Anda di halaman 1dari 58

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia sebagai negara tropis mempunyai keanekaragaman hayati

berlimpah yang berpotensi dikembangkan sebagai obat atau bahan baku obat.

Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000 jenis tumbuhan dari total

40.000 jenis tumbuhan di dunia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2007). Salah satu divisi tumbuhan yang tumbuh di kawasan Indonesia dan

menjadi salah satu kekayaan alam hayati Indonesia adalah Divisi Pteridophyta

yang merupakan divisi tumbuhan paku. Pteridophyta termasuk dalam kategori

tumbuhan tingkat rendah, yaitu kelompok tumbuhan yang struktur tubuh dan

perkembangan organ tubuhnya masih sederhana, tidak menghasilkan biji dan

bunga, walau memiliki jaringan pembuluh angkut, dan umumnya tidak memiliki

bunga serta jaringan pembuluh angkut sehingga penyaluran materi di dalam tubuh

dilakukan secara difusi. Sebagian tumbuhan tingkat rendah ada yang memiliki

organ seperti batang, akar, dan daun namun bukan merupakan organ sejati

(Citrosupomo, 2001).

Tumbuhan paku yang banyak ditemukan di Indonesia salah satunya adalah

dari genus Nephrolepis. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari et al. (2016)

didapatkan 19 jenis Pteridophyta dengan genus terbanyak Nephrolepis di Hutan

Lindung Bukit Cogong II. Hal ini menunjukkan bahwa luas penyebaran genus

Nephrolepis lebih unggul jika dibandingkan dengan genus-genus lainnya dalam

tumbuhan divisi Pteridophyta. Tumbuhan paku genus Nephrolepis amat beragam

1
spesiesnya. Genus ini terdiri atas 30 spesies dengan penyebaran di daerah tropis.

Hal ini menyebabkan genus Nephrolepis dibagi menjadi tiga spesies utama, yaitu

Nephrolepis biserrata, Nephrolepis cordifolia, Nephrolepis hirsutula (de Winter

& Amoroso, 2003).Tumbuhan paku genus Nephrolepis umunya sudah dikenal

oleh masyarakat sebagai tanaman hias, sehingga tumbuhan ini dapat juga dijumpai

di pekarangan rumah dalam pot-pot atau di pinggir-pinggir pagar tembok untuk

melembutkan suasana rumah. Tunas muda tumbuhan ini dimakan oleh masyarakat

sekitar, dengan cara dikeringkan, ditumbuk, untuk dimakan sebagai sayur.

Kegunaanya belum banyak diketahui orang, selain sebagai tanaman hias

(Lembaga Biologi Nasional-LIPI, 1979).

Diketahui dari hasil penelitian sebelumnya terdapat beberapa kandungan

kimia pada genus Nephrolepis antara lain, senyawa golongan flavonoid,

terpenoid, senyawa fenol, xanton (Soedar, 1985). Penelitian yang dilakukan oleh

Dayanti dan Suyatno (2012) juga menunjukkan bahwa ekstrak metanol batang

tumbuhan paku Nephrolepis radicans mengandung metabolit sekunder golongan

senyawa alkaloid, fenolik, dan flavonoid. Priyanto (2013) menemukan adanya

senyawa metabolit sekunder golongan steroid, terpenoid, flavonoid, dan asam

lemak dalam tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata. Hal ini menunjukkan

banyaknya potensi aktivitas farmakologis pada genus Nephrolepis, seperti

aktivitas antioksidan (Pradita & Suyatno, 2012; Astuti, et al., 2013), dan aktivitas

sitotoksik dan antiandrogen (Bobach, et al., 2014). Senyawa-senyawa yang

berperan penting dalam aktivitas farmakologis tersebut adalah metabolit sekunder

(Jamal, 2010).

2
Salah satu spesies utama dari genus Nephrolepis yang belum banyak diteliti

adalah Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott. Sehingga hal ini menjadi sebuah

kesempatan untuk mengeksplorasi Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott, untuk

perkembangan ilmu farmasi khususnya dalam bidang biologi farmasi yang terus

mengalami kemajuan. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang

aktivitas farmakologis dan metabolit sekunder yang terkandung.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah fraksi ekstrak etanol dari daun dan batang tumbuhan paku

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott memiliki aktivitas antibakteri

terhadap bakteri Eschericia coli ?

2. Apa kandungan metabolit sekunder dari ekstrak etanol batang dan daun

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menentukan aktivitas antibakteri fraksi ekstrak etanol dari batang dan

daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

2. Menentukan kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak

etanol dari batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

1.4. Hipotesis Penelitian

1. Fraksi ekstrak etanol dari batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.)

Schott memiliki aktivitas antibakteri.

3
2. Diketahui terdapat beberapa kandungan metaboli sekunder dalam ekstrak

etanol batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Manfaat penelitian ini adalah untuk menghasilkan data jenis-jenis

senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol batang

dan daun tumbuhan paku Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

2. Mengetahui aktivitas antibakteri fraksi ekstrak etanol dari batang dan

daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dengan data daya hambat

bakteri yang diperoleh.

3. Bagi diri pribadi hasil penelitian ini dapat menambah wawasan tentang

aktivits antibakteri dan metabolit sekunder yang terdapat dalam

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang uji

aktivitas antibakteri serta jenis metabolit sekunder pada daun dan batang

tumbuhan paku Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dan dapat menjadi

masukan untuk peneliti selanjutnya.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Botani Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

2.1.1. Klasifikasi

Menurut Ensiklopedia Biologi Dunia Tumbuhan (2012), klasifikasi

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Pteridophyta

Kelas : Polypodiopsida

Bangsa : Polypodiales

Suku : Nephrolepidaceae

Marga : Nephrolepis

Jenis : Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

2.1.2.Nama Daerah Nephrolepis biserrata (Sw.) Shott

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott memiliki penyebaran luas di negara-

negara tropis, sehingga memiliki beberapa nama daerah. Di Negara Malaysia

tumbuhan paku ini disebut dengan Paku larat. Alolokdo sebutan untuk

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dari Negara Filipina. Sedangkan Negara

Thailand memiliki beberapa nama seperti Foen kaang plaa, Foen haang plaa, Foen

teen takhaap (de Winter & Amoroso, 2003). Indonesia memiliki beberapa sebutan

untuk tumbuhan paku ini seperti Paku uban (Lingga), Paku sagah (Sumatera

5
Barat), Paku harupat (Halmahera Selatan), Wolang koi (Halmahera Utara)

(Heyne, 1987).

2.1.3.Morfologi Nephrolepis biserrata (Sw.) Shott

Spesies ini merupakan paku terestrial atau epifit yang tingginya dapat

mencapai tiga meter atau lebih. Rimpang memiliki sisik, dengan panjang 25 cm.

Sisik berbentuk lanset, berukuran 3-10 X 0,6-0,8 mm. Bagian pangkal sisik

tampak membulat, tepi sisik bersilia, berwarna hijau pucat ketika muda dan kelak

menjadi cokelat pucat seiring pertumbuhan (de Winter & Amoroso, 2003). Daun

merumpun, dengan tangkai daun berukuran 10-50 cm, diselimuti sisik cokelat

muda yang udah rontok. Lamina berukuran 50-400 x 15-40 cm, dan tampak

melengkung hingga menggantung. Lamina ini berbentuk persegi-lanset, bertekstur

seperti kertas, dengan sisik kecil pada bagian permukaan (Ensiklopedia Biologi

Dunia Tumbuhan, 2012). Morfologi dari tumbuhan Nephrolepis biserrata (Sw.)

Schott dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Morfologi tumbuhan Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott


(Lembaga Biologi Nasional-LIPI, 1979)

6
2.1.4.Habitat dan Penyebaran Nephrolepis biserrata (Sw.) Shott

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott tumbuh di daerah datar hingga ±800

meter di atas permukaan laut, seperti pekarangan rumah, ladang rumput, hutan

rimba, pinggiran sungai, rawa-rawa. Habitat tumbuhan ini terdiri dari kondisi

iklim yang rendah dengan lokasi khusus pada tempat-tempat lembab dan teduh.

Tumbuhan ini tersebar luas si beberapa negara seperti, Malaysia, Indonesia,

Thailand, China, dan Amerika Serikat. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

terdapat dalam jumlah besar di hutan tropis, subtropis, temperatur dan

kelembaban yang rendah (Dudani et al., 2012).

2.2. Kandungan Kimia

Kandungan kimia yang terdapat dalam daun Nephrolepis biserrata (Sw.)

Schott adalah alkaloid, steroid, flavonoid (Astuti, 2013). Penelitian yang

dilakukan oleh Manan et al. (2015) menemukan bahwa myricetin, rutin, dan

kaempferol juga terkandung dalam tanaman Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

2.3. Aktivitas Farmakologis

Nephrolepis biserrata mempunyai aktivitas antioksidan kuat dan efek

protektif signifikan dalam melawan CCl4 yang diinduksi dalam tikus (Shah, et al.,

2015; Astuti, 2013).

2.4. Ekstraksi

Eksraksi tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu atau

sejumlah bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat.

7
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan komponen-komponen bioaktif

suatu bahan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang sering dilakukan, yaitu

ekstraksi dengan pelarut (maserasi), destilasi, supercritical fluid extraction (SFE),

pengepresan mekanik dan sublimasi, serta secara enzimatik. Pelarut yang

digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih

yang rendah, murah, tidak toksik dan mudah terbakar (Harborne, 1987).

Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstraksi senyawa alkaloid

kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino dan glikosida.

Pelarut semi-polar dapat mengekstraksi senyawa fenol, terpenoid, alkaloid,

aglikon dan glikosida. Pelarut non-polar dapat mengekstraksi senyawa kimia

seperti lilin, lipid dan minyak yang mudah menguap (Harborne, 1987).

2.5. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat

secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1974).

8
2.6. Fraksinasi

Fraksinasi adalah proses untuk memisahkan kandungan senyawa bahan

alam atas perbedaan sifat keseluruhannya dalam kondisi yang ditentukan.

Umumnya senyawa bahan alam di bagi atas 3 kelompok: senyawa polar, semi

polar dan non polar. Proses fraksinasi dilakukan apabila penyarian tahap awal

bertujuan untuk mendapatkan ekstrak total (Djamal, 1990).

Ekstrak total didapat melalui proses ekstraksi (maserasi, perkolasi, atau

sokletasi) biasanya berupa larutan encer sebelum di fraksinasi. Apabila yang

sudah dikentalkan, perlu penambahan air suling untuk membuat konsistensi

ekstrak cukup encer dan tidak menyulitkan mencegah terbentuknya emulsi.

Sebagai prasarat untuk melakukan fraksinasi adalah kandungan pelarut

pengekstrak (Djamal, 1990).

Untuk proses fraksinasi berdasarkan tingkat kepolarannya umumnya

digunakan pelarut n-heksan untuk menyari senyawa yang bersifat non polar; etil

asetat atau kloroform untuk memisahkan senyawa yang bersifat semi polar dan

senyawa yang termasuk kelompok polar difraksinasi dengan butanol. Proses

fraksinasi harus berurutan dari non polar s/d polar dan tidak boleh dibalik.

Masing-masing fraksi hasil fraksinasi kemudian dapat diperlakukan khusus atau

langsung dikeringkan dengan bantuan alat destilasi vakum atau rotary evaporator

(Djamal, 1990).

9
2.7. Senyawa Metabolit Sekunder

2.7.1.Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,

biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid umumnya

tidak berwarna, sering kali bersifat optis aktif, dan umumnya berbentuk kristal

tetapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar, misalnya nikotin

(Harborne, 1987).

2.7.2 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang tersebar ditemukan di

alam. Banyaknya senyawa flavonoid ini bukan disebabkan karena banyaknya

variasi struktur, akan tetapi lebih disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,

alkoksilasi atau glikosilasi pada struktur tersebut. Flavonoid di alam juga sering

dijumpai dalam bentuk glikosidanya. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna

merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman.

Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik serangga untuk

membantu proses penyerbukan. Fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai

penarik serangga untuk membantu proses penyerbukan serta binatang yang

membantu penyebaran biji (Sirait, 2007).

2.7.3.Terpenoid

Tepenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen

minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap,

10
diterpena yang lebih sukar menguap, sampai ke senyawa yang tidak menguap,

yaitu triterpenoid dan sterol, serta pigmen karotenoid. Kebanyakan terpenoid alam

mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil,

karbonil). Terpenoid dapat mengatur pertumbuhan, pigmen pembantu pada

fotosintesis, dan memberi bau dan wangi yang khas pada tanaman (Kar, 2013).

2.7.4.Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam

lebih dari sembilan puluh genus pada tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks

antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Banyak saponin yang

mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam

glukuronat. Adanya saponin dalam tumbuhan ditunjukkan dengan pembentukan

busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak

(Harborne, 1987).

2.7.5.Steroid

Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya

terdiri atas tujuh belas atom karbon dengan membentuk struktur dasar. Steroid

terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokannya didasarkan pada

efek fisiologis yang dapat ditimbulkan. Ditinjau dari segi struktur, perbedaan

antara berbagai kelompok ini ditentukan oleh jenis substituent R1, R2, dan R3 yang

terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan antara senyawa yang satu

dengan senyawa yang lain dari satu kelompok ditentukan oleh panjangnya rantai

11
karbon substituen, jumlah dan posisi oksigen dan ikatan rangkap pada kerangka

dasar serta konfigurasi pusat asimetris pada kerangka dasar (Harborne, 1987).

2.7.6.Tanin

Tanin merupakan senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan

berpembuluh, memiliki gugus fenol. Tanin secara kimia dikelompokkan menjadi

dua golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Sebagian besar

tumbuhan yang banyak memiliki tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan

karena rasanya yang sepat. Beberapa kegunaan tanin adalah untuk penyamakan

kulit, menjernihkan bir dan anggur, dan mordan dalam pewarnaan (Kar, 2013).

2.8. Bakteri

Sel bakteri amat beragam panjangnya. Satuan ukuran bakteri ialah

mikrometer (µm). Walaupun bakteri amat kecil ukurannya, namun dapat diukur

dengan relatif mudah serta tepat. Pemeriksaan bakteri melalui mikroskop yang

dilengkapi dengan mikrometer okular, suatu piringan yang diukir dengan garis-

garis berjarak sama, akan menampakkan garis-garis yang sudah diketahui

ukurannya di atas mikroorganisme yang diperiksa sedemikian rupa sehingga

panjang dan lebar sel dapat ditentukan dengan mudah. Sel-sel individu bakteri

dapat berbentuk seperti bola, batang, atau spiral. Masing-masing ciri ini penting

dalam mencirikan morfologi suatu spesies. Sel bakteri yang berbentuk seperti bola

dinamakan kokus. Sel bakteri berbentuk silindris atau seperti batang dinamakan

basilus. Sedangkan sel bakteri berbentuk spiral dinamakan spirilum

(Dwidjoseputra, 1987).

12
2.9. Metode Pengujian Aktivitas Antibakeri

Menurut Pratiwi (2008), metode pengujian aktivitas antibakteri dibedakan

atas 3 cara, yaitu:

2.9.1. Metode difusi

Metode difusi untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang

berisi antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen

antimikroba pada permukaan media agar.

2.9.2. Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution).

1. Metode dilusi cair

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau kadar

hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum Baktericidal Concentration) atau

kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa

adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair

tanpa penambahan mikroba uji ataupun antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24

13
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai

KBM.

2. Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba

yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.

2.9.3. Metode Bioautografi

Metode bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak

pada kromatogram hasil KLT (kromatografi lapis tipis) yang memiliki aktivitas

antibakteri, antifungi, dan antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi

dengan uji biologis.

Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi

adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun

berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk

mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat

digunakan untuk menentukan KHM dan KBM.

Ada dua macam metode bioautografi, yaitu:

1. Bioautografi langsung

Dengan menyemprot plat KLT dengan suspensi mikroorganisme ataupun

dengan menyentuhkan plat KLT pada permukaan agar yang telah ditanami

mikroorganisme. Setelah inkubasi pada waktu tertentu, letak senyawa aktif

tampak sebagai area jernih dengan latar belakang keruh.

2. Bioautografi overlay

14
Dengan menuangkan media agar yang telah dicampur dengan

mikroorganisme diatas permukaan plat KLT, media ditunggu hingga padat,

kemudian diinkubasi. Area hambatan dilihat dengan penyemprotan menggunakan

tetrazolium klorida. Senyawa yang aktif sebagai antimikroba akan tampak sebagai

area jernih dengan latar belakang ungu.

15
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2018 di

Laboratorium Sentral Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang dan

Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM)

Padang.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1.Alat

Botol gelap, kertas saring (Whatman no. 41), corong (Pyrex), erlenmeyer

(Pyrex), rotary evaporator (Hahnvapors model HS-2361N5), gelas ukur (Pyrex),

tabung reaksi (Pyrex), spatel, pipet tetes, corong pisah (Pyrex), timbangan analitik

(Mettler PM 200), vial, cawan petri (AnormAx), autoklaf (Wiseclave), inkubator

(Memmert), Laminar Air Flow (model VL 150), pipet mikro (Transferpette), hot

plate (velpscientifica), jarum ose, batang pengaduk, pinset, jangka sorong

(Advantec), kapas, aluminium foil, kain kasa, benang, perkamen.

3.2.2.Bahan

Sampel tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan paku Nephrolepis

biserrata (Sw.) Schott. Sedangkan bahan kimia yang digunakan dalam penelitian

ini adalah air suling (PT Bratacem), alkohol 96%, (PT Bratacem), kloroform (PT

Bratacem), metanol (PT Global Sindo), etil asetat (PT Bratacem), n-heksana (PT

16
Global Sindo), nutrien agar (Merck), dimetil sulfoksida (Merck), natrium

hidroksida (Merck), besi klorida (Merck), pita magnesium (Merck), natrium

klorida (Merck), asam hidroklorida (Merck), asam sulfat (Merck), asetat anhidrat

(Merck), bakteri Eschericia coli yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi

Universitas Indonesia.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1.Determinasi Sampel

Sampel tumbuhan paku yang telah diambil di Jorong Koja, Kinali, Pasaman

Barat, Sumatera Barat selanjutnya dideterminasi di Herbarium Jurusan Biologi,

FMIPA Unand untuk memastikan jenis tumbuhan uji.

3.3.2.Penyiapan Simplisia

Sampel daun dan batang tumbuhan paku Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

diambil masing-masing sebanyak 3 kg, kemudian dilakukan disortasi basah untuk

memisahkan pengotor pada simplisia sebelum pengeringan. Kemudian dilakukan

pencucian untuk menghilangkan tanah atau pengotoran lain yang masih tersisa

setelah pelaksanaan sortasi basah, dengan menggunakan air bersih. Selanjutnya

sampel dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan terhindar dari cahaya

matahari, pengeringan dilakukan selama tiga minggu hingga sampel benar-benar

kering. Sampel yang telah kering kemudian disortasi kering. Sortasi kering

dilakukan dengan memisahkan pengotoran-pengotoran lainnya yang masih ada

serta tertinggal pada simplisia kering. Kemudian dihaluskan dengan menggunakan

blender. Serbuk simplisia yang diperoleh kemudian ditimbang. Simplisia

17
disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

3.3.3.Ekstraksi

Serbuk simplisia daun dan batang dimasukkan ke dalam maserator,

kemudian ditambahkan pelarut etanol 96 % hingga serbuk simplisia terendam

seluruhnya. Direndam selama enam jam pertama sambil sekali-sekali diaduk,

kemudian didiamkan selama delapan belas jam. Dipisahkan maserat dengan cara

pengendapan, sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi. Diulangi proses penyarian

sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama.

Dikumpulkan semua maserat, kemudian diuapkan dengan penguap vakum atau

penguap tekanan rendah sehingga diperoleh ekstrak kental (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

3.3.4.Uji Fitokimia

3.3.4.1.Pembuatan Larutan Pereaksi

3.3.4.1.1.Larutan Pereaksi Mayer

Dilarutkan 1,36-1,4 gram HgCl2 dalam 60 mL air suling dan dicampur ke

dalam larutan 5 gram KI yang dilarutkan dalam 10 mL air suling. Ditambahkan

air suling sampai 100 mL (Jamal, 2010).

3.3.4.1.2.Larutan Pereaksi Wagner

Dilarutkan 1,3 gram Iodium dan 2 gram KI dalam 5 mL air suling,

ditambahkan air suling secukupnya hingga 100 mL (Jamal, 2010).

18
3.3.4.1.3.Larutan Pereaksi Dragendorf

Dilarutkan 8 gram bismuth subnitrat dalam HNO 3, campur dengan 27,2

gram KI yang dilarutkan dalam 5 mL air suling, didiamkan sampai memisah

sempurna. Diambil larutan jernih dan ditambahkan air suling secukupnya sampai

100 mL (Jamal, 2010).

3.3.4.2.Skrining Fitokimia

3.3.4.2.1.Identifikasi flavonoid

Sebanyak 0,5 mg ekstrak ditetesi beberapa tetes larutan natrium hidroksida.

Pembentukan warna kuning kuat, dengan penambahan larutan asam warna

menjadi hilang, menunjukkan adanya flavonoid (Tiwari et al., 2011).

3.3.4.2.2.Identifikasi Terpenoid-Steroid

Sebanyak 0,5 mg ekstrak ditambahkan dengan kloroform dan disaring.

Kemudian filtrat diteteskan beberapa tetes asam sulfat pekat, dikocok dan

didiamkan. Adanya warna kuning emas menunjukkan positif terpenoid (Tiwari et

al., 2011).

Sebanyak 0,5 mg ekstrak ditambahkan dengan kloroform dan disaring.

Kemudian filtrat ditambah beberapa tetes asetat anhidrat, dididihkan dan

dinginkan. Ditambahkan asam sulfat pekat. Terbentuknya cincin coklat

menunjukkan terdapat steroid (Tiwari et al., 2011).

19
3.3.4.2.3.Identifikasi Tanin

Sebanyak 0,5 mg ekstrak ditambahkan 1% larutan gelatin yang telah

ditambahkan dengan natrium klorida. Pembentukan endapan putih menunjukkan

positif tanin (Tiwari et al., 2011).

3.3.4.2.4.Identifikasi Saponin

0,5 mg ekstrak dikocok dalam 2 mL air. Jika buih yang terbentuk tidak

hilang selama sepuluh menit menunjukkan positif mengandung saponin (Tiwari et

al., 2011).

3.3.4.2.5.Identifikasi Alkaloid

Sebanyak 0,5 mg ekstrak dilarutkan dalam larutan asam hidroklorida dan

disaring. Selanjutnya untuk :

a. Mayer’s Test: Filtrat ditambahkan dengan reagen Mayer. Pembentukan endapan

kuning menunjukkan adanya alkaloid (Tiwari et al., 2011).

b. Wagner’s Test: Filtrat ditambahkan dengan reagen Wagner. Pembentukan

endapan coklat atau kemerah-merahan menunjukkan positif alkaloid (Tiwari et

al., 2011).

c. Dragendoff’s Test: Filtrat ditambahkan dengan reagen Dragendroff.

Pembentukan endapan merah menunjukkan positif alkaloid (Tiwari et al.,

2011).

20
3.3.5.Fraksinasi

Ekstrak kental etanol yang didapat difraksinasi dalam corong pisah, dengan

menambahkan metanol dan n-heksan (1:2), kemudian dikocok dan dibiarkan

sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksan dan lapisan metanol, lapisan

n-heksan dipisahkan dari metanol. Lapisan metanol dimasukkan ke dalam corong

pisah sedangkan lapisan n-heksan yang didapat diuapkan dengan rotary

evaporator dan didapatkan fraksi kental n-heksan. Lalu ditimbang dan

didapatkan berat fraksi n-heksan.

Fraksi metanol selanjutnya di fraksinasi dengan etil asetat, kemudian

dikocok dan dibiarkan sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan etil asetat dan

lapisan metanol. Lapisan metanol dan lapisan etil asetat diuapkan dengan rotary

evaporator dan didapatkan fraksi kental metanol dan fraksi kental etil asetat.

Kemudian ditimbang dan didapatkan berat fraksi etil asetat. Masing-masing fraksi

kental di uji aktivitas antibakterinya (Djamal,1990).

3.3.6. Uji Aktivitas Antibakteri

3.3.6.1. Sterilisasi

Alat-alat yang digunakan terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan.

Tabung reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, vial, dan pipet ditutup mulutnya dengan

kapas yang telah dibalut dengan kain kasa, lalu disterilkan didalam autoklaf pada

suhu 121 ˚C dan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset, jarum ose disterilkan

dengan cara diflambir di atas nyala api selama beberapa detik. Microtiterplate

disterilisasi dengan etanol 70 %, kemudian dikeringkan dan disinari dengan lampu

21
UV 5 menit, Laminar Air Flow (LAF) disemprot dengan etanol 70 % dibiarkan

selama 15 menit, dan disterilkan dengan menyalakan lampu UV selama 5 menit

sebelum digunakan. Semua pengerjaan dilakukan dengan teknik aseptis

(Dwidjoseputro, 1987).

3.3.6.2. Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)

Sebanyak 5 gram nutrient agar dilarutkan dengan 250 mL aquadest dalam

erlemeyer dan dipanaskan di atas hot plate menggunakan batang pengaduk sampai

terbentuk larutan jernih. Kemudian disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121 ˚C

tekanan 2 atm selama 15 menit. Nutrient agar kemudian dimasukkan kedalam

beberapa tabung reaksi dengan jumlah yang telah ditentukan, tabung yang telah

berisi agar diletakkan pada kemiringan 30-45 ˚. Biarkan agar menjadi dingin dan

keras (Lay, 1994).

3.3.6.3. Peremajaan Bakteri

Diambil satu koloni bakteri Eschericia coli dengan menggunakan jarum ose

steril lalu ditanamkan pada media agar miring dengan cara menggores setelah itu

diinkubasi pada inkubator pada suhu 37 ˚C selama 24 jam (Rusdi, 2010).

3.3.6.4. Penyiapan Sampel Uji

Larutan induk dibuat dengan cara menimbang 50 mg fraksi, yang kemudian

dilarutkan dalam 100 mL dimetilsulfoksida (DMSO). Dari larutan induk ini

kemudian dibuat pengenceran 30 % , 20 % , 10 % b/v. Sebagai kontrol negatif

22
digunakan larutan DMSO dan kontrol positif digunakan larutan kloramfenikol 1

% b/v.

3.3.6.5. Pembuatan Larutan Mc. farland

Larutan H2SO4 0,36 N sebanyak 99,5 mL dicampurkan dengan larutan

BaCl2.2H2O 1,175 % sebanyak 0,5 mL dalam erlenmeyer. Kemudian dikocok

sampai terbentuk larutan yang keruh. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar

kekeruhan suspensi bakteri uji (Muljono et al , 2016).

3.3.6.6. Pembuatan Suspensi Bakteri

Biakan bakteri yang berumur 24 jam diambil dari agar miring 2 ose koloni

bakteri uji disuspensikan kedalam 10 mL NaCl 0,9 % steril dalam tabung reaksi

steril. Kemudian di homogenkan dengan vortex. Kekeruhan dibandingkan dengan

Mc Farland (Muljono et al., 2016).

3.3.6.7. Uji Aktivitas Antibakteri

Sebanyak 15 mL Nutrien Agar (NA) dimasukan ke dalam cawan petri

steril, kemudian ditambahkan suspensi bakteri 3 tetes. Kemudian dihomogenkan

dengan cara menggoyang-goyangkan cawan petri yang berisi media tersebut.

Media kemudian dibiarkan padat.

Cakram steril direndam pada masing-masing larutan uji fraksi kemudian

cakram tersebut ditempelkan ke permukaan agar. Sebagai kontrol negatif

digunakan DMSO 10 µL dan kontrol positif digunakan kloramfenikol 30 µg/mL.

23
Perlakuan ini diulang sebanyak 3 kali. Kemudian cawan petri ini diinkubasi dalam

inkubator selama 24 jam pada suhu 24-27 ˚C. Kemudian aktivitas antibakteri

ditetapkan dengan mengukur diameter daerah hambat yang terbentuk dengan

menggunakan jangka sorong (Misna & Diana, 2016). Ketentuan kekuatan daerah

hambat tersebut adalah sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti

sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm

(sedang) dan daerah hambatan 5 mm (kurang), dikatakan tidak berefek (Davis &

Stout, 1971).

24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Dari hasil penelitian mengenai uji aktivitas antibakteri fraksi ekstrak etanol

dari batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott terhadap Eschericia coli

diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Hasil determinasi sampel yang diambil dari Jorong Koja, Kinali, Pasaman

Barat, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa sampel yang didapatkan adalah

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dari famili Nephrolepidaceae

( Lampiran 1, Gambar 2 ).

2. Hasil ekstraksi batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott menggunakan

pelarut etanol 96 % sebesar 3,17 gram, sedangkan hasil ekstraksi daun

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott sebesar 8,27 gram dari 350 gram

simplisia. Sehingga diperoleh rendemen batang dan daun masing-masing

sebanyak 0,91 % dan 2,36 %.

3. Hasil uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol daun Nephrolepis

biserrata (Sw.) Schott positif mengandung flavonoid, steroid, dan alkaloid.

Sementara hasil uji fitokimia ekstrak etanol batang Nephrolepis biserrata

(Sw.) Schott positif mengandung flavonoid, steroid, saponin, dan alkaloid

( Lampiran 1, Tabel 1 ).

4. Hasil fraksinasi ekstrak batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dengan

menggunakan pelarut yang ditingkatkan kepolarannya dari n-heksan, etil

asetat, dan metanol adalah 0,14 gram; 0,14 gram; dan 0,16 gram. Sedangkan

25
hasil fraksinasi ekstrak daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott diperoleh

fraksi n-heksan 0,06 gram; fraksi etil asetat 0,12 gram; dan fraksi metanol

0,05 gram.

5. Hasil pengukuran zona hambat bakteri Eschericia coli tertinggi terdapat

pada fraksi etil asetat daun konsentrasi 30 % dengan daya hambat sebesar

12,8 mm. Sedangkan zona hambat terendah terdapat pada fraksi n-heksan

batang konsentrasi 10 % dengan daya hambat sebesar 0,95 mm.

6. Kontrol positif (kloramfenikol) menghasilkan rata—rata diameter zona

hambat berkisar antara 18,4 mm sampai sebesar 27,5 mm. Sedangkan hasil

pengukuran zona hambat pada kontrol negatif (DMSO) tidak menghasilkan

zona hambat sama sekali.

4.2. Pembahasan

Sampel yang digunakan untuk penelitian ini dideterminasi di Herbarium

Universita Andalas. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang

digunakan adalah Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dari famili

Nephrolepidaceae.

Daun yang dijadikan sampel merupakan daun muda segar, dan batang yang

dijadikan sampel adalah batang sisa dari pengambilan daun yang juga berasal dari

satu tanaman. Setelah semua sampel dikumpulkan, dilakukan proses sortasi,

pencucian, perajangan, pengeringan dan penghalusan. Proses sortasi dan

pencucian dilakukan untuk menghilangkan mikroba atau pengotor, namun tidak

menghilangkan zat berkhasiat simplisia tersebut. Perajangan dilakukan untuk

mempercepat proses pengeringan sehingga mudah untuk dihaluskan. Tujuan

26
proses pengeringan ini untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,

sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan diperoleh sampel

kering.

Sampel kering dihaluskan menjadi serbuk dengan menggunakan blender.

Sampel dijadikan dalam bentuk serbuk agar proses maserasi dapat berlangsung

dengan baik, sehingga memudahkan pelarut menarik senyawa metabolit sekunder

yang terdapat dalam sampel. Sampel kering ini dikenal dengan nama simplisia.

Simplisia batang dan daun, masing-masing didapatkan sebanyak 350 gram dari 3

kg sampel tanaman Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott segar. Selama proses

penyiapan simplisisa, sampel mengalami penurunan berat yang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperti penghilangan kotoran kotoran seperti tanah yang

menempel pada sampel tanaman segar dan bagian-bagian tanaman yang tidak

diperlukan dalam sortasi kering dan sortasi basah serta menguapnya kadar air saat

proses pengeringan.

Simplisia batang dan daun dari tanaman Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

dimaserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Pelarut etanol dipakai karena

merupak pelarut universal yang mampu melarutkan sevagian besar senyawa jenis

polar, semi olar, dan non polar. Dalam maserasi digunakan perbandingan 1 bagian

sampel dan 10 bagian pelarut. Maserasi dilakukan selama 24 jam, dimana selama

6 jam pertama, sampel sesekali diaduk dalam wadah maserasi dan didiamkan

selama 18 jam berikutnya. Setelah 24 jam, sampel disaring dan diperoleh filtrat

pertama. Kemudian simplisia diremaserasi sebanyak dua kali dengan waktu

perendaman dan volume pelarut yang sama. Proes remaserasi atau maserasi ulang

27
dilakukan agar penarikan senyawa dalam pelarut lebih optimal sehingga jumlah

maserat yang diperoleh maksimal.

Berat ekstrak kental etanol 96 % yang diperoleh adalah sebanyak 3,17 gram

untuk batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Shott dan 8,27 gram untuk daun

Nephrolepis biserrata (Sw.) Shott. Sehingga diperoleh persentase rendemen

sebesar 0,91 % dan 2,36 % masing-masing untuk daun dan batang Nephrolepis

biserata (Sw.) Schott. Sebelum dilakukan fraksinasi dari ekstrak kental yang telah

diperoleh, terlebih dahulu dilakukan skrining fitokimia. Skrining fitokimia

bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai senyawa metabolit sekunder yang

terdapat dalam sampel uji, yaitu ekstrak kental etanol 96 % daun dan batang

Nephrolepis biserata (Sw.) Schott. Metabolit sekunder yang terdapat dalam daun

dan batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott tidak jauh berbeda. Masing-masing

ekstrak kental daun dan batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott mengandung

metabolit sekunder golongan senyawa flavonoid, steroid, dan alkaloid. Namun

dalam ekstrak kental batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott terdapat saponin,

yang tidak terdeteksi dalam ekstrak kental daun. Metabolit sekunder yang

terkandung dalam daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott sama dengan hasil

penelitian Astuti (2013) yang juga mengandung metabolit sekunder golongan

senyawa flavonoid, steroid, dan alkaloid.

Ekstrak kental yang diperoleh kemudian dilakukan fraksinasi. Fraksinasi

bertujuan untuk memisahkan senyawa bedasarkan tingkat kepolarannya.

Senyawa-senyawa yang bersifat non polar akan larut dalam pelarut yang non

polar, senyawa polar larut dalam pelarut polar, dan senyawa yang bersifat semi

28
polar akan larut dalam pelarut semi polar. Pelarut n-heksan yaitu pelarut non polar

yang digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa non polar seperti minyak,

karotenoid, steroid dan terpenoid. Sedangkan untuk pelarut semi polar seperti etil

asetat dapat melarutkan senyawa flavonoid aglikon (Sembiring et al., 2016).

Hasil berat fraksi yang didapatkan bervariasi, yang menunjukan adanya

perbedaan nilai fraksinasi. Hasil fraksi yang diperoleh dari ekstrak batang

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott adalah sebanyak 0,16 gram fraksi kental

metanol, 0,14 gram fraksi kental etil asetat, dan 0,14 gram fraksi kental n-heksan.

Hasil fraksi kental metanol, etil asetat, dan n-heksan yang diperoleh dari ekstrak

daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott masing-masiing adalah 0,05 gram; 0,12

gram; dan 0,06 gram. Perbedaan hasil fraksi kemungkinan karena adanya

perbedaan nilai kepolaran masing-masing golongan senyawa kimia. Sehingga

jumlah ekstrak yang tertarik dalam pelarut berbeda-beda sesuai dengan jumlah

jenis golongan senyawa yang terdapat dalam ekstrak kental daun dan batang

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott menurut kepolarannya. Namun, perbedaan

berat fraksi yang diperoleh dari masing-masing pelarut yang digunakan tidak

mempengaruhi aktivitas antibakteri (Ersita, 2016).

Metode yang digunakan dalam uji antibakteri fraksi dari ekstrak daun dan

batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott adalah metode difusi dengan

menggunakan kertas cakram. Metode difusi dipilih karena metode ini dapat

teramati dengan jelas ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri sehingga dapat

memudahkan dalam pengamatan terhadap bakteri uji. Diameter hambat

pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan adanya zona bening disekitar cakram,

29
terbentuknya zona bening disekitar cakram disebabkan karena pada daerah

tersebut pertumbuhan bakteri dihambat oleh sampel uji sehingga disimpulkan

bahwa fraksi dari ekstrak daun dan batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott

positif menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli.

Pelarut yang digunakan untuk pengenceran masing-masing fraksi adalah

DMSO (Dimetil Sulfoxide). Pelarut DMSO (Dimetil Sulfoxide) memiliki

keunggulan diantaranya dapat melarutkan senyawa baik polar maupun non polar,

selain digunakan sebagai pelarut, DMSO (Dimetil Sulfoxide) digunakan sebagai

kontrol negatif karena DMSO (Dimetil Sulfoxide) tidak memberikan diameter

hambat pertumbuhan bakteri sehingga tidak mengganggu hasil pengamatan

(Purwanto, 2015). Pada uji aktivitas antibakteri digunakan konsentrasi masing-

masing fraksi 30 %, 20 %, dan 10 %. Antibiotik pembanding yang digunakan

adalah kloramfenikol, dimana kloramfenikol ini digunakan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif ( Jawetz et al., 2007).

Pengujian aktivitas antibakteri fraksi n-heksan, etil asetat, dan methanol

daun Nephrolepis biserata (Sw.) Schott menunjukan bahwa pada konsentrasi 30

% masing-masing fraksi menunjukkan diameter hambat sebesar 4,8 mm; 12,8

mm; dan 10,55 mm. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap beberapa fraksi

menunjukkan bahwa fraksi etil asetat memberikan diameter zona hambat yang

lebih besar dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan metanol. Diduga kandungan

kimia senyawa yang bersifat semi polar seperti flavonoid yang terdapat pada

fraksi etil asetat memberikan aktivitas yang baik sebagai antibakteri, karena

aktivitas flavonoid yang merupakan salah satu golongan fenol ini mempunyai

30
aktivitas antibakteri dengan mengganggu fungsi metabolisme melalui perusakan

dinding sel dan mendenaturasi protein bakteri (Pelzar & Chan, 1998).

Sedangkan pada pengujian aktivitas antibakteri fraksi n-heksan, etil asetat,

dan metanol batang Nephrolepis biserata (Sw.) Schott menunjukan bahwa pada

konsentrasi 30 % masing-masing fraksi menunjukkan diameter hambat sebesar

3,6 mm; 3,8 mm; dan 5 mm. Fraksi metanol memiliki daya hambat terbesar

dibandingkan dengan fraksi etil asetat, dan n-heksan. Hal ini disebabkan karena

jumlah metabolit sekunder polar lebih banyak larut dalam fraksi metanol dan

tertarik dengan konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan dalam fraksi n-

heksan dan fraksi etil asetat.

Kontrol positif dengan kloramfenikol pada konsentrasi 10 mg/mL memiliki

rata-rata diameter zona hambat yang berkisar antara 18,4 mm hingga 27,5 mm,

hasil diameter zona hambat kloramfenikol lebih tinggi dibandingkan hasil

diameter zona hambat masing-masing fraksi hal ini terjadi karena kloframfenikol

bekerja sebagai inhibitor sintesis protein yang paten terhadap mikroorganisme

sedangkan kontrol negatif dengan DMSO (Dimetl Sulfoxide) tidak menimbulkan

daya hambat sama sekali. Aktivitas antibakteri dapat diukur dengan diameter zona

hambat yang dapat dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu : diameter zona

hambat <5 mm dikategorikan lemah, diameter zona hambat 5-10 mm

dikategorikan sedang, diameter zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat,

diameter zona hambat >20 mm dikategorikan sangat kuat (Davis & Stout, 1971).

Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat perbedaan luas diameter zona

hambat yang terbentuk, hal ini terlihat dari adanya variasi konsentrasi pada

31
masing-masing fraksi dan kandungan senyawa metabolit sekunder pada masing-

masing fraksi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa fraksi dengan

konsentrasi 30 % mempunyai zona hambat yang lebih besar dibanding dengan

konsentrasi 20 % dan 10 % pada semua fraksi.

32
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai uji aktivitas antibakteri fraksi

ekstrak etanol dari batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott terhadap

Eschericia coli disimpulkan bahwa fraksi ekstrak etanol dari batang dan daun

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dapat menghambat pertumbuhan bakteri

Eschericia coli dan fraksi yang memiliki daya hambat yang paling besar adalah

fraksi etil asetat dari ekstrak etanol daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

dengan konsentrasi 30 % sebesar 12,8 mm.

Ekstrak etanol batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

memiliki kandungan metabolit sekunder. Pada ekstrak etanol batang diperoleh

beberapa kandungan metabolit sekunder seperti flavonoid, steroid, saponin, dan

alkaloid. Sedangkan pada ekstrak etanol daun diperoleh kandungan metabolit

sekunder seperti, falvonoid, steroid, dan alkaloid.

5.2. Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk mengisolasi metabolit sekunder

yang terkandung pada fraksi yang memiliki daya hambat bakteri yang paling

besar, yaitu dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol daun Nephrolepis biserrata

(Sw.) Schott. Selain itu, juga disarankan agar dilakukan analisa kuantitatif dari

metabolit sekunder yang terdapat dalam batang dan daun Nephrolepis biserrata

(Sw.) Schott.

33
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. (2007). Teknologi Bahan Alam. Bandung: Penerbit ITB.

Ambrósio, S. T., Melo, N. F. (2004). Interaction Between Sucrose and pH During


In Vitro Culture of Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott (Pteridophya).
Acta bot. bras, 18, (4), 809-813.

Asakawa, Y. (2007). Biologically Active Compounds From Bryophytes. Pure


Appl Chem, 79, 557-580.

Astuti, J., Rudiyansyah, Gusrizal. (2013). Uji Fitokimia Dan Aktivitas


Antioksidan Tumbuhan Paku Uban (Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott).
JKK, 2, (2), 118-122.

Bobach, C., Schurwanz, J., Franke, K., Denkert, A., Sung, T. V., Kuster, R.,
Mutiso, P. C., Seliger, B., Wessjohann, L. A. (2014). Multiple Readout
Assay for Hormonal (Androgenic and Antiandrogenic) and Cytotoxic
Activity of Plant and Fungal Extracts Based on Differential Prostate
Cancer Cell Line Behavior. Journal of Ethnopharmacology, 155, 721-730.

Christanti, N, dkk. (2008). Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University


Press.

Citrosupomo, G. (2005). Taksonomi Tumbuhan Obat – Obatan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Citrosupomo, G. (2001). Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Dayanti, Rini dan Suyatno. (2012). Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bagian
Batang Tumbuhan Paku Nephrolepis radicans (Burm.) Kuhn. UNESA
Journal of Chemistry, 1, (1), 86-92.

Davis, W. W. & Stout, T. R. (1971). Disc Plate Method of Microbiological


Antibiotic Assay. Journal of Microbiology, 22, (4), 659-665.

de Winter, W. P. & Amoroso, V. B. (2003). Plant Resources of South-East Asia


No. 15(2). Cryptogams: Ferns and Fern Allies. Bogor: Prosea
Foundation.

Departemen Kesehaan Republik Indonesia (1974). Farmakope Indonesia IV.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

34
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Materia Medika Indonesia
Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007). Kebijakan Obat Tradisional


Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.

Djamal, R. (1990). Prinsip-Prinsip Dasar Bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan


Alam. Padang: Penerbit Universitas Baiturahmah.

Dudani, S., Chandra, S. M. D., Ramachandra, T. V. (2012). Pteridophytes of


Western Ghats. Energy & Wetland Research Group, Center of Ecological
Sciences. Indian Institute of Science.

Dwidjoseputra, D. (1987). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Malang: Djambatan.

Ensiklopedia Biologi Dunia Tumbuhan. (2012). Ensiklopedia Paku. Jakarta: PT.


Lentera Abadi.

Farnsworth, N.R. (1996). Biological and Phytochemical Screening of Plants.


Journal of Pharmaceutical Sciences, 55, (3), 225-276.

Fathima, M. Shantha, N. Rajagovindan, P, N. (2005). Botany, Higher Secondary-


First Year, Volume 1. Tamilnadu Texbook Coorporation.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan Terbitan Kedua. Bandung :Penerbit ITB.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana


Jaya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Suplemen II Farmakope


Herbal Indonesia edisi I. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan.

Jamal, R. (2010). Kimia Bahan Alam : Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan


Identifikasi. Padang: Universitas Baiturrahmah.

Kar, A. (2013). Farmakognosi dan Farmakobioteknologi,Ed. 2, Vol. 1 dan 2.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba Di Laboratorium edisi 1. Jakarta: PT Raja


Gafindo Persada.

35
Lembaga Biologi Nasional-LIPI. (1979). Jenis Paku Indonesia. Bogor: Balai
Pustaka.

Manan, F. A., Mamat, D. D., Ong, Y. S., Ooh, K. F., Chai, T. T. (2015). Heavy
Metal Accumulation And Antioxidant Proporties of Nephrolepis biserrata
Growing In Heavy Metal-Contaminated Soil. Global NEST Journal, 17
(10), 1-11.

Misna & Diana, K. (2016). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Bawang Merah
(Allium cepa L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Journal of
Pharmacy, 2, (2), 138-144.

Muljono, P., Fatmawali & Manampiring, A. E. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri


Ekstrak Daun Mayana Jantan (Coleus atropurpureus Benth) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Streptococcus sp. dan Pseudomonas sp. Jurnal e-
Biomedik (eBM), 4, (1), 164-172.

Pradita, Emmy R. I. Dan Suyatno. (2012). Senyawa Flavonoid Dari Ekstrak


Metanol Batang Nephrolepis radicans (Burm.) Kuhn dan Uji Aktivitas
Pendahuluan Antioksidan. UNESA Journal of Chemistry, 1, (2), 14-17.

Pratiwi, S. T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.

Priyanto, Agung. (2013).”Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil


Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr”. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah/Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi.

Rusdi, N. K., Sediarso & Fadila, S. H. (2010). Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi
Etanol 70 % Dari Ekstrak Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa
(Sceff) Boerl.) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans. Jurnal
Farmasains, 1, (2), 16-24.

Sari, N. M., Riastuti, R. D., Krinawati, Y. (2016). Identifikasi Keanekaragaman


Divisi Pteridophyta (Paku) Sebagai Bahan Pengembang Booklet Di
Kawasan Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas. Jurnal. STKIP PGRI
Lubuklinggau.

Shah, M. D., Gnanaraj, C., Haque, A. T. M. E., Iqbal, M. (2015). Antioxidative


And Chemopreventive Effects of Nephrolepis biserrata Against Carbon
Tetrachloride (CCl4)-Induced Oxidative Stress And Hepatic Dysfunction
In Rats. Pharm Biol, 53, (1), 31-39.

Sirait, M. (2007). Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB.

36
Soedar, R. W. (1985). Fern Constituens: Including Occurrence, Chemotaxonomy
and Physiological Activity. The Botanical Review, 51, (4), 442-536.

Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur, G., Kaur, H. (2011). Phytochemical
Screening and Extraction: A Review. International Pharmaceutica
Sciencia, 1, (1), 98-106.

Waskito, B. S. (2008). Tanaman Obat. Surakarta: Suara Media Sejahtera.

Watson, David G. (2010). Analisis Farmasi. Jakarta: Penerbit EGC.

37
Lampiran 1. Data hasil penelitian

Gambar 2. Hasil Identifikasi Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

38
Lampiran 1. (Lanjutan)

Gambar 3. Sertifikat Dimethyl sulfoxide

39
Lampiran 1. (Lanjutan)

Tabel 1. Hasil fraksi ekstrak etanol batang dan daun Nephrolepis biserrata (Sw.)

Schott

Fraksi
Ekstrak etanol
Metanol Etil asetat N-heksan

Batang 0, 164 g 0,137 g 0,135 g

Daun 0,052 g 0,118 g 0,063 g

40
Lampiran 1. (Lanjutan)

Tabel 2. Hasil uji identifikasi kandungan kimia dari Nephrolepis biserrata (Sw.)

Schott

Ekstrak etanol
Metabolit Sekunder
Batang Daun
Alkaloid + +

Flavonoid + +

Terpenoid - -

Saponin + -

Steroid + +

Tanin - -

Lampiran 1. (Lanjutan)

41
Tabel 3. Hasil uji aktivitas fraksi ekstrak etanol batang dan daun Nephrolepis

biserrata (Sw.) Schott terhadap bakteri Eschericia coli

Diameter daya hambat (mm)


Sampel Konsentrasi (%)
Metanol Etil Asetat N-Heksan

10 2,55 1,58 0,95

Batang 20 2,85 3,68 1,6

30 5 3,8 3,6

10 3,95 2,58 2,05

Daun 20 5,35 11,9 2,25

30 10,55 12,8 4,8

Lampiran 1. (Lanjutan)

42
Grafik fraksi dari ekstrak batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott terhadap

Bakteri Eschericia coli

mm
5
4.5
4
3.5
3
2.5 Metanol
2 Etil Asetat
1.5 N-Heksan
1
0.5
0
.. .
s en .. .
n en ...
Ko ns se
Ko Ko
n

Gambar 4. Grafik Hasil Diameter Zona Hambat Fraksi Dari Ekstrak Batang.

Lampiran 1. (Lanjutan)

43
Grafik fraksi dari ekstrak daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott terhadap

Bakteri Eschericia coli

mm 14

12

10

6 Metanol
Etil Asetat
4
N-Heksan
2

0
..
tr. ..
en tr. .
ns en r..
Ko ns ent
Ko ns
Ko

Gambar 5. Grafik Hasil Diameter Zona Hambat Fraksi Dari Ekstrak Daun.

Lampiran 2. Perhitungan

44
1. Perhitungan Rendemen Ekstrak Batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

Ekstrak yang didapat


% Rendemen ¿ × 100 %
Berat simplisia

3,169 g
¿ ×100 %
350 g

¿ 0,905 %

2. Perhitungan Rendemen Ekstrak Daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

Ekstrak yang didapat


% Rendemen ¿ × 100 %
Berat simplisia

8,265 g
¿ ×100 %
350 g

¿ 2,361 %

3. Pengenceran Fraksi Metanol, Etil asetat, dan N-heksan (Konsentrasi 30

%, 20 %, 10 %) Dari Eksrak Batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

Rumus:

b b
V 1 × C1 = V 2 × C2 % = x 100 %
v v

a. Fraksi metanol

b 0,16 g 16
30 % = x 100 % v= = 0,533 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,4 mL × 20 %

V1 ¿ 8 mL : 30 V1 = 0,267 mL

45
Lampiran 2. (Lanjutan)

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,2 mL × 10 %

V1 ¿ 2 mL : 20 V1 = 0,1 mL

b. Fraksi etil asetat

b 0,13 g 13
30 % = x 100 % v= = 0,433 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,3 mL × 20 %

V1 ¿ 6 mL : 30 V1 = 0,2 mL

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,1 mL × 10 %

V1 ¿ 1 mL : 20 V1 = 0,05 mL

c. Fraksi n-heksan

b 0,13 g 13
30 % = x 100 % v= = 0,433 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,3 mL × 20 %

V1 ¿ 6 mL : 30 V1 = 0,2 mL

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,1 mL × 10 %

V1 ¿ 1 mL : 20 V1 = 0,05 mL

46
Lampiran 2. (Lanjutan)

4. Pengenceran Fraksi Metanol, Etil asetat, dan N-heksan (Konsentrasi 30

%, 20 %, 10 %) Dari Eksrak Daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

Rumus:

b b
V 1 × C1 = V 2 × C2 % = x 100 %
v v

a. Fraksi metanol

b 0,05 g 5
30 % = x 100 % v= = 0,167 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,15 mL × 20 %

V1 ¿ 6 mL : 30 V1 = 0,1 mL

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,1 mL × 10 %

V1 ¿ 1 mL : 20 V1 = 0,05 mL

b. Fraksi etil asetat

b 0,1 g 10
30 % = x 100 % v= = 0,333 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,2 mL × 20 %

V1 ¿ 4 mL : 30 V1 = 0,133 mL

47
Lampiran 2. (Lanjutan)

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,1 mL × 10 %

V1 ¿ 1 mL : 20 V1 = 0,05 mL

c. Fraksi n-heksan

b 0,06 g 6
30 % = x 100 % v= = 0,2 mL
v v 30

Konsentrasi 20 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 30 % = 0,1 mL × 20 %

V1 ¿ 2 mL : 30 V1 = 0,067 mL

Konsentrasi 10 %

V1 × C1 = V2 × C2 V1 × 20 % = 0,05 mL × 10 %

V1 ¿ 0,5 mL : 20 V1 = 0,025 mL

5. Perhitungan Konsentrasi Kloramfenikol

Larutan Kloramfenikol 1 % = 1 g /100 mL 0,1 g/10 mL

Kloramfenikol ditimbang = 100 mg/250 mg × 297,3 mg

= 118,92 mg

48
Lampiran 2. (Lanjutan)

6. Perhitungan Diameter Zona Hambat Fraksi Dari Ekstrak Batang

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

Rumus :

( Dv−Dc )+( Dh−Dc)


L=
2

a. Fraksi metanol

Konsentrasi 10 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,71−o ,5 ) +(0,8−0,5)


L= L=
2 2

0,21+0,3
L= L = 0,255 cm = 2,55 mm
2

Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,78−o ,5 )+(0,79−0,5)


L= L=
2 2

0,28+0,29
L= L = 0,285 cm = 2,85 mm
2

Konsentrasi 30 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1,1−o , 5 ) +(0,9−0,5)


L= L=
2 2

0,6+0,4
L= L = 0,5 cm = 5 mm
2

b. Fraksi etil asetat

Konsentrasi 10 %

49
( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,68−o ,5 )+(0,635−0,5)
L= L=
2 2

0,18+0,135
L= L = 0,1575 cm = 1,575 mm
2

Lampiran 2. (Lanjutan)

Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,855−o ,5 )+(0,88−0,5)


L= L=
2 2

0,355+0,38
L= L = 0,3675 cm = 3,675 mm
2

Konsentrasi 30 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,9−o ,5 )+(0,86−0,5)


L= L=
2 2

0,4+0,36
L= L = 0,38 cm = 3,8 mm
2

c. Fraksi n-heksan

Konsentrasi 10 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,59−o ,5 )+(0,6−0,5)


L= L=
2 2

0,09+0,1
L= L = 0,095 cm = 0,95 mm
2

Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,61−o ,5 ) +(0,71−0,5)


L= L=
2 2

0,11+0,21
L= L = 0,16 cm = 1,6 mm
2

Konsentrasi 30 %

50
( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,89−o ,5 )+(0,83−0,5)
L= L=
2 2

0,39+0,33
L= L = 0,36 cm = 3,6 mm
2

Lampiran 2. (Lanjutan)

7. Perhitungan Diameter Zona Hambat Fraksi Dari Ekstrak Daun

Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

a. Fraksi metanol

Konsentrasi 10 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,89−o ,5 )+(0,9−0,5)


L= L=
2 2

0,39+0,4
L= L = 0,395 cm = 3,95 mm
2

Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1,02−o , 5 ) +(1,05−0,5)


L= L=
2 2

0,52+0,55
L= L = 0,535 cm = 5,35 mm
2

Konsentrasi 30 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1,5−o ,5 ) +(1,61−0,5)


L= L=
2 2

1+ 1,11
L= L = 1,055 cm = 10,55 mm
2

51
b. Fraksi etil asetat

Konsentrasi 10 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,71−o ,5 ) +(0,805−0,5)


L= L=
2 2

0,21+0,305
L= L = 0,2575 cm = 2,575 mm
2

Lampiran 2. (Lanjutan)

Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1,685−o ,5 ) +(1,685−0,5)


L= L=
2 2

1,185+ 1,185
L= L = 1,185 cm = 11,85 mm
2

Konsentrasi 30 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1,760−o ,5 ) +(1,8−0,5)


L= L=
2 2

1,26+1,3
L= L = 1,28 cm = 12,8 mm
2

c. Fraksi n-heksan

Konsentrasi 10 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,71−o ,5 ) +(0,7−0,5)


L= L=
2 2

0,21+0,2
L= L = 0,205 cm = 2,05 mm
2

52
Konsentrasi 20 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 0,72−o ,5 ) +(0,73−0,5)


L= L=
2 2

0,22+0,23
L= L = 0,225 cm = 2,25 mm
2

Konsentrasi 30 %

( Dv−Dc )+(Dh−Dc) ( 1−o , 5 ) +(0,96−0,5)


L= L=
2 2

0,5+0,46
L= L = 0,48 cm = 4,8 mm
2

Lampiran 3. Gambar penelitian

Gambar 6. Sampel tanaman Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

53
(a) (b)

Gambar 7. (a) Ekstrak kental etanol batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

(b) Ekstrak kental etanol daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.

Lampiran 3. (Lanjutan)

(a) (b)

Gambar 8. (a) Fraksi kental batang Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

(b)Fraksi kental daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott

54
Gambar 9. Laminar Air Flow (LAF) (Model VL 150)

Gambar 10. Jangka Sorong

Lampiran 3. (Lanjutan)

55
Gambar 11. Autoklaf (Wiseclave)

Gambar 12. Rotary evaporator

Lampiran 4. Skema kerja

Batang dan Daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott 350 g

+ kan etanol 96 % (3 hari)


saring

Ektrak etanol Ampas

Pekatkan dengan Rotary evaporator (hasil ditimbang).

Ektrak kental etanol

+ kan aquadest 50 mL
Fraksi dengan n-heksan, kocok.

Fraksi n-heksan Ekstrak etanol air

56
Pekatkan dengan Rotary evaporator + etil asetat
Fraksi kental n-heksan
Fraksi etil asetat Ekstrak etanol air

Pekatkan dengan Rotary + metanol


evaporator
Fraksi metanol
Fraksi kental etil asetat

Pekatkan dengan
Rotary evaporator

Uji aktivitas antibakteri Fraksi kental metanol

Gambar 13. Skema Kerja Ekstraksi dan Fraksinasi dari Nephrolepis biserrata
(Sw.) Schott.

Lampiran 4. (Lanjutan)

Disuspensikan bakteri
Eschericia coli

Medium Nutrien Agar (NA)


15 mL

Masukkan kedalam cawan petri


dan biarkan memadat

57
Cakram masing- Kontrol positif: Cakram Kontrol negatif:
masing fraksi kloramfenikol dengan Cakram DMSO
dengan konsentrasi konsentrasi 1 % diletakkan diatas
10 %, 20 %, dan 30 diletakkan diatas medium
% diletakkan diatas medium
medium

Inkubasi selama 24 jam

Hitung diameter daerah bening yang terbentuk


disekitar kertas cakram

Gambar 12. Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri

58

Anda mungkin juga menyukai