Anda di halaman 1dari 20

RESUME BUKU

Nama :Anggeline Putri Arihta br Tarigan


NIM : 190406127
Mata Kuliah : Arsitektur dan Antropologi
RTA : 3323

Judul buku: Architecture as Metaphor: Language, Number, Money

Penulis: Kojin Karatani

Penerbit: MIT Press

Tahun terbit: 1997 (cetakan kedua)

Architecture as Metaphor: Language, Number, Money memuat tentang “keinginan


terhadap asitektur” yang menurut Karatani adalah dasar dari semua Pemikir Barat serta
membahas arsitektur, filsafat, sastra, linguistik, perencanaan kota, antropologi, ekonomi-
politik, psikoanalisis, dan matematika.

Buku tersebut juga membahas Karatani yang menganalisis ikatan kompleks antara konstruksi
dan dekonsturksi, yang dengan demikian menunjuk pada model alternatif “kritik
seluler” tetapi dalam domain filsafat daripada kritik sastra atau budaya.
Seperti yang diklaim Karatani dalam bukunya, karena keinginan terhadap arsitektur secara
praktis tidak ada di Jepang, Karatani harus mengambil peran ganda yaitu; menegaskan
arsitektonis (dengan mengamati fungsi bentuk yang ditekan) dan mendorong formalisme ke
keruntuhannya (dengan menggunakan teorema ketidaklengkapan Kurt Godel). Pembahasan
Karatani selanjutnya dalam buku tersebut adalah menelusuri karya dari Christopher Alexander,
Jane Jacobs, Gilles Deluze, dan lainnya.

“Architecture, in other words, is a form of communication, and this communication is


conditioned to take place without common rules because it takes place with the other.”
(Karatani, 1995, p.127)

Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein, berasal dari kata ‘meta’ yang berarti
memindahkan atau menurunkan, dan ‘pherein’ yang berarti mengandung atau memuat. Jadi
secara etimologi, metafora dapat diartikan sebagai pemindahan makna yang dikandungnya
kepada obyek atau konsep lain sehingga makna tersebut terkandung pada obyek yang
dikenakan baik melalui perbandingan langsung maupun analogi. Penggunaan metafora ini pada
umumnya terdapat dalam suatu tata bahasa, di mana kemudian suatu kalimat tertentu jika
dimaknai secara denotatif maka akan terlihat mengandung makna yang tidak sesuai tetapi jika
dipahami secara konotatif akan menyampaikan makna lain yang sesuai dengan konteks yang
sedang dibicarakan. Namun tentu saja, tanpa konteks terkait, kalimat yang sama tetap dapat
dipahami sebagai sesuatu yang bermakna denotatif. Namun dengan demikian, ia tidak
memegang peranan sebagai sebuah metafora.

Seperti yang dinyatakan Karatani, arsitektur dapat dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi
yang selalu terkait dengan hal-hal lain di luar dirinya. Sebagai suatu bentuk komunikasi,
arsitektur sering dikaitkan dengan suatu sistem bahasa. Dengan pemahaman bahwa arsitektur
sering sekali dipahami sebagai suatu sistem bahasa yang menyampaikan makna tertentu, maka
metafora juga menjadi suatu hal yang sering dipakai sebagai pendekatan mendisain arsitektur,
terutama dalam proses menemukan bentuk geometrinya.

Pendekatan metafora dalam mendesain biasanya dilakukan dengan analogi. Dalam mencari
bentuk arsitektur ketika merancang, tidak jarang kita akan menggunakan analogi dari sebuah
benda untuk diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk arsitektur. Dengan melakukan ini, kita
seolah memindahkan karakter pada benda yang sebelumnya ke dalam arsitektur, sehingga
bentuk arsitektur yang muncul adalah penggambaran dari karakteristik tersebut. Metode ini
dilakukan dengan mengambil suatu makna tertentu yang akan ‘dibawa’ oleh suatu bentuk
arsitektur. Seringkali kemudian, bentuk arsitektural yang muncul melambangkan makna yang
dikenakan padanya tersebut.

Dalam studio perancangan dulu, seringkali ada yang mengambil suatu obyek tertentu untuk
dijadikan dasar dalam pencarian dan pengolahan bentuk arsitektural. Obyek tersebut
direfleksikan karakternya ke dalam bentuk arsitektur yang akan dihasilkan nantinya.

Buku ini dibagi menjadi 3 bagian utama yang kemudian dibagi lagi dalam bab-bab kecil yang
terus terkait satu sama lainnya.

Pada bagian satu (part one: Making) bab pertama, “The Will to Architecture”, disebutkan
bahwa “keinginan untuk arsitektur” asal-usulnya umumnya dikaitkan dengan Plato yang
dengan gagasannya mengenai metafora arsitektur. Bab ini kemudian banyak membahas
arsitektur dari segi filosofi Plato. Pemikiran barat mengenai arsitektur pada bab ini ditandai
dengan keinginan yang diperbaharui pada saat krisis. Pada bab ini juga teori-teori yang Plato
kaitkan dengan arsitektur merujuk pada istilah-istilah filosofi dan pemikiran-pemikiran
minoritas Yunani. Bagi kaum Yunani, arsitektur dianggap tidak hanya sebuah keerampilan
pengrajin tetapi juga merupakan seni yang dipraktikkan oleh mereka yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan penguasaan teknologi dan yang kemudian merencanakan proyek
dan memimpin pengrajin lainnya, istilah ini berkaitan dengan istilah arsitektur sendiri yang
dalam Bahasa Yunani Kuno adalah architectonice (architecture) terbangun dari dua kata yaitu
architectonici techne, yang signifikan dengan techne dari architectdn yang berarti arched an
tecton (pengrajin). Dalam konteks inilah dapat diketahui bahwa techne yang dimaksud bukan
hanya teknologi dalam arti yang sempit namun juga pembuatan atau disebut poiesis secara
umum. Yang kemudian Plato mendefinisikannya dengan arti aslinya yaitu poiesis yang berarti
pembuatan, penciptaan, menciptakan yang dengan kebutuhan waktu dalam proses nya. Ini
berarti juga poiesis sebagai sebuah tindakan yang menyebabkan suatu hal muncul dari non-
eksistensi menjadi eksistensi.Plato kemudian menemukan bahwa semua yang berada di bawah
naungan proses “membuat” dapat menjadi sesuatu penahan “yang akan jadi/ menjadi”.

Selaras dengan pernyataan Plato pemikiran Yunani Kuno juga terbagi menjadi dua grup
pemikiran. Di satu sisi, evolusionis menganggap dunia sebagai kehidupan, atau bentuk
/organisme yang tumbuh. Disisi lain creationists menganggap dunia sebagai karya seni yang
dirancang. Dua hal ini dapat mewakili dua pandangan dunia seperti yang dikatakan plato
mengenai “membuat” dan “menjadi” yaitu satu sisi pemikiran memahami bahwa dunia adalah
apa yang akan jadi (“becoming”) dan lainnya memahami dunia merupakan produk dari proses
“membuat”(“making”). Di bab ini juga Plato banyak mengkaitkan pemikiran Yunani terhadap
keterkaitan arsitektur dan matematika.

Pada bab kedua, “The Status and form”, pada bab ini banyak menyinggung keterkaitan
teori-teori matematikawan dan hubungannya dengan arsitektur. Pendapat-pendapat yang
diambil merupakan pendapat Edmund Husserl yaitu seorang filsuf modern yang awalnya
merupakan seorang ahli matematika. Baginya matematika formal dapat membatalkan
pembagian seperti ilmu alam dan budaya serta studi umum dan filsafat yang kemudian Husserl
mengantisipas bahwa matematika formal pada akhirnya dapat merusak bidang filsafat. Yang
kemudian diketahui bahwa sejak awal penelitian Husserl selalu akan disertai dengan
pertanyaan “Apa yang tersisa untuk filsafat (atau filsuf)?”. Pemikiran Husserl inilah yang
kemudian menjadi premis asal “Krisis” Husserl. “Krisis” Husserl ini kemudian menghidupkan
kembali pemikiran-pemikiran Plato tetapi juga menegaskan fakta bahwa rasionalisme Barat
adalah sebuah proyeksi. Dalam pemikiran Barat, yang terpenting bukanlah pembangunan
pengetahuan itu sendiri tetapi juga keinginan untuk arsitektur yang diperbaharui pada setiap
krisis yang tidak lain merupakan pilihan yang tidak rasional. Tetapi kemudian Martin
Heidegger menentang kebangkita kembali dari pemikiranpemikiran ini. Pertanyaan-pertanyaan
mengenai filosofi muncul pada bab ini begitu juga dengan adanya pemikiran Derrida yang ikut
serta mengkritik pemikiran Husserl. Derrida dalam pemikirannya memunculkan pertanyaan
mengenai apa yang memungkinkan filsafat bertahan begitu lama. Pertanyaan filosofis-filosofis
seperti ini untuk menjawabnya akan pasti berhadapan dengan pilihan Plato lagi.

Pada bab ketiga, “Architecture and Poetry” atau Arsitektur dan Puisi, pada bab ini
menceritakan mengenai Plato yang mengasingkan para penyair dari negaranya karena mereka
tidak memahami produk ciptaan mereka sendiri yang menurut Plato akan merusak Bahasa.
Namun, pengasingan yang dilakukan Plato terhadap penyair sebaliknya membuat puisi
berakhir menjadi bagian dari filsafat. Para penyair mengambil alih posisi Plato yang awalnya
menggulingkan mereka. Seperti penyair Poe yang berupaya mengkonstruksi puisi secara
rasional. Kemudia penyair Valtry dalam karyanya Eupalinos, mendefinisikan penyair sebagai
seorang arsitek. Hal-hal tersebut membuat para penyair dapat kembali dengan bersenjatakan
keinginan Platonis terhadap arsitektur.

Lalu kemudian pembahasan pada bab ini berlanjut pada pembahasan mengenai kompleksitas
pembentukan struktur benda secara alami yang kemudian disandingkan dengan bentuk yang
ada pada proses pembuatan yang dilakukan manusia. Kemudia ValCry mencatat bahwa ciri
buata manusia ditemukan dalam kesederhanaan strukturnya dibanding dengan struktur
materialnya. Sama seperti ketika struktur sebuah karya sastra dipahami ia akan selalu lebih
sederhana dari text itu sendiri.

Pada bab empat, “Natural City”, selanjutnya membahas mengenai kota alami. Pada bab ini
Valcry memaparkan mengenai “Making” (membuat) sesuatu yang selalu melebihi struktur. Ia
berusaha mendekati pemikiran kemustahilan arsitektur dari posisi konstruksi dibanding dengan
ia memakai pemikirannya sebagai seorang penyair yang meggunakan imajinasi puitis.

Apa yang kita kenali dalam bahasa lisan bukanlah perbedaan suara dalam diri mereka sendiri
tetapi perbedaannya penggunaan yang mereka gunakan oleh bahasa, yaitu, perbedaan yang
meskipun tanpa makna dalam dirinya sendiri, digunakan untuk membedakan satu dari entitas
lain pada tingkat yang lebih tinggi (mor-phemes, words). Pola suara tidak sama dengan suara
ucapan: itu adalah bentuk yang bisa ada secara berbeda hanya jika klasifikasi meta-level yang
lebih tinggi dianggap. Hal yang sama bisa dikatakan dengan memperhatikan morfem, kata, dan
klausa; masing-masing sama dapat diekstraksi sebagai bentuk diferensial hanya jika level yang
lebih tinggi telat ditetapkan sebelumnya untuk setiap klasifikasi.

Lalu pada bab lima dan enam, “Structure and Zero” & “Natural Number”, masi berkaitan
dengan gambaran-gambaran struktur alami kota yang digambarkan Alexander dengan memuat
grafik-grafik pohon. Pada bab lima banyak mendeskripsikan pemulaan bentuk munculnya nol
yang kemudia dikaitkan dengan dasar sebuah struktur yang lalu kemudian pada bab enam akan
dilanjutkan dengan pemikiran mengenai arsitektur dalam penggambaran suatu keterbentukan
angka di matematika. Kemudian pada bagian dua (Part two: Becoming) metode pembahasan
masi sama seperti pada bagian 1 dengan sub bab bahasannya antara lain adalah Natural
Language, Money, Natural Intelligence, Schismogenesis, Being, dan The Formalization of
Philosophy yang terbagi ke dalam 6 bab (tujuh sampi dua belas). Lalu pada bagian tiga (Part
Three: Teaching and Selling) terdapat 9 bahasan dalam 9 sub bab yaitu Solipsism, The
Standpoint of Teaching, Architecture as Metaphore, On Rules, Society and Community, The
Linguistic Turn and Cogito, Selling, Merchant Capital, dan Credit.

Bagian Kedua “Becoming”


Pada subbab yang ke tujuh yaitu “Natural Language” menyatakan bahwa bilangan
pembuktian Gadel berperan penting dalam penelitian ini karena ia memperkenalkan bilangan
asli sebagai bilangan yang merujuk pada dirinya sendiri,, proses formalisasi bahasa alami
membuat kita sadar bahwa upaya untuk melakukannya sendiri dimungkinkan oleh bahasa
alami.

Bahasa pada dasarnya bukan hanya sistem diferensial (formal), tetapi sistem yang mengacu
pada diri sendiri, sistem relasional - sistem yang berbeda dengan dirinya sendiri. Sistem formal
referensi sendiri - atau sistem diferensial self-differential - tidak memiliki basis dan pusat; itu
multisenter dan berlebihan. Ada kemungkinan bahwa di tengah usahanya untuk memformalkan
bahasa, Saussure menjadi sadar akan ketidakmungkinannya. Hal ini kemudian mendapat
perhatian dalam konteks kritik post strukturalisme terhadap strukturalisme. Jika diformalkan,
upaya untuk mendorong penandaan tekstual ke titik keragu-raguan dengan menempatkan
penandaan lain, tampaknya melawan penandaan dalam teks yang sama menghasilkan bukti
Godel.

Pada sub bab yang ke 8 dengan judul “Money” Marx memulai dengan hal kapital dengan
bagian berikut: "Kekayaan masyarakat di mana mode produksi kapitalis berlaku muncul
sebagai 'kumpulan' komoditas yang sangat besar [ungeheure Waarensammlzcng]; komoditas
individu muncul sebagai 'bentuk' dasarnya. Bentuk nilai relatif dari linen mengandaikan bahwa
beberapa komoditas lain menghadapinya dalam bentuk yang setara. Marx membahas bentuk
umum dari nilai atau bentuk uang - munculnya komoditas sebagai pusat transendental - seolah-
olah itu adalah kebutuhan logis. Namun, urutan deskripsi ini terbalik, karena dunia yang
diselesaikan oleh bentuk umum nilai atau bentuk uang - yang di atasnya sekolah ekonomi
klasik beroperasi - tidak lain adalah efek dari sentralisasi "total atau bentuk nilai yang diperluas,
"seolah-olah, dari sistem polisistem rizomatik. Marx mengembangkan "teori himpunan"
dengan memperlakukan kapital itu sendiri, dan karena itu, uang itu sendiri, sebagai komoditas.

Dengan demikian, bukanlah keumuman tetapi ketidakterbatasan uang yang menarik perhatian
Marx. Uang tidak boleh dianggap sebagai ukuran nilai secara umum, melainkan sebagai
komoditas yang dapat ditukar tanpa syarat.

Komunikasi biasanya dipahami sebagai model di mana pembicara yang ideal dan pendengar
yang ideal bertukar pesan melalui kode umum. Modelnya isomorfik dengan model ekonomi
klasik dan neoklasik. Meskipun Saussure menggunakan contoh dari bahasa nasional seperti
Prancis dan Inggris, bahasanya jelas berbeda dari bahasa sebenarnya. Dengan memperkenalkan
konsep bahasa, Saussure berusaha menyangkal bahasa yang merupakan aparatus ideologis
dalam melayani negara bangsa modern. Langue awalnya ditemukan sebagai sistem diferensial
yang akan membedakan indra, secara individual, selama mereka sudah ada untuk subjeknya.
Karena alasan itu, dan sejak awal, tidak mungkin membuat bahasa "dinamis". karakteristik
akan menyebabkan patologi diklasifikasikan sebagai hizofrenia Dalam Zen Buddhisme ada
gaya pengajaran di mana guru memegang tongkat di atas kepala murid dan berkata dengan
keras, "Jika Anda mengatakan tongkat ini nyata, saya akan memukul Anda dengan itu .

Lalu, pada sub bab ke sebilan adalah “Natural Intelligence” atau Kecerdasan Alami,
komunikasi biasanya dipahami sebagai model dimana pembicara ideal dan pendengar ideal
bertukar pesan melalui kode umum. Model ini isomorfik dengan model ekonomi klasik dan
neoklasik. Kemampuan kita untuk menertawakan ketidakpastian dari sitkom menyiratkan
bahwa kita berdiri di meta-level. Situasi yang lebih serius disaksikan dengan penderita
skizofrenia, yang hidupnya dikondisikan oleh ketidakmampuan untuk memutuskan. Meskipun
dalam logika formal ada upaya untuk mempertahankan diskontinuitas antara kelas dan
anggotanya, pada sub bab ini berpendapat bahwa dalam psikologi komunikasi nyata.

Selanjutnya, pada sub bab sepuluh yaitu “Schismogenesis” dimana Jane Jacobs
memandang batasan tata kota dengan cara yang berbeda dari Alexander. Pertama-tama dia
dengan berani menegaskan, "Kota pertama-tama pembangunan pedesaan nanti," 'bertentangan
dengan gagasan bahwa pengembangan pertanian atau desa pedesaan memunculkan kota,
sebuah gagasan yang telah dominan sejak Adam Smith. Jacobs mengatakan bahwa ketika D
(pembagian kerja suatu pekerjaan) ditambahkan ke A (aktivitas baru), peningkatan
(diversifikasi) terjadi; diformulasikan sebagai D + A = nD. prosesnya penuh kejutan dan sulit
diprediksi-mungkin memang begitu tak terduga- sebelum itu terjadi. Tetapi, Yang pasti,
prosesnya penuh kejutan dan sulit diprediksi (mungkin tak bisa diprediksi) sebelum itu terjadi.
Tapi Faktanya, setelah barang atau jasa tambahan ada, penambahan mereka biasanya terlihat
sangat logis dan "alami".

Selain itu pendapatnya mengenai "Kota embrionik" tidak dapat dibuktikan kebenarannya
dengan data arkeologi, juga tidak dapat disimpulkan melalui pengamatan masyarakat tidak
beradab karena, tidak seperti masyarakat tidak beradab yang ada, yang secara struktural stabil
dan sistem yang seimbang, pada dasarnya ia tidak seimbang, berlebihan, dan terbuka tanpa
arah. Jacobs mengutamakan kota daripada pertanian karena kota tersebut mengakui sistem
diferensial diri sebagai preseden formal. Jacobs menulis, "Dengan cara seperti itu, saya pikir,
pemahaman kita tentang kota, dan juga perkembangan ekonomi secara umum, telah terdistorsi
oleh dogma keunggulan pertanian." Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa bahkan Marx
terpengaruh oleh dogma Adam Smith. Karena Smith tidak fokus pada sebelumnya struktur
kelas atau kasta masyarakat melainkan di pabrik atau spesialisasi di pabrik yang muncul selama
revolusi industri di Inggris, dia melihat masyarakat sebelumnya sebagai sistem pembagian
tenaga kerja.

Lalu pada subbab selanjutnya terdapat judul Being, dan The Formalization of
Philosophy yang terbagi ke dalam 6 bab (tujuh sampi dua belas). Lalu pada bagian tiga
(Part Three: Teaching and Selling) terdapat 9 bahasan dalam 9 sub bab yaitu Solipsism,
The Standpoint of Teaching, Architecture as Metaphore, On Rules, Society and
Community, The Linguistic Turn and Cogito, Selling, Merchant Capital, dan Credit.
Ketika pandangan transenden ini melihat ke masa lalu, sejarah asal-usulnya menjadi fitur
terpenting dari sejarah itu menulis. dalam masyarakat tertentu, bentuk produksi yang mendasar
adalah pembagian kerja spontan yang secara bertahap merayap dan tidak berdasarkan
rencana yang telah terbentuk sebelumnya, di sanalah produknya. sosialisme adalah, pertama
dan terutama, kendali dari Natzlmiichsigkeit, atau dorongan anarkis masyarakat.
perkembangan divisi tersebut tenaga kerja di bidang manufaktur adalah proses kontingen di
mana diferensiasi yang sama dan hubungan perbedaan melintang terus- menerus terjadi. Engels
secara konsisten menentang kekuatan Natzlmiichsigkeit yang tidak terkendali, sementara Marx
menegaskannya. Dalam The German Ideology, Marx mengembangkan catatan tentang
pembagian kerja (diferensiasi) dan hubungan (hubungan kebetulan dan transversal) dan bukan,
seperti yang diasumsikan banyak orang, penjelasan tentang "prioritas pertanian". Descartes
menegaskan bahwa kepastian hanyalah mimpi yang dipupuk dalam komunitas Eropa ini.
Karena itu, dia berusaha untuk mendasarkan metodenya pada sesuatu yang lebih substansial.

Deskriptif akan mereduksi "individu" menjadi kumpulan predikat atau kumpulannya. Ini
adalah pengurangan yang terjadi dalam rangkaian kekhususan-umum. Strukturalisme, juga,
beroperasi dalam sirkuit ini: ia mereduksi teks menjadi sekumpulan aturan transformasional.
Singularitas individu terwujud dalam nama yang tepat karena singularitas - sebagai perbedaan
dari partikularitas tidak dapat direduksi menjadi kumpulan himpunan apa pun, menjadi umum
apa pun. Kritikus Descartes biasanya menyebut sebagai bagian dari kritik mereka baik bahasa
atau dialog.

Beberapa kritikus mungkin menyarankan bahwa hanya ada bentuk opsional (penanda), yang
kemudian menghasilkan percabangan dari subjek atau pengertian / rujukan internal. Kritik lain
terhadap Descartes menekankan pentingnya dialog. Rescher, mengkritik "perspektif egosentris
dari epistemologi modern sejak Descartes," menulis: "Para skeptis pada dasarnya muncul
sebagai tidak mau mematuhi aturan dasar bukti yang mengatur pengelolaan musyawarah
rasional di sepanjang garis yang ditetapkan." Inti dari keraguan Cartesian dapat ditemukan
dalam penolakannya untuk direduksi menjadi universalisme atau relativisme. Tidak peduli
seberapa kritis kita terhadap Descartes, kita menemukan diri kita, meskipun dalam konteks
yang berbeda, menempati posisi yang sama seperti yang dia lakukan sehubungan dengan
masalah ini. mari kita kembali ke bukti Descartes tentang keberadaan Tuhan: Saya ragu karena
saya tidak sempurna dan terbatas yang dengan sendirinya merupakan bukti (bukti) bahwa yang
lain (Tuhan) yang sempurna dan tak terbatas itu ada. Spinoza mengubah Descartes. Paul
ValCry mengatakan cogito adalah nama lain untuk Descartes, menyiratkan bahwa singularitas
Descartes tidak relevan dengan individualitas atau diri yang berlaku untuk semua.

Catatan penulis
Saya ingin menambahkan beberapa komentar tentang Kant. Tidak ada keraguan bahwa Kant
mengkritik cogito ergo sum Cartesian sebagai sebuah parallogisme, dan selanjutnya
berpendapat bahwacogito hanyalah "subjek pemikiran transendental = X", yang terkait dengan
fungsi spekulatif dari asal mana pun. Setelah mengkritik / meneliti alam individu fakultas
dalam pengenalan manusia "kemampuan kognitif kita", "kemampuan keinginan", dan
"perasaan senang atau tidak senang, dan Kant menyatakan bahwa" kritik "itu sendiri tidak
termasuk dalam salah satu dari ini. kategori. Tidak tepat bagi Husserl untuk mengklaim bahwa
Kant telah kehilangan pandangan akan masalah subjektivitas transendental yang telah
dipahami dengan begitu kuat oleh Descartes. Apa yang bahkan lebih penting adalah bahwa
Freud menunjukkan bahwa alam bawah sadar hanya ada dalam hubungan asimetris dengan
yang lain: Alam Bawah Sadar tidak ada untuk pasien atau dokter saja, tetapi hanya untuk
hubungan antara dokter dan pasien; itu hanya ada dalam penyangkalan pasien (perlawanan).
Dalam pengetahuan Freud tidak pernah melepaskan cengkeramannya pada hubungan ini
dengan yang lain; dalam pengertian ini metodologi Freud membedakan dirinya dari pendekatan
fenomenologis (introspektif).

Di sini kita melihat pengakuan Freud tentang batasan psikoanalisis. Namun, ini tidak
menunjukkan ketidakmampuan: psikoanalisis Freudian tidak menyerah pada pengakuanlain
yang tidak bisa dimasukkan ke dalam diri. Sangat mengherankan bahwa Freud menganggap
penting untuk menagih pasiennya dengan harga tinggi agar mereka secara berkala "mengingat"
bahwa ketentuan hubungan mereka bukanlah yang akrab tetapi bersifat bisnis.

Uang bukan hanya bagian lain dari terapi. Para psikoanalis mencari nafkah dengan bekerja:
bukan karena dokter meminta agar pasien disembuhkan, melainkan karena pasien
disembuhkan sehingga dokter bisa untung. Aneh bahwa aspek uang ini diabaikan. Selain itu,
Freud mengambil posisi yang sama terhadap murid-muridnya seperti yang diambil Socrates:
dia tidak menagih mereka untuk analisis pendidikannya, dan hubungan bebas biaya ini pada
akhirnya membentuk sekelompok identifikasi erotis esoterik.

Bagi Aristoteles tidak ada nilai umum yang tetap dalam komoditas, dan dengan demikian tidak
ada dasar rasional sebagai gantinya. Apakah suatu komoditas dalam bentuk relatif atau
kebalikannya, bentuk padanannya, sepenuhnya bergantung pada posisi aktualnya dalam
ekspresi nilai. Artinya, itu tergantung pada apakah itu komoditas yang nilainya diekspresikan,
atau komoditas di mana nilai diekspresikan.

Pada titik ini, keduanya bisa muncul sebagai bentuk yang setara - ini menyiratkan fakta penting
bahwa pemilik setiap komoditas bermaksud mengambil posisi membeli dan menghindari posisi
jual. Marx merinci "perkembangan" dari bentuk nilai sederhana ke bentuk nilai umum di mana
komoditas khusus secara eksklusif menempati bentuk yang setara, mendorong setiap
komoditas lain menjadi bentuk nilai relatif. kemisteriusan bentuk ekuivalen, yang hanya
mempengaruhi visi borjuis kasar dari kabut econo politik ketika ia menghadapi dia dalam
bentuknya yang berkembang sepenuhnya, yaitu uang. Tujuan Marx bukanlah untuk mengkritik
sifat ilusi uang; ini telah dicapai oleh para ekonom klasik, karena uang adalah ukuran nilai tetap
(waktu kerja) dari suatu komoditas atau alat sirkulasi. Kerangka teoritis Marx sangat berhutang
pada ekonomi klasik. Dalam "kritiknya" terhadap ekonomi politik, Marx menilai kembali
masalah-masalah yang termasuk dalam ekonomi pra-klasik - sifat kapitalisme pedagang yang
secara inheren bermasalah. Selama krisis yang berulang secara berkala selama era ekonomi
klasik, fenomena meninggalkan komoditas demi uang bukanlah "ilusi" tetapi fakta.

Kekuatan pendorong kapitalisme kemudian adalah produksi material (properti atau nilai guna);
karenanya, motif menimbun emas (uang) ditolak karena dianggap tidak etis dan tidak wajar.
Marx menemukan seorang kikir yang benar-benar menjalani fetisisme uang ini. Memiliki uang
sama dengan memiliki "hak istimewa sosial", yang dengannya seseorang dapat menukar apa
pun, kapan pun, di mana pun. nilai guna tidak boleh diperlakukan sebagai tujuan langsung dari
kapitalis; juga tidak boleh untung dari satu transaksi apa pun. Tujuannya adalah gerakan
mencari keuntungan yang tak henti-hentinya. Motivasi pergerakan modal pedagang sama
dengan dorongan menabung (money fetishism) orang kikir. Menabung uang untuk modal
pedagang adalah simpanan material, meskipun tampak bukan sebagai akumulasi berbagai
produk dari berbagai tempat, melainkan sebagai perluasan proses sirkulasi atau proses produksi
dan konsumsi.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang kapital industri, tidak bertujuan untuk meningkatkan
properti (nilai guna), seperti yang dipikirkan oleh ilmu ekonomi klasik. Antropologi ekonomi
- bidang yang memahami asal mula uang sebagai peristiwa religius - mengkritik sudut pandang
Marx sebagai modernis. lembaga kredit, yang muncul bersamaan dengan perluasan sirkulasi
secara naturwiichsiges, memperluas sirkulasi itu sendiri. Sistem kredit mempercepat dan
mengabadikan siklus pergerakan modal, karena dengan sistem ini para kapitalis dapat memulai
investasi baru tanpa harus menunggu hasil dari siklus MCM. Namun, fakta bahwa asal mula
kredit bersifat naturwiichsiges berarti tidak memiliki landasan rasional. Inti dari kredit terletak
pada penghindarannya dari krisis yang melekat pada posisi jual

Penundaan krisis saat ini hingga beberapa waktu mendatang. Meskipun pada akhirnya saldo
harus dibayar dengan uang, itu selalu bisa ditunda. Penundaan sementara ini dalam arti
membalikkan pergerakan modal MCM. Kredit memaksakan pergerakan modal tanpa batas
waktu pada saat yang sama mempercepat peningkatan modal sendiri dan menghilangkan
bahaya yang terlibat dalam penjualan. Dilihat secara agregat, pergerakan modal sendiri harus
menanggung penundaan yang tidak terbatas dari penyelesaian sebagai manuver sementara.
Seperti yang mungkin sudah terbukti, proses ekonomi tidak sama dengan yang disebut
infrastruktur. Ini lebih merupakan proses religius di mana akhirnya ditangguhkan tanpa batas
waktu. Dan apakah itu salah satu kapitalisme atau agama, krisis sebenarnya adalah pertukaran
atau komunikasi dengan yang lain. Apakah ekonomi, agama, atau lainnya, kritik metafisika
apa pun yang mencoba untuk membubarkan krisis dalam mekanisme teoretisnya dengan
demikian sama tak tertahankan.

Bagi Hegel, sejarah dunia adalah realisasi diri dari Ide, dan bagi banyak orang, Marxisme
hanyalah varian dari itu. Mungkinkah apa yang telah terjadi sejak itu 1989 adalah disintegrasi
Ide? Kupikir tidak. Sebaliknya jenis baru Hegelian Ide dari sejarah dunia, kali ini
bermanifestasi sebagai "akhir sejarah", telah muncul: tercapai pencerahan, berjudul
"komunika- tive rasionalitas, "dan sinisme itu mencemooh Ide mana pun (hanya karena
memang begitu telah dirugikan olehnya). terbukti secara teoritis dan tidak boleh direalisasikan
"secara konsisten". Setelah Kant, 'benda- dalam-dirinya' umumnya diabaikan oleh para filsuf,
kemudian muncul posisi Hegelian bahwa Idee realistis dan yang nyata adalah ideasi. Tidak
peduli seberapa materialistisnya dia, Marx, di awal karirnya, masih tergolong dalam sistem
Hegelian ini. "Filsafat tidak dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa transendensi [Aufhebung]
dari proletariat, dan proletariat tidak dapat melampaui dirinya sendiri tanpa realisasi
[Verwirklichung] filsafat."

Frasa ini menyiratkan kausalitas di mana filsafat ( Ide) realistis dan real (proletariat) adalah
ideasi. dimulai dengan Ideologi Jerman, kritik Marx terhadap Hegel membuat penarikan
radikal dari pembalikan materialistik ini; sementara Althusser menyebutnya sebagai
"pemutusan epistemologis" Ideologi Jerman mengungkapkan wacana Hegelian ini hanya
sebagai Schein. Lagipula, Marx menunjukkan bahwa semua wacana hanya mungkin sebagai
seorang Schein: ini dimungkinkan dengan menempatkan sejarah sebagai "benda-dalam-
dirinya". Marx tidak menyangkal Idee tanpa syarat. Sebaliknya, dia mengakui bahwa itu
memiliki keniscayaan tertentu, bahkan mengakui bahwa, secara teoritis, itu adalah Schein. Apa
yang dia tolak adalah fungsi "konstitutif" dari Idee; ia secara konsisten mengkritik "program
yang diberikan untuk pengembangan masyarakat masa depan. Marx bersikeras mengkritik
penggunaan nalar "konstitutif", semacam nalar yang dipraktikkan oleh komunisme yang
dimulai pada Revolusi Rusia.

Runtuhnya komunisme, bagaimanapun, tidak menyebabkan kehancuran total dari Idee, karena
Idee, sejak awal, hanyalah seorang Schein. Dan apapun jenis Idee yang dikhotbahkan sebagai
penggantinya, mereka juga hanyalah Schein. Penderitaan religius sekaligus merupakan
ekspresi dari penderitaan yang nyata dan protes terhadap penderitaan yang nyata. Penghapusan
agama sebagai kebahagiaan illzfiory rakyat adalah tuntutan untuk kebahagiaan sejati mereka.
Menyerukan kepada mereka untuk melepaskan ilusi mereka tentang kondisi mereka sama
dengan memanggil mereka untuk melepaskan kondisi yang membutuhkan ilusi. Marx mencoba
untuk mengatakan bahwa tidak mungkin membubarkan agama apapun kecuali "penderitaan
nyata" yang menjadi dasar setiap agama dibubarkan.

Agama, meskipun sebagai Scbein, memiliki kebutuhan tertentu sebagaimana manusia adalah
keberadaan kepasifan (pathos); ia berfungsi "secara teratur" sebagai protes terhadap realitas,
jika bukan "konstitusi" dari realitas.Dalam sebanyak tiga terjemahan teks bahasa Inggris,
poiesis diterjemahkan sebagai puisi; Namun, agar lebih tepat dan sesuai dengan konteks dalam
volume saat ini, saya telah menggantinya. Banyak filsuf setelah Kant, bagaimanapun,
menghilangkan "benda-dalam-dirinya” karenanya munculnya pendirian Hegelian yang
menegaskan bahwa lde (gagasan) itu realistis dan yang nyata itu ideatis.
Pengantar Edision Bahasa Inggris

1. Plato, Simposium, trans. Walter Hamilton (Harmondsworth, Inggris: Penguin, 1951),


85. Catatan Penerjemah: Dalam sebanyak tiga terjemahan bahasa Inggris teks, poiesis
diterjemahkan sebagai puisi; namun, untuk lebih tepat dan sesuai dengan konteks dalam
volume saat ini, saya telah mengganti 'puisi' dan 'penyair' dengan Ipoiesis] dan
[kreator].

2. See Edmund Husserl, L'origine de la giomitrie, diterjemahkan dengan pengantar oleh


Jacques Derrida, Epimethte, Essais Philosophiques, Collection fondet par Jean
Hyppolite (Paris: Presses Universitaires, 1962). Terjemahan bahasa Inggris: Jacques
Derrida, Edmund "Origin of Geomeq" Hwserl: An Pendahuluan, terjemahan. John P.
Leavey, Jr. (Lincoln: Universitas- Sity of Nebraska Press, 1962).

3. Karl, Marx dan Friedrich Engels, Ideologi Jerman, Bagian Satu, ed. C.J.Arthur (New
York: Penerbit Internasional, 1947), 54.

4. Edward W. Said, Dunia, Teks, dan Kritikus (Cambridge, Mass .: Harvard University
Press, 1983), 3- 4.

5. Ludwig F. Wittgenstein, Komentar di Yayasan Matematika, ed. G. H. von Wright, R.


Rhees, dan G. E. M. Anscombe, trans. G. E. M. Anscombe (Cambridge, Mass .: MIT
Press, 1978), 383.

6. Ludwig F. Wittgenstein, Penyelidikan Filsafat, 2d ed., trans. G. E. M. Anscombe (New


York: Macmillan, 1958), 39e.

7. Banyak filsuf setelah Kant, bagaimanapun, menghilangkan 'hal-dalam-dirinya sendiri';


oleh karena itu munculnya sikap Hegelian yang bersikeras bahwa ldee (ide) realistis
dan yang sebenarnya adalah identik.

8. Immanuel Kant, Critique of Aesthetic Jedgement, trans. James Creed Meredith


(Oxford: Clarendon Press, 1911), 5.
Sanitasi (Daftar Pustaka)

Bagian satu, The Will to Architecture

1. Plato, Simposium. Lihat juga catatan 1 di Pengantar Edisi Bahasa Inggris, di atas.

2. Francis MacDonald Cornford, The Unwritten Philosophy a7zd Other Essays (Cambridge:
Cambridge University Press, 1950), 83-88.

3. Lihat Alfred North Whitehead, Science and the Modem World: Lowell Lectures, 1925 (New
York: Macmillan, 1925).

4. Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, The Anti-Christ, trans. R.J.Hollingdale (New
York: Penguin, 1968), 33.

5. Karl Popper menempatkan asal mula partai Marxis di negara bagian yang berada di bawah
kedaulatan filosofi Platonis dan asal mula negara dalam teokrasi Mesir. Lihat Popper's The
Open Society and Its Enemies (London: Routledge, 1945).

6. Sigmund Freud, Moses and Monotheim, trans. Katherine Jones (New York: Vintage, 1939).

7. Friedrich Nietzsche, Filsafat di Zaman Tragis Yunani, trans. Marianne Cowan (Chicago:
Regnery, edisi Gateway, 1962).

8. Friedrich Nietzsche, "Tentang Kebenaran dan Kebohongan," Friedrich Nietzsche tentang


Retorika dan Bahasa, ed. dan trans. Sander L.Gilman, Carole Blair, dan David J. Parent (New
York: Oxford University Press, 1989), 2SO-25 I.

Bagian dua The Status of Form

I. Jacques Derrida, Edmund Husserl’s "Origin of Geometry": An Introduction, trans. John P.


Leavey, Jr. (termasuk Husserl's "Origin of Geometry ," terjemahan David Carr) (Lincoln:
University of Nebraska Press, 1962).

2. Edmund Husserl, Krisis Ilmu Pengetahuan Eropa dan transcendental Phenomenology, trans.
David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 48-49

3. Edmund Husserl, Investigasi Logis, vol. 1, terjemahan. J. N. Findlay (London: Routledge &
Kegan Paul, 1982), 244.

4. Husserl, Investigasi Logika, vol. 1, 244.

5. Ibid., 353.
6. Ibid., 350.

7. Ibid., 350.

8. Martin Heidegger, "The End of Philosophy and the Task of Thinking," Basic Writings, ed.
David F. Krell (New York: Harper & Row, 1977), 374.

9. Ibid., 376.

lo. Ibid., 378.

11. Catatan Penerjemah: Meskipun ab-pndig juga berarti abyssal, dan Ab-pndlichkeit
"abyssalness", saya memilih untuk menggunakan "ungrounded- ness" untuk melestarikan
nuansa yang dibawa dalam terjemahan kata Jepang tersebut, yang ditekankan oleh penulis.
Silakan merujuk ke Martin Heidegger, Nietzsche, vol. 4: Nihilisme, terjemahan. Frank
A.Capuzzi (San Francisco: Harper & Row, 1982), 193.

Three Architecture and Poetry

1. Paul Valkry, Eupalinos, atau Arsitek, terjemahan. William M. Stewart (London: Oxford
University Press, 1932).

2. Paul Valkry, "Manusia dan Kerang Laut," dalam Koleksi Karya Paul Valiry, vol. 1, dipilih
dengan pengantar oleh James R.Lawler (Princeton: Princeton University Press, 1956), 117.

3. Ibid., 119.

4. Paul Valkry, "Refleksi pada Seni," dalam Koleksi Karya Paul Valiry, vol. 13, terjemahan.
Ralph Manheim (New York: Pantheon, 1964), 145-146.

Four The Natural City

1.Christopher Alexander, "Kota Bukan Pohon," Forum Arsitektur, 122, no. 1 (April 1965), 58.

2. Ibid, 58-59, emphasis added.

3. Ibid., 59.

4. Ibid., 59.

5. Christopher Alexander, "Kota Bukan Pohon, Bagian 2," Forum Arsitektur, 122, no. 2 (Mei
1965), 61.

Five Structure and Zero


1. Ferdinand de Saussure, Kursus Linguistik Umum, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-
Hill, 1959), 120.

2. Roman Jakobson, Enam Kuliah tentang Suara dan Makna, terjemahan. John Mepham
(Cambridge, Mass .: MIT Press, 1978), 81.

3. Claude Levi-Strauss, Antropologi Struktural, terjemahan. Claire Jacobson dan Brooke


Schoepf (New York: Basic, 1963), 33.

4. Jakobson, Enam Kuliah tentang Suara dan Makna, 74.

5. R. Jakobson dan J. Lotz, “Notes on the French Phonemic Pattern,” Roman Jakobson,
Selected Writings, vol. 1, Phonological Studies, edisi ke-2. (Paris: Mouton, 1971), 43 1.

6. Sttphane MallamC, "Sur Poe" dalam "Berbagai Proses, Tanggapan terhadap Survei," Selesai
Oeuvres, ed. Henri Mondor dan G.Jean-Aubry (Paris: Gallimard, 195 I), 872.

7. Lao-Tzu, Te-Tao Ching, terjemahan. Robert G.Hendricks (New York: Ballantine, 1989), 63.

8. Gilles Deleuze, "Bagaimana kita mengenali strukturalisme?," La Philosophie au XXe Siicle,


vol. 4, diedit oleh Fran ~ ois Chitelet (Paris: Librairie Hachette, 1973), 300.

9. Claude Levi-Strauss, Pengantar Karya Marcel Mauss, trans. Felicity Baker (London:
Routledge & Kegan Paul, 1987), 55.

10. Shinran, Tan ni sho: A Shin Buddhid Classic, trans. Taitetsu Unno (Honolulu: Buddhist
Study Center Press, 1984). Shinran (1173-1262) melepaskan agama Buddha Jepang dari semua
faktor magik-religius dan mendirikan Jodo Shin Shu, yang menjadi tempat mayoritas umat
Buddha Jepang.

11. Roland Barthes, The Empire of Signs, trans. Richard Howard (New York: Hill, 1982).

Six Natural Numbers

1. Paul de Man, "The Epistemology of Metaphor," On Metaphor, ed. Sheldon Sacks (Chicago:
University of Chicago Press, 1978), 14.

2. Paul de Man, Allegories of Reading: Figural Language in Rousseau, Nietzsche, Rilke, and
Proust (New Haven: Yale University Press, 1979), 4.
3. Morris Kline, Mathematics: The Loss of Certainty (New York: Oxford University Press,
1980). Seven

Natural Language

1. De Man, Allegories ofReading, 17. Eight Money 1. Karl Marx, Capital, vol. 1, trans. Ben
Fowkes (New York: Vintage, 1976), 12 5. Emphasis added.

2. Ibid., 140.

3. Ibid., 156.

4. Marx menulis: "Seolah-olah di samping dan selain singa, harimau, kelinci, dan semua hewan
nyata lainnya, yang membentuk jenis kelamin, spesies, subspesies, famili, dll. Yang berbeda
dari kerajaan hewan, hewan juga ada, Inkarnasi individu dari seluruh kerajaan hewan. " Lihat
Karl Marx, Das Kapital: Critique of Political Economy, vol. 1 (Hamburg: 0. Meissner; New
York: L.W.Schmidt, 1867- 1894), 27.

Nine Natural Intelligence

1. De Man, Allegories of Reading, 9 -10.

2. Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (New York: Ballantine, 1972), 202 -203.

3. Ibid., 209.

4. Lihat bab 1 dalam Gilles Deleuze dan Felix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalim and
Schizophrenia (Minneapolis: universitas Minnesota Press, 1983).

Ten khismogenesis

1. Jane Jacobs, The Economy of Cities (New York: Vintage, 1970), 3.

2. Ibid., 66.

3. Ibid., 58, diagram indicating four additions to D.

4. Ibid., 59.

5. Ibid.,

6. Frederick Engels, "Socialism: Utopian and Scientific," fir1 Marx and Frederick Engels:
Selected Works (Moscow: Progress Publishers, 1968), 413.
7. Vladimir I. Lenin, One Step Forward, Two Steps Back: The Crisis in Our Party (Moscow:
Progress Publishers, 1947).

8. Marx and Engels, The Gmn Ideology, Part One, 89.

9. Ibid., 54.

lo. Ibid., 51 -52.

11. Jacobs, The Economy of Cities, 62.

Eleven Being

1. Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New
York: Vintage, 1967), 270.

2. Claude Levi-Strauss, The Elementary Structures of Kinship, trans. James Harle Bell and
John Richard Von Sturmer, ed. Rodney Needham (Boston: Beacon Press, 1969), 24 -25.

3. Ibid., 25

4. Nietzsche menulis: "Kemiripan keluarga aneh dari semua filosofi India, Yunani, dan Jerman
dijelaskan dengan mudah cukup. Di mana ada afinitas bahasa, itu tidak bisa gagal, karena
filosofi umum tata bahasa - maksud saya, karena dominasi dan bimbingan yang tidak disadari
oleh fungsi tata bahasa yang sama - bahwa semuanya dipersiapkan sejak awal untuk
perkembangan dan urutan yang sama. sistem filosofis; sama seperti cara yang tampaknya
dilarang terhadap kemungkinan penafsiran dunia lainnya. Sangat mungkin bahwa para filsuf
dalam domain bahasa Ural-Altai (di mana konsep subjeknya paling sedikit berkembang)
melihat sebaliknya "ke dunia", dan akan ditemukan pada jalur pemikiran yang berbeda dari
orang Indo. -Orang Jerman dan Muslim: mantra fungsi tata bahasa tertentu pada akhirnya juga
mantra penilaian fisiologis dan kondisi rasial. "Dari Nietuche's Beyond Good and Evil: Prelude
to a Philosophy of the Future, mans. Walter Kaufmann (New York: Vintage , 1966), 27-28.

5. Martin Heidegger, Nietzrche, vol. 4: Nihilim, terjemahkan. Frank A. Capuzzi (San


Francisco: Harper & Row, 1982), 194-195.

6. Ibid., 193

Subbab dua belas The Formalization of Philosophy

1. Chaim Perelman, The Realm of Rhetoric, trans. William Kluback (Notre Dame: University
of Noue Dame Press, 1982), 127-128.
2. Ibid., 130.

3. Jacques Derrida, "The Supplement of Copula: Philosophy before Linguistics," Margins of


Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 177.

4. Louis Althusser, "Lenin and Philosophy," Philosophy and the Spontaneous Philosophy of
the Scientists, ed. Gregory Elliot (London: Verso, 1989), 192.

5. Ibid., 194.

Sub bab tiga belas Sollpslsm

I. Wittgenstein, Remarks on the Foundations of Mathematics, 383.

2. Ibid., 388.

3. Plato, "Meno," The Collected Dialogues of Pluto, Including the Letters, Bollingen Series
LXXI, ed. Edith Hamilton and Huntington Cairns (Princeton: Princeton University Press,
1961), 366. 11)

4. Nicholas Rescher, Dialectics: A Controver~y-Oriented Approach

5. Plato, "Meno," The Collected Dialogues ofPlato, 368.

Kreator Islustrasi

Halaman 30: Digambar ulang dari Christopher Alexander, "A City Is Not a Tree, Part 2,"
Architectural Forum, 122, no. 2 (Mei 1965), 60.

Halaman 32, 33, dan 35: Digambar ulang dari Christopher Alexander, "Kota Bukanlah Pohon",
Arsitektur Forr ~ m, 122, no. 1 (April 1965), 59, 62.

Halaman 62: Digambar ulang dari Kojin Karatani, Introspection and Retroqection (Tokyo:
Kodansha, 1988), 13 5.

Halaman 82: Digambar ulang dari Jane Jacobs, The Economy of Cities (New York: Vintage,
1970), 58

Dan seterusnya
PENUTUP

Marx menulis:.
Di mana ada afinitas bahasa, itu tidak bisa gagal, karena filosofi umum tata bahasa - maksud
saya, karena dominasi dan bimbingan yang tidak disadari oleh fungsi tata bahasa yang sama -
bahwa semuanya dipersiapkan sejak awal untuk perkembangan dan urutan yang sama. sistem
filosofis; sama seperti cara yang tampaknya dilarang terhadap kemungkinan penafsiran dunia
lainnya.

Wittgenstein berusaha mengkritik formalisme dalam arti yang paling luas. Baginya,
"perubahan linguistik" tidak lagi masuk akal; Tractatus, yang berasal dari periode awalnya,
telah mencoba melakukan perubahan seperti itu. Itu adalah tugasnya yang ditentukan sendiri
di periode selanjutnya untuk mengkritiknya.

Penting untuk dicatat bahwa teori Marx tentang fetisisme komoditas secara kualitatif berbeda
dari gagasan "reifikasi" yang dikembangkan oleh Georg Lukbcs, yang terus berkembang. Tidak
seperti reifikasi, yang diturunkan dari konsep Marx tentang komoditas-bahwa itu
"mencerminkan hubungan sosial para produsen sebagai hubungan sosial antara objek-objek.
teori “reifikasi” seperti itu tidak dapat mengakses totalitas Kapital, khususnya pergerakan
dinamis kapital yang dipicu oleh krisis.

Dalam terjemahan bahasa Inggris, "menghapus" digunakan untuk istilah aufhebt. Meskipun itu
mewakili satu aspek dari istilah, itu mengecualikan yang lain, seperti "untuk mengambil
sesuatu dari tanah, untuk menghentikan atau membatalkan sesuatu, dan untuk mensintesis."
Dalam bahasa Inggris, ini paling sering diterjemahkan sebagai "sublates."

Anda mungkin juga menyukai