Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS BIDANG ILMU PENYAKIT MULUT

REQUIREMENT LESI MERAH/PUTIH

NAMA DPJP:
Prof. Dr. drg. Hadi Soenartyo., M.Sc., Sp.PM

Nama Mahasiswa : Irene Putri Jayanti


NIM : G4B020010

Komponen Nilai Resume Diskusi

Nilai

Tanda tangan DPJP

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
A. PENDAHULUAN
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan kondisi patologis pada rongga mulut.
Respon terhadap panas yang ditimbulkan oleh pembakaran batang rokok yang
diletakkan di dalam rongga mulut dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa palatum,
dikarenakan mukosa palatum adalah daerah pertama yang akan terpajan oleh panas
dari rokok. Inflamasi pada kelenjar saliva minor di mukosa palatum ini dinamakan
stomatitis nikotina. Stomatitis nikotina yang sering disebut smoker’s palate,
leukokeratosis nikotina palati, atau stomatitis palatini merupakan lesi yang berada di
mukosa rongga mulut khususnya pada mukosa palatum (Tumilisiar, 2011; Neville dkk.,
2015; Siwi dkk., 2017; Hutami dkk., 2019). Stomatitis nikotina merupakan lesi putih
yang terdapat pada palatum durum dari perokok berat baik merokok pipa atau cerutu
(Laksari, 1994; Hedin dan Axell, 2006; Djokja dkk., 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Darongke dkk (2013) pada petani di Kelurahan
Rurukan yang memiliki kebiasaan merokok menyatakan bahwa sebagian besar
mempunyai lesi di daerah palatum (Darongke dkk., 2013). Angka prevalensi ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian Rajesh dkk (2014) pada populasi Chennai di India yang
menunjukkan prevalensi stomatitis nikotina sebesar 7,91% (Rajesh dkk., 2014).
Penelitian oleh Cade (2017) menunjukkan angka prevalensi stomatitis nikotina yang
lebih tinggi pada perokok aktif di Arab Saudi sebesar 29,6% (Cade, 2017). Penelitian di
Indonesia juga telah dilakukan sebelumnya oleh Mulalinda tahun 2015 di daerah
Sulawesi yang menunjukkan angka prevalensi yang lebih besar yaitu 68,5% (Mulalinda
dkk., 2015). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutami dkk (2019) di Desa Puger
Kulon Kecamatan Puger didapatkan prevalensi terjadinya stomatitis nikotina pada
nelayan sebesar 5,3% (Hutami dkk., 2019). Variasi angka prevalensi stomatitis nikotina
pada beberapa penelitian dapat disebabkan oleh perbedaan tempat dan daerah yang
diteliti. Penggambaran terjadinya penyakit dapat dibedakan berdasarkan tempat dan
karakteristik seseorang, seperti ras dan suku. Daerah Sulawesi memiliki beberapa
acara adat seperti rambu tuka, rambu solo, dan metipu yang menjadikan rokok sebagai
syarat dalam perayaan pesta adat sedangkan suku Jawa tidak memiliki acara tersebut,
sehingga masyarakat di daerah Sulawesi lebih sering terpapar asap rokok yang dapat
menyebabkan angka kejadian stomatitis nikotina lebih tinggi (Hutami dkk., 2019).
Stomatitis nikotina sering ditemukan pada perokok dengan intensitas merokok
lebih dari 20 batang (Mulalinda dkk., 2015; Hutami dkk., 2019). Mayoritas kasus ini
dijumpai lebih pada perokok dengan pipa dibandingkan dengan merokok dengan
sigaret (Johnson dan Bain, 2000; Tumilisar, 2011). Stomatitis nikotina dijumpai sebagai
hiperkeratosis di palatum durum (Little dkk., 2008; Bouquot dan Schroeder, 1992;
Johnson dan Bain, 2000). Manifestasi awal ditandai dengan eritema pada palatum
durum, diikuti dengan sejumlah papul merah di sekitar orifice kelenjar liur minor di
palatum sebagai red dot. Lesi yang timbul ini ukurannya bervariasi dan kemudian
palatum ditutupi oleh gambaran putih keabuan akibat pembentukan ortoparakeratin.
Ketebalan dari lesi putih keabuan ini tergantung dari jumlah tembakau yang dipakai dan
lamanya lesi. Lesi ini meluas difus ke seluruh palatum durum dengan gambaran
permukaan yang kasar atau ireguler. Pada stadium ekstrem bisa disertai fissure pada
palatum (Johnson dan Bain, 2000; Tumilisar, 2011). Lesi tersebut tidak memiliki potensi
keganasan dan menghilangan faktor penyebab dapat menyebabkan lesi tersebut hilang
(Langlais dkk., 2013).

B. LAPORAN KASUS (Prabowo dan Widodo, 2018).


1. Identitas pasien dan keadaan umum.
a) Identitas pasien: Pria berusia 28 tahun.
b) Keadaan umum: Compos mentis.
2. Pemeriksaan Subjektif
Anamnesis
a) Chief of Complain: Bintik putih di langit-langit mulutnya.
b) Present Illness: Bintik putih itu sudah lama ada, tetapi pasien tidak pernah sakit
dan tidak pernah dirawat.
c) Past Medical History: Pasien memiliki riwayat kesehatan berupa asma saat kecil
dan rutin mengkonsumsi salbutamol. Penyakit asma tersebut jarang kambuh,
kecuali saat lelah. Pasien juga alergi terhadap tungao.
d) Past Dental History: Pasien menjalani perawatan untuk memperbaiki gigi tiruan 1
bulan yang lalu dan diduga tidak ada kelainan sistemik.
e) Family History: Tidak dituliskan dalam laporan kasus.
f) Social History: Pasien adalah seorang pengusaha yang merokok 3 bungkus
rokok per hari, sering tidur larut malam, dan menderita alkoholisme sejak usia 16
tahun.
3. Pemeriksaan Objektif
a) Pemeriksaan ekstraoral
1) Wajah: Simetris, pewarnaan normal, dan tidak terdapat pembesaran.
2) Mata: Sejajar, warna mata normal, warna sklera putih, dan warna kelopak
mata bagian dalam adalah merah muda.
3) Leher: Tidak ada pembengkakan.
4) Tangan dan Jari: Normal.
5) Lyphomodi: Normal.
6) TMJ: Normal.
b) Pemeriksaan intraoral
Peta mukosa rongga mulut

Deskripsi lesi/Kelainan yang ditemukan:


36,37: Terdapat lesi berupa papula berbentuk globular, diameter 1-2 mm,
multiple, warna putih dengan bintik merah di tengah, konsistensi kenyal
pada palatum durum, dan tidak dapat dikikis.
Foto lesi

4. Pemeriksaan penunjang : Tidak dituliskan dalam laporan kasus.


5. DD : Tidak dituliskan dalam laporan kasus.
6. Diagnosa : K12.1-Stomatitis nikotina
7. Perawatan :
Kunjungan 1: Pasien diberi Dental Health Education (DHE) untuk mengurangi
kebiasaan merokok dan menjaga kebersihan rongga mulut.
8. Edukasi: Pasien diberi edukasi untuk mengurangi kebiasaan merokok dan menjaga
kebersihan rongga mulut.
9. Kontrol: Tidak dituliskan dalam laporan kasus.

C. PEMBAHASAN
1. Etiologi stomatitis nikotina
Stomatitis nikotina merupakan lesi yang terbentuk akibat iritasi fisik akibat
asap (Visconti dan Ashack, 2019; Damayanti dkk., 2020). Stomatitis nikotina adalah
respon langsung dari mukosa oral terhadap kebiasaan merokok pipa atau cerutu
yang berlangsung lama (Langlais dkk., 2013; Neville dkk., 2015; Hutami dkk., 2019).
Penyebab stomatitis nikotina sampai saat ini masih diperdebatkan apakah berasal
dari panas atau tembakau. Lesi menunjukkan kurangnya sifat proliferasi keganasan
sehingga panas dimungkinkan lebih berkontribusi dibandingkan bahan kimia dalam
tembakau. Merokok dengan keadaan ujung yang dinyalakan ditempatkan dalam
mulut pada orang India juga menimbulkan hal yang sama (Langlais dkk., 2013;
Regezi dkk., 2017; Damayanti dkk., 2020). Suhu di ujung pembakaran rokok
tembakau mencapai 650°C (470-812°C), dan suhu inti rokok bisa mencapai 824-
897°C. Suhu mulut bisa mencapai 190°C saat menghirup asap rokok. Asap suhu
tinggi yang bersentuhan langsung dengan mukosa palatum yang menyebabkan
iritasi dan peradangan pada glandula saliva minor di palatum durum (Prabowo dan
Widodo, 2018; Damayanti dkk., 2020). Pasien pada kasus ini mengidap stomatitis
nikotina akibat merokok 3 bungkus per hari (Prabowo dan Widodo, 2018).
2. Gejala umum-patognomanik stomatitis nikotina
Stomatitis nikotina biasanya ditemukan pada laki-laki paruh baya dan lansia.
Stomatitis nikotina berkontak langsung dengan mukosa palatum yang tidak
dilindungi. Bagian posterior rugae palatina terdapat glandula saliva minor. Lesi
dapat meluas ke palatum molle, mukosa bukal, dan dorsum lidah. Stomatitis
nikotina yang mengenai lidah disebut stomatitis glositis nikotina (Langlais dkk.,
2013).
Stomatitis nikotina sebagian besar ditemukan pada palatum durum, khusus
2/3 palatum durum bagian posterior (Langlais dkk., 2013; Prabowo dan Widodo,
2018). Stomatitis nikotina menunjukkan perubahan yang progresif seiring waktu.
Iritasi pada awalnya menyebabkan mukosa palatum sangat eritematosa. Palatum
menjadi putih keabuan yang merupakan keadaan sekunder dari hiperkeratosis.
Duktus glandula saliva minor yang terdapat pada mukosa palatum mengalami
inflamasi dan dilatasi, sehingga menunjukkan gambaran beebrapa papula keratotik
besar dengan bagian tengah merah dan cekung. Papula akan terus berkembang
apabila iritasi tetap ada. Papula tidak akan bergabung membentuk gambaran par-
boiled (susunan batu kerikil yang khas). Papula dengan bagian tengah merah dan
menonjol kadang dijumpai. Gambaran berupa perubahan warna cokelat pada
lingual gigi posterior rahang atas ditemukan (Cawson dan Odell, 2002; Rizzolo dan
Chiodo, 2008; Langlais dkk., 2013; Koray dan Tosun, 2019; Swetha dkk., 2019;
Damayanti dkk., 2020). Plak putih dapat menyebar ke gingiva marginal dan papila
interdental juga (Mortazavi dkk., 2019). Pasien perokok berat yang mengonsumsi
lebih dari 20 batang rokok per hari akan menunjukkan gambaran berupa erosi
bersifat simptomatik pada mukosa palatum. Erosi ini terjadi karena peningkatan
suhu yang berkepanjangan di rongga mulut. Perubahan warna palatum dapat
berubah menjadi normal biasanya dalam 2-4 minggu setelah berhenti merokok
(Rajesh dkk., 2014). Lesi tidak berpotensi menjadi keganasan (Swetha dkk., 2019).

Gambar 1. Gambaran klinis stomatitis nikotina (Rizzolo dan Chiodo, 2008)

Klasifikasi stomatitis nikotina dibagi menjadi 3, yaitu mild (grade I), moderate
(grade II), dan severe (grade III). Mild (grade I) menunjukkan gambaran klinis
palatum yang eritema dan dot-like pucat. Moderate (grade II) menunjukkan
karakteristik peninggian dengan batas jelas dan central umbilication. Severe (grade
III) dengan gambaran papula dengan umbilication 2-3 mm (Greenberg dkk., 2008;
Dubal dkk., 2015).

A B C
Gambar 2. Klasifikasi stomatitis nikotina. A) grade I, B) Grade II, dan C) Grade III (Dubal
dkk., 2015).

Pasien pada kasus merokok 3 bungkus per hari atau sekitar 48 batang per
hari. Gambaran klinis pada kasus adalah stomatitis nikotina moderate (grade II)
berupa papula berbentuk globular, diameter 1-2 mm, warna putih dengan bintik
merah di tengah, konsistensi kenyal pada palatum durum, dan tidak dapat dikikis
(Greenberg dkk., 2008; Dubal dkk., 2015; Prabowo dan Widodo, 2018).
Gambaran histopatologi (HPA) stomatitis nikotina adalah mukosa palatum
perokok ditandai jaringan epitel yang hiperkeratosis, akantosis, dan inflamasi ringan
(Greenberg dkk., 2008). Sel squamosa pada dinding duktus glandula saliva minor
mengalami hiperplasia dan parakteratosis pada mukosa duktus. Infiltrasi sel
inflamasi pada pembuluh darah ke ruang intraseluler dan akumulasi sel mast pada
jaringan subepitel. Perubahan histologi tersebut hanya tampak pada 2/3 palatum
durum bagian posterior. Perubahan pada 1/3 palatum durum bagian anterior dan
palatum molle jarang ditemukan karena distribusi glandula saliva minor hanya
sedikit (Walsh dan Ellison, 2005; Sham dkk., 2003; Jones dan Jordan, 2015).
Pasien pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan penunjang biopsi dan HPA
(Prabowo dan Widodo, 2018).
3. Patogenesis/patofisiologi
Asap rokok yang panas dapat mempengaruhi aliran pembuluh darah dan
mengakibatkan penurunan kuantitas saliva yang berada dalam rongga mulut. Saliva
yang berkurang menyebabkan mulut kering. Saliva merupakan pelindung alamiah
rongga mulut. Mulut kering menyebabkan penurunan fungsi pelindung, maka bakteri
akan berkembang biak dengan cepat. Asap rokok juga menurunkan aktivitas sel
polimorfonuklear (PMN) hingga kadar 50%. Gangguan sistem pertahanan ini
mengakibatkan pergerakan sel PMN lebih banyak ke rongga mulut. Asap rokok
termasuk kelompok oksidan yang dapat mengganggu integritas jaringan dengan sel
dan menurutnkan kadar vitamin C yang dapat berperan dalam penyembuhan luka.
Rangsangan asap rokok yang lama dapat menyebabkan perubahan yang bersifat
merusak bagian mukosa oral yang terkena, bervariasi, dan penebalan menyeluruh
bagian epitel (Sumerti, 2016).
Patogenesis stomatitis nikotina dapat dipengaruhi oleh usia, intensitas
merokok, dan jenis rokok (Langlais dkk., 2013; Neville dkk., 2015; Hutami dkk.,
2019). Faktor usia dapat mempengaruhi kondisi patologis pada rongga mulut
dimana kebiasaan merokok yang dimiliki oleh seseorang berusia lanjut dimasa
lalunya juga dapat menyebabkan berbagai keluhan di rongga mulut akibat
menurunnya sistem imun (Mulalinda dkk., 2015; Hutami dkk., 2019). Stomatitis
nikotina sering ditemukan pada laki-laki paruh baya (Regezi dkk., 2007).
Jenis rokok adalah rokok yang diklasifikasikan berdasarkan bahan baku,
dimana rokok putih adalah rokok yang hanya berisi daun tembakau dan
menggunakan filter, sedangkan rokok kretek berisi daun tembakau, cengkeh, dan
tidak menggunakan filter. Mayoritas penderita stomatitis nikotina menghisap rokok
putih, sehingga angka kejadian penyakit stomatitis nikotina banyak ditemukan pada
pasien yang menggunakan rokok putih. Hasil penelitian Hutami dkk (2019)
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel jenis
rokok dengan angka kejadian stomatitis nikotina. Stomatitis nikotina cenderung
disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari pembakaran rokok. Panas tersebut
langsung mengenai daerah palatum yang dapat menyebabkan inflamasi pada
kelenjar saliva minor di daerah palatum. Temperatur yang dihasilkan dari
pembakaran rokok sama tingginya yaitu mencapai 650 0C (Prabowo dan Widodo,
2018; Hutami dkk., 2019). Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis rokok
dan stomatitis nikotina juga dapat disebabkan karena kandungan yang sama dari
kedua jenis rokok tersebut. Kandungan dari rokok yang dapat mempengaruhi
terjadinya stomatitis nikotina adalahnikotin dan tar (Rajesh dkk., 2014; Hutami dkk.,
2019). Jumlah kandungan nikotin, tar dan CO yang dihasilkan dari pembakaran
rokok kretek dan rokok putih memiliki jumlah yang berbeda. Rokok kretek memiliki
kandungan nikotin, tar, dan CO yang lebih banyak dibandingkan dengan rokok
putih. Hal tersebut dapat disebabkan karena rokok kretek tidak memilki filter yang
berfungsi untuk mengurangi asap yang keluar dari rokok, sehingga resiko terjadinya
stomatitis nikotina lebih tinggi pada pengguna rokok kretek (Diza dkk., 2014).
Intensitas merokok adalah banyaknya rokok yang dihisap oleh seseorang per
hari. Perokok berat (>20 batang per hari) memiliki banyak keluhan pada rongga
mulutnya dibandingkan dengan perokok sedang (11-20 batang per hari) ataupun
perokok ringan (<10 batang per hari). Kandungan dan juga panas yang dihasilkan
dari pembakaran rokok dapat menimbulkan menimbulkan iritasi ataupun inflamasi
pada daerah palatum (Mulalinda dkk., 2015; Siwi dkk., 2017). Hasil penelitian
Hutami dkk (2019) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara intensitas merokok dan angka kejadian stomatitis nikotina. Hal tersebut
disebabkan karena terjadinya penyakit stomatitis nikotina juga dipengaruhi oleh
faktor lain, yaitu lama merokok. Lama merokok berarti lamanya kebiasaan merokok
yang dimiliki oleh seseorang, dimana seseorang yang sudah lama memiliki
kebiasaan merokok aktif akan lebih sering dan lebih lama terpapar oleh panas
pembakaran rokok, sehingga banyaknya rokok yang dikonsumsi dan lama merokok
akan saling berhubungan dengan terjadinya stomatitis nikotina (Hutami dkk., 2019).
4. Pemeriksaan penunjang/penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis stomatitis nikotina dapat dilakukan dengan anamnesis
lengkap dan mengidentifikasi faktor penyebab trauma (Greenberg dkk., 2008).
Dokter gigi harus menanyakan dengan jelas mengenai riwayat terjadinya stomatitis
nikotina, seperti waktu lesi muncul, durasi, riwayat kebiasaan mulai
merokok/lamanya merokok, jenis rokok, durasi merokok, dan intensitas merokok
(Mulalinda dkk., 2015; Hutami dkk., 2019). Dokter gigi juga harus menanyakan
riwayat medis pasien termasuk riwayat penggunaan obat dan riwayat keluarga
(Greenberg dkk., 2008). Dokter gigi harus mengetahui gambaran klinis stomatitis
nikotina dan faktor penyebabnya sehingga dapat diobati sesuai gejala. Stomatitis
nikotina merupkan lesi non premaligna. Mukosa palatum pada perokok sigaret
terbalik memiliki potensi yang cukup terhadap transformasi keganasan. Setiap lesi
putih pada mukosa palatum bertahan lebih dari satu bulan setelah penghentian
kebiasaan harus dipantau secara hati-hati untuk menyingkirkan keganasan
(Mortazavi dkk., 2019). Pemeriksaan biopsi jarang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis (Langlais dkk., 2013). Pasien pada kasus ini hanya dilakukan
pemeriksaan subjektif dan pemeriksaan objektif (Prabowo dan Widodo, 2018).
5. Diagnosis banding
Diagnosis banding stomatitis nikotina adalah eritematous oral candidiasis,
leukoplakia, dan Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) (Rizzolo dan Chiodo,
2008).
a. Eritematous oral candidiasis
Oral candidiasis merupakan infeksi oportunis dalam rongga mulut yang
disebabkan oleh Candida sp. Candida merupakan mikroorganisme komensal
atau flora normal dalam mulut. Spesies Candida yang menjadi agen penyebab
primer oral candidiasis adalah Candida Albicans, khususnya Candida Albicans di
bagian dorsum lidah posterior. Oral candidiasis sering terjadi pada bayi baru lahir
dan orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan (Langlais dkk., 2013;
Walangare dkk., 2014; Nur’aeny dkk., 2017). Etiologi oral candidiasis adalah
spesies Candida. Faktor predisposisi terjadinya oral candidiasis adalah kelainan
endokrin, malnutrisi, keganasan, gangguan hematologi, gangguan imunitas,
xerostomia, obat-obatan (kortikosteroid atau antibiotik spektrum luas dalam
jangka panjang), pemakaian gigi tiruan, dan merokok (Nur’aeny dkk., 2017).
Bentuk oral candidiasis salah satunya adalah eritematous oral candidiasis .
Eritematous oral candidiasis yang dikenal dengan antibiotic sore mouth karena
berhubungan dengan konsumsi antibiotik spektrum luas jangka panjang.
Gambaran klinisnya berupa area merah pada dorsum lidah dan palatum disertai
rasa sakit atau terbakar (Nur’aeny dkk., 2017). Eritematous oral candidiasis
terbagi dalam 3 tipe, yaitu tipe 1 (inflamasi sederhana terlokalisir/ pinpoint
hiperemia), tipe 2 (eritematosa atau tipe sederhana yang umum eritema lebih
tersebar meliputi sebagian atau seluruh mukosa yang tertutup gigi tiruan), dan
tipe 3 (tipe granular umumnya meliputi bagian tengah palatum durum dan
alveolar ridge). Lesi akan tetap ada sampai diberi perawatan berupa terapi
antijamur (Langlais dkk., 2013).

Gambar 3. Eritematous oral candidiasis (Langlais dkk., 2013)

b. Leukoplakia
Leukoplakia adalah plak putih yang tidak bisa digosok. Leukoplakia dapat
terjadi pada semua kalangan usia dan jenis kelamin, akan tetapi sering
ditemukan pada usia 45-65 tahun. leukoplakia adalah reaksi perlindungan
terhadap iritasi kronis. Leukoplakia memiliki gambaran klinis, ukuran, dan lokasi
yang bervariasi. Lokasi yang paling sering terlibat adalah lateral lidah, ventral
lidah, dasar mulut, mukosa alveolar, bibir, trigonum retromolar, palatum molle,
dan gingiva cekat rahang bawah. Permukaan leukoplakia tampak halus dan
homogen, tipis dan rapuh, berfisura, kasar, verukoid, nodular, atau bercak.
Warna lesi bervariasi, yaitu putih pucat translusen, abu-abu, atau putih-cokelat.
WHO mengklasifikasikan leukoplakia menjadi 2, yaitu homogen dan non-
homogen. Leukoplakia homogen terdiri menjadi eritroleukoplakia (lesi putih
dengan komponen besar) dan nodula (lesi putih dengan nodula besar).
Leukoplakia non-homogen terdiri dari bercak (lesi putih dengan komponen
merah kecil) dan verukoid (lesi putih dengan permukaan menonjol dan kasar).
Leukoplakia merupakan lesi yang berpotensi menjadi keganasan (Langlais dkk.,
2013).

Gambar 4. Leukoplakia (Nelonda dan Dewi, 2018).

c. OSCC
OSCC adalah kanker mulut yang sering diderita oleh kalangan laki-laki
berusia 50 tahun ke atas. Penyebab kanker ini belum diketahui. Faktor
predisposisi yang menyebabkan OSCC, yaitu tembakau, HPV, alkohol, dan
penurunan sistem imun. Gambaran klinis berupa lesi merah-putih atau merah
dan bersifat asimptomatik. Lesi berupa usler berwarna kekuningan, tepinya
menonjol, berwarnah merah, dan terdapat indurasi. Lesi sering ditemukan pada
bagian lateral lidah, mukosa bukal, bagian ventral lidah, orofaring, dan bibir. Lesi
dapat melakukan metastasis yang ditandai nodus limfatik keras, kaku, dan tidak
sakit. Perawatan yang dilakukan adalah biopsi dan pemeriksaan histopatologi,
operasi, terapi radiasi, dan kemoterapi (Langlais dkk., 2013).

Gambar 5. OSCC (Langlais dkk., 2013)

Pasien pada kasus tidak disebutkan diagnosis banding lesi (Prabowo dan Widodo,
2018).
6. Perawatan
Stomatitis nikotin ringan tidak membutuhkan terapi. Namun, jika memburuk,
dapat diobati secara paliatif, yaitu DHE untuk meningkatkan kebersihan mulut dan
mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan merokok. Pemberian DHE bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai diagnosis, gejala, penyebab, prognosis, dan
tatalaksana stomatitis nikotina. Pasien dianjurkan untuk rutin menjaga kesehatan
gigi dan mulut dengan diajarkan cara menyikat gigi yang baik dan benar. Pasien
juga dianjurkan untuk mengkonsumsi sayur dan buah-buahan untuk mencegah
terjadinya luka serta mempercepat penyembuhan (Mark dan Tern, 2003; Rizzolo
dan Chiodo, 2008; Langlais dkk., 2013; Prabowo dan Widodo, 2018; Damayanti
dkk., 2020). Pasien pada kasus diberikan DHE untuk mengurangi kebiasaan
merokok (Prabowo dan Widodo, 2018).

D. DAFTAR PUSTAKA
Bouquot, J. 1992. Schroeder K.Oral effects of tobacco abuse. Journal of the American
Dental Institute for Continuing Education . 43(1): 3-17.

Cade, J.E. 2017. Nicotine Stomatitis. Available of


https://emedicine.medscape.com/article/1076183-overview. Diakses pada
tanggal 20 Maret 2021.

Cawson, R.A., Odell, E.W., Porter, S. 2002. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Edisi Ke-7. Churchill Livingstone. Edinburg.

Damayanti, M.M., Kharisma, Y., Yulianto, F.A., Rahimah, S.B., Maharani, W.,
Rachmawati, M., Sastramihardja, H.S., Abdul’Aziiz, M.A., Halim, M.I. 2020. A
comparative evaluation of community periodontal index (CPI) and the presence
of nicotine stomatitis among smokers after oral hygiene instruction. Global
Medical Health and Communication. 8(1): 78-82.

Darongke, G., Wowor, V.N.S., Lampus, B. 2013. Status gingiva dan kejadian lesi putih
pada perokok. Dentire journal. 2(1): 30-33.

Djokja, R.M., Lampus, B.S., Mintjelungan, C. 2013. Gambaran perokok dan angka
kejadian lesi mukosa mulut di desa monsongan kecamatan Banggai Tengah.
Jurnal e-GiGi. 1(1): 38-44.

Diza, A.M., Huboyo, H.S., Muhlisin. Z. 2014. Studi penyisihan emisi CO pada asap
rokok kretek filter dan non filter dengan variasi tegangan listrik menggunakan
teknologi plasma. Jurnal Teknik Lingkungan. 3(4): 1-8.
Dubal, M., Nayak A., Suragimat, A., Sande, A., Kandagal, S. 2015. Analysis of smoking
habits in patients with varying grades of smoker’s palate in south western region
of Maharashtra. Journal of Oral Research and Review. 7(1): 12-15.

Greenberg, M.S., Glick, M., Ship, J.A. 2008. Burket’s Oral Medicine. Edisi Ke-11. Bc
Dekker Inc. Hamilton.

Hedin, C.A., Axell, T. 2006. Oral melanin pigmentation in 467 Thai and Malaysian
people with special emphasis on smoker’s melanosis. Journal of Oral Pathology
And Medicine. 20(1): 8-12

Hutami, I.M.C., Marohmasari, E.A.A., Dewi, LR., Hermawati, S., Kiswaluyo. 2019.
Hubungan kebiasaan merokok dengan angka kejadian stomatitis nikotina pada
nelayan Puger Jember. Stomatognatic. 16(1): 7-11.

Koray, M., Tosun, T. 2019. Oral Mucosal Trauma and Injuries. IntechOpen. London.

Johnson, N.W., Bain, C.A. 2000. Tobacco and oral disease. British Dental Journal.
189(4): 200-206.

Jones, K.B., Jordan, R. 2015. White lesions in the oral cavity: clinical presentation,
diagnosis and treatment. Semin Cutan Med Surg. 34(4): 161-170.

Langlais, R., Miller, C.S., Nield-Gehrig, J.S. 2013. Atlas Berwarna Lesi Mulut yang
Sering Ditemukan. EGC. Jakarta.

Laskaris, G. 1994. Color Atlas of Oral Disease. Edisi Ke-2. Thieme Medical Publisher.
New York.

Little, W.L., Falace, D.A., Miller, C.S., Rhodus, N.L. 2008. Dental Management of The
Medically Compromised Patient. Edisi Ke-7. Mosby Elsevier. Philadelphia.

Mark, R.E., S. Tern, D. 2003 Oral and Maxillofacial Pathology: A Rational for Diagnosis
and Treatment. Quintessence Publishing Co, Inc. Philadelphia.

Mortazavi, H., Safi, Y., Baharvand, M., Rahmani, S. 2019. Diagnostic features of
common oral ulcerative lesions: an updated decision tree. International Journal
of Dentistry. 1(1): 1-14.

Mulalinda, S.L., Suling, P.L., Mintjelungan, C.N. 2015. Lesi yang diduga stomatitis
nikotina pada nelayan yang memiliki kebiasaan merokok. Pharmacon Jurnal
Ilmiah Farmasi. 4(4): 90-95.

Nelonda, R., Dewi, T.S. 2018. Pentingnya mendeteksi oral leukoplakia sebagai oral
potentially malignant disordes (laporan kasus). Jurnal B-Dent. 5(2): 162-169.

Neville, B.W., Damm, D.D., Allen, C.M., Bouquot, J.E. 2015. Oral and Maxillofacial
Pathology. Edisi Ke-4. Saunders Elsevier. Missouri.
Nur’aeny, N., Hidayat, W., Dewi, T.S., Herawati, E., Wahyuni, I.S. 2017. Profil oral
candidiasis di bagian ilmu penyakit mulut RSHS Bandung periode 2010-2014.
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 1(3): 21-28.

Prabowo, D.M.S., WIdodo, H.B. 2018. Nicotine stomatitis in smokers: a case report.
Journal of Dentomaxillofacial Science. 3(1): 58-60.

Rajesh, E., Masthan, K.M.K., Babu, N.A., Sankari, L., Malathi, L., Anitha, N., 2014.
Prevalence of nicotina-stomatitis among 320 smokers in Chennai population.
Biosciences Biotechnology Research Asia . 11(2): 701-703.

Regezi, J.A., Sciubba, J., Jordan, R.C.K. 2017. Oral Pathology: Clinical Pathologic
Correlations. Edisi Ke-7. Elsevier Health Sciences. St. Louis Elsevier.

Rizzolo, D., Chiodo, T.A. 2008. Lesion on the hard palate. The Journal of Family
Practice. 57(1): 33-35.

Sham, A.S.K., Cheung, L.K., Jin, L.J., Corber, E.F. 2003. The effects of tobacco use on
oral health. Hong Kong Medical Journal. 9(1): 271-277.

Siwi, F.A.P., Pangemanan, D.H.C., Gunawan, P.N. 2017. Prevalensi stomatitis nikotina
yang memiliki kebiasaan merokok. Jurnal e-Gigi. 5(1): 58-63.

Sumerti, N.N. 2016. Merokok dan efeknye terhadap kesehatan gigi dan rongga mulut.
Jurnal Kesehatan Gigi. 4(2): 49-58.

Swetha, S., Gopinath, Kumar, J. 2019. Stomatitis. Journal of Pharmaceutical Sciences


and Research. 11(7): 2656-2658.

Tumilisar, D.L. 2011. Tembakau dan pengaruhnya terhadap kesehatan mulut. Jurnal
Kedokteran Meditek. 17(44): 19-23.

Walangare, T., Hidayat, T., Basuka S. 2014. Profil spesies candida pada pasien
kandidiasis oral dengan infeksi HIV dan AIDS. Journal Unair. 26(1): 29-35.

Walsh, M.W., Ellison, J.A. 2005. Treatment of tobacco use and dependence: the role of
the dental professional. Journal Dental Education. 69(5): 521-537.

Visconti, M.J., Ashack, K.A. 2019. Dermatologic manifestations associated with


electronic cigarette use. Journal of American Academy of Dermatology . 81(4):
1001-1007.

Anda mungkin juga menyukai