Anda di halaman 1dari 16

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gereja sebagai bangunan yang dipakai oleh umat Kristen maupun Katolik dalam melaksanakan
ibadahnya merupakan salah satu contoh bangunan yang menggunakan penampilan visual dalam
menyampaikan ajarannya. Gereja dalam ajaran agama Katolik memiliki dua pengertian, yang
pertama, ‘gereja’ adalah bangunan untuk melaksanakan ibadah bagi umat Katolik, sedangkan
yang kedua, ‘Gereja’ adalah umat Katolik itu sendiri. Perkembangan Gereja Katolik di Pulau
Bali dimulai tahun 1935 melalui para misionaris dari benua Eropa. Sejarah Gereja Katolik di
Bali bermula pada tahun 1935, persisnya 11 September 1935, Pater Van Der Heijden mengantar
Pater J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Hari tersebut dipandang
sebagai tonggak perkembangan agama Katolik di Bali. Tempat yang menjadi ladang pertama
adalah Banjar Tuka, Dalung. Pada November 1935, dua pemuda Bali dari Banjar Tuka, yakni I
Made Bronong (Pan Regig) dan I Wayan Diblug (Pan Rosa), datang ke Denpasar dan bertemu
Pater J. Kersten SVD.

Gereja Katolik kemudian berkembang, terlebih karena keterbukaan Gereja terhadap agama
Hindu dan budaya, khususnya terhadap tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.

Bruder Ignatius De Vriese SVD adalah arsitek dari Gereja St. Yoseph yang bekerjasama dengan
konsultan ahli arsitektur tradisional Bali (undagi) Ida Bagus Tugur. Sebagian besar pekerja yang
membuat ornamen atau simbol-simbol Gereja adalah para seniman lokal Bali yang beragama
Hindu yang memiliki kepercayaan berbeda. Perencanaan Gereja Katolik St. Yoseph timbul dari
kebutuhan masyarakat dan alam budayanya. Hal tersebut dapat terlihat dari karakter dan wujud
fisik bangunan gereja yang menunjukkan ciri budaya setempat. Cerminan budaya tersebut tidak
menyimpang dari misi gereja bahkan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Konsili
Vatikan II, yang antara lain menyebutkan bahwa bangunan gereja sebaiknya menggunakan pola
arsitektur setempat dan menyelaraskan diri dengan lingkungannya.

1|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


B. RUMUSAN MASALAH

 Bagaimana sejarah dari Gereja St. Yoseph, Denpasar ?

 Bagaimana perkembangan asritektur dari Gereja St. Yoseph, Denpasar ?

 Bagaimana Gereja St. Yoseph, Denpasar dapat menjadi Bangunan monumental di Kota
Denpasar, Bali ?

C. TUJUAN
Laporan ini disusun dengan tujuan :
 Mengenali bangunan Monumental di Indonesia.
 Mengetahu sejarah dari bangunan Monumental Gereja St. Yoseph, Denpasar
 Mengetahui Arsitektur dari Gereja St. Yoseph, Denpasar
 Mengetahui sebab Gereja St. Yoseph menjadi bangunan bersejarah yang monumental
di Kota Denpasar, Bali.

2|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


BAB 2 PEMBAHASAN
A.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN GEREJA ST. YOSEPH

Pada tahun 1939 Pastor Simon Bois membeli sebuah tanah di daerah Kali Ungu Denpasar yang
akan direncanakan untuk mambangun sebuah Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Pembangunan
gereja dimulai pada tahun 1947 meskipun merupakan bangunan berbahan sederhana. Namun
semenjak tahun 1935 sudah merupakan tahun perintis dari gereja ini. Saat itu hanya terdapat
ruang umat dan pastori saja. Pembangunan gereja dilanjutkan secara bertahap oleh Pastor H De
Beer SVD. Pada tahun 1949 nama pelindung gereja dari Hati Kudus Yesus diganti menjadi St.
Yoseph. Pembangunan gereja secara permanen dimulai pada tahun 1953, yang arsitekturnya
dipertahankan sampai saat ini seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tanggal 8 Desember 1955
gedung gereja ini diresmikan dan diberkati sebagai Gereja Paroki St. Yoseph.

Sumber : Blogger

Gambar 1
Sumber : Wikipedia

3|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


Mgr. H. Leven, SVD Uskup Sunda Kecil yang berdomisili di Ende Flores menugasi Pastor
Johanes Kersten, SVD melayani umat Katolik yang ada di Bali dan untuk itu pada tanggal 11
September 1935 Pastor Johanes Kersten, SVD tiba di Bali. Lalu menyewa sebuah gudang di
Jalan Kepundung 2 sebagai kapela untuk pelayanan mula-mula untuk para serdadu KNIL dan
kemudian juga terhadap umat.

Sekarang tempat itu dikenal sebagai Gereja Katolik St. Yoseph, Jalan Kepundung.karena pastor
Kersten sakit maka tahun 1936 diganti oleh Pastor Simon Buis, SVD. Beliau membeli tanah
kapela seharga 150 gulden dari pemiliknya yang bernama I Made Reguh. Pada awalnya wilayah
paroki St. Yoseph meliputi Kabupaten badung, Kotif Denpasar yang kemudian menjadi
Kotamadya dan sekarang Kota Denpasar. Juga melayani stasi Tuban, Tanjung Benoa, Nusa Dua,
umat diaspora Kabupaten Gianyar, Bangli, Karangasem, dan Klungkung. Uskup Denpasar Mgr.
A Tjijsen, SVD pada tahun 1977 meminta kepada P. Servatius Subhaga, SVD agar di wilayah-
wilayah diaspora mempunyai tempat ibadah dan melayani misa dari rumah ke rumah.

Umat diaspora makin bertambah maka status berubah menjadi stasi, meningkat menjadi quasi
paroki dan menjadi paroki dan saat ini dilayani oleh pastor. Di Gianyar mulai tahun 1978,
Amlapura mulai tahun 1984, Klungkung mulai tahun 1985. Paroki St. Yoseph pun dimekarkan
menjadi Paroki St. Fransiskus Xaverius Kuta (1983), Paroki St. Petrus Monang Maning (1995),
Paroki Roh Kudus Katerdral (1998).

Gereja di jalan Kepundung pada saat ini sudah tidak bisa menampung umatnya. Karena itu
dibangun di lokasi LC Ubung “Griya Bhakti Pastoral (Pastoral Care) Paroki St. Yoseph
Denpasar”. Di kompleks ini dibangun bangunan pastoral sebagai sentrum pembinaan keluarga,
sentrum sekolah alkitab, sekolah doa. Juga dibangun bangunan untuk pembinaan iman umat
yakni Gereja.

4|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


B.ADAPTASI ARSITEKTUR BALI TERHADAP GEREJA ST. YOSEPH

Aturan dalam penyusunan bangunan gereja Santo Yoseph adalah perpaduan antara tata cara
mendirikan Pura dan tata cara mendirikan gedung gereja Katolik yang sudah ditentukan oleh
Vatikan. Pada eksterior Gereja Santo Yoseph menggunakan tata cara pengaturan bangunan yang
diadaptasi dari konsep arsitektur tradisional untuk bangunan peribadatan di Bali. Bangunan-
bangunan seperti bale kul-kul, candi bentar, kori agung dan lain-lain dibuat dan ditempatkan
sesuai dengan pedoman proses adaptasi dari bangunan Pura. Gereja Santo Yoseph dibangun
menghadap ke arah barat yang melambangkan arah matahari terbit yang digolongkan area nista.
Interior gereja Santo Yoseph dibuat dengan tata cara penempatan dan penyusunan ruang, serta
fasilitas peribadatan yang didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan dari Vatikan.
Penempatan altar, ruang pengakuan dosa, tabernakel, ruang umat, ruang sakristi, ruang koor dan
lain-lain sama sekali tidak memasukkan pola ruang yang diadaptasi dari arsitektur tradisional
Bali. Unsur tradisi yang dipakai dalam interior gereja adalah ornamen yang ditempatkan pada
tiap ruangan dan fasilitas. Ornamen yang diterapkan merupakan unsur-unsur dekoratif seperti
dedaunan atau bunga-bunga yang distilir sedemikian rupa dan digabungkan dengan cerita-cerita
Alkitab atau orang-orang suci sebagai aksennya. Tenaga ahli yang dipergunakan adalah undagi
dan sangging yang bertanggung jawab dalam proses perancangan dan penempatan bangunan-
bangunan yang diadaptasi dari arsitektur tradisional Bali.

Zoning
Gereja Santo Yoseph mengadaptasi pola pelataran yang terdapat di pura, tetapi karena
keterbatasan lahan, area jaba tengah ditiadakan. Hanya terdapat area jaba sisi yang merupakan
tempat peralihan dari luar (duniawi) ke dalam (area suci) dan jeroan yang merupakan daerah
utama tempat pelaksanaan upacara peribadatan.

A. Jaba
Sisi Pada jaba sisi terdapat beberapa bangunan yang didirikan sejajar dengan tembok
penyengker sebagai penyambungnya. Bangunan-bangunan tersebut adalah candi bentar, kori
agung dan bale kul-kul.

5|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


a. Candi bentar

Gambar 2. Candi bentar St. Yoseph Denpasar. Gambar 3. Apit lawang

Pada Gambar 2 terlihat bahwa candi bentar di Gereja Santo Yoseph tidak mengalami proses
pemaknaan kembali. Dibuat dengan susunan bata merah dan padas alam, dilengkapi dengan
susunan pola ragam hias yang tidak dipahat dengan pola pada bagian bawah untuk karang gajah,
pada bagian tengah untuk karang goak dan pada bagian atas mudra.

Berfungsi sebagai tempat keluar dan masuk umat (pemesuan). Bukaan pada pintu berukuran dua
setengah meter dengan tujuan untuk memudahkan umat keluar dan masuk. Candi bentar tidak
dilengkapi aling-aling dan tangga dari candi bentar berujung pada pintu ruang utama umat.

Candi bentar dilengkapi oleh apit lawang. Apit lawang di dalam kebudayaan Hindu adalah
simbol penjaga pintu yang bersenjata, bertugas menjaga, mengawasi, dan mengijinkan tamu
masuk ke dalam pelataran. Pada Gereja Santo Yoseph kedua apit lawang tersebut divisualkan
menjadi dua patung malaikat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Maknanya berbeda,
bukan lagi sebagai penjaga dari pengaruh jahat, tetapi sebagai simbol sebuah kepatuhan dan
hormat kepada Tuhan yang bertahta di dalam gereja. Hal tersebut dapat dilihat dari malaikat
yang tidak membawa senjata dan gerak tubuh yang bersiaga melainkan digambarkan dengan
sikap bersimpuh dan menyembah.

6|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


Selain itu Kedua malaikat digambarkan dalam jenis kelamin wanita lengkap dengan mahkota dan
pakaian tradisional Bali, diadaptasi dari figur bidadari dalam kebudayaan Bali yang selalu
berjenis kelamin wanita. Patung tersebut juga mendapat pengaruh dari kebudayaan barat yang
menggambarkan malaikat yang memiliki sayap.

b. Kori Agung

Gambar 4. Kori agung pada gereja St. Yoseph Denpasar.

Kori agung di Gereja Santo Yoseph pada Gambar 4 memiliki kesamaan material dengan kori
agung di pura. Material yang dipakai adalah bata merah dan padas alam yang tidak diolah agar
warna aslinya tetap terlihat. Bata dan padas ini disusun dengan teknik tradisonal yaitu pasang
gosok. Penempatan kori agung pada Gereja Santo Yoseph diletakkan pada jaba sisi. Secara
bentuk, kori agung ini mengalami banyak perubahan. Terlihat pada Gambar 5, pintu Gambar 4.
Kori agung pada gereja St. Yoseph Denpasar. Sumber: Dokumentasi pribadi masuk pada bagian
depan ditiadakan dan diganti dengan patung Yesus yang pada bagian bawahnya terdapat prasasti
peresmian gereja. Kondisi tersebut menyebabkan pintu harian yang seharusnya berfungsi sebagai
pintu (pemesuan) pada hari-hari di luar hari peribadatan berubah fungsi menjadi pintu utama.

Gambar 5. Patung Yesus pada pintu kori agung


Gambar 6. Prasasti pendirian gereja

7|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


c. Bale kul-kul

Gambar 7. Bale kul-kul St. Yoseph Denpasar .

yang terlihat pada Gambar 7 berfungsi sebagai tempat kul-kul atau kentongan. Kul-kul adalah
sarana untuk menyampaikan informasi dari jarak jauh dengan kode suara yang sudah disepakati
dikalangan umat. Dalam pelaksanaannya bale kul-kul ini tidak difungsikan karena alat yang
dipakai untuk memanggil umat Gambar 5. Patung Yesus pada pintu kori agung. Sumber:
Dokumentasi pribadi Gambar 6. Prasasti pendirian gereja. Sumber: Dokumentasi pribadi Gambar
7. Bale kul-kul St. Yoseph Denpasar. Sumber: Dokumentasi pribadi bukan suara dari kentongan
tetapi dari lonceng yang terdapat pada menara di bagian atas ruang utama umat. Pada bagian
bawah bale kul-kul tersebut ditambahkan sebuah ruangan yang difungsikan sebagai garasi dan
tempat menyimpan alat-alat.

B. Jeroan
Bangunan yang terdapat pada jeroan adalah ruang umat yang berfungsi sebagai pusat
peribadatan.

Gambar 8. Pintu ruang umat utama Gambar 9. Ragam hias pintu utama

8|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


Pintu menuju ruang umat utama tersebut terbuat dari kayu jati. Gambar 8 dan 9 menunjukkan
kedua bilah pintu yang diukir ornamen dua orang malaikat bersayap dengan posisi menyembah
yang melambangkan sebuah rasa hormat kepada Tuhan yang berada di dalam ruang ibadah.
Pintu ruang umat ini memiliki fungsi yang sama dengan pintu pada kori agung di pura yaitu
sebagai pintu masuk menuju ruang maha kudus. Ragam hias karang boma yang berfungsi
sebagai penjaga pintu diganti dengan relief yang bercerita tentang Yesus meredakan badai. Pada
sisi pintu terdapat payung yang disebut tedung agung, yang di dalam kebudayaan Bali bermakna
sebagai media untuk menghadirkan roh-roh nenek moyang dalam kegiatan keagamaan. Tapi
pada paham gereja yang tidak mengenal penyembahan roh nenek moyang, tedung agung dipakai
untuk mendapatkan kesan kebudayaan lokal dan mendukung keindahan. Pada dinding bagian
luar umat terdapat banyak ragam hias yang mengalami perubahan. Contohnya ragam hias pada
karang asti yang berfungsi sebagai pondasi yang kuat diganti dengan ornamen pendiri-pendiri
gereja. Pemilihan ornamen pediri gereja tersebut didasarkan pada fungsi dan peranan tokoh
tersebut yang memberikan dasar yang kuat bagi sejarah gereja.

Gambar 10. Ornamen Pendiri Gereja 1. Gambar 11. Menara Gereja St. Yoseph Denpasar.

C. Menara Gereja

lonceng Gereja Santo Yoseph adalah bagian yang sangat menarik dalam visual dan pemilihan
ragam hiasnya seperti yang terlihat pada Gambar 11. Menara ini terletak diatas pintu ruang umat
utama. Bentuknya merupakan penggabungan bagian atas kori agung dan bentuk menara. Hal
tersebut terlihat dengan adanya ornamen bentala yang biasanya terdapat pada puncak kori agung.
Pada bagian bawah menara terdapat patung malaikat bersayap yang berjumlah enam buah,
masing-masing dengan posisi berdiri dengan sikap menyembah. Pola ragam hias yang menjadi
dasar tidak lagi memakai karang asti, goak, simbar dan lain-lain, melainkan memakai ornamen

9|S e j ar ah & Te ori Ar si tek tur


yang diambil dari simbol-simbol dalam Alkitab. Pada bagian tengah terdapat dua buah jendela
besar yang berfungsi sebagai sumber cahaya alami untuk ruang gereja. Dua jendela tersebut
melambangkan dunia dan surga. Di atas kedua jendela tersebut terdapat tiga jendela yang
bentuknya lebih kecil. Ketiga jendela tersebut melambangkan Tri Tunggal, Allah Bapa, Yesus
dan Roh Kudus. Atap menara bertingkat dua dan pada bagian puncaknya terdapat salib.

Interior Gereja Santo Yoseph

Gereja Katolik Santo Yoseph Denpasar terdiri dari berbagai ruang dan fasilitas yang masing-
masing dibatasi menurut fungsi dan sifatnya. Unsur ornamen adalah unsur kebudayaan Bali yang
paling dominan didalam interior gereja ini. Adapun jenis ornamen yang diterapkan dalam
interior Gereja Santo Yoseph dapat dibedakan berdasarkan penerapannya yaitu :

- Ornamen pada elemen pembentuk ruang

- Ornamen yang diterapkan pada fasilitas.

A. Ornamen-ornamen pada elemen pembentuk ruang

Gambar 12 . Ornamen pada latar belakang meja altar dan tabernakel

pada Gambar 12, merupakan relief yang dipahatkan pada dinding yang terbuat dari bahan padas
alam (paras) dan bata merah yang divariasikan dengan patung salib Yesus sebagai pusat. Patung
Yesus disalib ini dibuat dari bahan kayu. Sepasang payung (tedung agung) ditempatkan pada sisi
kiri dan kanan. Secara keseluruhan bentuk ornamen ini merupakan pengembangan dari bentuk

10 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
kekayonan (gunungan) dalam ragam hias tradisional Bali, yang merupakan gambaran suasana
dari keadaan alam semesta. Pada ornamen tersebut terdapat suatu pokok cerita dengan unsur-
unsur alam sebagai ornamen pengisi atau latar belakang yang mendukung suasana pokok cerita.
Pokok cerita yang ditampilkan dalam kekayonan tersebut adalah suasana saat Yesus disalibkan,
bersama ibunya Maria dan muridnya Yohanes. Di sekeliling pokok cerita tersebut diilustrasikan
pohon anggur dengan buahnya yang bermakna simbolis sebagai darah Yesus Kristus.

Relief bagian atas menggambarkan saat Yesus bangkit pada hari ke tiga setelah mati di kayu
salib. Bentuk salib pada ornamen ini memiliki makna yaitu sebagai simbol yang melambangkan
penebusan dosa atau penyelamatan umat manusia. Tulisan INRI dibagian atas salib memiliki arti
Yesus orang Nasareth, raja orang Yahudi. Salib diletakkan di atas Tabernakel, yaitu tempat
penyimpanan roti untuk perjamuan pada Sakramen Kudus. Roti yang disimpan merupakan
simbol tubuh Yesus yang telah menjadi korban penebusan dosa. Ornamen yang diterapkan pada
tabernakel terdiri dari bagian-bagian yang terlihat terpisah namun bila dipadukan dengan fasiltas
yang terdapat disekitarnya terlihat adanya kesatuan. Hal tersebut terlihat pada bagian depan
tabernakel ditunjang oleh meja tempat meletakkan roti perjamuan sebelum dibawa ke altar pada
saat perjamuan kudus. Keberadaan ornamen yang diterapkan pada tabernakel sangat penting
karena selain mempunyai makna simbolik dan keindahan, ia juga menciptakan kesan kesakralan.

B.Ornamen yang diterapkan pada fasilitas

Pada dasarnya fasilitas adalah suatu unsur penunjang peribadatan dan penerapan ornamen
memberi memberi makna disamping bersifat dekoratif. Salah satu fasilitas yang penting
adalah meja altar. Meja altar terletak di tengah ruangan dan berfungsi sebagai pusat
orientasi. Meja tersebut memiliki nilai simbolis sebagai meja kurban, selain itu merupakan
fasilitas yang digunakan dalam upacara peribadatan. Meja altar pada Gambar 13 dan 14
menunjukkan meja yang terbuat dari kayu yang diberikan ukiran dalam bentuk relief. Ukiran
ditempatkan pada sisi daun meja yang memanjang dan pada badan meja. Ornamen yang
diterapkan pada sisi daun meja lebih berfungsi sebagai unsur dekoratif, sedangkan yang
diterapkan pada badan meja mempunyai makna simbolis yang menunjang fungsi meja altar
sebagai meja kurban. Ornamen yang diterapkan menggambarkan induk burung pelikan yang
sedang memberi makan ketiga anaknya. Menunjukkan pengorbanan dari induk burung
pelikan yang memberikan hatinya untuk dimakan oleh anak-anaknya karena induk pelikan

11 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
tersebut tidak dapat menemukan lagi makanan untuk diberikan pada anak-anaknya. Kisah ini
mengandung makna simbolis yang mengibaratkan Yesus yang mengorbankan dirinya, mati
di kayu salib untuk menebus dosa manusia.

Gambar 13. Meja Altar St. Yoseph Gambar 14. Ornamen pada meja altar .

C. GEREJA ST. YOSEPH SEBAGAI BANGUNAN MONUMENTAL

Gereja ini adalah sejarah dari awal mula masuknya pengajaran serta pelayanan Katolik di Bali
dengan masyarakat Bali yang dominan masih memegang tradisi turun temurun dan beragama
Hindu. Berawal dimana Pastor PJ Kersten adalah misionaris katolik pertama yang dikirim ke
Bali pada tahun 1935. Tugas yang dijalankan Pastor PJ Kersten adalah melayani umat Katolik
bangsa Eropa dan Melayu di Bali. Dia dilarang untuk menyebarkan agama kepada orang orang
Bali. Dalam perkembangannya, Kersten justru membuka hubungan dan dialog dengan penduduk
setempat. Pada 6 Juni 1936 bertepatan dengan hari raya Pentakosta, dibaptislah I Made Bronong
dan I Wayan Diblug dari desa Tuka sebagai orang Bali pertama yang beragama Katolik.
Peristiwa pembaptisan tersebut dianggap sebagai pelanggaran besar dan menimbulkan protes
yang berpuncak pada peristiwa orang-orang yang telah dibaptis dipanggil oleh Raja Badung.

Reaksi tidak puas dari pemerintah dan lingkungan ritual pada waktu itu kian gencar. Di balik
banyaknya tekanan tersebut ada banyak orang Bali yang tertarik untuk belajar agama Katolik.
Jumlah orang yang dibaptis bertambah menjadi 16 orang dewasa. Karena masalah kesehatan
yang dialami oleh Kersten maka tugasnya di gantikan oleh Simon Bois.

Kemudian dibangunlah gereja Katolik di Desa Tuka merupakan Paroki atau desa Katolik
pertama di Bali. Inilah latar belakang dari gereja St. Yoseph menjadi bangunan monumental,

12 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
menjadi latar belakang sejarah dan perintis agama katolik di Bali. Pada tahun 1937 diresmikaan
gereja Katolik pertama di Bali yakni di desa Tuka. Pada bulan maret 1937 untuk pertama kalinya
setelah peresmian gereja Tuka, dibaptis 51 orang dewasa, 48 orang menerima Komuni pertama
dan 15 pasang pelayanan pernikahan. Pada saat itu di desa Gumbrih sudah terdapat 30 orang
Katakumen.

Simon Bois mendapat ijin dari residen untuk pindah dari kota dan menetap di desa dan membuka
balai pengobatan sederhana. Pada september 1938 di daerah Singaraja dibuka klinik pengobatan
yang dipimpin oleh Suster Fransisca Muler. Didesa Gumbrih juga telah dibangun sebuah Kapela.
Di tahun yang sama datang misionaris A. De Boer, ke Bali yang menetap di Tuka. Simon Bois
melihat kondisi umat yang rata-rata terdiri dari para petani penggarap dengan kehidupan sosial
ekonomi yang sulit, dari latar belakang ini, lahir pemikiran Pastoral untuk ikut transmigrasi lokal
ke daerah Jembrana, yang sejak tahun 1938 dibuka untuk daerah pertanian dan pemukiman.
Proses perijinan transmigrasi lokal tersebut banyak mendapat hambatan dari pemerintah Kolonial
Belanda dan kalangan sendiri.

Perijinan transmigrasi tersebut dapat diselesaikan dalam kurun waktu 3 bulan dengan luas areal
pertanian yang disepakati seluas 200 hektar. Dalam kurun waktu yang berdekatan dengan
program tersebut, berdiri desa Protestan yang pertama di Blimbingsari pada 30 Nofember 1939.
15 September 1940, 18 keluarga dari desa Tuka ditambah 6 keluarga dari desa Gumbrih
berangkat menuju ke Jembrana yang masih merupakan kawasan hutan Pala yang sangat lebat.
Pembangunan desa tersebut sangat berat, dengan peralatan sederhana, ganguan nyamuk dan
berbagai binatang buas, kerinduan kampung halaman dan rasa takut mengakibatkan 18 orang
mengundurkan diri dan 6 orang tak puas dan dikembalikan ke desa asal.

Pastor Simon Buis dan orang yang tersisa inilah yang menjadi perintis berdirinya desa yang
dinamakan Palasari. Kata ‘Pale’ berasal dari hutan Pale, kata sari bermakna inti atau secara
pandangan agama Katolik adalah pengandaian dari ‘ragi’. Keberhasilan pembangunan tersebut,
menarik banyak umat yang datang. Pada tahun 1942 oleh pemerintah dan Raja Jembrana diberi
tambahan lahan lagi seluas 200 hektar. I Gusti Kompiang Djiwa, adalah kepala Desa Palasari
yang pertama merangkap Kepala Desa Ekasari yang pertama sampai dengan tahun 1963.

13 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
Tahun 1942-1946 : Masa Suram Diawali dengan masuknya Jepang. Pastur Simon Buis, ditahan
oleh Jepang dengan alasan keamanan di Singaraja dan dipindahkan ke Pare-pare, Ujung
Pandang. Umat yang kehilangan pemimpin tetap memiliki kehidupan bergereja yang baik.
Muncul dua orang Ketekis yang melayani umat di Palasari yaitu Philipus da Parera asal NTT dan
I Nyoman Pegeg dan sesekali mendapat kunjungan Pastoral dari Romo Gondo Wardoyo,
O.Carm dari Keuskupan Malang. Mei 1946, Simon Buis kembali ke Bali dan memimpin
pembangunan Palasari baru.

Tahun 1947 Sukarelawan dari berbagai daerah di Jawa datang ke Bali untuk membantu umat
yang banyak terserang wabah. Sukarewan tersebut adalah Valentina, Ayu Kendar Sabda Kusuma
sebagai tenaga medis, Seorang Pastur muda yang bernama P.B. Blanken dan Ignatius AM de
Vrieze. Ketiga orang inilah yang kemudian meletakkan kerangka landasan dasar pembangunan
Palasari baru. Tahun 1950, Simon Buis diangkat sebagai Pastur Paroki Singaraja dan tahun 1951
kembali ke Belanda dan meninggal di sana. P.B. Blanken, SVD menjadi Pastur paroki yang
menggantikannya sampai tahun 1970.

Inilah mengapa Gereja St. Yoseph ermasuk kedalam bangunan monumental. Pertama bangunan
ini adalah bukti dari awal masuknya pengajaran Katolik di Bali dengan masyarakat adat Bali
yang masih murni akan ketradisionalan dan agama lokalnya. Kedua, yakni dengan berbagai
permasalahan dan jenjang waktu diuraikan, gereja atau paroki ini sangat memberikan dampak
bagi kehidupan sosial masyarkat Bali, budaya yang ada di Bali, bahkan kehidupan ekonomi serta
pemerintahan adat di Bali. Bangunan ini juga menjadi bentuk dari akulturasi budaya dan
keagamaan.

14 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
KESIMPULAN
Gereja St. Yoseph atau yang biasa disebut dengan Paroki St. Yoseph adalah sejarah dari awal
mula masuknya pengajaran serta pelayanan Katolik di Bali dengan masyarakat Bali yang
dominan masih memegang tradisi turun temurun dan beragama Hindu. Berawal dimana Pastor
PJ Kersten adalah misionaris katolik pertama yang dikirim ke Bali pada tahun 1935. Para
perancang gereja Santo Yoseph bermaksud menjadikan gereja ini kontekstual. Hal tersebut dapat
dilihat dari penggunaan material dan penempatan bangunan pada eksterior gereja yang diadaptasi
dari bangunan peribadatan Pura.

Ragam hias yang diterapkan meski sudah mengalami penggabungan dengan cerita-cerita dari
ajaran Kristiani Katolik tetapi tetap memakai pola dasar dan penempatan yang sama dengan
ragam hias tradisional Bali. Keinginan para tokoh agama Katolik di Bali melalui penggabungan
arsitektur tradisonal Bali dengan arsitektur gereja dari Eropa adalah untuk memberi penghargaan
kepada budaya setempat dan kehadirannya dapat diresapi dan diterima oleh umat Bali secara
utuh.

Arsitektur gereja selain sebagai tempat peribadatan adalah juga sebagai sarana indentitas pada
lingkungan disekitar gereja dan sarana menyampaikan nilai-nilai agama Katolik pada umat.
Proses adaptasi yang terjadi merupakan pengembangan (penyerapan, pengambilan dan
penggunaan) unsur-unsur (tata ruang dan bentuk) arsitektur tradisional ke dalam arsitektur
gereja.

Adaptasi arsitektur tradisional dan arsitektur gereja, secara tidak langsung telah melahirkan
tradisi arsitektur gereja yang khas dan berbeda dengan yang berkembang di daerah asalnya.
Gereja dan tradisi jemaat pada sebuah gereja berarsitektur tradisional menjadi sebuah fenomena
hidupnya dua kebudayaan yang saling berinteraksi. Pengembangan arsitektur kontekstual yang
dihasilkan akan memberi umat pengetahuan dan apresiasi terhadap kebudayaan setempat yang
akan memperkaya wawasan dan memberi kesan kedekatan dalam suasana peribadatan.

15 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r
DAFTAR PUSTAKA
Berkhof, H. Dr., Enklaar, I.H., Dr. 1991. Sejarah Gereja, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Chupungco, Anscar.J. 1984. Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya, Yogyakarta: Komisi Liturgi
KWI, Kanisius.

Davies, J. G. 1982. Temples, Churches and Mosques, Basil Black-well, Oxford. Ernest
Mariyanto. 2003. Ruang Ibadah, Malang: Dioma.

Gelebet, I Nyoman. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

http://parokisantoyosephdenpasar.blogspot.com/2011/06/gereja.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Paroki_Santo_Yoseph,_Denpasar

Muskens Pr., MPM, 1974 : Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta: Dokumentasi
Penerangan Wali Gereja Indonesia.

Priatmojo, Danang, 1989. Arsitektur Gereja Katolik, Jakarta: Fakultas Teknik Universitas
Tarumanegara.

Sinaga, AB.1984. Gereja dan Inkulturasi, Yogyakarta: Yayasan Kanisius-Nusa Indah

16 | S e j a r a h & T e o r i A r s i t e k t u r

Anda mungkin juga menyukai