SOEHARTO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Syahrul Wilda
NIM:1111033100016
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Syukur atas nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para
dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari
bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan
4. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian
6. Ayahanda Sanusi Saputra dan Ibunda Fatmadewita, kedua orang tua yang
vi
Fitri, dan Muhammad Farhan. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan
7. Desy Yeni Verawati, wanita yang begitu terspesial yang telah banyak
ini.
Putra.
10. Seluruh sahabat Aqidah Filsafat 2011, baik yang sudah selesai ataupun
13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu
vii
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. v
ix
BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN
SOEHARTO……………………………………………………………………..
33
ASTABRATA....................................................................................................... 51
Soeharto……………………………………………………………………. 81
A. Kesimpulan ................................................................................................ 84
B. Saran-saran ................................................................................................. 85
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
xi
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
sebagai Orde Baru. Menurut O.G Roeder banyak para kritikus yang mengenal
dan politik.2
pada 12 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden hingga setahun
1
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Penerjemah A. Bar Salim & A. Hadi
Noor (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hal. 5.
2
Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi:Pertumbuhan dan Pemerataan” dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hal. 146.
3
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 190.
1
2
pegawai hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa, Partai
masa itu bisa diberikan penilaian dari dua sisi, pertama memang kebijakan
tersebut dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pemerintah masa itu, kedua
dan bahkan juga ada pendapat yang mengatakan tindakan tersebut merupakan
kejahatan HAM. William Liddle, guru besar Departemen Ilmu Politik, Ohio State
sebagai mantan ketua Dewan Pembina Golkar pada Orde Baru, Golkar selalu
mendukung Soeharto 100 persen selama 32 tahun, tujuh kali masa jabatan
presiden, tak peduli apakah Soeharto telah melakukan kejahatan HAM sejak
Akan tetapi, benarkah apa yang telah dilakukan oleh Soeharto merupakan
suatu kejahatan HAM dan menindas demokrasi, karena tak jarang kita temui
kembali. “Piye kabare? Enakan jamanku toh?” Kalimat dalam bahasa Jawa
tersebut sering kita temui di tempat-tempat publik dalam bentuk stiker, bahkan
4
M. Fadjroel Rachman,”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar,” dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 527.
3
sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan
sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Selain itu sebagai pribumi asli
misalnya, pernah menerapkan prinsip bahwa seorang bapak adalah pemimpin bagi
Astabrata. 6 Selain itu seperti dikatakan oleh Denys Lombard “Soeharto sering
meminta nasehat pada dukun Jawa, dan istrinya telah memperkokoh pertalian
5
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 81.
6
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10.
7
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris.
Penerjemah Winarsih Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 71.
4
dalam penataran Pancasila serta dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung
adalah konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola
pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya diambil dari
dunia) dan hidup sederahana seperti seorang sufi yang meninggalkan kehidupan
sifat dewa).9
gaya kepemimpinan Soeharto secara lebih mendalam dan memandangnya dari sisi
dulu hingga saat ini, ajarah Astabrata sangat populer dalam kehidupan masyarakat
Jawa. Astabrata dikenali masyarakat melalui tradisi tulis dan tradisi lisan. Tradisi
tulis yang memuat Astabrata dapat ditemukan pada karya tulis atau karya sastra
Jawa tradisional (zaman istana atau masa kerajaan). Sebagai contoh, pada masa
8
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari
2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata
9
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun
Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 6.
5
pemerintahan kraton Surakarta telah digubah sastra Jawa bertuliskan huruf Jawa
(Hyang Indra Yama Surya Candra, Bayu, Kuwera Baruna, Agni nahan
wolu, Sirata ma angga sang Bhupati, Matang nira ninisthi Astabrata.)
Nama Astabrata juga terdapat dalam naskah Serat Nitisuri zaman sastra
10
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma
Raja ( Yogyakarta: Adiwacana, 2006), hal. 50.
11
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51.
12
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51
6
Selain itu nama Astabrata juga terdapat dalam naskah-naskah lain seperti
Serat Rama Jarwa, Pakem Makutharama, atau dalam kitab Babad Sangkala.
Sementara itu dalam tradisi lisan, Astabrata dikenali masyarakat melalui naskah
Selain itu Astabrata juga diajarkan melalui sastra tulis dan seni pertunjukan.
Untuk seni pertunjukan terdapat dua jenis tradisi seni pertunjukan yang menjadi
dan seni pertunjukan dalam bentuk pegelaran wayang kulit. Dalam sastra tulis
wayang, ajaran Astabrata terdapat dalam buku Pakem Makutharama yang ditulis
Arjuna tersebut berasal dari kitab Babad Sangkala. Hal itu terlihat dari tokoh
Babad Sangkala watak kepemimpinan tidak lagi diambil dari watak delapan dewa
sebagaimana terdapat dalam kitab Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, dan Serat
benda-benda alam.14
Indonesia menjadi makmur dan damai, sehingga bisa dikatakan beliau merupakan
sosok pemimpin yang baik, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan bahwa beliau
13
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51-52.
14
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 53-54.
7
mengatur tentang kebaikan raja atau pemimpin yang disamakan dengan kebaikan
Dewa dalam agama Hindu. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa pada sosok
pemimpin yang baik juga melekat kebaikan para Dewa. Salah satu yang dikatakan
kebaikan dewa dan harus dimiliki oleh raja dalam Astabrata adalah kemampuan
untuk membasmi semua kejahatan demi menjaga negara yang tentram. Bisa
pada masa Orde Baru, sama dengan salah satu teori dalam Astabrata tersebut,
merupakan orang Jawa, maka penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh
Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada konsep filsafat Astabrata
Astabrata?
C. Tujuan Penelitian
kepemimpinan Astabrata.
kepemimpinan Astabrata.
Astabrata.
(S1).
D. Manfaat Penelitian
Selain untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), penelitian ini juga
filsafat asli Jawa. Penulis juga hendak menghadirkan bahwa Indonesia ataupun
Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri. Yang berbeda dari filsafat lain, baik
Barat maupun Timur bagi para akademisi secara umum dan di Fakultas
E. Tinjauan Pustaka
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). Dalam skripsinya tersebut Dudi Maududi
terpinggirkannya Islam politik pada masa itu; pertama, umat Islam pada masa itu
politik, dan harus disingkirkan. Kedua, sumber daya manusia dari kalangan Islam
Politik belum siap bersaing dengan kelompok lain. Akibatnya, Soeharto memilih
Pancasila bagi Soeharto merupakan suatu pandangan hidup yang digali dan
Etika Politik Soeharto (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa yang dipelajarinya saat masih kecil,
dikatakannya Soeharto tidak peduli dengan etika politik modern, kalaupun ada
diterapkan hanya pada segi formalnya saja, adapun esensi hukum yang diterapkan
Skripsi yang terakhir adalah karya Nita Setiawati tentang Politik Hukum
undang No. 8 Tahun 1985) (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006). Skripsi tersebut membahas tentang bentuk konfigurasi politik pada
Pemerintahan Soeharto juga telah melahirkan politik hukum demokrasi yang tidak
sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah penulis teliti dan uraikan di atas,
maka skripsi yang penulis ini merupakan sesuatu yang berbeda dengan tulisan-
F. Metode Penelitian
permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik
primer maupun sekunder. Literatur primer yang penulis gunakan tentang filsafat
11
Yogyakarta pada tahun 2006. Sementara sumber primer tentang Soeharto adalah
buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis oleh Ramadhan
Soeharto, yang diterbitkan oleh Citra Lamtoro Gung Persada di Jakarta pada
1989.
beberapa orang penulis yang mayoritas merupakan para sarjana dari luar negeri
dan Donald K. Emmerson sebagai editornya, para penulis dalam buku ini
membahas bagaimana kondisi Indonesia pada masa Soeharto, pra Soeharto dan
pasca Soeharto, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama
Indonesia dalam Arus Sejarah karya Daud Aris Tanudirjo yang diterbitkan
kepemimpinan tokoh yang menjadi judul buku di atas juga memaparkan falasafah
Ada juga buku Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:
Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX yang pada awalnya
12
jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis
dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis
2011/2012 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun
G. Sistematika Penulisan
secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup
pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
13
Orde Baru dan sangat memfokuskan pada tulisan tentang keadaan Indonesia di
Astabrata.
Bab IV yang merupakan inti pembahasan penulis dari skripsi ini, berisi
Bab V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari
mengambil acuan terlebih dahulu kepada apa itu pengertian filsafat, apa itu
melenceng terlalu jauh untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata
“gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat;
yang dijadikan pandangan hidup.”1 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga
ditemukan kata benda lain “filsafat” yang diartikan “teori tentang kebenaran; ilmu
dalam bahasa Indonesia “filsafat” memiliki arti yang lebih luas dari “falsafah”,
Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, philos atau philei yang
berarti cinta atau suka, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan atau hikmah
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 387.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 392.
14
15
Selain itu kata philosophy juga mempunyai banyak arti lain, diantaranya:
epistemologi.4
tersebut yaitu, Plato memberikan istilah dengan dialetika yang berarti seni
al-Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari
Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu. Bagi
Imanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dari segala
pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: 1) Apa yang dapat kita
3
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), hal. 9
4
Abdul Azis, “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada Seminar “Bill of
Human Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives” (Ciputat, 20 September
2016), hal. 2.
16
Konsep dan defenisi yang diajukan para filsuf itu banyak sekali dan
berbeda-beda, namun dari semua perbedaan itu dapat diambil garis besarnya,
bahwa: Filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal
terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti
Tetapi menurut penulis, sesuai dengan pembahasan skripsi ini lebih tepat
mengartikan filsafat dengan apa yang disebut Bahasa Indonesia dengan falsafah
yaitu, gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat
tentang kehidupan.
cara memimpin.7
dalam Bahasa Arab imamah. Secara etimologis, kata kerja to lead berasal dari
kata Inggris lama leden, atau loaden yang berarti “membuat berlangsung,
5
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX &
Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 20-21.
6
Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 11.
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1074.
17
membimbing, menunjukan jalan” dan dari bahasa Latin ducere yang berarti
cara mencapai, menularkan suatu tata krama. Leader didefinisikan; seorang yang
memimpin, seorang yang bergerak lebih dahulu, ketua partai atau fraksi.8
adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka
tulisan ini, penulis mengutip pendapatnya Abdul Azis yang disampaikan pada
8
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 3.
9
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 22-23.
18
B. Pengertian Astabrata
Nama atau kata Astabrata berasal dari dua kata, yakni asta dan brata. Kata
astha merupakan kosa kata dalam bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata astha
berarti “delapan.” Sementara itu kata brata merupakan kosa kata Jawa baru yang
berasal dari kosa kata Jawa kuno. Kata brata berarti “laku”. Kata “laku” dapat
juga disejajarkan dengan sikap, tindakan, atau sejenisnya. Kata laku dapat juga
disejajarkan dengan kata watak atau sifat. Dengan demikian Astabrata dapat
dimaknai “delapan laku” atau “delapan watak” atau “delapan sifat”. Kata asta
juga dekat dengan kata astha yang berarti membawa atau memegang. Dari kata
asta dapat dibentuk menjadi ngasta artinya memegang. Jika dihubungkan dengan
makna Astabrata, nama Astabrata dapat berarti tindakan atau laku memegang;
dan yang dipegang adalah negara. Jadi Astabrata dapat diartikan sebagai delapan
10
Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 4.
11
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 54.
19
Kisah lahirnya ajaran Astabrata bisa diketahui dalam cerita wayang kulit
atau wayang purwa, khususnya dalam cerita Ramayana.12 Kisah tentang lahirnya
ajaran Astabrata tidak ditemukan dalam Ramayana di negara India, tetapi bisa
ditemukan di cerita Ramayana Kakawin atau Ramayana Jawa Kuna. Oleh sebab
itu sekalipun konsep ajaran tersebut telah ada dalam naskah agama Hindu di
kreativitas pujangga Jawa. Ajaran Astabrata terdapat dalam beberapa karya sastra
Jawa, antara lain kitab Nitisruti, Serat Rama Jarwa, Babad Sangkala, Serat
Nasehat yang disampaikan Rama kepada Bharata dan Wibisana inilah yang
kepemimpinan Rama Wijaya ini kepada Arjuna. Lakon ini dikenal dengan sebutan
Rama Nitik.15
12
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 55.
13
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65.
14
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang
Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.
61.
15
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal 61.
20
sarasehan, seminar, dan berbagainya. Bahkan kisah atau inti ajaran Astabrata
menjadi pahatan relief atau diorama pada museum Purnabakti Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Ajaran Astabrata juga pernah dikutip dalam pidato
terkait dengan ajaran kepemimpinan yang berkiblat pada watak delapan dewa,
1. Dewa Indra.
2. Dewa Surya.
3. Dewa Bayu.
4. Dewa Kuwera.
5. Dewa Baruna.
6. Dewa Yama.
7. Dewa Candra.
8. Dewa Brama.
Astabrata Jawa dengan Astabrata Hindu, dalam agama Hindu terdapat watak
Dewa Agni yang dijadikan teladan bagi seorang pemimpin dan tidak terdapat
16
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65-66.
17
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya:
Paramita, 2006), hal. 60.
21
itu menjadi bergeser kepada watak benda-benda alam. Pergeseran itu diawali
dalam sosialisasi ajaran Astabrata melalui pagelaran wayang purwa, seperti dalam
ajaran Makutharama.18
adalah:
1. Watak bumi.
3. Watak api.
4. Watak angin.
5. Watak matahari.
6. Watak rembulan.
18
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 66.
22
meneladani delapan sifat dewa atau watak alam tersebut melainkan juga seluruh
Selain itu, menurut penulis pergeseran orientasi ini juga tidak lepas dari
perubahan pola pikir dan kepercayaan masyarakat Jawa. Orang Jawa yang
terhadap agama-agama tertentu. Pada masa kerajaan di Jawa dahulu agama juga
pengaruh kepada hukum, filsafat, dan sastra yang berkembang pada waktu itu.
panutan di atas sebagian besar memiliki kesejajaran makna dengan simbol dewa
nama lain yang identik dengan nama para dewa yang diharapkan jadi teladan
kepemimpinan tersebut. Air adalah nama lain dari Baruna, rembulan dari Candra,
angin dari Bayu, api dari Brama, matahari dari Surya, Kuwera sebagai Dewa
penulis tidak bisa menghindarkan diri untuk masih mengambil landasan dari
watak dewa-dewa yang pernah ada dalam Astabrata meskipun konsepnya sendiri
keterbatasan referensi yang penulis dapat, hal ini juga tidak menjadi kendala
karena landasan uraian ini adalah dari perspektif budaya, bukan dari keyakinan
19
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 69.
20
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 68.
23
delapan dewa atau delapan simbol alam merupakan suatu kesatuan konsep yang
integral. Artinya, kedelapan watak itu harus menyatu pada diri seorang pemimpin.
sebab jika satu saja tertinggal maka negara yang dipimpinnya akan cacat. 21
Apabila delapan watak tersebut dapat menyatu dalam diri seorang pemimpin
seluruh hambanya baik yang besar maupun yang kecil, tanpa membeda-
bedakan.23
Dalam agama Hindu, Indra merupakan dewa yang paling penting di langit.
yang membantai raksasa Vrtra dan melepaskan air yang disanderanya. Indra
seringkali disamakan sebagai Tuhan Tertinggi. Kasih sayang dan welas asihnya
21
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.
174.
22
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 70.
23
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 174.
24
(Airavata).24
sifat-sifat atau perilaku dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang
memberikan sinarnya tanpa pilih kasih. Matahari juga meniadakan kegelapan dan
memberi kekuatan kepada alam semesta. Umat Hindu khususnya para pemimpin
harus dapat meniru sifat-sifat baik matahari. Mereka harus memberikan perhatian
bimbingan dan pendidikan agar manusia terhindar dari kegelapan tanpa pilih kasih
segala yang harum, restunya menanamkan rasa suasana yang sejuk. Batara Surya
selalu bersikap halus dan santun kepada siapapun. Maka siapapun yang berselisih
pendapat dengannya tetap menaruh rasa simpati dan malu/pakewuh. Batara Surya
24
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: Paramita, 2007), hal. 9.
25
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian untuk
Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 53.
26
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 52-53.
25
sangat pandai mengambil hati terhadap semua pihak. Karena perangainya yang
halus dan lembut semua orang tak terasa tengah dirayu oleh Batara Surya, bahkan
sinarnya dengan sangat lembut. Bulan memberikan sinar terang di malam gelap.
Umat Hindu atau para pemimpin dalam agama Hindu hendaklah selalu bersikap
lemah lembut, ramah tamah, murah senyum dan tidak mudah marah. Pemimpin
Selain itu pemimpin juga harus dapat membantu rakyatnya yang dalam kesusahan
(kegelapan).28
Hampir sama dengan ajaran Hindu di atas, dalam teks Astabrata Jawa
watak Dewa Candra atau bulan merupakan seseorang yang memerintah dengan
seluruh hati pegawai/bawahan dan rakyatnya. Selain itu Dewa Candra juga selalu
manusia. Tanpa udara manusia tidak bisa hidup. Tiupan angin juga memberikan
27
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233.
28
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53.
29
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233.
26
kepanasan. Dalam ajaran etika Hindu dengan menirukan sifat angin, para
dengan penuh toleransi atau timbang rasa, sehingga dijauhkan dari silang sengketa
yang dapat menimbulkan perkelahian sampai mati. Pemimpin juga harus dapat
menciptakan suasana sejuk, suasana yang selalu segar, sehingga terjalin suatu
Dewa Bayu atau watak angin merupakan dewa yang selalu meneliti dan
menyelidiki seluruh sepak terjang dan perilaku seluruh rakyatnya, seperti halnya
sifat angin yang mampu menelusup ke segala tempat dan situasi. Dalam
Bayu sangat berhati-hati dan hampir tidak kelihatan meskipun sedang melakukan
penjuru.32
30
K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53.
31
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234.
32
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.
27
seorang pemimpin memiliki ati segara (hati lautan, artinya sabar). Maksudnya
lapang dada. Dewa Baruna dalam Serat Nitisruti, dan Serat Rama Jarwa
merupakan simbol dari air. Dewa Baruna kemanapun ia pergi selalu membawa
nagapasa, senjata yang sangat sakti. Sikap itu merupakan perlambangan bahwa
seorang pemimpin harus siap siaga dalam menjalankan tugas menjaga keamanan
dan kedamaian Negara. Dalam menjalankan tugasnya Dewa Baruna bekerja sama
dengan Dewa Yama sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam hal ini Dewa
Baruna berperan sebagai penangkap pelaku kejahatan dan Dewa Yama sebagai
pengadil.33
merupakan sosok yang patut dicontoh untuk selalu berusaha menegakkan keadilan
dan kebenaran, selalu waspada atas kemungkinan terjadinya kejahatan dan selalu
peraturan dan ketentuan yang berlaku dan tidak mencoba untuk melanggarnya.
Mereka juga harus selalu waspada terhadap segala kejahatan yang akan muncul,
serta berani bertindak tegas dalam menghadapinya. Di samping itu pemimpin juga
33
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 99-100.
28
sikap Dewa Baruna dalam ajaran Astabrata Jawa dan ajaran Astabrata Hindu.
Secara garis besar kedua ajaran tersebut menggambarkan Dewa Baruna sebagai
penegak keadilan dan selalu waspada. Tapi dalam ajaran Astabrata Jawa Dewa
Baruna bergeser dengan watak air dan samudra, dengan meneladani watak air
sebagaimana air merupakan sumber kehidupan. Tidak ada makhluk hidup yang
tidak memerlukan air, sama halnya dengan pemimpin yang selalu dibutuhkan
Sedangkan samudra adalah kawasan air yang sangat luas. Samudra adalah
muara dari semua sungai yang memasuki lautan dengan membawa apa saja.
Semua itu diterima oleh lautan dan tidak pernah menolaknya. Ajaran yang
terkandung dari sifat samudra ini adalah seorang pemimpin harus dapat menerima
segala tindakan, persoalan, dan segala hal yang terjadi di negaranya. Dalam
tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan benci sewaktu dicela dan dikritik
34
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 63-64.
35
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 100.
29
ada dua hal yang saling berlawanan: senang dan susah, menyanjung dan
menghina, sepaham dan berselisih, baik dan buruk, membangkang dan taat, damai
dan rusuh. Kedua hal yang saling bertolak belakang itu menjadi isen-isening
binatang laut yang cantik dan mempesona hati. Limpahan yang bermanfaat dan
binatang cantik itu dapat diibaratkan sebagai perilaku bawahan atau rakyat yang
baik. Akan tetapi, seorang pemimpin tidak harus mabuk pujian, tidak suka
disanjung yang semuanya itu dapat membuat dirinya terlena dalam menjalankan
kewajiban negara.37
agung dalam ajaran Astabrata. Pekerjaan Dewa Yama adalah selalu menindak
seluruh pelaku kejahatan tanpa pandang bulu meskipun terhadap kerabat sendiri.
yang berpotensi menimbulkan kejahatan dan kerusuhan pada negara diusir dari
negara tersebut.38
36
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 103.
37
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 104.
38
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 175.
30
watak Dewa Yama adalah selalu memegang teguh keadilan dan kebenaran serta
adil dalam menerapkan hukum, menjaga kebenaran, dan berani bertindak tegas
untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah dan
Dewa Kuwera atau disebut juga Dewa Dhana merupakan contoh yang
dalam tata cara pengendalian diri. Kekayaan atau harta benda yang dimiliki
hendaklah dipakai untuk tujuan baik, tidak dipakai untuk menyombongkan diri.
Sebaiknya harta itu dipergunakan untuk membantu orang lain yang kekurangan
agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun kekayaan juga hendaknya selalu
sosok yang dapat menampung seluruh makhluk hidup dan Dewa Kuwera adalah
Dewa yang menyangga bumi. Seorang pemimpin harus memiliki watak mampu
39
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 62.
40
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 65.
31
(beraneka ragam) sebagaimana bumi harus ikhlas diinjak oleh siapapun, entah
orang baik atau jahat, orang berpangkat ataupun rakyat jelata, dan sebagainya.
Semua makhluk (atau semua orang) memiliki hak untuk hidup di atas bumi dan
bumi harus lapang dada menerima tugas dan kewajibannya dalam melayani semua
Bumi juga mempunyai sifat kuat sentosa dan suci. Dengan demikian
dalam ajaran Astabrata seorang pemimpin harus memiliki sikap teguh, tidak
sebagaimana bumi yang kuat dan tidak goyah membawa beban apapun
diatasnya.42
Sifat suci bumi maksudnya seorang pemimpin harus bersifat jujur dalam
rakyat dapat memperoleh kepastian dari sikap dan ucapan pemimpin. Dalam
Dalam Serat Rama, Dewa atau Hyang Kuwera merupakan pemimpin yang
mengatur negara. Sehingga para pembantunya tidak perlu lagi bekerja untuk
mereka.43
41
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 76.
42
K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 73.
43
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 177.
32
Sikap yang perlu diteladani seorang pemimpin dari Dewa Brama adalah
yang tertinggal, menurut penulis dalam bangsa Indonesia bisa disamakan dengan
gotong royong. Selanjutnya, Dewa Brama juga disimbolkan sebagai Dewa yang
seorang Raja pada masa lampau, menurut penulis meskipun ajaran tersebut lahir
pada masa lampau dan tertulis pada teks-teks Jawa lama namun ajaran Astabrata
tentang kehebatan para dewa, oleh orang Jawa dijadikan idealisme. Memimpin
rakyat dapat dianggap akan sukses apabila penguasaan karakter dewa mendarah
daging dalam dirinya. Hal ini sekaligus akan membuka peluang kewibawaan
44
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 178.
BAB III
maka penulis merasa perlu untuk membahas sedikit tentang riwayat hidup
tiga bagian utama, yakni; 1) Masa kecil dan masa sekolah; 2) Karir dalam
Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tuanya
merupakan seorang ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah
lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugas tersebut. Ibunya bernama
ketiga dari Kertosudiro, dari isteri yang pertama Kertosudiro mempunyai dua
anak. Hubungan kedua orang tua Soeharto kurang serasi hingga akhirnya tak lama
melahirkan tujuh anak, dan ayahnya menikah lagi dan mendapatkan empat anak.1
yang tidak memiliki lahan sejengkalpun. Belum sampai empat puluh hari setelah
1
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 6.
33
34
dan tidak bisa menyusui. Setelah berumur empat tahun Soeharto diambil lagi oleh
ibu Sukirah.2
Selain ayah, ibu, dan mbah Kromodiryo seorang tokoh yang juga
anaknya mendapatkan pendidikan yang kurang baik jika tetap tinggal di daerah
belakang Soeharto dari keluarga petani dari desa Kemusuk menanamkan benih-
2
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 8-9.
35
dan kedua orang tua. Sampai jadi presiden saya tidak merasa berubah dalam
hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.”3
Soeharto memiliki ketertarikan kepada seorang kiai yang bernama Darjatmo. Dari
kiai Darjatmo inilah Soeharto bisa mengerti apa itu samadi dan apa itu kebatinan,
4
belajar filsafat hidup, agama dan kepercayaan. Soeharto menamatkan
Awal langkah Soeharto memasuki dunia militer terjadi ketika beliau masih
berumur sembilan belas tahun, tepatnya pada tahun 1940. Soeharto diterima
latihan dasar selama enam bulan, Soeharto lulus dari sekolah militer itu dengan
mendaftar sebagai Keibuho, polisi. Setelah lulus dari Keibuho dengan predikat
terbaik lagi Soeharto dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang untuk
mendaftarkan diri pada PETA. 5 Pada masa latihan di PETA ini terasa hidup
3
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 13.
4
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta : Gunung Agung, 1976),
hal. 167.
5
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 22.
36
lainnya di PETA membentuk suatu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan
Soekarno menyerukan agar bekas PETA, Heiho, Kaigun, KNIL dan para pemuda
Secara resmi Soeharto tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5
Semasa terjadi serangan umum di Yogyakarta pada Maret 1949, atas saran Sri
tangan Belanda. Pasca serangan umum tersebut karir Soeharto dalam kemiliteran
Kemudian pada tahun 1967 Soeharto mendapatkan pangkat Kolonel.7 Selain itu
dalam sidang tersebut. Saat itu Soeharto telah menjabat sebagai menteri/Panglima
Angkatan Darat. Sementara itu di luar istana mahasiswa melakukan demo dengan
Karno terpaksa meninggalkan ruangan sidang karena nota dari Brigjen Sabur
tentang adanya pasukan yang tak dikenal mengepung istana, Bung Karno pun
8
Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 117.
38
pergi menuju Bogor.9 Di tengah situasi yang rumit tersebutlah presiden Soekarno
adalah:
beberapa langkah taktis, salah satunya dengan pembubaran PKI pada 12 Maret
1966, langkah tersebut menimbulkan reaksi keras dari presiden Soekarno yang
Soekarno, Surat Perintah Sebelas Maret tidak terkait dengan masalah politik,
hanya sebatas masalah keamanan. Akan tetapi Soeharto tetap teguh pendirian, ia
sikap dari Soeharto dalam mengartikan perintah pada poin yang pertama, yaitu
9
Julius Pour, “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan,” dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 45.
10
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian,
ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2011), hal. 19.
39
janji solusi politik. Oleh karena ingin mempertahankan status quo akibat dari janji
solusi politik yang tak kunjung tiba, Presiden Soekarno ditinggalkan oleh
sebagai pembela PKI. Sikap Angkatan Darat kemudian diikuti oleh sejumlah
partai politik dan organisasi massa. Tanpa disadari oleh Soekarno, penundaan
situasi politik berarti memberikan ruang dan waktu yang seluas-luasnya kepada
Selain itu Soeharto melakukannya melalui operasi sosial politik yang sistematis
serta operasi militer yang intensif terhadap sisa kekuatan PKI yang dianggap
11
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru,” hal. 20-21.
40
yang diadili karena dianggap sebagai penghianat bangsa. Selain itu Soekarnopun
waktu 1967.12
Di tengah situasi nasional yang tidak stabil pada waktu itu ada pertanyaan
Apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada Soeharto
menjawab.
tampil ke depan, ada politisi yang tidak sabar agar adanya perubahan dan
Soeharto agar mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut langsung
“Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur saja, cara-cara seperti itu
bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tidak
akan menimbulkan stabilitas yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan
sejarah yang menunjukan bahwa di Indonesia ini pernah terjadi perebutan
kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikitpun
12
Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," hal. 25.
13
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 173.
41
pikiran di benak saya untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda.
Gerakan serupa itu menurut saya tidak akan berhasil.14
Tetapi setelah satu tahun konflik politik tersebut berjalan Soeharto pun
kepada Soeharto melalui Mr. Hardi dari PNI. Ada dua surat yang dikirimkan, satu
bahwa hal-hal yang tercantum dalam “Surat Penugasan” itu akan dinyatakan di
depan Sidang Badan Pekerja MPRS. Sedangkan isi “Surat Penugasan” tersebut
Secara resmi Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 20 Februari 1967,
dan resmi sebagai presiden Republik Indoneia kedua pada Maret 1968 setelah
1. Bidang Ekonomi
14
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 185.
15
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 187.
42
begitu anjlok pada sekitar tahun 1960-1965an yang juga disebabkan oleh situasi
politik pada waktu itu. Kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah
Orde Baru pada dasarnya merupakan cerminan dari dinamika pergulatan ekonomi
politik pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” negeri ini. Bisa
dikatakan cita-cita besar rezim Orde Baru adalah penataan kembali seluruh
kehidupan bangsa dan negara serta menjadikan pemerintahan Orde Lama sebagai
membangkitkan gerak hati primitif dan berbahaya yang tak menuju konflik sosial
dan akan membelotkan rakyat Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan untuk
ekonomi, sehingga dia bersedia bekerja sama dengan beberapa ahli yang latar
Soeharto memasukan beberapa ahli pada susunan kabinetnya. Itu merupakan salah
Indonesia pada waktu itu adalah: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad
Sadli, Soebroto, dan Emil Salim. Widjojo Nitiastro ditunjuk sebagai ketua dari
tim ini yang mendapat julukan ”Mafia Berkeley ” hampir selama dua dasawarsa.17
negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain lembaga-
mengucurkan bantuan dana atau menanamkan modal bila iklim sosial politik
Indonesia dinilai kondusif. Tidak ada jalan bagi pemerintahan Orde Baru selain
Strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru Soeharto saat itu adalah dengan
meningkatkan taraf hidup rakyat adalah dengan membuka diri pada pasar dunia.
hasil nyata, pendapatan rata-rata orang Indonesia yang hanya 50 dollar AS pada
17
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan" dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 154.
18
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika
Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
44
1965 perlahan-lahan naik menjadi 500 dollar AS pada 1980. Di antara 1968 dan
berpenghasilan rendah (low income countries) pada awal 1990-an. Selama kurun
waktu ini juga kemiskinan absolut telah berkuarang di Indonesia, lebih dari 60%
jumlah penduduk pada tahun 1965 sampai hampir 16% pada tahun 1996.20
dari segi pertanian, petani-petani dari desa mendapatkan perhatian yang lebih dari
sektor pertanian, khususnya subsektor pangan. Menurut para ahli prioritas kepada
pemerintah Orde Baru bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi
19
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.
Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191.
20
Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 147.
45
stabilitas politik dan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga
swasembada pangan.21
mengukur keberhasilan ini adalah bobot padi yang dihasilkan per hektarnya.
swasembada beras diakui oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang
Soeharto.22
digolongkan sebagai salah satu “ekonomi Asia yang berkinerja tinggi” (High-
Performing Asian Economies, HPAEs) oleh Bank Dunia dalam bukunya yang
kritikan yang datang terhadap pemerintahan Orde Baru soal pemerataan. Model
atau daerah yang berada di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan
mendorong arus besar perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Kue
ekonomi tidak dapat terwujud tanpa adanya stabilitas politik. Hampir semua
aktivitas politik pada masa Orde Baru mendapatkan kontrol yang ketat dari
persamaan golongan. Ada tiga golongan yang masuk dalam pandangan Soeharto,
Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari PNI, IPKI, dan
merupakan gabungan dari partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSSI, dan Perti)
24
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109.
25
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara” dalam Taufik Abdullah dan A.B
Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2011), hal. 60.
47
ideologi. Setiap partai politik diharuskan menganut ideologi yang sama yakni
Pancasila. Jika ada yang menolak azas Pancasila tersebut maka itu dianggap
sebagai potensi adanya ancaman. Sebagai contoh hukuman cekal (cegah dan
tangkal) yang diberikan kepada pimpinan dan anggota “petisi 50” pada tahun
1980.26
Soeharto sikap kritis yang merupakan salah satu bentuk cara kontrol sosial
No. 10 tahun 1982 tentang Penataran Kewaspadaan Nasional pada 26 Juni 1982.
komunisme/marxisme/leninisme.28
Selanjutnya hal yang juga patut diperhatikan untuk menjaga keamanan dan
merupakan negara kepulauan yang begitu luas, terdiri dari berbagai etnik suku,
agama, dan ras. Diantara suku-suku yang ada di Indonesia adalah Jawa, Sunda,
26
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 346.
27
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 115.
28
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 62.
48
Makassar, dll. Sementara keragaman bangsa Indonesia dari segi ras terdapat
warga negara Indonesia yang keturunan India, Arab, Cina, dan Eropa. Hubungan
antara empat ras ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Tulang punggung yang menjaga stabilitas politik dan sosial pada masa
dilibatkan dalam tata kelola negara melalui dwifungsi ABRI. Dalam Dwifungsi
ABRI, ABRI berperan sebagai stabilisator dan dinamisator bagi bangsa Indonesia.
Peran angkatan bersenjata merupakan sesuatu yang vital bagi Orde Baru
dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat. ABRI
Dwifungsi ABRI, yaitu ABRI berperan sebagai alat negara dan juga sebagai
kemerdekaan, berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan
jalannya pemerintah. Inilah sebab pokok pada masa Orde Baru ABRI mempunyai
29
Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 65.
49
Soeharto atau pemerintahan pada masa itu, konsep ini telah lama dikembangkan
oleh Jendral Besar A.H Nasution di era sistem Demokrasi Terpimpin. Saat itu
militer telah masuk ke dalam wilayah politik praktis, dan kehadirannya tidak
Indonesia yang telah mendapat ruang politik dan berpengaruh pada masa presiden
Soekarno.30
Berdasarkan kebijakan pemerintah pada waktu itu maka secara legal dan
institusional, ABRI telah menjadi satu kekuatan yang memiliki peran politik
sebagai halnya partai politik, selain tugasnya sebagai pertahanan dan keamanan
negara. Akan tetapi keputusan ini sangat sulit dipahami bagi mereka yang kritis
atau mengerti cara berpikir akademis pada masa itu, muncul kekhawatiran bahwa
menepis:
30
Firdaus Syam, “Militer dan Dwifungsi” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.,
Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2011), hal. 32.
50
31
G. Dwipayana, Ramadhan KH. Soeharto, hal. 460.
BAB IV
ASTABRATA
Dari awal berdiri negara Indonesia, budaya Jawa selalu berpengaruh besar
pulau Jawa menurut penulis hal ini tidak terlepas dari keberhasilan-keberhasilan
masih memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Politik memiliki
identitas masing-masing. Ketika identitas itu tidak dapat dikelola secara baik akan
muncul egoisme. Semua gejala tersebut dapat dilihat bahwa sedikit banyak proses
kultural politik dalam sistem politik Indonesia saat ini telah terbentuk oleh sebuah
membuktikan bahwa sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa telah merasuki
Bagi orang Jawa, pemimpin haruslah seorang yang alus (berbudi halus),
elegan, bertutur kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan reaktif, dengan
kekuatan dari dalam sehingga mampu memberikan perintah secara tidak langsung
51
52
pemimpin yang terampil dalam mendemonstrasikan sikap alus ini, terutama dalam
dengan filosofi budaya Jawa, dan bagaimana Soeharto memegang teguh filosofi
tersebut dalam kehidupannya. Seperti ajaran “tiga ojo”, ojo kagetan, ojo
tentu tidak bisa lepas dari filosofi Jawa selama kepemimpinannya khususnya
Selain itu patung yang menggambarkan delapan kuda yang menarik kereta perang
dan diatasnya terdapat Prabu Kresna yang memegang sais dan Arjuna yang
memegang busur panah. Patung ini diilhami oleh kisah Barata Yudha dan
Soeharto yang terkenal gemar menjunjung nilai-nilai budaya Jawa. 3 Bukti lain
adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan dalam penataran Pancasila serta
1
Yuanita Rusalia Harneni, “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto,” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), hal. 45-46.
2
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10.
3
Wilson,”Politik Hukuman Mati di Indonesia,” hal. 11.
53
Jakarta.4
Pada bagian ini, yang merupakan pokok utama pembahasan skripsi ini penulis
akan memberikan analisa tentang kepemimpinan Soeharto secara teori dan praktik
Astabrata.
Dalam ajaran Astabrata, dewa Indra merupakan dewa yang menjadi simbol
4
Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari
2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata
5
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.
174.
54
bertujuan untuk membuat rakyat sejahtera lahir dan batin.6 Menurut penulis secara
konsep, pemikiran Soeharto ini sangat sinkron dengan ajaran kepemimpinan yang
disimbolkan Dewa Indra dalam Astabrata. Jika dilihat secara praktekpun selama
Indonesia telah penulis paparkan pada bab II, yang secara garis besar di bawah
dari perkisaran tahun 1968-1981. Pada saat itu perekonomian Indonesia tumbuh di
pihak soal pemerataan. Istilah “Jawa Sentris” mungkin sudah tidak asing lagi
masyarakat, terutama penduduk desa di daerah luar pulau Jawa dan kawasan
Timur Indonesia yang seharusnya juga mendapat kesejahteraan yang sama dengan
6
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 349-350.
7
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.
Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191.
8
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.
55
Menurut Anne Booth, pimpinan Orde Baru memilih dan menjalankan kebijakan
Utara. Pilihan ini dianggap tidak mengherankan karena pemerintah pusat sendiri
daerah.9
“warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah atau daerah yang berada
sejumlah daerah.10
Mengenai pemerataan yang belum terwujud ini Soeharto sendiri secara jujur
mengakuinya, tetapi keadilan sosial ini tetap merupakan suatu cita-citanya selama
9
Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" hal. 205.
10
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109.
11
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 349-350.
56
yang sangat nyata selama kepemimpinannya, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih
baik daripada waktu sebelum pelaksanaan pembangunan pada masanya. Selain itu
merupakan teladan yang patut ditiru oleh seorang pemimpin agar bisa menjaga
penembakan langsung kepada para penjahat kaliber yang waktu itu dikenal
dari sebagian pihak karena para penjahat itu dihukum tanpa melalui proses
12
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351.
13
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 389-390.
57
peradilan, dan dianggap melanggar HAM. Namun justru sebagian besar rakyat
Soeharto hanya saja ingin bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dan
kekerasan yang itu bukan lantas dengan penembakan begitu saja, hanya kepada
para penjahat yang melawanlah penembakan itu dilakukan. Selain itu para
sudah tua dirampas hartanya, kemudian masih dibunuh. Bagi Soeharto ini
Lalu berkaitan dengan peristiwa “Petrus” ini, ada penjahat yang setelah
demikian itu dilakukan untuk memberi shock therapy (terapi goncangan) supaya
banyak yang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak
tegas dan mengatasinya. Dengan tujuan bisa menumpas semua kejahatan yang
menjijikkan.16
14
Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Sange, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto,
(Jakarta: Jakarta Citra, 2006), hal. 191.
15
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351.
16
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 390.
58
hukuman yang kejam di Indonesia. Bentuk dan cara pelaksanaan hukuman mati
memang berubah dalam kurun ratusan tahun. Tetapi pada dasarnya filosofis
hukuman mati sama saja sejak dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara hingga
superemasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan tertib
politik, dan pada zaman Orde Baru Soeharto atas nama “stabilitas nasional”.17
merupakan representasi dari sikap Dewa Yama membasmi para penjahat yang
17
Wilson,“Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati,” hal. 1.
59
Pada petikan di atas secara jelas dinyatakan untuk menjaga suatu “negara
menghabisi nyawa seseorang hingga tak berbekas. Selanjutnya cara yang dapat
diambil seorang pemimpin melalui watak Dewa Yama untuk menjaga sebuah
pergi siapa yang berbuat salah”, dalam hal ini penulis mengartikannya bagaimana
negara.
dalam hal ini yaitu sikap yang menyimpang dari Demokrasi Pancasila yang
depannya dalam jangka waktu 5 tahun.19 Pada masa pemerintahan Soeharto dapat
dilihat bagaimana pemerintah Orde Baru waktu itu menyikapi gerakan petisi 50,
Pada tahun 1980 hukuman cekal (cegah dan tangkal) diberikan kepada
Namun tindakan yang dilakukan Soeharto sangat jauh berbeda dengan yang
18
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 175.
19
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346-347.
60
digambarkan oleh Dewa Yama yang menyuruh pergi atau mengusir siapa yang
dekat pada berbuat salah, Soeharto malahan mencegah para pelakunya untuk
keluar dari Indonesia, menurut penulis hal ini karena Soeharto mencegah akan
anggota petisi 50 oposisi ala Barat, yang tidak sesuai dengan Demokrasi
Pancasila.20
kekuasaan yang sebenarnya dalam budaya Jawa nampak dalam ketenangan. Sikap
tenang di sini memiliki kaitan erat dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa
kekuatan batin. Seorang penguasa atau dalam pembahasan penulis lebih tepat
menggunakan kata pemimpin, haruslah seorang yang bersikap alus. Alus (halus)
pertama-tama berarti suatu permukaan halus dalam arti fisik, tetapi dalam hal
kekuasaan dan penguasaan lebih tepat dipakai arti lembut, luwes, sopan, beradab,
peka, dan sebagainya. Kehalusan di sini bukanlah sebuah kelemahan, akan tetapi
Seorang pemimpin sejati tidak akan berbicara dengan suara keras agar
sebagai perintah yang halus. Begitu pula ia tak memberi larangan secara kasar.
Suatu ucapan kritis, pertanyaan yang sopan kepada lawan, senyuman toleran
sudah cukup untuk menunjukan kehendaknya yang kuat seperti besi. Orang yang
dalam budaya Jawa di atas merupakan pemaparan yang hampir sama dengan
watak Dewa Surya dalam ajaran Astabrata yang menjelaskan pemimpin sebagai
seorang yang berwatak ambeg pramata, selalu bersikap halus dan santun kepada
siapapun.
Menurut penulis, watak alus pada diri Soeharto dapat dilihat dari berbagai
perpindahan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, sangat tampak
menduduki status sebagai kepala negara meskipun sudah ada desakan kepadanya
Lalu saya dihadapkan lagi kepada para mahasiswa yang tentunya tidak
sendirian. Saya menyatakan dengan nada tenang di depan mereka, bahwa
Bung Karno masih Presiden kita yang sah, sesuai dengan Undang-Undang
Dasa 1945. Kita mesti menghormatinya.24
22
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 102-103.
23
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 187.
24
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 179.
62
Pada masa konflik politik dan ajakan kepada Soeharto yang terus berganti
kepada Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967 karena menyatakan diri tidak
sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai kepala negara. 25 Dan setelah itu
sesuai dengan teladan yang digambarkan oleh watak Dewa Surya dalam teks
Astabrata berikut:
Hal yang dapat diperhatikan dari seorang pemimpin berdasarkan watak Dewa
terdapat tiga sifat yang menjadi teladan dalam sosok Dewa Candra, ketiga sifat
25
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 188.
26
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 176.
63
2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis. (Agar enaklah hati seluruh
semua perintahnya)
3. Mencintai dan dicintai oleh agamawan. (Hatinya penuh damai terhadap seisi
buana, sampai ke lubuk berbaik hati, lebih-lebih harum manis serta kasih
Astabrata, dan sifat ini merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki agar
seseorang menjadi pemimpin yang ideal atau sejati. Menurut penulis, Soeharto
yang begitu kental dengan kultur Jawa terkhususnya ajaran Astabrata selama
menjalankan kepemimpinan Orde Baru pasti sangat tahu dengan ajaran Astabrata
telah melakukan kesalahan. Malah jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan
sulit untuk memaafkannya. Dendam kesumat bisa terjadi terhadap orang itu.27
27
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009) hal. 137.
64
ataupun dendam kepada para pembantunya adalah sebagai berikut, pertama kasus
Panglima Angkatan Bersenjata yang diangkat pada Maret 1978. Belum sampai
dua tahun setelah dilantik nama jendral M. Jusuf sangat popular di Indonesia
sehingga lahir isu bahwa M. Jusuf memiliki agenda politik sendiri. Dan Soeharto
merupakan orang yang paling tidak suka jika ada pembantunya yang popular dan
Dalam kultur Jawa, raja memang tidak boleh disaingi atau tersaingi oleh
siapapun. Dalam kepemimpinan Jawa, penguasa hanya satu orang, yang lain
kekuasaan tidak ada dalam paham politik Jawa, segala kekuasaaan dan hukum
bersumber dari pribadi raja. Jangankan sosok, ide suatu hukum yang berada di
Soeharto tahu bahwa jendral yang terlalu berkuasa dan popular dapat menjadi
21 Mei 1998 dan naiknya B.J Habibie untuk menggantikannya, bisa dikatakan
Soeharto tidak pernah bersedia ditemui oleh Habibie, Soeharto merasa bahwa
Soeharto selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bahkan tatkala Soeharto dalam
keadaan kritis, 15 Januari 2008 Habibie dan istrinya yang datang menjenguk tetap
Ketiga, Harmoko juga bisa dipastikan sebagai orang yang menjadi sasaran
kemarahan dan rasa sakit hati Soeharto. Sama dengan Habibie, di mata Soeharto,
(Cak Nur) pada 18 Mei 1998, ketika itu Soeharto merasa tertarik pada gagasan
reformasi Cak Nur yang dipaparkan sehari sebelumnya di markas besar ABRI.
dalam reformasi tersebut Cak Nur mengatakan bahwa Soeharto harus lengser.
mengatakan, “Saya kan sudah lama ingin itu. Ini kan gara-gara Harmoko dan
Percakapan antara Cak Nur dan Soeharto itu terjadi ketika desakan agar
31
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 124-126.
32
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 128-129.
66
karena dukungan yang diberikan Harmoko selaku ketua umum Golkar agar
1987. Karena rakyat masih menginginkan Soeharto memimpin pada waktu itu.
Namun tak sampai setengah tahun setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia
menampakkan sikap yang tidak begitu yakin atau mantap untuk kembali
Soeharto tersebut memang tidak dapat dipastikan apakah keluar tulus dari hatinya
atau hanya sebatas sikap pura-pura, karena orang Jawa juga terkenal dengan sikap
ethok-ethok.36
33
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 133.
34
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
hal. 466.
35
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 131.
36
Ethok-ethok merupakan prinsip kepura-puraan dalam gaya berbahasa orang Jawa. Pola
perilaku kepura-puraan ini biasa dilakukan oleh penutur asli Jawa agar mampu mengendalikan diri
dan situasi sehingga tidak menimbulkan keributan. Budaya Jawa mengunggulkan sikap dan
perilaku yang tenang serta menghundari keributan sekalipun cuma bersifat verbal. (Lihat Herudjati
Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa, hal. 72-73).
Menurut penulis dengan sikap ethok-ethok ini dalam konteks kekuasaan maka akan menampilkan
seorang sebagai penguasa sejati, seperti Soeharto yang menampilkan diri dengan sikap tidak yakin
dan tenang menjelang pemilu 1987, tetapi tetap mendapatkan dukungan untuk kembali menjadi
penguasa/pemimpin bangsa Indonesia. Dalam budaya Jawa sikap tenang merupakan perilaku yang
menandakan kesejatian kekuasaan penguasa.
67
Harmoko, dan sampai mengeluarkan pernyataan “Ini kan gara-gara Harmoko dan
Soeharto tidak ingin acara tersebut dihadiri oleh pimpinan DPR/MPR, dan
Harmoko adalah orang yang menjabat sebagai ketua DPR/MPR pada waktu itu.
Soeharto meninggal.37
Selain contoh kasus tiga tokoh di atas, sejarah Orde Baru juga mencatat
banyak mantan jendral populer yang kemudian mendadak hilang dari peredaran
Jendral (Marinir) Ali Sadikin, Letnan Jendral Sarwo Edhie Wibowo (Komandan
Jendral RPKAD yang namanya juga populer dalam menumpas PKI pasca-
juga disisihkan).38
37
Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 135-136.
38
Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 115.
68
kesalahan. Malahan jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan sangat sulit
seorang pemimpin yang mempunyai sifat pemaaf seperti yang diteladankan oleh
Dewa Candra dalam ajaran Astabrata. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Candra
digambarkan sebagai sosok yang penuh ampun, itu sarananya memenuhi dunia
ini.39
kabinet pada masa Orde Baru tetap merupakan sosok seorang pemimpin yang
santun, lembut, penuh wibawa, tidak keras dalam berbicara tetapi memiliki bobot
Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia masa Soeharto) yang disampaikan
kepada Tjipta Lesmana mengatakan, Soeharto jika menolak usulan menterinya dia
tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menolaknya dengan cara yang
halus, dan biasanya para menterinya paham dengan sikap Soeharto tersebut. 40
Menurut Tjipta Lesmana, komunikasi politik Soeharto sangat tertib, satu arah,
singkat, dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai denga
kebiasaan Soeharto untuk melihat segala sesuatu berjalan “tertib, aman, dan
terkedali.” Selain itu juga sangat kental dengan kultur Jawa: banyak kepura-
39
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, hal.
176.
40
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52.
41
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52&55.
69
samar dan cara-cara tidak langsung yang merupakan warisan kebudayaan Jawa.42
Usman Hamid dalam tulisan pengantarnya pada buku Teror Orde Baru:
Ismid Hadad yang pernah bertemu dengan Soeharto di istana pada tahun 1980-an,
Soeharto adalah seorang penguasa yang memiliki karisma pribadi yang kuat
dengan senyuman khas gaya keramahan Jawa dan wajah Soeharto adalah wajah
Menurut penulis, selain ajaran tiga ojo yang menjadi pegangan bagi Soeharto
yang selalu ramah, murah senyum, dan penuh ketawa yang semuanya terdapat
sehubungan dengan kredit sebesar Rp. 1,3 triliun yang dikucurkannya kepada
seorang pengusaha yang bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahardja
(pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah bangkrut). Kasus ini sangat
42
O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, hal 4-6.
70
tertawa.”43
memiliki sifat ramah, santun, lembut, selalu tersenyum, dan juga dipenuhi tawa.
Tapi kebanyakan dari mereka juga sepakat bahwa terkadang hanya Soehartolah
yang mengetahui apa makna dibalik senyuman dan tawa tersebut. Namun dalam
kehidupan orang Jawa yang ideal, apalagi yang berlatar kelompok priyayi atau
ekspresi wajah yang tenang. Orang Jawa tidak akan memperlihatkan raut wajah
senang atau sedih yang berlebihan, jarang tertawa terbahak-bahak atau menangis
44
tersedu-sedu. Dalam prinsip komunikasi Jawa tindakan tenang dan
mengendalikan diri merupakan cara untuk menghindari keributan dan konflik, dan
sangat sesuai dengan prinsip hidup orang Jawa yang mengunggulkan sifat rukun
(damai).45
kepemimpinan Soeharto kepada para pembantu kabinetnya pada masa Orde Baru
“Agar enaklah hati seluruh negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya,
tiap katanya manis didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh
43
Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 58.
44
Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 152-151.
45
Herudjati Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di
Jawa, hal. 76-77.
71
enaklah didengar semua perintahnya” yang jika dilihat secara garis besar juga
Dalam ajaran Astabrata, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai oleh
akan lebih tepat menggambarkan bagaimana sikap pemuka agama yang resmi di
Indonesia pada masa Soeharto, dan untuk kasus ini penulis hanya mengambil
Islam lainnya.
Semasa Orde Baru, banyak pesantren dan figur kiai yang memperoleh
Soeharto. Sejumlah kiai masuk dalam daftar calon legislatif untuk meraih suara.
Dukungan yang disampaikan Gus Dur ini disampaikan setelah sepuluh tahun
46
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran
Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), hal. 47.
72
16 Agustus 1982.47
tersebut, menurut Asep Saeful Muhtadi sikap keagamaan NU pada dasarnya dapat
dilacak sampai pada pemikiran al-Ghazali tentang Islam dan manusia. Dalam hal
ini NU tidak bersikap antithesis terhadap suatu nilai yang dianut masyarakat.
Karena itu suatu sistem atau nilai dalam masyarakat senantiasa mempunyai
potensi untuk dikembangkan agar sejalan dengan tujuan pokok syari‟at Islam
dari angin, sikap utama yang patut diteladani seorang pemimpin pada watak Dewa
Bayu adalah tindakan yang selalu mengawasi gerak-gerik dalam negara dengan
teliti dan rinci, hal ini bertujuan agar pemimpin mengetahui kekurangan
47
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal. 136.
48
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal 146-148.
49
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.
73
hampir tidak kelihatan seperti halnya angin yang mampu menelusup ke segala
Dalam konteks saat ini, maka seorang pemimpin perlu mengangkat orang-
orang atau pemimpin di bidang tertentu untuk memikul tugas dan tanggung jawab
yang sejalan dengan watak Dewa Bayu adalah seperti tugasnya Intelijen Negara. 51
negara dari Jakarta sampai ke pulau terpencil, termasuk setiap desa. Perwira yang
berdinas aktif rata-rata menempati posisi juga sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dengan tetap memiliki tanggung jawab kepada atasannya
dan terus menerus sampai ke pusat pemerintahan. Perwira yang aktif ataupun
Soeharto dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat.
Pada masa Soeharto ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil
dua peran yang saling berkaitan: membela negara tidak hanya dari ancaman
militer konvensional yang berasal dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam
50
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234.
51
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 92.
74
negeri yang berciri apapun, seperti militer, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau
ideologis.52
Hampir sama dengan penilaian William Liddle di atas, bagi Soeharto ABRI
ketetapan dwifungsi ABRI pada masa Soeharto bisa menempatkan tenaga militer
baik yang aktif maupun pensiunan di DPR, MPR, dan DPR tingkat provinsi dan
pemimpin yang selalu siap siaga dalam menjalankan tugas dan keamanan negara,
maka menurut penulis ABRI pada masa itulah yang merupakan nagapasanya
keleluasaan yang begitu luas untuk menjaga keamanan dan kedamaian negara.
52
R. William Liddle, ”Rezim Orde Baru,” dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia
Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001), hal. 73-74
53
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 459.
54
R. William Liddle,” Rezim Orde Baru,” hal. 74.
55
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 463.
75
dibatasi hanya kepada para pembantu seorang pemimpin tetapi jika ditarik lebih
dan kestabilan sebuah negara. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan pemerintahan
produksi beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan pemerintah Orde Baru
bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi stabilitas politik dan
pangan.57
56
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 177.
57
Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi,” hal. 158.
76
pedesaan langsung terjun kepada para petani dan berkomunikasi langsung tentang
penghargaan yang diberikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada
tahun 1985 kepada Soeharto karena keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai
swasembada beras.
warganegara memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajibannya sebagai
negara dan dengan demikian seluruh warganegara akan ikut serta secara aktif
baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah. Penataran P4 ini pada mulanya
dimulai dari pegawai negeri dan anggota ABRI karena merupakan aparat
masyarakat luas seperti anggota partai politik dan Golongan Karya, alim ulama
58
Julius Pour, Warisan (daripada) Soeharto, hal. 84.
59
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 336.
77
membangun bangsa Indonesia. Hal ini serupa dengan pekerjaan Dewa Brama
menghancurkan musuh negara dengan sikap gagah berani, tetapi untuk analisa
tentang menghadapi musuh negara ini menurut penulis sama dengan analisa
Pada sub bab ini, fokus utama pembahasan penulis adalah menganalisa
Astabrata pada dirinya yang notabenenya berasal dari ajaran Hindu. Ajaran
60
Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 337.
61
Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 235.
78
dll.
tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada
diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin.
Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara
yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.62
atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang
pemimpin adalah orang yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi
apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana
62
Al-Fārābī, Fuşūl Muntaza’ah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), hal. 47.
63
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah (Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,
1349H.), hal. 43.
79
karakter semua anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk
karakter semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai
beranjak dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara
lemah lembut dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus kerja
keras dan paksaan. Demikian halnya dengan masyarakat ada yang cukup dengan
lemah lembut tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan
mereka menjadi warga yang baik. Tujuan dari itu semua adalah kebahagiaan
tertinggi.65
terhadap dirinya semakin kuat. Pemimpin tida hanya pandai tebar pesona tetapi
dimiliki oleh orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah filsuf
sejati.66
adalah organ utama dalam tubuh manusia.Dia harus ada dalam kondisi prima
64
Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 29.
65
Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 31-32.
66
Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 44.
80
dalam beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga
pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi
Apa yang terjadi pada pemimpin utama pasti akan berimbas kepada
jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit.
utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua
yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian. Pemimpin utama fokus
kepada satu tujuan utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama, tunduk kepada-
mengikuti apa yang dilaukan pemimpin utama namun tidak terlalu fokus pada
67
Al- Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,
hal. 118.
68
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121.
81
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta
cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka
akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tida bisa tidur dan merasa demam
(H.R. Bukhari Muslim).
Pada bab pertama, penulis telah menjelaskan bahwa salah satu ciri
konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir
Orang Jawa pada masa Hindu memiliki konsep tentang organisme negara,
raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan
tentang alam yang yang terbagi dalam mikrokosmos (dunia manusia) dan
makrokosmos (dunia supra manusia) adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan
dunia orang Jawa. Dalam pandangan ini terkandung dua faktor yang penting bagi
raja pada masa Jawa atau Hindu dahulu disamasuaikan dengan Dewa.71 Hal ini
tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam apabila memposisikan seorang raja
atau pemimpin sejajar dengan Tuhan/Allah dan dalam konsep kepemimpinan al-
Fārābī juga telah ditegaskan bahwa memang ada hierarki dalam kepemimpinan,
69
Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang
Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.
6.
70
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 33.
71
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34.
82
tetapi seorang pemimpin utama tidaklah sejajar dengan Sebab Pertama melainkan
pada masa Jawa Islam, karena ajaran Islam secara terang-terangan menolak
dalam kedudukan yang tidak setinggi atau semulia sebelumnya, hanya sebagai
kalipatullah.73
Ajaran Astabrta yang memuat delapan kebaikan yang ditentukan bagi raja
atau pemimpin untuk memimpin suatu kerajaan atau negara memuat kebajikan
yang disamakan dengan kebaikan delapan Dewa dalam pantheon Hindu. Soeharto
hal yang perlu digaris bawahi di sini menurut penulis adalah bagaimana penulis
yang pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak melupakan
dia akan menjadi sebab kesejahteraan bagi warga kota, sama halnya dengan
mendapat kepercayaan dari masyarakat, karakter ini hanya dimiliki oleh seorang
pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam seperti sifat Dewa Bayu dan
Baruna.
yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Hal ini bisa dilakukan secara
persuasi maupun secara paksaan. Konsep ini menurut penulis bisa disamakan
dengan kebaikan Dewa Surya, Candra yang lebih mengutamakan kelembutan dan
kasih sayang dan Dewa Yama dan Baruna dalam bertindak tegas dalam menjaga
Selanjutnya, pada akhir bab ini penulis bisa menegaskan bahwa meskipun
pada awalnya ajaran Astabrata berasal dari ajaran agama Hindu di India namun
untuk penerapannya di Jawa dan Indonesia secara umum telah memisahkan antara
ajaran sebuah agama. Terlebih setelah Islam masuk ke Jawa konsep penyesamaan
PENUTUP
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
kuno yang mencontohkan agar seorang pemimpin bersikap layaknya dewa-dewa yang
ada dalam naskah Astabrata. Karena dalam budaya kepemimpinan Jawa pemimpin
stabilitas nasional yang sangat kental dengan ajaran Dewa Yama. Namun, menurut
penulis masih belum secara keseluruhan ajaran Astabrata dapat diterapkan Soeharto
Dewa Indra bagi seorang pemimpin tetapi penulis juga sepakat bagaimana pandangan
baru akan membesar jika kuenya dibagi secara cepat dan merata kepada seluruh
rakyat masing-masing hanya akan mendapat bagian yang sangat kecil, tetapi jika
dibagikan hanya kepada segelintir kelompok tertentu (dalam permasalahan ini daerah
84
85
Kedua, watak pemaaf seorang pemimpin pada Dewa Surya tidak diteladani
oleh Soeharto, hal ini bisa dilihat dari sikap-sikap Soeharto kepada pembantu ataupun
sebagaimana keterangan Rudini (Kepala Staf Angkatan Darat) pada masa Soeharto
bahwa Soeharto pernah mengeluarkan buku wejangan yang berjudul Hasta Brata.
B. Saran-saran
Dengan penulisan skripsi ini, penulis memberikan saran kepada semua pihak
yang membaca tulisan ini, khususnya kepada jurusan Aqidah Filsafat bahwa bangsa
Indonesia atau dahulunya bernama Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri yang
berbeda dengan konsep yang ada di Barat ataupun Islam, tetapi tetap tidak lepas dari
gagasan dasar filsafat secara umum, yaitu berfikir secara mendalam agar mencapai
kebijaksanaan.
Selain itu, menurut penulis filsafat Nusantara masih sangat layak untuk
Achmad, Sri Wintala. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi.
Yogyakarta: Araska, 2013.
Azis, Abdul. “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada seminar Bill of Human
Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives, Ciputat, 20
September 2016.
Djamhari, Saleh As'ad, "Lahirnya Orde Baru." Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.
Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2011: hal. 2-27.
Fārābī, Al. Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah . Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.
Harneni, Yuanita Rusalia. “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto.” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.
K.H, Ramadhan dan Dwipayana, G. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
86
87
Liddle, R. William,”Rezim Orde Baru.” Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond
Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2001: hal. 65-122.
Magnis Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta:PT. Gramedia, 1991.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985.
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal
dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES, 2004.
Pour, Julius. “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan.” Dalam Bagus Dharmawan, ed.
Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal. 43-
47.
Rachman, M. Fadjroel. ”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar.” Dalam Bagus Dharmawan
ed., Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal.
527-537.
Sari, Dewi Ambar dan Sange, Lazuardi. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto.
Jakarta: Jakarta Citra, 2006.
Suratno, Pardi. Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma
Raja. Yogyakarta: Adiwacana, 2006.
Syam, Firdaus, “Militer dan Dwifungsi.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.
Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2011: hal. 28-53.
Syukur, Abdul, “Hubungan Masyarakat dan Negara.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B
Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 54-77.
88
Wie, Thee Kian, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan." Dalam Taufik
Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 146-163.
Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati." Dalam Robertus Robet & Todung
Mulya Lubis, ed. Politik Hukuman Mati di Indonesia. Serpong: CV. Marjin Kiri,
2016: hal. 1-55.