Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim

No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

MAHASISWA DAN K-POP


(Studi Interaksi Simbolik K-Popers di Makassar)

Dr. Citra Rosalyn Anwar, S.Sos, M.Si


Universitas Negeri Makassar
Chitra_Ungu@yahoo.com

Abstrak

K-Pop adalah bagian dari K-Wave atau gelombang Korea atau Hallyu, trend ini juga sudah merebak dan
berkembang di Makassar terbukti dengan fandom (fanbase) sudah ada di Makassar. Penelitian ini
meletakkan fokus pada mahasiswa yang menggemari K-Pop, atau yang dikenal dengan K-Popers (diluar
Drama korea ataupun penggemar keduanya). Artikel ini menampilkan hasil penelitian Konsep diri
Mahasiswa K-Popers (penggemar K-POP) memaknai simbolisasi yang dibawa oleh K-Pop. Tujuannya
untuk memberikan gambaran feomena K-Pop dari para mahasiswa terutama dengan gencarnya
stereotype negative K-Pop di Masyarakat. Pemaknaan ini penting untuk dipaparkan sebab, label
negative yang dilekatkan pada K-Pop, membuat para K-Popers terutama mahasiswa yang masih
terbilang remaja, mengalami ‘pembullyan’hingga pertentangan dalam keluarga. Melalui penelitian ini
ditampilkan bagaimana makna yang dimiliki oleh para mahasiswa K-Popers. Bagaimana mahasiswa
memaknai Idolnya, K-Pop, dan melekatkan makna tersebut pada konsep dirinya dan bagaimana mereka
menghadapi stereotype negative yang dilekatkan pada K-Pop. Pendekatan yang digunakan
menggunakan penelitian kualitatif, bersandar pada paradigma konstruktivis. Subjek Kajian pada
Mahasiswa K-Popers di Makassar dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan dan studi
literatur. Mereka menggambarkan makna K-Pop bagi mereka dan konsep diri mereka sebagai K-Popers,
sehingga sangatlah tepat bila dibahas menggunakan Interaksi simbolik dari George H.Mead dan Herbert
Blumer.

Kata Kunci ; Makna, K-Pop, Korean Wave, Mahasiswa, Makassar, Interaksi Simbolik
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

PENDAHULUAN

Korea Selatan, susah untuk mengabaikan pesonanya, berbagai kalangan mengenalnya, baik dari
produk elektronik, mobil, hingga produk hiburan (acara TV, music, drama). Awam tentu saja hanya
mengaitkan Korean Wave dengan Drama ataupun KPop, cenderung lupa bahwa elektronik hingga
otomotif pun adalah bagian dari gelombang hallyu atau Korean wave. Istilah Hallyu atau Korean wave
menjadi banyak di bicarakan karena dikaitkan dengan drama ataupun Kpop. Sesungguhnya gelombang
Korea, atau Hallyu ini sudah dimulai di tahun 1990-an, bahkan istilah Hallyu pun berawal dari cina.
Media Cina yang menyebut Hallyu pertama kali, ketika “demam korea” merebak. Diawali pada tahun
1997 pemutaran drama Korea ‘what is love about” oleh stasiun televisi China (Muhammad 2013). Dari
China popularitas Hallyupun semakin merebak kenegara-negara asia, hingga akhirnya ke seluruh dunia.
Indonesia sendiri sebenarnya baru mengalami booming Hallyu lewat serial drama Endless Love
yang judul aslinya Autumn in My heart pada tahun 2002. Drama yang dibintangi oleh Song Hye Kyo
sukses menyedot perhatian penonton Indonesia, yang saat itu justru sedang dalam pengaruh drama
mandarin/Taiwan, seperti Meteor Garden (2001), Putri Huan Zhu (1998), termasuk boyband F4 dan
sebagainya. Kehadiran Endless Love (2000) yang sampai diputar berulang-ulang, seperti membawa
warna baru, menyusul drama-drama lain seperti Winter Sonata (2002), Memories in Bali (2004) dan
sebagainya.
Salah satu keistimewaan Drama korea, tidak hanya fokus pada cerita pada dramanya, tapi juga
mengemasnya dengan OST (soundtrack) yang khusus dibuat untuk drama tersebut, sehingga lagu korea
pun kemudian menjadi populer. Bila Drama korea (Drakor), bisa popluer dengan bantuan dubbing
ataupun subtitle, maka lagu korea menjadi populer sendiri meskipun dengan bahasa korea. Hal tersebut
menjadi pembuka masuknya K-Pop, meskipun sudah didahului oleh boyband Taiwan F4 yang juga
merupakan bagian dari drama mandarin Meteor Garden. Jauh sebelumnya, sebenarnya melalui drama
pendekar Rajawali (Andy Lau), soundtracknya juga populer namun dinyanyikan ulang oleh penyanyi Yuni
Shara dalam bahasa Indonesia.
Inilah yang nembedakan dengan lagu korea, ataupun K-Pop karena mereka tetap dalam bahasa
korea, namun secara cepat meraih popularitas hingga sekarang. Hal yang tidak bisa dipatahkan oleh
Jepang (J-Pop), America Latin yang populer oleh Telenovela, ataupun India. Korea (selatan) secara
perlahan meraih popularitas yang tidak mudah tergantikan, bahkan semakin lama semakin mengakar.
Terbukti dengan Fansclub mereka yang tetap eksis, penggemar mereka yang terus bertambah,
menyentuh berbagai kalangan, tidak lagi bergantung pada Televisi. Dengan kata lain internet membuat
gelombang Hallyu memperoleh tempat tersendiri di Indonesia.
Terlepas dari fenomena Drakor (drama Korea), tulisan ini lebih banyak menyorot K-Pop
disamping tidak mengandalkan dubbing seperti halnya drakor, Penggemar K-Pop juga lebih diidentikkan
dengan remaja, dibandingkan drakor yang menyentuh berbagai kalangan termasuk Ibu rumah tangga
meskipun sebenarnya penggemar K-Pop tidak semuanya remaja, hanya saja mereka lebih mudah
dikenali karena lebih ekspresif. K-Pop pun menjadi wabah dalam industri hiburan Indoenesia, sebut saja
menjamurnya Boyband/Girlband ala-ala korea (Sm*ash, Cherrybelle, dan banyak lagi), salon korea
(fashion), hingga produk make up korea mampu bersaing dengan merek-merek yang sudah eksis
sebelumnya.
Gelombang K-Pop sebenarnya baru sangat mewabah di tahun 2009-2010 meski sudah ada
BigBang, Shineelah yang pertama kali ke Inonesia tahun 2010, kemudian SuperJunior (SuJu) tahun 2011,
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Girls Generation(SNSD). Bigbang tahun 2012 dan solois seperti G-Dragon, meski hanya sekedar
fanmeeting bukan konser, membuktikan bahwa K-Pop memang mendapat tempat di Indonesia.
Meskipun sebenarnya di awal tahun 2003, sudah ada solois BoA, yang mendunia, hingga berkolaborasi
dengan Britney Spears. Tahun 2010 Shinee datang ke Indonesia menurut Kompas (12 Oktober 2010),
terjual 2500 tiket dari 15000 permintaan, kemudian popularitas Wonder Girls dan Super Junior
menggeser genre music lokal yang saat itu di dominasi oleh music semi-melayu. mungkin juga
dukungan internet yang semakin mudah, sehingga Boyband/Boygirl semakin mudah diakses. Remaja
semakin terbius oleh pesona K-Pop yang dibawa boyband dan Girlband. Fanatisme yang berlebihan pun
menjadi kekhawatiran bagi para orangtua, maupun masyarakat.
Kekhawatiran tentang budaya Korea yang menurut pandangan mereka dibawa oleh K-Pop,
berpengaruh pada budaya Indonesia bahkan agama. Stigma Negatif pun dilekatkan pada K-Pop maupun
K-Popers (istilah untuk penggemar K-Pop), bahkan dikaitkan dengan agama, budaya dan moral.
Fenomena inilah yang diungkapkan dalam penelitian ini, Bagaimana konsep diri Mahasiswa K-Popers di
Makassar. Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif, mengungkapkan bagaimana mahasiswa di
Makassar memaknai K-Pop dan memandang dirinya sebagai KPopers.
Apa sebenarnya yang membuat para fans atau K-Popers menyukai K-Pop padahal dari segi
kedekatan budaya ataupun bahasa tidak dekat dengan Indonesia? (bandingkan dengan Melayu, India,
jepang, Amerika, Eropa yang cenderung sudah lama berakar di Indonesia). Disinilah peran symbol,
Herbert Blumer (1937) menyatakan, manusia berinteraksi dengan menggunakan symbol-simbol. Simbol-
simbol merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan
juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran atas symbol-simbol ini terhadap perilaku mereka yang
terlibat dalam interaksi sosial, penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada
dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka (Anwar 2015, p. 75).
Penelitian ini adalah penelitian interaksi simbolik, dengan mengambil lokasi penelitian di satu
kampus di Makassar. Alasan memilih subjek penelitian 7 mahasiswa adalah,adanya fenomena yang
berkembang di usia yang dianggap sudah bukan masa ABG lagi bagaimana mereka memaknai K-Pop
sebagai bagian dari keseharian mereka, bahkan menjadi konsep diri mereka, sehingga meski tak lagi ABG
K-Pop masih melekat kuat di antara mereka. Lokasi penelitian di Makassar, sebab berdasarkan hasil
penelusuran awal Makassar merupakan salah satu kota besar dengan basis fandom yang cukup besar di
Indonesia.

Tinjauan Pustaka

Interaksi Simbolik Herbet Blumer(1937) dan George H.Mead (1934)

Interaksi Simbolis (symbolic interactionism) menggunakan sosiologi sebagai suatu fondasi,


merupakan suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan
banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Paham ini
mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna
untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu. George Herbert Mead mengajarkan bahwa
makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia baik secara verbal maupun nonverbal (Morrison
2013, pp.110-111)
Seluruh ide paham interaksi simbolis menyatakan bahwa makna muncul melalui interaksi.
Orang-orang dekat memberi pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka memiliki hubungan dan
ikatan emosional seperti saudara, orang tua, Yang memperkenalkan dengan kata-kata baru, konsep-
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh dalam melihat
realitas. Orang terdekat membantu belajar membedakan antara diri sendiri dan orang lain sehingga
memiliki sense of self.

Herbert Blumer adalah salah satu mahasiswa dan pengikutnya yang justru menciptakan istilah
Interaksi Simbolik. Perspektif Interaksi simbolik dalam Mulyana (2010, p. 70) berusaha memahami
perilaku manusia harus dilihat proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku
mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interekasi mereka.
Interaksi Simbolik dalam pandangan Fisher (1990, p.230) disebutnya sebagai perspektif Interaksionisme
satu pandangan yang menunjukkan pandangan komunikasi manusia yang telah berkembang secara
tidak langsung dari cabang sosiologi. Menurut Fisher dari semua perspektif yang telah diterapkan pada
studi komunikasi manusia, barangkali yang paling bersifat “manusiawi” adalah Interaksi simbolis versi
Mead dan Blumer. Perspektif ini menonjolkan keagungan dan nilai individu di atas segala pengaruh yang
lainnya. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangakn diri manusia.
Inilah karakteristik utama dari seluruh perspektif ini.

Pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan
kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan
dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna di konotasikan dalam proses interaksi,
dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial
memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan
kekuatan sosial. Bagi penganut Interaksi simbolik masyarakat adalah proses interaksi simbolik (Mulyana
2010, p.70).
Interaksi Simbolik oleh Jones (2003, p. 142) diartikan secara harfiah adalah Interaksi manusia
dengan penggunaan simbol-simbol Jones juga memaparkan Interaksi Simbolik tertarik pada :
1. Cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud dan
untuk berkomunikasi satu sama lain (suatu minat yang ortodoks)
2. Akibat Interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama
interaksi sosial.
Herbert Blumer dalam Griffin (2006, p. 56) menyatakan ada tiga premis dasar interaksi
simbolik, yaitu meaning, language and thought. Premisnya tentang meaning, dijelaskan blumer
dengan menyatakan humans act toward people or things on the basics of the meaning they assign to
those people or things. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tindakan seseorang baik kepada
orang lain atau kepada subjek didasarkan pada pemaknaan yang mereka berikan.
Premis yang kedua berkaitan dengan language. Menurut Blumer Meaning arise out of the social
Interaction that people have with each other (Griffin 2006, p. 57). Pemaknaan yang dimaksud seperti
pada premis pertama tidak melekat pada seseorang atau suatu objek begitu saja, melainkan
merupakan suatu proses interaksi dengan orang lain. Interaksi ini merupakan suatu proses bersama.
Dalam interaksi ini, makna yang diperoleh merupakan suatu negoisasi dengan penggunaan bahasa,
atau yang lebih tepatnya pengunaan simbol-simbol, baik itu verbal-dengan bahasa maupun nonverbal.
Premis ketiga adalah Thought, blumer menyatakan an individual interpretation of simbols is
modified by his or her own thought process (Griffin 2006, p. 58). Interpretasi yang dilakukan melibatkan
proses berpikir. Dimaksudkan sebagai adanya jeda untuk berpikir dalam menginterpretasi suatu simbol,
jeda ini lalu menjadi cara untuk mempertimbangkan beberapa alternatif tindakan dan memikirkan
reaksi yang mungkin muncul dari orang lain. Alternatif tindakan yang muncul bisa bertentangan dengan
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

sistem sosial yang berlaku, begitupun sebaliknya. Ketiga premis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi. Ketiga pemis tersebut memberikan dasar untuk
memahami tentang self/diri, seperti yang disampaikan oleh mead (Kuswarno 2009, pp. 114-115).
Dengan demikian interaksi simbolik berasumsi bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal
dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol. Sebuah
makna dipelajari melalui interaksi diantara orang-orang dan makna tersebut muncul karena adanya
pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. Pada sisi lain, interaksi simbolik memandang bahwa
seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan oleh adanya interaksi diantara orang-orang. Selain itu
tindakan seseorang tidak mutlak dilakukan di masa lalu melainkan dengan sengaja.
Pengaruh Interaksionisme yang paling umum adalah pandangan bahwa kita menggunakan
interpretasi orang lain sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Berarti, citra diri (self-image)-kesadaran
identitas kita-adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang kita. Citra diri adalah produk dari
proses interpretif-alokasi makna antara satu orang dengan orang lain-yang bagi teori tindakan adalah
akar dari semua interaksi sosial. Kepribadian kita dikonstruksi dengan menggunakan proses interpretasi
tersebut (Jones 2003, p. 142).

Konsep Diri

Pengertian konsep diri menurut Jalaluddin Rahmat (1996, p. 125) yaitu “Pandangan dan
perasaan kita, persepsi ini boleh bersifat psikologis, sosial dan psikis. Konsep diri bukan hanya gambaran
deskriptif, tetapi juga penilaian kita”. Pengertian konsep diri dalam istilah umum mengacu pada persepsi
seseorang mengenai dirinya sendiri. Persepsi ini terbentuk melalui kesimpulan-kesimpulan yang diambil
berdasarkan pengalaman pengalaman dan persepsi-persepsi terutama dipengaruhi oleh reward dan
punishment yang diberikan oleh seseorang yang berarti dalam kehidupannya.
Menurut Burns (1993, p.vi) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita
pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan.
Burns kemudian menyimpulkan dua aspek dasar dari diri yang global dapat dibedakan yaitu (i) I atau diri
sebagai pengenal/proses/pelaku; (ii) Me atau diri sebagai dikenal yangdapat termasuk pula bermacam-
macam sub diri, misalnya fidik,sosial, orang lainnya, cita-cita. Pengetahuan (citra diri) dan evaluasi
(perasaan harga diri) tampak sebagai dua unsur dari setiap konsep diri. Keduanya dipelajari dari
pengalaman, yang terutama sekali melalui interaksi sosial dengan orang-orang yang terpandang (1993,
p. 37). Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu dapat
diketahui lewat informasi, pendapat, penilaian atau evaliasi dari orang lain mengenai dirinya. Individu
akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah jika ada informasi dari orang lain mengenai
dirinya.Sebaliknya individu tidak tahu bagaimana ia dihadapkan orang lain tanpa ada informasi atau
masukan dari lingkungan maupun orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari secara tidak langsung
individu telah menilai dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri itu meliputi watak dirinya, orang lain
dapat menghargai dirinya atau tidak, dirinya termasuk orang yang berpenampilan menarik, cantik atau
tidak.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan menggunakan
pandangan Interaksi Simbolik. Penelitian ini difokuskan pada 10 mahasiswa KPopers, yang berusia 18-21
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

tahun, baik yang single fandom hingga multifandom. Penelitian ini menggunakan data primer dan data
sekunder, dengan wawancara mendalam secara langsung kepada informan. Data yang diperoleh dari
referensi ilmiah, buku, internet.

HASIL DAN ANALISIS


Kesadaran tentang sesuatu hal merupakan hasil konstruksi dalam diri seseorang. Makna tentang
perjuangan, cinta, budaya, dan etika merupakan hasil konstruksi yang dibangun oleh para K-Popers
tentang pengusung K-Pop. Bagaimana narasumber berkomunikasi antara makna budaya Korea melalui
KPop dalam diri pribadi mereka. Apa yang mereka tonton, baca, dengar dan tuliskan merupakan makna
hasil kontruksi sosial dan budaya. Bangunan makna tentang Korea selatan dalam pribadi mahasiswa
yang terkait dengan konsep diri yang dimilikinya.
Proses studi kualitatif menurut Creswell (1998) adalah mengamati pernyataan hasil wawancara
dengan seksama secara tekstual dan dibuat dalam beberapa kategori konstruksi sampai kemudian
mencapai tingkat kejenuhan data. Berdasarkan penelusuran data dan analisisnya, maka makna Kpop
bagi mahasiswa pencinta Kpop, motif menonton Kpop, serta pembentukan konsep diri dapat
dikosntruksikan berdasarkan hasil wawancara dan pengamtan yang dilakukan.

A. Makna K-Pop bagi mahasiswa di Makassar


Industri hiburan, sebagai bagian dari Hallyu sebenarnya ada tiga kelompok besar, pencinta
Drakor (drama korea), pencinta K-Pop (Musiknya) dan pencinta keduanya (drama dan musiknya).
Hiburan yang ditawarkan oleh korea ini, memang dalam dua model drama dan musiknya. Namun
berbeda dengan Drama atau sinetron di Indonesia. Drama korea selalu diikuti dengan soundtracknya
yang memang disiapkan khusus untuk drama tersebut.
Korea Musik atau K-Pop sendiri, biasanya terdiri dari boyband/girlband maupun solois. Konsep
yang mereka tampilkan pun berbeda dengan konsep yang ditawarkan di Indonesia, ataupun industry
hiburan di Negara lain. Korea Selatan mengemas industri hiburannya dengan sangat serius, dimana
Management memegang peranan yang sangat besar. Proses inilah yang membuat mahasiswa menjadi
terikat dengan group atau artis atau idol yang di sukainya. Karena tidak sekedar mengenal lagu dan
wajah, tapi juga mengenali proses sebelum idol, group terbentuk. Makna K-Popers bagi mereka bukan
sekedar sekelompok lelaki ataupun perempuan muda menyanyi, berdandan dan menari, tapi lebih dari
itu merupakan sekelompok remaja yang mereka tahu prosesya sebelum naik panggung.
Para remaja menganggap hiburan yang disuguhkan korea selatan, berbeda dengan yang
disuguhkan oleh hiburan Indonesia yang terkadang sarat “drama”, sedangkan hiburan dari Negara barat
cenderung penuh dengan kontroversi. Korea kemudian menurut mereka lebih dekat dengan keseharian
mereka, tampilannya pun tidak terlalu sulit untuk ditiru (sehingga trend baju dan make up korea juga
muncul). Dunia Kpop sendiri sangat menjaga privacy, drama dan kontroversi. Akan sangat sulit
menemukan Idol mereka yang membagikan kehidupan pribadinya, kepada fansnya melalui sosial media.
Mereka sangat hati-hati dalam menjalin hubungan pribadi, bahkan hubungan keluarga pun tidak di
ekspose atau tidak jadi bagian dari pekerjaan yang mereka jalani, kehidupan pribadi mereka sangat
ditutup dari public. sehingga berbeda dengan “drama” yang ditawarkan oleh industry hiburan tanah air.
Saat ini K-Pop di dominasi oleh K-Pop generasi ketiga, setelah era Bigbang, SuperJunior, kini
adalah. Era EXO, BTS, Infinity, Red Velvet, bahkan sudah masuk Wannaone, NCT, Twice dan sebagainya.
Persaingan kelompok-kelompok ini, juga melibatkan Fandom (fansclub dalam istilah Hallyu) dalam
fanwar (perang antar fandom). Fandom bagi idol memegang peranan yang sangat penting, selain untuk
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

penjualan album, menghadiri konser, fansign hingga fanmeeting, juga berpengaruh pada voting-voting
pada ajang-ajang award idolanya. Para fandom inilah yang berusaha untuk memenangkan idolanya,
itulah sebabnya para idol pun dituntut untuk “fanservice”, mereka harus mampu menyenangkan para
fansnya terutama diajang tatap muka seperti fansign, fanmeet,variety show, bahkan ada kecenderungan
fans sangat memegang peranan penting terhadap karir idolnya, berbeda dengan idola di Indonesia, fans
di Korea Selatan sangat sulit mentolerir ‘skandal’, termasuk hubungan pribadi, kenakalan, pelanggaran
hukum, asusila dan lain sebagainya. Sehingga para Management yang menaungi idol dan idolnya sendiri,
sangat menjaga privacy idolnya, agar terhindar dari skandal.
Para mahasiswa mengakui menyukai K-Pop rata-rata sejak usia SMP-SMA, sehingga bila
dihitung-hitung sudah berlangsung sekitar 5-6 tahun, mengikuti perjalanan Idolanya. Mereka
memaknainya sebagai hiburan yang memanjakan bukan hanya mata (karena penampilan, wajah, gaya
busana dan tarian yang enak dipandang, MV yang bagus, foto-foto yang sangat berkonsep) tapi juga
telinga (suara dan lagu-lagunya enak didengar baik di album maupun ketika konser). Perbedaan bahasa,
justru menjadi daya tarik sendiri sebab bagi mereka kekuatan vocal para Idol membuat mereka
menyukai lagu-lagunya meski tanpa memahami artinya.
Memahami music, gaya, bahasa hingga budaya yang ditampilkan oleh para Idol, mahasiswa
memaknai sebagai bentuk pemenuhan hiburan hati, bahkan psikologis mereka. Dimana para idol ini
mereka maknai sebagai pemenuhan fantasi mereka akan adat budaya, gaya, hingga etika yang mereka
hadirkan dalam kehidupan nyata mereka. Fantasi tentang sosok “kekasih, ataupun saudara hingga
suami” yang sempurna (romantic, ganteng, cerdas, baik, kaya, setia , badan yang bagus,santun dan
berkelakuan baik). Kondisi yang mungkin akan sulit mereka temui di dunia nyata. Konstruksi makna
mengenai bagaimana mahasiswa memaknai K-Pop di Makassar ini lahir dari bentukan nilai-nilai sosial
dan interaksi dengan lingkungan.

B. Motif Penonton Mahasiswa terhadap K-Pop


Berbagai alasan mendorong seseorang untuk menjadi fanatic atau sekedar penikmat Kpopers.
Narsaumber dalam penelitian ini mulai menggemari K-Pop di usia 15-16 tahun, Usia Sekolah Menengah
pertama, bila dihitung dengan usia responden sekarang usia 21 tahun maka mereka menjadi penggemar
K-Pop sudah berlangsung 5 -6 tahun. Schutz mengatakan sulit untuk memahami motid dari seseorang
secara pasti, mengarah kepada because motives dan in order motives.
Narasumber pada penelitian ini menyatakan, mengenal K-Pop dari saudara (lingkungan
keluarga), sementara sebagian lagi mengatakan berawal dari trend yang berkembang di sekolah, namun
pada perkembangannya responden memilih idolnya masing-masing, melepaskan diri dari trend.
Informan lain menyatakan motif menyukai adalah lagu-lagunya yang ear catchy, MVnya yang bagus,
dan penampialn para idol yang keren. Informan lain mengajukan motifnya karena awalnya tertarik
ketika menonton drakor, mendengar soundtracknya lalu akhirnya malah menjadikan penyanyinya
sebagai idol.
Motif lainnya adalah kejenuhann oleh tayangan Indonesia, india, maupun western, karena
narasumber menganggap Korea menwarkan variasi yang jauh lebih ‘nyaman’ buat mereka. Mulai dari
dramanya, lagu-lagu, dandanan hingga gossip-gosip yang jauh lebih menyenangkan. Korea memang
tidak banyak menawarkan gossip hingga skandal, gimmick hingga gaya hidup yang ramai dibicarakan
ketimbang pencapaian prestasi. Korea lebih mengedepankan tentang ‘comeback’, ‘debut’,’single’,
drama terbaru, dan hal-hal yang berkaitan dengan keartisan.

C. Konsep Diri dan Makna K-Pop


Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Adanya emosi yang kuat tercipta dalam memaknai K-Pop, dalam hal ini para idol mereka
membuat para penggemar mampu membangun keterikatan emosi yang kuat terhadap interaksi dengan
Idolanya dan realitas keseharian narasumber dengan pemaknaan narasumber terhadap fantasi, cita-cita,
harapan, motif para fandom terhadap idolnya, sikap dan perilaku mereka kemudian menjadi tolak ukur
bagi, para penggemar. Yang kemudian berkembang menjadi konsep diri dalam dunia nyata.
Interaksi, Orientasi hidup dan motif mempengaruhi cara narasumber bertindak dan berpikir,
narasumber menganggap K-pop mengajarkan mereka tentang budaya, etika bahkan perjuangan.
Berbanding terbalik dengan stereotype yang berkembang di masyarakat tentang K-Pop. Kesukaan akan
K-Pop atau idolnya pun oleh para narasumber membawa hal yang positif sebab membuat narasumber
berani berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan sekolah maupun keluar, kesukaan mereka
mendorong mereka untuk berinteraksi dengan dengan orang asing melalui media sosial ataupun
internet untuk memenuhi kesukaannya terhadap idonya. Dari pergaulan di komunitas itu, akhirnya
berkembang menjadi lingkungan yang awalnya karena kesukaan yang sama, menjadi hubungan
pertemanan diluar urusan fandom. Berdiskusi tentang tugas-tugas kampus, karena ada komubnitas yang
isinya heterogen, dari murid SMP hingga Ibu Rumah tangga, Wanita karir, lintas daerah bahkan lintas
Negara, sehingga hubungan pun berkembang dalam kehidupan nyata. Narasumber menganggap
menjadi bagian dari fandom membantu kepercayaan diri mereka untuk bergaul dengan lingkungan yang
besar diluar zona nyaman mereka, lingkungan yang memang mereka cari dengan kesadaran dan
sengaja. Sehingga terjadi proses interaksi sosial budaya, etnis hingga membuat kegiatan bersama, aksi
sosial yang memang tidak banyak terekspos media.
Kegiatan fandom yang oleh masyarakat awam hanya berisikan sekelompok remaja penyuka K-Pop,
ternyata melakukan banyak kegiatan positif. Ketika brkumpul dalam rangkaian kegiatan Ulangtahun
Idolnya, bukan hanya sekedar berkumpul, makan-makan saja, tapi ada kegiatan semacam bakti sosial,
pengumpulan dana kemudian melakukan bakti sosial misalnya pembagian sembako, atas nama sang
idol.

D. Simbolisasi Makna K-Pop bagi Mahasiswa K-Popers Makassar


Streotype yang berkembang tentang K-Pop di masyarakat terutama kekhawatiran para orangtua
adalah, Operasi Plastik, baju yang seksi (terutama girlband), laki-laki (yang menyerupai perempuan
karena menggunakan make up) dan sekelompok laki-laki yang menari (dance yang diidentikkan tidak
maskulin), lekat dengan LGBT, Rok mini bagi para Girlband. Hal tersebut memang berkembang sangat
kuat dan menimbulkan kekawatiran bagi para orangtua yang anaknya yang menyukai K-Pop.
Beradasarkan hasil analisis, hal tersebut tentu saja diketahui oleh para narasumber, dan buat mereka
sulit untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya, sebab stereotype K-Pop sudah terlanjur melekat dan
pendapat mereka cenderung terabaikan.

a. Makna Perjuangan
Narasumber menyatakan dari K-Pop terutama Bias mereka, atau group yang mereka sukai
mereka belajar tentang proses dalam mewujudkan cita-cita. Hal yang mereka sukai, karena berbeda
dengan idola/selebritis Indonesia, yang seringkali mengandalkan keberuntungan, wajah menarik, anak
selebritis, bahkan gimmick, dan sebagainya maka menjadi idol di Korea tidaklah mudah, mereka harus
melalui proses seleksi untuk bisa diterima di satu management, dan dilakukan di usia belia sekitar 13
tahun, setelah lolos seleksi mereka harus tinggal di asrama, mengikuti program trainee, sambil tetap
bersekolah, tidak jarang mereka juga harus melakukan kerja sambilan untuk membiayai hidup mereka di
asrama (terutama bila tidak lagi ditanggung oleh orangtua). Rata-rata trainee melewati 6-7 tahun masa
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

trainee, baru bisa debut baik sebagai member boyband/girlband maupun penyanyi solo, tergantung
keputusan dari management. Setelah populer pun, setiap idol harus tetap berlatih dan meningkatkan
kemampuannya, untuk menjadi populer idol harus benar-benar memiliki kemampuan diatas rata-rata,
baik itu kemampuan vocal, menari, mencipta lagu ataupun acting. Kesan mengandalkan tampang tentu
saja sulit untuk muncul, sebab bila sang idol tidak punya kemampuan, bahkan lebih banyak menyanyi
dengan lipsync (tidak live), akan di tinggalkan oleh fans.
b. Makna K-Pop mengajarkan gaya Hidup yang bersih jauh dari skandal
Selama proses hingga menjadi idol itu mereka nyaris menyembunyikan kehidupan pribadi,
bahkan dengan keluarga. Hidup mereka di control penuh oleh management. Sebab Publik korea sangat
membenci skandal (hal yang menurut narasumber memberikan makna baik sebab berbeda dengan idola
di Indonesia, dimana bahkan urusan pribadi menjadi gimmick untuk meraih popularitas. Hubungan
pribadi seperti pacaran pun nyaris ditutupi oleh managemen. Kalaupun ada yang akhirnya ketahuan
‘pacaran’ maka pihak managemen lah yang harus mengkonfirmasi. Hal tersbut oleh narasumber
dimaknai sebagai idolnya tidak playboy/playgirl dan setia, karena rata-rata bias mereka hanya punya 1
atau 2 kisah cinta dan bahkan ketika menikahpun tetap tidak mengekspose khidupan pribadinya,
berbeda dengan idola Indonesia yang sangat mengekspose kehidupan pacarannya, oleh narasumber
bahkan menjadi hal yang layak untuk dicontoh. Para idol berkonsentrasi pada karir dan
sekolah/kuliahnya dan terkenal karena prestasinya bukan oleh gimmick, berganti-ganti pasangan. Para
Idolpun sangat berhati-hati dalam bertindak di depan umum, baik dalam keseharian maupun di
panggung, untuk bersentuhan dengan idol lain terutama lawan jenis, sangat diminimalisir, meskipun
menyanyi di panggungpun, kontak fisik sangat minim, apalagi dalam keseharian. Kontak fisik menjadi hal
yang tidak lazim diltampilkan oleh idol korea, hal yang dimaknai oleh narasumber sebagai ‘tidak genit’
(baik laki-laki maupun perempuan).
Narasumber kemudian mengidentifikasi, bahwa kalimat ‘ingin punya pacar/pasangan cowok
korea bukan karena tampang atau lainnya, tapi lebih karena menurut mereka, sopan, tidak genit, tidak
bergonta-ganti pasangan, tidak memamerkan kehidupan pribadi, jikapun ada gaya hidup bebas tidak
ditampilkan sebagai konsumsi public, hal yang menurut mereka di Indonesia justru sulit menemukan hal
tersebut, foto-foto berpasangan atau bukan menjadi konsumsi public, terutama oleh para selebritis,
hingga menjadi mudah ditiru oleh remaja kebanyakan.

c. Makna K-Pop Mengajarkan Etika yang Bagus


Sopan santun dan etika juga sangat disukai oleh para fans, dalam kelompok boyband/boygril
ada istilah leader dan maknae, leader adalah seorang yang dipilih untuk menjadi pimpinan sebuah grup.
Sementara maknae adalah istilah untuk mereka yang paling bungsu. Sedekat apapun hubungan mereka,
setiap orang sangat menghormati para “senior” (idol yang terlebih dahulu debut/terkenal) dan “kakak-
kakaknya”, panggilan hyung (laki-laki kepada kakak laki-laki), Oppa (perempuan kepada kakak laki-laki)
dan unnie (perempuan kepada kakak perempuan) dan nonna (Laki-laki kepada kakak perempuan), tetap
berlaku bahkan ada perbedaan bahasa antara yang lebih tua kepada yang lebih muda. Budaya itu tidak
hilang meskipun mereka tergabung dalam grup yang sama bertahun-tahun, atau menjadi lebih terkenal
dari seniornya. Budaya itulah yang membuat narasumber kagum karena dalam kehidupan nyata mereka
tidak menemukan itu, dan memaknai sebagai idolnya adalah anak yang sopan dan menghargai yang
lebih tua.
Perilaku sopan-santun itu bagi narasumber menjadi salah satu daya tarik yang kuat terhadap K-
Popers, terlepas dari budaya membungkuk (bow). Kesantunan itu menurut narasaumber menjadi hal
yang sulit mereka temukan di dalam kehidupan mereka, penghargaan dan sikap kepada yang lebih tua,
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

lebih senior maupun lebih muda meskipun sudah sangat dekat, akrab, bahkan lebih populer tetap saja
terjaga.
d. Makna K-Pop mengutamakan Pendidikan
Idol K-Pop dituntut untuk tetap mengutamakan pendidikan, riwayat sekolah mereka harus
bagus. Bahkan tidak sedikit yang melanjutkan tingkat pendidikan hingga jenjang S3. Sehingga tidak
mengherankan beberapa idol masih mengejar Magister dan Doctoralnya pada saat karir mereka masih
sangat bagus (G-Dragon Big Bang, Shim ChangMin TVXQ, Kyuhyun SuperJunior, Xiumin EXO, Jonghyun
Shinee, Key Shinee, dan masih banyak lagi) Yang menjadi kekaguman lagi, bukan hanya di Korea, mereka
bahkan melanjutkan pendidikan di Universitas di Jepang, Australia hingga Amerika, di Korea selatan pun
sistem pendidikannya di Korea terkenal ketat, untuk bisa masuk di Universitas atau sekolah, bukanlah
hal yang mudah, bahkan seorang idolpun harus mengikuti prosedur yang sama, sebab bila mereka tidak
mengikuti prosedur, maka dengan mudah akan menjadi “skandal” baik bagi kampus maupun sang idol
sendiri. Sistem Pendidikan pun mendukung hal tersebut, maka hal tersebut menjadi hal yang patut di
contoh menurut narasumber.
Narasumber menyatakan, di Indonesia seorang idol yang sudah terkenal cenderung menepikan
pendidikan, kalaupun bersekolah maka pada saat karirnya tidak lagi bersinar, selain itu menurut
narasumber, sistem pendidikan di Indonesia tidak seketat di Korea sehingga cenderung ada kemudahan
bagi yang ingin melanjutkan sekolah tapi tidak punya banyak waktu luang, hal yang menurut mereka
berbeda dengan idol di korea, sehingga menjadi pemacu mereka ketika malas oleh tugas
kampus/sekolah, semangat para idolnya menjadi motivasi mereka untuk menempuh pendidikan.

e. Makna K-Pop mengajarkan Kedisiplinan


Korea Selatan termasuk yang menerapkan sistem wajib militer terhadap laki-laki berusia 19-37
tahun selama dua tahun tak terkecuali para idol, sehingga oleh narasumber di maknai sebagai bentuk
kedisiplinan dan ketaatan akan aturan. Seorang idol yang terbiasa dengan kemewahan, popularitas dan
kenyamanan harus meninggalkan semua untuk mengikuti wajib militer sebagaimana layaknya warga
sipil lainnya. Hal yang menurut narasumber, menjadi sangat mengagumkan sebab di Indonesia tentu
menjadi hal yang sulit untuk hal tersebut. Hal tersebut juga dimaknai oleh narasumber, sebagai
bantahan bahwa idol laki-laki korea sebagai laki-laki gemulai, lembek dan berbagai stigma buruk lainnya
yang berkembang di masyarakat, sebab penyuka sesama jenis, tidak dibolehkan ikut wamil.
Menghindari Wamil harus bersiap-siap menghadapi hukuman penjara dan tekanan kultur dan dianggap
bukan ‘lelaki sejati’ di korea (Duniaku.net diakses 20022017).
Kedisiplinan pun dimaknai melalui, ketatnya jadwal latihan yang harus dipatuhi oleh idol bahkan
meskipun mereka sudah sangat populer. Mereka masih harus tinggal di asrama yang sama yang
disediakan oleh Managemen, mematuhi kontrak untuk tidak melakukan “hal-hal” berbau skandal,
seperti mengekspose kehidupan pribadi, melakukan diet, konsep penampilan, dan lain sebagainya. Idol
memakai apa yang diatur oleh managemennya, termasuk tampil live di panggung, reality show hingga
fanmeet. Keluarga idol pun ikut mematuhi aturan tersebut, dengan tidak melibatkan diri dalam
kehidupan ‘selebritis’ anaknya. Sehingga sang idol menjadi esklusif, namun di lain pihak juga bisa
menjadi sangat dekat dengan fansnya, melalui fanmeet, konser dan sebagainya.
Kedisiplinan yang dimiliki oleh para idol, dengan jadwal yang ketat. Aturan yang berat, Privacy
yang sangat diatur oleh management. Oleh para narasumber dianggap sebagai bentuk kedisiplinan dan
professionalism. Hal yang menurut narasumber pun sebagai sesuatu yang patut di contoh, terutama bila
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

membandingkan dengan selebritis di tanah air, yang justru sering mendapatkan keringanan kedisiplinan
karena popularitasnya.
f. Makna K-Pop sebagai ajang belajar bahasa dan Budaya
Narasumber menyatakn bahwa melalui K-Pop maupun drakor mereka belajar bahasa Korea
bahkan Bahasa Inggris, melalui subtitle atau lirik lagu yang ditampilkan, interaksi dengan fans dalam
komunitas maupun berbagai variety show, live show yang lebih bnayak ditampilkan dalam bahas akorea
dan bahasa inggris. Kondisi tersebut memaksa para fans untuk belajar bahasa inggris dan korea.
Begitupun dengan budaya, mereka belajar tentang makanan, lokasi wisata hingga sejarah korea melalui
drama ataupun film. Bahkan oleh para narasumber mereka mengagumi karena para Idol untuk menjadi
terkenal keseluruh dunia (di dunia hiburan amerika utamanya), mereka tidak harus meninggalkan
budayanya dan bahasanya. Mereka tetap tampil dengan gaya K-Pop (K-Pop style) baik music, model
perekrutan, hingga busana tidak kebarat-baratan, begitupun dengan bahasa mereka. Berbeda dengan
Indonesia yang menurut narasumber yang kebarat-baratan, tapi prestasi masih tidak mendunia.
E. Sisi Negatif KPop
Terlepas dari pemaknaan positif yang diajukan narasumber terhadap K-Pop, mereka mengakui
ada sisi negatifnya seperti gaya busana terutama Girlband yang seksi, rumor operasi plastic, hingga
LGBT. Namun semua narsumber menganggap hal tersebut tidak berpengaruh pada mereka, meniru
gaya busana minim menjadi hal yang sulit buat mereka sebab mereka menyadari bentuk bdan yang
kurang menunjang dan mereka tidak menganggap gaya itu sesuai di Indonesia. Berbeda dengan gaya
lain seperti trend make-up, atau jaket yang menurut beberapa narusmber lebih sesuai di Indonesia
karena tidak tebal, lebih murah dan mudah diperoleh.
Operasi plastik pun tidak ditanggapi oleh narasumber sebab buat mereka, kalaupun itu terjadi
maka bagian dari para idolnya memberikan penampilan terbaik untuk fansnya, dan yang lebih penting
setiap idol memiliki kemampuan bermusik,sehingga penampilan tidak terlalu menjadi perhatian utama,
bahkan di Group pun sudah ada pembagian yang dikatakan sebagai Visual group,(satu member yang
berpenampilan paling dominan),narasumber sepakat penampilan akan tertutupi oleh kemampuan
bermusik idolnya.
Stereotype lainnya barang-barang mahal yang dimiliki oleh ataupun dipakai oleh idolnya, oleh
para narasumber hanya bagian dari kekaguman. Narasumberpun menyatakan tidak masalah sebab para
Idolnya sudah bekerja sangat keras, menghabiskan masa anak-anak dan remajanya, sehingga mereka
layak untuk menggunakan fasilitas terbaik dari hasil pekerjaan mereka. Dalam proses sosial, individu
manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di dalam dunia sosialnya. Dalam
pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Max Weber melihat realitas sosial sebagai
perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi (Bungin
2006, p. 189).
Berger dan Luckman dalam Bungin (2006, p. 191) menjelasan realitas sosial dengan memisahkan
pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam
realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita
sendiri. Srdangkan pengetahuan didefenisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real)
dan memiliki karakteristik yang spesifik. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak
di luar batas control struktur dan pranata sosialnya dimana individu bersama manusia secara aktif dan
kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya.
Para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manapun dipandang sebagai pencipta
realitas sosial yang relative bebas dalam dunia sosialnya (Bungin 2007, p. 187).
Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Kesimpulan

Mahasiswa memaknai symbol-simbol yang ditampilkan oleh K-Pop, dengang berbagai


pemahaman yang justru berbanding terbalik dengan stereotype yang berkembang di Masyarakat
dengan K-Pop, meskipun memahami K-Pop tetap memiliki sisi negatif namun para narasumber masih
mampu memilah mana yang menurut mereka sesuai dengan diri mereka.
Stereotype negatif yang dilekatkan pada Kpop, membuat ruang gerak mereka terbatas, meski
demikian mereka masih bangga mengaku sebagai K-Popers, sebab mereka meyakini masih lebih banyak
hal positif yang mereka peroleh sebagai K-Popers.

Daftar Pustaka

Bungiin, Burhan. 2007 . Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group

Creswell JW. 2013. Research Design, Penelitian Qualitative dan Desain Riset, Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Iriantoro, Yosal (2009). Literasi Media (Apa, Mengapa, Bagaimana). Bandung Simbiosa Rekatama Media

Mahayana M.Hum dkk. (ed) Budaya Korea : hal-hal yang perlu Diketahui (2016), Buku pengantar Korea
seri ke -10, INAKOS (The International Association Of Korean Studies In Indonesia), Pusat Studi Korea
Univeristas Gadjah Mada

Mulyana, Deddy (2001), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : remaja Rosdakarya.


Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim
No 1 Vol. 1 / 2018 Issue 1: Komunikasi dan Budaya Urban

Nastiti, Aulia Dwi (2010), “Korean Wave” Di Indonesia ANtara Budaya Pop, Internet dan fanatisme pada
Remaja (Studi Kasus SItus Asian fans Club di Indonesia dalam persepektif Komunikasi ANtarbudaya,
Departemen Ilmu Komunikasi; Universitas Indonesia

Huang, Xiaowei (2009) “ Korean Wave- The Popular Culture, comes, as Both Culturaal and Economic
Imperialism In the east Asia”, Journal of social science Vol 8 5): 123-130

Fisher B. Aubrey (1978) Teori-teori Komunikasi, penyunting : Jalaluddin rakhmat, Bandung Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai