2)
ng/ul, atau 10-20xtransfusi, atau
menerima 5 L darah. • Terapi gen
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
pemecahan eritrosit  stress oksidatif
>>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi
denga n deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
KOMPLIKASI THALASSEMIA
• Infection
• chronic anemia  iron overload  deposisi iron pada miokardium 
Kardiomiopati  bermanifestasi sebagai CHF
• Endokrinopati
– Impaired carbohydrate metabolism
– Pertumbuhan : short stature, slow growth rates
– Delayed puberty & hypogonadism  infertility
– Hypothyroidism & hypoparathyroidism
– osteoporosis
• Liver:
– cirrhosis due to infection and iron load
– Bleeding: disturbances of coagulation factors
69. Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi


kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari,
dan biasanya timbul jika ada pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang,
BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma
Patogenesis asma pada anak
Patogenesis asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Kriteria diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Jenis alat inhalasi sesuai usia
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Sediaan steroid
 Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
 Steroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari
 Ciclesonide diberikan sekali
sehariefikasi masih diobservasi
 Steroid inhalasi sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi
tinggi badan dan densitas tulang.
 Kandidiasis oral dan suara parau
sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur
tersebut.
 Pada anak asma yang mendapatkan
steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun.
Tatalaksana serangan
asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan steroid untuk serangan asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhatiHhati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Steroid sistemik
 Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena
 Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis
 Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
 Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
• Adrenalin
 Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
 Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
Mechanism Of Corticosteroid in
Asthma
• Inflammation in asthma is characterized by the
increased expression of multiple inflammatory
genes, including those encoding for cytokines,
chemokines, adhesion molecules, and
inflammatory enzymes and receptors.
• CS have a broad spectrum of anti-inflammatory
effects in asthma, with inhibition of multiple
inflammatory mediators and inflammatory and
structural cells.
Mechanism Of Corticosteroid in
Asthma
At a cellular level, CS
suppress the multiple reduce the number of
suppress the inhibits the
inflammatory genes inflammatory cells in
production of recruitment
that are activated in the airways, including
chemotactic of
asthmatic airways by eosinophils, T
mediators and inflammatory
reversing histone lymphocytes, mast
adhesion cells into the
acetylation of the cells, and dendritic
molecules airway
activated inflammatory cells.
genes

Epithelial cells may also be a CS also inhibits the survival in


major cellular target for inhaled the airways of inflammatory
corticosteroids cells, such as eosinophils, T
lymphocytes, and mast cells.
Cellular effect of corticosteroids.
Corticosteroid regulation in gene
Expression
Effect of
Corticosteroids
on Gene
Transcription

(note that many of


inflammatory mediators
are inhibited as showed
beside)
70. Pendekatan Anemia pada anak
• Anemia (WHO):
– A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean
Hb concentration for a normal population of the same
gender and age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey
(1999 – 2002)→ anemia:
– Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and
female children aged 12 through 35 months

Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia i n Infants and Young Children (0-3 years of Age.
Pediatrics 2010; 126; 1040.
Pendekatan Anemia pada anak
• idai
Indeks Eritrosit
• Indeks eritrosit/ indeks • mean corpuscular volume (MCV)
kospouskuleradalah batasan untuk
ukuran dan isi hemoglobineritrosit.
– Volume/ ukuran eritrosit :
mikrositik (ukuran kecil),
• terdiri atas: normositik (ukuran normal),
– (MCV : mean corpuscular volume) dan makrositik (ukuran besar).
– (MCH : mean corpuscular hemoglobin)
• mean corpuscular hemoglobin
– (MCHC : mean corpuscular hemoglobin)
(MCH)
– (RDW : RBC distribution width atau luas
distribusi eritrosit)  perbedaan – bobot hemoglobin di dalam
ukuran eritrosit tanpa memperhatikan
• Indeks eritrosit dipergunakan secara ukurannya.
luas dalam mengklasifikasi anemia atau • mean corpuscular hemoglobin
sebagai penunjang dalam membedakan
berbagai macamanemia.
concentration (MCHC)
– konsentrasi hemoglobin per
unit volume eritrosit.
Retikulosit
• Retikulosit : eritrosit muda yang sitoplasmanya masih
mengandung sejumlah besar sisa-sisa ribosome dan RNA
yang berasal dari sisa inti dari prekursornya (sel darah
muda).
• Jumlah retikulosit yg meningkat menunjukkan kemampuan
respon sumsum tulang ketika anemia (misal perdarahan)
• Indikator aktivitas sumsum tulang, banyaknya retikulosit
dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang
hampir akurat.
– Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan
akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang.
– hitung retikulosit yang rendah dapat mengindikasikan keadan
hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik.
Hipokrom: MCH ˂ normal Hiperkrom:
MCH ˃ normal
Mikrositik: MCV ˂ normal
Anemia Defisiensi Besi
Etiologi
• Bayi di bawah 1 tahun • Anak umur 2-5 tahun
– Persediaan besi yang – Diet rendah heme
kurang karena BBLR, lahir – Infeksi berulang/menahun
kembarm ASI eksklusif – Perdarahan berlebihan
tanpa suplementasi, susu karena divertikulum
formula rendah besi, meckel
pertumbuhan cepat,
anemia selama kehamilan • Umur 5 tahun – remaja
• Anak umur 1-2 tahun – Poliposis
– Tidak mendapat MPASI – Kehilangan besi karena
– Kebutuhan meningkat perdarahan e.c
parasit/infeksi
karena infeksi berulang
– Malabsorbsi • Remaja dewasa
– Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis
• Anamnesis • Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung – Pucat tanpa tanda – tanda
lama (kronik) perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, – Limpa dapat membesar
sariawan, fagofagia, namun umumnya tidak
penurunan prestasi belajar, teraba
menurunnya daya dahan – Koilonikia, glositis. Dan
tubuh terhadap infeksi dan stomatitis angularis
gangguan perilaku
– Terdapat faktor predisposis
dan faktor penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Profil Zat Besi

• Ferritin • Total iron binding capacity


– ferritin : intracellularprotein – is a measurement of the maximum
which safely stores excess iron. amount of iron that can be carried.
– Tiny amounts of ferritin can be – Indirect measurement of transferrin.
detected in serum  measured
surrogate for body iron stores
– Serum ferritin shows an acute • Transferrin saturation
phase response and can be – The most useful test in assessing iron
elevated in a variety of supply to the tissues
inflammatory, metabolic,hepatic – Transferrin is a glycoprotein synthesised in
and neoplastic disorders 
difficult to recognise iron the liver and is responsible for the
deficiency in patients with transportation of iron (Fe3+) in serum
inflammatory disorders – In iron deficiency anaemia the serum iron
– normal range for serum ferritin is level falls. As a result the liver is stimulated
generally regarded as 15- to synthesise more transferrin and the
300μg/l. transferrin saturation falls (usually <15%).
– Transferrin saturation is obtained by the
following formula: serum iron x 100 ÷ TIBC
 Normal range 25–50%,
• Serum iron concentration
– is a measurement of circulating iron (Fe³+) bound
to transferrin
– Only 0.1% of total body iron is bound to
transferrin at any one time
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Pengobatan harus dimulai pada stadiumdini (pada stadium deplesi besi
atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB
• Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan
transfusi PRC
• Pemberian Zat Besi :
– Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai
terpenuhi  bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian
oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek
samping berat pada saluran cerna
• Evaluasi hasil pengobatan  periksa Hb,
retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin
seminggu sekali
• Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa
pemeriksaan SI dan feritin
• Transfusi hanya diberikan bila Hb<7 g/dL atau
kadar Hb ≥7 g/dl disertai lemah, gagal jantung,
infeksi berat atau akan menjalani operasi
 transfusi PRC
Tatalaksana
• Fe oral
– Aman, murah, dan efektif
– Enteric coated iron tablets  tidak dianjurkan karena
penyerapan di duodenum dan jejunum
– Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
• Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh,
kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau 2
jam setelahnya)
• Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida
• Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam  konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
Tatalaksana

– Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat


lambung kosong,
– Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat
sekitar 40%-50%
– Efek samping:
• Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung
• Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
Skrining
• The American Academyof • Pemeriksaan tersebut dilakukan
Pediatrics (AAP) dan CDCdi pada populasi dengan risiko
Amerika menganjurkan tinggi:
melakukan pemeriksaan (Hb) dan – kondisi prematur
(Ht) setidaknya satu kali padausia – berat lahir rendah
9-12 bulan dan diulang 6 bulan – riwayat mendapat perawatan lama
kemudian pada usia 15-18 bulan di unit neonatologi
atau pemeriksaan tambahan – anak dengan riwayatperdarahan
setiap 1 tahun sekali pada usia 2- – infeksi kronis
5 tahun. – etnik tertentu denganprevalens
• Pada bayi prematur ataudengan anemia yang tinggi
berat lahir rendah yang tidak – mendapat asi ekslusif tanpa
mendapat formula yang suplementasi
difortifikasi besi perlu – mendapat susu sapi segar pada
dipertimbangkan untuk usia dini
melakukan pemeriksaan Hb – dan faktor risiko sosial lain.
sebelum usia 6 bulan

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia


Suplemen Besi

Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia


OBSTETRI &
GINEKOLOGI
71. Persalinan normal
• Persalinan dan kelahiran dikatakan normal
jika:
– Usia kehamilan cukup bulan (37- <42 minggu)
– Persalinan terjadi spontan
– Presentasi belakang kepala
– Berlangsung tidak lebih dari 18 jam
– Tdak ada komplikasi pada ibu maupun janin
• Kehamilan preterm : bila usia kehamilan
antara 20-<37 minggu
Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Sifat HIS
Kala 1 awal (fase laten)
• Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm
• Frekuensi dan amplitudo terus meningkat

Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir


• Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4
kali / 10 menit, lama 60-90 detik (frekuensi setidaknya 2x/10 menit dan lama minimal
40 “). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm).

Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum

Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)

Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Istilah untuk menjelaskan penemuan cairan
ketuban/selaput ketuban
• Utuh (U), membran masih utuh, memberikan sedikit perlindungan
kepada bayi dalam uterus, tetapi tidak memberikan informasi
tentang kondisi janin

• Jernih (J), membran pecah dan tidak ada anoksia

• Mekonium (M), cairan ketuban bercampur mekonium,


menunjukkan adanya anoksia/anoksia kronis pada bayi

• Darah (D), cairan ketuban bercampur dengan darah, bisa


menunjukkan pecahnya pembuluh darah plasenta, trauma pada
serviks atau trauma bayi

• Kering (K), kantung ketuban bisa menunjukkan bahwa selaput


ketuban sudah lama pecah atau postmaturitas janin
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
72. Letak, presentasi, posisi dan
habitus janin
• Letak
– Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu. Letak
janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse), longitudinal dan
oblique
• Presentasi
– Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir
– Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan dahi
• Posisi
– Hubungan antara bagian terbawah janin terhadap tubuh ibu. Pada presentasi
kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya vertex berada di
bagian anterior tubuh ibu
• Habitus
– Sikap tubuh janin selama dalam uterus.
– Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh sternum,
punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi pada lutut,
Malpresentasi Janin

• Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks

• Malposisi adalah kelainan posisi kepala janin relatif


terhadap pelvis ibu dengan oksiput sebagai titik referensi

• Posisi normal: oksiput anterior

• Masalah: janin yg dalam keadaan malpresentasi dan


malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau
partus macet

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Malposisi Oksiput Posterior
• Oksiput berada didaerah posterior dari diameter
transversal pelvis
• Rotasi spontan: 90% kasus
• Persalinan yg terganggu terjadi bila kepala janin tidak
rotasi atau turun
• Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum
yang luas/tidak teratur

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Malposisi Oksiput Posterior

• Etiologi usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan


ukuran panggul

• Pada diameter antero-posterior >tranversa pada panggul


antropoid,atau segmen depan menyempit seperti pada
panggul android, uuk akan sulit memutar kedepan

• Sebab lain: otot-otot dasar panggul lembek pada multipara


atau kepala janin yg kecil dan bulat sehingga tak ada paksaan
pada belakang kepala janin untuk memutar kedepan

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Dahi

• Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala


berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal
• Pada umumnya merupakan kedudukan yg sementara dan
sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau
belakang kepala
• Penyebabnya CPD, janin besar, anensefal,tumor didaerah
leher,multiparitas dan perut gantung

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Dahi

• Diagnosis pada periksa dalam dapat diraba sutura frontalis,


pakal hidung dan lingkaran orbita. Mulut dan dagu tidak dapat
diraba.
• Biasanya penurunan dan persalinan macet. Konversi kearah
verteks atau muka jarang terjadi. Persalinan spontan dapat
terjadi jika bayi kecil atau mati dgn maserasi
• Bila janin hidup lakukan SC
• Bila janin mati, pembukaan belum lengkapSC
• Bila pembukaan lengkaplakukan embriotomi

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka
• Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala
janin .
• Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi
• Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut
gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat
• Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka
dengan dagu anterior dan posterior
• Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan
persalinan dengan terjadinya fleksi.

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka

• Pada presentasi muka dengan dagu posterior


akan terjadi kesulitan penurunan karena
kepala dalam keadaan defleksi maksimal

• Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap :


- lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam
- bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip
- bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Ganda
• Bila ekstremitas (bag kecil janin) prolaps disamping bag terendah
janin

• Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan
maserasi

• Lakukan koreksi dengan jalan Knee Chest Position,dorong bag yg


prolaps ke atas, dan pada saat kontraksi masukkan kepala memasuki
pelvis.Bila koreksi tidak berhasil lakukan SC

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Bokong
• Bila bokong merupakan bagian terendah janin
• Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech (bokong
sempurna),Frank breech (bokong murni), incomplete breech
• Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena
kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda
disproporsi

• Etiologi
• Multiparitas, hamil kembar,
hidramnion, hidrosefal,
plasenta previa, CPD

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Letak Lintang
• Persalinan akan macet
• Lakukan versi luar bila permulaan inpartu dan ketuban intak
• Bila ada kontraindikasi versi luar lakukan SC
• Lakukan pengawasan adanya prolaps funikuli
• Dapat terjadi ruptura uteri
• Dalam obsteri modern, pada letak
lintang inpartu dilakukan SC
walaupun janin mati

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


73. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
KET: Patofisiologi Nyeri

KET
KET
Darah mengiritasi
peritoneum
Mendesak struktur
sekitar
Saraf simpatis bekerja

Nyeri
Nyeri
KET: Kuldosentesis

• Teknik untuk mengidentifikasi hemoperitoneum

• Serviks ditarik kearah simfisis menggunakan


tenakulum  jarum 16-18 G dimasukkan lewat
forniks posterior kearah cul-de-sac

• Cairan yang mengandung gumpalan darah, atau


cairan bercampur darah sesuai dengan diagnosis
hemoperitoneum akibat kehamilan ektopik
KET: Tatalaksana
Tatalaksana Umum
• Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau RL (500 mL
dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama
• Segera rujuk ibu ke RS

Tatalaksana Khusus
• Laparotomi: eksplorasi kedua ovarium dan tuba fallopii
• Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi (eksisi bagian tuba yang
mengandung hasil konsepsi)
• Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan melakukan salpingostomi untuk
mempertahankan tuba (hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
• Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk penggunaan
kontrasepsi. Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu
• Atasi anemia dengan pemberian tablet besi sulfas ferosus 60 mg/hari
selama 6 bulan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
74. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
75. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
Abortus
• Diagnosis  dengan bantuan USG
– Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak)
– Perut nyeri & kaku
– Pengeluaran sebagian produk konsepsi
– Serviks dapat tertutup/ terbuka
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

• Faktor Predisposisi Abortus Spontan


– Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom)
– Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme,
DM), malnutrisi, obat-obatan, merokok, konsumsi alkohol,
faktor immunologis & defek anatomis seperti uterus didelfis,
inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom
Asherman
– Faktor dari ayah: Kelainan sperma
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Jenis Abortus
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
76. Hipertensi dalam kehamilan
Definisi
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg
- Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam
Faktor predisposisi - Gangguan vaskuler
- Gemelli plasenta
- Penyakit trofoblas - Faktor herediter
- Hidroamnion - Riwayat preeklampsia
- DM sebelumnya
- Obesitas sebelum hamil

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi

• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan

Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.


Hipertensi Kronik
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau
- Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih
<20 minggu

Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg 
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklamsia
• preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ.
• Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu:
– 1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
– 2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
– 3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
– 4. Edema Paru

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tatatalaksana Preeklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal 2016
– 5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri
kepala, gangguan visus
– 6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi
tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Eklamsia
• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya
epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan
meningitis)
77. KONTRASEPSI
Vasektomi
Permanen
Tubektomi

IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma

Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Barrier

• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge

5. Implan Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi,


mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan
perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi
No. Generasi Jenis

1 Generasi pertama • Norethindrone acetate


• Ethynodiol diacetate
• Lynestrenol
• Norethynodrel

2 Generasi kedua • Norgestrel


• Levonorgestrel

3 Generasi ketiga • Desogesthrel


• Gestodene
• Norgestimate

4 Generasi keempat • Drospirenone


• Cyproterone acetate
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen
dan progesteron)

No. Jenis Esterogen Jenis Progesteron

1 Etinil estradiol 30 mcg Levonorgestrel

2 Etinil estradiol 35 mcg Cyproterone acetate

3 Etinil estradiol 30 mcg Drospirenone

4 Etinil estradiol 20 mcg Drospirenone


Metode Hormonal:
Pil & Suntikan Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi
– Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang
sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
(placebo).
– Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
– Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif

• Jenis Suntikan Kombinasi


– 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5
mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali
– 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol
Valerat, IM sebulan sekali
Metode
Pil dan Hormonal:
Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin
– Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg
noretindron
– Isi 28 pil: 75 µg norgestrel
– Contoh
• Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg
noretindron)
• Microval, noregeston, microlut (0,03 mg
levonogestrol)
• Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel)
• Exluton (0,5 mg linestrenol)
• Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)

• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
AKDR: Profil
• Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat
sampai 10 tahun: CuT 380A)
• Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak
• Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan
• Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi
• Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada
infeksi menular seksual (IMS)
• Jenis
• Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375
• Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena
• AKDR CuT-380A
• Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu)
• Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana
• AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja
• Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR:
– Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang
telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.
– Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma

• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper
acts as a spermicide within the uterus)
• The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and
white blood cells within the uterine and tubal fluids.
• Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus
(abnormal) and surrounded by macrophages
• Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent
implantation
AKDR: Informasi Umum
• AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan

• AKDR bekerja dengan membuat inflamasi ringan pada rahim

• AKDR dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya selama


beberapa bulan pertama

• Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa hari setelah


pemasangan perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan lebih
banyak

• Tidak ada efek samping hormonal dari CuT-380A

• AKDR mungkin dilepas setiap saat atas kehendak kliennya

• Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas
dan berikan kartu tentang informasi semua ini
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
AKDR
Alat kecil yang dipasang dalam rahim • Rangka plastik yang lentur dengan lengan tembaga dan benang.

• Sangat efektif dan tidak tergantung pada daya ingat.


• Cara kerja utama mencegah sperma bertemu telur.
Sangat efektif dan aman • Sebagian besar ibu bisa memakai AKDR, termasuk ibu yang belum
pernah hamil.
.
Rumor yang umum:
• AKDR tidak dapat keluar dari rahim atau berjalan ke seluruh tubuh
• AKDR tidak mengganggu selama bersenggama, walaupun kadang
pasangan merasakan benangnya.
• AKDR tidak berkarat di dalam tubuh, bahkan setelah bertahun-tahun.

Dapat dicabut kapan saja Anda


inginkan • Klien bisa kembali hamil setelah AKDR dilepas.
Bekerja hingga 10 tahun, tergantung • Copper T 380 A bekerja hingga 10 tahun.
jenisnya • Harus dilepas 1 tahun setelah menstruasi terakhir pada menopause.
Dapat menambah pendarahan Efek Samping:
menstruasi atau menyebabkan kram • Biasanya kembali normal setelah 3 bulan.
Tidak melindungi dari AIDS/IMS • Untuk perlindungan terhadap AIDS/IMS, pakai juga kondom.
Yang tidak bisa memakai AKDR
Sebagian besar ibu tidak bisa memakai AKDR, jika:

• Jika ragu, pakai daftar periksa pada Tambahan 1 atau lakukan tes
Kemungkinan hamil kehamilan.
Baru saja melahirkan • Pemasangan AKDR hanya boleh dilakukan sebelum 48 jam dan
(2 – 28 hari pasca persalinan) setelah 4 minggu pasca persalinan.

Mereka yang berisiko terinfeksi IMS/HIV mencakup mereka:


Memiliki risiko IMS (termasuk HIV) • Yang mempunyai lebih dari 1 pasangan tidak selalu memakai
kondom;
• Yang memiliki pasangan dengan HIV/IMS dan tidak selalu memakai
kondom;
• Memakai jarum suntik bersama, atau pasangan memakai jarum
suntik bersama (hanya untuk HIV tetapi tidak untuk IMS)

Menstruasi yang tak biasa • Menstruasi tak biasa harus diases sebelum memasang AKDR.
Infeksi atau masalah dengan organ
• Setiap infeksi harus diobati sepenuhnya sebelum AKDR dipasang.
kewanitaan:
— IMS atau Penyakit Radang Panggul dalam 3 • Obati penyakit radang panggul ataupun IMS dan tunggu 3 bulan
bulan terakhir? sebelum memasang AKDR. Anjurkan agar pasangan juga diobati.

— HIV atau AIDS? • Jika HIV atau AIDS pakai AKDR hanya jika tidak ada metode lain
yang cocok.
— Infeksi setelah melahirkan atau keguguran
— Kanker pada organ kewanitaan atau TB • Jangan memasang AKDR jika klien memiliki kanker rahim,
panggul endometrium atau kanker indung telur; penyakit tropoblas jinak
atau ganas; tbc panggul.
Setelah pemasangan, AKDR bisa diperiksa oleh
akseptor KB sendiri.

• Kapan memeriksa?
• Satu minggu setelah pemasangan
• Kapan saja setiap selesai masa haid

• Bagaimana cara memeriksa benang?


• Cuci tangan, duduk dalam posisi jongkok, masukkan jari ke dalam vagina
dan rasakan benang AKDR di mulut rahim. Jangan menarik benangnya.
Cuci tangan setelah selesai.

• Jika tidak bisa merasakan benang, atau benang terasa lebih panjang atau
pendek secepatnya kembali ke klinik. AKDR mungkin telah terlepas dan perlu
memakai back up.
KB Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi

Efek Samping
• Nyeri pasca operasi

Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
Metode KB
Alamiah

Pantang Berkala (Rhythm Method), Ogino-


Knaus
• Daur menstruasi
• Wanita daur haidnya relatif teratur, masa
subur : 48 jam sebelum ovulasi dan berakhir
24 jam setelah ovulasi. (H-2 sampai H+1)
• Kegagalan : terutama apabila wanita yang
memiliki siklus haid yang tidak teratur
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi

• Mengukur suhu basal


tubuh (pagi hari)
• Saat ovulasi: suhu tubuh
akan meningkat 1-2° C
(menjelang ovulasi suhu
basal badan akan turun,
dan sekitar 24 jam setelah
ovulasi, suhu basal badan
akan naik kembali lebih
tinggi daripada suhu
sebelum ovulasi)
Coitus Interruptus (Sanggama Terputus)
• senggama terputus atau dalam artian penis dikeluarkan dari
vagina sesaat seblum ejakulasi terjadi  cairan sperma tidak
akan masuk kedalam rahim  ≠ pembuahan.

Metode Mukus Servikal (Metode Billings)


• mendekati masa ovulasi,mukus menjadi relatif bening dan
sangat licin (seperti putih telur), dan dapat diregangkan di
antara kedua jari (spinnbarkeit)
KB: Metode Alami
• Metode Amenorea Laktasi • Keuntungan khusus bagi
Mekanisme: kesehatan:
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) – Mendorong pola menyusui yang
eksklusif untuk menekan ovulasi. benar, sehingga membawa
– Metode ini memiliki tiga syarat – manfaat bagi ibu dan bayi.
yang harus dipenuhi:
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan • Risiko bagi kesehatan:
sering, sepanjang siang dan malam – Tidak ada.
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efek samping:
• Efektivitas: – Tidak ada.
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu
tidak menyusui bayinya secara • Mengapa beberapa orang
benar. menyukainya:
– Bila dilakukan secara benar, risiko – Metode alamiah, mendorong
kehamilan kurang dari 1 di antara kebiasaan menyusui, dan tidak
100 ibu dalam 6 bulan setelah perlu biaya.
persalinan.
Kontrasepsi Darurat
• kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah
senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang
tepat dan konsisten sebelumnya
• Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
– Perkosaan
– Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
– Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
• Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
• Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat
• Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau
genitalia eksterna
• Salah hitung masa subur
• AKDR ekspulsi (terlepas)
• Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
• Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi
lebih dari 7 hari
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila
digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih
efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin.
Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan
tingkat kehamilan <3%.
• Efek samping:
– mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama
sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan
dosis ulangan), perdarahan/bercak.
Kontrasepsi Darurat
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan

• Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas


rata-rata sekitar 6 minggu
• Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih
lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat
diperkirakan
• Metode yang langsung dapat digunakan adalah :
Spermisida
Kondom
Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

MAL Mulai segera • Manfaat kesehatan bagi • Harus benar-benar ASI


ibu dan bayi eksklusif
• Efektivitas berkurang jika
sudah mulai suplementasi
Kontrasepsi • Jangan sebelum 6- • Akan mengurangi ASI • Merupakan pilihan terakhir
Kombinasi 8mg pascapersalinan • Selama 6-8mg bagi klien yang menyusui
• Jika tidak menyusui pascapersalinan • Dapat diberikan pada klien
dapat dimulai 3mg mengganggu tumbuh dgn riw.preeklamsia
pascapersalinan kembang bayi • Sesudah 3mg
pascapersalinan akan
meningkatkan resiko
pembekuan darah

Kontrasepsi • Bila menyusui, • Selama 6mg pertama • Perdarahan ireguler dapat


Progestin jangan mulai pascapersalinan, progestin terjadi
sebelum 6mg mempengaruhi tumbuh
pascapersalinan kembang bayi
• Bila tidak menyusui • Tidak ada pengaruh pada
dapat segera dimulai ASI
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

AKDR • Dapat dipasang • Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental


langsung terhadap ASI memerlukan petugas
pascapersalinan • Efek samping lebih terlatih khusus
sedikit pada klien yang
menyusui
Kondom/S • Dapat digunakan Tidak pengaruh terhadap Sebaiknya dengan kondom
permisida setiap saat laktasi dengan pelicin
pascapersalinan
Diafragma Tunggu sampai 6mg • Tidak ada pengaruh • Perlu pemeriksaan dalam
pascapersalinan terhadap laktasi oleh petugas

KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
KB: Usia > 35 Tahun
Metode Catatan

Pil/suntik • Tidak untuk perokok


Kombinasi • Dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada masa
perimenopause
Kontrasepsi • Dapat digunakan pada masa perimenopause (40-50 tahun)
Progestin (implan, • Dapat untuk perokok
pil, suntikan) • Implan cocok untuk kontrasepsi jangka panjang yang belum
siap dengan kontap
AKDR • Tidak terpapar pada infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Sangat efektif, tidak perlu tindak lanjut, efek jangka panjang
Kondom • Satu-satunya metode kontrasepsi yang dapat mencegah
infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Perlu motivasi tinggi bagi pasangan untuk mencegah
kehamilan
Kontrasepsi Benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi
Mantap
78. Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Manajemen Aktif Kala III

Peregangan Tali Massase


Uterotonika Pusat Terkendali Uterus
• 1 menit setelah bayi • Tegangkan tali pusat ke arah • Letakkan telapak
lahir bawah sambil tangan yang tangan di fundus 
• Oksitosin 10 unit IM di lain mendorong uterus ke masase dengan
sepertiga paha atas arah dorso-kranial secara gerakan melingkar
bagian distal lateral hati-hati secara lembut hingga
• Dapat diulangi setelah uterus berkontraksi
15 menit jika plasenta (fundus teraba keras).
belum lahir
Pelepasan Plasenta

• Pelepasan mulai pada pinggir plasenta. Darah mengalir keluar


antara selaput janin dan dinding rahim, jadi perdarahan sudah ada
sejak sebagian dari placenta terlepas dan terus berlangsung sampai
seluruh placenta lepas.

• Terutama terjadi pada placenta letak rendah


Pelepasan Plasenta

• Pelepasan dimulai pada bagian tengah placenta  hematoma retroplacenter


 plasenta terangkat dari dasar  Placenta dengan hematom di atasnya jatuh
ke bawah  menarik lepas selaput janin.

• Bagian placenta yang nampak dalam vulva: permukaan foetal  tidak ada
perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas
seluruhnya  plasenta terputar balik  darah sekonyong-konyong mengalir.
79. DM Gestasional
DM pada Kehamilan
• Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan
harus ditentukan klasifikasinya sebagai salah
satu di bawah ini: ( WHO 2013, NICE update 2014)
– DM yang sebelumnya dikenal dan kemudian
menjadi hamil (Pregestational Diabetes
Mellitus) dan
– Diabetes yang baru diidentifikasi selama
kehamilan (Gestational Diabetes
Mellitus/GDM/DMG)
Diagnosis Diabetes Gestasional
• Penegakan diagnosis DM gestasional menurut American
Diabetes Association 2016: Menggunakan tes toleransi
glukosa oral dengan pembebanan 75 gram glukosa. Gula
darah diperiksaa saat puasa, dan diperiksa lagi 1 dan 2 jam
setelah mengkonsumsi glukosa.

TTGO

Diabetes gestasional
Diabetes pregestasional
GDP 92-125 mg/dl, atau
GDP >=126 mg/dl, atau
GD 2 jam pp >= 153 mg/dl,
GD 2 jam pp >=200 mg/dl, atau
atau
GDS >=200 mg/dl
GDS 153-199 mg/dl
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY

Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)

Compensatory mechanism Increased fat deposit


Beta cell function  hyperinsulinemia Increased insulin resistance

Compensated Not compensated


Normal GDM
pregnancy
Maternal hyperglycemia
|
Fetal hyperglycemia
|
Fetal pancreatic beta-cell hyperplasia
|
Fetal hyperinsulinaemia
|
Macrosomia, organomegaly, polycythaemia,
hypoglycemia, RDS
Faktor Risiko DM Gestasional
• Excessive early
gestasional weight gain
– 1st trimester: 2kg
– 2nd trimester:
• Underweight: 0,6 kg per
week
• Normal: 0,45 kg per week
• Overweight: 0,32 kg per
week
• Obese: 0,27 kg per week
• South Asia and South
east Asia  high risk of
GDM
DM Gestasional
• DM gestasional sering asimtomatik  screening penting
untuk deteksi
• Pada kehamilan normal, resistensi insulin terjadi pada
trimester II dan terus terjadi hingga kelahiran. Mekanisme
pasti resistensi insulin pada kehamilan belum diketahui.
Dikaitkan dengan produksi hormon, sitokin, adipokin plasenta.
Pada keadaan normal, resistensi insulin dibarengi dengan
peningkatan sekresi insulin  kadar gula darah normal.
• DM gestasional dapat terjadi karena adanya preexisting factor
resistensi insulin sebelumnya dan menurunnya sekresi insulin.
Waktu Skrining DM Gestasional
• Sebetulnya, waktu dilakukannya skrining DMG bervariasi berdasarkan
regionya.
• Berdasarkan epidemiologi, orang South Asia dan South East Asia memiliki
risiko tinggi DM gestasional.
• Screening DM gestasional dengan kriteria ACOG maupun ADA dilakukan
pada saat trimester II (24-28 mgg) karena resistensi insulin muncul pada
trimester II, mekanisme belum jelas (dikaitkan dengan produksi hormon,
sitokin dari plasenta).
• Dalam buku saku pelayanan kesehatan ibu, skrining DMG dengan TTGO 75
gram juga dilakukan pada 24-28 minggu.
• Akan tetapi, menurut Algoritma PERKENI serta departemen Obstetri
Ginekologi RSUPN-CM, sebaiknya skrining DMG sudah dilakukan sejak
trimester pertama (karena risiko tinggi DMG pada orang Asia Tenggara).
Gestasional
Diagnosis dan

Diabetes Melitus
Penatalaksanaan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional


dr. Arietta Pusponegoro, SpOG (K) Dept. Obstetri Ginekologi FKUI/RSUPN-CM
Disampaikan pada: Pelatihan Manajemen DMG di Fasyankes Primer 06-07 Sept. ‘17 di R.
Rapat 1 (R. Mochtar) Gd. IKK FKUI
Tatalaksana DM Gestasional
Non Medikamentosa Medikamentosa
• Nutritional therapy – (ADA 2016)
– 1st line treatment: insulin
• Physical activity
– Alternatif: Metformin preferable
– Rekomendasi ACOG dibanding Glibenclamide (sulfonil
 moderate excercise urea) karena SU Increased neonatal
consisting of 30 hypoglycemia & macrosomia and No
minutes most days of long-term safety data
the week for women • Target GDP <=95; 1 jam PP <= 140;
with GDM dan no 2 jam PP<=120
medical or obstetric
contraindication
GDM Treatment Scheme
GDM

FPG <130 mg/dL FPG ≥130 mg/dL


ADA
FPG ≥ 105 or
Medical nutrition
therapy (MNT) 1 week PPBG ≥ 120 mg/dL

FPG <105 and FPG>105 or


2 hr pp PG <120 2 hr pp PG >120

MNT MNT + Insulin

Konsensus Perkeni DMG


Komplikasi DM gestasional
MATERNAL FETAL
• Hipertensi gestasional • Makrosomia
• Preeklamsia • Hipoglikemia neonatus
• SC
• Hiperbilirubinemia
• Subsequent development
• Birth trauma
of type 2 DM
• Respiratory distress syndrome
• Distosia bahu
• Birth defects
• Subsequent adolescent and
childhood overweight
80. Malaria dalam Kehamilan
• Ditemukan parasit pada darah maternal dan darah plasenta

• Pengaruh pada Janin


– IUFD, abortus, prematur, BBLR, malaria placenta, malaria
kongenital, lahir mati

• Gambaran klinis pada wanita hamil


– Non imun: ringan sampai berat
– Imun : tidak timbul gejala  tidak dapat didiagnosa klinis
Kemoprofilaksis Malaria dalam Kehamilan
WHO: Dosis terapeutik anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah
endemik malaria pada kunjungan ANC pertama, kemudian diikuti
kemoprofilaksis teratur. Pengobatan malaria di Indonesia hanya
memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan.

Perlindungan dari gigitan nyamuk, kontak antara ibu dengan vektor dapat dicegah
dengan:
• Memakai kelambu yang telah dicelup insektisida (misal: permethrin)
• Pemakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang
• Pemakaian penolak nyamuk (repellent)
• Pemakaian obat nyamuk (baik semprot, bakar dan obat nyamuk listrik)
• Pemakaian kawat nyamuk pada pintu-pintu dan jendela-jendela
Penatalaksanaan Umum
1. Perbaiki keadaan umum penderita (pemberian cairan dan perawatan
umum)

2. Monitoring vital sign setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui


perkembangannya), kontraksi uterus dan DJJ juga harus dipantau

3. Jaga jalan nafas untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu beri
oksigen

• Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia

• Parasetamol 10 mg/kgBB/kali, dan dapat dilakukan kompres

• Jika kejang, beri antikonvulsan: diazepam 5-10 mg iv (secara perlahan


selama 2 menit) ulang 15 menit kemudian jika masih kejang;
maksimum 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
dipakai fenobarbital 100 mg im/kali (dewasa) diberikan 2 kali sehari
Farmakologi Terapi Malaria dan Kehamilan
• Malaria Falciparum dan vivax
– artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisinin- piperakuin) 1 x 3
tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x
4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Kontraindikasi: primakuin hemolisis sel darah merah, doksisiklin,
tetrasiklin
• Profilaksis
– Klorokuin (sudah banyak resistensi), meflokuin (rekomendasi untuk semua
trimester)
– Kontraindikasi: doksisiklin dan primakuin
81. Infertilitas
• Infertilitas :
– kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan sekurang-
kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa
kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer.
• Infertilitas sekunder:
– ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan
kehamilannya.
• Infertilitas idiopatik :
– pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes
ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil normal
• Fekunditas: kemampuan seorang perempuan untuk hamil.
• Data dari studi yang telah dilakukan pada populas, kemungkinan seorang
perempuan hamil tiap bulannya adalah sekitar 20 sampai 25%
• Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat
dilakukan setelah 6 bulan pernikahan.
Faktor Resiko Infertilitas
• Gaya Hidup
Faktor Laki – laki
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan
setidaknya sebesar 30-40% dari infertilitas disebabkan oleh
faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada laki-laki penting
dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas.
• Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat dari:11
– Kelainan urogenital kongenital atau didapat
– Infeksi saluran urogenital
– Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)
– Kelainan endokrin
– Kelainan genetik
– Faktor imunologi
Hysterosalphingography
• HSG is the evaluation of the uterine cavity, fallopian tubes,
and adjacent peritoneal cavity following the injection of
contrast material through the cervical canal
• Indication:
– Infertility evaluation: HSG can identify fallopian tube
obstruction, dilation (hydrosalpinx), and surrounding adhesions
as well as uterine synechiae, intracavitary lesions, and septa
– Suspected congenital uterine anomalies: Congenital uterine
anomalies (eg, septate, bicornuate, or unicornuate uteri) can be
detected with HSG.
– Preprocedure planning: Some hysteroscopic procedures,
including myomectomy, adhesion resection, and septum
resection, benefit from preprocedure HSG to identify the
location and size of lesions for resection
HSG:
Temuan
Radiologis
Tubal Occlusion
• PID is the most common cause of tubal occlusion leading to infertility.
• Although active pelvic infection is a contraindication for HSG, the residua
of previous episodes can be seen at HSG.
• Tubal occlusion manifests as an abrupt cutoff of contrast material with
nonopacification of the more distal fallopian tube, can be unilateral or
bilateral, and can affect any portion of the tube.
• If the blockage is in the ampullary portion, the tube may dilate, forming a
hydrosalpinx.
• Another sequela of PID is scarring in the peritoneal cavity surrounding the
fallopian tube.
• Peritubal adhesions prevent contrast material from flowing freely around
the bowel loops and most commonly manifest as loculation of the
contrast material around the ampullary portion of the tube.
82. Penyakit Trofoblastik Gestasional

WHO Classification

Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies

Choriocarcinoma Hydatidiform moles Exaggerated placental site

Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor

Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa

• Definisi
– Latin: Hidatid  tetesan air, Mola  Bintik

– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan


pertumbuhan abnormal dari vili korionik
(membesar, edem, dan vili vesikular dengan
banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
• Kuretase dengan kuret tumpul
 seluruh jaringan
hasil kerokan di PA
• 7-10 hari sesudahnya 
kerokan ulangan dengan kuret
tajam, agar ada kepastian
bahwa uterus betul-betul
kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblas yang dapat
ditemukan
83. Toksoplasma
• Etiologi: Toxoplasma gondi

• Gejala dan Tanda:


– Tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira hanya 10-20% kasus infeksi Toxoplasma yang
disertai gejala ringan, mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan
umumnya tidak menimbulkan masalah.
– Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus
spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan.
pada Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelainan mata
dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dn ensefalitis.

• Diagnosis
– Gejala-gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik).
– Pemeriksaan laboratorium: Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-
Toxoplasma IgG.

• Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada orang yang diduga terinfeksi Toxoplasma, ibu-ibu
sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif pelu diulang sebulan sekali khususnya
pada trimester pertama, selanjutnya tiap trimeter), serta bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi
Toxoplasma.

Sumber :Pengertian TORCH Berikut Pencegahannya - Bidanku.comhttp://bidanku.com/pengertian-torch-berikut-


pencegahannya
Oocysts transform into
tachyzoites shortly after
ingestion. These tachyzoites
localize in neural and muscle
tissue and develop into tissue
cyst bradyzoites (3). Cats
become infected after
consuming intermediate hosts
harboring tissue cysts (4). Cats
may also become infected
directly by ingestion of
sporulated oocysts. Animals
bred for human consumption
and wild game may also become
infected with tissue cysts after
ingestion of sporulated oocysts
in the environment (5).
Humans can become infected by
any of several routes:
• eating undercooked meat of
animals harboring tissue
cysts (6).
• consuming contaminated
food or water (7).
The only known definitive hosts for Toxoplasma gondii are members of family Felidae • blood transfusion or organ
(domestic cats and their relatives). Unsporulated oocysts are shed in the cat’s feces transplantation (8).
(1). Although oocysts are usually only shed for 1-2 weeks, large numbers may be shed. • transplacentally from
Oocysts take 1-5 days to sporulate in the environment and become infective. mother to fetus (9).
Intermediate hosts in nature (including birds and rodents) become infected after
ingesting soil, water or plant material contaminated with oocysts (2).
• Humans can become infected by any of several routes:
– eating undercooked meat of animals harboring tissue cysts .
– consuming food or water contaminated with cat feces or by
contaminated environmental samples (such as fecal-contaminated
soil or changing the litter box of a pet cat) .
– blood transfusion or organ transplantation .
– transplacentally from mother to fetus .
Diagnosis
• The diagnosis of toxoplasmosis is typically made by serologic testing.
– immunoglobulin G (IgG) is used to determine if a person has been infected.
– If it is necessary to try to estimate the time of infection, which is of particular
importance for pregnant women, a test which measures immunoglobulin M (IgM) is
also used along with other tests such as an avidity test.
– Newborn infants suspected of congenital toxoplasmosis should be tested by both an
IgM- and an IgA-capture EIA. Detection of Toxoplasma-specific IgA antibodies is more
sensitive than IgM detection in congenitally infected babies
• Diagnosis can be made by direct observation of the parasite in stained tissue
sections such as : cerebrospinal fluid (CSF), or other biopsy material.
– These techniques are used less frequently because of the difficulty of obtaining these
specimens.
• Isolated from blood or other body fluids (for example, CSF)  difficult and
requires considerable time.
• Molecular techniques (the parasite's DNA detection) in the amniotic fluid can be
useful in cases of possible mother-to-child (congenital) transmission.
• Ocular disease is diagnosed based on the appearance of the lesions in the eye,
symptoms, course of disease, and often serologic testing.
Tachyzoite : crescent shape, formed by
asexual reproduction in host cells (often
macrophages cells)
Toxoplasma-positive reaction, stained by
immunofluroescence (IFA)
Pemeriksaan Antibodi
• Deteksi antibodi spesifik toksoplasma merupakan metode diagnostik
primer
• Deteksi inisial adalah IgG untuk menentukan status imun  (+):
indikasi infeksi pada suatu waktu lampau  uji IgM
• Uji IgM (-): menyingkirkan infeksi kini (recent infection)

• Uji IgM toksoplasma: kurang spesifitas


– IgM (+)/IgG (-): spesimen I mencurigakan  tes ulang 2 minggu kemudian
dengan spesimen II
• Bila spesimen I diambil pada awal infeksi, maka spesimen II seharusnya IgG (+)
tinggi
• Bila IgG (-) dan IgM (+) pada kedua spesimen: positif palsu, pasien tidak terinfeksi
– IgM (+)/IgG (+): ambil spesimen II  uji di lab lain yang menggunakan metode
tes berbeda untuk konfirmasi
– IgM (+)/IgG (+) dan hamil: IgG avidity Test
Antibody Detection
• For women who are initially tested at the end of the first trimester
and have positive IgM and IgG, the probability that infection
occurred after conception is 1 to 3 percent, depending on the test
used.
• The timing of infection in these cases is difficult to determine.
• To establish whether the positive IgM and IgG antibodies reflect
recent or chronic infection or a false-positive result, confirmatory
testing must be obtained with avidity testing.
• High IgG avidity is a hallmark of chronic infection (>4 months old),
but low avidity is not diagnostic of recent infection, as low IgG
avidity can persist for years in some women
Toksoplasmosis pada Kehamilan: Uji Aviditas
• Uji aviditas tinggi pada kehamilan usia 12-16: menyingkirkan
infeksi terjadi pada masa gestasi

• Uji aviditas rendah: belum tentu infeksi  dapat akibat


adanya persisten low IgG avidity dalam beberapa bulan
setelah infeksi

• Wanita hamil yang dicurigai terinfeksi harus diuji ulang di lab


lain
– Bila terdapat gejala yang sesuai tapi titer IgG rendah  uji ulang 2-
3 minggu kemudian  bila terdapat kenaikan titer: infeksi
toksoplasma (+)

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Algoritma Imunodiagnosis Toksoplasma

* Except Infant

https://www.cdc.gov/dpdx/toxoplasmosis/dx.html
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
TORCH: Terapi Toksoplasma

• Trimester I dan II (sebelum 18 minggu


gestasi)DOC: Spiramisin 3x1 gram
• Trimester II akhir dan IIIDOC:
Pirimetamin/sulfadiazin + leucovorin sampai
aterm
 Pyrimethamine 50 mg q12h for 2 days, lanjut 50
mg/day
 Sulfadiazine loading of 75 mg/kg followed by 50
mg/kg q12h
 Folinic acid 10-20 mg/day until 1 week following
cessation of pyrimethamine treatment

http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/health_professionals/
84. Kista Pada Alat Reproduksi Wanita
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah
vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara
kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula) Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks
diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit
menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai,
ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai
menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip
mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi
dan perdarahan.
Karsinoma Serviks Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-
benjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal
menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami
nekrosis dan ulserasi.
Polip Serviks
• Tumor dari endoserviks  tumbuh berlebihan dan
bertangkai, ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh
• Tangkai dapat memanjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai
introitus
• Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan
polip mengalami peradangan
dengan metaplasia skuamosa
atau ulserasi dan perdarahan
• Tatalaksana: ekstirpasi massa
85. Tuboovarian Abscess
• inflammatory mass involving the fallopian tube, ovary, and, occasionally,
other adjacent pelvic organs (eg, bowel, bladder)
• These abscesses are found most commonly in reproductive age women
and typically result from upper genital tract infection.
• The classic presentation of TOA includes :
– acute lower abdominal pain  not all women present in an acute fashion
– Fever  is not present in all patients and some patients report only low grade
nocturnal fevers or chills
– chills, and
– vaginal discharge
– However, the presentation of many women with TOA differs from this classic
scenario
– In addition, some women present with seemingly unrelated symptoms, such
as diffuse persistent upper abdominal pain or a change in bowel habits
Detecting TOA in women with PID
• Detecting TOA in women with PID is a clinical priority.
• The history, physical examination, and laboratory findings
may be very similar in women with these conditions.
• TOAs are most commonly detected based on findings from
pelvic imaging. We order imaging studies for women with a
diagnosis of PID who have the following characteristics:
– Acutely ill
– Lack of, or poor response to, antibiotic therapy
– Adnexal mass noted on examination
– Significant abdominopelvic tenderness precluding a complete
pelvic examination
• Imaging : pelvic ultrasonography or pelvic computed
tomography (CT)
Management
• Antibiotics are the mainstay of treatment for TOA.
• Most women are candidates for medical management, which allows the
avoidance of surgery. Antimicrobial agents alone are effective in
approximately 70 percent of all cases, based upon data from large case
series
• Antibiotic therapy alone for women with the following characteristics:
– Hemodynamically stable with no signs of a ruptured TOA (acute abdomen,
sepsis)
– Abscess <9 cm in diameter
– Adequate response to antibiotic therapy
– Premenopausal
• The duration of antibiotic therapy required for treatment of a TOA is not
well-established. When antibiotics alone are the chosen therapy, a
minimum of two weeks is most commonly used.
Management
• Suspected intraabdominal rupture of a tubo-ovarian abscess
(TOA) (hypotension, tachycardia, tachypnea, acute
peritoneal signs, or acidosis) is a life-threatening emergency
and requires prompt surgical intervention.
• For women who show no improvement on antibiotic
therapy alone, but are not worsening, we suggest a
minimally invasive abscess drainage procedure
• For those on antibiotic therapy who are clinically worsening,
we suggest surgical treatment.
• Antibiotic therapy should be maintained in combination
with these additional interventions (surgical/drainage)
Antibiotic
regimens
for
tuboovarian
abscess
* Antibiotic doses should be adjusted
appropriately for patients with renal insufficiency
or other dose-related consideration.
¶ Alternatively gentamicin may be given 3 to 5
mg/kg IV once per day.
Δ 3 g ampicillin-sulbactam is equivalent to 2 g
ampicillin with 1 gram sulbactam.
◊ There are insufficient high quality data about
this agent or regimen; coverage is theoretic.
§ In select patients in whom clinical improvement
has been clearly documented, continuation of
therapy as an outpatient may be appropriate.
Direct communication with the patient and a plan
for follow-up must also be confirmed.
86. 9 Prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan
(UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 4)
• Kegotong-royongan: prinsip kebersamaan antar peserta dalam
menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan
kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji,
upah, atau penghasilannya.
• Nirlaba: prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil
pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
seluruh peserta.
• Keterbukaan: prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar,
dan jelas bagi setiap peserta.
• Kehati-hatian: prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan
tertib.
• Akuntabilitas: prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

(lanjutan)
9 Prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan (UU
No. 24 Tahun 2011 Pasal 4)

• Portabilitas: prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan


meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Kepesertaan bersifat wajib: prinsip yang mengharuskan seluruh
penduduk menjadi peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan
secara bertahap.
• Dana amanat: iuran dan hasil pengembangannya merupakan
dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi
kepentingan peserta Jaminan Sosial.
• Hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-
besar kepentingan peserta.
87. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Primordial Prevention & Quartenary Prevention
Primordial prevention Quartenary prevention
• consists of actions to minimize future • Action taken to identify patient at risk
hazards to health and hence inhibits of over-medicalization, to protect him
the establishment of factors which are from new medical invasion, and to
known to increase the risk of disease. suggest him interventions ethically
• It addresses broad health acceptable.
determinants rather than preventing
personal exposure to risk factors, • For example:
which is the goal of primary – the avoidance of screening without
prevention. foundation, such as in prostate cancer
– The appropriate use of antibiotics in
upper respiratory tract infections
• The difference with primary
prevention:
– Primary prevention seeks to prevent the
onset of specific diseases via risk
reduction by altering behaviors or
exposures that can lead to disease or by
enhancing resistance to the effects of
exposure to a disease agent.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4311333/
88. UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
(UKM) DI PUSKESMAS
UKM esensial UKM Pengembangan
• Promosi kesehatan • kegiatan yang memerlukan
upaya yang sifatnya inovatif
• Kesehatan lingkungan dan/atau bersifat
• KIA dan KB ekstensifikasi dan
intensifikasi pelayanan,
• Gizi disesuaikan dengan
• Pencegahan dan prioritas masalah
pengendalian penyakit kesehatan, kekhususan
wilayah kerja dan potensi
sumber daya yang tersedia
di masing-masing
Puskesmas
89. UKURAN ASOSIASI DALAM PENELITIAN

• Digunakan pada studi analitik (cross sectional,


case control, kohort, studi eksperimental).

• Untuk mengukur kekuatan hubungan sebab-akibat


antara variabel paparan dengan variabel outcome.

• Menunjukkan bagaimana suatu kelompok lebih


rentan mengalami sakit dibanding kelompok
lainnya.
Ukuran Asosiasi yang Sering Digunakan

– Relative risk (RR) ukuran asosiasi dari studi kohort


– Odds ratio (OR)  ukuran asosiasi dari studi case
control
– Prevalence ratio (PR) & prevalence odds ratio (POR)
 ukuran asosiasi dari studi cross sectional
Tabel 2x2
Cara yang paling umum dan sederhana untuk
menghitung ukuran asosiasi.

Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Relative risk (RR):


insidens penyakit pada kelompok yang terpapar (a/(a+b))
dibandingkan dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar (c/(c+d))

Rumus RR: a/(a+b)


c/(c+d)
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Odds ratio (OR):


Odds penyakit pada kelompok terpapar (a/b) dibandingkan dengan
odds penyakit pada kelompok tidak terpapar (c/d)

Rumus OR: a/b = ad


c/d bc
Outcome

Exposure Yes No Total

Yes a b a+b

No c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus prevalence ratio (PR) sama dengan rumus RR, yaitu:


PR: a/(a+b)
c/(c+d)

Rumus prevalence odds ratio (POR) sama dengan rumus OR, yaitu:
POR: ad
bc
Interpretasi RR/OR/PR

RR/OR/PR= 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan


dengan outcome.

RR/OR/PR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin tinggi


paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit)  paparan
yang diteliti merupakan FAKTOR RISIKO suatu penyakit.

RR/OR/PR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat


protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi paparan,
semakin rendah risiko mengalami penyakit)  paparan yang diteliti
merupakan FAKTOR PROTEKTIF terjadinya suatu penyakit.
PEMBAHASAN SOAL: ODDS RATIO

Hipertensi (+) Hipertensi (-) Total

Rokok (+) 40 10 50

Rokok (-) 10 90 100

Total 50 100 150

OR = ad/bc = (40 x 90)/(10/10)


90. Metode Penentuan Prioritas Masalah
Metode Keterangan

Delbeque Prioritas masalah penyakit ditentukan secara kualitatif oleh panel expert dari
berbagai bidang ilmu dengan cara: penetapan kriteria yang disepakati bersama
oleh para pakar, memberikan bobot masalah, menentukan skoring setiap
masalah. Dipilih skor tertinggi untuk menjadi prioritas.

Delpie Sejumlah pakar (panel expert) melakukan diskusi terbuka dan mendalam tentang
masalah yang dihadapi dan masing-masing mengajukan pendapatnya tentang
masalah yang perlu diberikan prioritas. Diskusi berlanjut sampai akhirnya dicapai
suatu kesepakatan (konsensus) tentang masalah kesehatan yang menjadi
prioritas. Metode ini biasanya digunaka bila pakar berasal dari keilmuan yang
sama.

Metoda Estimasi Menghitung berapa banyak kerugian yang ditimbulkan dalam kehidupan tahunan
Beban Kerugian penduduk (dinyatakan dalam Disease Adjusted Life Year =DALY).
(Disease Burden)

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2013 - September 2013, Vol. 7, No. 2


90. Metode Penentuan Prioritas Masalah
Metode Keterangan

Metode matematika PAHO Dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan


(Pan American Health prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah
Organization) berdasarkan lmasalah (magnitude), beratnya kerugian
yang timbul (Severity), tersedianya sumberdaya untuk
mengatasi masalah kesehatan tersebut (Vulnerability),
kepedulian/dukungan politis dan dukungan
masyarakat (Community and political concern),
Ketersediaan dana (Affordability).

Metode CARL Penentuan prioritas masalah berdasarkan Capacity,


Accesibility, Readiness, dan Leverage. Cara
penggunaannya seperti metode PAHO.

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2013 - September 2013, Vol. 7, No. 2


91. SURAT KETERANGAN DOKTER
Dasar pembuatan surat keterangan dokter:
• BAB I Pasal 7 KODEKI : “ Setiap Dokter hanya memberikan keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”
• BAB II Pasal 12 KODEKI :” Setiap Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
• Paragraf 4 Pasal 48 Undang Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran“:
– Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
– Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundangundangan.
– Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Surat Keterangan Sakit
• Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan
sandiwara (simulasi) atau melebih-lebihkan (agrravi) pada
waktu memberikan keterangan mengenai cuti sakit seorang
karyawan. Ada kalanya cuti sakit disalahgunakan untuk tujuan
lain.

• Surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan seorang


dokter dituntut menurut pasal 263 (tentang pemalsuan surat)
dan 267 KUHP.
– KUHP 267 ay.1: Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan
surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan
atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
PASAL 267 KUHP
• Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun
• Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau
untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun enam bulan.
• Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah
isinya sesuai dengan kebenaran.
92. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Beneficence (Berbuat baik)
• General beneficence
– Melindungi dan mempertahankan hak, mencegah terjadinya kerugian
– Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
• Specific beneficence
– Menolong orang cacat, menyelamatkan dari bahaya, mengutamakan kepentingan pasien
– Memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter/ rumah
sakit/ pihak lain
– Maksimalisasi akibat baik
– Menjamin nilai pokok: “apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada
yang hidup)
• Prinsip tindakan
– Berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang tidak kita kenal
– Pengorbanan diri demi melindungi dan menyelamatkan pasien
– “janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpecaya
• Contoh tindakan
– Dokter bersikap profesional, bersikap jujur, dan luhur pribadi (integrity); menghormati pasien,
peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan teknisnya
– Memilih keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom (kurang mampu memutuskan
bagi dirinya), misalnya anak, pasien dengan gangguan jiwa, pasien dalam kondisi gawat
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Non-Maleficence
• Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien: tidak boleh
berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien; minimalisasi
akibat buruk
• Primum non nocere: First do no harm
• Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang
penting dan dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)
– Norma tunggal, isinya larangan
• Contoh tindakan:
– Tidak melakukan malpraktik etik, baik sengaja atau tidak; seperti dokter tidak
mempertahankan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai
komoditi
– Menghentikan pengobatan yang sia-sia atau pengobatan luar biasa, yaitu
pengobatan yang tidak biasa diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya
– Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktik etis
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Autonomy
• Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau campur
tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
Justice
• Justice (Keadilan)
• Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness), yaitu:
– Memberi sumbangan dan menuntut pengorbanan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan dan kemampuan pasien
• Jenis keadilan:
– Komparatif (perbandingan antarkebutuhan penerima)
– Distributif (membagi sumber): sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani ;
secara material kepada:
• Setiap orang andil yang sama
• Setiap orang sesuai kebutuhannya
• Setiap orang sesuai upayanya
• Setiap orang sesuai jasanya
– Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
• Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi sosial dan
memaksimalkan nikmat/ keuntungan bagi pasien
• Libertarian: menekankan hak kemerdekaan sosial-ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil
substansif atau materiil)
• Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
• Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu
rasional (sering menerapkan kriteria material kebutuhan bersama)
– Hukum (umum)
• Tukar-menukar: kebajikan memberkan atau mengembalikan hak-hak kepada yang berhak
• Pembagian sesuai denan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
93. STR DAN SIP
• Surat Izin Praktik, selanjutnya disingkat SIP adalah
bukti tertulis yang diberikan dinas kesehatan
kabupaten/kota kepada dokter dan dokter gigi
yang akan menjalankan praktik kedokteran
setelah memenuhi persyaratan.

• Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR


adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter
gigi yang telah diregistrasi.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011
TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
94. Identifikasi Forensik
Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:
• Identifikasi primer: identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu
oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
– Pemeriksaan DNA
– Pemeriksaan sidik jari
– Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai tiga
metode pemeriksaan dengan hasil positif.

• Identifikasi sekunder: Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi


sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang
lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara
sederhana yaitu melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan
perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui
teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan medis.
Cara Identifikasi Forensik
• Pemeriksaan sidik jari: membandingkan gambaran sidik jari jenazah
dengan data sidik jari antemortem. Pemeriksaan sidik jari merupakan
pemeriksaan yang diakui paling tinggi akurasinya dalam penentuan
identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua orang yang memiliki sidik
jari yang sama.

• Metode visual: dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan


korban (terutama wajah). Oleh karena metode ini hanya efektif pada
jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat akurasi dari
pemeriksaan ini kurang baik.

• Pemeriksaan dokumen: dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas


(KTP, SIM, kartu golongan darah, paspor dan lain-lain) yang kebetulan
dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan. Namun perlu diingat bahwa
dalam kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam saku, tas atau
dompet pada jenazah belum tentu milik jenazah yang bersangkutan.
Cara Identifikasi Forensik
• Pengamatan pakaian dan perhiasan: dilakukan dengan memeriksa pakaian dan
perhiasan yang dikenakan jenzah. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui merek,
ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat membantu identifikasi
walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah.

• Identifikasi medik: dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik secara


keseluruhan, meliputi tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna rambut, warna
tirai mata, adanya luka bekas operasi, tato, cacat atau kelainan khusus dan
sebagainya. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh karena dilakukan oleh
seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.

• Pemeriksaan gigi: Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar x, cetakan gigi serta
rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan,
protesa gigi dan sebagainya. Bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus dari
seseorang.
Cara Identifikasi Forensik
• Serologi: Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah
yang diambil baik dari tubuh korban atau pelaku, maupun bercak darah
yang terdapat di tempat kejadian perkara. Ada dua tipe orang dalam
menentukan golongan darah, yaitu:
– Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air
mani dan cairan tubuh.
– Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari
pemeriksaan darah

• Metode eksklusi: digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang


melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya. Bila
sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan
menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban
tidak dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka sisa
diidentifikasi menurut daftar penumpang.
Cara Identifikasi Forensik
• Identifikasi kerangka: bertujuan untuk membuktikan bahwa kerangka
tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur,
tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas dan bila memungkinkan dapat
dilakukan rekonstruksi wajah. Kemudian dicari pula tanda kekerasan pada
tulang serta keadaan kekeringan tulang untuk memperkirakan saat
kematian.

• Pemeriksaan molekuler: memanfaatkan pengetahuan kedokteran dan


biologi pada tingkatan molekul dan DNA. Pemeriksaan ini biasa dilakukan
untuk melengkapi dan menyempurnakan berbagai pemeriksaan
identifikasi personal pada kasus mayat tak dikenal, kasus pembunuhan,
perkosaan serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).
95. ASFIKSIA MEKANIK
• Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
– Pembekapan (smothering)
– Penyumbatan/ penyumpalan (gagging , choking)
• Penekanan dinding saluran pernafasan:
– Penjeratan (strangulation)
– Pencekikan (manual strangulation)
– Gantung (hanging)
• External pressure of the chest yaitu penekanan dinding
dada dari luar.
• Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
• Inhalation of suffocating gases.
Penyumbatan/ Penyumpalan
(Gagging, Choking)
• Asfiksia mekanik yang terjadi akibat tertutupnya rongga
mulut oleh benda asing, misalnya sapu tangan, tissue,
makanan, dan sebagainya.

• Pemeriksaan luar yang ditemukan pada kasus


penyumpalan:
– Pemeriksaan luar menunjukkan hipoksia akibat asfiksia secara
umum.
– Memar atau lecet pada bagian tubuh akibat perkelahian dengan
pelaku dapat ditemukan
– Luka memar atau robek di rongga mulut dapat ditemukan
– Lengan atau tungkai kadang ditemukan dalam keadaan terikat
Penjeratan
JENIS PENJERATAN:
• Manual Strangulation :dilakukan dengan tangan dan
tangan tidak perlu melingkari leher korban.

• Palmar Strangulation :dilakukan dengan kedua tangan


,dimana tangan kanan pelaku ditekan horizontal pada
mulut korban dibantu tangan kiri yang menekan vertikal
sehingga telapak tangan kiri menekan leher korban bagian
depannya.

• Garroting atau penjeratan dengan alat: dilakukan dengan


menyerang korban dari belakang dan menjeratnya dengan
alat perjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Alat
• Alat penjerat yang biasanya dibawa oleh pelaku seperti tali, kawat, dll.
Sedang, alat yang biasa dibawa korban seperti selendang, dasi, stocking
atau kain lainnya.
• Jumlah lilitan satu dengan simpul mati.
• Alat penjerat berjalan mendatar, luka lecet umumnya melingkari leher
secara keseluruhan.
• Dapat ditemukan luka bulan sabit, yang disebabkan oleh kuku (baik kuku
penjerat atau kuku korban)
• Patah tulang lidah (os. hyoid) tidak lazim kecuali didahului dengan
pencekikan.
• Bila mekanisme kematiannya asfiksia, akan ditemukan kelainan mayat
akibat mati lemas (lebam mayat yg lebih gelap dan luas, sianosis, bintik
pendarahan di mata, busa halus putih keluar dari mulut, darah tetap cair ,
dan sembabnya organ dalam tubuh)
• Bila mekanisme kematiannya refleks vagal, maka kelainan yang ditemukan
terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat penjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Tangan
(Pencekikan)
• Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari
si pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk.
• Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh kuku si pelaku.
• Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan
ikat dan otot sekitarnya.
• Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan
longgar di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan.
• Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai
tanda-tanda asfiksia
• Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada
bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia.
• Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30
detik-beberapa menit.
Pembekapan
• Obstruksi mekanik aliran udara dari
lingkungan sekitar ke dalam mulut dan atau
rongga hidung, yang menghambat pemasukan
udara ke paru-paru, dengan cara menutup
mulut dan hidung. Penutupan lubang hidung
dan mulut bisa menggunakan tangan, bantal,
atau kantong plastik.
Pemeriksaan Forensik pada Kasus
Pembekapan
• Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan
atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang,
hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan.

• Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam


bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung
lidah juga dapat mengalami memar atau cedera.

• Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal,
maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan
tandatanda kekerasan.

• Ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada


pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah
kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
PENGGANTUNGAN (HANGING)
• Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan
dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat
yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau
sebagian.

• Alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan


sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada
leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi
hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi
akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali.
Tipe Penggantungan
• Suicidal hanging (gantung diri)
– Paling banyak ditemui
– Korban bunuh diri
• Accidental hanging
– Lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun.
Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan
dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang
tua.
– Pada orang dewasa, bisa terjadi akibat pelampiasan nafsu seksual yang
menyimpang.
• Homicidal hanging
– Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.
– Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya
lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban
sedang tidur.
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Tanda-tanda penggantungan ante-mortem


Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian
1 bervariasi. Tergantung dari cara kematian
yang bukan disebabkan penggantungan
korban

Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh
2 terputus (non-continuous) dan letaknya pada (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian
leher bagian atas leher tidak begitu tinggi

Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan
3
sisi leher kuat dan diletakkan pada bagian depan leher

Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak


Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari
ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada
4 jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas
bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi
jejas jerat dan pada tungkai bawah
mayat setelah meninggal

Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba


5 seperti perabaan kertas perkamen, yaitu Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
tanda parchmentisasi
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-


Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain
6 lain sangat jelas terlihat terutama jika
tergantung dari penyebab kematian
kematian karena asfiksia

Wajah membengkak dan mata mengalami


Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat,
kongesti dan agak menonjol, disertai dengan
7 kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan
gambaran pembuluh dara vena yang jelas
(strangulasi) atau sufokasi
pada bagian dahi

Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian


8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali
akibat pencekikan
Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya
cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
9
Demikian juga sering ditemukan keluarnya ada.Pengeluaran feses juga tidak ada
feses

Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut,


dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus
10
ini merupakan pertanda pasti penggantungan selain kasus penggantungan.
ante-mortem
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada


Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
remaja dan orang dewasa. Anak-anak di bawah
1 pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari
usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50
korban dan tidak bergantung pada usia
tahun jarang melakukan gantung diri

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus,


Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa
mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher,
2 lingkaran terputus (non-continuous) dan
karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat
terletak pada bagian atas leher
simpul tali

Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian
3
letaknya pada bagian samping leher depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat

Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai


Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk
4 riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara
bunuh diri
lain

Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa


Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
5 menyebabkan kematian mendadak tidak
biasanya mengarah kepada pembunuhan
ditemukan pada kasus bunuh diri
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Racun. Adanya racun dalam lambung korban,


Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium
misalnya arsen, sublimat korosif, dll tidak
sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
6 bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa
perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian
nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin
maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
mendorong korban untuk gantung diri

Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada
7
untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat kasus pembunuhan

Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, biasanya


tergantung pada tempat yang mudah dicapai Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada
8 oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan
yang digunakan untuk mencapai tempat untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
tersebut

Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di


dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci
9 dalam keadaan tertutup dan terkunci dari
dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban
10
kasus gantung diri sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
Penggantungan vs Penjeratan
• Dari pemeriksaan forensik, kasus
penggantungan dan penjeratan memiliki
tanda yang serupa.

• Yang membedakan penggantungan dan


penjeratan adalah tenaga yang dipakai pelaku
jauh lebih besar pada tindakan penjeratan,
sehingga korban meninggal lebih cepat.
THT-KL
96. Otitis Eksterna
Tanda OE:
• Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang
atau tragus ditekan.
• Otitis externa sirkumskripta
(furuncle)
– Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus
– Terbatas pada kelenjar minyak/rambut
yg terobstruksi
– Hanya pada bagian kartilago telinga,
tidak ada jaringan penyambung di
bawah kulit  sangat nyeri
– Th/: AB topikal, analgetik/anestesi
topikal.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Externa
• Otitis eksterna difus (swimmer’s ear)
– Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli.
– Kondisi lembab & hangat  bakteri tumbuh
– Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri
tekan (+), eksudasi
– Jika edema berat  pendengaran berkurang
– Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik
– AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B,
neomycin, chloramphenicol, gentamicin, &
tobramycin.
– Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan
spektrum luas untuk patogen otitis eksterna.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Externa
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.

– OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis,


osteomielitis  neuropati kranial.

– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah


tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan
tulang, di 1/3 dalam.

– Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), &


pembengkakan liang telinga.

– Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Keratosis Obturans
• Akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan
keratin epidermis pada liang telinga
berwarna putih seperti mutiara, sehingga memben
tuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta
penurunan pendengaran.
Manifestasi klinis
Nyeri yang hebat
Liang telinga yang lebih lebar (karena
adanya erosi tulang)
Membran timpani utuh tapi lebih tebal
Jarang ditemukan adanya sekresi telinga
Gangguan pendengaran
Keratosis Obturans
• Umumnya terjadi pada pasien
usia muda antara umur 5- Morrison, 1956
20tahun dan dapat
Usia 5-9th
menyerang satu atau kedua
telinga.
Usia 9-
• Dapat disebabkan oleh 20th
beberapa faktor
– Produksi berlebihan dari sel
epitel
• Berhubungan dengan:
– Kegagalan migrasi epitel kulit
Bronkiektasis dan
– Ketidakmampuan
mekanisme pembersihan diri sinusitis dengan keratosis
oleh meatus akustikus obturans (secara
eksternus frekuensi muncul
ipsilateral)
Hyperplasia epithelium
Terdapat radang kronis
dalam subepithelial
jaringan Akumulasi keratin dalam saluran
eksternal liang telinga
Patofisologi
ada 2 bentuk

Terjadi bilateral
Tidak ada radang dalam
lapisan kulit eksternal liang
telinga
-Genetik
-enzim (belum dikenali) untuk
separasi lapisan keratin yang
dangkal
PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN

Pembersihan liang telinga • 3 bulan sekali


secara periodik

• Campuran alkohol atau gliserin dalam


peroksida 3%
Ear Drops
• 3kali seminggu

• Pada pasien yang telah mengalami erosi liang


telinga
Tindakan bedah • Agar liang telinga berbentuk seperti corong,
sehingga pembersihan liang telinga secara
spontan lebih terjamin
97. Otitis Media

Akut
Otitis Media Efusi
(Air Bubble (+))
Infeksi (-)

Kronik
Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan
Infeksi (+) Otitis Media
Kronik
> 3 bulan
Otitis Media
Otitis Media
Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram/
keruh.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema,
pelebaran pembuluh darah.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah,
membran timpani membonjol/ bulging
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam
berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani
kembali normal. Jika perforasi  sekret berkurang.

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Penatalaksanaan OMA
• Tatalaksana
– Oklusi tuba: Dekongestan topikal (ephedrine HCl)
– Hiperemis: AB selama 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/ erythromicin) & analgetik +
obat tetes hidung
– Supurasi: Miringotomi + AB
– Perforasi: Ear toilet (H2O2 3%) + AB
– Resolusi: Jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan
AB sampai 3 minggu
98. Tuli
• Tuli konduktif:
– gangguan hantaran
suara di telinga luar-
telinga tengah
• Tuli sensorineural:
– Lesi di labirin, nervus
auditorius, saraf
pusat
• Tuli campuran
– Terdapat gabungan
keduanya
Tuli Sensorineural
Terdapat 2 tipe
• Tuli koklea  aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau
alkohol, trauma kapitis, trauma akustik, dan pemaparan bising dan
presbiakusis.
– Pada audiometri akan terdapat fenomena recruitment  peningkatan
sensitifitas pendengaran yang berlebihan diatas ambang dengar,
– Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh
bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut
berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan
mendengar dan mengerti pembicaraan  cocktail party deafness
• Tuli retrokoklea  neuroma akustik, tumor sudut pons-serebelum,
mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan otak
lainnya.
– Pada audiometri terdapat fenomena kelelahan (decay/fatigue) 
saraf pendengaran yang cepat lelah jika distimulasi terus-menerus.
Presbiakusis
• Gangguan pendengaran pada lansia, 25-30% terjadi pada usia 65-70 tahun.
• Presbikusis: tuli simetris, terutama nada tinggi (suara wanita memiliki
frekuensi lebih tinggi dari pria), karena proses penuaan.
– Sensorik: sel rambut & sel sustentakular berkurang, organ korti rata
– Neural:neuron koklea berkurang
– Strial: atropi stria vaskularis
– Konduktif: membran basilar kaku
• TatalaksanaRehabilitasi
– Pemasangan alat bantu dengar
– Latihan membaca ujaran (speech reading)
– Latihan mendengar (auditory training)
Tuli Sensorineural Akibat Bising
(NIHL)
• Kerusakan bagian organ Corti : membran, stereosilia, sel rambut,
• Klinis:
– pendengaran terganggu biasanya bilateral
– Telinga berdenging
– Riwayat terpajan bising dalam jangka waktu lama
– Bising > 85 dB >8 jam perhari atau 40 jam perminggu
– Pada gangguan pendengaran cukup berat, sukar menangkap percakapan
– Uji Penala : R: +, W : tak ada lateralisasi, atau lateralisasi ke sisi yg lebih baik
(tuli sensorineural)
– Audiogram : tuli sensorineural, penurunan pada frek 3000- 6000Hz, terdapat
takik pd frek 4000Hz (“Kahart Notch”)
– Audiometri tutur : gangguan diskriminasi wicara
Tuli Sensorineural Akibat Obat
Ototoksik
• Kerusakan sel rambut, stria vaskularis
• Klinis:
– pendengaran terganggu Kadang disertai vertigo
– Telinga berdenging
– Riwayat konsumsi obat ototoksik : aminoglikosida, diuretik,
anti inflamasi (salisilat), anti malaria (Klorokuin), anti
Kanker (CIS platinum)
– Uji Penala : R: +, W : tak ada lateralisasi, atau lateralisasi
ke sisi yg lebih baik (tuli sensorineural)
– Audiogram : tuli sensorineural, penurunan tajam pada
pada frekuensi tinggi
– Audiometri tutur : gangguan diskriminasi wicara
Presbiakusis
Audiologi Nada Murni
Audiometri nada murni:
• Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.
• Perhitungan derajat ketulian:
(AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4
• Derajat ketulian:
– 0-25 dB : normal
– >25-40 dB : tuli ringan
– >40-55 dB : tuli sedang
– >55-70 dB : tuli sedang berat
– >70-90 dB : tuli berat
– >90 dB : tuli sangat berat
99. Karsinoma Laring
• Tumor ganas pada laring.
• Faktor risiko: merokok (utama), konsumsi alkohol, laki-laki, infeksi HPV, usia,
diet rendah sayur, pajanan thd cat, radiasi, asbestos, diesel, refluks
gastroesofageal.
• Gejala:
– Suara serak
– Dispnea dan stridor
– Disfagia
– Batuk, hemoptisis
– Gejala lain: nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk, mudah lelah, penurunan
berat badan
– Pembesaran KGB
– Nyeri tekan laring
• Pemeriksaan fisik dengan laringoskopi: tampak massa ireguler pada pita suara.
• Pemeriksaan penunjang:
– Biopsi
– CT scan/MRI untuk mengetahui perluasan massa
Karsinoma Laring: Stadium TNM
Penyakit Laring Lainnya

Papilloma

Nodul pita suara Polip pita suara

Laringitis
Penyakit Laring
Diagnosis Karakteristik
Polip pita suara Lesi bertangkai unilateral, dapat berwarna keabuan (tipe
mukoid) atau merah tua (angiomatosa). Gejala: suara parau.
Lokasi di sepertiga anterior/medial/seluruhnya.
Umum dijumpai pada dewasa, namun bisa pada semua usia.
Nodul pita suara Suara parau, riwayat penggunaan suara dalam waktu lama.
Lesi nodul kecil putih, umumnya bilateral, di sepertiga
anterior/medial.
Laringitis Inflamasi laring, gejala suara parau, nyeri menelan/bicara, batuk
kering, dapat disertai demam/malaise.
Mukosa laring hiperemis, edema di atas dan bawah pita suara.
Papilloma laring Massa seperti buah murbei berwarna putih kelabu/kemerahan.
Massa rapuh, tidak berdarah.
Gejala: suara parau, dapat disertai batuk dan sesak.
Lokasi pada pita suara anterior atau subglotik.
100. Rhinitis Alergi
Deskripsi
• Rhinitis
Diagnosis alergi
Anamnesis: adalah
Serangan bersinpenyakit inflamasi
berulang terutama yang
bila terpajan alergen
disebabkan oleh
disertai rinore reaksi
yang encer alergihidung
dan banyak, pada pasien
tersumbat, gatal,
lakrimasi, riwayat atopi
atopiPF yang sebelumnya
dan Rinoskopi anterior: Mukosa sudah
edema, tersensitisasi
basah, pucat/livid, sekret
banyak, allergic shiner, allergic salute, allergic crease, facies adenoid,
dengan alergen yang sama serta
geographic tongue, cobblestone appearance
dilepaskannya
Penunjang: Darahsuatu mediator
tepi: eosinofil meningkat,kimia ketika
IgE spesifik meningkat,
Sitologi hidung, Prick test, Alergi makanan : food challenge test
terjadi paparan berulang.
Terapi • Hindari faktor pencetus
• Medikamentosa (antihistamin H1, oral dekongestan, kortikosteroid topikal,
sodium kromoglikat)
• Operatif konkotomi (pemotongan sebagian konka inferior) bila konka
inferior hipertrofi berat.
• Imunoterapi dilakukan pada kasus alergi inhalan yang sudah tidak
responsif dengan terapi lain. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE.
Rhinitis Alergi
• Klinis
– Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah,
pucat/livid
– Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata
akibat stasis vena
– Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung
dengan punggung tangan karena gatal
– Allergic crease: penggosokan hidung berulang
akan menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi
sepertiga bawah.
Rhinitis alergi
Rinitis Alergi

Allergic rhinitis management pocket reference 2008


Rinitis Alergi
New Guidelines on Allergic Rhinitis &
Impact on Asthma 2016
• Rekomendasi ARIA 2016 ditujukan pada pasien
dengan moderate-severe AR.
• Untuk mild AR  less applicable.
• Allergic rhinitis (AR) dahulunya diklasifikasikan
mejadi seasonal (SAR) , dan perennial (PAR).
• Seasonal allergic rhinitis (SAR)  disebabkan oleh
alergen outdoor seperti pollens atau molds.
• Perennial allergic rhinitis (PAR)  disebabkan
indoor allergens seperti dust mites, molds,
cockroaches, dan animal dander.
DIAGNOSIS CLINICAL FINDINGS
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
RINITIS ALERGI
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:


RINITIS
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
VASOMOTOR
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
RINITIS HIPERTROFI
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada
RINITIS ATROFI / pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung
OZAENA tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior,
sekret & krusta hijau.

Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor


RINITIS
topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
MEDIKAMENTOSA
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.

Rhinitis akut: umumnya disebabkan oleh rhinovirus, sekret srosa,


RINITIS AKUT
demam, sakit kepala, mukosa bengkak dan merah.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Anda mungkin juga menyukai