تعليم النحو التقليدي في المدارس الإسلامية PDF
تعليم النحو التقليدي في المدارس الإسلامية PDF
USHUL AN NAHWI
Oleh:
Niken Nur Hanifah (21200120000015)
Di era modern ini, sebagai usaha modernisasi ilmu yang salah satu tujuannya adalah
mempermudah pembelajaran nahwu di jenjang sekolah yang dianggap rumit dan sulit lahirlah
beberapa usaha penyederhanaan untuk mempermudah pembelajaran ilmu Nahwu dengan
mengkondisikan ilmu Nahwu dengan format-format atau bentuk-bentuk yang diinginkan oleh
pendidikan modern dengan cara penyederhanaan definisi qawaid yang dipaparkan kepada
siswa. Diantara buku Nahwu yang telah mengalami penyerdehanan pada abad ke 19 adalah
Jami’ al Durus al ‘Arabiyyah karya Musthafa al Ghalayaini, al Nahwu al Wadhih karya Ali
Jarim dan Mustahfa Amin, al Qawaid al ‘Arabiyyah Al Muyassarah : Silsilatun fi Ta’lim al-
Nahwi al-‘Arabi li Ghair al ‘Arab, dan al Nahwu al Wadzify karya Abdul Alim Ibrahim.
Penyederhaan ini verlanjut hingga abad ke 20, dimana ulama Nahwu modern
mengkontribusikan pemikirannya dalam pengembangan ilmu Nahwu diantaranya Ibrahim
Musthafa, Mahdi Makhzumy, Ahmad Abdu as Sattar al Jawwari, dst.
353 . ص،1 . ط،4 . ج،)4002 ، دار يعرب: (دمشق، حتقيق عبد هللا حممد الدريش، مقدمة ابن خلدون،عبد الرمحن ابن حممد ابن خلدون ويل الدين1
Syarafuddin Yahya Imrithi. Karya-karya ini tidak memiliki muatan level yang sama, akan
tetapi memiliki tingkatan berbagai level sesuai kemampuan siswanya.
Dalam proses memahami kitab kuning ini, santri tidak bisa lepas dari ilmu alat atau
ilmu Nahwu yang mengkaji tentang tata bahasa Arab, sehingga untuk memahami kitab-
kitab berbahasa lainnya seorang santri terlebih dahulu harus belajar ilmu Nahwu. Di dalam
ilmu Nahwu terdapat fenomena i’rab yang hanya terdapat dalam struktur kalimat bahasa
Arab. Definisi ilmu Nahwu Khalil bin Ahmad Al Farahidy adalah Nahwu adalah qashdu
terhadap suatu hal, aku mengikuti jalannya atau arahnya atau aku menuju tujuannya dan
sampailah kita bahwa Abu al Aswad meletakkan dasar bahasa Arab, maka dia berkata
kepada manusia ikutilah jalan ini, maka disebutlah ilmu ini dengan ilmu Nahwu. 3 Adapun
menurut Ibnu Jinni adalah menuju cara bicara orang Arab sebagai penutur asli, dalam hal
perubahan i’rab dan hal-hal lainnya seperti tastniyah, jama’, tahqir, taksir, idhafah, nasab,
tarkib dan lainnya, agar orang yang tidak berbahasa Arab dapat meniru kefasihan oang Arab,
sehingga mereka dapat berbahasa Arab meskipun bukan orang Arab, dan jika menyimpang
dari bahasa Arab maka dikembaikan berdasarkan kaidah, maka dapat dikembalikan
berdasarkan kaidah nahwu tersebut. 4 Menurut Jurjany ilmu Nahwu merupakan ilmu tentang
hukum-hukum dengannya diketahui tata bahasa Arab meliputi i’rab, bina’, keadaan kalimat
berdasarkan i’lal, serta kebenaran perkataan dan kesalahannya.5 Menurut Muhammad Ali
Khouly adalah ilmu yang membahas struktur kata dan tata bahasanya didalam sebuah
2
Aliyah, Pesantren Tradisional sebagai Basis Pembelajaran Nahwu dan Sharaf dengan Menggunakan
Kitab Kuning, At Ta’rib Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaan, Vol. 6, No. 1, 2018, p. 4
،دار مكتبة اهلالل: (بريوت، إبراهيم السمارائي. مهدي خمزومي ود. حتقيق د، كتاب العني، أبو عبد الرمحان اخلليل بن أمحد الفراهيدي3
304 . ص،3 . ج،)4002
82 . ص،)4002 ، دار احلديث: (القاهرة، اخلصائص، ابن جين2
302 . ص،1 . ط،1 . ج،)1205 ، دار الكتب العريب: (بريوت، حتقيق إبراهيم األنباري، التعريفات، علي بن حممد بن علي اجلرجاين5
kalimat.6Sedangkan Kamal Basyar berpendapat bahwa imu Nahwu bukan merupakan
bahasa akan tetapi sekumpulan kaidah dan peraturan yang membangun hukum-hukum
didalamnya dimana ahli bahasa berpegang kepadanya. 7
Dari masa Abu al Aswad Ad Duali, ilmu Nahwu disusun secara aplikatif dan sederhana.
Seiring dengan berkembangnya keilmuan, ilmu Nahwu menjadi semakin kompleks dengan
berdirinya beberapa aliran atau yang kerap disebut madrasah. Madrasah Bashrah sebagai
madrasah Nahwu pertama dengan beberapa ulama masyhurnya yaitu Khalil bin Ahmad Al
Farahidy, Sibawaih, dan Al Mubarrid datang dengan teori ‘amil dengan metode qiyas, ta’lil,
ta’wil, sima’, dan riwayah. Kemudian madsarah Kufah dengan ulama masyhurnya yaitu
Abu Bakr Muhammad ibn Qasim al Anbary, Sa’lab, dan Kisa’i yang datang sebagai rival
dari madrasah Bashrah, buah dari perdebatan ini maka lahirlah Ilmu Sharf. Selanjutnya
madrasah Baghdad dengan ulama masyhurnya Ibnu Kaisan, Ibnu Syukair, Ibnu Al Khayat,
96 .ص،)1993 ، دار الفالح: (أردون، مدخل إىل علم اللغة، حممد علي خويل6
421 . ص،) دون السنة، دار غريب: (القاهرة، اللغة العربية بني الوهم وسواء الفهم، حممد كمال بشر8
55 . ص، تعليم العربية والدين بني العلم والفن، و حممد السيد مناع، رشد أمحد طعيمة2
az Zujani, dan az Zamakhsyari yang datang sebagai penengah antara Khufah dan Bashrah,
meskipun pada akhirnya ulama madrasah Baghdad generasi awal memihak kepada
madrasah Kufah dan generasi akhir memihak kepada madrasah Bashrah, namun
karakteristik madrasah Bahgdad diperkuat dengan metode ijma’, istihsan, dan istishab, serta
penyesuaian dengan realitas Arab. Selanjutnya adalah madrasah Andalusia yang datang
dengan masa keemasan ilmu Nahwu yang masih condong pada nahwu Sibaih. Selanjutnya
adalah madrasah Mesir yang mewarisi perdebatan dan kompleksitas madrasah-madrasah
pendahulunya hingga era modern.
Hingga pada akhirnya datanglah Ibnu Madha’ dengan beberapa pandangan dan
pemikiran Nahwu yang kontroversial dimana beliau menganggap bahwa kaidah nahwu para
nuhat di belahan timur sangat berlebihan dan memberatkan pembelajar bahasa Arab dari
Cordova dimana beliau dilahirkan. Dalam karyanya yang fenomenal seperti al Masyriq fi
an Nahwi dan al Radd ‘Ala al Nuhat beliau membantah nahwu Sibawaih dan menganjurkan
penyusunan Nahwu Jadid, sehingga munculah gerakan penyederhanaan ilmu Nahwu yang
dapat dilihat pada abad ke 19 hingga abad ke 20.9
Meskipun Nahwu klasik dianggap rumit dan kompleks khususnya bagi pembelajar
Bahasa Arab yang bukan merupakan penutur asli, faktanya masih banyak pesantren
khususnya pesantren salaf yang tetap menggunakan buku-buku Nahwu klasik seperti
Khulasah Alfiyyah karya Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin Malik, Matan Al
Ajurrumiyah karya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Saud As Ashanhaji, dan kitab
Nadham Imrithi karya Syarafuddin Yahya Imrithi.
Al Qudama telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu Nahwu khususnya yang
berkaitan dengan kesulitan yang akan dihadapi pembelajar dalam usahanya mengkaji kitab
ahli Nahwu Sibawaih diantaranya kerancauan dalam susunan bab, dan pembagiannya ke
beberapa subab, keanehan dalam judul-judulnya, hilangnya ketelitian dalam
pengistilahannya, sukarnya mendapatkan petunjuk terhadap beberapa permasalahan,
ketidaksesuaian antara judul dan isinya. 10 Bahkan pembelajar bahasa Arab pada saat itu
menganalogikan buku Sibawaih dengan lautan yang berarti bahwa betapa sukarnya
mengkaji dan mendalami ilmu nahwu karena luasnya pembahasan bagai lautan tak
26 . ص،) دون السنة، دار املعارف: (القاهرة، الرد على النحاة، ابن مضاء القرطويب9
159 . ص،1 . ط،)1923 ، جامعة األزهر: القاهرة، سيبويه إمام النحاة، علي النحدي10
bertepi.11Atas dasar inilah al Qudama mengajak kepada penyederhanaan ilmu Nahwu
secara teoritis dan aplikatif dengan menyusun buku-buku dalam bentuk mukhtasar.12
Ringkasan–ringkasan kaidah ini tidak mengandung penjelasan mengenai perbedaan
pendapat antar ulama atau antar aliran, disajikan dalam bentuk syair sehingga mudah untuk
dihafal, serta pengurutan materi dari yang paling dasar dan sederhana ke yang lebih rumit
dengan pembatasan unsur, tema, dan masalahnya secara jelas. Jika ditelaah hal ini sangat
bertolak belakang dengan nahwu deskriptif oleh ulama nahwu modern yang dianggap
mengingkari i’rab dan membatalkan kaidah-kaidah nahwu karena berkiblat terhadap sistem
gramatikal Barat.13
1- Berfokus pada ilmu Nahwu yang bercorak personal bukan ilmu Nahwu yang mengacu pada
tata bahasa. Sehingga didalamnya banyak membahas kosa kata nahwu bukan stuktur kalimat
dan tata bahasanya, sebagaimana buku Alfiyyah Ibnu Malik.
2- Contoh-contoh yang dimuat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan pembelajaran serta
tidak sesuai dengan latar belakang pelajar.
3- Tidak bertujuan untuk membentuk kompetensi dasar berbahasa membaca, menulis,
mendengar dan berbicara akan tetapi bertujuan untuk menganalisis i’rab dan membekali
pelajar tentang pengetahuan teoritis kebahasaan untuk menjaga dari kesalahan berbahasa.
4- Adapun metode yang digunakan dalam pembelajaran Nahwu klasik ini adalah metode
menghafal, padahal tingkat pemahaman pelajar tidak didasarkan pada kelancaran hafalnnya,
dan pemahamannya juga tidak berarti pada kemampuannya dalam menggunakan pada
percakapan maupun penulisan.
5- Model buku mukhtasar ini kurang praktis untuk digunakan mengajar secara langsung sesau
dengan sistem pengajaran di era modern, dimana buku-buku ini membutuhkan buku
penjelas atau pendukung sesuai dengan bentuk pembelajaran di era modern.
120 . ص،5 . ط،)1998 ، دار املعارف: (القاهرة، طرق التعليم اللغة العربية، حممد عبد القادر أمحد11
411 . ص،4018 مايو،18 العدد، إدارات املركز اجلامعي تيسمسيلت: جملة املعيار، تيسري النحو بني القدماء واحملدثني، لزرق زاجية14
،4040 سبتمبري،2 العدد،14 اجمللد، جامعة غرداية اجلزائر: جملة آفاق عملية، النحو بني القدماء واحملدثني بني االفتخار واإلنكار، لوبزرة مورد وبلقاسم غزيل13
210
ديسمبري،10 العدد، جامعة أدرار اجلزائر: جملة رفوف، جهود القدماء واحملدثني يف تيسري النحو روى اترخيية وصفية يف املنجزات اللغوية العربية،روقاب مجيلة 12
169 ،4016
6- Model buku mukhtasar berbentuk buku kecil, megandung pengetahuan yang sifatnya padat
sebagian diantaranya sangat singkat bahkan ada beberapa buku yang terlalu ringkas
sehingga dianggap menyerupai kalimat teka teki
15
Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Depag RI, 2003), p. 86
16
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta :
Erlangga, 2005), p. 144-145
17
Ibid, p. 143-145
gugatan maupun tentangan terhadap pandangan yang ada pada
kitab.
2) Kelemahan
a) Merupakan metode pengajaran tradisional dengan sistem
monolog, top down dan indoktrinatif
b) Dalam pelaksaannya terkadang santri diminta untuk membaca
ulang teks-teks yang sebelumnya telah dibacakan, diulas, dan
diterjemahkan, namun hanya terbatas pada pembacaan teks
Arabnya tanpa disertai penjelasan, kandungan, ataupun
hubungannya dengan permasalahan kontemporer.
c) Pembelajaran bersifat pasif karena didominasi oleh kyai atau
ustadz (teacher centred), sedangkan santri patuh mendengarkan
dan menyimak penjelasan kyai atau ustadz.
Dalam usaha pengembangan metode bandongan tanpa
meninggalkan tradisi dan menutup rapat konsep kemodernan, Pondok
Pesantren At Tarbiyah menerapkan metode sawir atau panel season
dalam pembelajaran Ilmu Nahwu sebagai suatu langkah pembaharuan.
Adapaun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 18
1) Kyai membaca, mengulas, dan menerjemahkan suatu
pembahasan dalam kitab kuning. Sedangkan santri menyimak,
mencatat, dan mengingat pembahasan yang dipelajari.
2) Setelah sekitar seminggu kajian berlangsung, pada pertemuan
berikutnya metode ini dilaksanakan menjadi dua sesi dengan
durasi waktu yang lebih lama dibandingkan seminggu
sebelumnya. Pada sesi pertama kyai melanjutkan pembacaan,
pengulasan, dan penerjemahan dan santri menyimak, mencatat,
dan mengingat. Pada sesi kedua santri mengambil alih menjadi
aktor yang aktif didalam sesi ini, santri dibagi kedalam beberapa
kelompok, dengan jumlah masing-masing kelompok adalah 5
orang, satu kelompok menjadi narasumber pada satu pertemuan,
dan kelompok lainnya menjadi narasumber pada pertemuan
selanjutnya secara bergiliran. Bagi kelompok yang mendapat
tugas sebagai narasumber masing-masing individu dalam
kelompok mendapat bagian untuk membaca, menerjemahkan,
dan menjelaskan ulang isi materi pemabahan yang telah dikaji
pada sesi pertama. Dalam sesi kedua terdapat diskusi, adu
argumen, dan bedah kasus.
18
Effendi Chairi, Pengembangan Metode Bandongan dalam Kajian Kitab Kuning di Pesantren At
Tarbiyah Guluk-Guluk dalam Prespektif Muhammad Abid Al Jabiri, Nidzhomul Haq Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam, Vol. 4, No. 1, 2019, p. 84
b. Metode Sorogan
Metode ini ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran
kepada santri secara individual sebagai wadah observasi langsung oleh
kyai atau ustadz terhadap santri, dilaksanakan secara bergilir dan
dipraktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit. Biasanya metode ini
diterapkan pada santri pemula dengan tujuan perkembangan intelektual
santri dapat ditangkap kyai secara utuh, meskipun pada praktiknya
metode ini menuntut ketelatenan kyai atau ustadz serta disiplin tinggi
santri serta pengaplikasiannya yang membutuhkan waktu yang tidak
sebentar.19
Sebagaimana telah menjadi tradisi keilmuwan di pesantren
bahwa suatu ilmu dianggap sah jika dilakukan secara transmisi dan
hafalan, maka dalam metode sorogan ini setelah santri selesai menyimak
bacaan dan penjelasan kyai atau ustadz maka selanjutnya santri
membaca dan mengulanginya di depan kyai atau ustadz, kemudian kyai
atau ustadz memberikan catatan pada kitabnya untuk mengesahkan
bahwa ilmu tersebut telah diberikan kyai kepadanya.
Sebuah metode pembelajaran baik tradisional maupun modern
pastilah tidak luput dari kekurangan juga tidak alpa dari kelebihan.
Adapun kelebihan dan kekurangan metode sorogan adalah sebagai
berikut :
1) Kelebihan :20
a) Santri dapat menguasai ilmu secara tuntas
b) Menanamkan penghormatan yang tinggi pada guru
c) Mendidik murid dengan sikap disiplin, sungguh-sungguh
dan konsentarasi, karena murid dituntut untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya selama proses
pembelajaran berlangsung dan ketika mengulas ulang materi
yang telah didapat dihadapan guru
d) Tidak membutuhkan media pembelajaran yang banyak
e) Murid dapat mengajukan pertanyaan dan pernyataan
kekurang pahamannya seputar bacaan, terjemahan, dan
penjelasan materi kepada guru
2) Kelemahan :21
a) Karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar maka
materi yang diajarkan pun juga terbatas
19
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta :
Erlangga, 2005), p. 142
20
Nurkholis, Santri Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, (Purwokerto : STAIN Press,
2017), p. 77
21
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, (Jakarta:
Kencana, 2013), p. 23-24
b) Penggunaan sistem hafalan pada metode sorogan
menyebabkan murid tidak mampu menganalisis secara
tajam
c) Menuntut kerajinan, ketekunan, dan kedisiplinan seorang
guru
22
Jamaluddin, Muhammad Sarbini, Ali Maulida, Implementasi Metode Sorogan dalam Meningkatkan
Kemampuan Membaca Kitab Kuning pada Santri Tingkat Wustho di Pondok Pesantren Al Muslimun Cianjur
2019, Jurnal Prosa PAI STAI Al Hidayah Bogor, Vol. 2, No. 1, 2019, p. 130
baru beberapa santri diminta maju kedepan kelas untuk menjelaskan
kembali materi yang telah diajarkan, untuk mendukung kesuksesan
dalam tahap ini biasanya setelah mengaji Al Quran ba’da maghrib santri
berkumpul dengan teman sekelas dan mengulang materi yang telah
dipelajari di pagi hari, dengan tujuan untuk melengkapi jika ada kata-
kata yang tertinggal sebelum diafsai ataupun dima’nani, usaha lainnya
adalah dengan musyawarah dimana dalam sebuah kelompok belajar
yang berjumlah lima hingga enam orang memusyawarahkan materi
yang telah dipelajari sebelumnya. Kelima tahap hafalan, dimana santri
diwajibkan menghafal bait-bait nadhom kitab yang telah dipelajari
dengan langgam (dibuat lagu) dengan waktu yang telah ditentukan oleh
pengampunya, ada ustadz yang menerima hafalan perminggu, atau
setiap dua minggu, ada yang dua kali dalam satu semeter, hafalan materi
ini menjadi syarat mengikuti ujian Muhadloroh, santri diwajibkan
menghafal 150 bait nadhom ‘imrithi di semester ganjil dan diwajibkan
menghafalkan keseluruhan di semester genap, sedangkan dalam
penghafalan kitab alfiyyah di bawah pengawasan pengasuh langsung
jika santri mengaku telah menghafal 300 bait maka akan diuji
hafalannya pada bait 285 hingga 300. 23
23
Rodliyah Zenuddin, Pembelajaran Nahwu/Sharf dan Implikasinya terhadap Membaca dan Memahami
Literatur Bahasa Arab Kontemporer pada Santri Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtaidin Cirebon, Jurnal Holistik
IAIN Syekh Nur Jati, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, p. 108-110
Tahapan – tahapan yang dilaksanakan dalam metode ini meliputi 5
tahapan. Pertama, peserta didik diharuskan menghafal buku metode Al
Bidayah dengan jumlah lebih dari 100 halaman, tanpa harus memahami
materi yang tertera pada buku pedoman. Kedua, pemahaman terhadap
materi yang dihafalkan oleh ustadz atau guru, dengan harapan dapat
mempermudah santri dalam penerapannya. Ketiga, penerapan materi
pada kitab kuning tidak berharakat yang tingkat kesulitannya
disesuaikan dengan kualitas peserta didik, semakin sering materi yang
dipahami dan dihafal diterapkan maka semakin ingat dan melekat materi
tersebut dalam diri santri. Keempat, simulasi yang diadakan setiap
malam dimana santri diharuskan mengulang hafalan serta melakukan
tanya jawab didalam sebuah forum besar. Kelima, bimbingan oleh
pengasuh atau guru besar terhadap mentor yang menjadi tutor sebaya.24
Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan menerapkan metode Al
Miftah dalam pembelajaran kitab kuning termasuk dalam pembelajaran
Nahwu disamping metode sorogan yang sudah sangat umum dipakai.
Metode ini memiliki 4 jilid pedoman yang disadur dari matan Al
Jurumiyyah, Alfiyyah, dam Imrithy, sehingga tidak memunculkan istilah
dan bahasa baru. Sistem yang digunakan adalah sistem modul, sehingga
santri yang dapat menguasai kitab lebih cepat maka dapat naik jilid
terlebih dahulu dan melanjutkan ke jilid-jilid lain, tahapan selanjutnya
setelah menyelesaikan 4 jilid santri menyetorkan baca kitab fathul qorib
berikut memahami kedudukan lafadznya. Pada umumnya santri
menyelesaikan tahapan-tahapan tersebut selama sembilan sampai
sepuluh bulan. Pembelajaran dengan metode ini dianggap efektif dan
efesien dalam membaca kitab kuning karena dikemas di dalam nadhom-
nadhom dengan lagu-lagu yang populer, kesimpulan dan rumusannya
sederhana dan menarik dengan bahasa Indonesia menggunakan font
warna warni.25
c. Metode Qiyasiyyah (Deduktif)
Metode ini merupakan metode tertua dalam pengajaran Nahwu,
metode ini menitikberatkan pada penyajian kaidah, pembebanan hafalan
kaidah itu atas pelajar, kemudian pemberian contoh-contoh untuk
memperjelas maksud dari kaidah tersebut. Proses pembelajaran
berlangsung dari yang yang bersifat umum menuju khusus. Perlu
digarisbawahi bahwa buku-buku Nahwu klasik mengikuti jalannya
metode ini.26Metode ini dirasa kurang sesuai jika diterapkan pada
24
Farhan Zaky Audani, Fathma Fauziyah, Fina Rizqina Mardhotillah, Pembelajaran Bahasa Arab
dengan Metode Al Bidayah di Pondok Pesantren Al Bidayah Jember, Prosiding Semnasbama IV UM Jilid 1,
Universitas Negri Malang, 2020, p. 247-250
25
Tim Al Miftah lil Ulum Pondok Pesantren Sidogiri, Panduan Penggunaan Al Miftah lil Ulum Pondok
Pesantren Sidogiri, (Pasuruan: Batartama PPS, 2017), p. 9
26
Ubaid Ridlo, Model Pembelajaran Bahasa Arab Materi al Qawaid al Nahwiyyah, Al Ma’rifah Jurnal
Budaya, Bahasa, dan Sastra Arab UNJ, Vol. 12, No. 2, Oktober 2015, p. 12
pelajar pemula, namun lebih cocok jika di terapkan pada madrasah
aliyah maupun perguruan tinggi. 27
27
Mochammad Mu’izzudidin, Implementasi Metode Qiyasiyah terhadap Kemampuan Santri dalam
Memahami Kitab Al Jurumiyah, An Nabighoh Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Arab IAIN Metro,
Vol. 21, No. 1, 2019, p. 103
28
Sahrah, Pembelajaran Nahwu di Madrasah al Qur’an wa al Hadist Pondok Pesantren Al Aziziyah
Kapek Gunungsari Lombok Barat, El Tsaqafah UIN Mataram, Vol. 16, No. 2, Juli-Desember 2017, p. 198-199
2) Ceramah
Pada penerapannya ustadz mengkombinasikan dengan
metode lain seperti metode hafalan, tanya jawab, dan drill.
Dalam prosesnya metode ini memiliki 7 tahapan. Pertama,
pendahuluan dimana ustadz mereview materi sebelumnya,
memberi informasi terkait materi yang akan dipelajari.
Kedua, Qira’ah tahap dimana ustadz memberikan contoh
bacaan yang bagi di kelas I, tahap yang dilakukan untuk
melatih dan membiasakan santri membaca disamping
memebrikan contoh bacaan yang tepat bagi kelas II, tahap
yang dilakukan untuk membiasakan santri untuk membaca
dengn benar sesuai kaidah gramatikal yang sudah dipelajari
bagi kelas III. Ketiga, tarjamah tahap dimana ustadz
membimbing santri untuk menterjemahkan setiap kata pada
matan kitab yang dipelajari bagi kelas I dan II, tahap
penerjemahan ini dilakukan langsung oleh santri di kelas III.
Keempat, penjelasan gramatikal tahap dimana ustadz
membrikan penjelasan terhadap kaidah-kaidah bentuk dan
kedudukan kata yang ada pada matan kitab bagi kelas II.
Pada jenjang kelas III santri diminta satu persatu membaca
redaksi kitab dan menjelaskan kedudukan masing-masing
redaksi. Kelima, diskusi atau tanya jawab tahap dimana
ustadz menanyakan kedudukan setiap kata yang dibaca
untuk melatih dan membiasakan santri untuk membaca
dengan menerapkan kaidah-kaidah yang telah dipelajari,
tahap ini terkadang dilakukan pada tahap penjelasan
gramatikal bagi kelas III. Keenam, drill/latihan tahap dimana
santri langsung diminta untuk membaca syarah untuk
kemudian menterjemahkan dan menjelaskan setiap
kedudukan kata dalam kalimat. Ketujuh, penutup tahap
dimana ustadz menutup pembelajaran dengan hamdalah dan
do’a.
d. Metode Munaqasyah
29
Asrul, Rusydi Ananda, Rosnita, Evaluasi Pembelajaran, (Medan: Citapustaka Media, 2015), p. 4
kelompok atau kelasnya. 30Namun dalam pembelajaran kitab kuning di
pesantren salaf model evaluasi tidak sama dengan proses evaluasi pada
umumnya. Evaluasi lebih bermakna kepentingan pengukuran dan penilaian bagi
santri itu sendiri, sehingga santri dapat merefleksi pembelajarannya dalam
mengkaji kitab.
30
Elis Ratnawulan, Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran dengan Pendekatan Kurikulum 2013, (Bandung :
Pustaka Setia, 2014), p.9
31
Sri Guno Najib Chaqoqo, Evaluasi Pembelajaran Nahwu dalam Bentuk Munaqasyah di PP Al
Luqmaniyyah Yogyakarta, Lisania Journal of Arabic Education and Literature, Vol. 1, No. 1, 2017, p. 24-25
PENUTUP
Berdasarkan pembahan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Nahwu klasik di
pesantren-pesantren salaf mengacu pada metode al Qawaid wa at Tarjamah yang kemudian
dipecah ke beberapa model yang umum di kenal di Indonesia dengan metode sorogan,
bandongan, qiyasiyah, muhafadzah, dan munaqasyah. Sebagaimana pendapat yang tertanam di
kebanyakan pesantren salaf bahwa sebuah ilmu dianggap sah jika didapatkan melalui transmisi
dan hafalan. Namun pada praktiknya Ilmu Nahwu yang awalnya diajarkan sebagai alat
(wasilah) untuk memahami matan kitab, pola gramatikanya, dan syarhnya berubah menjadi
tujuan (ghayah) dimana kemampuan seorang santri dalam menghafal matan kitab Nahwu
dianggap sudah menjadi puncak keilmuannya, padahal ilmu Nahwu berperan penting dalam
penguasaan bahasa selain kompetensi berbahasa berbicara, mendengar, menyimak, dan
menulis. Jika seseorang telah menguasai pola gramatika suatu bahasa maka akan mudah
baginya dalam penguasaan kompetensi berbahasa. Adapun seiring berkembangnya zaman dan
karena adanya tuntutan pendidikan dan pengajaran beberapa pesantren mengembangkan
pembelajaran klasik dengan berbagai inovasi dan pembaharuan tanpa meninggalkan tradisi dan
menutup rapat konsep kemodernan, sebagai mana yang digagas oleh Pesantren Sidogiri
Pasuruan dengan metode Al Miftah dan Pesantren Al Bidayah Jember dengan metode Al
Bidayah dan Panel Season pada metode Bandongan di Pesantren At Tarbiyah Guluk-Guluk.
DAFTAR PUSTAKA
خويل ،حممد علي .1993 .مدخل إىل علم اللغة .أردون :دار الفالح
زاجية ،لزرق .تيسري النحو بني القدماء واحملدثني .جملة املعيار :إدارات املركز اجلامعي تيسمسيلت.
العدد .18مايو 4018
طعيمة ،رشد أمحد و حممد السيد مناع .تعليم العربية والدين بني العلم والفن( .القاهرة :دار الفكر
العريب)1002 ،
غزيل ،بلقاسم ولوبزرة مورد .النحو بني القدماء واحملدثني بني االفتخار واإلنكار .جملة آفاق عملية :
جامعة غرداية اجلزائر .اجمللد .14العدد .2سبتمبري 4040
الفراهيدي ،أبو عبد الرمحان اخلليل بن أمحد .4002 .كتاب العني .حتقيق د .مهدي خمزومي ود.
إبراهيم السمارائي .بريوت :دار مكتبة اهلالل ،اجللد 3
القرطويب ،ابن مضاء .دون السنة .الرد على النحاة .القاهرة :دار املعارف ،دون السنة
النجدي ،علي .1923 .سيبويه إمام النحاة ،القاهرة :جامعة األزهر .الطباعة 1
ويل الدين ،عبد الرمحن ابن حممد ابن خلدون .4002 .مقدمة ابن خلدون .حتقيق عبد هللا حممد
الدريش .دمشق :دار يعرب .4002 ،اجللد .4الطباعة 1
Aliyah .Pesantren Tradisional sebagai Basis Pembelajaran Nahwu dan Sharaf dengan
Menggunakan Kitab Kuning. At Ta’rib Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaan.
Vol. 6. No. 1. 2018
Asrul, Rusydi Ananda, Rosnita. 2015. Evaluasi Pembelajaran. Medan: Citapustaka Media
Audani,Farhan Zaky, Fathma Fauziyah, Fina Rizqina Mardhotillah. Pembelajaran Bahasa
Arab dengan Metode Al Bidayah di Pondok Pesantren Al Bidayah Jember. Prosiding
Semnasbama IV UM Jilid 1 Universitas Negri Malang. 2020
Chaqoqo, Sri Guno Najib. Evaluasi Pembelajaran Nahwu dalam Bentuk Munaqasyah di PP
Al Luqmaniyyah Yogyakarta. Lisania Journal of Arabic Education and Literature. Vol. 1.
No. 1. 2017
Departemen Agama RI. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta : Depag RI
Nizar, Samsul. 2013. Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara.
Jakarta: Kencana
Nurkholis. 2017. Santri Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Purwokerto :
STAIN Press
Tim Al Miftah lil Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. 2017. Panduan Penggunaan Al Miftah lil
Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Pasuruan: Batartama PPS