Anda di halaman 1dari 48

AKUNTANSI PERPAJAKAN

AKTIVA TETAP BERWUJUD

Aset tetap merupakan bagian dari neraca yang dilaporkan oleh manajemen dalam
setiap periode atau setiap periode atau setiap tahun. Aset ini digolongkan menjadi asset tetap
berwujud dan asset tetap tidak berwujud. Asset tetap adalah asset berwujud yang diperoleh
dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam
operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal
perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun (PSAK No. 16 Tahun 2007).
Masa manfaat adalah periode asset tetap diharapkan digunakan oleh perusahaan, atau jumlah
produksi atau unit serupa yang diharapkan perusahaan diperoleh dari asset.

PENGAKUAN ASET TETAP

Suatu benda berwujud dapat diakui dan dikelompokkan sebagai asset tetap sesuai
ketentuan akuntansi komersial apabila:

1. Manfaat keekonomian masa yang akan datang yang berkaitan dengan asset tersebut
kemungkinan akan mengalir ke dalam perusahaan
2. Biaya perolehan dapat diukur secara andal.

Biaya perolehan ini terdiri atas harga beli, termasuk bea impor, PPN Masukkan yang
tidak dapat dikreditkan, dan biaya lain yang dapat diatribusikan secara langsung sampai asset
tersebut siap dipakai atau berada di tempat. Biaya yang dapat diatribusikan contohnya adalah
biaya persiapan tempat, pengiriman awal, penyimpanan, bongkar muat, pemasangan, dan
biaya professional.

Sebagai contoh PT Mekar membeli sebuah angkutan orang yang kapasitasnya lebih dari 10
orang (mini bus), dengan harga perolehan yang dirinci sebagai berikut:

Harga Pembelian = Rp 220.000.000

PPN yang harus dibayar 10% = Rp 22.000.000

PPnBM yang harus dibayar 10% = Rp 22.000.000 +

Harga Perolehan = Rp 264.000.000


1
PEROLEHAN ASSET TETAP
Pembelian Aktiva
Berdasarkan PSAK 16, aktiva tetap yang diperoleh dengan pembelian dalam bentuk
siap pakai dicatat dengan sejumlah harga beli ditambah dengan biaya yang terjadi utnuk
menempatkan aktiva itu pada kondisi dan tempat yang siap utnuk dipergunakan. PPN yang
tak dapat dikreditkan merupakan salah satu unsure pembentuk harga perolehan, kecuali pajak
itu dibebankan sebagai biaya pada tahun perolehan tersebut.
Dalam ketentuan perpajakan, tergantung dari status hubungan antara penjual dan
pembeli, sehubungan dengan pihak yang terlibat dalam transaksi pembelian aktiva dipisahkan
antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan yang tidak.
Harta perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta ditentukan
sebagai berikut:
1. Tidak dipengaruhi hubungan istimewa:
a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harta yang sesungguhnya dibayar;
Termasuk dalam harga perolehan harta adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan
biaya pemasangan.
b. Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima.
2. Dipengaruhin hubungan istimewa:
a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan
b. Bagi pihak penjual, harta penjualan harta adalah jumlah yang seharusnya diterima.
Contoh: PT. A (pemegang saham 30% dari PT B) menjual sebuah peralatan kepada
PT B Rp 10 juta. Harga di pasar bebas Rp 12 juta maka untuk tujuan perpajakan harga
perolehan (dan penjualan) yang dicatat di buku kedua badan itu Rp 10 juta akan dihitung
kembali menjadi Rp 12 juta. Jika peralatan itu merupakan barang kena pajak, tanpa
memperhatika koreksi harga itu PT. A akan memungut PPN misalkan sebesar Rp 1 juta.
Jika PT. B pengusaha Kena pajak (PKP), PPN itu dapat dikreditkan dengan PPN
keluaran atas penyerahan barang badan tersebut. Oleh karena itu, PPN tersebut tidak
dikapitalisasi sebagai nilai perolehan peralatan. Sebaliknya, jika PT. B bukan PKP atau aktiva
diperoleh sebelum badan itu dikukuhkan menjadi PPK terdapat dua pilihan perlakuan
perpajakan yaitu dikapitalisasi sebagai nilai perolehan aktiva (sesuai dengan SAK) sehingga
sebagai biaya pada saat pembelian aktiva sehingga nilai aktiva hanya Rp 10 juta, sedangkan
Rp 1 juta merupakan penurunan penghasilan tahun itu.
1
Dari kedua alternative tersebut, pengusaha yang lebih memperhatikan cash flow maka
akan memilih perlakuan kedua yang akan memperoleh penghematan pajak dari pengurangan
penghasilan Rp 1juta. Sesuai dengan tariff pajak penghasilan yang berlaku, pengurangan itu
paling banyak 30% atau Rp 300.000,00 (berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
sejak tahun 2009 tarif PPh badan turun menjadi 28% dan nanti mulai tahun 2010 menjadi
25%).
Perolehan Asset Tetap Secara Gabungan
Apabila asset diperoleh secara gabungan, maka harga perolehan masing-masing asset
tetap ditentukan dengan mengalokasikan harga gabungan berdasarkan perbandingan nilai
wajar masing-masing asset yang bersangkutan.
Contoh harga bangunan termasuk tanah seharga Rp 300.000.000 (termasuk biaya notaries, bhea
balik nama, bea perolehan atas hak tanah dan atau bangunan, dan lain-lain). Alokasi harga
perolehannya dapat dihitung sebagai berikut:

Jenis Asset Harga Wajar Alokasi Harga Perolehan

Tanah 150.000.000 15/25 × 300.000.000 = 180.000.000


Bangunan 100.000.000 10/25 × 300.000.000 = 120.000.000
Jumlah 250.000.000 300.000.000

Ayat Jurnal yang disusun saat pembelian tunai adalah:

Tanah 180.000.000

Bangunan 120.000.000

Kas dan Bank 300.000.000

Perolehan Aset Tetap Secara Angsuran


Terhadap asset tetap yang diperoleh secara angsuran, perlu diperhatikan mengenai
kontrak pembeliannya.
Contoh, asset tetap dibeli secara angsuran dalam 10 kali amgsuran. Asset tetap yang dibeli
berupa mobil harga perolehan Rp 120.000.000 dibayar dalam 24 kali angsuran, masing-
masing Rp 5.000.000 per bulan dengan bunga 20% pertahun.
Perhitungan angsuran pertama:
Angsuran bulanan Rp 5.000.000
Bunga 1/12 × 20% Rp 120.000.000 Rp 2.000.000
Jumlah pembayaran Rp 7.000.000
1
Angsuran bulan kedua:
Angsuran bulanan Rp 5.000.000
Bunga 1/12 × 20% ×
(120.000.000 – 5.000.000.000) Rp 1.916.700
Jumlah Pembayaran Rp 6.916.700

Ayat Jurnal yang disusun


 Saat pembelian asset tetap
Mobil/kendaraan 120.000.000
Uang angsuran 120.000.000
 Saat Pembayaran
Utang angsuran 5.000.000
Beban bunga 2.000.000
Kas dan bank 7.000.000
 Saat pembayaran angsuran kedua
Utang angsuran 5.000.000
Beban bunga 1.916.700
Kas dan bank 6.916.700

Perhitungan pembayaran angsuran dibuat setiap bulan. Pada hitungan tersebut, bunga
semakin lama semakin menurun karena jumlah pinjaman juga menurun. Penetapan bunga
yang digunakan berdasarkan pada tingkat bunga efektif.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk pembelian dengan angsuran ini, bergantung
pada perjanjian. Terdapat pula harga dengan angsuran ditetapkan terlebih dahulu dan
angsuran yang harus dibayar setiap bulan tetap, maka angsuran terdiri atas 2 komponen, yaitu
angsuran dan bunga. Besarnya bunga dan setiap angsuran ditetapkan menggunakan tingkat
bunga tetap.

Perolehan dengan Sewa Guna Usaha Model


Sewa guna usaha (lease) umumnya merupakan perjanjian dengan pemberian hak
kepad lease untuk menggunakan aktiva yang dimilik lessor selama masa tertentu dengan
membayar sejumlah uang. Secara komersial, lease modal pada hakikatnya merupakan
pembelian aktiva. Sesuai dengan ketentuan perpajakan jumlah yang dibayar pada saat
1
pengambialihan aktiva dari lessor merupakan nilai kapitalisasi aktiva dimaksud. Menurut
KMK 1169/91 pada saat berakhirnya masa sewa guna usaha dari transaksi sewa guna usaha
dengan hak opsi, lease dapat melaksanakan opsi yang disetujui bersama. Opsi membeli
dilakukan dengan melunasi pembayara nilai sisa barang modal, yang kemudian menjadi dasar
penyusutan aktiva tersebut oleh lesee. Pada PSAK 30 yang menyatakan bahwa (bagi
penyewa guna usaha) aktiva yang disewaguna usahakan harus diamortisasi dalam jumlah
yang wajar berdasarkan taksiran masa manfaatnya.

Perolehan Aset Tetap secara Pertukaran


Menurut PSAK No. 16, suatu asset tetap dapat diperoleh dengan pertukaran atau
pertukaran sebagian. Dalam pertukaran sebagian dapat dilakukan untuk suatu asset tetap yang
tidak serupa asset lain. Biaya ini diukur pada nilai wajar asset yang dipertukarkan atau
diperoleh, yang paling andal, sebanding dengan nilai wajar asset yang dipertukarkan setelah
disesuaikan dengan jumlah setiap kas atau setara kas yang di transfer.
Asset yang diperoleh dari perolehan melalui pertukaran dengan:
1. Asset nonmoneter, baik dengan asset tetap yang sejenis atau asset tetap yang tidak
sejenis.
2. Sekuritas berupa obligasi atau saham yang dilakukan oleh perusahaan sendiri atau emisi
oleh badan lain.

Asset tetap yang diperoleh dalam pertukaran atau pertukaran sebagian untuk suatu
asset yang tidak serupa asset lain, biaya tersebut diukur dengan nilai wajar asset yang dilepas
atau diperoleh yang dianggap lebih andal, ekuivalen dengan nilai wajar asset yang dilepas
setelah disesuaikan dengan jumlah setiap kas atau setara kas yang ditransfer. Selisih nilai
adalah selisih antara nilai buku asset tetap yang lama dengan nilai perolehan yang baru.
Dalam hal ini apabila asset tetap dipertukarkan dengan asset tetap yang tidak sejenis harus
diakui sebagai laba atau rugi. Sebaiknya apabila dipertukarkan dengan asset tetap yang
sejenis, maka pengakuan laba rugi ditangguhkan sampai saat asset tetao yang baru
dilepaskan. Pada PSAK No. 16 (2007) juga menyebutkan bahwa keuntungan atau kerugian
yang timbul dari penghentian atau pelepasan suatu aset tetap diakui sebagai keuntungan atau
kerugian dalam laporan laba rugi.

Praktik akuntansi pajak tidak mengatur tentang perolehan aset dengan pertukaran,
baik kategori aset yang sejenis atau bukan sejenis, maupun dengan sekuritas yang tidak
diterbitkan perusahaan sendiri hanya pada pasal 10 ayat(2) UU PPh menyatakan bahwa nilai
1
perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar menukar harta adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Dalam hal terjadi transaksi tukar menukar harta dengan harta lain, maka nilai
perolehan atau nilai penjualan harta tersebut adalah:

1. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan
harga pasar;
2. Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima
berdasarkan harga pasar pasar (pasal 10 ayat 2 Undang-Undang PPh).

Contoh:

PT A PT B

(Harta X) (Harta Y)

Nilai Sisa Buku 10.000.000 12.000.000

Harga Pasar 20.000.000 20.000.000

Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi


pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, karena harga pasar harta yang diperlukan
adalah Rp 20.000.000 maka jumlah sebesar Rp 20.000.000 merupakan nilai perolehan yang
seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. Selisih antara harga
pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan pajak
penghasilan. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000 (Rp 20.000.000 – Rp
10.000.000) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000 ( Rp 20.000.000 – Rp
12.000.000 ).

Dalam melakukan pertukaran dapat terjadi pertukaran antara yang sejenis dan pertukaran
dengan aset yang tidak sejenis. Sebagai contoh mesin pabrik ditukar dengan mesin pabrik yang baru
atau ditukar dengan kendaraan. Akuntansi pajak tidak embedakan jenis aset yang dipertukarkan
sejenis atau tidak, tetapi lebih ditekankan perhitungan laba atau rugi pertukaran tidak terdapat laba
atau rugi ditangguhkan. Secara konkret dapat dilihat contoh di atas keuntungan yang dikenakan:

Pajak Penghasilan = Nilai sisa Buku Fiskal – Harga Pasar

Apabila dibuat perbandingan untuk mencari berapa besarnya laba pertukaran atas tukar
menukar asset antara akuntansi komersial dan akuntansi pajak diikhtisarkan:
1
PT Waras mempunyai mesin yang dipertukarkan dengan truk milik PT Wiris dengan
menggunakanan data yang ditetapkan, akan tampak pada perbandingan berikut ini:

PT Waras

Keterangan Akuntansi Komersial Akuntansi Pajak

Harga Perolehan 250.000.000 250.000.000

Akumulasi Penyusutan (90.000.000) 187.500.000

Nilai sisa buku 160.000.000 62.500.000

Harga pasar truk 180.000.000 180.000.000

Laba Pertukaran 20.000.000 117.500.000


PT Wiris

Keterangan Akuntansi Komersial Akuntansi Pajak

Harga Perolehan 200.000.000 200.000.000

Akumulasi Penyusutan (72.000.000) 150.000.000

Nilai sisa buku 123.000.000 50.000.000

Harga pasar truk 180.000.000 180.000.000

Laba Pertukaran 52.000.000 130.000.000

Ayat Jurnal yang disusun oleh PT Waras:

Truk 180.000.000

Akumulasi Penyusunan 90.000.000

Mesin 250.000.000

Laba Pertukaran 20.000.000

Rekonsiliasi yang disusun adalah sebagai berikut:

Keterangan Akuntansi Komersial Beda Akuntansi Pajak

Penyusutan Pada:

Tahap 1 30.000.000 32.500.000 62.500.000

Tahap 2 30.000.000 32.500.000 62.500.000


1
Tahap 3 30.000.000 32.500.000 62.500.000

90.000.000 97.500.000 187.500.000

Laba Pertukaran (20.000.000) (97.500.000) (117.500.000)

70.000.000 0 70.000.000

Dari gambaran rekonsiliasi di atas terlihat bahwa aset tetap termasuk dalam kelompok
1 (satu) yang disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus yang telah berjalan selam
3(tiga) tahun. Secara komersial, aset tetap tersebut juga disusutkan dengan metode garis
lurus. Dengan dibandingkan dengan laba pertukaran akan menghasilkan angka yang sama
antara akuntansi komersial dan akuntransi pajak.
Ditinjau dari sisi PT Wiris ayat jurnal yang disusun:
Mesin 180.000.000
Akumulasi Penyusutan Truk 72.000.000
Truk 200.000.000
Laba Pertukaran 52.000.000

Rekonsiliasi Fiskal yang disusun:

Keterangan Akuntansi Beda Akuntansi Pajak


Komersial

Penyusutan pada:
Tahap 1 24.000.000,00 26.000.000,00 50.000.000,00
Tahap 2 24.000.000,00 26.000.000,00 50.000.000,00
Tahap 3 24.000.000,00 26.000.000,00 50.000.000,00

72.000.000,00 78.000.000,00 150.000.000,00


Laba Pertukaran (52.000.000,00) (78.000.000,00) (130.000.000,00)

20.000.000 0 20.000.000,00

Dasar asumsi yang digunakan sama, yaitu metode penyusutannya adalah metode garis
lurus dan kelompok 1 (satu). Seperti dalam akuntansi komersial, tukar-menukar asset tetap
diikuti dengan tambahan uang. Pertukaran aset yang sejenis dan memiliki manfdaat yang
sama dalam bidang usaha yang sama serta nilai wajarnya sama tanpa diikuti tambahan uang,
maka secara Akuntansi Komersial tidak ada laba rugi yang diakui. Dalam Akuntansi Pajak
tidak membedakan pertukaran sejenis atau tidak sejenis.
1
Perolehan Aset Tetap dengan Cara Membangun Sendiri
Sesuai akuntansi komersial, biaya perolehan suatu aset tetap terdiri atas harga beli nya
dan setiap biaya dapat diatribusikan secara langsung dalam membawa aset tersebut ke kondisi
yang membuat asset dapat bekerja untuk penggunaan yang dimaksudkan. Demikian pula
dalam aset yang diperolehnya. Oleh karena itu membangun sendiri tentu saja menggunakan
prinsip yang sama seperti asset yang diperoleh, yaitu meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk pembangunan asset asset sampai siap pakai.
Biaya tidak langsung, efisiensi atau inefesiensi, dan bunga selama masa konstruksi
juga termasuk dalam nilai asset tetap karena membangun sendiri. Perlu diperhatikan setiap
laba internal dieliminasi dalam menetapkan biaya.
Sebagai contoh, biaya pembangunan Rp 250.000.000 sedangkan harga pasar asset
tetap Rp 300.000.000 . Maka penghematan Rp 50.000.000 tidak diakui sebagai penghasilan.
Demikian hal nya biaya dan jumlah yang abnormal dari bahan baku yang tidak terpakai,
tenaga kerja, sumber daya lain yang terjadi dalam memproduksi suatu asset yang dikonstruksi
sendiri tidak dimasukkan dalam biaya perolehan, tetapi segera diakui sebagai kerugian pada
tahun yang bersangkutan.
Dari aspek perpajakan perolehan aset tetap dengan cara membangun sendiri tersebut
sebagai objek yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Bunga yang dikeluarkan atas pinjaman
untuk pembangunan selama masa konstruksi akan dikapitalisasi. Hal ini sesuai dengan
ketentuan apabila bunga pinjaman dapat diatribusikan secara langsung dengan asset tertentu,
maka biaya pinjaman tersebut harus dikapitalisasi terhadap aset tertentu. Perlakuan akuntansi
komersial dapat diikuti oleh akuntansi pajak, sedangkan terhadap bunga yang dikapitalisasi
akan dibebankan ke penghasilan melalui penyusutan selama masa manfaat.

Perolehan Secara Hibah, Bantuan, dan Sumbangan

Dalam perolehan secara hibah, bantuan dan sumbangan secara langsung dihubungkan
dengan perlakuan akuntansi pajak, karena akuntansi komersial sedikit mengatur asset yang
diperoleh dari sumbangan (donasi).

Terhadap asset tetap yang diperoleh dari sumbangan harus dicatat sebesar harga
taksiran atau harga pasar yang layak dengan mengkreditkan akun modal yang berasal dari
sumbangan atau modal donasi. Contoh, asset tetap berupa tanah dan bvangunan dengan harga
pasar Rp 250.000.000,00 telah diterima sebagai sumbangan.
1
Modal donasi dari sisi akuntansi pajak mengacu pada Pasal 10 ayat (4) Undang-
Undang Pajak Penghasilan yang mengatur:

1. Apabila terjadi penghalihan harta berupa bantuan, sumbangan, harta hibah, atau warisan,
syarat yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b adalah:
Tidak termasuk sebagai objek pajak adalah:
a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima
zakat berhak;
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan social, atau pengusaha
kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
b. Warisan.
2. Apabila tidak memenuhi syarat yang diperlukan sesuai pasal 4 ayat 3 huruf a Undang-
Undang Pajak Penghasilan dengan contoh konkret yaitu harta hibahan yang diberikan
tersebut ternyata mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka dasar penilaian bagi yang menerima
penghibahan sama dengan nilai pasar dari harga tersebut.
Demikian pada akuntansi pajak atas penerimaan hibah juga akan dibukukan sebelah kredit
pada akun “modal donasi” sebagai alokasi sistematis rasional harga perolehan asset.

Mengacu pada Pasal 4 ayat (3) Undang- Undang Pajak Penghasilan, maka hibah pun
dapat dikelompokkan ke dalam:

1. Memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3)


Bentuk asset yang dihibahkan berupa kendaraan dengan rincian:

Harga Perolehan Rp 100.000.000,00


Akumulasi Penyusutan Rp 60.000.000,00 –
Harga Sisa Buku Rp 40.000.000,00
Harga Pasar Rp 55.000.000,00

Ayat jurnal yang disusun dari popok pemberi adalah sebagai berikut:
Biaya Tidak Dapat Dibebankan/Saldo Laba 40.000.000
Akumulasi Penyusutan Kendaraan 60.000.000
1
Kendaraan 100.000.000

Sedangkan ayat jurnal bagi penerima hibah adalah:


Kendaraan 40.000.000
Modal Hibahan 40.000.000
Bila hibah yang diterima Wajib Pajak tidak dalam rangka hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan, maka dipandang sebagai transaksi modal dengan sisa
buku menurut pembukuan pemberi hibah yang digunakan sebagi dasar
pengukurannya. Sebelumnya, penerima hibah mengakuinya sebagai ekuitas, bukan
sebagi penghasilan menurut fiskus.
2. Tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3)
Pemberian hibah ini tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan dengan pihak hibah. Transaksi hibah ini dipandang
sebagi transaksi pertukaran, sehingga dasar pengukurannya harga pasar. Seperti
contoh yang lalu, ayat jurnal yang disusun dari pemberi adalah sebagai berikut:
Biaya Hibah 50.000.000
Akumulasi Penyusutan Kendaraan 60.000.000
Kendaraan 100.000.000
Kendaraan dari Hibah Kendaran 15.000.000

Sedangkan ayat jurnal bagi hibah adalah:


Kendaraan 55.000.000
Penghasilan hibah 55.000.000

Harga pasar kendaraan dihibahkan sebagi penghasilan, sedangkan nilai sisa


bukunya diakui sebagai biaya. Apabila terjadi laba rugi, maka akan alokasikan kea
kun laba yang ditahan.
Apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3), hibah diaanggap sebagai
penghasilan yangdikenakan Pajak Penghasilan bagi penerimanya, dan dicatat sebesar
harga pasar dari harta hibahan.bagi pemberi harta hibahan, pengubahan harta tersebut
merupakan pengalihan harta. Oleh karena itu, harus dihitung laba atau rugi atas hibah
harta, yaitu harga pasar dikurangi nilai sisa buku apabila harta tersebut disusutkan.
Penghibahan berupa tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi yang dikategorikan
sebagai pengolahan harta dikenakan PPh Final.
1
Harga Perolehan atau Harga Penjualan dalam Hal Terjadi Pengalihan Harta dalam
Rangka Likuidasi, Penggabungan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan
Usaha

Apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga
pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha.di samping itu,
pengalihan tersebut dapat pula dilakukan dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya. Berikut
ini akan dijelaskan beberapa istilah yang perlu diketahui:

Istilah Penjelasan
Merger Meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
Penggabungan Penggabungan dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya
usaha terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau
mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil.
Peleburan usaha Penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha
baru.
Pemekaran usaha Pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terdiri ats saham
menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban
kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan
likuidasi badan usaha yang lama.
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah:

1. Penggunaan Harga Pasar


Jumlah yang harusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Selisih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan.
Contoh:
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru yakni PT C. Data-data tercatat
sebagai berikut:

PT A PT B
1
Nilai sisa buku Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
Harga pasar Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00

Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka
peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT A mendapat
keuntungan Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) dan PT B
mendapat keuntungan Rp 150.000.000,00 (Rp 450.000.000 – Rp 300.000.000,00)
sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000,00
(Rp 300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan social, ekonomi, investasi,
moneter, dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan nilai
lain selain harga pasar, yaitu atas dasar milai sisa buku (dengan menggunakan metode
“pooling of interest”). Dalam hal in PT C membukukan penerimaan harta sebesar Rp
200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00 = Rp 500.000.000,00.
2. Penggunaan Nilai Buku
Secara umum, penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha akan melibtakan
pihak yang mengalihkan harta dan pihak yang memperoleh harta. Sesuai Akuntansi
Komersial, metode yang digunakan dalam konsolidasi adalah:
 Penyatuan kepentingan (pooling of interest)
 Pembelian (purchase)

Dalam akuntansi perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method) atau


berdasarkan harga pasar, sedangkan metode penyatuan kepentingan dapat digunakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Pengaturan yang memberikan wewenang kepada menteri keuangan untuk menetapkan


nilai lain selain harga pasar yaitu atas dasar nilai buku. Ketentuan tersebut telah
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan,
atau Pemekaran Usaha. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal 13 Maret 2008. Pokok-pokok
aturan menteri keuangan tersebut meliputi:

1) Pihak yang diperkenankan menggunakan nilai buku


1
Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku dalam
penggabungan usaha atau peleburan usaha. Syarat yang diperlukan bagi Wajib Pajak
yang melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, maupun pemekaran usaha:
 Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dengan
melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha.
Langkah-langkah:
 Permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta yaitu dalam hal
Wajib Pajak melakukan merger atau Wajib pajak yang mengalihkan harta
dalam hal dilakukan pemekaran usaha.
 Pengajuan permohonan ditujukan kepada Kantor Wilayah Dirjen Pajak dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau
pemekaran usaha dilakukan.
 Sebagai dukungan permohonan perlu melampirkan surat pernyataan yang
mengemukakan alsan dan tujuan melakukan merger atau pemekaran usaha
disertai bukti pendukung serta melampirkan daftar isian dan surat pernyataan
dalam rangka business purpose test.
 Atas permohonan Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dimaksud,
kepala kantor wilayah harus menerbitkan surta keputusan paling lama 1 (satu)
bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Bila melebihi waktu
tersebut, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan akan
diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan.
 Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha terkait.
 Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test)
Masalah pelunasan seluruh utang pajak wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang
mengalihkan harta dan Wajib pajak yang menrima harta, termasuk utang pajak dari
cabang atau perwakilan yang terdaftar di kantor pelayanan pajak lokasi. Sedangkan
memenuhi persyaratan business purpose test apabila:
 Tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi
usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalaln serta tidak dilakukan
untuk penghindaran pajak.
 Kegiatan usaha Wajib pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung
sampai dengan tanggal efektif merger.
1
 Kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi
wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling
singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger.
 Kegiatan usaha Wajib pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap
berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger.
 Kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran
usaha wajib berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
merger.
 Harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya
merger atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib pajak yang
menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger
atau pemekaran usaha.
2) Wajib pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku
adalah:
 Wajib Pajak yang belum go public yang akan melakukan penawaran umum
perdana (Initial Public Offering)
 Wajib Pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering)
3) Sisa kerugian dan kompensasi kerugian
Sisa kerugian yang muncul akibat penggabungan dua atau lebih Wajib Pajak
yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha disebut sisa kerugian fiskal.
Dalam hal kompensasi kerugian yaitu Wajib Pajak yang melakukan merger
dengan menggunakan nilai buku tidak boleh mengompensasikan kerugian/sisa
kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/Wajib Pajak yang dilebur.
4) Pencatatan nilai buku
Bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta
tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
5) Penyusutan
Penyusutan atas harta yang diterima dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa
sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak-pihak yang mengalihkan.
6) Pajak penghasilan
1
Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah
anggsuran Pajak Penghasilan pasal 25 dari pihak-pihak yang menerima pengalihan
tidak boleh lebih dari jumlah angsuran yang wajib dibayar oleh pihak atau pihak-
pihak yang mengalihkan. Sedangkan untuk pembayaran, pemungutan, dan
pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan oleh pihak atau pihak-pihak
yang mengalihkan sebelum dilakukannya merger atau pemekaran usaha dapat
dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak
Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan.
7) Penjualan harta
Bagi Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan
nilai buku, bila Wajib Pajak yang menerima harta melakukan penjualan harta yang
sebelumnya dimiliki Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum melewati jangka
waktu 2 tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha. Wajib Pajak
tersebut dapat menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual
demi meningkatkan efisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti pendukung.
Bagi Wajib Pajak yang akan menjual sahamnya di bursa efek selambat-
lambatnya jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan Dirjen Pajak
untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku harus telah
mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal dalam
rangka penawaran umum perdana (initial public offering) dan penyataan pendaftaran
menjadi efektif.

Harga Perolehan dalam Hal Terjadi Pengalihan Harta Termasuk Setoran Tunai yang
Diterima oleh Badan sebagai Pengganti Penyertaan Modal
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan
setoran tunai atau pengalihan harta. Apabila terjadi pengalihan harta termasuk setoran tunai
yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal,
maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai
pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Contoh:
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp
25.000.000,00 kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal
Rp 20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut sebesar Rp 40.000.000,00. Dalam
hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai asset dengan nilai Rp 40.000.000,
1
00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai
nominal saham dengan nilai pasar harta sebesar:
(Rp 40.000.000,00 – Rp 20.000.000,00) = Rp 20.000.000,00 dibukukan sebagai agio. Bagi
Wajib Pajak X, selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 – Rp 25.000.000,00)
merupakan Objek Pajak.

PENYUSUTAN ASET TETAP


Masalah penyusutan merupakan masalah yang penting selama masa manfaat asset
tetap. Masa manfaat suatu aset tetap berwujud kecuali tanah dengan berjalannya waktu akan
semakin menurun kemampuannya untuk memberikan jasa.
Pengakuan atas penurunan asset tetap berwujud tersebut dialokasikan ke dalam
penyusutan (depreciation) sebagai alokasi sistematis rasional harga perolehan harga asset
berwujud. Sebagaimana diatur dalam PSAK No. 17 Tahun 2007, yang dimaksudkan
penyusutan adalah alokasi jumlah suatu asset yang dapat dususustkan sepanjang masa
manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusutan dilakukan dilakukan terhadap asset
berwujud dengan syarat aset tetap berwujud tersebut:
1. Diharapkan digunakan selama lebih dari satu periode akuntansi;
2. Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas; dan
3. Ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau memasok
barang dan jasa untuk disewakan, atau untuk tujuan administrasi.
Penyusutan atau jumlah disusutkan (depreciable amount) adalah biaya perolehan
suatu aset jumlah lain yang disubtitusikan untuk biaya dalam laporan keuangan dikurangi
nilai sisa. Terdapat istilah penghapusan yang pengertiannya berbeda dengan penyusutan.
Penghapusan adalah penghapusan nilai buku suatu asset yang dilakukan apabila nilai buku
yang tercantum dalam laporan tidak lagi menggambarkan manfaat dari asset yang
bersangkutan.
Seperti diketahui dalam akuntansi komersial, asset tetap yang dapat disusutkan sering
kali merupakan bagian signifikan asset perusahaan. Oleh karena itu, penyusutan juga dapat
berpengaruh secara signifikan dalam menentukan dan menyajikan posisi keuangan dari hasil
usaha. Dapat pula nilai sisa suatu aset sering kali tidak signifikan dan diabaikan dalam
penghitungan jumlah yang dapat disusutkan. Apabila nilai sisa signifikan, nilai tersebut
diestimasi pada tanggal perolehan atau pada tangtgal dilakukan reevaluasi aset (hanya
1
mungkin dengan ketentuan pemerintah). Sedangkan jumah yang dapat disusutkan
(depreciable amount) adalah biaya perolehan suatu aset, atau jumlah lain yang disubtitusikan
untuk biaya dalam laporan keuangan, dikurangi nilai sisainya.
Sesuai Pasal 11 Undang- Undang Pajak Penghasilan, penyusutan atas pengeluaran
untuk pembelian, pendidirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud,
kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian-
bagian yang sama besar masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Dalam
pengaturan penyusutan tersebut, persyaratan asset yang dapat disusutkan menurut ketentuan
perpajakan meliputi
1. Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud
2. Harta tyersebut mempunyai masa manfaat lebih dari (satu) tahun,
3. Harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan
Terdapat pula asset tetap yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut
akuntansi pajak tidak dapat disusutkan, yaitu:
1. Aset tetap perusahaan berupa kendaraan yang dikuasai dan dibawa pulang
pegawai, termasuk juga yang ada di daerah terpencil.
2. Aset tetap perusahaan berupa rumahyang terletak bukan di aerah terpencil yang
ditempati pegawai yang tidak diberi tunjangan oleh perusahaan.
Dengan demikian, harta yang dimiliki perusahaan tetapi tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan karena tidak memenuhi syarat di atas,
tidak boleh disusutkan. Apabila terjadi penjualan, maka laba atau rugi dihitung dengan
mengurangkan harga perolehan terhadap harga jual. Harga demikian kebanyakan dimiliki
oleh Wajib Pajak orang pribadi, tentu laba tersebut sebagai objek Pajak Penghasilan.
Dalam melakukan penyusutan tentu memperhatikan dasar yang digunakan untuk
menyusutkan. Apabila dasar penyusutan antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak
sama, seharusnya akan menghasilkan jumlah penyusutan yang sama dengan asumsi
menggunakan metode penyusutan yang sama. Adanya pengelompokan harga berwujud
berdasarkan masa manfaat dan sekaligus penetapan persentase tarif penyusutan yang telah
diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengakibatkan adanya perbedaan,
yang dikenal dengan beda waktu (time difference). Ditinjau dari seluruh jumlah yang
dibebankan adalah sama, tetapi dalam waktu yang berbeda. Pengaruh secara umum tentu
1
menimbulkan selisih antara laba bersih komersial dengan Penghasilan Kena Pajak. Secara
komersial yang diatur pada PSAK No. 46 Tahun 2007, selisih pajaknya dibukukan dalam
Akun Pajak Penghasilan yang ditangguhkan.
Untuk aset yang disusutkan harus dikelompokkan terlebih dahulu sesuai masa
manfaat. Akuntansi komersial mengatur estimasi suatu asset yang dapat disusutkan dengan
dasar pertimbangan yang biasanya didasarkan pada pengalaman dengan jenis asset yang
serupa. Sedangkan ketentuan perpajakan untuk pengelompokan asset tetap berdasarkan masa
manfaat mengacu pada SuratKeputusan Menteri KEuangan No. 520/KMK.04/2000 Tanggal
14 Desember 2000 yang disempurnakan dengan keputusan Menteri Keuangan
No.138/KMK.03/2002 Tanggal 8 April 2002.

Metode Penyusutan Sesuai Ketentuan Komersial

Jumlah penyusutan akan dialokasiukan ke setiap periode akuntansi selama masa


manfaat aset tetap berwujud menggunakan berbagai metode yang sistematis. Penggunaan
metode penyusutan mempersyaratkan adanya penggunaan yang kosisten (taat asas), tanpa
memandang tingkat profibilitas perusahaan dan pertimbangan perpajakan, sehingga
diharapkan dapat menyediakan daya banding hasil operasi perusahaan dari periode ke
periode.

1. Dasar waktu
a. Metode garis lurus (straight line method)
Dalam metode ini, biaya penyusutan dialokasikan berdasarkan berjalannya waktu, dalam
jumlah-jumlah yang sama selama masa manfaat asset tetap berwujud tersebut.

Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Perhitungan Penyusutan

b. Metode pembebanan Menurun


1) Metode jumlah angka tahun (sum of the year digit method)
Metode ini sering disebut metode jumlah angka tahun yang akan menghasilkan
jumlah penyusutan yang semakin menurun dari tahun ke tahun.
Dengan rumusan:

Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Perhitungan Penyusutan


Dasar Penghitungan Penyusutan = Harga Perolehan - Nilai Residu
1
Tarif penyusutan ditetapkan dengan pecahan, yaitu pembilang adalah
angka tahun yang ada selama masa manfaat aset tetap., sebagai contoh 1,2,2,4,5
dan seterusnya, sedangkan pembilang untuk tahun pertama adalah penjulahan
angka tahun sampai dengan angka tahun terakhir. Sebagai contoh, apabila masa
manfaat hanya 5 tahun, maka penjumlahannya (1 +2 +3 +4 +5 ) = 15.
Menghitung besarnya biaya penyusutan apabila awal penyusutan tidak
sama dengan awal tahun bukunya. Sebagai contoh awal tahun 2009 terjadi
pembelian asset tetap tetapi juga terdapat asset tetap yang dibeli dalam tahun
berjalan.
2) Metode saldo menurun/saldo menurun ganda (declining/double declining balance
method)

Dalam metode ini, besarnya biaya penyusutan semakin lama menjadi lebih kecil dari
tahun ke tahun, dengan dasar pemikiran bahwa kapasitas aset tetap dalam memberikan
jasanya dari tahun ke tahun semakin menurun. Penghitungan biaya penyusutan dapat
dirumuskan:

Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x Dasar Perhitungan Penyusutan

Dasar Penghitungan Penyusutan = Harga Sisa Buku Awal Periode

Pada umumnya, tariff penyusutran adalah dua kali tariff penyusutan apabila
menggunakan metode garis lurus tanpa memperhatikan nilai residu (residu value).

2. Dasar penggunaan
a. Metode jam jasa (service hour method)
Pada metode ini besarnya penyusutan dihitung dengan mendasarkan pada teori
bahwa pembelian asset tetap ditunjukkan dari jumlah jam jasa langsung dan dalam
metode ini mengakui estimassi masa manfaat asset nyang diukur dalam jam jasa.

Tarif penyusutan =

b. Metode unit produksi (productive output method)


Dalam metode unit produksi taksiran manfaat dinyatakan dalam kapasitas produksi yang
dapat dihasilkan. Kapasitas produksi ini dapat pula dinyatakan dalam bentuk jam pemakaian
1
atau urut – urut kegiatan lainnya. Penghitungan besarnya biaya penyusutan dapat
dirumuskan:

Tarif Penyusutan =

Biaya Penyusutan = Tarif Penyusutan x dasar Penytusutan


Dasar Penyusutan = Harga Perolehan – Nilai Residu

3. Dasar kriteria lainnya


Menggunakan dasar criteria lainnya bahwa biaya penyusutan dapat dihitung
dengan dasar jenis dan kelompok. Pengelompokan ini dikenali dalam kelompok atau
dalam perjakan dikenali dengan golongan 1, golongan 2, golongan 3, dan golongan
bangunan. Ketentuan Pasal 11 Undang- Undang Pajak Penghasilan mengelompokkannya
ke dalam “Bukan Bangunan” dan kelompok “Bangunan”. Akuntansi komersial
mengelompokkan asset berdasarkan masa manfaat.
Untuk memperoleh asset tetap sesuai akuntansi komersial dapat bermacam –
macam cara, yaitu perolehan secara gabungan, angsuran, pertukaran, dan membangunan
sendiri, serta meode penyusutan yang digunakan juga telah diatur dalam PSAK 17 Tahun
2007.
Passal 6 ayat (1) huruf b Undang – Undang Pajak Penghasilan telah menjelaskan
tentang pengeluaran – pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tidak
berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
pembebannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Demikian pula halnya dalam
Pasal 9 ayat (2), pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka,
sebagai contoh sewa untuk beberapa tahun yang dibayarkan sekaligus pembebanannya
akan dilakukan melalui alokasi – alokasi per tahun.
Penyusutan menurut akuntansi pajak ini tidak mempertimbangkan nilai sisa
(residu value), sehingga diartikan bahwa seluruh harga perolehan tersebut disusutkan.
Sebenarnya banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh asset tetap telah
disampaikan dalam akuntansui konvensional. Tetapi dapat teridentifikasi bahwa aset tetap
dapat diperoleh melalui:
1. Pembelian baik secara tunai kredit atau angsuran.
2. Leasing (sewa guna usaha)
1
3. Pertukaran dengan sekurutas atau dengan aset lainnya.
4. Penyertaan modal.
5. Membangun sendiri
6. Hibah ataui pemberian
7. Bangun guna serah (built operate and transfer-BOT)
Pasal 10 Undang-Undang Pajak perpajakan mengatur cara penilaian harat seperti
penetapan harta perolahan atau harga penjualan dalam rangka menghitung laba atau rugi
apabila terjadi penjualan barang dagangan. Dalam menentukan harga perolehan atau
harga penjualan, suatu harga dapat dikelompokkan menjadi:
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta.
2. Harta perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harga.
3. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta dalam
rangka likuiditas, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atasu
pengambilalihan usaha.
4. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta karena
hibah, bantuan, atau sumbahan, dan warisan.
5. Harta perolehan ataun harta penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta termasuk
setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal.

Metode Penyusutan Sesuai Ketentuan Perpajakan

Metode penyusutan menurut Ketentuan perundang – undangan Perpajakan sebagaimana telah


diatur dalam pasal 11 Undang - Undang Pajak Penghasilan.

1. Metode garis lurus, atau metode saldo menurun untuk ast tetap berwujud bukan
bangunan
2. Metode garis lurus untuk asset tetap berwujud berupa bangunan

Penggunaan metode penyusutan asset tetap berwujud disyaratkan taat asas


(konsisten). Dalam hal Wajib Pajak menggunakan metode saldo menurun, maka sisa buku
pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Dengan memperhatikan pembukuan
Wajib Pajak, apabila ditemukan adanya alat-alat kecil yang sejenis dapat disusutkan dalam
satu golongan. Penentuan kelompok dan tariff penyusutan harta berwujud didasarkan pada
Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan :
1
Kelompok Harta Masa Metode Saldo
Metode Garis Lurus
Berwujud Manfaat Menurun

I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 Tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 3 16 Tahun 6.25 % 12.5 %
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Tidak Permanen 10 Tahun 10 % -

Keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000 yang disempurnakan dengan


Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002 yang mengatur pengelompokan jenis-
jenis harta tidak berwujud adalah sebagai berikut:

Kelompok 1

Nomor
Jenis Usaha Jenis Harta
urut
1. Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan
termasuk meja, bangku, kursi, almari dan
sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan.
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin
hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin
akunting/pembukuan, komputer, printer,
scanner dan sejenisnya.
c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier,
tape/cassette, video recorder, televisi dan
sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak.
e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi
industri/jasa yang bersangkutan.
f. Alat dapur untuk memasak, makanan dan
minuman.
g. Dies, jigs, dan mould.
2. Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin.
kehutanan, dan perikanan
3. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan
1
minuman seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh,
pengering, pallet, dan sejenisnya
4. Perhubungan pergudangan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai
dan komunikasi angkutan umum
5. Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test
system, elimination (PE8-1), pose checker

Kelompok 2

Nomor
Jenis Usaha Jenis Harta
urut
1. Semua jenis usaha a. Mabel dan peralatan dari logam temasuk
meja, bangku, kursi, almari dan sejenisnya
yang bukan merupakan bagian dari bangunan.
Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin
dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.
2. Pertanian, perkebunan, a. Mesin pertanian / perkebunan seperti
kehutanan, dan perikanan traktor dan mesin bajak, penggaruk,
penanaman, penebar benih dan sejenisnya.
b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan
atau memproduksi bahan atau barang pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan perikanan.
3. Industri makanan dan a. Mesin yang mengolah produk asal
minuman binatang, unggas dan perikanan, misalnya
pabrik susu, pengalengan ikan .
b. Mesin yang mengolah produk nabati,
misalnya mesin minyak kelapa, magarine,
penggilingan kopi, kembang gula, mesin
pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras,
gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan / memproduksi
minuman dan bahan-bahan minuman segala
jenis.
d. Mesin yang menghasilkan / memproduksi
bahan-bahan makanan dan makanan segala
4. Industri mesin jenis.
5. Perkayuan Mesin dan peralatan penebangan kayu.
6. Konstruksi Mesin dan peralatan penebangan kayu.
Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat,
7. Perhubungan, prgudangan, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.
dan komunikasi a. Truck kerja untuk pengangkutan dan
bongkar muat, truck peron, truck ngangkang,
1
dan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal
khusus dibuat untuk pengangkutan barang
tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji
tambang dan sebagainya) termasuk kapal
pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan
dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai
dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela
atau mendorong kapal-kapal suar, kapal
pemadam kebakaran, kapal keruk, keran
terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat
sampai dengan 100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang
mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
8. Telekomunikasi e. Kapal balon.
a. Perangkat pesawat telepon;
b. Pesawat telegraf termasuk pesawat
pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan
9. Industri semi konduktor radio telepon.
Auto frame loader, automatic logic handler,
baking oven, ball shear tester, bipolar test handler
(automatic), cleaning machine, coating machine,
curing oven, cutting press, dambar cut machine,
dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in
system oven, dynamic test handler, eliminator
(PGE-01), full automatic handler, full automatic
mark, hand maker, individual mark, inserter
remover machine, laser marker (FUM A-01), logic
test system, marker (mark), memory test system,
molding, mounter, MPS automatic, MPS manual,
O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-
form machine, SMD stocker, taping machine,
tiebar cut press, trimming/forming machine, wire
bonder, wire pull tester.

Kelompok 3
Nomor
Jenis Usaha Jenis Harta
urut
1. Pertambangan selain Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang
minyak dan gas pertambangan, termasuk mesin - mesin yang
mengolah produk pelikan.
2. Pemintalan, penenunan, a. Mesin yang mengolah / menghasilkan
1
dan pencelupan produk-produk tekstil (misalnya kain katun,
sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan
lainnya, lena rami, permadani, kain-kain bulu,
tule).
b. Mesin untuk yang preparation, bleaching,
dyeing, printing, finishing, texturing, packaging
3. Perkayuan dan sejenisnya.
a. Mesin yang mengolah / menghasilkan
produk - produk kayu, barang-barang dari
jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu
4. Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah /
menghasilkan produk industri kimia dan
industri yang ada hubungannya dengan industri
kimia (misalnya bahan kimia anorganis,
persenyawaan organis dan anorganis dan logam
mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia
organis, produk farmasi, pupuk, obat celup,
obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan
resinoida-resinonida wangi-wangian, obat
kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan
bahan organis pembersih lainnya, zat albumina,
perekat, bahan peledak, produk pirotehnik,
korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan
sinematografi.
b. Mesin yang mengolah / menghasilkan
produk industri lainnya (misalnya damar tiruan,
bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet
sintetis, karet tiruan, kulit samak, jangat dan
kulit mentah).
5. Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin
menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin
kapal).
a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal
6. Perhubungan dan khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
komunikasi barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan,
biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan
ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di
atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan
sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100
1
DWT sampai dengan 1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang
mempunyai berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter
segala jenis.
Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak
jauh.

7. Telekomunikasi

Kelompok 4
Nomor
Jenis Usaha Jenis Harta
urut
1. Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2. Perhubungan dan a. Lokomotif uap dan tender atas rel.
telekomunikasi b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan
dengan batere atau dengan tenaga listrik dari
sumber luar.
c. Lokomotif atas rel lainnya.
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang,
termasuk kontainer khusus dibuat dan
diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat
atau beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal
khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan,
biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap
ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di
atas 1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung
1
dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas
1.000 DWT.
g. Dok-dok terapung

Terhadap pengeluaran harta berwujud bukan bangunan pengelompokannya ditetapkan


berdasr pada Keputusan Menteri Keuangan. Khusus untuk bangunan tidak permanen
dimaksudkan adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah – pindahkan yang masa manfaatnya tidak
lebih dari sepuluh tahun.

Penghitungan Penyusutan atas Komputer, Printer, Scaner, dan Sejenisnya


Kepmen keuangan No.138 /KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 khusus untuk
penyusutan atas computer, printer,scanner, dan sejenisnya ditegaskan dalam SE-
07/PJ.42/2002 sebagai berikut:
1. Perubahan pengelompokan yang sebelumnya termasuk dalam kelompok 2
selanjutnya berubah menjadi kelompok 1
2. Atas perubahan tersebut maka perhitungan penyusutan atas computer, scanner,
printer dan sejenisnya yang telah dimiliki dan digunakan dalam perusahaan sebelum
tanggal 1 April 2002 diatur:
1) Penghitungan penyusutan berdasarkan ketentuan lam (kelompok 2) yang
diberlakukan sampai dengan bulan Maret 2002
2) Penghitungan penyusutan berdasarkan ketentuan yang baru (kelompok 1) berlaku
mulai bulan April 2002 dengan tetap menggunakan sisa manfaat semula yang
akan mengalami penyesuaian / percepatan secara otomatis.

Penghitungan Penyusutan atas Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan


Kep ditjen pajak No. Kep.-220PJ/2002 tentang perlakuan pajak penghasilan atas biaya
pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan tanggal 18 April 2002 mengatur
pembebanan biaya melalui penyusutan terhadap telepon seluler dan kendaraan perusahaan.
Aturan tersebut meliputi:
1) Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiki dan digunakan
perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat
dibebankan 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan
1
asset tetap (harta berwujud bukan bangunan) kel 1(perhatikan pengelompokan sesuai
kepmen keuangan terakhir No. 138/KMK.03/2002)
2) Biaya perolehan, pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus atau sejenisnya yang
dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai dapat
dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan sebagai asset
tetap kelompok 2 (perhatikan pengelompokan sesuai kepmen keuangan terakhir No.
138/KMK.03/2002)
3) Biaya perolehan, pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedab atau sejenisnya
yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatannya
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan,
pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan asset tetap (harta berwujud bukan
bangunan) kelompok 2 (perhatikan pengelompokan sesuai kepmen keuangan terakhir
No. 138/KMK.03/2002)
Dalam hal pembebanan biaya tersebut pada butir 1,2, dan 3 ternyata penghasilan
wajib pajak dimaksud dikenakan PPh yang bersifat final atau berdasarkan norma
penghitungan khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut telah termasuk dalam
penghitungan PPh yang bersifat final atau norma penghitungan khusus, sehingga ketentuan
pembebanan tidak diberlakukan. Demikian halnya atas biaya-biaya yang dibebankan sebagai
biaya perusahaan maka juga tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pegawai perusahaan
ybs.

Pengelompokan Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan Aaas


Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler
Kepmen Keuangan No. 138/KMK.03/2002 tanggal 8 April 2002 mengatur
pengelompokan harta berwujud bukan bangunan untuk kepentingan penyusutan. Sedangkan
Kep Ditjen pajak No. Kep.-520/PJ./2002 tanggal 11 Desember 2002 tentang jenis-jenis harta
yang digunakan dalam usaha jasa telekomunikasi seluler yang termasuk dalam kelompok
harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan.
Jenis Harta yang Disusutkan dan Pengelompokannya
1. Kelompok Asset Berwujud 1, jenis asetnya base stasion controller
2. Kelompok Asset Berwujud, jenis asetnya mobile switching center, homer location
register, visitor location register, authentication center, equipment identitu register,
1
intelligent network service control point, intelligent network service management point,
radio base stasion, transceiver unit, terminal SDH/mini link, antenna.
Tata Cara Perhitungan Penyusutan Fiskal
Untuk perhitungan penyusutan fiscal atau jenis harta tersebut diatur:
 Kep ditjen pajak tersebut mulai berlaku tahun pajak/tahun 2002
 Atas jenis-jenis harta sebagaimana dimaksud dalam kep ditjen pajak tersebut yang telah
dimiliki dan digunakan dalam perusahaan sejak sebelum tahun pajak/ tahun buku 2002,
perhitungan penyusutan fiscal sampai dengan tahun pajak/ tahun buku 2001
menggunakan tariff penyusutan kelompok 3
 Penghitungan penyusutan fiscal atas harta dimaksud pada butir 2 mulai tahun pajak/ tahun
buku 2002 menggunakan tariff penyusutan kelompok yang baru (kelompok 1 atau
kelompok 2) dengan metode penyusutan yang tetap sama, yaitu:
1. Metode garis lurus dasar penyusutan adalah harga perolehan
2. Metode saldo menurun dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiscal.
 Masa manfaat yang tersisa atas harta dimaksud pada butir 2 setelah perpindahan dari
kelompok 3 ke dalam kelompok 1 atau kelompok 2 akan mengalami penyesuaian
otomatis karena beban penyusutan yang semakin besar. Khusus untuk harta yang
disusutkan dengan metode saldo menurun masa manfaat yang tersisa dalam:
1. Kel 1 akan berakhir paling lama pada tahun keempat sejak tahun pajak/ tahun
buku 2002 ( nilai sisa buku fiscal disusutkan sekaligus)
2. Kel 2 akan berakhir paling lama pada tahun ke delapan sejak tahun pajak/ tahun
buku 2002 (nilai sisa buku fiscal disusutkan sekaligus)

Penyusutan Hingga Akhir Masa Manfaat

Sama seperti akuntansi komersial, penyusutan menurut akuntansi pajak dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran. Kecuali untuk harta yang masih dalam prosespengerjaan,
penyusutan dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut sehingga penyusutan
pada tahun pertama dihitung secara prorate. Dengan persetujuan Direktorat Jendral Pajak,
penyusutan dapat dilakukan pada saat bulan tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.

Perhitungan Aset Tetap Atas Aset Tetap Yang Diperoleh Sebelum Tahun 1995 (Aturan
Peralihan)
1
Pengaturan penyusutan terhadap asset yang diperoleh sebelum tahun 1995 masih tetap
dimuat untuk menunjukan kronologis aturan tata cara penyusutan pada saat dikeluarkan
ketentuan peralihan pada tahun 1995.

Contoh, PT Jaya memiliki lima buah Aset Tetap Berwujud yang diperoleh sebelum tahun
1995. Dengan dikeluarkannya SE-44/PJ.4/1995 perihal penyusutan atau amortisasi atas pengeluran
untuk memperoleh harta yang masih dimiliki dan digunakan pada awal tahun pajak 1995, maka
perhitungan penyusutan PT Jaya tahun 1995 dilakukan sebagi berikut :

Masa Manfaat (Tahun)


Nilai Sisa
Jenis Tahun Sisa Harga Tarif Penyusutan
Pem Gol. Buku Awal
Harta Perolehan Awal Pokok Semula Hingga 1994
Max akai 1995
Tahun
an
1995

Mesin 1 1984 16 11 5 III 100.000.000 10 % 68.618.940 31.381.060

Mesin 2 1988 8 7 1 II 50.000.000 25 % 43.325.806 6.674.194

Mesin 3 1990 16 5 11 III 100.000.000 10 % 40.951.000 59.049.000

Mesin 4 1991 8 4 4 II 50.000.000 25 % 34.179.688 15.280.312

Mesin 5 1993 16 2 14 III 100.000.000 10 % 19.000.000 81.000.000

Apabila awal tahun 1995 sisa manfaat sudah habis atau sama dengan satu tahun, maka
diusulkan untuk disusutkan sekaligus dalam tahun 1995. Nilai Sisa Buku Aset tetap awal
1995 sebagai dasar penyusutan tahun 1995 dab seterusnya. Atas harta yang tidak lagi
digunkan unutk mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan atau atas harta yang
telah habis masa manfaatnya secara fiscal tidak dapat disusutkan sejak tahun pajak 1995,
maka nilai buku yang masih ada atas harata tersebut dibebankan selutuhnya sebagai biaya
tahun 1995.

Pengelompokan Aset Tetap Sebelum Tahun 1995

Metode penyusutan yang dipilih mencakup semua harata bukan bangunan yang
kemunginan diperolehnya sebelum atau diperoleh sejak tahun 1995 tidak diperkenankan
menggunakna dua macam metode penyusutan.

Penyusutan asset tetap yang dimiliki sebelum awal tahun pajak 1995 dan masih
digunakan untuk dapat mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, secara fiscal
masih mempunyai sisa manfaat penyusutan dilakukan berdasat Nilai Sisa Buku. Aset tetap
1
yang tidak lagi digunakan untuk mendapatkan dan mengagih serta memelihara penghasilan
atau telah habis masa manfaatnya secar fiscal sejak tahun 1995 tidak dapat disusutkan. Maka
Nilai Sisa Buku yang masih ada dibebankan seluruhnya sebagai biaya pada tahun 1995.

Sesuai surat edaran Direktur Jendral Pajak No. SE-44/PJ.4/1995 Tanggal 2 Oktober 1995
(diperbarui dengan SE-49/PJ.4/1995 Tanggal 31 Oktober 1995) tentang penyusutan adan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh harata yang masih dimiliki dan digunakan pada awal tahun
1995 sebagi berikut :

Sisa Manfaat Kelompok

2 - 5 Tahun 1

7 - 11 Tahun 2

> 13 Tahun 3

Catatan :

1. Apabila sisa manfaat tinggal 1 tahun, maka disusutkan sekaligus.


2. Apabila sisa manfaat berada di tengah – tengah kelompok, misal 6 tahun, maka dapat
memilih masuk kelompok 1 atu kelompok 2.

PENARIKAN HARTA BUKAN BANGUNAN


Asset tetap perusahaan yang tidak terpakai lagi dapat ditarik dari pemakaian.
Penarikan dapat dilakukan dengan menjual asset tetap tersebut. Dalam akuntansi komersial,
terhadap asset tetap yang dijual nilai bukunya dihitung sampai dengan tanggal penjualan,
sedangkan dalam ketentuan perpajakan Nilai Sisa Bukunya dihitung sampai dengan akhir
tahun sebelum asset tersebut dijual.
Ketentuan pasal 11 ayat 8 UU PPh bahwa telah terjadi penjualan atau penarikan harta
pasal 4 ayat 1 huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya maka nilai buku tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
diterima atau diperoleh, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan,
sehingga keuntungan atau kerugian karena pengalihan atau penarikan harta dikenakan pajak
dalam tahun dilakukan pengalihan harta. Apabila harta tersebut terbakar atau dijual maka
penerimaan netto dari penjualan harta yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang
dikeluarkan berkenaan dengan penjualan, atau penggantian asuransi dibukukan sebagai
penghasilan.
1
KETENTUAN LAIN
Penyimpangan dari ketentuan pasal 11 ayat 1 UU PPh yang mengatur masalah
penyusutan bahwa MenKeu selanjutnya mempunyai kewenangan mengatur tersendiri untuk
penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik
bidang-bidang usaha tertentu seperti pertambangan minyak, gas bumi serta perkebunan
tanaman keras.

1
AKUNTANSI PERPAJAKAN
AKTIVA TETAP TIDAK BERWUJUD

Asset tidak berwujud dapat diketegorikan sebagai asset tetap perusahaan, namun
secara fisik asset tetap tersebut tidak tampak. Oleh karena itu, disebut dengan istilah tidak
berwujud. Dalam PSAK No. 19 Tahun 2007 menyatakan asset tetap tidak berwujud
(intangible assets) adalah asset tidak lancar (noncurrent assets) dan tidak berbentuk yang
memberikan hak keekonomian dan hokum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan
tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi asset yang lain. Karakteristik asset tidak
berwujud yang paling menonjol adalah tingkat ketikpastian nilai dan manfaat dikemudian
hari. Nilai asset tidak berwujud ini dapat dalam jumlah yang besar. Sedangkan bentuk asset
tidak berwujud ini dapat berbentuk hak paten, hak cipta , waralaba (franchise), merk dagang
dan goodwill.
Cara untuk memperoleh asset tidak tetap ini dapat dilakukan dengan membeli dari
pihak luar. Termasuk dalam harga asset tidak berwujud tersebut, yaitu harga beli termasuk
biaya tambahan untuk mendapatkan asset, misalnya biaya yang dibayar kepada pemerintah,
notaries, dan biaya administrasi lainnya.
Contoh asset tidak berwujud adalah hak paten, hak cipta, dan hak merek. Contoh
lainnya adalah biaya riset dan pengembangan. Demikian pula halnya dengan biaya yang
dikeluarkan dalam jumlah besar selama perusahaan belum menghasilkan produk komersial,
dikenal sebagai biaya pra operasional, termasuk biaya komisi dan biaya pendirian. Biaya
yang dapat dikapitalisasi ini juga dibebankan perperiode melalui amortisasi.

PENGGOLONGAN DAN PERLAKUAN AKUNTANSI ASET TIDAK BERWUJUD


Dasar yang digunakan sebagai penggolongan aset tidak berwujud berdasarkan PSAK
No. 19 Tahun 2007, yaitu:
1. Kemampuan khusus diidentifikasi dapat atau tidak dapat diidentifikasi secara khusus.
2. Cara peolehan: diperoleh secara individual, secara kelompok melalui penggabungan
badan usaha, atau dikembangkan sendiri.
3. Masa manfaat yang diharapkan: tergantung pada pembatasan yang diatur oleh hukum
atau perjanjian, pada faktor keekonomian atau manusia, atau pada jangka waktu yang
tidak terbatas atau tidak dapat ditentukan di masa depan.
1
4. Kemampuan untuk dipisahkan dari seluruh perusahaan. Hak yang dapat dialihkan
tanpa bukti pemilikan, dapat dijual atau tidak dapat dijual dipisahkan dari perusahaan
atau dari bagian pokoknya.
Untuk aset tetap tidak berwujud yang diperoleh, harus dicatat sebasar harga perolehan
pada tingkat akuisisi. Harga perolehan tersebut sebesar jumlah yang dibayar, nilai wajar dari
aset lain yang diperoleh, nilai tunai dari kewajiban yang ada atau nilai wajar dari aset lain
yang diterima untuk saham yang dikeluarkan. Dalam hal aset tidak berwujud yang diperoleh
secara kelompok atau sebagai bagian dari perusahaan yang diakuisisi, haruslah dicatat
sebesar harga perolehan pada tanggal akuisisi. Sebagai contoh Goodwill sebagai aset tetap
berwujud yang tidak dapat diidentifikasikan sn tidak terpisah secara khusus dan tidak terpisah
dari keberadaan perusahaan. Dengan demikian harga perolehan aset tidak berwujud yang
dapat diidentifikasikan adalah sebagian dari harga perolehan sekelompok aset atau
perusahaan yang diakuisisi yang kebiasaannya ditentukan dari nilai wajar masing-masing
aset.

TERMASUK PENGERTIAN ASET TIDAK BEWUJUD


Hak paten
Hak paten (patent) merupakan suatu hak yang diberikan kepada pihak yang menentukan hal
untuk menjual, membuat, atau mengawasi penemuannya selama jangka waktu tertentu
(umumnya 17 tahun). Hak paten ini dapat digunakan sendiri atau diserahkan kepada pihak
lain dengan suatu perjanjian. Harga perolehan paten ini terdiri atas biaya-biaya pendaftarn,
biaya membuat percobaan, dan lain sebagainya. Hak paten diamortisasi selama masa
penggunannya. Adapun jurnal amortisasi yaitu:
Amortisasi hak paten 15.000.000
Hak paten 15.000.000
Hak Cipta
Hak cipta (copyright) merupakan suatu hak yang diberikan kepada seorang pengarang
atau pencipta untuk menerbitkan, menjual, atau mengawasi hasil ciptaannya.
Pencatatan atas hak cipta di neraca sesuai dengan harga perolehan yang terdiri atas
semua biaya yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Selain itu, hak cipta dapat pula
dibeli. Amortisasi terhadap hak cipta ini sesuai masa yang ditetapkan atau diamortisasi
sekaligus spabila masanya kurang dari yang ditetapkan dan taksiran masa sesuai jumlah yang
akan dijual.
Merk Dagang
1
Dalam bentuk merk dagang (trade mark) didaftarkan terlebih dahulu dan dilindungi
oleh undang-undang yang penggunaannya tidak terbatas. Cara memperoleh merek dagang ini
dapat dengan pembelian atau dibuat sendiri. Mengingat timbulnya yang tidak terbatas inilah,
maka tidak dilakukan amortisasi, tetapi timbulnya asumsi perubahan masa mendatang, maka
merek dagang akan diamortisasi dalam masa yang pendek.
Waralaba
Waralaba (franchise) merupakan hak yang diberikan oleh pihak tertentu (franchisor)
kepada pihak lain atas penggunaan fasilitas yang dimiliki franchisor. Akuntansi dan hal yang
berkenaan dengan pemajakan atas waralaba diatur sendiri.
Leasehold
Bentuk leasehold ini merupakan hak dari penyewa untuk menggunakan aset tetap
dalam perjanjian sewa menyewa. Sewa yang dibayar setiap periode dibebankan pada periode
terjadinya atau dikapitalisasi sebagai aset tetap berwujud tergantung perjanjian sewa,
operating, atau capital lease .
Apabila pembayaran sewa dilakukan dimuka, maka perlakuan akuntansinya yaitu:
1. Dicatat pada set lancer dengan akun sewa yang dibayar di muka.
2. Dicatat sebagai aset tetap tidak berwujud (pembayaran di muka dalam beberapa
periode yang relative sama).
Terhadap beban sewa yang dibayar di muka atau aset tetap tidak berwujud diamortisasi
setiaaap masa selama jangka waktu sewa, untuk pengelompokan pada aset tetap tidak
berwujud dapat digunakan dalam leasehold.
Goodwill
PSAK No. 19 Tahun 2007 tidak mengatur khusus masalah goodwill. Dimana
goodwill merupakan aset tetap tidak berwujud yang tidak dapat didafinisikan secara khusus.
Bahasan dari akunyansi kom ersial, goodwill sebagai kemampuan oerusahaan untuk
memperoleh keuntungan (rate of return) atau kondisi normal sebagai akibat adanya faktor
tertentu yang mendukung. Goodwill dicatat ketika terjadi:
1. Pembelian;
2. Merger, reorganisasi, perubahan bentuk uasha, dan perubahan kepemilikan.
Variable yang menentukan dalam perhitungan goodwill antara lain:
1. Rate of return atau proyeksi laba yangd apat dihasilkan di masa yang akan datang.
2. Nilai aset diluar goodwill.
Penetapan besarnya goodwill dapat digunakan dua cara, yaitu:
1. Kapitalisasi penghasilan bersih rata-rata (capitalization of average incomeI);
1
2. Kapitalisasi kelebihan penghasilan rata-rata (capitalization of average exess income).
Ilustrasi soal:
PT Bintang memperoleh laba bersih (tidak termasuk laba luar biasa) dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2007, adalah sebagai berikut:
Tahun 2003 Laba bersih sebesar Rp 115.000.000,00
2004 Laba bersih sebesar Rp 103.000.000,00
2005 Laba bersih sebesar Rp 103.000.000,00
2006 Laba bersih sebesar Rp 140.000.000,00
2007 Laba bersih sebesar Rp 126.000.000,00
Jumlah Bersih Rp 587.000.000,00
Penghasilan bersih rata-rata 1/5 Rp 587.000.000,00 = Rp 117.400.000,00 per tahun.
Estimasi penghasilan setiap tahun Rp 120.000.000,00

Pada tanggal 1 Januari 2008 aset perusahaan (tidak termasuk goodwill) besarnya Rp
1.050.000.000,00 dan utang Rp 110.000.000,00. Berdasarkan data tersebut, dapat dihitung
goodwill sebagai berikut:
1. Metode Kapitalisasi Penghasilan Bersih Rata-rata
Pada cara ini ditetapkan bahwa jumlah yang akan dibayarkan kepada perusahaan
yang dibeli, dihitung dengan cara mengkapitalisasi estimasi penghasilan yang akan
datang dengan menggunakan tariff. Tarif ini yang menunjukkan hasil yang diharapkan
dari investasi (ditetapkan 10%).
Jumlah yang dibayar (Rp 120.000.000 x 100/10) Rp 1.200.000.000,00
Nilai bersih aset (Rp 1.050.000.000 x Rp 110.000.000) (Rp 940.000.000,00)
Goodwill Rp 260.000.000,00
2. Kapitalisasi Kelebihan Penghasilan Rata-rata
Perhitungan goodwill didasarkan pada penghasilan bersih rata-rata dan nilai aset
yang akan dibeli selanjutnya apabila diketahui hasil yang diharapkan dari investasi 10%
dan kelebihan penghasilan penghasilan yang akan dikapitalisasi 25%, maka penghitungan
goodwill:
Estimasi penghasilan yang akan datang Rp 1.200.000.000,00
Nilai bersih aset (Rp 940.000.000,00)
Kelebihan penghasilan Rp 260.000.000,00
Proyeksi hasil investasi 10% x Rp 260.000.000,00 Rp 26.000.000,00
Goodwill = 100/25 x Rp 26.000.000,00 = Rp 104.000.000,00
1
Biaya Yang Ditangguhkan
Biaya yang ditangguhkan (deffered cost) diketegorikan sebagai aset tetap tidak
berwujud. Aset tetap tidak berwujud mempunyai hak, tetapi pada biaya yang ditahun
ditangguhkan ini memperoleh nilai karena adanya pembayaran di muka yang biasanya
menyangkut masa yang lama. Konsekuensinya setiap tahun dilakukan amortisasi sebagai
contoh amortisasi atas biaya pendirian. Apabila biaya pendirian ini memberikan manfaat
selama perusahaan berdiri, maka biaya pendirian setelah dikapitalisasi tidak diamortisasi
sehingga tampak terus menerus dineraca. Sebaliknya terhadap biaya pendirian tidak memberi
manfaat langsung akan diamortisasi tergantung kebijakan perusahaan.

DEPLESI
Pada akuntansi komersial aset tidak tidak berwujud dikelompokkan menjadi aset
dengan masa manfaat yang dibatasi oleh ketentuan hukum yaitu: atas dasar ketentuan,
persetujuan atau sifat dari aset itu sendiri. Terdapat pula aset tidak berwujud yang masa
manfaatnya tidak terbatas sebagai contoh goodwill dan merek dagang. Sedangkan perkakuan
akuntansi untk tujuan pajak dalan Undang-undang Pajak tidak diatur secara tersendiri.
Masalah pengelompokkan sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan akan dibahas
pada bahasan amortisasi.
Perusahaan dapat juga memperoleh hak, berupa hak untuk pengelolaan sumber alam
(penggalian dan pemanfaatnya). Biaya-biaya yang berkaitan dengan penguasaan akan
semakin berkurang setiap periodenya. Pembebanan biaya per periode tersebut disebut deplesi.

AMORTISASI
Amortisasi dalam Akuntansi Komersial
Pada saat tertentu nilai aset tidak berwujud akan habis. Oleh karena itu, harga
perolehan aset tidak berwujud harus diamortisasi selama taksiran masa manfaat, dan tidak
boleh dibebankan seluruhnya pada periode perolehan. Periode amortisasi ini harus dievaluasi
secara teratur, jumlah harga perolehan yang belum diamortisasi harus menjadi beban sisa
masa manfaat yang baru, namun dipersyaratkan untuk tidak meleihi 20 tahun dari tanggal
perolehan.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menaksir masa manfaat aset tidak berwujud
(PSAK No. 19 Tahun 2007):
1. Ketentuan hukum, peraturan, dan perjanjian yang membatasi masa manfaat
maksimum.
1
2. Kemungkinan untuk memperbarui atau memperpanjang masa manfaat yang telah
ditentukan .
3. Pengaruh keuangan, permintaan, persaingan, dan faktor perubahan ekonomi dan
teknologi yang mempengaruhi masa manfaat.
4. Perkiraan tindakan yang akan dilakukan oleh pesaing, pelaksana hukum atau
peraturan yang membatasi keunggulan dalam daya saing (competitive advantage).
5. Adanya masa manfaat yang tidak terbatas dan masa manfaat yang diharapkan tidak
dapat ditaksir secara wajar.
6. Kemungkinan aset tidak berwujud terdiri atas beberapa jenis atau faktor yang
mempunyai masa manfaat berbeda.
Praktik akuntansi komersial metode amortisasi aset tidak berwujud pada umumnya
menggunakan metode garis lurusyang dirumuskan:
Biaya amortisasi = % tarif x harga perolehan aset tidak berwujud
Namun ada pengecualian apabila terdapat metode lain yang lebih sesuia dengan
kondisi perusahaan.
Contoh: PT Jaya mengeluarkan seluruh biaya Rp 300.000.000,00 untuk memperoleh
hak paten yang dibayarnya tunai untuk masa manfaat 5 tahun. Dengan menggunakan garis
lurus, besarnya amortisasi tiap tahun = 1/5 x Rp 300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
Jurnal yang disusun:
1. Pada saat pembayaran
Hak paten 300.000.000
Kas dan Bank 300.000.000
2. Pada saat pembebanan
Biaya amortisasi 60.000.000
Hak paten 60.000.000

Amortisasi Dalam Akuntansi Pajak


Perlakuan akuntansi aset tidak berwujud tidak berbeda dengan perlakuan akuntansi
aset tetap. Kesulitan yang dihadapi pada umumnya karena sifta aset yang tidak berwujud fisik
berakibat bukti keberadaan kabur, termasuk kesulitan dalam penentuan nilai perolehan serta
masa manfaat ekonomis.
Periode amortisasi aset tidak berwujud tidak boleh melebihi 20 tahun, dengan dasar
pemikiran bahwa periode tersebut sudah banyak perkembangan dan periode selebihnya tidak
lagi mempunyai masa manfaat ekonomis. Namun perusahaan diharuskan mengevaluasi
1
periode amortisasi aset tidak berwujud secara teratur dan harus dibebankan pada sisa manfaat
dengan syarat tidak melebihi 20 tahun dari tanggal perolehan.
Amortisasi menurut akuntansi pajak berdasarkan pada Pasal 11a Undang-undang
Pajak Penghasilan, menyebutkan bahwa amortisasi dilakukan terhadap pengeluaran untuk
memperoleh aset tidak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
Metode yang digunakan dalam amortisasi aset tetap tidak berwujud menurut
akuntansi pajak:
1. Metode garis lurus
2. Metode saldo menurun

Untuk tujuan pajak dalam menghitung amortisasi aset tetap tidak berwujud, terlebih dahulu
aset tersebut dikelompokkan sesuai dengan masa manfaatnya, yang terlihat sebagai berikut:

Kelompok harta
Masa manfaat Tarif amortisasi
tidak berwujud

Garis lurus Saldo menurun

Kelompok 1 4 tahun 25 % 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Penetapan masa manfaat dan tarif amortisasi dimaksudkan untuk memberikan


keseragaman dalam melakukan amortisasi. Kemungkinan dapat terjadi bahwa masa manfaat
aset tetap tidak berwujud tidak tercantum pada kelompok masa manfaat, maka wajib pajak
menggunakan masa manfaat terdekat. Contohnya, aset tetap tidak berwujud masa manfaat
sebenarnya 6 tahun, dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun.
Ilustrasi:
Untuk memperoleh hak paten perusahaan telah mengeluarkan uang tunai sebesar Rp
150.000.000,00. Masa manfaat hak paten tersebut 4 tahun.
1. Perhitungan amortisasi setiap tahun dengan menggunakan garis lurus = 25% x Rp
150.000.000,00 = Rp 37.500.000,00
1
2. Perhitungan amortisasi setiap tahun dengan menggunakan saldo menurun = 50% x Rp
150.000.000,00 = Rp 75.000.000,00

SAAT AMORTISASI DAN AMORTISASI PADA AKHIR MASA MANFAAT


Dalam akuntansi komersial, amortisasi ini dilakukan pada saat diperoleh, demikian
pula dalam akuntansi pajak mempunyai cara yang sama. Pada akhrir masa manfaat, asset
tetap tidak berwujud akan diamortisasi sekaligus. Khusus untuk amrortisasi asset tetap tidak
berujud menggunakan metode saldo menurun.
Ketentuan Khusus
Pada ketentuan khusus ini mengatur masalah;
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya pendirian modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai ketentuan yang
berlaku.
2. Amortisasi terhdap pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dibidang penambangan minyak dan gas
bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi
dilakukan dengan menerapkan presentasi tariff amortisasi yang besarnya setiap tahun
sama dengan presentase dengan perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan
gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
minyak dan gas bumi dilokasi tersebut diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang
sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran
untuk memperoleh haak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran dapat
dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh: PT Maju Jaya mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak
dan gas bumi disuatu lokasisebesar Rp 800.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan
minyak sebesar 200.000.000 barel produksi sebenarnya 50.000.000 barel.
a. Tariff amortisasi = (50.000.000/200.000.000) x 100% = 25%
Amortisasi tahun pertama = 25% x Rp 800.000.000,00 = Rp 200.000.000,00
b. Produksi sebenarnya tahun 2 sebesar 75.000.000 barel
Tariff amortisasi = (75.000.000/25.000.000) x 100% = 37,5%
Tariff amortisasi tahun ke-2 = 37,5% x Rp 800.000.000,00 = Rp 300.000.000,00
3. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan yang memunyai masaa
manfaat lebih dari 1 tahun selain minyak dan gas bumi, hak penguasaan hutan dan hak
penguasaan sumber alam, serta hasil alam lainnya, seperti hak penguasaan hasil laut,
1
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20%
setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak penguasaan hutan sebesar Rp 800.000.000,00.
Potensi hutan tersebut 10.000.000 ton kayu.
a. Produksi sebenarnya tahun pertama = 1.000.000 ton
Tariff amortisasi = (1.000.000/10.000.000) x 100% = 10%
Amortisasi = 10% x Rp 800.000.000,00 = Rp 80.000.000,00
b. Apabila produksi sebenarnya tahun ke-2 sebesar 3.000.000 ton atau 30% potensi
tersedia, maka amortisasi tahun tersebut 20% x Rp 800.000.000,00 = Rp
160.000.000,00
4. Amortisasi atas pengeluaran yang dilakukan operasi operasional mempunyai masa
manfaat lebh dari satu tahun. Terhadap pengeluaran tersebt harus dikapitalisasi terlebih
dahulu. Pengertian biaya-baya adalah yang dikeluarkan sebelum operasi komersial,
sebagai contoh: biaya study kelayakan dan biaya produksi perobaan tetapi tidak termasuk
biaya operasional rutin (gaji pegawai, rekening listrik dan sebagainya). Biaya rutin ini
akan dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
5. Amortisasi terhadap goodwill tidak diperkenankan oleh ketentuan perundang-undangan
perpajakan. Goodwill sebenarnya termasuk juga asset tetap tidak berwujud, tetapi tidak
dapat diidentifikasi khusus dan memang tidak terpisah dari perusahaan. Apabila ditinjau
dari sisi ekonomis, goodwill menunjukkan kemampuan lebih perusahaan dalam
memperoleh laba diatas nomal rata-rata perusahaan sejenis. Oleh karena itu, goodwill
merupakan kombinasi bermacam-macam factor yang melekat pada eksistensi perusahaan.
Hal ini juga yang menjadikan alasan praktik akuntansi pajak tidak diperkenankan
melakuka amortisasi terhadap goodwill.

PENGALIHAN HAK ASET TETAP TIDAK BERWUJUD


Apabila terjadi pengalihan hak asset tetap tidak berwujud sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11a ayat 1, 4, dan ayat 5 undang-undang pajak penghasilan yaitu:
1. Pengeluaran untuk memperoleh asset tetap tidak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
1
2. Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi.
3. Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada point 2,
hak penguasaaan hutan dan hak penguasaan sumber alam serta hasil alam lainnya
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
Nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan.
Kemungkinan terjadi pengalihan asset tetap tidak berwujud yang memenuhi syarat
pasal 4 ayat 3a dan 3b undang-undang pajak penghasilan (yang tidak termasuk sebagai obyek
pajak: warisan), maka Nilai Sisa Buku Aset tersebut boleh dibebankan sebagai kerugian bagi
pihak yang mengalihkan.
Sebagai contoh: PT Monalisa mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
minyak dan gas bumi disuatu lokasi sebesar Rp 600.000.000,00 dan gas bumi mencapai
100.000.000 barel, hak penambangan dijual kepada pihak lain seharga Rp 400.000.000,00
Harga perolehan = Rp 600.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000 x 100% x Rp 600.000.000,00 = (Rp 300.000.000,00)
200.000.000
Nilai Sisa Buku = Rp 300.000.000,00
Harga jual = Rp 400.000.000,00
Dengan demikian Nilai Sisa Buku sebesar Rp 300.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian
dan harga jual sebesar Rp 400.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.

DEVALUASI, REORGANISASI SEMU, DAN APRESIASI AKTIVA


Secara komersial, kalau dianggap nilai suatu aktiva terlalu tinggi (overstated) dari
manfaatnya, perusahaan dapat melakukan devaluasi aktiva. Devaluasi itu menurunkan nilai
aktiva dengan membebankannya ke rugi-laba atau saldo laba (laba ditahan). Overstatement
itu dapat dilakukan oleh investor terutama yang mempunyai induk perusahaan diluar negeri
karena pada saat perolehan overstatement nilai aktiva dimaksudkan terutama untuk
memenuhi persyaratan tertentu, misalnya minimum realisasi penanaman modal. Dalam
ketentuan perpajakkan devaluasi sendiri (tanpa adanya ketentuan operasional perpajakkan)
aktiva perusahaan tidak dikenal.
Untuk mengurangi rugi operasi yang diderita secara berkelanjutan, dalam praktek
komersial perusahaan dapat melakukan reorganisasi semu atau reasdjustment. Hal ini akan
1
menurunkan nilai aktiva tetap, laba ditahan, nominal modal saham, dengan selisih defisit
dapat dibebankan kepengurangan modal saham. Ketentuan pajak sangat peduli terhadap
penghasilan (keuntungan) perusahaan. Dengan mengabaikan dengan turunnya daya beli uang,
jumlah penghasilan wajib pajak diukur berdasarkan nilai histories barang atau jasa yang
diserahkan. Pemakaian nilai historis itu memberikan petunjuk umum, devaluasi aktiva atau
reorganisasi semu kurang dikenal dalam ketentuan perpajakkan.
Sama halnya dengan praktek akuntansi komersial, untuk tujuan perpajakkan dasar
penilaian aktiva merupakan harga perolehan (cost) yang diukur sebesar harga pasar wajar.
Namun, berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya karena devaluasi nilai rupiah.
Kekurangsepadanan antara biaya (historis) penyusutan dengan tingkat harga yang berlaku
atau pertimbangan yang lain, pemerintah dapat mengeluarkan ketentuan penilaian kembali
(revaluasi) aktiva tetap perusahaan.
Kesempatan revaluasi sejak tahun 1970 diberikan tiga kali, yaitu pada 1971
(berdasarkan Kepmen Nomor KEP-508/KMK/II/7/1971 Tanggal 7 Juli 1971), pada 1976
(berdasarkan Kepmen Nomor KEP-1677/KMK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976) pada
1978 (berdasarkan Kepmen Nomor KEP-109/KMK.04/1978 tanggal 27 Maret 1978).
Selanjutnya pada 1986 pemerintah juga memperkenankan revaluasi berdasarkan peraturan
pemerintah Nomor 45 tahun 1986 dan Kepmen Nomor 914/KMK.04/1986 tanggal 25
Oktober 1986. teakhir berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 507/KMK.04/1996
tanggal 13 Agustus 1996, pemerintah juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk
melakukan revaluasi aktiva tetapnya yang dimiliki lebih dari 5 tahun. Revaluasi dilakukan
terhadap seluruh aktiva, termasuk tanah dan hak-hak atas tanah, dengan dasar penilaian yang
dilakukan oleh lembaga penilai.
Ketentuan tentang penilaian kembali ini bersifat repetitive dan otomatis setiap 5 tahun
perusahaan dapat melakukan revaluasi terhadap aktiva yang belum dilakukan penilaian
kembali pada saat revaluasi masa sebelumnya. Dengan tujuan untuk memperbaiki iklim
berusaha dan investasi, ketentuan penilaian kembali aktiva tetap memberikan keringanan
perpajakkan terhadap pajak penghasilan (tariff umum maksimal 30%) atas nilai lebih
(surplus) karena penilaian kembali dengan tariff pajak final 10%. Pengenaan pajak itu setelah
terlebih dahulu memperhitungkan nilai lebih revaluasi dengan kerugian fiscal yang masih
berhak atas kompensasi kerugian. Selanjutnya, apabila nilai lebih karena penilaian kembali
itu dikapitalisasi, kemudian dibagikan dalam bentuk saham bonus, penghasilan deviden tidak
dikenakan pajak penghasilan.
1
Sebagai contoh, PT Andi pada akhir 1996 mempunyai aktiva tetap dengan nilai buku
Rp500 juta. Kerugian yang masih berhak atas kompensasi Rp100.000.000,00. perusahaan itu
memanfaatkan ketentuan penilaian kembali aktiva tetap dengan meminta jasa dari perusahaan
penilai PT iwan. Nilai aktiva itu berdasarkan perhitungan dari PT iwan Rp700 juta. Dengan
demikian,
1. Untuk mencatat penilaian kembali
Aktiva tetap Rp 250.000.000,00
Selisih penilaian kembali aktiva Rp 250.000.000,00
2. Untuk mencatat pembayaran dan pembebanan pajak 10%
Pajak penghasilan revaluasi Rp 15.000.000,00
Kas Rp 15.000.000,00
Selisih penilaian kembali aktiva tetap Rp 15.000.000,00
Pajak penghasilan revaluasi Rp 15.000.000,00
3. Untuk mencatat kapitalisasi
Selisih penilaian kembali aktiva Rp 235.000.000,00
Modal saham Rp 235.000.000,00
Pembagian saham bonus tidak dicatat dalam praktek akuntansi komersial.
Penghapusan atas aktiva yang dinilai kembali itu dilakukan berdasarkan masa manfaat yang
tercantum dalam ketentuan perpajakkan (pasal 11 UU PPh (umur semula) bukan berdasarkan
sisa masa manfaat. Misalnya biaya revaluasi aktiva Rp 35 juta, berdasarkan ketentuan pajak
final biaya itu tidak boleh dikurangkan dari nilai lebih revaluasi (karena telah dikenakan
pajak dengan tariff murah) maupun penghasilan yang lain (karena tidak ada kaitan langsung).
Biaya itu langsung dikurangkan dari selisih penilaian kembali aktiva. Dengan demikian, yang
tersedia untuk pembagian saham bonus hanyalah Rp 200 juta.

PENERAPAN TEORI PADA KASUS


1
PT. Satu Bintang
Akuntansi : metode penyusutan garis kurus tanpa nilai residu
PPh : Metode penyusutan saldo menurun
Pada tanggal 5 Oktober 2007 membeli 5 buah kendaraan seharga Rp 90.000.000 per buah.
Taksiran umur enam tahun termasuk kelompok 2. Tidak ada tambahan pengurangan/
pengalihan biaya yang dikapitalisasi hingga akhir tahun 2012.
Kejadian tahun 2013:
1. Pada tanggal 5 Januari 2003, sebuah kendaraan mengalami kecelakaan dan tidak
mendapat penggantian asuransi, dijual dengan harga Rp 1.000.000
2. Pada tanggal 1 Maret 2003, 2 buah kendaraan dijual tunai dengan harga masing-masing
Rp 50.000.000

 Penyusutan kendaraan metode garis lurus (akuntansi komersial)

1 kendaraan 5 kendaraan
Tanggal perolehan (5 Oktober 07) (5 Oktober 07)
Harga perolehan 90.000.000 450.000.000
Taksiran nilai residu 0 0
Jumlah yang disustkan 90.000.000 450.000.000
Taksiran umur 6 tahun 6 tahun
Penyusutan per tahun 15.000.000 75.000.000
Penyusutan per bulan 1.250.000 6.250.000
Penyusutan 2007 = 3 bulan 3.750.000 18.750.000

5 Januari 2013, penarikan 1 kendaraan 1 kendaraan


Harga perolehan 5 Oktober 2007 90.000.000
Penyusutan – 2007 = 3 bulan 3.750.000
2008 – 2012 =5 tahun 75.000.000 78.750.000
Nilai buku 31 Desember 2012 11.250.000
Harga jual (1.000.000)
Rugi penarikan kendaraan 10.250.000

1 Maret 2013 penjualan 2 kendaraan 2 kendaraan


Harga perolehan 5 Oktober 2007 180.000.000
Penyusutan 1997 = 3 bulan 7.500.000
1998 – 2002 = 5 tahun 150.000.000
2003 = 2 bulan 5.000.000 162.500.000
Nilai buku 1 Maret 2013 17.500.000
Harga jual 2 kendaraan 100.000.000
Keuntungan penjualan (82.500.000)
1
Penyusutan 2 buah kendaraan tahun 2003
9 bulan x 2 x Rp 1.250.000 22.500.000

 Penyusutan kendaraan metode saldo menurun (akuntansi fiskal)

Nilai
Tahun Penyusutan Fiskal Nilai Buku
Penyusutan
2007 25 % 90.000.000 22.500.000 67.500.000
2008 25 % 67.500.000 16.875.000 50.625.000
2009 25 % 50.625.000 12.656.250 37.968.750
2010 25 % 37.968.750 9.492.187 28.476.563
2011 25 % 28.476.563 7.119.141 21.357.422
2012 25 % 21.357.422 5.339.356 16.018.066
2013 25 % 16.018.066 4.004.516 12.013.550
2014 sekaligus 12.013.550 0
90.000.000

Awal tahun 2003 (1 kendaraan)


Nilai buku 16.018.066
Penjualan 1.000.000
Rugi penarikan kendaraan (15.018.066)

1 Maret 2003
Nilai buku 2 kendaraan x 16.018.006 32.036.132
Penyusutan 2 bulan
2(2/12 x 25% x 16.018.066) 1.334.837
Nilai buku 2 kendaraan 33.370.000
Harga jual 100.000.000
Keuntungan penjualan 69.298.705

 Perbandingan penyusutan komersial dan fiscal

Keterangan Komersial (Rp) Beda waktu (Rp) Fiskal (Rp)


Penyusutan 5 kendaraan
2007 18.750.000 93.750.000 112.500.000
2008 75.000.000 9.735.000 84.375.000
2009 75.000.000 (11.718.750) 63.281.250
2010 75.000.000 (27.539.065) 47.460.935
1
2011 75.000.000 (39.404.295) 35.595.705
2012 75.000.000 (48.303.220) 26.696.780
Akumulasi penyusutan s.d 2013 393.750.000 (23.840.330) 369.909.670
Penyusutan 2013
Penj. 2 kendaraan (2 bulan) 5.000.000 3.665.163 1.334.837
2 kendaraan 22.500.000 (14.490.968) 8.009.032
Penyusutan 2004 - 24.027.100 24.027.100
421.250.000 (17.969.361) 403.280.639
Rugi penarikan 1 kendaraan 10.250.000 478.066 15.081.066
Laba penjualan kendaraan (82.500.000) 13.201.295 (69.298.705)
349.000.000 - 349.000.00

 Penyusutan 1 kendaraan

Komersial Beda Waktu Fiskal


2007 3.750.000 18.750.000 22.500.000
2008 15.000.000 1.875.000 16.875.000
2009 15.000.000 (2.343.750) 12.656.350
2010 15.000.000 (5.507.813) 9.492.187
2011 15.000.000 (7.880.859) 7.119.141
2012 15.000.000 (9.660.644) 5.339.356
2013 11.250.000 (7.245.484) 4.004.516
2014 - 12.013.550 12.013.550
90.000.000 nihil 90.000.000

Sumber:
Gunadi. 2009. Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Baru: Edisi Revisi
2009. Jakarta: Grasindo.
Pardiat. 2008. Akuntansi Pajak: Rekonsiliasi Rugi-Laba Fiskal sebagai Dasar Pengisian
SPT. PPh. WP. Badan dalam Valuta Rupiah dan US Dollar Edisi 2. Jakarta: Mitra
Wacana media.
Waluyo. 2009. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
1

Anda mungkin juga menyukai