Anda di halaman 1dari 19

Akuntansi Perpajakan Hutang

Saya yakin kita semua sudah paham apa itu Hutang atau Kewajiban dan mengapa hutang bisa
timbul. Yang menjadi pembahasan pada topik ini adalah perpajakan dan hutang. Untuk
mengulang kembali dan mengingat yang telah dipelajari saat di mata kuliah Pengantar
Akuntansi, maka kita mulai kembali atas pemahaman dari Jenis Hutang atau Kewajiban.

 Kewajiban Jangka Pendek adalah kewajiban yang diharapkan akan dilunasi dalam waktu
satu tahun atau satu siklus operasional perusahaan. Kewajiban lancar mencakup antara lain:

a. Hutang usaha, yaitu hutang yang timbul karena perolehan persediaan atau penerimaan
jasa dalam rangka kegiatan usaha normal perusahaan.
b. Hutang muka penjualan atau panjar.
c. Biaya yang masih harus dibayarkan untuk bunga, upah, pajak, sewa, dll.
d. Hutang pembelian aktiva tetap, pinjaman bank dan rupa-rupa.
e. Hutang lainnya yang harus diselesaikan dalam waktu satu tahun seperti hutang pajak.

Hutang jangka pendek dibukukan sesuai dengan nilai nominalnya.

1. Hutang Dagang/Usaha
Hutang dagang adalah hutang yang terjadi dari transaksi pembelian barang dan jasa yang
diperlukan dalam kegiatan usaha normal. Jadi perkiraan hutang dagang mencakup
kewajiban karena perolehan bahan baku, perlengkapan dan peralatan kantor, prasarana,
reparasi dan banyak lagi jenis barang dan jasa lainnya yang telah diterima sebelum akhir
tahun.

Hutang dagang tidak dicatat pada waktu pemesanan dilakukan, tetapi hanya pada saat hak
pemilikan atas barang-barang tersebut beralih kepada pembeli. Apabila terdapat potongan
pembelian secara tunai, maka hutang dagang harus dilaporkan sebesar jumlah hutang
dagang setelah dikurangi potongan tunai. Selain itu apabila dalam pembelian terdapat PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) maka Hutang Dagang dilaporkan termasuk nilai PPN.

Hutang Dagang dapat dihitung menggunakan:

 Metode Bruto
 Metode Neto

Contoh:                            

Tanggal 15 Januari 2018 dibeli barang kena pajak Rp10.000.000,-. atas pembelian ini
dikenakan PPN. Tanggal 10 Pebruari 2018 hutang itu dilunasi.
Pencatatan pada jurnal dengan metode brutto:

Tanggal Uraian Debet (Rp) Kredit (Rp)


15.01.2018 Pembelian 10.000.000,-
PPN Masukan 1.000.000,-
Hutang Dagang --- 11.000.000,-
10.02.2018 Hutang Dagang 11.000.000,-
Kas 11.000.000,-

Jika ada potongan tunai maka utang dagang diukur dan diakui sebesar harga beli neto setelah
dikurangi potongan tunai yang diharapkan akan direalisasi.

Contoh:

PT Ritelindo Ritonga Raya (PT 3R) pada 26 Desember 2018 membeli barang dagangan
Rp500.000.000,- dengan syarat pembayaran 2/10, n/30, jurnal yang dibuat sebagai berikut:

Tanggal Uraian Debet (Rp) Kredit (Rp)


15.01.2018 Persediaan Brg. Dagang 490.000.000,-
Hutang Dagang --- 490.000.000,-
(Metode Neto)
10.02.2018 Persediaan Brg, Dagang 500.000.000,-
Hutang Dagang 500.000.000,-
(Metode Bruto)

b.  Utang Wesel

Utang wesel adalah kewajiban kepada pihak lain yang dibuktikan dengan janji tertulis
tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu pada tanggal yang telah ditentukan.
Utang wesel dapat dijual oleh pemegangnya. Sekalipun wesel ini dapat dijual oleh
pemegangnya, namun jumlah utang yang harus dibayar tidak berubah.

Utang wesel ada dua yaitu:

 Utang wesel yang tidak berbunga, yaitu utang wesel yang pada tanggal jatuh tempo
pelunasannya hanya sebesar nilai nominal wesel.
 Utang wesel yang berbunga, yaitu utang wesel yang pada tanggal jatuh tempo
pelunasannya sebesar nilai nominal wesel ditambah dengan bunga.

Contoh:
PT 3R pada tanggal 2 Januari 2018  membeli barang dagangan sebesar Rp500.000.000,-
dengan menyerahkan promes 6 bulan, bunga 15%.

Tanggal Uraian Debet (Rp) Kredit (Rp)


02.01.2018 Persediaan Brg. Dagang 500.000.000,-
Utang Wesel --- 500.000.000,-
10.02.2018 Hutang Dagang 11.000.000,-
Kas 11.000.000,-

Tanggal Uraian Debet (Rp) Kredit (Rp)


02.07.2018 Utang Wesel 500.000.000,-
Biaya Bunga 37.500.000,-
(Biaya Bunga = 15% x 500 jt x 6/12)
Kas 537.000.000,-

c.  Utang Dividen

Utang deviden timbul jika pembagian laba diumumkan oleh perseroan. Pembagian laba
yang tidak diumumkan tidak menimbulkan utang. Menurut ketentuan pajak, pajak telah
terutang pada saat pengumuman pembagian laba bukan pada saat pembayaran. Karena itu
pembayar deviden wajib menyetor pajak atas deviden kepada negara pada saat yang
ditentukan. Ketentuan pemungutan pajak diatur dalam Pasal 23 dan 26 UU No. 7 Tahun
1983 (sudah diganti dengan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7
TAHUN 1991).

Contoh:

Tanggal 20 Desember 2018 PT 3R mengumumkan akan membayar Deviden kepada


pemegang saham tunai Rp10.000.000,- pada 10 Januari 2019.

Jika menggunakan Metode Akrual maka sejak transaksi utang diakui serta dibuat pencatatan.
Jika Metode yang digunakan tidak dikatakan makanya dianggap metode Basis Kas. Sehingga
saat pemgumuman belum ada Jurnal pencatatan. Akan tetapi seandainya anda membuat
asumsi metode pencatatan, jurnal catatan anda dapat dibenarkan.

Tanggal Uraian Debet (Rp) Kredit (Rp)


20.12.2018 Laba Ditahan 10.000.000,-
Utang Dividen --- 10.000.000,-
10.01.2019 Hutang Dividen 10.000.000,-
Kas 8.500.000,-
Utang PPh Pasal 23 1.500.000,-
(PPh 23 = 15% x 10 jt = 1.500.000,-)
10.01.2019 Utang PPh Pasal 23 1.500.000,-
Kas 1.500.000,-
(Penyetoran Utang PPh Pasal 23 yang dipotong atas
Dividen)
Tips Tentang Dividen

Pengertian Dividen
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh yang termasuk objek pajak adalah dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi kecuali ditentukan lain oleh
ketentuan perpajakan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g, ditegaskan pula bahwa
termasuk dalam pengertian dividen adalah:

1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan
sebagai biaya perusahaan.

Jelas kita ketahui bahwa pengertian dividen mempunyai arti yang luas, pengertian diatas
merupakan pengertian dividen secara formal, namun dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf
g ini juga menjelaskan bahwa dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran
dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang
dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian
bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perseroan yang bersangkutan.

Pajak atas Dividen


Pemberi dividen akan memotong jenis PPh dan tarif yang berbeda-beda tergantung siapa
penerima dividennya. Jenis objek pajak penghasilan yang dikenakan penerima dividen
adalah sebagai berikut:
1.    Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 23
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau
memperoleh penghasilan berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf a UU PPh. Dividen tersebut dikenakan PPh Pasal 23 sepanjang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh.

2.    Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang
bersifat final sebesar 10% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam PP No. 19
Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009.
 
3.    Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 26
Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 26
sebesar 20% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a UU
PPh. Namun, apabila penerima dividen ini adalah WPLN dimana Negara domisili yang
bersangkutan mempunyai perjanjian perpajakan dengan Indonesia dan terdapat Surat
Keterangan Domisili (COD), maka tarif yang dikenakan adalah tarif yang sesuai dengan Tax
Treaty.

Dividen yang Dikecualikan dari Objek Pajak


Pada penjelasan sebelumnya, sudah dijelaskan mengenai pengertian dividen serta dividen
yang termasuk objek pajak penghasilan. Namun, UU PPh memberikan pengecualian atas
dividen tertentu yang tidak termasuk objek pajak penghasilan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3)
huruf f UU PPh, bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

Saat terutang
Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2010 dalam penjelasan pasal 15 ayat 3 dijelaskan bahwa saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat
pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti:
bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti:
royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":

1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen
yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau
ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian
pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan
dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-
Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam
Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang
bersangkutan.
2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang
saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut diketahui,
meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Contoh Kasus
PT ABC (tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia) pada tanggal 4 Mei 2014 mengumumkan
pembagian dividen dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pada tanggal 13 Agustus
2014 perusahaan membagikan dividen tunai kepada para pemegang sahamnya, yang mana
dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan. Total jumlah dividen yang
dibagikan adalah sebesar Rp.1.000.000.000,-. Susunan pemegang saham beserta prosentase
kepemilikan sahamnya adalah sbb :
Penutup
Pada tanggal 14 Juni 2010 Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 111/PMK.03/2010 tentang tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa atas penghasilan berupa
dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri  dikenai
Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto dan bersifat final.
Sedangkan di  ayat 2 disebutkan bahwa “Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi”.

Namun dalam pasal 23 ayat 4 huruf f UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
disebutkan bahwa sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya bukan merupakan objek pemotongan Pajak Pasal 23.

Kasus ini menarik sekali diperdebatkan oleh praktisi perpajakan di Indonesia. Sebagian besar
dari kita semua berpendapat terjadi pertentangan masalah pengenaan pajak atas sisa hasil
usaha (SHU) tersebut. Namun tidak sedikit juga dari kita yang berpendapat bahwa tidak
bertentangan karena yang satu bicara tentang Pasal 23 sedangkan yang satu bicara tentang
Pasal 4 ayat 2.

Jika lihat dari sejarahnya, sisa hasil usaha koperasi yang yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggotanya mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 ketika UU No. 10 tahun 1994
diundangkan. Artinya aturan main atas kasus ini sudah sekitar 20 tahun berlaku. Selama 20
tahun tersebut, tidak ada perdebatan masalah kasus SHU ini karena hanya diatur di dalam
pasal 23 ayat 4 UU PPh. Sedangkan aturan perundang-undangan baik Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan dll tidak ada yang mengatur lebih lanjut. Jika Peraturan
Menteri Keuangan No. 111/PMK.03/2010 dianggap bertentangan dengan UU No. 36 tahun
2008 seharusnya Peraturan tersebut batal demi hukum.

Referensi        

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan


Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2010 tentang
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 30/PJ/2012 tentang Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Dividen

Contoh
PT Jaya Abadi yang berkedudukan di Medan memutuskan untuk membagikan Dividen tunai
kepada para pemegang sahamnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
1. PT Indojaya, pemegang saham 25% mendapatkan dividen Rp250.000.000,-. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) huruf f di atas, maka dividen yang diterima PT
Indojaya tidak dipotong PPh karena bukan merupakan objek pajak.
2. La Mercy Company, perusahaan berkedudukan di Singapore pemegang saham 20%,
mendapat Dividen Rp200.000.000,- maka dividen yang diterima La Mercy Company
akan dipotong tarif Pasal 26 yakni sebesar 20% atau berdasarkan tarif kesepakatan
pajak antara Indonesia dengan negara asal La Mercy Company (Singapore).
3. PT Kota Lama pemegang saham 20%, mendapat dividen sebesar Rp200.000.000,-
maka berdasarkan Pasal 23, dividen yang diterima PT Kota Lama akan dipotong PPh
Pasal 23 yakni sebesar 15%.
4. Koperasi Karyawan Musi Jaya, pemegang saham 15% mendapat dividen sebesar
Rp150.000.000,- maka sesuai dengan penjelasan pasal 4 Ayat (3), dividen yang
diterima Koperasi Karyawan Musi Jaya bukan merupakan objek PPh.
 
Tips: Perbedaan Pemotongan dan Pemungutan Pajak

Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal konsep pemotongan dan


pemungutan pajak atau biasa disebut dengan pajak potput (withholding tax).
Sistem withholding tax merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang
banyak diterapkan di banyak negara.

Hal itu terjadi karena sistem withholding tax memiliki beberapa keunggulan di


antaranya withholding taxes mencoba meringankan beban wajib pajak karena pajak
dipotong/dipungut dan dibayarkan ke kas negara saat penghasilan belum diterima.
Sistem ini sejalan dengan salah satu dari the four maxim dari Adam Smith yaitu
asas convenience of payment.

Meskipun, dari sisi lain, sebagian orang berpendapat sistem ini dapat juga
menambah beban bagi pihak pemotong/pemungut pajak karena beban administrasi
yang harusnya ditanggung oleh otoritas pajak dialihkan kepada wajib pajak selaku
pemotong/pemungut pajak.

Di Indonesia, pemotongan pajak penghasilan (PPh) diatur dalam Undang-Undang


(UU) PPh yang tercakup dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 21, Pasal 23,
Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Selain itu, ada juga Pasal 22 yang
mengatur pemungutan PPh. Selain itu, ada pula pemungutan pajak pertambahan
nilai (PPN) menurut UU PPN.
Lantas apa perbedaan dari pemotongan dan pemungutan tersebut?
Dua istilah tersebut sekilas memiliki arti yang sama, namun ternyata berbeda
dalam penggunaannya. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di
Indonesia, istilah pemotongan digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 21, PPh Pasal
23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan digunakan untuk pengenaan PPh
Pasal 22 dan PPN.

Mesipun tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai definisi dari pemotongan dan
pemungutan, namun secara sederhana pemotongan pajak dapat diartikan sebagai
kegiatan memotong sejumlah pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran
yang dilakukan. Pemotongan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan
pembayaran terhadap penerima penghasilan. Dengan kata lain, pihak pembayar
bertanggungjawab atas pemotongan dan penyetoran serta pelaporannya.

Sedangkan, pemungutan pajak merupakan kegiatan memungut sejumlah pajak


yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah besarnya
jumlah pembayaran atas perolehan barang. Pemungutan dilakukan oleh

Namun demikian, ada juga pemungutan yang dilakukan oleh pihak pembayar
dengan mekanisme yang sama dengan pemotongan

Dari sisi persamaannya, baik pihak yang melakukan pemotongan atau


pemungutan pajak sama-sama kepanjangan tangan otoritas pajak (fiskus)
untuk mengambil dan menyetorkan pajak ke kas negara. Kedua istilah ini
juga disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) UU PPh yang berbunyi sebagai
berikut
“Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi
oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan
pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri.”
Untuk memahami perbedaan di atas, berikut contoh kasus pemotongan dan
pemungutan pajak:
Pemotongan
PT A membayar jasa konsultasi (jasa kena pajak) kepada PT B sebesar
Rp10.000.000,-. Atas pembayaran tersebut, PT A wajib memotong PPh
Pasal 23 sebesar 2% x Rp10.000.000,- = Rp200.000,-. Dengan demikian,
pembayaran sebesar Rp1.000.000,- dari PT A ke PT B telah dipotong PPh
sebesar Rp200.000,- sehingga jumlah pembayaran yang diterima oleh PT B
adalah Rp9.800.000,-
Jurnal

Tanggal Uraian Debet Kredit


Biaya Jasa Konsultasi 10.000.000,-
PPN Masukan 1.000.000,-
Utang PPh Pasal 23 200.000,-
Kas 10.800.000,-

Pemungutan
Dalam kasus soal yang sama, PT A dan PT B merupakan perusahaan yang
telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Oleh sebab itu, PT
B harus memungut PPN sebesar 10% X Rp10.000.000,- = Rp1.000.000,-.
Dengan demikian, pembayaran Rp10.000.000,- dari PT A ke PT B telah
dipungut PPN sebesar Rp1.000.000,- sehingga jumlah pembayaran yang
diterima oleh PT B adalah Rp1.100.000,-
Secara keseluruhan jumlah pembayaran yang dilakukan PT A kepada PT B
adalah Rp10.000.000 + Rp1.000.000 (PPN) – Rp200.000 (PPh Pasal 23) =
Rp10.800.000.
Jurnal
Tanggal Uraian Debet Kredit
Kas 10.800.000,-
PPh dibayar di muka 200.000,-
Utang PPN 1.000.000,-
Pendapatan Jasa Konsultasi 10.000.000,-

Termasuk dalam pengertian dividen adalah dividen yang merupakan pembagian laba
tahun berjalan. Lilihat di Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010.

Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


Perseroan wajib menyisihkan laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan yang
mana penyisihan laba persih tersebut dilakukan sampai cadangan mencapai 20% (dua
puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. Dividen yang tidak
diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk
pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. Tata cara
pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus akan diatur
oleh berdasarkan RUPS. Apabila dividen dalam cadangan khusus tersebut tidak
diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, maka jumlah dividen yang tidak
diambil tersebut akan menjadi hak Perseroan, sebagaimana yang akan dibukukan
dalam pos pendapatan lain-lain dari Perseroan. Untuk pembagian dividen interim atau
yang dikenal sebagai dividen sementara yang dibayarkan sebelum ditetapkannya laba
tahunan Perseroan oleh RUPS, dapat dilakukan sebelum berakhirnya tahun buku
yang berjalan sepanjang hal tersebut diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
Pembagian dividen interim dapat dilakukan dengan ketentuan: jumlah kekayaan
bersih perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan
disetor, ditambah cadangan wajib; dan tidak boleh mengganggu atau menyebabkan
Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu
kegiatan Perseroan. Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan
Direksi setelah memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris. Namun, apabila
setelah berakhirnya tahun buku, Perseroan ternyata menderita kerugian, maka dividen
interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada
Perseroan. Jadi, dividen ga wajib dibagi, tergantung kondisi keuangan perusahaan
dan keputusan pada RUPS.

Pemotongan pajak penghasilan atas hasil laba telah dirumuskan pada tiga pasal berbeda,
sesuai dengan kondisi penerima penghasilan tersebut, di antaranya:
1. PPh Pasal 4 ayat 2, potongan 10% dan bersifat final jika penerima dividen
merupakan orang pribadi dalam negeri
2. PPh pasal 23, potongan 15% dari jumlah bruto jika penerima dividen merupakan
wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap
3. PPh pasal 26, potongan 20% dari jumlah bruto jika penerima dividen merupakan
wajib pajak luar negeri dan selain badan usaha tetap.

d.   Biaya Yang Akan Dibayar

Ada beberapa jenis biaya yang telah terjadi, namun pembayarannya akan dilakukan di
kemudian hari. Contoh utang biaya adalah gaji tenaga kerja dan bunga pinjaman. Dalam
perpajakan biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan.

Contoh:

Hari kerja PT 3R enam hari dalam seminggu, perusahaan memperkerjakan 100 orang yang
gaji / upahnya dibayar secara mingguan setiap hari sabtu. Tanggal 31 Desember 2018 jatuh
pada hari rabu, gaji dan upah selama 3 hari yang belum dibayar Rp7.500.000,-, jurnal 31
Desember 2018 sebagai berikut:

Tanggal Uraian Debet Kredit


Gaji dan Upah 7.500.000,-
Utang Gaji dan Upah 7.500.000,-

e.    Hutang Pajak

Penyajian ikhtisarh utang pajak yang baik dan teratur akan mempermudah penelitian atas
kewajiban pajak dan pemenuhannya. Hutang pajak yang dimaksud dapat mencakup hal-
hal sebagai berikut:

 Hutang pajak penghasilan yang dibayar sendiri (PPh Pasal 25 dan 29),
 Hutang pajak penghasilan yang dipungut atau dipotong dari pihak ketiga (PPh
Pasal 21, 22, dan 23),
 Hutang pajak yang wajib dipungut atau dipotong dari pihak ketiga (PPh Pasal 21,
22, 23 dan 26),
 Hutang PPn dan PPnBM,
 Hutang PBB

Contoh Utang Pajak Penghasilan:

Setiap pembayaran gaji pegawai misalkan dipotong 10% (sesuai ketentuan PPh sebenarnya
Tarif sesuai PPh Pasal 21) sebagai pajak penghasilan pegawai yang nantinya akan disetorkan
ke kas negara. Jika gaji pegawai bulan Desember  2018 sebesar Rp1.500.000,- maka jurnal
yang dibuat sebagai berikut:

Tanggal Uraian Debet Kredit


Gaji dan Upah 1.500.000,-
Utang PPh 150.000,-
Kas 1.350.000,-

Contoh Utang PPN:

Penjualan bulan Desember 2018 sebesar Rp25.000.000,- termasuk PPN 10% maka jurnal
yang dibuat sebagai berikut:

Tanggal Uraian Debet Kredit


Kas 25.000.000,-
PPN Keluaran 2.272.723,-
Penjualam 22.727.727,-

f. Hutang Bonus
 Dihitung dari laba sebelum dikurangi bonus dan pajak penghasilan,
 Dihitung dari laba sesudah dikurangi pajak penghasilan sebelum dikurangi bonus
 Dihitung dari laba sesudah dikurangi bonus dan pajak penghasilan

Utang Bonus

 Dihitung dari laba sebelum dikurangi bonus dan pajak penghasilan


 Dihitung dari laba sesudah dikurangi pajak penghasilan sebelum dikurangi bonus
 Dihitung dari laba sesudah dikurangi bonus dan pajak penghasilan

Contoh:

PT 3R memberikan bonus untuk kepala bagian penjualan sebesar 10% dari laba. Laba tahun
2004 Rp1.000.000,-. PPh 15% dari laba bersih.

a.    Dihitung dari laba sebelum dikurangi Bonus & PPh


B         = 0,10 x Rp1.000.000,- = Rp100.000,-

PPh      = 15% x (Rp1.000.000,- – Rp100.000,-)

PPh      = Rp135.000,-

b.  Dihitung dari laba sesudah dikurangi PPh sebelum dikurangi Bonus

B =0,10 ( Rp1.000.000,- – PPh)

P = 0,15 (Rp 1.000.000,- – B)

B = 0,10 {1.000.000,- – 0,15 (Rp1.000.000,- – B)}  

B = 0,10 (1.000.000 – 150.000 + 0,15B)

B – 0,015B      = Rp 85.000,-

       0,985B      = Rp85.000,-

B = Rp86.294,40

P = 0,15 (1.000.000 – Rp 86.294,40)

P = 0,15 x 913.705,60

P = Rp 137.055,84

c.  Dihitung dari laba sesudah dikurangi PPh dan Bonus

B = 0,10 ( Rp1.000.000,- – B - PPh)

P = 0,15 (Rp 1.000.000,- – B)

B = 0,10{Rp1.000.000,- –B-0,15 (Rp1.000.000,- –B)}

B = 0,10 (Rp1.000.000,- – B – Rp150.000,- + 0,15B)

B = 100.000 – 0,10B – Rp15.000,- + 0,015B

B + 0,10B – 0,015B    = Rp85.000,-

      1,0985B    = Rp85.000,-

B = Rp77.378

P = 0,15 (Rp1.000.000,- – 77.378)

P = 0,15 x Rp922.622
P = Rp138.393,-

KEWAJIBAN JANGKA PANJANG

Kewajiban jangka panjang adalah utang yang jatuh temponya lebih dari satu tahun buku dan
sumber pembayarannya tidak diambil dari aktiva lancar. Penyajian pos utang jangka panjang
dipisahkan dari pos utang jangka pendek. Pemisahan ini bertujuan agar kontrol atas utang-
utang tersebut lebih mudah dilakukan. Utang jangka panjang biasanya dicatat berdasarkan
perjanjian kredit yang dimuat:

a.       Jumlah pinjaman yang disetujui

b.      Tingkat atau suku bunga

c.       Jumlah angsuran dan jatuh temponya

d.      Barang jaminan

e.       Sifat dan luasnya ikatan yang ada seperti akumulasi dana untuk pembayaran kembali
pinjaman (sinking fund), pembatasan atas modal kerja dan pembagian dividen serta
ikatan lainnya.

Utang jangka panjang meliputi:

a.  Utang Obligasi

Adalah surat pengakuan utang jangka panjang yang akan dibayar pada tanggal tertentu.

Menurut spesifikasi utang obligasi dibagi menjadi

 Obligasi Hipotik
 Obligasi dengan jaminan surat berharga
 Obligasi dengan jaminan pihak ketiga
 Obligasi tanpa jaminan
 Obligasi dengan bunga yang bergantung pada penghasilan penerbit
 Obigasi dengan hak atas laba
 Obligasi Konversi

Menurut pembuktian atas kepemilikan dibagi menjadi:

 Obligasi Terdaftar
 Obligasi tanpa registrasi
Menurut cara pelunasan dan tanggal jatuh tempo dibagi menjadi:

 Obligasi dengan satu tanggal jatuh tempo


 Obligasi seri
 Obligasi dengan hak penarikan kembali dengan kurs tertentu sebelum jatuh tempo

Contoh :

Perusahaan  pada 01 Desember 2020  mengeluarkan obligasi sebanyak 100 lembar @ Rp.
10juta/lembar berjangka waktu 5 tahun dengan kupon 10%/tahun yang dibayarkan setiap 6
bulan.

Jurnal :

(pengeluaran obligasi dengan nilai nominal)

Bank                                                                     Rp. xxx

     Hutang Obligasi                                                          Rp. xxx

Pada saat membayar bunga secara periodik pada 1 mei 2021

Jurnal :

Beban Bunga Obligasi                                         Rp. xxx

     Kas/Bank                                                                    Rp. xxx

Kalau bunga belum dibayar

Jurnal :

Beban Bunga Obligasi                                         Rp. xxx

     Hutang Bunga                                                             Rp. xxx          

b.  Utang Hipotek

Adalah penyerahan tertulis mengenai hak atas harta benda tak bergerak untuk menjamin
pembayaran hutang dengan ketentuan bahwa penyerahan itu akan dibatalkan setelah
waktu pembayaran.

c.  Pinjaman Gadai

Meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak dapat ditebus maka barang tersebut
akan menjadi hak yang memberikan pinjaman.
d. Kredit Investasi

Adalah kredit jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang
modal beserta jasa yang diperlukan untuk pendirian proyek baru, rehabilitasi, modernisasi,
ekspansi, relokasi proyek yang sudah ada atau refinancing atas objek yang telah dibiayai
terlebih dahulu.

e.  Dana Pensiun Yang dikelola Sendiri (non-funded system)

Termasuk dalam kelompok utang jangka panjang. Dana seperti ini adalah kewajiban yang
harus dilaksanakan pada saat pegawainya mulai pensiun.

KEWAJIBAN LAIN

Kewajiban lain adalah utang yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam utang jangka pendek
atau jangka panjang. Yang termasuk dalam kategori kewajiban lain-lain antara lain:

a. Pendapatan yang ditangguhkan (Pendapatan diterima dimuka)

Merupakan pos yang awalnya dicatat sebagai kewajiban tetapi diharapkan menjadi suatu
pendapat dikemusian hari atau selama operasi normal bisnis.

Contoh:

PT Bulaksumur tanggal 30 Desember 2019 menerima kas Rp2.500.00,- penyerahan tanggal 6


Januari 2020, perhitungan akhir atas barang yang dipesan dan disetujui pemesan
Rp25.750.000 jurnal yang dibuat sebagai berikut:

Tanggal Uraian Debet Kredit


30.12.2019 Kas 2.500.000,-
Utang Pendapatan 2.500.000,-

Tanggal Uraian Debet Kredit


01.01.2020 Kas 2.500.000,-
Piutang Dagang 23.250.000,-
Penjualan 25.750.000,-

b.  Uang jaminan yang diterima dari pelanggan

Adalah uang yang diterima oleh perusahaan dari pelanggan sebagai jaminan aktiva atau
kegiatan yang dipercayakan kepada pelanggan. Misalkan seseorang yang membeli
minuman dalam botol harus menyerahkan uang jaminan botol dari minuman tersebut.
Sehingga uang tersebut menjadi kewajiban (hutang) perusahaaan untuk mengembalikan
kepada pelanggan.

Contoh Jurnal:

(pada saat mencatat penerimaan uang jaminan dari pelanggan):

Kas                                                                 Rp xxx

           Uang Jaminan Pelanggan                                            Rp xxx

(pada saat mencatat pengembalian uang jaminan pelanggan):

Uang Jaminan Pelanggan                               Rp xxx      

                                   Kas                                                      Rp xxx

c.  Utang kepada direksi atau perusahaan afiliasi

Hutang kepada pemegang saham atau perusahaan afiliasi adalah pinjaman yang diberikan
oleh pemegang saham diluar setoran modal. Atau pembelian barang atau jasa maupun
pinjaman yang diperoleh dari perusahaan afiliasi. Pinjaman jenis ini dapat merupakan
kewajiban lancar atau kewajiban jaangka panjang tergantung pada jangka waktu yang
telah disepakati.

Contoh Jurnal:

Pada saat mencatat penerimaan uang dari pinjaman pemillik modal atau perusahaan afiliasi:

Kas                                                                             Rp xxx

    Hutang kepada Tn. Ahmad (pemilik perusahaan)             Rp xxx

    Hutang kepada perusahaan aafiliasi                                   Rp xxx

Apabila dilakukan pembayaran hutang-hutang tersebut maka akan dijurnal:

Hutang kepada Tn. Ahmad (pemililk perusahaan)    Rp xxx

Hutang kepada perusahaan afiliasi                            Rp xxx

                                               Kas                                          Rp xxx

Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi kredit adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh bank untuk memperbaiki
kegiatan perkreditan terhadap nasabah yang mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya.
Jadi, hasil dari restrukturisasi kredit adalah keringanan cicilan bank sehingga tidak
memberatkan Anda pada saat membayar kewajiban. 

Menurut Joel G. Sigel dan Joe K. Shim (1994 : 129) pengertian debt restructuring
(restrukturisasi utang) adalah:

1. Penyesuaian atau penyusunan kembali struktur utang yang mencerminkan


kesempatan kepada debitur merencanakan pemenuhan kewajiban keuangannya
Penjadwalan diperlukan ketika debitur menghadapi kesulitan keuangan. Perjanjian.
untuk mengubah struktur dapat disebabkan oleh tindakan legal atau berdasarkan
persetujuan sederhana dari pihak yang bersangkutan.
2.  Penyusunan kembali struktur utang didasarkan pada keputusan manajemen
keuangan sukarela, misalnya untuk mengubah hutang jangka pendek menjadi jangka
panjang.

Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa yang berkepentingan terhadap
restrukturisasi utang adalah pihak debitur bermasalah. Restrukturisasi utang perlu dilakukan
untuk mengatasi kredit bermasalah yang sedang dialami perusahaan-perusahaan di Indonesia,
baik perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, maupun perusahaan dagang.

Pengertian Trouble Debt Restructuring (Penataan kembali utang macet) adalah suatu keadaan
dimana seorang debitur mengalami kesulitan keuangan dan meminta keringanan
kewajibannya kepada kreditur. Debitur akan mengalami sebuah perolehan yang luar biasa
dalam penataan kembali hutang yang sama dengan perbedaan antara nilai wajar aktiva yang
dipertukarkan dan nilai buku hutang, termasuk tambahan bunga. Kreditur menyadari sebuah
kerugian yang berasal dari perbedaan antara nilai yang wajar dari aktiva yang diterima dan
nilai buku investasinya. Juga harus dibuat catatan kaki yang tepat, oleh debitur dan kreditur
yang dikaitkan dengan persyaratan penataan kembali.

Dari sisi debitur, apabila perusahaan tidak melakukan restrukturisasi hutangnya maka akan
timbul wanprestasi atau cacat yang dapat menimbulkan akibat yang sangat besar bagi
kelangsungan hidup perusahaan. Dampak yang dimaksud tersebut terhadap suatu perusahaan
bermasalah antara lain:

a. Apabila debitur itu adalah perusahaan masuk bursa saham maka akan terjadi
penurunan credit rating.
b. Debitur akan memiliki reputasi jelek di dunia usaha.
c. Debitur akan sulit mendapatkan dana di masa yang akan datang.
d. Nilai saham debitur akan mengalami penurunan/jatuh.
e. Debitur akan mengeluarkan beban/biaya yang lebih besar dalam mendapatkan
dana di masa yang akan datang.
f. Nilai usaha debitur akan mengalami penurunan.
g. Default yang dialami oleh debitur dapat mengakibatkan default bagi
perusahaan lainnya yang satu grup dengan debitur (cross default).
h. Debitur dapat dipailitkan oleh kreditur.

Sehingga bagi debitur bermasalah sangat berkepentingan untuk melakukan restrukturisasi


hutangnya dalam upaya menghindari masalah-masalah diatas yang mungkin timbul.

Contoh restrukturisasi

UMKM Jaya Baya Agung yang bergerak pada bidang kuliner mengambil cicilan bank
selama dua belas bulan. Semenjak adanya pandemi Corona-19, pendapatan menurun drastis
sehingga tidak sanggup membayar cicilan. Maka UMKM Jaya Baya Agung dapat
mengajukan keringanan untuk menunda waktu pembayaran sesuai kesepakatan dengan bank.

UMKM Jaya Baya Agung juga dapat mengajukan pemotongan cicilan sekaligus
perpanjangan waktu. Namun program ini ditujukan bagi nasabah yang benar-benar
membutuhkan. Namun potongan cicilan pada program restrukturisasi kredit ini tidak terlalu
besar. Yang pasti kebijakan restrukturisasi ini tidak menghapuskan seluruh cicilan kredit.
Para nasabah tetap harus membayar kewajibannya pada bank atau leasing, tapi diberi
keringanan seperti penurunan suku bunga, perpanjangan waktu, pengurangan tunggakan
pokok atau bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit ke penyertaan modal
sementara.

Latihan:

1. Apa manfaat restrukturisasi bagi kreditur dan debitur


2. Berikan 5 (lima) perusahaan yang pernah diberikan pemerintah restrukturrisasi
hutangnya
3. Berikan contoh-contoh Restrukturisasi Utang
4. Ini siatif siapakah restrukturisasi utang?
5. Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi debitur agar restrukturisasi disetujui?

Anda mungkin juga menyukai