Anda di halaman 1dari 19

 ‫تعليم انلحو اتلقليدي يف املدارس اإلسالمية‬


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah

USHUL AN NAHWI

Oleh:
Niken Nur Hanifah (21200120000015)

Dosen Pengampu Materi :


Prof. Dr. D. Hidayat, M.A.
Dr. Zainal Muttaqin, M.A.

Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Arab


Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun Akademik 2020/2021
PENDAHULUAN
Ilmu Nahwu menduduki posisi yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa Arab.
Selain penguasaan terhadap al mahaarah al lughawiyyah yang mecakup kompetensi dasar
berbahasa, penguasaan terhadap ilmu Nahwu merupakan unsur penting yang tidak dapat
ditinggalkan dalam pembelajaran bahasa Arab karena didalamnya memuat karakteristik
istimewa yang tidak dimiliki bahasa lain yaitu i’rab.1 Di Indonesia ilmu Nahwu menjadi salah
satu mata pelajaran yang diajarkan di madrasah ibtidaiyyah, madrasah tsanawiyyah, madrasah
aliyah maupun pesantren modern atau pesantren tradisional, di dalam kelas secara formal
maupun sebagai kegiatan kebahasaan tambahan (muatan lokal) di luar kelas. Pada praktik
pengajarannya terdapat dua aliran pembelajaran ilmu Nahwu tradisional atau An Nahwu At
Taqlidy dan ilmu Nahwu deskriptif atau An Nahwu Al Washfy.

Di era modern ini, sebagai usaha modernisasi ilmu yang salah satu tujuannya adalah
mempermudah pembelajaran nahwu di jenjang sekolah yang dianggap rumit dan sulit lahirlah
beberapa usaha penyederhanaan untuk mempermudah pembelajaran ilmu Nahwu dengan
mengkondisikan ilmu Nahwu dengan format-format atau bentuk-bentuk yang diinginkan oleh
pendidikan modern dengan cara penyederhanaan definisi qawaid yang dipaparkan kepada
siswa. Diantara buku Nahwu yang telah mengalami penyerdehanan pada abad ke 19 adalah
Jami’ al Durus al ‘Arabiyyah karya Musthafa al Ghalayaini, al Nahwu al Wadhih karya Ali
Jarim dan Mustahfa Amin, al Qawaid al ‘Arabiyyah Al Muyassarah : Silsilatun fi Ta’lim al-
Nahwi al-‘Arabi li Ghair al ‘Arab, dan al Nahwu al Wadzify karya Abdul Alim Ibrahim.
Penyederhaan ini verlanjut hingga abad ke 20, dimana ulama Nahwu modern
mengkontribusikan pemikirannya dalam pengembangan ilmu Nahwu diantaranya Ibrahim
Musthafa, Mahdi Makhzumy, Ahmad Abdu as Sattar al Jawwari, dst.

Namun sejatinya penyederhanaan nahwu yang rumit karena banyaknya perbedaan


ulama dan aliran serta masuknya beberapa pemikiran filsafat telah mendapat perhatian dari
para kalangan ulama qudama, dengan tidak terlalu larut dalam berbagai perbedaan pendapat
dalam suatu kaidah, dengan pola penulisan berupa nadhom-nadhom menggunakan kalimat
ringkas dengan makna yg dalam. Diantara kitab yang paling fenomenal adalah kitab Khulasah
Alfiyyah karya Abu Abdillah Abdillah Muhammad Jamaluddin Malik, Matan Al Ajurrumiyah
karya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Saud As Ashanhaji, dan kitab Nadhom ‘Imrithi karya

353 .‫ ص‬،1 .‫ ط‬،4 .‫ ج‬،)4002 ،‫ دار يعرب‬:‫ (دمشق‬،‫ حتقيق عبد هللا حممد الدريش‬،‫ مقدمة ابن خلدون‬،‫عبد الرمحن ابن حممد ابن خلدون ويل الدين‬1
Syarafuddin Yahya Imrithi. Karya-karya ini tidak memiliki muatan level yang sama, akan
tetapi memiliki tingkatan berbagai level sesuai kemampuan siswanya.

Banyak ditemukan pembelajaran Nahwu klasik/tradisional berbasis pada teks dengan


metode sorogan, metode bandongan, dan metode hafalan atau yang umum disebut pada metode
pembelajaran Bahasa Arab dengan metode al qawaid wa at tarjamah. Pesantren sebagai
lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan pusat pengembangan ilmu keislaman senantiasa
melestarikan nilai-nilai edukasi berbasis pengajaran tradisional, meskipun di era modern ini
banyak terdapat modernisasi pendidikan islam melalui pesantren-pesantren modern, terdapat
beberapa pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional dalam metode
pengajarannya umumnya dapat didapati di pesantren salaf atau pesantren tradisional. Salah satu
ciri khas pesantren tradisional ada pada sistem pembelajarannya diantaranya metode
bandongan dimana murid menghadap guru sendiri-sendiri untuk dibacakan beberapa bagian
dari kitab yang dipelajarinya dan metode sorogan dimana guru membacakan kitab, menerjemah
dan menerangkan sedangkan murid mendengarkan menyimak dan mencatat apa yang
disampaikan. Metode hafalan dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pembelajaran nahwu klasik di sekolah-sekolah


islam di Indonesia. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk memaparkan pondok pesantren
dan pembelajaran Nahwu klasik, dan metode pembelajaran Nahwu klasik serta evaluasinya di
beberapa pesantren di Indonesia.
PEMBAHASAN
1. PONDOK PESANTREN DAN PEMBELAJARAN NAHWU KLASIK DI
INDONESIA
Pondok pesantren muncul pertama kali di Indonesia pada abad ke 16 M di Ampel
Denta dalam asuhan Sunan Ampel. Dari murid Sunan Ampel inilah tersebar pesantren-
pesantren di seluruh penjuru tanah air. Puncaknya adalah pada abad ke 19 sampai awal abad
ke 20 pada masa Syekh Kholil Bangkalan. Alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk
mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang
ditulis berabad-abad yang lalu, yang dikenal dengan istilah kitab kuning atau kitab klasik.2
Kitab kuning menjadi ciri khas pembelajaran berbagai disiplin ilmu Islam, bahkan masih
terjaga hingga sekarang di tengah berbagai kemajuan teknologi dan keilmuan.

Dalam proses memahami kitab kuning ini, santri tidak bisa lepas dari ilmu alat atau
ilmu Nahwu yang mengkaji tentang tata bahasa Arab, sehingga untuk memahami kitab-
kitab berbahasa lainnya seorang santri terlebih dahulu harus belajar ilmu Nahwu. Di dalam
ilmu Nahwu terdapat fenomena i’rab yang hanya terdapat dalam struktur kalimat bahasa
Arab. Definisi ilmu Nahwu Khalil bin Ahmad Al Farahidy adalah Nahwu adalah qashdu
terhadap suatu hal, aku mengikuti jalannya atau arahnya atau aku menuju tujuannya dan
sampailah kita bahwa Abu al Aswad meletakkan dasar bahasa Arab, maka dia berkata
kepada manusia ikutilah jalan ini, maka disebutlah ilmu ini dengan ilmu Nahwu. 3 Adapun
menurut Ibnu Jinni adalah menuju cara bicara orang Arab sebagai penutur asli, dalam hal
perubahan i’rab dan hal-hal lainnya seperti tastniyah, jama’, tahqir, taksir, idhafah, nasab,
tarkib dan lainnya, agar orang yang tidak berbahasa Arab dapat meniru kefasihan oang Arab,
sehingga mereka dapat berbahasa Arab meskipun bukan orang Arab, dan jika menyimpang
dari bahasa Arab maka dikembaikan berdasarkan kaidah, maka dapat dikembalikan
berdasarkan kaidah nahwu tersebut. 4 Menurut Jurjany ilmu Nahwu merupakan ilmu tentang
hukum-hukum dengannya diketahui tata bahasa Arab meliputi i’rab, bina’, keadaan kalimat
berdasarkan i’lal, serta kebenaran perkataan dan kesalahannya.5 Menurut Muhammad Ali
Khouly adalah ilmu yang membahas struktur kata dan tata bahasanya didalam sebuah

2
Aliyah, Pesantren Tradisional sebagai Basis Pembelajaran Nahwu dan Sharaf dengan Menggunakan
Kitab Kuning, At Ta’rib Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaan, Vol. 6, No. 1, 2018, p. 4
،‫دار مكتبة اهلالل‬: ‫ (بريوت‬،‫ إبراهيم السمارائي‬.‫ مهدي خمزومي ود‬.‫ حتقيق د‬، ‫ كتاب العني‬،‫ أبو عبد الرمحان اخلليل بن أمحد الفراهيدي‬3
304 .‫ ص‬،3 .‫ ج‬،)4002
82 .‫ ص‬،)4002 ،‫ دار احلديث‬: ‫ (القاهرة‬،‫ اخلصائص‬،‫ ابن جين‬2
302 .‫ ص‬،1 .‫ ط‬،1 .‫ ج‬،)1205 ،‫ دار الكتب العريب‬: ‫ (بريوت‬،‫ حتقيق إبراهيم األنباري‬،‫ التعريفات‬،‫ علي بن حممد بن علي اجلرجاين‬5
kalimat.6Sedangkan Kamal Basyar berpendapat bahwa imu Nahwu bukan merupakan
bahasa akan tetapi sekumpulan kaidah dan peraturan yang membangun hukum-hukum
didalamnya dimana ahli bahasa berpegang kepadanya. 7

Tujuan pembelajaran ilmu Nahwu berbeda-beda menyesuaikan tingkatan


pendidikan, sebagaimana yang telah ditetapkan tujuan pembelajaran Nahwu di beberapa
negara Arab adalah untuk tingkat pemula yaitu membantu murid dalam membaca dan
memahami bacaan dengan benar, menulis dengan benar, memahami apa yag didengarkan,
menuturkan bahasa Arab secara lisan dengan benar, ketepatan berbicara, memahami kalimat
dan mengklasifikasikan unsur-unsurnya, mengetahui fungsi kalimat dan hukum-hukumnya,
mengetahui faktor-faktor utama dalam i’rab, mengetahui huku-hukum i’ran dan hubungan
yang saling berkaitan satu sama lain.8 Sedangkan tujuan pembelajaran ilmu nahwu di
Indonesian bagi pelajar Bahasa Arab sebagai bahasa kedua bergantung kepada tujuan
instruksional dari masing-masing institusi pendidikan, pada jenjang pendidikan formal dari
madrasah ibdtidaiyyah hingga madrasah aliyah model pembelajaran nahwu mengacu pada
metode nahwu deksriptif yang diadopsi dari gramatika barat untuk tujuan pendidikan,
begitupun di beberapa pesantren modern dengan metode pembelajaran at thariqah al
mubasyirah, at thariqah as sam’iyyah as syafawiyyah, dan at thariqah as syafawiyyah.
Sedangkan di beberapa pesantren tradisional model pembelajaran nahwu mengacu pada
metode nahwu klasik dengan metode pembelajaran at thariqah al qawa’id wa at tarjamah
yang juga sangat menekankan pada metode hafalan.

Dari masa Abu al Aswad Ad Duali, ilmu Nahwu disusun secara aplikatif dan sederhana.
Seiring dengan berkembangnya keilmuan, ilmu Nahwu menjadi semakin kompleks dengan
berdirinya beberapa aliran atau yang kerap disebut madrasah. Madrasah Bashrah sebagai
madrasah Nahwu pertama dengan beberapa ulama masyhurnya yaitu Khalil bin Ahmad Al
Farahidy, Sibawaih, dan Al Mubarrid datang dengan teori ‘amil dengan metode qiyas, ta’lil,
ta’wil, sima’, dan riwayah. Kemudian madsarah Kufah dengan ulama masyhurnya yaitu
Abu Bakr Muhammad ibn Qasim al Anbary, Sa’lab, dan Kisa’i yang datang sebagai rival
dari madrasah Bashrah, buah dari perdebatan ini maka lahirlah Ilmu Sharf. Selanjutnya
madrasah Baghdad dengan ulama masyhurnya Ibnu Kaisan, Ibnu Syukair, Ibnu Al Khayat,

96 .‫ص‬،)1993 ،‫ دار الفالح‬: ‫ (أردون‬،‫ مدخل إىل علم اللغة‬،‫ حممد علي خويل‬6
421 .‫ ص‬،)‫ دون السنة‬،‫ دار غريب‬: ‫ (القاهرة‬،‫ اللغة العربية بني الوهم وسواء الفهم‬،‫ حممد كمال بشر‬8
55 .‫ ص‬،‫ تعليم العربية والدين بني العلم والفن‬،‫ و حممد السيد مناع‬،‫ رشد أمحد طعيمة‬2
az Zujani, dan az Zamakhsyari yang datang sebagai penengah antara Khufah dan Bashrah,
meskipun pada akhirnya ulama madrasah Baghdad generasi awal memihak kepada
madrasah Kufah dan generasi akhir memihak kepada madrasah Bashrah, namun
karakteristik madrasah Bahgdad diperkuat dengan metode ijma’, istihsan, dan istishab, serta
penyesuaian dengan realitas Arab. Selanjutnya adalah madrasah Andalusia yang datang
dengan masa keemasan ilmu Nahwu yang masih condong pada nahwu Sibaih. Selanjutnya
adalah madrasah Mesir yang mewarisi perdebatan dan kompleksitas madrasah-madrasah
pendahulunya hingga era modern.

Hingga pada akhirnya datanglah Ibnu Madha’ dengan beberapa pandangan dan
pemikiran Nahwu yang kontroversial dimana beliau menganggap bahwa kaidah nahwu para
nuhat di belahan timur sangat berlebihan dan memberatkan pembelajar bahasa Arab dari
Cordova dimana beliau dilahirkan. Dalam karyanya yang fenomenal seperti al Masyriq fi
an Nahwi dan al Radd ‘Ala al Nuhat beliau membantah nahwu Sibawaih dan menganjurkan
penyusunan Nahwu Jadid, sehingga munculah gerakan penyederhanaan ilmu Nahwu yang
dapat dilihat pada abad ke 19 hingga abad ke 20.9

Meskipun Nahwu klasik dianggap rumit dan kompleks khususnya bagi pembelajar
Bahasa Arab yang bukan merupakan penutur asli, faktanya masih banyak pesantren
khususnya pesantren salaf yang tetap menggunakan buku-buku Nahwu klasik seperti
Khulasah Alfiyyah karya Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin Malik, Matan Al
Ajurrumiyah karya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Saud As Ashanhaji, dan kitab
Nadham Imrithi karya Syarafuddin Yahya Imrithi.

Al Qudama telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu Nahwu khususnya yang
berkaitan dengan kesulitan yang akan dihadapi pembelajar dalam usahanya mengkaji kitab
ahli Nahwu Sibawaih diantaranya kerancauan dalam susunan bab, dan pembagiannya ke
beberapa subab, keanehan dalam judul-judulnya, hilangnya ketelitian dalam
pengistilahannya, sukarnya mendapatkan petunjuk terhadap beberapa permasalahan,
ketidaksesuaian antara judul dan isinya. 10 Bahkan pembelajar bahasa Arab pada saat itu
menganalogikan buku Sibawaih dengan lautan yang berarti bahwa betapa sukarnya
mengkaji dan mendalami ilmu nahwu karena luasnya pembahasan bagai lautan tak

26 .‫ ص‬،)‫ دون السنة‬،‫ دار املعارف‬: ‫ (القاهرة‬،‫ الرد على النحاة‬،‫ ابن مضاء القرطويب‬9
159 .‫ ص‬،1 .‫ ط‬،)1923 ،‫ جامعة األزهر‬: ‫ القاهرة‬،‫ سيبويه إمام النحاة‬،‫ علي النحدي‬10
bertepi.11Atas dasar inilah al Qudama mengajak kepada penyederhanaan ilmu Nahwu
secara teoritis dan aplikatif dengan menyusun buku-buku dalam bentuk mukhtasar.12
Ringkasan–ringkasan kaidah ini tidak mengandung penjelasan mengenai perbedaan
pendapat antar ulama atau antar aliran, disajikan dalam bentuk syair sehingga mudah untuk
dihafal, serta pengurutan materi dari yang paling dasar dan sederhana ke yang lebih rumit
dengan pembatasan unsur, tema, dan masalahnya secara jelas. Jika ditelaah hal ini sangat
bertolak belakang dengan nahwu deskriptif oleh ulama nahwu modern yang dianggap
mengingkari i’rab dan membatalkan kaidah-kaidah nahwu karena berkiblat terhadap sistem
gramatikal Barat.13

Dalam usaha penyederhanaan Nahwu berupa buku-buku mukhtasar ini terdapat


beberapa kelemahan dan kekurangan diantaranya :14

1- Berfokus pada ilmu Nahwu yang bercorak personal bukan ilmu Nahwu yang mengacu pada
tata bahasa. Sehingga didalamnya banyak membahas kosa kata nahwu bukan stuktur kalimat
dan tata bahasanya, sebagaimana buku Alfiyyah Ibnu Malik.
2- Contoh-contoh yang dimuat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan pembelajaran serta
tidak sesuai dengan latar belakang pelajar.
3- Tidak bertujuan untuk membentuk kompetensi dasar berbahasa membaca, menulis,
mendengar dan berbicara akan tetapi bertujuan untuk menganalisis i’rab dan membekali
pelajar tentang pengetahuan teoritis kebahasaan untuk menjaga dari kesalahan berbahasa.
4- Adapun metode yang digunakan dalam pembelajaran Nahwu klasik ini adalah metode
menghafal, padahal tingkat pemahaman pelajar tidak didasarkan pada kelancaran hafalnnya,
dan pemahamannya juga tidak berarti pada kemampuannya dalam menggunakan pada
percakapan maupun penulisan.
5- Model buku mukhtasar ini kurang praktis untuk digunakan mengajar secara langsung sesau
dengan sistem pengajaran di era modern, dimana buku-buku ini membutuhkan buku
penjelas atau pendukung sesuai dengan bentuk pembelajaran di era modern.

120 .‫ ص‬،5 .‫ ط‬،)1998 ،‫ دار املعارف‬: ‫ (القاهرة‬،‫ طرق التعليم اللغة العربية‬،‫ حممد عبد القادر أمحد‬11
411 .‫ ص‬،4018 ‫ مايو‬،18 ‫ العدد‬،‫ إدارات املركز اجلامعي تيسمسيلت‬: ‫ جملة املعيار‬،‫ تيسري النحو بني القدماء واحملدثني‬،‫ لزرق زاجية‬14
،4040 ‫ سبتمبري‬،2 ‫ العدد‬،14 ‫ اجمللد‬،‫ جامعة غرداية اجلزائر‬: ‫ جملة آفاق عملية‬،‫ النحو بني القدماء واحملدثني بني االفتخار واإلنكار‬،‫ لوبزرة مورد وبلقاسم غزيل‬13
210
‫ ديسمبري‬،10 ‫ العدد‬،‫ جامعة أدرار اجلزائر‬: ‫ جملة رفوف‬،‫ جهود القدماء واحملدثني يف تيسري النحو روى اترخيية وصفية يف املنجزات اللغوية العربية‬،‫روقاب مجيلة‬ 12

169 ،4016
6- Model buku mukhtasar berbentuk buku kecil, megandung pengetahuan yang sifatnya padat
sebagian diantaranya sangat singkat bahkan ada beberapa buku yang terlalu ringkas
sehingga dianggap menyerupai kalimat teka teki

2. METODE PEMBELAJARAN NAHWU KLASIK DI SEKOLAH- SEKOLAH


ISLAM
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu dari kelemahan
pengajaran Nahwu klasik ada pada metode yang digunakan dalam pembelajarannya,
diantara metode pembelajaran Nahwu klasik yang banyak di gunakan di sekolah-
sekolah Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Metode Bandongan / Wetonan
Metode bandongan adalah ketika seorang kyai atau ustadz membacakan,
mengulas, dan menterjemahkan teks-teks yang terdapat dalam sebuah kitab,
kemudian santri menyimak kitab masing-masing dan memberikan catatan
padanya. Dalam metode ini kitab yang diulas berbahasa Arab tanpa harakat,
dalam menyimak bacaan kyai atau ustadz, santri memegang kitab yang
sama dan melakukan penegasan harakat. Adapun posisi santri pada saat
pembelajaran berlangsung adalah membentuk halaqah melingkari kyai atau
ustadz.15 Sedangkan penamaan lain berupa wetonan merujuk kepada makna
weton yang berarti waktu, dimana pengajian tersebut diberikan pada waktu-
waktu tertentu yaitu sebelum dan sesudah shalat fardhu.16
Metode yang becirikan pemahaman yang kuat secara tekstual ini
diadaptasi dari proses pembelajaran kitab yang berlangsung di Mekah
maupun Al Azhar Mesir. Hal ini juga didukung dengan anggapan bahwa
ilmu dianggap sah jika dilakukan secara transmisi dan hafalan. Menurut
Mujammil Qamar metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan
diantaranya : 17
1) Kelebihan
a) Target metode bandongan ada pada percepatan kajian kitab dan
pencapaian kuantitas. Semakin banyak kitab yang dikaji makan
semakin meningkat kuantitas pesantren tersebut
b) Metode ini bertujuan untuk meningkatkan kedekatan atau relasi
antara kyai dan santri
c) Dalam pelaksanaannya santr diberikan kesempatan untuk
bertanya dalam bentuk konfirmasi bukan berupa kritikan,

15
Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Depag RI, 2003), p. 86
16
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta :
Erlangga, 2005), p. 144-145
17
Ibid, p. 143-145
gugatan maupun tentangan terhadap pandangan yang ada pada
kitab.
2) Kelemahan
a) Merupakan metode pengajaran tradisional dengan sistem
monolog, top down dan indoktrinatif
b) Dalam pelaksaannya terkadang santri diminta untuk membaca
ulang teks-teks yang sebelumnya telah dibacakan, diulas, dan
diterjemahkan, namun hanya terbatas pada pembacaan teks
Arabnya tanpa disertai penjelasan, kandungan, ataupun
hubungannya dengan permasalahan kontemporer.
c) Pembelajaran bersifat pasif karena didominasi oleh kyai atau
ustadz (teacher centred), sedangkan santri patuh mendengarkan
dan menyimak penjelasan kyai atau ustadz.
Dalam usaha pengembangan metode bandongan tanpa
meninggalkan tradisi dan menutup rapat konsep kemodernan, Pondok
Pesantren At Tarbiyah menerapkan metode sawir atau panel season
dalam pembelajaran Ilmu Nahwu sebagai suatu langkah pembaharuan.
Adapaun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 18
1) Kyai membaca, mengulas, dan menerjemahkan suatu
pembahasan dalam kitab kuning. Sedangkan santri menyimak,
mencatat, dan mengingat pembahasan yang dipelajari.
2) Setelah sekitar seminggu kajian berlangsung, pada pertemuan
berikutnya metode ini dilaksanakan menjadi dua sesi dengan
durasi waktu yang lebih lama dibandingkan seminggu
sebelumnya. Pada sesi pertama kyai melanjutkan pembacaan,
pengulasan, dan penerjemahan dan santri menyimak, mencatat,
dan mengingat. Pada sesi kedua santri mengambil alih menjadi
aktor yang aktif didalam sesi ini, santri dibagi kedalam beberapa
kelompok, dengan jumlah masing-masing kelompok adalah 5
orang, satu kelompok menjadi narasumber pada satu pertemuan,
dan kelompok lainnya menjadi narasumber pada pertemuan
selanjutnya secara bergiliran. Bagi kelompok yang mendapat
tugas sebagai narasumber masing-masing individu dalam
kelompok mendapat bagian untuk membaca, menerjemahkan,
dan menjelaskan ulang isi materi pemabahan yang telah dikaji
pada sesi pertama. Dalam sesi kedua terdapat diskusi, adu
argumen, dan bedah kasus.

18
Effendi Chairi, Pengembangan Metode Bandongan dalam Kajian Kitab Kuning di Pesantren At
Tarbiyah Guluk-Guluk dalam Prespektif Muhammad Abid Al Jabiri, Nidzhomul Haq Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam, Vol. 4, No. 1, 2019, p. 84
b. Metode Sorogan
Metode ini ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran
kepada santri secara individual sebagai wadah observasi langsung oleh
kyai atau ustadz terhadap santri, dilaksanakan secara bergilir dan
dipraktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit. Biasanya metode ini
diterapkan pada santri pemula dengan tujuan perkembangan intelektual
santri dapat ditangkap kyai secara utuh, meskipun pada praktiknya
metode ini menuntut ketelatenan kyai atau ustadz serta disiplin tinggi
santri serta pengaplikasiannya yang membutuhkan waktu yang tidak
sebentar.19
Sebagaimana telah menjadi tradisi keilmuwan di pesantren
bahwa suatu ilmu dianggap sah jika dilakukan secara transmisi dan
hafalan, maka dalam metode sorogan ini setelah santri selesai menyimak
bacaan dan penjelasan kyai atau ustadz maka selanjutnya santri
membaca dan mengulanginya di depan kyai atau ustadz, kemudian kyai
atau ustadz memberikan catatan pada kitabnya untuk mengesahkan
bahwa ilmu tersebut telah diberikan kyai kepadanya.
Sebuah metode pembelajaran baik tradisional maupun modern
pastilah tidak luput dari kekurangan juga tidak alpa dari kelebihan.
Adapun kelebihan dan kekurangan metode sorogan adalah sebagai
berikut :
1) Kelebihan :20
a) Santri dapat menguasai ilmu secara tuntas
b) Menanamkan penghormatan yang tinggi pada guru
c) Mendidik murid dengan sikap disiplin, sungguh-sungguh
dan konsentarasi, karena murid dituntut untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya selama proses
pembelajaran berlangsung dan ketika mengulas ulang materi
yang telah didapat dihadapan guru
d) Tidak membutuhkan media pembelajaran yang banyak
e) Murid dapat mengajukan pertanyaan dan pernyataan
kekurang pahamannya seputar bacaan, terjemahan, dan
penjelasan materi kepada guru
2) Kelemahan :21
a) Karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar maka
materi yang diajarkan pun juga terbatas

19
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta :
Erlangga, 2005), p. 142
20
Nurkholis, Santri Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, (Purwokerto : STAIN Press,
2017), p. 77
21
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, (Jakarta:
Kencana, 2013), p. 23-24
b) Penggunaan sistem hafalan pada metode sorogan
menyebabkan murid tidak mampu menganalisis secara
tajam
c) Menuntut kerajinan, ketekunan, dan kedisiplinan seorang
guru

Dalam pengimplentasian metode sorogan di Pesantren Al


Muslimun Cianjur target yang ingin dicapai adalah penguasaan kitab
turats melalui 3 tahapan yaitu memberi sakal, memberikan arti secara
lughat, dan mampu mengerti tatanan bahasa Arab, sistem yang
digunakan juga melalui beberapa tahapan. Pertama secara privat (satu
guru dengan lima sampai sepuluh murid) dimana guru membacakan
materi secara lantang didepan murid sebanyak satu sampai lima kali,
kemudian murid mengucapkannya kembali bersama-sama secara
lantang di hadapan guru berulang sebanyak tujuh sampai sebelas kali,
kemudian guru memerintahkan murid untuk membaca sendiri-sendiri di
depan murid lainnya sampai selesai dan sampai dinilai sudah bisa
membaca kitab tersebut. Kedua secara one by one (satu guru satu murid)
dimana murid menyiapkan materi atau baba kitab yang akan dibaca
dihadapan guru, sedangkan guru memperhatikan dan memberikan
makna-makna yang salah dari murid serta memberikan tambahan untuk
kemudian dihafal. Ketiga membaca kitab (Baslul Kitab) yaitu proses
pembelajaran yang masuk ke dalam kategori evaluasi, dimana santri
akan diuji untuk membaca kitab dan menerangkan maknanya dihadapan
santri yang lain sekali setiap minggu. 22
Sedangkan dalam usaha pengimplentasian metode sorogan
dalam pembalajan ilmu Nahwu di Pesantren Majlis Tarbiyatul
Mubtaidin yang diadopsi dari Pondok Pesantren Rembang Jawa Tengah
meliputi lima tahapan. Pertama tahap ma’nani/ngapsai dimana kyai atau
ustadz memberikan makna dengan bahasa Jawa kata demi kata sekaligus
ciri kedudukan kata (i’rab) dalam kalimat, materi pada setiap kali
pertemuan baiasanya sekitar 1 bait nadhom beserta syarahnya. Kedua
tahap murodi, dimana kyai atau ustadz menerjemahkan teks yang telah
dimaknai dengan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, dimulai kata
perkata kemudian kalimat per kalimat. Ketiga tahap penjelasan
gramatika dimana setelah dua tahapan sebelumnya dilalui, maka kyai
atau ustadz memberikan penjelasan poin-poin gramatika yang ada pada
bait nadhomnya beserta contoh-contohnya. Keempat tahap penguatan,
untuk menguatkan pemahaman pada bait-bait nadhom beserta
syarahnya maka pada pertemuan berikutnya sebelum masuk ke materi

22
Jamaluddin, Muhammad Sarbini, Ali Maulida, Implementasi Metode Sorogan dalam Meningkatkan
Kemampuan Membaca Kitab Kuning pada Santri Tingkat Wustho di Pondok Pesantren Al Muslimun Cianjur
2019, Jurnal Prosa PAI STAI Al Hidayah Bogor, Vol. 2, No. 1, 2019, p. 130
baru beberapa santri diminta maju kedepan kelas untuk menjelaskan
kembali materi yang telah diajarkan, untuk mendukung kesuksesan
dalam tahap ini biasanya setelah mengaji Al Quran ba’da maghrib santri
berkumpul dengan teman sekelas dan mengulang materi yang telah
dipelajari di pagi hari, dengan tujuan untuk melengkapi jika ada kata-
kata yang tertinggal sebelum diafsai ataupun dima’nani, usaha lainnya
adalah dengan musyawarah dimana dalam sebuah kelompok belajar
yang berjumlah lima hingga enam orang memusyawarahkan materi
yang telah dipelajari sebelumnya. Kelima tahap hafalan, dimana santri
diwajibkan menghafal bait-bait nadhom kitab yang telah dipelajari
dengan langgam (dibuat lagu) dengan waktu yang telah ditentukan oleh
pengampunya, ada ustadz yang menerima hafalan perminggu, atau
setiap dua minggu, ada yang dua kali dalam satu semeter, hafalan materi
ini menjadi syarat mengikuti ujian Muhadloroh, santri diwajibkan
menghafal 150 bait nadhom ‘imrithi di semester ganjil dan diwajibkan
menghafalkan keseluruhan di semester genap, sedangkan dalam
penghafalan kitab alfiyyah di bawah pengawasan pengasuh langsung
jika santri mengaku telah menghafal 300 bait maka akan diuji
hafalannya pada bait 285 hingga 300. 23

Di pondok pesantren Al Bidayah Jember terdapat inovasi metode


sorogan yaitu metode Al Bidayah yang diambil dari buku karya Dr.
Abdul Haris, M.Ag., yaitu sebuah metode yang mengutamakan
peletakan bab dan materi yang berturut dengan tujuan memudahkan
peserta didik dalam proses pembelajaran. Metode ini secara sistematis
dapat diterjemahkan dengan materi kalimah atau kata baik terkait
dengan definisi, ciri-ciri dan pembagiannya harus diajarkan dengan
tuntas sebelum memasuki tahap i’rab, sebagaimana definisi dan macam
dari marfua’tul asma, majurotul asma, manshubatul asma’ terlebih
dahulu dipelajari sebelum pembahasan jumlah. Selain itu metode ini
juga menegaskan bahwa sebelum memasuki materi inti (misalnya :
materi fa’il) maka santri harus menguasai materi pra syarat (misalnya :
materi fi’il ma’lum dan fi’il majhul) agar pembelajaran tidak terkendala,
metode ini juga dilengkapi dengan contoh-contoh konkrit dan
tambahan-tambahan kaidah penting yang jarang di cantumkan di metode
lain. Kualitas hafalan santri terhadap matan kitab juga menjadi perhatian
besar dari metode ini untuk kemudian santri dapat menerapkannya
dalam membaca, mengulas, dan menterjemahkan kitab turats. Dalam
praktiknya metode ini menerapkan model tutor sebaya yaitu tutorial atau
tutoring oleh santri yang memiliki daya serap tinggi untuk memberikan
materi belajar dan latihan kepada teman-temannya yang belum paham.

23
Rodliyah Zenuddin, Pembelajaran Nahwu/Sharf dan Implikasinya terhadap Membaca dan Memahami
Literatur Bahasa Arab Kontemporer pada Santri Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtaidin Cirebon, Jurnal Holistik
IAIN Syekh Nur Jati, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, p. 108-110
Tahapan – tahapan yang dilaksanakan dalam metode ini meliputi 5
tahapan. Pertama, peserta didik diharuskan menghafal buku metode Al
Bidayah dengan jumlah lebih dari 100 halaman, tanpa harus memahami
materi yang tertera pada buku pedoman. Kedua, pemahaman terhadap
materi yang dihafalkan oleh ustadz atau guru, dengan harapan dapat
mempermudah santri dalam penerapannya. Ketiga, penerapan materi
pada kitab kuning tidak berharakat yang tingkat kesulitannya
disesuaikan dengan kualitas peserta didik, semakin sering materi yang
dipahami dan dihafal diterapkan maka semakin ingat dan melekat materi
tersebut dalam diri santri. Keempat, simulasi yang diadakan setiap
malam dimana santri diharuskan mengulang hafalan serta melakukan
tanya jawab didalam sebuah forum besar. Kelima, bimbingan oleh
pengasuh atau guru besar terhadap mentor yang menjadi tutor sebaya.24
Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan menerapkan metode Al
Miftah dalam pembelajaran kitab kuning termasuk dalam pembelajaran
Nahwu disamping metode sorogan yang sudah sangat umum dipakai.
Metode ini memiliki 4 jilid pedoman yang disadur dari matan Al
Jurumiyyah, Alfiyyah, dam Imrithy, sehingga tidak memunculkan istilah
dan bahasa baru. Sistem yang digunakan adalah sistem modul, sehingga
santri yang dapat menguasai kitab lebih cepat maka dapat naik jilid
terlebih dahulu dan melanjutkan ke jilid-jilid lain, tahapan selanjutnya
setelah menyelesaikan 4 jilid santri menyetorkan baca kitab fathul qorib
berikut memahami kedudukan lafadznya. Pada umumnya santri
menyelesaikan tahapan-tahapan tersebut selama sembilan sampai
sepuluh bulan. Pembelajaran dengan metode ini dianggap efektif dan
efesien dalam membaca kitab kuning karena dikemas di dalam nadhom-
nadhom dengan lagu-lagu yang populer, kesimpulan dan rumusannya
sederhana dan menarik dengan bahasa Indonesia menggunakan font
warna warni.25
c. Metode Qiyasiyyah (Deduktif)
Metode ini merupakan metode tertua dalam pengajaran Nahwu,
metode ini menitikberatkan pada penyajian kaidah, pembebanan hafalan
kaidah itu atas pelajar, kemudian pemberian contoh-contoh untuk
memperjelas maksud dari kaidah tersebut. Proses pembelajaran
berlangsung dari yang yang bersifat umum menuju khusus. Perlu
digarisbawahi bahwa buku-buku Nahwu klasik mengikuti jalannya
metode ini.26Metode ini dirasa kurang sesuai jika diterapkan pada

24
Farhan Zaky Audani, Fathma Fauziyah, Fina Rizqina Mardhotillah, Pembelajaran Bahasa Arab
dengan Metode Al Bidayah di Pondok Pesantren Al Bidayah Jember, Prosiding Semnasbama IV UM Jilid 1,
Universitas Negri Malang, 2020, p. 247-250
25
Tim Al Miftah lil Ulum Pondok Pesantren Sidogiri, Panduan Penggunaan Al Miftah lil Ulum Pondok
Pesantren Sidogiri, (Pasuruan: Batartama PPS, 2017), p. 9
26
Ubaid Ridlo, Model Pembelajaran Bahasa Arab Materi al Qawaid al Nahwiyyah, Al Ma’rifah Jurnal
Budaya, Bahasa, dan Sastra Arab UNJ, Vol. 12, No. 2, Oktober 2015, p. 12
pelajar pemula, namun lebih cocok jika di terapkan pada madrasah
aliyah maupun perguruan tinggi. 27

Dalam metode ini siswa juga diberi kesempatan untuk


melakukan latihan-latihan untuk menerapkan kaidah atau rumus yang
telah diberikan. Pada pengaplikasian metode al qiyasiyah di Pondok
Pesantren al Aziziyah mengacu pada 3 metode yang lebih spesifik yaitu
muhafadzah, ceramah, dan drill, dengan rincian sebagai berikut:28
1) Muhafadzah

Teknik berupa seruan kepada santri untuk menghafal


sejumlah kata-kata, kalimat-kalimat, maupun kaidah-kaidah.
Metode ini diterapkan pada pembelajaran Nahwu kelas 1
karena tujuan pembelajarannya menekankan pada
penghafalan matan kitab. Dalam prosesnya metode ini
memiliki 5 tahapan. Pertama, pendahuluan dimana ustadz
mereview materi pada pertemuan sebelumnya kemudian
meminta secara acak kepada santri melanjutkan potongan
redaksi matan tersebut, selain itu pada tahap ini ustadz
memberikan info tentang materi yang akan dipelajari.
Kedua, Qira’ah tahapan dimana ustadz membacakan materi
berupa matan kitab yang akan dihafal santri, kemudian santri
melafadzkan secara bersama-sama bacaan ustadz, terkadang
ustadz menunjuk salah satu santri untuk menjadi pemandu
santri yang lain untuk membaca. Ketiga, tarjamah tahap
dimana ustadz membimbing santri untuk memahami
makna/tarjamah dan mendabit redaksi dari matan yang telah
dibaca, dilakukan kata perkata kemudian santri
membubuhkan arti setiap kata yang tidak dipahami pada
kitab masing-masing. Keempat, Istima’ tahap dimana santri
menghafal redaksi matan dengan batasan-batasan yang telah
ditentukan, dalam tahap ini ustadz meminta dua sampai tiga
santri untuk memperdengarkan hafalannya di depan kelas
begitu seterusnya dilakukan secara bergantian untuk santri
lainnya. Kelima, penutup tahap dimana ustadz meminta
kembali santri untuk membaca secara bersama-sama matan
kitab yang sudah dihafal.

27
Mochammad Mu’izzudidin, Implementasi Metode Qiyasiyah terhadap Kemampuan Santri dalam
Memahami Kitab Al Jurumiyah, An Nabighoh Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Arab IAIN Metro,
Vol. 21, No. 1, 2019, p. 103
28
Sahrah, Pembelajaran Nahwu di Madrasah al Qur’an wa al Hadist Pondok Pesantren Al Aziziyah
Kapek Gunungsari Lombok Barat, El Tsaqafah UIN Mataram, Vol. 16, No. 2, Juli-Desember 2017, p. 198-199
2) Ceramah
Pada penerapannya ustadz mengkombinasikan dengan
metode lain seperti metode hafalan, tanya jawab, dan drill.
Dalam prosesnya metode ini memiliki 7 tahapan. Pertama,
pendahuluan dimana ustadz mereview materi sebelumnya,
memberi informasi terkait materi yang akan dipelajari.
Kedua, Qira’ah tahap dimana ustadz memberikan contoh
bacaan yang bagi di kelas I, tahap yang dilakukan untuk
melatih dan membiasakan santri membaca disamping
memebrikan contoh bacaan yang tepat bagi kelas II, tahap
yang dilakukan untuk membiasakan santri untuk membaca
dengn benar sesuai kaidah gramatikal yang sudah dipelajari
bagi kelas III. Ketiga, tarjamah tahap dimana ustadz
membimbing santri untuk menterjemahkan setiap kata pada
matan kitab yang dipelajari bagi kelas I dan II, tahap
penerjemahan ini dilakukan langsung oleh santri di kelas III.
Keempat, penjelasan gramatikal tahap dimana ustadz
membrikan penjelasan terhadap kaidah-kaidah bentuk dan
kedudukan kata yang ada pada matan kitab bagi kelas II.
Pada jenjang kelas III santri diminta satu persatu membaca
redaksi kitab dan menjelaskan kedudukan masing-masing
redaksi. Kelima, diskusi atau tanya jawab tahap dimana
ustadz menanyakan kedudukan setiap kata yang dibaca
untuk melatih dan membiasakan santri untuk membaca
dengan menerapkan kaidah-kaidah yang telah dipelajari,
tahap ini terkadang dilakukan pada tahap penjelasan
gramatikal bagi kelas III. Keenam, drill/latihan tahap dimana
santri langsung diminta untuk membaca syarah untuk
kemudian menterjemahkan dan menjelaskan setiap
kedudukan kata dalam kalimat. Ketujuh, penutup tahap
dimana ustadz menutup pembelajaran dengan hamdalah dan
do’a.
d. Metode Munaqasyah

Setiap pembelajaran tidak akan pernah lepas dari evaluasi. Evaluasi


bertujuan untuk memperoleh gambaran kualitas pembelajaran yang berkenaan
dengan nilai atau arti. 29Selain itu evaluasi juga bertujuan untuk memeperbaiki
atau melakukan penyempurnaan serta sebagai penunjang penyusunan rencana,
bagi siswa sendiri evaluasi berfungsi sebagai pedoman atau pegangan batin
untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing ditengah-tengah

29
Asrul, Rusydi Ananda, Rosnita, Evaluasi Pembelajaran, (Medan: Citapustaka Media, 2015), p. 4
kelompok atau kelasnya. 30Namun dalam pembelajaran kitab kuning di
pesantren salaf model evaluasi tidak sama dengan proses evaluasi pada
umumnya. Evaluasi lebih bermakna kepentingan pengukuran dan penilaian bagi
santri itu sendiri, sehingga santri dapat merefleksi pembelajarannya dalam
mengkaji kitab.

Sistem Munaqasyah banyak digunakan sebagai ujian tertinggi yang


ditempuh oleh mahasiswa di jenjang perguruan tinggi. Uniknya Pesantren Al
Luqmaniyyah Yogyakarta menggunakannya sebagai model evaluasi
pembelajaran Nahwu dari kitab Alfiyyah Ibnu Malik yang merupakan kitab
tertinggi setelah al Ajurumiyyah dan ‘Imrithi. Penggunaan evaluasi model
munaqasyah ini mengacu pada tingkat kesulitan pembelajaran kitab Alfiyyah
Ibnu Malik bagi santri, serta bentuk ujiannya yang lebih mirip dengan sidang.
Santri disidang oleh dewan penguji untuk mempertanggungjawabkan materi
yang telah dikaji dalam bentuk hafalan dan penjelasan makna yang terkandung.
Model evaluasi ini mengujikan sekitar 13 bab dalam kitab Alfiyyah ibnu Malik
dengan materi-materi yang paling sering digunakan dalam kitab-kitab yang
dipelajari di Pesantern Al Luqmaniyyah dan umumnya pesantren salaf. Pada
tahap pertama, santri akan mendapatkan kisi-kisi berupa kertas undian yang
didalamnya tertulis materi dengan rinci kemudian santri menyerahkan pada
penguji. Pada tahap kedua memasuki proses ujian, dewan penguji meminta
santri menghafalkan bab yang dikehendaki penguji, bentuk penghafalan bisa
langsung pada materi dari awal hingga akhir atau dengan cara ustadz membaca
awalnya dan santri melanjutkan. Pada Tahap ketiga, dewan penguji akan
bertanya seputar maksud dari bait yang dibaca oleh santri yang dipelajari santri
melalui buku terjemah dan syarah Ibn Aqil. Bentuk lain dari model pengujian
adalah dewan penguji menyampaikan kaidah-kaidah nahwu yang bersifat
umum atau penjelasannya, kemudian santri ditanya pada bait mana kaidah itu
terdapat, kemudian santri akan membaca hafalannya sesuai dengan kaidah
tersebut. Ujian ini bertujuan untuk kepentingan meningkatkan daya hafalan
santri terhadap kaidah-kaidah nahwu pada kitab alfiyyah sehingga santri tidak
mendapatkan semacam ijasah atau raport.31

30
Elis Ratnawulan, Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran dengan Pendekatan Kurikulum 2013, (Bandung :
Pustaka Setia, 2014), p.9
31
Sri Guno Najib Chaqoqo, Evaluasi Pembelajaran Nahwu dalam Bentuk Munaqasyah di PP Al
Luqmaniyyah Yogyakarta, Lisania Journal of Arabic Education and Literature, Vol. 1, No. 1, 2017, p. 24-25
PENUTUP
Berdasarkan pembahan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Nahwu klasik di
pesantren-pesantren salaf mengacu pada metode al Qawaid wa at Tarjamah yang kemudian
dipecah ke beberapa model yang umum di kenal di Indonesia dengan metode sorogan,
bandongan, qiyasiyah, muhafadzah, dan munaqasyah. Sebagaimana pendapat yang tertanam di
kebanyakan pesantren salaf bahwa sebuah ilmu dianggap sah jika didapatkan melalui transmisi
dan hafalan. Namun pada praktiknya Ilmu Nahwu yang awalnya diajarkan sebagai alat
(wasilah) untuk memahami matan kitab, pola gramatikanya, dan syarhnya berubah menjadi
tujuan (ghayah) dimana kemampuan seorang santri dalam menghafal matan kitab Nahwu
dianggap sudah menjadi puncak keilmuannya, padahal ilmu Nahwu berperan penting dalam
penguasaan bahasa selain kompetensi berbahasa berbicara, mendengar, menyimak, dan
menulis. Jika seseorang telah menguasai pola gramatika suatu bahasa maka akan mudah
baginya dalam penguasaan kompetensi berbahasa. Adapun seiring berkembangnya zaman dan
karena adanya tuntutan pendidikan dan pengajaran beberapa pesantren mengembangkan
pembelajaran klasik dengan berbagai inovasi dan pembaharuan tanpa meninggalkan tradisi dan
menutup rapat konsep kemodernan, sebagai mana yang digagas oleh Pesantren Sidogiri
Pasuruan dengan metode Al Miftah dan Pesantren Al Bidayah Jember dengan metode Al
Bidayah dan Panel Season pada metode Bandongan di Pesantren At Tarbiyah Guluk-Guluk.
‫‪DAFTAR PUSTAKA‬‬

‫ابن جين‪ .4002 .‬اخلصائص‪ .‬القاهرة ‪ :‬دار احلديث‬


‫أمحد‪ ،‬حممد عبد القادر‪ .1998 .‬طرق التعليم اللغة العربية‪ .‬القاهرة ‪ :‬دار املعارف‪ .‬الطباعة ‪5‬‬
‫بشر‪ ،‬حممد كمال‪ .‬دون السنة‪ ،‬اللغة العربية بني الوهم وسواء الفهم‪ .‬القاهرة ‪ :‬دار غريب‬
‫اجلرجاين‪ ،‬علي بن حممد بن علي‪ .1205 .‬التعريفات‪ .‬حتقيق إبراهيم األنباري‪ .‬بريوت ‪ :‬دار الكتب‬
‫العريب‪ .‬اجللد ‪ .1‬الطباعة ‪1‬‬
‫مجيلة‪ ،‬روقاب‪ .‬جهود القدماء واحملدثني يف تيسري النحو روى اترخيية وصفية يف املنجزات اللغوية‬
‫‪4016‬‬ ‫العربية‪ .‬جملة رفوف ‪ :‬جامعة أدرار اجلزائر‪ .‬العدد ‪ .10‬ديسمبري‬

‫خويل‪ ،‬حممد علي‪ .1993 .‬مدخل إىل علم اللغة‪ .‬أردون ‪ :‬دار الفالح‬
‫زاجية‪ ،‬لزرق‪ .‬تيسري النحو بني القدماء واحملدثني‪ .‬جملة املعيار ‪ :‬إدارات املركز اجلامعي تيسمسيلت‪.‬‬
‫العدد ‪ .18‬مايو ‪4018‬‬
‫طعيمة‪ ،‬رشد أمحد و حممد السيد مناع‪ .‬تعليم العربية والدين بني العلم والفن‪( .‬القاهرة ‪ :‬دار الفكر‬
‫العريب‪)1002 ،‬‬
‫غزيل‪ ،‬بلقاسم ولوبزرة مورد‪ .‬النحو بني القدماء واحملدثني بني االفتخار واإلنكار‪ .‬جملة آفاق عملية ‪:‬‬
‫جامعة غرداية اجلزائر‪ .‬اجمللد ‪ .14‬العدد ‪ .2‬سبتمبري ‪4040‬‬
‫الفراهيدي‪ ،‬أبو عبد الرمحان اخلليل بن أمحد‪ .4002 .‬كتاب العني‪ .‬حتقيق د‪ .‬مهدي خمزومي ود‪.‬‬
‫إبراهيم السمارائي‪ .‬بريوت ‪:‬دار مكتبة اهلالل‪ ،‬اجللد ‪3‬‬
‫القرطويب‪ ،‬ابن مضاء‪ .‬دون السنة‪ .‬الرد على النحاة‪ .‬القاهرة ‪ :‬دار املعارف‪ ،‬دون السنة‬
‫النجدي‪ ،‬علي‪ .1923 .‬سيبويه إمام النحاة‪ ،‬القاهرة ‪ :‬جامعة األزهر‪ .‬الطباعة ‪1‬‬
‫ويل الدين‪ ،‬عبد الرمحن ابن حممد ابن خلدون‪ .4002 .‬مقدمة ابن خلدون‪ .‬حتقيق عبد هللا حممد‬
‫الدريش‪ .‬دمشق‪ :‬دار يعرب‪ .4002 ،‬اجللد ‪ .4‬الطباعة ‪1‬‬

‫‪Aliyah .Pesantren Tradisional sebagai Basis Pembelajaran Nahwu dan Sharaf dengan‬‬
‫‪Menggunakan Kitab Kuning. At Ta’rib Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaan.‬‬
‫‪Vol. 6. No. 1. 2018‬‬
‫‪Asrul, Rusydi Ananda, Rosnita. 2015. Evaluasi Pembelajaran. Medan: Citapustaka Media‬‬
Audani,Farhan Zaky, Fathma Fauziyah, Fina Rizqina Mardhotillah. Pembelajaran Bahasa
Arab dengan Metode Al Bidayah di Pondok Pesantren Al Bidayah Jember. Prosiding
Semnasbama IV UM Jilid 1 Universitas Negri Malang. 2020

Chairi,Effendi. Pengembangan Metode Bandongan dalam Kajian Kitab Kuning di Pesantren


At Tarbiyah Guluk-Guluk dalam Prespektif Muhammad Abid Al Jabiri. Nidzhomul Haq
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol. 4. No. 1. 2019

Chaqoqo, Sri Guno Najib. Evaluasi Pembelajaran Nahwu dalam Bentuk Munaqasyah di PP
Al Luqmaniyyah Yogyakarta. Lisania Journal of Arabic Education and Literature. Vol. 1.
No. 1. 2017

Departemen Agama RI. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta : Depag RI

Elis Ratnawulan, Rusdiana. 2014. Evaluasi Pembelajaran dengan Pendekatan Kurikulum


2013. Bandung : Pustaka Setia

Jamaluddin, Muhammad Sarbini, Ali Maulida. Implementasi Metode Sorogan dalam


Meningkatkan Kemampuan Membaca Kitab Kuning pada Santri Tingkat Wustho di Pondok
Pesantren Al Muslimun Cianjur 2019. Jurnal Prosa PAI STAI Al Hidayah Bogor. Vol. 2.
No. 1. 2019

Mu’izzudidin, Mochammad Implementasi Metode Qiyasiyah terhadap Kemampuan Santri


dalam Memahami Kitab Al Jurumiyah. An Nabighoh Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Bahasa Arab IAIN Metro. Vol. 21. No. 1. 2019

Nizar, Samsul. 2013. Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara.
Jakarta: Kencana

Nurkholis. 2017. Santri Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Purwokerto :
STAIN Press

Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi. Jakarta : Erlangga

Ridlo,Ubaid. Model Pembelajaran Bahasa Arab Materi al Qawaid al Nahwiyyah. Al Ma’rifah


Jurnal Budaya, Bahasa, dan Sastra Arab UNJ. Vol. 12. No. 2. Oktober 2015

Sahrah, Pembelajaran Nahwu di Madrasah al Qur’an wa al Hadist Pondok Pesantren Al


Aziziyah Kapek Gunungsari Lombok Barat. El Tsaqafah UIN Mataram. Vol. 16. No. 2.
Juli-Desember 2017

Tim Al Miftah lil Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. 2017. Panduan Penggunaan Al Miftah lil
Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Pasuruan: Batartama PPS

Zenuddin, Rodliyah. Pembelajaran Nahwu/Sharf dan Implikasinya terhadap Membaca dan


Memahami Literatur Bahasa Arab Kontemporer pada Santri Pesantren Majlis Tarbiyatul
Mubtaidin Cirebon. Jurnal Holistik IAIN Syekh Nur Jati. Vol. 13. No. 1. Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai