Anda di halaman 1dari 8

LEGAL MOMERANDUM

(Pendapat Hukum)
Tentang
LANGKAH ALTERNATIF PERTAMINA (PERSERO) ATAS SENGKETA
PUTUSAN TRIBUNAL ARBITRASE INTERNASIONAL
Oleh : Dirumah Aja Law Firm
Andio Muhammad Arzak (010117124) Panji Luthfianto (010117106)
Argian Putra Ruswandi (010117096) M. Rifky Aprillian (010117110)
Andreas Bobola Prasetya. J Ferlita Juliani (010117114)
(010117102) M Fauzi Said (010117125)
Fanni Kurniawan (010117104) Aditya Wahyu H S (010117273)

Kepada : PERTAMINA (PERSERO)


Dari : STAY AT HOME LAW FIRM
Pokok Masalah : Kasus Wanprestasi Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi
Tanggal : 01 APRIL 2021
Para Pihak
1. KAHARA BODAS COMPANY .LLC (KBC)
2. PERTAMINA (PERSERO)
3. PT. PLN (PERSERO)

Perihal : Langkah Alternatif Pertamina atas sengketa putusan Tribunal Arbitrase


A. PERMASALAHAN HUKUM (LEGAL ISSUES)
Dari kasus penyelesaian sengketa ekonomi bisnis melalui arbitrase internasional dalam
kasus pertamina dalam perjanjian dengan Karaha bodas di dalam pelaksanaan Putusan
Aribitrase Internasional sebagaimana sesuai dengan isi UU No. 30 Tahun 1999.

B. JAWABAN SINGKAT (BRIEF ANSWER):


Pihak KBC telah menggugat Pertamina melalui Tribunal Arbitrase internasional di
Jenewa, Swiss.

Pihak Pertamina dan PLN mengajukan keberatan terhadap putusan Tribunal Arbitrase
tersebut dan juga mengajukan gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase dan pelaksaan putusan
Arbitase tersebut untuk tidak dapat dilaksakan, melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat,
dan Putusan PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut.

C. PERNYATAAN FAKTA-FAKTA (STETEMENT OF FACTS)


Berdasarkan analisa atas fakta-fakta yang telah dikemukakan diatas, jelas terlihat bahwa
kedua belah pihak (PERTAMINA dan KBC), belum mempunyai kesepakatan dalam
penyelesaian sengketa, dimana masing-masing pihak terus mempertahankan argumentasinya dan
berjuang untuk kemenangan di Pengadilan baik dalam negeri maupun luar negeri.

Sebagai faktor yang menjadi pijkan kuat pihak Karaha Bodas Company .LLC dalam
mempertahankan argumentasinya di Pengadilan adalah :

1. Pihak KBC merasa dirugikan karena adanya pembatalan kontrak Proyek Karaha Bodas
akibat dikeluarkannya Keppres RI;
2. Pihak KBC merasa sudah menang dengan adanya Putusan Arbitrase Jenewa Swiss, yang
menghukum PERTAMINA harus membayar ganti rugi. Sedangkan PERTAMINA juga
mempunyai alasan kuat untuk tetap berupaya untuk mempertahankan argumentasinya
dalam sengketa ini.
3. Pihak PERTAMINA beranggapan bahwa pembatalan kontrak proyek Karaha Bodas
bukan atas kemauan PERTAMINA, melainkan adanya keputusan Pemerintah RI untuk
mengurangi dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia, mau tidak mau
PERTAMINA harus mematuhi ketentuan itu.

1
4. KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC
dan ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan
unit-unit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.
5. KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung
risiko tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No.
5 Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.
6. Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang
termasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian
kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai
alternatif ganti rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus
diterima adalah US$ 437.000.000. Secara alternatif diminta pembatalan kontrak dan
kerugian secara alternatif dan pelaksanaan secara khusus.
7. Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar
Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC kurang lebih sebesar US$
270.000.000 yang terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan
(opportunity lost) sebesar US$ 111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$
150.000.000. KBC mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di
pengadilan beberapa negara di mana aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia.
8. Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern
District Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;
9. KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada
di Singapura disita termasuk Petral;
10. Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset
Pertamina dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar
USA. Adapun permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America
dan Bank of New York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada
Pemerintah RI sedangkan yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account
di Bank of America sebesar US$ 296.000.000 untuk jaminan.

Upaya hukum yang dilakukan oleh Pertamina adalah :

- Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa;

2
- Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di
pengadilanpengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan
putusan
Pengadilan Arbitrase Swiss;
- Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Indonesia.

Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memenangkan gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau
siapapun yang dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk
pelaksanaan putusan pengadilan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Dsesmber
2000. Adapun putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.

Proyek PLTP Karaha merupakan proyek Pengembangan Listrik Tenaga Panas Bumi 400
Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu :

(i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan
pengembangan lapangan panas bumi) dan ;
(ii) Energy Sales Contract antara Pertamina, KBC. dan PLN yang akan bertindak sebagai
pembeli tenaga listrik yang dihasilkan. Namun, karena krisis ekonomi dan atas
rekomendasi International Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 Presiden
melalui Keppres No.39 Tahun 1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali
Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan
Pemerintah/BUMN.

Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi
pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres No.47 Tahun 1997 proyek diteruskan.
Namun, berdasarkan Keppres No.5 Tahun1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di
tangguhkan. Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002,
berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP

3
Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan. Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek
PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan
pemerintah. Sehingga Keadaan Force Majeur juga berlaku bagi pertamina.

Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi International Monetary


Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk
menanggulangi krisis ekonomi. Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional)
bukan kehendak pemerintah. Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis
ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina. Dihentikannya suatu kontrak
oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan
oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).

Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan kontraknya. Jika
niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah satu pihak, maka ia wanprestasi.
Sedangkan, jika kegagalan salah satu pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi
di luar kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan kejadiannya tidak dapat
diprediksikan, disebut force majeure.

Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan pemerintah/peraturan,


bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan
bersenjata. Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang dirugikan
layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika disebabkan oleh force majeure. Sebab,
force majeur kejadiaanya di luar kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.

Secara general, peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan
oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa bumi, banjir, gunung meletus (acts of
god), perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris, dan lain-lain yang menghalangi
pihak untuk berprestasi terkait suatu perjanjian. Atas dasar adanya force majeure ini, pihak yang
tidak berprestasi tersebut dibebaskan dari ganti rugi karena perbuatannya dianggap bukan
sebagai tindakan wanprestasi.
Akibat tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam
interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi
itu berujung masalah di kemudian hari. Biasanya, salah satu upaya para pihak untuk mencegah
perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci

4
mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak
cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah
lagi perkembangan teori force majeure relatif dan absolut..

1. Berdasarkan ini terdapat sengketa antara pertamina dengan Kahara Bodas Company
merupakan permasalahan yang didalamnya mengandung unsur politis sehingga dapat
dikatakan dalam hal ini pertamina tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan upaya
Hukum dengan mengajukan Gugatan penolakan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
karena implikasi keputusan Arbitrase Internasional yang dalam Preliminary awards pada
30 september 1999 dan Final award 18 Desember tahun 2000 melebihi batas wewenang
penuntutan sehingga sangat merugikan perusahaan dengan keharusan membayar ganti
rugi $261 M bersama dengan Bunga 4% setiap tahunnya.
2. Sejalan dengan itu dapat dilakukan penundaan terhadap eksekusi putusan arbitrase
tersebut dengan adanya gugatan pertamina di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada
akhirnya dikabulkannya gugatan pertamina dengan menyatakan Putusan Arbitrase yang
ditetapkan di Jenewa Swiss Batal Demi Hukum dan Berdasarkan Putusan ini
memerintahkan kepada penggugat KBC atau siapapun yang mendapat hak daripadanya
untuk tidak melakukan tindakan Apapun, termasuk pelaksanaan putusan arbitrase
Jenewa.
3. KBC mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung RI dan membuahkan hasil yang
baik, yaitu dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No.
01/Banding/Wasit.Int.2002 pada tanggal 4 Maret 2004 dan yang mengabulkannya adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 27 Agustus
2002. Dalam provisi dan Pokok Perkara, dinyatakan bahwasanya Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa (PERTAMINA) dan meminta
PERTAMINA untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang
dalam tingkat banding ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah).
4. Dalam peraturan UNCITRAL sudah tercantum yang mana keputusan Arbitrase itu
bersifat final and binding. melihat fakta yang terjadi pada Pertamina bahwa masih belum
adanya keadilan yang hakiki oleh majelis arbitrase jenewa. berdasarkan fakta, proyek

5
Karaha Bodas mengindikasikan ketidakjujuran, maka pertamina melakukan perlawanan
hukum, itu tercermin dari saling mempertahankan kebenaran dalam proses hukum baik
pada tingkat pertama maupun banding.

Menurut pendapat Kami :

Tindakan penangguhan Proyek PLTP Karaha oleh Pertamina seyogyanya mendapat


kesepakatan dari Karaha Bodas Company. Tindakan Pertamina telah menyalahi kesepakatan dari
para pihak, karena pertamina telah memutuskan sepihak untuk menangguhkan tanpa ada
pembicaraan terlebih dahulu dengan Karaha Bodas Company. Pemerintah Indonesia
menangguhkan proyek PLTP Karaha antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company melalui
keputusan presiden dengan alasan bahwa terjadi krisis ekonomi di Indonesia. Seharusnya
pertamina tetap melaksanakan kewajibanya tanpa dilatar belakangi masalah apapun yang ada di
Indonesia, karena itu merupakan kewajiban Pertamina dalam kontrak yang telah ditandatangani.
Proyek tersebut dapat ditangguhkan secara sah, apabila telah ada kata sepakat dari para pihak
bahwa proyek tersebut ditangguhkan untuk sementara.

Sepatutnya yang mengajukan tindakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional


Swiss adalah Karaha Bodas Company (KBC), bukan Pertamina. Langkah yang seharusnya
dilakukan Pertamina adalah mengajukan “Permohonan Pembatalan Putusan” di Arbitrase
Internasinal Swiss, tempat dimana sengketa tersebut diputus. Bukan mengajukan gugatan
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Swiss di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Indonesia).
Yang berhak melakukan Putusan Pembatalan adalah Arbitrase Internasional Swiss sendiri,
sebagai lembaga yang dipilih para pihak untuk memutus perkara tersebut.

Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus bahwa “menolak pelaksanaan


putusan arbitrase internasional swiss”. Dengan dasar hukum, Pasal 66 huruf D Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999. Pasal tersebut menerangkan bahwa Putusan

Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat “Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang menangani masalah pelaksanaan Putusan

6
Arbitrase Internasional, bukan berwenang melakukan Pembatalan terhadap Putusan Arbitrase
Internasional. Yang berhak melakukan “Pembatalan Putusan” adalah Arbitrase Internasional itu
sendiri. Apabila PN Jakarta Pusat memutus diluar atau melebihi dari kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang maka putusan tersebut dapat dibatalkan.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang “menolak pelaksanaan putusan arbitrase
internasional swiss” hanya berlaku bagi asset pertamina yang ada di Indonesia saja. Putusan PN
Jakarta Pusat tersebut, tidak dapat di generalisasi-kan terhadap asset Pertamina yang ada diluar
negeri (diluar Indonesia) antara lain di Negara New York, Texas, Hong Kong dan Kanada. Yang
berhak memutus Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Negara-negara tersebut (New
York, Texas, Hong Kong dan Kanada) adalah Pengadilan yang diberi kewenangan yang ada
dimana asset Pertamina berada. PN PN Jakarta Pusat tidak berwenang menolak putusan
Arbitrase Internasional yang dilaksanakan di negara New York, Texas, Hong Kong dan Kanada
karena asset teresbut berada di luar wilayah hukum Indonesia dan aturan mengenai pelaksanaan
putusan arbitrase internasional yang digunakan adalah aturan yang berlaku di negara
masingmasing tersebut.

Anda mungkin juga menyukai