Anda di halaman 1dari 10

 

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI


BAHAN BAKU PEMBUATAN KOMPOS

THE UTILIZATION OF COCOA POD HUSK WASTE AS


RAW MATERIALS OF COMPOST

Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha

BALAI PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI DAN PENYEGAR


Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357
rusli_balittri@yahoo.com

ABSTRAK

Kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) merupakan limbah pengolahan biji kakao yang jumlahnya sangat melimpah di Indonesia,
mengingat Indonesia merupakan negara produsen kakao ke-3 terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Komposisi buah
kakao terdiri dari kulit buah sebanyak 73,7%; (b) pulpa sebanyak 10,1%; (c) plasenta sebanyak 2,0%; dan (d) biji sebanyak 14,2%
sehingga dengan mengacu kepada produksi biji kakao Indonesia pada tahun 2012 yang mencapai 833.310 ton maka terdapat limbah
kulit buah kakao sebanyak ± 4.324.996 ton/tahun. Selama ini limbah kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan, apabila dikelola
dengan baik dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk kompos sehingga memberikan nilai tambah dalam pengelolaan limbah
buah kakao serta dapat meningkatkan pendapatan petani kakao.

Kata kunci: Kakao, limbah, kulit buah, kompos

ABSTRACT

Cocoa pod husk (Theobroma cacao L.) is a waste generated from processing of cocoa beans that found with huge amounts in
Indonesia, since Indonesia is recognized as the third largest cocoa producer in the world after Ivory Coast and Ghana. The
composition of cocoa pod consist of husk 73.7%; (b) pulp 10.1%; (c) placenta 2.0%; and (d) beans 14.2%. Based on Indonesian cocoa
production in 2012 which is reached about 833 310 tons, there will be ± 4,324,996 tons of cocoa pod husk waste every year. During
this time the cocoa pod husk has not been widely used. However, if managed properly it has high potential as raw material for
compost, which providing value added in waste management as well as increasing cocoa farmers’ income.

Keywords: Cocoa, waste, pod husk, compost

PENDAHULUAN keberlanjutan produksi pertanian, baik tanaman


pangan, hortikultura maupun perkebunan ditentukan
Indonesia merupakan salah satu negara di oleh kecukupan kandungan bahan organik tanah.
kawasan tropika yang memiliki tanah mineral Bahan organik tanah merupakan komponen penting
bermasalah dalam kaitannya dengan tingginya laju sebagai salah satu penentu kesuburan tanah,
dekomposisi bahan organik dan pencucian hara. terutama di daerah tropika seperti di Indonesia
Kandungan bahan organik pada sebagian besar lahan dengan suhu udara dan curah hujan yang tinggi
pertanian di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir (Tisdale, Nelson, Beaton, & Havlin, 1993; Engelstat,
telah mencapai tingkat yang rendah, dengan 1997; Subowo, 2010).
kandungan C-organik + 2% (Subowo, 2010). Las & Penurunan bahan organik tanah khususnya
Setyorini (2010) menyatakan bahwa ± 73% lahan pada lahan-lahan perkebunan rakyat, dapat diatasi
pertanian di Indonesia mempunyai kandungan C- dengan pemberian pupuk organik berbahan baku
organik + 2%, yang mengakibatkan sebagian besar lokal, seperti limbah pertanian dan sisa-sisa tanaman
lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya atau pangkasan pohon pelindung yang dapat
dan telah mengalami degradasi lahan. Banyak lahan dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Untuk
sawah intensif di Jawa kandungan C-organiknya < perkebunan kakao rakyat maka dapat memanfaatkan
1%, sedangkan untuk memperoleh produktivitas limbah kulit buah kakao sebagai bahan baku
optimal dibutuhkan kandungan C-organik > 2,5%. pembuatan kompos.
Terabaikannya pengembalian bahan organik Luas total perkebunan kakao Indonesia
ke dalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk tahun 2012 adalah 1.774.463 hektar dengan produksi
kimia pada lahan pertanian menyebabkan mutu fisik biji kakao mencapai 833.310 ton. Sebagian besar areal
dan kimia tanah menurun atau sering disebut pertanamannya (94,2%) merupakan perkebunan
kelelahan lahan (land fatigue) (Sisworo, 2006). Kondisi rakyat dengan jumlah petani yang terlibat sekitar
tanah yang demikian menyebabkan biota tanah 1.475.353 KK (Direktorat Jenderal Perkebunan
berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen dan kelarutan [Ditjenbun], 2013). Pada saat panen, dalam
fosfat menurun, miskin hara mikro, perlindungan pengolahan biji kakao akan dihasilkan limbah kulit
terhadap penyakit rendah, boros terhadap buah kakao yang sangat melimpah, mengingat bahwa
penggunaan pupuk dan air, serta tanaman peka kulit buah merupakan komponen terbesar dari buah.
terhadap kekeringan. Produktivitas tanah dan Menurut Young (2007), Chandrasekaran (2012) dan

 
Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha: Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kompos                            99 
 
Watson (2012), buah kakao terdiri dari empat permeabilitas tanah menjadi lebih baik, menurunkan
komponen: (a) kulit buah (pod husk) 73,7%; (b) pulpa permeabilitas pada tanah bertekstur kasar, dan
10,1%; (c) plasenta 2,0%; dan (d) biji 14,2%. sebaliknya meningkatkan permeabilitas pada tanah
Limbah kulit buah kakao yang dihasilkan bertekstur halus, (5) meningkatkan KTK (kapasitas
setiap panen akan menimbulkan masalah jika tidak tukar kation) sehingga kemampuan mengikat kation
ditangani dengan baik, seperti polusi udara dan menjadi lebih tinggi, akibatnya apabila dipupuk hara
potensi menjadi sumber penyebaran hama dan tanaman tidak mudah tercuci, (6) memperbaiki
penyakit tanaman berupa jamur, bakteri, dan virus kehidupan biologi tanah menjadi lebih baik karena
yang dapat menyerang batang, daun, dan buah kakao ketersediaan energi bagi jasad renik lebih terjamin,
(Darmono & Panji, 1999; Fajar et al., 2004; Ditjenbun, (7) mengandung mikrobia dalam jumlah cukup yang
2010; Muslim, Muyassir, & Alvisyahrin, 2012). Kulit berperanan dalam proses dekomposisi bahan
buah kakao dapat diolah menjadi bermacam produk organik, (8) dapat bereaksi dengan ion logam untuk
seperti kompos, pakan ternak, biogas, tepung, pektin, membentuk senyawa kompleks sehingga ion logam
dan zat pewarna (Wulan, 2001; Agyente-Badu et al., yang meracuni tanaman atau menghambat
2005; Rosniawaty, Dewi, & Suherman, 2005; Belsack, penyediaan hara seperti Al, Fe, dan Mn dapat
Komes, Horzic, Ganic, & Karlovic, 2009; Marcel, dikurangi, dan (9) dapat meningkatkan daya sangga
Andre, Theodore, & Seraphin, 2011). Limbah kulit (buffering capacity) terhadap goncangan perubahan
buah kakao yang melimpah tersebut harus dapat drastis sifat tanah (Tisdale et al., 1993; Engelstat,
dikelola dengan baik oleh petani. Kandungan hara 1997; Simamora & Gohong, 2006).
yang terkandung pada kulit buah kakao cukup baik Kompos memiliki banyak manfaat yang
(Ajayi, Awodun, & Ojeniyi, 2007; Adejobi, Famaye, ditinjau dari beberapa aspek di antaranya:
Akanbi, Nduka, & Adeniyi, 2013), sehingga salah satu Aspek ekonomi:
alternatif pemanfaatan limbah kulit buah kakao yang 1. Menghemat biaya untuk transportasi dan
efektif dan mampu meningkatkan nilai tambah yang penimbunan limbah.
cukup signifikan adalah dengan mengolahnya 2. Mengurangi volume/ukuran limbah.
menjadi kompos. 3. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari
pada bahan asalnya.
SIFAT DAN MANFAAT KOMPOS Aspek lingkungan:
1. Mengurangi polusi udara karena
Menurut Badan Standardisasi Nasional pembakaran limbah dan pelepasan gas
[BSN] (2004) dan Murbandono (2006), kompos adalah metana dari sampah organik yang
bahan organik yang telah mengalami proses membusuk akibat bakteri metanogen di
dekomposisi karena adanya interaksi antara tempat pembuangan sampah.
mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Bahan- 2. Mengurangi kebutuhan lahan untuk
bahan organik tersebut di antaranya adalah penimbunan.
dedaunan, rumput jerami, sisa-sisa ranting dan Aspek bagi tanaman:
dahan, maupun sampah organik. Lebih lanjut 1. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa,
Crawford (2003) menjelaskan bahwa kompos nilai gizi, dan jumlah panen).
merupakan hasil penguraian dari campuran bahan- 2. Menyediakan hormon dan vitamin bagi
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial tanaman.
oleh populasi berbagai macam mikroba dalam 3. Menekan pertumbuhan/ serangan penyakit
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik tanaman.
atau anaerobik. 4. Meningkatkan produksi tanaman.
Pemberian kompos ke dalam tanah secara
berkesinambungan dapat memperbaiki keadaan dan POTENSI KETERSEDIAAN LIMBAH KULIT
karakteristik tanah secara umum. Sifat kompos BUAH KAKAO DI INDONESIA
dalam perbaikan kesuburan tanah agak berbeda
dengan pupuk kimia (anorganik) yang secara umum. Menurut Young (2007), Chandrasekaran
Kandungan hara kompos secara relatif lebih rendah (2012), dan Watson (2012), pada dasarnya buah
bila dibandingkan pupuk kimia, namun nilai kakao terdiri dari empat komponen: (a) kulit buah
kelengkapan kandungan hara kompos berada dalam (pod husk) sebanyak 73,7%; (b) pulpa sebanyak
posisi yang lebih unggul. 10,1%; (c) plasenta sebanyak 2,0%; dan (d) biji
Manfaat pupuk organik seperti kompos sebanyak 14,2%. Mengacu kepada produksi biji
terhadap kesuburan tanah antara lain: (1) dalam kakao Indonesia pada tahun 2012 yang mencapai
proses mineralisasi akan melepaskan hara dengan 833.310 ton (Ditjenbun, 2013), dengan porsi 73,7%
lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, dan hara mikro) kulit buah kakao maka akan terdapat ketersediaan
meskipun jumlah relatif kecil, (2) dapat memperbaiki limbah kulit buah kakao sebanyak ± 4.324.996 ton
struktur tanah, menyebabkan tanahnya menjadi dalam setiap tahunnya (Tabel 1), yang tersebar pada
ringan untuk diolah dan mudah ditembus akar sentra-sentra penghasil kakao di Indonesia. Besaran
sehingga untuk tanah-tanah berat menjadi lebih nilai tersebut belum dimanfaatkan secara optimal,
mudah diolah, (3) meningkatkan daya menahan air hanya sebagian kecil saja yang sudah dimanfaatkan.
(water holding capacity) sehingga tanah mampu Selebihnya limbah kulit buah kakao tersebut hanya
menyediakan air menjadi lebih banyak, yang dibiarkan dan menjadi sumber penyebaran hama
akhirnya kelengasan tanah lebih terjaga, (4) penyakit tanaman (Ditjenbun, 2010).

100 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 


 
Tabel 1. Potensi limbah kulit buah kakao di Indonesia Tahun 2012
Table 1. Potency of cocoa pod husk waste in Indonesia in 2012
Uraian Nilai (ton)
Produksi biji kakao kering 833.310
Produksi kulit buah kakao 73,7/14,2 x 833.310 = 4.324.996
Sumber : Ditjenbun (2013)
Source: Ditjenbun (2013)

Tabel 2. Organisme yang berperan dalam proses pengomposan


Table 2. The Organisms that play a role in the composting process
Jumlah populasi mikroba pada fase
Mikroba
Mesofilik < 4 0C Temofilik 40 -70 0C
Bakteri
Mesofilik 108 106
Termofilik 104 109
Actinomycetes
Termofilik 104 108
Jamur
Mesofilik 106 103
Termofilik 103 107
Sumber : Stoffella & Kahn (2001)
Source: Stoffella & Kahn (2001)

Gambar 1. Proses umum pengomposan limbah padat organik (Sumber: Rynk, 1992)
Figure 1. The general process of organic solid waste composting (Source: Rynk, 1992)

Ketersediaan limbah kulit buah kakao tidak Proses pengomposan secara sederhana
merata di sepanjang tahun karena tingkat produksi dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan
kakao cukup berfluktuasi tergantung kondisi spesifik tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses,
wilayah. Puncak produksi kakao (panen raya) terjadi oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah
2-3 bulan sehingga limbah tersebut akan begitu terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba
melimpah pada saat puncak panen yang pada mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat
umumnya terjadi pada bulan April sampai Juli cepat, hingga di atas 50-70 oC, suhu akan tetap tinggi
(Priyanto, 2006; Wahyudi, Panggabean, & Pujianto, selama waktu tertentu yang diikuti dengan
2008). peningkatan pH kompos. Mikroba yang aktif pada
kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba
PROSES PEMBUATAN KOMPOS yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi
dekomposisi/ penguraian bahan organik yang sangat
Proses pembuatan kompos adalah proses aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan
biologis dari selama proses tersebut berlangsung, menggunakan oksigen akan menguraikan bahan
sejumlah jasad hidup (mikroba), seperti bakteri dan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah
jamur (Suriawiria, 2002). Beberapa mikroorganisme sebagian besar bahan telah terurai maka suhu akan
pengurai yang terlibat dalam proses pengomposan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat
disajikan pada Tabel 2. ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu
pembentukan komplek liat humus. Selama proses

 
Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha: Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kompos                            101 
 
pengomposan akan terjadi penyusutan volume secara alami akan terjadi pada saat suhu meningkat,
maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang
mencapai 30–40% dari volume/bobot awal bahan. lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
Proses pengomposan dapat terjadi secara Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air
aerobik, yaitu mikroba menggunakan oksigen dalam bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat maka
proses dekomposisi bahan organik. Selain itu proses akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan
dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan
oksigen (proses anaerobik). Namun demikian, proses dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan
anaerobik tidak diinginkan karena akan dihasilkan udara di dalam tumpukan kompos.
bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan
menghasilkan senyawa-senyawa berbau tidak sedap, 4. Porositas
seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam Porositas adalah ruang di antara partikel di
butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S. dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan
mengukur volume rongga dibagi dengan volume total.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara.
PENGOMPOSAN Udara akan mensuplai oksigen untuk proses
pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air maka
Setiap organisme pendegradasi bahan pasokan oksigen akan berkurang dan proses
organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan pengomposan juga akan terganggu.
yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai maka
dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk 5. Kelembapan
mendekomposisi limbah padat organik. Apabila Kelembapan memegang peranan yang
kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai maka sangat penting dalam proses metabolisme mikroba
organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai
lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan
optimum untuk proses pengomposan sangat bahan organik jika bahan organik tersebut larut di
menentukan keberhasilan proses pengomposan itu dalam air. Kisaran kelembapan optimum untuk
sendiri. metabolisme mikroba adalah 40– 60%, apabila
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses kelembapan di bawah 40%, aktivitas mikroba akan
pengomposan, antara lain: mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi
pada kelembapan 15%. Jika kelembapan di atas 60%,
1. Rasio C/N hara akan tercuci, volume udara berkurang sehingga
Rasio C/N yang efektif untuk proses aktivitas mikroba menurun dan akan terjadi
pengomposan 30 : 1 hingga 40 : 1. Mikroba memecah fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak
senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan sedap.
N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30
sampai 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk 6. Temperatur
energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba.
C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu
sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi
lambat. temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen
Umumnya, masalah utama pengomposan dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi.
adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada
bahan utamanya mengandung kadar kayu tinggi (sisa tumpukan kompos. Temperatur dengan kisaran 30-
gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dan 60 oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang
sebagainya). Untuk menurunkan rasio C/N cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 oC akan
diperlukan perlakuan khusus, misalnya membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba
menambahkan mikroorganisme selulotik atau thermofilik saja yang akan hidup. Suhu tinggi juga
kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman
banyak senyawa nitrogen. dan benih-benih gulma.

2. Ukuran Partikel 7. pH
Aktivitas mikroba berada di antara Proses pengomposan dapat terjadi pada
permukaan area dan udara. Permukaan area yang kisaran pH yang lebar. pH optimum proses
lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba pengomposan adalah 6,5–7,5, pH kotoran ternak
dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan adalah 6,8–7,4. Proses pengomposan sendiri akan
lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH
besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk bahan tersebut. Sebagai contoh, proses pelepasan
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan asam, secara temporer atau lokal, akan
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. menyebabkan penurunan pH (pengasaman),
sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa
3. Aerasi yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH
Pengomposan yang cepat dapat terjadi pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang
dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi sudah matang biasanya mendekati netral (Tabel 3).

102 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 


 
Tabel 3. Kondisi optimal untuk mempercepat proses pengomposan
table 3. optimal conditions to accelerate the composting process
Kondisi Kondisi yang bisa diterima Kondisi ideal
Rasio C/N 20-40 25-35
Kelembapan 40–65% 45–62% berat
Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10%
Ukuran partikel 1 inchi bervariasi
Bulk Density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd
pH 5,5-9,0 6,5-8,0
Suhu 43-66 0C 54-60 0C
Sumber: Ryak (1992) cited in wikipedia
Source: Ryak (1992) cited in wikipedia

8. Kandungan Hara untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering


Kandungan P dan K juga penting dalam diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah
proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses
kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor
dimanfaatkan oleh mikroba selama proses lainnya.
pengomposan.
Penggunaan Pengaktif (Aktivator)
9. Kandungan Bahan Berbahaya Pengomposan
Beberapa bahan organik mungkin Teknik yang lebih maju adalah dengan
mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat
kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, proses pengomposan. Organisme yang sudah banyak
Cu, Zn, Ni, dan Cr adalah beberapa bahan yang dimanfaatkan misalnya cacing tanah. Proses
termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan pengomposannya disebut vermikompos dan kompos
mengalami imobilisasi selama proses pengomposan. yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing.
Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah
10. Lama Pengomposan mikroba, baik bakteri, aktinomisetes, maupun jamur
Lama waktu pengomposan tergantung pada (Tabel 1). Saat ini di pasaran banyak sekali beredar
karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengaktif pengomposan, misalnya Marros Bio-Activa,
pengomposan yang dipergunakan dengan atau tanpa Green Phoskko (GP-1), Promi, OrgaDec, SuperDec,
penambahan aktivator pengomposan. Secara alami ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, BioPos, dan lain-lain.
pengomposan akan berlangsung dalam waktu Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp
beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos adalah hasil penelitian Balai Penelitian Bioteknologi
tersebut benar-benar matang. Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan saat ini telah
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sementara
Marros Bio-Activa dikembangkan oleh para peneliti
TEKNIK MEMPERCEPAT PROSES mikroba tanah yang tergabung dalam sebuah
PENGOMPOSAN perusahaan swasta. Pengaktif pengomposan ini
menggunakan mikroba-mikroba terpilih yang memiliki
Pengomposan dapat dipercepat dengan kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah
beberapa cara/teknik. Secara umum teknik untuk padat organik, yaitu Trichoderma pseudokoningii,
mempercepat proses pengomposan dapat Cytopaga sp. Trichoderma harzianum, Pholyota sp.,
dikelompokan menjadi tiga: Agraily sp., dan FPP (fungi pelapuk putih). Mikroba ini
a. Memanipulasi kondisi/faktor-faktor yang bekerja aktif pada suhu tinggi (termofilik). Aktivator
berpengaruh pada proses pengomposan. yang dikembangkan oleh BPBPI tidak memerlukan
b. Menambahkan organisme yang dapat tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan
mempercepat proses pengomposan: mikroba secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup/sungkup
pendegradasi bahan organik dan vermikompos untuk mempertahankan suhu dan kelembapan agar
(cacing). proses pengomposan berjalan optimal dan cepat.
c. Menggabungkan teknik pertama dan kedua. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk
bahan-bahan lunak/mudah hingga 2 bulan untuk
Manipulasi Kondisi Pengomposan bahan-bahan keras/sulit dikomposkan.
Teknik ini banyak dilakukan di awal
perkembangan teknologi pengomposan. Kondisi atau Manipulasi Kondisi dan Penambahan
faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum Pengaktif Pengomposan
mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum Teknik pengomposan yang saat ini banyak
adalah 25-35. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan dikembangkan masyarakat adalah dengan
yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan menggabungkan kedua teknik di atas. Kondisi
bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti pengomposan dibuat seoptimal mungkin, kemudian
kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar didukung dengan penambahan pengaktif
dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal pengomposan.

 
Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha: Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kompos                            103 
 
PROSES PEMBUATAN KOMPOS KULIT BUAH a. Penyusutan Bahan Baku
KAKAO Terjadi penyusutan volume/bobot kompos
seiring dengan kematangan kompos. Besarnya
Alat dan Bahan yang Dibutuhkan penyusutan tergantung pada karakteristik bahan
Alat yang digunakan antara lain: mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan
sabit/parang, bak/drum untuk tempat air, ember untuk berkisar antara 20–40%. Apabila penyusutannya masih
menyimpan pengaktif, kayu sebagai pengaduk, gembor kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan
untuk menyemprot, sekop, dan cangkul/garpu. Bahan belum selesai dan kompos belum matang.
yang digunakan adalah limbah kulit buah kakao.
Adapun dosis aktivator yang digunakan adalah 1 kg b. Warna Kompos
promi untuk 1 ton setiap bahan. Warna kompos yang sudah matang adalah
coklat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih
Metode Pelaksanaan berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan
Cara pembuatan kompos limbah kulit kakao mentahnya berarti kompos tersebut belum matang.
hampir sama dengan cara pengomposan menggunakan Selama proses pengomposan pada permukaan kompos
bahan lain, berikut ini prosedur kerja dalam seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna
pembuatan kompos limbah kulit kakao: putih.
a. Masukan air kedalam bak/drum. Volume air yang
diperlukan kurang lebih 200 l untuk setiap 1 m3 c. Struktur Bahan Baku
bahan. Kompos yang telah matang akan terasa lunak
b. Masukan larutan mikroba kedalam ember sesuai ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih
dosis yang diperlukan dan aduk hingga tercampur menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas akan
rata. mudah hancur.
c. Siapkan lubang parit 40x40x40 cm disesuaikan
dengan kondisi setempat. d. Bau
d. Masukan sampah berupa ranting-ranting dan daun Kompos yang sudah matang berbau seperti
kakao lapis demi lapis kedalam parit yang telah tanah dan bau bahan bakunya sudah berubah,
disiapkan di antara tanaman kakao. meskipun kompos dari sampah kota. Apabila kompos
e. Siramkan larutan mikroba pada setiap lapisnya tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi
f. Padatkan setiap lapis sampah tersebut dengan cara fermentasi anaerob dan menghasilkan senyawa-
di injak-injak . senyawa yang mungkin berbahaya bagi tanaman. Jika
g. Setelah penuh dan padat, tutup lubang dengan kompos masih berbau seperti bahan mentahnya
tanah kemudian di injak-injak sampai padat. berarti kompos masih belum matang.
h. Lubang yang telah ditutup tanah diinjak sampai
rata dan padat. e. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati
Pengamatan Proses Pengomposan dengan suhu awal pengomposan. Suhu kompos yang
Setelah diinkubasi selama 21-30 hari, amati masih tinggi, atau di atas 50 oC, berarti proses
tumpukan sampah tersebut. pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos
Proses pengomposan berhasil baik jika: belum cukup matang.
a. Terjadi penurunan tinggi tumpukan sampah.
b. Jika dipegang terasa panas. Pengemasan Kompos
c. Tidak berbau menyengat. Kompos yang sudah matang segera dikemas,
d. Tidak kering. kompos tersebut dikemas menggunakan karung
e. Sampah sudah melunak. dengan berat 25 kg tiap karung, setelah pengemasan
Lakukan tindakan berikut jika: selesai kompos siap untuk dijual atau langsung
a. Apabila tumpukan terasa panas dan sampah diaplikasikan pada tanaman.
kering maka tambahkan air secukupnya.
b. Apabila berbau menyengat dan sampah
terlalu basah tancapkan bambu yang sudah KOMPOS KULIT BUAH KAKAO
dilubangi untuk menambah aerasi.
c. Jika diperlukan lakukan pembalikan. Spesifikasi SNI 19-7030-2004 merupakan
standar kualitas kompos di Indonesia, di dalam
Menentukan Kematangan Kompos standard ini dimuat batas-batas maksimum atau
Menurut Isroi (2007), untuk mengetahui minimun sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos.
tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan Termasuk di dalamnya adalah batas maksimum
uji di laboratorium ataupun pengamatan sederhana di kandungan logam berat. Standar ini penting terutama
lapangan. Berikut ini disampaikan beberapa cara untuk kompos-kompos yang akan dijual ke pasaran.
sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan Standar ini menjadi salah satu jaminan bahwa kompos
kompos: yang dijual benar-benar merupakan kompos yang telah
siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman,
manusia, maupun lingkungan (BSN, 2004).

104 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 


 
Tabel 4. Perbandingan sifat kimia kompos kulit buah kakao dari hasil penelitian dan SNI 19-7030-2004
Table 4. The comparison of chemical properties of cocoa pods husk compost obtained from the research and
SNI 19-7030-2004
Goenadi & SNI 19-7030-2004
Parameter Rubiyo (2009)
Away (2004) Minimun Maksimum
pH 5,400 7,50 6,80 7,49
N-Total (%) 1,300 1,54 0,40 -
C-organik (%) 33,710 26,37 9,80 32,00
C/N Rasio 25,900 17,12 10,00 20,00
P2O5 (%) 0,186 0,57 0,10 -
K2O (%) 5,500 1,10 0,20 -

Berdasarkan hasil penelitian Goenadi & buah kakao sebagai pupuk kompos pada tanaman
Away (2007) serta Rubiyo (2009), sifat kimia dari kakao dapat meningkatkan nilai tambah pendapatan
kompos berbahan baku kulit buah kakao sebagian petani kakao. Pengolahan limbah kulit buah kakao
besar sifat komposnya memenuhi spesifikasi SNI 19- menjadi kompos mempunyai dampak yang positif
7030-2004 (Tabel 4), sebagian besar sifat kimia kompos bagi kebersihan lingkungan kebun sehingga dapat
tersebut memenuhi spesifikasi SNI 19-7030-2004. mengurangi penyebaran hama penyakit tanaman.
Meskipun dari hasil penelitian Goenadi & Away (2004)
ada parameter yang belum memenuhi syarat seperti
nilai pH dan C/N-rasio, tetapi nilai tersebut dapat DAFTAR PUSTAKA
memperbaiki dengan menambah waktu proses
pengomposan. Nilai tersebut dapat diperbaiki dengan Adejobi, K.B., Famaye, A.O., Akanbi, O.S.O., Nduka,
menambah waktu proses pengemposan sehingga A.B., & Adeniyi, D.O. (2013). Potential of cocoa
kompos yang diperoleh telah betul-betul matang. Jika pod husk ash as ferlilizer and limimg material
nilai C/N-rasio ˃ 20 proses dekomposisinya masih on nutrient uptake and growth performance of
berlangsung dan kompos belum matang sehingga cocoa. Research Journal of Agriculture and
masih diperlukan waktu lagi untuk menjadi matang Environmental Management, 2(9), 243-251.
(Scott, 2010; Sinaga, Sutrisno, & Budisulistiorini, 2010;
Agbeniyi, S.O., Oluyole, K.A., & Ogunlade, M.O. (2011).
Indriani, 2011; Chalimatus, Latifah, & Mahatmanti,
Impact of cocoa pod husk fertilizer on cocoa
2013).
production in Nigeria. World Journal of
Hasil penelitian Rosniawaty et al. (2005)
Agricultural Sciences, 7(2), 113-116.
mendapatkan pupuk kompos yang diolah dari limbah
kulit buah kakao berpengaruh secara signifikan pada Agyente-Badu, K., & Oddoye, E.C.K. (2005). Uses of
pertumbuhan bibit kakao. Selain itu berpengaruh baik cocoa by- products. Proceedings of 24th
terhadap tanaman kakao dewasa dan dapat Biennial Conference of Ghana Science
meningkatkan produksi tanaman kakao (Ojeniyi, 2006; Association (pp. 115-127). Legon: University of
Wahyudi et al., 2008; Ogunlade, Agbeniyi, & Oluyole, Ghana.
2010; Agbeniyi, Oluyole, & Ogunlade, 2011). Secara
spesifik Agbeniyi et al. (2011) melaporkan bahwa Ajayi, C.A., Awodun, M.A., & Ojeniyi, S.O. (2007).
pemanfaatan kompos berbahan baku kulit buah kakao Comparative effect of cocoa pod husk ash and
terhadap pemupukan tanaman kakao dewasa, dapat NPK fertilizer on soil and root nutrient content
meningkatkan pendapatan petani kakao di Nigeria and growth of
sebanyak 96,25% dibandingkan tanpa pemanfaatan kola seedlings. Int. J. Soil Sci., 2(2), 148–153.
kompos tersebut, melalui peningkatkan produksi dan Belsack, A., Komes, D., Horzic, D., Ganic, K.K., &
penekanan anggaran biaya pemupukan. Berdasarkan Karlovic, D. (2009). Comparative study of
hal tersebut maka pupuk kompos yang diolah dari commercialy available cocoa products in
limbah kulit buah kakao mempunyai mutu yang cukup terms of their bioactive composition. Food
baik. Research International, 42, 707-716.
Pembuatan kompos dapat dilakukan oleh
petani secara mandiri karena relatif mudah dan bahan Badan Standardisasi Nasional. (2004). Standar
bakunya melimpah sehingga perlu dioptimalkan Nasional Indonesia 19-7030-2004: Spesifikasi
pendayagunaan potensi yang ada di sekitar lingkungan kompos dari sampah organik domestik.
petani tersebut secara berkelanjutan. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
Retrieved from http://sisni.bsni.go.id/
PENUTUP Chalimatus, H., Latifah & Mahatmanti, F.W. (2013).
Efektifitas jamur Trichoderma harzianum
Kompos berbahan baku kulit buah kakao dalam pemgomposan limbah sludge pabrik
mempunyai mutu yang baik karena sudah memenuhi kertas. Indonesian Journal of Chemical
syarat spesifikasi kompos SNI 19-7030-2004, dan Science, 2(3), 224-229.
dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap
pertumbuhan bibit maupun tanaman kakao dewasa.
Pemanfaatan kompos berbahan baku kulit
 
Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha: Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kompos                            105 
 
Chandrasekaran, M. (2012). Valorization of food Muslim, Muyassir, & Alvisyahrin, T. (2012).
processing by-products (p. 808). New West: Kelembapan limbah kakao dan takarannya
CRC Press, Taylor and Prancis Group. terhadap kualitas kompos dengan sistem
pembenaman. Jurnal Manajemen Sumberdaya
Crawford, J.H. (2003) . Composting of agricultural
Lahan, 1(1), 86-93.
waste. In Paul N, Cheremisinoff & R. P.
Ouellette (Eds). Biotechnology Applications Ogunlade, M.O., Agbeniyi, S.O., & Oluyole, K.A. (2010).
and Research (pp. 68-77). An assement of the perception of farmers on
cocoa pod husk fertilizers in Cross River state
Darmono, & Panji, T. (1999). Penyediaan kompos kulit
Nigeria. ARPN Journal of Agricultural and
buah kakao bebas Phytophthora palmivora.
Biological Science, 5(4), 1-8.
Warta Penelitian Perkebunan, V(1), 33-38.
Ojeniyi, S.O. (2006). Potency of cocoa pod husk as
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2010). Pedoman
fertilizer-research communication. Cocoa
umum pelaksanaan kegiatan pengembangan
Mirror, 1(1), 35-37.
pertanian terpadu tanaman kakao-ternak
tahun 2010 (p. 31). Jakarta: Direktorat Priyanto, D. (2006). Potensi limbah kulit kakao
Jenderal Perkebunan. sebagai peluang integrasi dengan usaha
ternak kambing di Provinsi Lampung. Bogor:
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2013). Produksi,
Balai Penelitian Ternak.
luas areal dan produktivitas perkebunan di
Indonesia. Jakarta Direktorat Jenderal Rosniawaty, S., Dewi, I.R., & Suherman, C. (2005).
Perkebunan. Retrieved from http://ditjenbun. Pemanfaatan limbah kulit buah kakao sebagai
deptan.go.id/. kompos pada pertumbuhan bibit kakao
kultivar upper amazone hybrid. Bandung:
Engelstat, O.P. (1997). Teknologi dan penggunaan
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
pupuk. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Rubiyo. (2009). Kajian sistem usahatani kakao di
Provinsi Bali. Laporan Akhir Penelitian Tahun
Fajar, U., Sukadar, Hartutik, W., Priyanto, D., Munier,
2009. Sukabumi: Balai Penelitian Tanaman
F.F., Ardianhar, A., & Herman. (2004).
Industri dan Penyegar.
Pengembangan sistem usahatani integrasi
kakao-kambing-hijauan pakan ternak di Kab. Rynk, R. (1992). A classic in on-farm composting. In
Donggala. Laporan Akhir Kerjasama Lembaga On-Farm Composting Handbook (p. 186).
Riset Perkebunan Indonesia, Puslitbang Ithaca, New York: Northeast Regional
Peternakan, Puslitbang Tanah dan Agroklimat Agricultural Engineering Service Pub. No. 54.
dan BPTP Sulawesi Tengah. Jakarta : Badan Cooperative Extension Service.
Litbang Pertanian.
Scott, N. (2010). How to make and use compost, The
Goenadi, D.H., & Away, Y. (2004). Orgadek, aktivator ultimate guide (p. 200). Cambridge: UIT
pengomposan. Bogor: Pengembangan Hasil Cambridge Ltd.
Penelitian Unit Penelitian Bioteknologi
Simamora, S., & Gohong, S. (2006). Meningkatkan
Perkebunan.
kualitas kompos. Jakarta: Agromedia.
Indriani, Y.H. (2011). Membuat kompos secara kilat
Sinaga, A., Sutrisno, E., & Budisulistiorini, S.H. (2010).
(p. 56). Jakarta: Penebar Swadaya.
Perencanaan pengomposan sebagai alternatif
Isroi. (2007). Pengomposan limbah kakao. Materi pengolahan sampah organik (Studi Kasus:
Pelatihan TOT Budidaya Kopi dan Kakao. TPA Putri Cempo-Mojosongo). Jurnal
Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Presipitasi, 7(1), 3-22.
Las, I. & Setyorini, D. (2010). Kondisi lahan, teknologi, Sisworo, W.H. (2006). Swasembada pangan dan
arah, dan pengembangan pupuk majemuk pertanian berkelanjutan. Tantangan abad 21:
NPK dan pupuk organik. Prosiding Semnas Pendekatan ilmu tanah, tanaman dan
Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam pemanfaatan iptek nuklir. Jakarta: Badan
Meningkatkan Produksi dan Swasembada Tenaga Nuklir Nasional.
Beras Berkelanjutan (pp. 47-57). Bogor: Balai
Stoffella, P.J., & Kahn, B.A. (2001). Compost utilization
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
in holticultural croping system. 414p.
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Washington D.C : Lewis Publishers.
Marcel, B.K.G., Andre, K.B., Theodore, D., & Seraphin,
Subowo, G. (2002). Strategi efisiensi penggunaan
K.C. (2011). Waste and by-products of cocoa in
bahan organik untuk kesuburan dan
breeding: Research synthesis. International
produktivitas tanah melalui pemberdayaan
Journal of Agronomy and Agricultural
sumberdaya hayati tanah. Jurnal Sumberdaya
Research, 1(1), 9-19.
Lahan, 4(12), 13-26.
Murbandono. (2006). Manfaat bahan organik bagi
Suriawiria, U. (2002). Pupuk organik kompos dari
tanaman. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
sampah, bioteknologi agroindustri. Bandung:
Humaniora Utama Press.

106 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 


 
Tisdale, S.L., Nelson, W.L., Beaton, J.D., & Havlin, J.L.. Wikipedia. (2014). Kompos. Retrieved from
(1993). Soil fertility and fertilizer. Fifth Edition. https://id.wikipedia.org/wiki/Kompos.
New York: Mc Millan Publishing Company.
Wulan, S.N. (2001). Kemungkinan pemanfaatan
University Press.
limbah kulit buah kakao sebagai sumber zat
Wahyudi, T., Panggabean, T.R., & Pujianto. (2008). pewarna (β-karoten). Jurnal Teknologi
Panduan kakao lengkap, manajemen Pertanian, 2(2): 22-29. .
agribisnis dari hulu hingga hilir (p. 364).
Young, A.M. (2007). The chocolate tree: A natural
Jakarta: Penebar Swadaya.
history of cacao (p. 209). Revised & Expanded
Watson, R.R., Preedy, V.R., & Zibadi, S. (2012). Edition. Florida: The University Press of
Chocolate in health and nutrition (p. 541). New Florida.
York: Humana Press brand of Springer.

 
Rusli, Yulius Ferry, dan Juniaty Towaha: Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kompos                            107 
 

108 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao 

Anda mungkin juga menyukai