Anda di halaman 1dari 12

MUNASABAH AL-QUR’AN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Studi Qur’an dan Tafsir Tarbawi
Di bimbing oleh: Bambang Eko Aditia, S. Pd. I., M. Pd.

Oleh :
Kelompok 4:
Hamidatul Masfufah (202101100027)
Fadholi (204101100008)
Zulvi Zakiyatunisa (205101100007)

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Azzawa Jalla karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Munasabah
Al-Qur’an ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami juga berterima
kasih kepada Bapak Bambang Eko Aditia, S. Pd. I., M. Pd. selaku Dosen mata kuliah Studi Qur'an
dan Tafsir Tarbawi IAIN Jember yang telah memberi tugas ini kepada kami. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kami
mengenai kewajiban menuntut ilmu.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memahami keterkaitan (korelasi) antara yang satu dengan yang lain sebagai satu
kesatuan merupakan sebuah keniscayaan. Dalam konteks Al-Qu’ran, pemahaman terhadap
ayat yang satu dengan yang lain, surah yang satu dengan yang lain sebagai sebuah kesatuan
yang terkoneksi antara yang satu dengan lainnya adalah merupakan studi yang mesti dipelajari.
Para ahlinya mengisitilahkan studi ini dengan nama munasabah.
Kemunculan ilmu tentang munasabah (interkoneksi) ayat dan surah dalam Al-Qur’an
berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf. Utsmani
tidak berdasarkan atas urutan fakta kronologis turunnya. Walaupun mereka sepakat tentang
urutan ayat-ayat, namun para ulama berbeda pendapat tentang urutan surah di dalam Al-
Qur’an.
Mempelajari dan mengetahui munasabat merupakan hal yang sangat penting dan
menduduki porsi yang utama dalam disiplin ilmu tafsir. Hal ini karena dengan mempelajarinya
seorang interpretator dapat melakukan penakwilan dan pemahaman yang baik. Oleh karena itu,
ada ulama yang membahasnya secara spesifik. Diantara mereka adalah Abu Ja’far Ahmad bin
Ibrahim (w. 807 H) dalam bukunya Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an dan
Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-
Suwar. Oleh karena itu penulis membuat makalah “Munasabah Al-Qur’an” supaya orang-
orang tau akan pentingnya mempelajari munasabah Al-Qur’an. Dengan adanya makalah ini di
harapkan banyak orang yang tahu mengenai hubungan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang
lainnya yang saling berdekatan (berkaitan).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari munasabah Al-Qur’an?
2. Apa saja macam-macam dari munasabah Al-Qur’an?
3. Bagaimana urgensi dan kegunaan munasabah Al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian munasabah Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui macam-macam munasabah Al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui urgensi dan kegunaan munasabah Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Munasabah Al-Qur’an


Secara bahasa, munâsabah berasal dari bahasa Arab yang mengandung pengertian
“kesesuaian”, “kedekatan”, hubungan atau “korelasi”. Jika dikatakan “Ahmad yunâsibu
dengan Zaid” maka maksudnya adalah bahwa “Ahmad menyerupai Zaid dalam bentuk fisik
dan sifat”. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat
(qarabah). Imam az-Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan
pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus,
atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat,
pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Manna’al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut
bahasa di samping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah
ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam Al Qur’an, yang
meliputi pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama
surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat;
keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima,
hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat
yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan,
hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Dengan demikian, secara bahasa munâsabah dapat dipahami sebagai sebuah kesesuaian
antara satu hal dengan hal yang lain. Dengan kata lain, munasabah ada di antara dua hal, baik
berupa benda yang berwujud maupun hal yang abstrak seperti sifat, karakteristik, pesan,
maksud dan lain-lain. AdapunAdapun munâsabah dalam teori Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an
dipahami sebagai segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu
ayat; antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat; atau antara satu surat dengan
surat yang lain. Pemahaman tentang munâsabah ini dimaksudkan untuk memahami keserasian
antar makna, mukjizat Al Qur’an secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan
kalimatnya dan keindahangaya bahasanya.

B. Macam-Macam Munasabah Al-Qur’an


Dalam al Qur’an sekurang-kurangnya terdapat tujuh macam munasabah, yaitu:
1. Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya
berfungsi menerangkan atau contoh, dalam surat Al-Fatihah [1] ayat 2 ada ungkapan
alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah [2] ayat 152 dan 186:

‫ک ُر ۡوا ِل ۡى َو َل تَ ۡكفُ ُر ۡو ِن‬ ۡ ‫فَ ۡاذ ُك ُر ۡونِ ۡى اَ ۡذ ُك ۡر ُك ۡم َو‬.


ُ ‫اش‬
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 152).

‫ب دَ ۡع َوة َ الدَّاعِ اِذَا‬ُ ‫عنِ ۡى فَاِنِ ۡى قَ ِر ۡيب ا ُ ِج ۡي‬ َ ‫ِى‬ ۡ ‫ـك ِعبَاد‬ َ َ‫ساَل‬ َ ‫َواِذَا‬
َ‫شد ُۡون‬ ُ ‫ان فَ ۡليَ ۡست َ ِج ۡيبُ ۡوا ِل ۡى َو ۡليُ ۡؤ ِمنُ ۡوا بِ ۡى لَعَلَّ ُه ۡم يَ ۡر‬
ِ ‫ع‬
َ َ‫د‬

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasannya, ‘Aku adalah dekat.’ Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 186).
Ungkapan “rabb al-alamin” dalam surat Al-Fatihah [1] berkorelasi dengan surat Al-Baqarah
[2] ayat 21-22:

َ ‫ضا َء لَ ُه ۡم َّمش َۡوا فِ ۡي ِه َواِذَا اَ ۡظلَ َم‬


‫علَ ۡي ِه ۡم‬ َ َ‫ار ُه ۡم ُكلَّ َما ا‬ َ ‫ص‬ َ ‫ف اَ ۡب‬ ُ ‫ط‬ َ ‫َي َكادُ ۡال َب ۡر ُق َي ۡخ‬
‫ع ٰلى ُك ِل ش َۡىء قَد ِۡير‬ َ َ‫ّللا‬ ٰ ‫ار ِه ۡم ا َِّن‬
ِ ‫ص‬ َ ‫سمۡ ِع ِه ۡم َواَ ۡب‬َ ‫َب ِب‬َ ‫ّللاُ لَذَه‬ٰ ‫قَا ُم ۡوا َولَ ۡو شَا َء‬
َ‫ِى َخلَقَ ُك ۡم َوالَّذ ِۡينَ ِم ۡن قَ ۡب ِل ُك ۡم لَعَلَّ ُك ۡم تَتَّقُ ۡون‬ۡ ‫اعبُد ُۡوا َربَّ ُك ُم الَّذ‬
ۡ ‫اس‬ ُ َّ‫ٰياَيُّ َها الن‬

Artinya: “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, pada hal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-
Baqarah: 21- 22).
Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr
Abu Zaid. Ia menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah
merupakan hubungan stilistika-kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih
berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam
kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: hdina Ash-Shirath Al-mustaqim,
shirath Al-ladzina an’amta alaihim ghair Al-maghdhubi ‘alaihim walaadh-dhallin. Doa ini
mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-
Kitabu la raiba fihihudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita menyimpulkan bahwa teks tersebut
berkesinambungan:“Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang
lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-
Kitabin”. Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah merupakan kaitan stilistika,
hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Ali ‘Imran lebih mirip dengan hubungan antara
“dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil”. Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan
surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama.
2. Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada Namanya
masing-masing, seperti surah Al-Baqarah [2], surat Yusuf [12], surat An-Naml [27] dan surat
Al-Jinn [72].15
Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah [2]: 67-71:

‫َّللا َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن تَ ْذ َب ُحوا َبقَ َرة ً قَالُوا أَتَت ِخذُنَا ُه ُز ًوا قَا َل‬
َ ‫سى ِلقَ ْو ِم ِه ِإن‬ َ ‫َو ِإ ْذ قَا َل ُمو‬
‫ي قَا َل‬ َ ‫} قَالُوا ا ْدعُ لَنَا َرب َك يُبَيِن لنَا َما ِه‬67{ َ‫عوذُ بِاَّللِ أَ ْن أَ ُكونَ ِمنَ ْال َج ِه ِلين‬ ُ َ‫أ‬
َ‫ان بَيْنَ ذَ ِل َك فَا ْفعَلُوا َماتُؤْ َم ُرون‬ ٌ ‫ع َو‬َ ‫ضُُ َوالَ بِ ْك ٌر‬ ُ ‫ار‬ ِ َ‫إِنهُ يَقُو ُل إِن َها بَقَ َرة ٌ ال ف‬
‫ص ْف َرآ ُء‬ َ ٌ ‫} قَالُوا ا ْدعُ لَنَا َرب َك يُ َب ِين لنَا َمالَ ْونُ َها قا َل ِإنهُ َيقُو ُل ِإن َها َبقَ َرة‬68{
‫ي ِإن ْال َبقَ َر‬ َ ‫} قَالُوا ا ْدعُ لَنَا َرب َك يُ َب ِين لنَا َما ِه‬69{ َ‫اظ ِرين‬ ِ ‫س ُّر الن‬ ُ َ‫فَاقِ ُعُُ لَ ْونُ َها ت‬
‫} قَا َل ِإنهُ يَقُو ُل ِإن َها بَقَ َرة ٌ ال‬70{ َ‫علَ ْينَا َو ِإنا ِإن شَآ َء َّللاُ لَ ُم ْهتَدُون‬ َ َ‫تَشَابَه‬
‫ت‬ َ ْ‫سل َمةٌ ال ِشيَةَ فِي َها قَالُوا ْالئَانَ ِجئ‬ َ ‫ث ُم‬ َ ‫ض َوالَ تَ ْس ِقي ْال َح ْر‬ َ ‫ير اْأل َ ْر‬ ُ ِ‫ذَلُولُُُ تُث‬
}71{ َ‫ق فَذَ َب ُحو َها َو َما َكادُوا َي ْف َعلُون‬ ِ ‫ِب ْال َح‬
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.' Mereka berkata, 'Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?.' Musa menjawab, 'Aku berlindung kepada Allah sekiranya
menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.' [67]. Mereka menjawab, 'Mohonkanlah kepada
Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?.' Musa
menjawab, 'sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.' [68].
Mereka berkata, 'Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada
kami apa warnanya.' Musa menjawab, Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang
yang memandangnya.' [69]. Mereka berkata, Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar
Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi
itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk.'
[70]. Musa berkata, Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman,
tidak bercacat, tidak ada belangnya. Mereka berkata, 'Sekarang barulah kamu menerangkan
hakikat sapi betina yang sebenarnya.' Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja
mereka tidak melaksanakan perintah itu."[71]. (Q.S. Al-Baqarah: 67-71)
Cerita tentang lembu betina dalam Surat Al-Baqarah [2] di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain,
tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.

3. Munasabah antarbagian suatu ayat (antar kata dalam satu ayat)


Munasabah antarbagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat
(perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid [57] ayat 4:
َ ‫علَى ۡال‬
ِ ِ ‫ع ۡر‬
‫ش‬ َ ‫استَ ٰوى‬ َ ‫ت َو ۡالَ ۡر‬
ۡ ‫ض فِ ۡى ِست َّ ِة اَيَّام ث ُ َّم‬ ِ ‫ِى َخ َلقَ السَّمٰ ٰو‬ ۡ ‫ُه َو الَّذ‬
َّ ‫ض َو َما َي ۡخ ُر ُج ِم ۡن َها َو َما َي ۡن ِز ُل ِمنَ ال‬
‫س َما ِء َو َما َيعۡ ُر ُج‬ ِ ‫َيعۡ لَ ُم َما َي ِل ُج ِفى ۡالَ ۡر‬
‫ص ۡير‬ ِ َ‫ّللاُ بِ َما تَعۡ َملُ ۡونَ ب‬
ٰ ‫فِ ۡي َها َو ُه َو َمعَ ُك ۡم اَ ۡينَ َما ُك ۡنت ُ ۡم َو‬

Artinya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan
apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hadid: 4)
Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu”
(turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata
“Al-‘adzab” dan “Ar-rahmah” dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat
dijumpai dalam surat Al-Baqarah [2], An-Nisa [4] dan surat Al-Maidah [5].

4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan


Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi
sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya
menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan). Munasabah antarayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat
atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.
Contoh firman Allah:

‫الر ِحي ِْم‬


َّ ‫الر ْحمٰ ِن‬ َّ ‫ّللا‬ِ ٰ ‫ِبس ِْم‬
‫ب ْالعٰ لَ ِم ْي‬ ِ ٰ ِ ُ‫اَ ْل َح ْمد‬
ِ ‫لِل َر‬
Artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-Fatihah [1]: 1-2)
Ungkapan “rabb al-‘alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “Ar-rahman” dan “Ar-
rahim” pada ayat pertama. Munasabah antarayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat
atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya.

5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya dalam satu
surat
Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-
Nya tentang kebenaran dan fungsi al Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok
ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-
beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6. Munasabah antarfashilah (pemisah) di dalam satu ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk
menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam surat Al-
Ahzab [33] ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:

َ‫ّللاُ ۡال ُم ۡؤ ِمنِ ۡين‬


ٰ ‫ّللاُ الَّذ ِۡينَ َكفَ ُر ۡوا ِبغ َۡي ِظ ِه ۡم لَ ۡم يَنَالُ ۡوا خ َۡي ًرا ؕ َو َكفَى‬
ٰ َّ‫َو َرد‬
‫ع ِز ۡي ًزا‬ ٰ َ‫ۡال ِقتَا َل ؕ َو َكان‬
َ ‫ّللاُ قَ ِويًّا‬
Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan
orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S.
Al-Ahzab: 25)
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan; bukan
karena lemah, melainkan karena Allah Mahakuat dan Mahaperkasa. Jadi, adanya fashilah di
antara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut
menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan tambahan,
yang meskipun tanpa fashilah sebenarnya, makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-
Naml [27] ayat 80:

َ‫عا َء اِذَا َولَّ ۡوا ُم ۡد ِب ِر ۡين‬ ُّ ‫اِنَّ َك َل ت ُ ۡس ِم ُع ۡال َم ۡو ٰتى َو َل ت ُ ۡس ِم ُع ال‬


َ ُّ‫ص َّم الد‬
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan
(tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah
berpaling membelakang.” (Q.S. An-Naml: 80)
Kalimat “idza wallau mudbirin” merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.

7. Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama


Tentang munasabah semacam ini, As-Suyuthi telah mengarang sebuah buku yang
berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati’ wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini
terdapat dalam surat Al-Qashas [28] yang bermula dengan menjelaskaan perjuangan Nabi
Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi
Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan
kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji
Allah atas kemenangannya. Kemudia, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak
akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang
dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

8. Munasabah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya


Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir
surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya.17 Misalnya, pada permulaan
surat Al-Hadid [57] dimulai dengan tasbih:

‫ض َو ُه َو ۡال َع ِز ۡي ُز ۡال َح ِك ۡي ُم‬


ۚ ِ ‫ت َو ۡالَ ۡر‬ ِ ٰ ِ ‫سبَّ َح‬
ِ ‫لِل َما ِفى السَّمٰ ٰو‬ َ
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-
Hadid: 1)
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, Al-Waqiah [56] yang
memerintahkan bertasbih:

‫س ِب ْح ِباس ِْم َر ِب َك ْال َع ِظي ِْم‬


َ َ‫ف‬
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar.” (Q.S. Al-
Waqiah: 96)
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah [2]:

‫ال ۚم‬
َ‫ْب ؕ ِف ْي ِه ؕ ُهدًى ِل ْل ُمت َّ ِقيْن‬ ُ ‫ٰذ ِل َك ْال ِك ٰت‬
َ ‫ب َل َري‬
Artinya: “Alif Lam Mim. Kitab (al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 1-2)
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah [1]:

َ‫علَ ۡي ِه ۡم َو َل الضَّا ِل ۡين‬


َ ‫ب‬ ُ ‫علَ ۡي ِه ۡم ؕ غ َۡي ِر ۡال َم ۡغ‬
ِ ‫ض ۡو‬ َ ۡ‫ط الَّذ ِۡينَ اَ ۡن َعم‬
َ ‫ت‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
Artinya: “_(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 7)

C. Urgensi dan Kegunaan Munasabah Al-Qur’an


Sebagaimana asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami al Qur’an.
Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang
diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan
yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika
surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala
permasalahannya.”
Di samping itu, para ulama bersepakat bahwa Al-Quran ini, yang diturunkan dalam
tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-
beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu
lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa
mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika ada asbab
An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema al Qur’an kehilangan
relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah
dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189:

َ ‫ج َولَ ۡي‬
‫س‬ ۡ ِ َّ‫ع ِن ۡالَ ِهلَّ ِة ؕ قُ ۡل ِهى َم َواقِ ۡيتُ ِللن‬ َ ‫يَ ۡســـَٔلُ ۡون ََك‬
ِ ‫اس َوال َح‬ َ
ۚ ‫ظ ُه ۡو ِرهَا َو ٰلـ ِك َّن ۡال ِب َّر َم ِن ات َّ ٰق‬
‫ى َو ۡاتُوا‬ ُ ‫ت ِم ۡن‬ َ ‫ۡال ِب ُّر ِبا َ ۡن تَ ۡاتُوا ۡالبُيُ ۡو‬
َ‫ک ۡم ت ُ ۡف ِل ُح ۡون‬
ُ َّ‫ّللاَ لَ َعل‬
ٰ ‫ت ِم ۡن اَ ۡب َوا ِب َها ۚ َواتَّقُوا‬َ ‫ۡالبُيُ ۡو‬
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.” (Q.S. Al-Baqarah: 189)
Orang yang membaca ayat tersebut tentuu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara
pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan
munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasyi menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa
ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-
hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang
engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.
2. Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara
kalimat atau antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap kitab al Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-qur’an dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat
yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munasabah merupakan sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat,
atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar surah di dalam Al-Qur’an (Manna Al-Qattan).
Munâsabah dapat dipahami sebagai sebuah kesesuaian antara satu hal dengan hal yang lain.
Macam-macam munasabah yaitu: munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya,
munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya, munasabah antarayat yang letaknya
berdampingan, munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya dalam
satu surat, dan lain-lain.
Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah: (a) Dapat mengembangkan sementara
anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema al Qur’an kehilangan relevansi antara
satu bagian dengan bagian yang lainnya; (b) Mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian al Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu
dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al
Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya; (c) Dapat
diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa al Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat/surat yang satu dari yang lain; (d) Dapat
membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat
atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.

B. Saran
Dengan mempelajari munasabah akan dapat membantu seseorang dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih tepat dan akurat setelah diketahui hubungan (interkoneksi)
suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi dengan sangat baik. Oleh karena itu kita patut untuk mempelajari tentang
munasabah Al-Qur’an.
Daftar Pustaka

Sholihin, Rahmat. 2018. “Munasabah Al-Qur’an: Studi Menemukan Tema Yang Saling
Berkorelasi Dalam Konteks Pendidikan Islam” dalam journal of islamic studies volume
2 (1) hlm. 2-4.
Supriyanto, John. 2013. “Munasabah Al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan Shalat-
Shalat Nabi” dalam jurnal Intizar volume 19 (1) hlm. 50-51.
Nurjanah, Najiba Nida. 2020. “Urgensi Munasabah Ayat dalam Penafsiran Al-Qur’an” dalam
jurnal volume 14 (1) hlm. 112-128.

Anda mungkin juga menyukai