Upacara penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 5 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal
Ter Poorten, sedang Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara
otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang. Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia pada
prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
Jauh hari, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi hubungan antara tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang, antara lain Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta.
Sesudah kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja berkeyakinan bahwa
Jepang dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.
Moh. Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun beliau secara tegas
menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak mengecam perjuangan Jepang dalam melawan
ekspansi Negara-negara Barat. Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau
berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang adalah sikap keras
pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pada tahun 1938, pemerintah colonial
menolak Petisi Sutardjo yang meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam
lingkungkan kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun menolak usulan
dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam slogan Indonesia Berparlemen.
Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan kaum pergerakan nasional Indonesia bahwa
pihak Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan. Di lain pihak, Jepang sejak awal sudah
mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.
c) Heiho
Pada bulan April
1943 dikeluarkan
pengumuman
mengenai
pembukaan
kesempatan kepada
para pemuda
Indonesia untuk
menjadi pembantu
prajurit Jepang
(Heiho). Pemuda
yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat kecakapan umum, seperti
berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-
rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
e) Fujinkai
Selain pemuda, juga
dilakukan pembentukan
organisasi kaum wanita.
Pada bulan Agustus 1943,
dibentuklah Fujinkai (Him
punan Wanita) yang
usianya minimal adalah 15
tahun. Organisasi ini
bertugas untuk
mengerahkan tenaga
perempuan turut serta
dalam memperkuat
pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan,
bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk
perang.
Bentuk kerja paksa seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda (Kerja Rodi) juga terjadi
pada masa pendudukan bala tentara Jepang, yang disebut dengan Romusha. Para tenaga kerja paksa
ini dipaksa sebagai tenaga pengangkut bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel kereta api serta
mengangkut hasil hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia
yang menjadi korban romusha. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang
menyebut romusha sebagai “Pahlawan Pekerja/Prajurit Ekonomi”.
Para romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga petang, mereka
dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan perawatan. Oleh karena itu, kondisi
fisiknya menjadi sangat lemah sehingga banyak yang menderita berbagai jenis penyakit, bahkan
meninggal dunia di tempat kerjanya. Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-mandor Jepang,
seperti cambukan, pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-segan tentara Jepang menembak para
pembangkang tersebut.’
Untuk mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil beberapa
kebijakan ekonomi, antara lain.
Aset-aset yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi milik
pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan,
sarana telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.
1. Perlawanan di Sukamanah
Sukamanah adalah
sebuah desa di
Kecamatan Singaparna
di wilayah Kabupaten
Tasikmalaya (Jawa
Barat). Perlawanan di
Sukamanah ini dipimpin
oleh K.H Zaenal
Mustafa. Pada awalnya
K.H Zaenal Mustafa
adalah tokoh penentang
Pemerintahan Hindia Belanda yang dianggap sebagai golongan kafir yang hendak merusak
kehidupan agama kaum muslimin Indonesia. Pada masa ini seringkali beliau dipenjara oleh
pemerintahan kolonial. Pada masa Pendudukan Jepang K.H Zaenal Mustafa dibebaskan. Tujuan
dari pembebasan ini tidak lain adalah sebagai upaya untuk mensukseskan propaganda Jepang.
Tokoh agama dianggap sebagai sarana yang tepat untuk propaganda karena mempunyai people
power yang banyak. Tetapi karena perbedaan prinsip, terutama yang berkaitan dengan kaidah
dan prinsip Agama Islam secara tegas beliau menolak ajakan kerja sama bangsa Jepang.
Ketika menghadiri sebuah upacara dilapangan kota Singaparna, beliau menolak untuk
melakukan Seikerei (memberi hormat kepada kaisar Jepang Tenno Heika) dengan cara
membungkukkan badan serta menundukkan kepala kearah istana Kaisar Jepang. Seikerei
dianggap perbuatan syirik karena dalam ajaran Islam tak ada yang pantas disembah kecuali
Allah S.W.T. Bersama pengikutnya beliau meninggalkan lapangan tersebut. Tindakan tersebut
menyebab-kan ketegangan di antara kedua belah pihak. Pada tanggal 25 Februari 1944 terjadilah
pertempuran. Karena kekuatan yang tidak seimbang K.H. Zaenal Mustafa dapat ditangkap dan
dipenjara di Cipinang (Jakarta). Pada tanggal 25 Oktober 1944 beliau dan pengikutnya
dieksekusi tentara Jepang.
3. Perlawanan di Aceh
Pada bulan November 1942 di daerah Cot Plieng, Lhoek Seumawe terjadi perlawanan rakyat
menentang pasukan Jepang. Perlawanan ini dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Pada saat
melaksanakan ibadah sholat Tengku Abdul Jalil dan para pengikutnya dibunuh oleh pasukan
Jepang.
Sebagai akibat dari penyerahan padi secara paksa terjadilah perlawanan rakyat Maluku Selatan
di bawah pimpinan Haji Temmale. Perlawanan ini terkenal dengan ’’Peristiwa Unra“ sebab
terjadi di desa Unra Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
5. Perlawanan di Kalimantan
Di berbagai tempat di Kalimantan terjadi perlawanan rakyat menetang kekuasaan tentara Jepang
yang bertindak kejam dan sewenang-wenang. Di Kalimantan Barat kurang lebih 21.000 orang
dibunuh dan dibantai secara kejam oleh tentara Jepang. Selain rakyat yang tidak berdosa, banyak
di antara mereka adalah raja-raja, tokoh-tokoh masyarakat terkemuka, dan tokoh-tokoh
pergerak-an nasional turut terbunuh dalam aksi perlawanan tersebut. Untuk mengenang
peristiwa tersebut maka didirikanlah sebuah Monumen Mandor, di desa Mandor.
Penderitaan rakyat akibat dari pengerahan Romusha dan kesewenang-wenangan tentara Jepang
menimbulkan amarah di kalangan anggota-anggota Daidan Blitar. Puncak kemarahan meletup
pada tanggal 14 Februari 1945. Di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi dan Shodanco Muradi
sebagai komandan pertempuran terjadilah pemberontakan tentara PETA di Blitar.
Pemberontakan ini meluas ke seluruh penjuru kota Blitar dan pos-pos pasukan Jepang di luar kota.
Dengan kekuatan kurang lebih 200 orang. Untuk meredam pemberontakan PETA di Blitar, Jepang
mengerahkan pasukannya yang berada di Malang dan Surabaya. Dengan persenjataan dan jumlah
pasukan yang lebih memadai mudah saja bagi Jepang untuk menumpas tentara PETA pemberontak.
Namun Jepang takut dengan akibat-akibat yang tidak terduga-duga jika menggempur pasukan PETA
pemberontak. Untuk itu dipilihlah jalan perundingan.
Dampak Positif Pendudukan Jepang
Tidak banyak yang diketahui tentang dampak positif dari pendudukan Jepang di Indonesia. Ada juga
dampak positif yang dapat disajikan meliputi:
Selain dampak positifnya berakhir, Jepang juga membawa dampak negatif yang luar biasa, antara lain:
1. Penghapusan semua organisasi politik dan lembaga-lembaga warisan sosial dari Hindia Belanda
pada kenyataannya banyak dari mereka yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
sosial, ekonomi, dan kesejahteraan warga.
2. Romusha, mobilisasi masyarakat Indonesia (khususnya warga Jawa) untuk kerja paksa di bawah
kondisi yang tidak manusiawi.
3. Mobilisasi semua sumber daya seperti makanan, pakaian, logam, dan minyak demi perang.
4. Akibatnya, petani padi dan berbagai bahan makanan Jepang kehilangan begitu banyak orang
yang menderita kelaparan.
Dengan janji diberi pengampunan, Shodanco Muriadi menerima ajakan Kolonel Katagiri. Sebagai tanda
bahwa pihak Jepang menempati janjinya, maka kolonel Katagiri menyerahkan pedang Samurai sebagai
jaminan kehormatannya. Pada tanggal 21 Februari 1945 Shodanco Muriadi yang tahu sifat ksatria dari
adat istiadat Jepang menerima perundingan tersebut. Beliau yakin bahwa Jepang tidak akan
mengingkari janjinya. Ternyata semangat Bushido yang dipegang teguh tentara Jepang selama ini
hanyalah isapan jempol saja. Dengan cara yang licik itu Jepang melucuti persenjataan Tentara PETA
pemberontak.
Setelah menjalani pemeriksaan dan penyiksaan, pada tanggal 13 – 16 April 1945 Shodanco Muriadi
diadili, 6 orang yang berpengaruh dalam pemberontakkan PETA, termasuk Sodancho Muriadi
mendapat hukuman mati. Yang lain mendapat hukuman penjara yang bervariasi. Sedangkan Sodancho
Supriyadi sebagai pimpinan pemberontakkan dinyatakan hilang.