Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang di produksi secara efektif. Insulin adalah
hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Apabila pankreas
tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan
konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia) (1).
Diabetes melitus merupakan penyakit jangka panjang sehingga
memerlukan pengobatan jangka panjang pula. Dalam hal ini diperlukan
edukasi serta motivasi dari tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
maupun dukungan serta pengawasan minum obat dari keluarga pasien .
DM dapat mengakibatkan komplikasi akut dan kronis. Karena adanya
berbagai komplikasi tersebut, kemungkinan besar pasien DM juga
menggunakan obat-obat lain di samping obat antidiabetes oral (1).
Berdasarlan laporan World Healt Organization (WHO) menyatakan
bahwa secara global 422 juta orang dewasa ≥ 18 Tahun menderita diabates
pada Tahun 2015. Para ahli memperkirakan bahwa kejadian diabetes akan
melambung sebesar 64% pada Tahun 2025, yang berarti bahwa secara
mengejutkan 53,1 juta warga akan terkena penyakit DM (2). Internasional
Diabetes Federation (IDF) Diabetes Atlas seventh Edition memperkirakan
ada 415 juta orang dewasa berusia 20-70 Tahun yang menderita DM dan
5,0 juta di kaitkan dengan DM secara global Tahun 2015 (3). Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2018. di Indonesia
pravelensi penyakit diabetes melitus melalui pemeriksaan darah pada
penduduk umur ≥ 15 tahun, pada tahun 2013 sebesar 6,9% dan mengalami
peningkatan pada tahun 2018 sebesar 10,9% (4).
2

Sedangkan menurut Profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Tahun


2015, penyakit diabetes melitus menduduki peringkat ke 8 dan selalu
masuk dalam 10 penyakit terbesar berdasarkan RISKESDAS (5).
Pemberian obat DM bertujuan untuk mencapai hasil yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien (6). Kepatuhan pasien merupakan
faktor utama penentu keberhasilan terapi dalam sebuah intervensi
pengobatan. Kualitas hidup pasien DM berhubungan atau tergantung pada
kontrol glikemik yang baik (7). Keberhasilan pengobatan meningkatkan
kualitas hidup pasien DM. Penyebab kurang optimalnya hasil pengobatan
pada umumnya meliputi ketidaktepatan peresepan,ketidakpatuhan pasien,
dan ketidaktepatan monitoring. Ketidak patuhan pasien meningkatkan
resiko komplikasi dan bertambah parahnyapenyakit yang diderita (8).
Penelitian yang dilakukan di kota batam yang di lakukan oleh
Romadona dan kawan-kawan menyatakan bahwa proporsi kepatuhan
pasien dalam terapi diabetes melitus hanya sekitar 47,9% dan terdapat
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kepatuhan diabetes
melitus dimana pria lebih patuh di bandingkan wanita dengan nilai P value
(0,01) (8).
Secara umum tingkat kepatuhan pada setiap pasien digambarkan
dengan persentase jumlah obat yang diminum dan waktu minum obat
dalam jangka waktu tertentu (9). Penyebab rendahnya kepatuhan yang
sering muncul kebanyakan pasien lupa, tidak mematuhi pengobatan sesuai
dengan petunjuk dokter, dan kesalahan pembacaan etiket. Selain itu
rendahnya ketidakpatuhan dalam pengobatan dapat disebabkan karena
regimen obat yang diberikan terlalu banyak sehingga pasien akan semakin
sulit untuk mengikuti regimen tersebut (10).
Berdasarkan hasil prasurvey yang dilakukan di UPT Puskesmas
Sukarame Bandar Lampung penyakit Diabtes Melitus masuk kedalam
sepuluh penyakit terbesar yang populasinya pada Tahun 2019 penyakit
diabetes melitus menduduki posisi ke lima dengan jumlah pasien 573
sedangkan pada Tahun 2020 mengalami peningkatan penyakit diabetes
melitus menduduki posisi ke empat dengan jumlah pasien 815. oleh karena
3

itu dari data diatas banyaknya kasus diabetes melitus yang terjadi di UPT
Puskesmas Sukarame Bandar Lampung mendorong saya melakukan
penelitian mengenai hubungan kepatuhan penggunaan obat terhadap
keberhasilan terapi Diabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT
Puskesmas Sukarame.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran kejadian diabetes melitus tipe 2 pada pasien di UPT


Puskesmas Sukarame Bandar Lampung periode Juni-Juli 2020 ?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan ketidak patuhan pasien dalam
mengkonsumsi diabetes melitus ?
3. Bagaimanakah tingkat keaptuhan pasien dalam mengonsumsi obat
diabetes melitus tipe 2 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien
Diabetes melitus tipe 2 di UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar
Lampung.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik Pasien diabetes melitus tipe 2 di
UPT Puskesmas Kota Bandar Lampung.
b. Mengetahui tingkat ketidak patuhan penggunaan obat pada pasien
diabetes melitus tipe II di UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar
Lampung.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor ketidak patuhan penggunaan obat
diabetes melitus tipe 2 di UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar
Lampung.
4

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi institusi,
intansi, Peneliti dan masyarakat.
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
serta wawasan peneliti mengenai tingkat kepatuhan Pasien dibetes
melitus tipe 2 di UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar Lampung.
2. Bagi Instansi
Dapat dijadikan sebagai acuan pustaka untuk penelitian terhadap
tingkat kepatuhan Pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT Puskesmas
Sukarame Kota Bandar Lampung.
3. Bagi Institusi
Dapat di jadikan bahan acuan dan pertimbangan terhadap terhadap
tingkat kepatuha Pasien dibetes melitus tipe 2 di UPT Puskesmas
Sukarame Kota Bandar Lampung.

E. Hipotesis
1. Hubungan karateristik responden terhadap tingkat kepatuhan
penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT
Puskesmas Sukarame Kota Bandar Lampung.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus
1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik kronik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Kelainan yang menjadi penyebab mendasar dari diabetes melitus
adalah definisi relatif atau absolut dari hormon insulin. Merupakan
satu-satunya hormon yang dapat menurunkan kadar glukosa dalam
darah (11).

Tabel 2.1 kriteria diabetes berdasarkan pemeriksaan gula darah (11).


Kriteria Gula darah puasa Glukosa darah puasa
(mg/dl)
Normal ≤100 mg/D1 ≥ 140 mg/Dl
Pre-diabetes 100-125 mgG/D1 140-199 mg/dL
Diabetes ≥126 mg/D1 ≥200 mg/dL

2. Klasifikasi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus di klasifikasikan menurut konsensus pengelolaan
dan pencegahan diabetes melitus tipe II tahun 2015 sebagai berikut :
Tabel2.2: klasifikasi etiologis Diabetes melitus (11).

Klasifikasi Diabetes Keterangan


Melitus

Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke definisi


insulin absolut.

Tipe II Bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin di


sertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan insulin di sertai resistensi insulin.

Tipe lain a. Defekgenetik fusngsional beta


b. Defekgenetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
6

e. Karena obat atu zat kimia


f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang

Diabetes Melitus Diabetes Melitus Gestasional merupakan naik nya


Gestasional kadar gula darah sementara waktu pada masa
kehamilan, dan biasannya terdeteksi ketika usia
kehamilan sudah di atas 18 minggu.

Klasifikasi diabetes melitus dibedakan menjadi beberapa kategori,


yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2, diabetes gestasional dan
diabetes tipe lain :
a. Diabetes Tipe 1
Bentuk diabates ini hasil dari penghancuran auto imun sel-sel
beta pankreas tanda kerusakan kekebalan tubuh sementara bentuk
diabates ini biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja dan dapat
terjadi pada segala usia individu yang lebih muda biasanya memliki
tingkat kerusakan sel beta pankreas yang cepat di sertai
ketoasidosis,sementara orang dewasa sering mempertahankan
sekresi insulin yang cukup untuk mencegah keto asidosis selama
bertahun-tahun, yang sering di sebut sabagai diabetes auto imun
pada orang dewasa (11).

b. Diabetes Tipe 2
Bentuk diabetes ini di tandai oleh insulin resistensi dan
setidaknya pada awalnya relatif kurangnya sekresi insulin individu
dengan diabetes tipe II menunjukan obesitas yang itu sendiri
menyebabkan resistensi insulin. Selain itu hipertensi, dislipidemia
(kadar trigiserida tinggi dan kadar kolestrol HDL rendah) dan tingkat
inhibitor plasminogen inhibitor-1 yang meningkat sering hadir pada
invidu ini, kelainan ini di sebut sebagai sindrom resistensi atau
sindrom metabolik. Kelaianan ini menyebabkan penderita diabates
tipe II berada pada peningkatan resiko komplikasi makrovaskular.
7

Diabates memiliki kecendrungan genetik yang kuat dan lebih umum


di semua kelompok etnis selain dari keturunan eropa (11).

c. Diabetes Melitus Gestasional


Gestasional Diabetes Melitus (GDM) di definisikan sebagai
intoleransi Glikosa yang pertama kali di kenali selama masa
kehamilan. Diabetes gestasional mempersulit sekitar 7% dari semua
kehamilan. deteksi klinis penting sebagai terapi akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas perinatal (12)

d. Diabetes Melitus tipe Lain


Diabetes melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik
yang di tandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat kerusakan
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati
karena obat dan zat kimia, infeksi dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan diabetes melitus.

3. Etiologi
a. Genetik atau Faktor Keturunan.
Diabetes melitus cenderung diturunkan atau diwariskan bukan
ditularkan. anggota keluarga penderita diabetes melitus (diabetisi)
memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita
diabetes melitus. Para ahli kesehatan juga menyebutkan diabetes
melitus merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau
kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen
untuk diwariskan kepada anak-anaknya.

b. Penyakit dan infeksi pada pankreas.


Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi
pankreas sehingga menimbulkan radang pankreas. Virus penyebab
8

diabetes melitus adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus


B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga.
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus menyerang melalui reaksi
otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta.
Diabetes melitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi.

c. Bahan Toksik atau Beracun.


Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung
adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk
dari sejenis jamur). Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas
dan menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam
mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolisme dalam
tubuh, termasuk hormon insulin.

d. Nutrisi.
Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko
pertama yang diketahui menyebabkan diabetes melitus. semakin
berat badan berlebih atau obesitas akibat nutrisi yang berlebihan,
semakin besar kemungkinan seseorang terjangkit diabetes melitus
orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk terserang diabetes melitus
dibandingkan orang yang tidak gemuk. Pola makan secara
berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh
tubuh dapat memacu timbulnya diabetes melitus. Hal ini disebabkan
jumlah atau kadar insulin oleh sel beta pankreas mempunyai
kapasitas maksimum untuk disekresikan (13).

4. Patofisiologi
Tubuh manusia memerlukan energi untuk dapat beraktifitias secara
baik. Energi tersebut berasal dari makanan, terutama zat
9

berkarbohidrat. Contoh makanan yang mengandung karbohidrat


antara lain nasi, jagung, gandum, kentang, tepung, tepung dan lainya.
Karbohidrat di uraikan dalam tubuh menjadi Galakosa dan fruktosa.
Glukosa yang ada dalam darah tidak dapat langsung masuk ke dalam
sel-sel tubuh (14).
Untuk dapat masuk ke dalam sel tubuh di butuhkan hormon yang
di produksi oleh kelenjar ludah perut (pankreas), hormon tersebut
dikenal dengan insulin. Bila insulin tidak dihasilkan karena kerusakan
pada sel beta kelenjar pankreas, atau jumlah insulin cukup tetapi
aktivitasnya tidak memadai (resistensi insulin), maka akan
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (14).

5. Gejala Diabetes Melitus


Tiga serangkai klasik mengenai gejala kencing manis adalah
poliuri (urinasi yang sering), polidipsi (banyak minum akibat
meningkatnya tingkat kehausan), dan polifagi (meningkatnya hasrat
untuk makan).
a) Poliuri atau sering kencing terjadi karena pada orang dengan
diabetes melitus terutama pada malam hari akan terjadi
penumpukan cairan dalam tubuhnya akibat gangguan
osmolaritas darah yang mana cairan tersebut harus dibuang
melalui kencing dan yang keluar akan lebih banyak daripada
orang sehat, yaitu lebih dari 2.500 mL keadaan normal volume
urine berkisar antara 600-2,500 mL. Karena banyak cairan yang
keluar maka orang dengan diabetes melitus akan merasa
kehausan sehingga mereka jadi ingin sering minum pada orang
sehat, dianjurkan untuk minum 8 gelas dalam sehari. Akan tetapi
penderita diabetes melitus merasakan haus yang lebih sering
sehingga akan minum dalam jumlah lebih banyak. Haus yang
dirasakan tersebut merupakan akibat dari ginjal yang menarik
air dari dalam sel sehingga terjadi dehidrasi sel ini menyebabkan
mulut menjadi kering dan merasakan haus yang lebih sering dan
10

disebut polidipsi. Akibat dari menurunnya kemampuan insulin


mengelola kadar gula dalam darah maka sering terjadi walau
kadar gulanya sedang dalam keadaan normal namun tubuh
merespon lain sehingga tubuh dipaksa untuk makan untuk
mencukupi kadar gula darah yang bisa direspon oleh insulin.
Apabila kita terlambat makan maka tubuh akan memecah
cadangan energi lain dalam tubuh seperti lemak sehingga badan
menjadi tambah kurus. Sejumlah besar kalori hilang ke dalam
air kemih, sehingga penderita mengalami penurunan berat
badan. Untuk mengkompensasikan hal ini, penderita sering kali
merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan dan
disebut polifagi.
b) Penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan
bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang
disebut dengan ketoasidosis. Kadar gula di dalam darah tinggi,
tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula
tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber
yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang
merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan
darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari
ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang
berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada
anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat, karena tubuh
berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas
penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
kadang dalam hanya waktu beberapa jam. Bahkan setelah
menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stress akibat infeksi,
kecelakaan, atau penyakit serius.
11

c) Penderita diabetes tipe 2 bisa tidak menunjukkan gejala-gejala


selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah,
timbulah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa
haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat
tinggi (sampai lebih dari 1.000 mh/dl, biasanya terjadi akibat
stress misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan
mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang
disebut hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. Lebih jelasnya,
tanda-tanda seseorang terkena atau mengidap diabetes adalah
sebagai berikut : Gejala diabetes tipe I muncul secara tiba-tiba
pada saat usia anak-anak sebagai akibat dari kelainan genetika,
sehingga tubuh tidak memproduksi insulin dengan baik. Gejala-
gejalanya antara lain adalah.
1). Sering buang air kecil
2). Terus-menerus lapar dan haus
3). Berat badan menurun
4). Kelelahan
5). Penglihatan kabur (13).

6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
a. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunya morbiditas dan
mortalitas DM (14).
12

7. Terapi non farmakologi


a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya dan merupakan bagian yang
sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai
penggunaan obat diabetes.
b. Terapi Nutris Medis ( TNM )
Terapi Nutrisi Medis bagian penting dari penatalaksanaan diabetes
melitus tipe 2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim ( dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai
sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan
setiap penyandang Diabetes Melitus.
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
apabila tidak di sertai nefropati. Kegiatan jasmani sehari – hari dan
latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3 -5 kali perminggu
selama sekitar 30 – 40 menit dengan total 150 menit per minggu (15).

8. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi diberikan bersamaan dengan pengaturan
makanan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan (11).
a. Obat anti hiperglikemia oral (OHO).
Obat antihiperglikemia oral berdasarkan cara kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 5 golongan yaitu:
1) Sulfonilurea
Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh beta pankreas. Efek samping utama
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Sehingga
penggunaan sulfonilurea pada pasien dengan resiko
13

hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal)


serta pasien obesitas harus hati-hati. Contoh obat golongan
sulfonilurea yaitu glibenklamide, glipizide, gliclazide,
gliquidone, dan glimepiride (11).
2) Glinide
Glinide merupakan obat yang mempunyai cara kerja
sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdapat 2 macam obat yaitu Replaginid (derivat asam
benzoat) dan Netaglinid (derivat fenilamin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Seperti sulfonilurea,
repaglinide dapat menyebabkan hipoglikemia yang serius
dan berhubungan dengan kadar insulin yang meningkat dan
juga berat badan. Tetapi obat ini bermanfaat bagi pasien
lanjut usia dengan pola makan yang tidak teratur atau
mereka yang rentan terhadap hipoglikemia . Megtilinida
harus diminun cepat sebelum makan dan karena resorpsinya
cepat, maka mencapai kadar puncak dalam 1 jam. Insulin
yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya.
Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu 1 jam sudah
dikeluarkan tubuh (11).
3) Thiazolidinedione
Thiazolidinedione adalah agonis dari Peroxisome
Prolirator reseptor inti yang terdapat pada sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di jaringan
perifer. Thiazolidinedione meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung karena dapat memperberat edema atau retensi
14

cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan


perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dengan golongan ini antara lain Pioglitazone (11).
4) Penghambat Alfa Glukosidase
Obat golongan ini akan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga berefek untuk menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan, antara lain
kadar GFR ≤ 30 ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang
berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin akan muncul yaitu berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Sehingga untk meminimalkan efek samping dai obat bisa
diberikan dosis yang kecil terlebih dahulu.Contoh obat
golongan ini yaitu Acarbose (11).
5) Biguanide
Obat golongan biguanida bekerja langsung pada hati
(hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-
senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi
insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan
hipoglikemia. Satu-satunya golongan biguanida yang masih
dipakai adalah metformin (11).

B. Kepatuhan
1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah perilaku seseorang dalam hal pengobatan,
mengikuti diet, dan melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai
dengan rekomendasi yang telah disepakati pasien dan tenaga
kesehatan. Tingkat kepatuhan setiap pasien dapat digambarkan dalam
persentase jumlah obat yang diminum dan waktu minum obat dalam
jangka waktu tertentu (16).
Terdapat beberapa terminologi tentang kepatuhan dalam
mengonsumsi obat seperti adherence, compliance, dan concordance.
15

istilah compliance adalah perilaku pasien yang menaati atau mengikuti


prosedur yang telah ditetapkan oleh tenaga medis, sehingga pasien
menaati dan menjalankan resep yang telah diberikan dari awal
pemberian resep dan seterusnya. Menurut, istilah adherence yaitu
perilaku pasien dalam mengonsumsi obat melalui kesepakatan bersama
dengan tenaga medis. Peran tenaga kesehatan yaitu menjelaskan,
mempengaruhi, dan mengakomodasi, sedangkan peran dari pasien
mempertimbangkan, menjelaskan, dan mengakomodasi. Menurut,
istilah concordance adalah perilaku dalam mematuhi resep yang
sebelumnya ada dialog antara pasien dan dokter berupa konsultasi
dalam memutuskan, serta mempertimbangkan proses pengobatan (16).

2. Faktor yang mendukung kepatuhan pasien


a. Usia
Usia termasuk salah satu faktor demografi yang berpengaruh
terhadap tingkat kepatuhan pada penggunaan obat diabetes melitus.
frekuensi terbanyak pada penderita diabetes melitus di usia 51-60
tahun. Prevalensi diabetes melitus akan meningkat seiring
bertambahnya usia dikarenakan semakin lanjut usia maka
pengeluaran insulin oleh pankreas akan berkurang. Pada usia lebih
dari 65 tahun akan semakin menurunkan kepatuhan, kemungkinan
dapat terjadi pada penderita diabetes melitus yang mengalami
komplikasi berat sehingga tidak sanggup datang ke tempat
pemeriksaan atau penderita diabetes melitus sudah meninggal (17).
b. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang
secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin laki-laki
dan perempuan menyatakan bahwa jenis kelamin berkaitan dengan
peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Dalam menjaga kesehatan kaum
perempuan lebih menjaga kesehatanya dari pada kaum laki-laki.
Dilihat dari jenis kelamin, usia, ras mempengaruhi pada tingkat
16

kepatuhan. Pasien dengan jenis kelamin laki-laki memiliki peluang


besar untuk lupa minum obat daripada pasien wanita (18).
c. Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
memberikan penilaian, termasuk akan pentingnya patuh terhadap
jadwal kontrol, semakin tinggi tingkat pendidikan maka pasien
dapat meningkatkan kepatuhan, selama 12 pendidikan tersebut
aktif misalnya kemampuan dalam membaca resep obat yang
diberikan. Semakin tinggi pendidikan yang didapatkan maka
semakin tinggi pula tingkat kepatuhan dalam pengobatanya.
Pendidikan ini juga dipengaruhi oleh faktor internal seperti minat,
kondisi fisik, dan faktor eksternal seperti keluarga, sarana (19).

C. Puskesmas
1. Pengertian Puskesmas
Pusat kesehatan masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas
adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan
disuatu wilayah kerja. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan dasar yang menyelenggarakan upaya kesehatan
pemeliharaan, peningkatankesehatan (promotive), pencegahan
penyakit (preventive), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitative). Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak
ukur yang digunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas meliputi standar: pengelolaan sediaan
farmasi dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik(20).
Penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien dan standar prosedur
oprasional sesuai peraturan perundang-undangan. Pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan makasud
17

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien


(20).

2. Standar pelayanan kefarmasian di Puskemas


a. Definisi Standar Pelayanan di Puskesmas
Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang di
pergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.pelayanan kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kehidupan pasien
(20).
1) Pengelolaan sedian farmasi dan bahan medis habis pakai.
Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang
dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta
pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional,
meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian,
mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan
pengendalian mutu pelayanan. Kepala Ruang Farmasi di
Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjamin
terlaksananya pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang baik. perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi
per tahun dilakukan secara berjenjang (bottom-up). Puskesmas
diminta menyediakan data pemakaian Obat dengan menggunakan
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan
kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi
Puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran
18

yang tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat,


buffer stock, serta menghindari stok berlebih.

2) Pelayanan farmasi klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien(20).
1). Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
a) meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
b) memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat
menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai.
c) meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain
dankepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan
Kefarmasian.
d) Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam
rangka meningkatkan penggunaan Obat secara rasional.

2). Pelayanan farmasi klinik meliputi:


a) Pengkajian dan pelayanan Resep.
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. pada setiap tahap alur
pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error) (20).
b) Pelayanan Informasi Obat (PIO).
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat,
19

jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat,


profesi kesehatan lainnya dan pasien (20).
c) Konseling.
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan
penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta keluarga pasien (20).
d) Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap).
Merupakan kegiatan kunjungan kepasien rawat inap
yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi
kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahligizi,
dan lain-lain (20).
e) Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap
Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologi.
f) Pemantauan Terapi Obat (PTO).
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang
pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif,
terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping (20).
g) Evaluasi Penggunaan Obat.
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan
Obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk
menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif,
aman dan terjangkau (rasional) (20).
20

3. Tujuan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tujuan pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung
tercapainya tujuan pembangunan nasional. Yaitu meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang yang bertempat
tinggal di wilayah kerja puskesmas, agar terwujud derajat kesehatan
setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat (21).

4. Tugas dan Fungsi


a. Tugas
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat
(21).
b. Fungsi
Puskesmas menyelenggarakan fungsi :
1) Penyelenggaraan Unit Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat
pertama di wilayah kerjanya
a) Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah
kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan
yang diperlukan.
b) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan
kesehatan.
c) Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi dan
pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan
d) Menggerakan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sector
lain terkait.
e) Melaksankan pembinaan teknis terhadap jaringan
pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat.
21

f) Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya


manusia puskesmas
g) Memantau pelaksanaan pembangunann agar berwawasan
kesehatan.
h) Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
akses, mutu dan cakupan pelayanan kesehatan.
i) Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan
masyarakat, termasuk dukungan terhadap system
kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.
2) Penyelenggaraan Unit Kesehatan Perorangan (UKP) tingkat
pertama di wilayah kerjanya
a) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara
komprehensif, berkesinambungan dan bermutu
b) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif
c) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi
pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
d) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas
dan pengunjung.
e) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip
koordinatif dan kerjasama inter dan profesi.
f) Melaksanakan rekam medik.
g) Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap
mutu dan akses pelayanan kesehatan.
h) Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan
(21).

3) Kategori umur menurut DEPKES Tahun 2009 (22).


a) Masa balita : 0-5 tahun
b) Masa kanak- kanak : 5-11 Tahun
c) Masa remaja awal : 12-16 Tahun
d) Masa remaja akhir : 17-25 Tahun
22

e) Masa dewasa awal : 26-35 Tahun


f) Masa dewasa akhur : 36-45 Tahun
g) Masa Lansia Awal : 46-55 Tahun
h) Masa lansia akhir : 56-65 Tahun
i) Masa manula : > 65 Tahun

D. Kerangka Teori

Diabetes Melitus

Klsaifikasi:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
2. Diabetes Melitus Tipe 2

Terapi

Farmakologi Non Farmakologi

Keberhasilan Terapi Kepatuhan Pasien


Pasien

Gambar 2.1 kerangka teori


23

E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan merupakan model konsep tual yang
berkaitan dengan bagaimana peneliti menyusun teori atau penghubung
secara logis beberapa faktor penting untuk masalah. Konsep dalam
penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat . Berikut ini
kerangka konsep penelitian :

Variabel bebas Variabel terikat

-Usia Hubungan karateristik pasien


dan tingkat kepatuhan
-Jenis kelaminaan penggunaan obat Diabetes
-Pekerjaan Melitus tipe 2 di UPT
Puskesmas Sukarame
-Pendidikan

-Lama penyakit yang di


derita

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

F. Rancangan Penelitian
1. Prinsip Penelitian
Penelitian adalah penelitian experiment dengan pendekatan cross
sectional yang di analisa dengan deskriptif dan analitik.

2. Definisi Operasional
Definisi Operasional diperlukan untuk menjabarkan variabel
penelitian dalam konsep dimensi. Disamping itu tujuannya adalah
untuk memudahkan pengertian dan menghindari perbedaan persepsi
dalam penelitian ini. Diabetes melitus yang di maksud dalam
penelitian ini adalah penyakit diabetes melitus yang merupakan
diagnosa dokter yang tercatat dalam rekam medis di UPT Puskesmas
Sukarame Kota Bandar Lampung.
24

Tabel 2.3. Definisi operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala


. Operasional

1 Usia Lamanya Kuesioner 26-45 tahun Interval


responden responden
46-65 tahun
hidup yang
dihitung dari
tanggal lahir
sampai pada
saat
pengumpulan
data

2 Jenis Status seksual Kuesioner Laki-laki Nominal


kelamin responden
Perempuan
berdasarkan
fisik yang
bersangkutan

4 Pekerjaan Pekerjaan Kuesioner Tidak bekerja Nominal


responden
Petani

Nelayan

Pns

Lain-lain

5 Pendidikan Pendidikan Kuesioner SD Ordinal


yang di tempuh
SMP
responden
SMA

Sarjana

6 Lama Lama pasien Kuesioner Dengan kriteria Nominal


penyakit tersebut
25

yang menderita < 10 tahun


diderita diabetes
> 10 tahun
melitus tipe 2
di hitung sejak 
pertama kali
terdiagnosis

7 Tingkat Tingkat Kuesioner 1. Patuh Nominal


kepatuhan kepatuhan
(skor 6-8)
pasien responden
tentang mengenai 2. Tidak
penggunaan penggunaan patuh
obat obat yang
(skor<6)
diterima Seperti
cara minum
obat ,lama
penggunaan
obat

BAB III
METODE PENELITIAN
26

A. Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Izin Penelitian

Identifikasi Subyek Yang Memenuhi Kriteria Inklusi

Puposive Sampling

Kuisioner

Pengumpulan Data

Analisis

Pengolahan Data

Penyusunan Laporan Hasil Dan Pembahasan

Gambar 3.1 Alur Penelitian

B. Jenis Penelitian
27

Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan


prospektif. Peneliti dalam penelitian ini tidak melakukan intervensi atau
perlakuan terhadap subjek penelitian tetapi hanya memberikan kuesioner.

C. Instrumen Penelitian
Alat yang di gunakan dalam penlitian ini adalah kuesioner MMAS-8
untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes
melitus tipe II bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
rekam medik untuk mengetahui bahwa pasien tersebut diabetes melitus
tipe 2 dan untuk mengetahui identitas pasien, serta obat yang di berikan ke
pasien.

D. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada periode Juli-Agustus 2021 di
UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar Lampung 2021.

E. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita
diabetes melitus tipe 2 dengan atau tanpa penyakit penyerta di UPT
Puskesmas Sukarame Kota Bandar Lampung Juli-Agustus 2021.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe II
yang memenuhi kriteria inklusi di UPT Puskesmas Sukarame Bandar
Lampung perhitungan sampel menggunakan rumus Slovin:
N
n=
1+ N (d ¿¿ 2)¿

Keterengan :
n = besar sampel
N = besar populasi
d 2= penyimpangan terhadap populasi yang di inginkan 10% atau 0,1
28

sehingga apabila jumlah pasien di puskesmas UPT Puskesmas


Sukarame Bandar Lampung periode Juli-Agustus berjumlah 166
orang, maka jumlah sampel menurut rumus slovin adalah :
166
n=
1+166(0,1)²

166
=
2,66

= 62 sampel

Data yang di perlukan dalam penilitian ini adalah 62 sampel.

3. Metode pengambilan sampel

Terdapat dua jenis data yang di ambil berdasarkan sukber penelitian,


yaitu data primer dan sekunder. Pengumpulan primer di lakukan dengan
pembagian kuesioner kepada responden oleh peneliti. Kuesioner segera
di kembalikan kepada peneliti setelah pengisian kuesioner. Penelitiaan
pada kuesioner ini menggunkan metode MMAS-8. Skor MMAS-8
berkisar antara 0-8, dengan penggolangan taat (6-8) dan tidak taat
(skor< 6). Pengumpulan data sekunder di dapatlan dari dokumen atau
rekam medik yang tercatan dalam buku register berisi identitas.

F. Kriteria Sampel
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang
perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil
sebagai sampel. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dalam
penelitian ini :

a. Semua pasien yang didiagnosa diabetes melitus tipe 2


b. Pasien yang berobat pada bulan Juli – Agustus 2021
c. Pasien dengan umur 26 – 65 tahun
d. Pasien dengan riwayat pendidikan minimal SD
e. Pasien Rawat Jalan
29

2. Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini :
a. Pasien yang cacat fisik dan mental
b. Pasien yang tidak bisa membaca.

G. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan merupakan kegiatan awal sebelum melakukan
penelitian, adapun kegiatan awal pada adalah :
a. Mempersiapkan literatur.
b. Mempersiapkan lembar pertanyaan.
c. Menyusun jadwal kegiatan.
d. Mengurus izin penelitian.

2. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan adalah kegiatan yang dilakukan saat
pelaksanaan penelitian. Tahap pelaksanaan penelitian
meliputi:
a. Menghitung jumlah sampel.
b. Mengumpulkan semua data yang diperlukan yaitu kelompok umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan dan diagnosa terapi yang diberikan.
c. Mendokumentasi penelitian dalam bentuk foto.

3. Tahap pengelolaaan data


Tahap pengelolaan data dilakukan setelah data terkumpul, data akan
di kelola dengan perangkat lunak dikomputer.
a. Editing
Editing merupakan kegiatan pengecekan isi kuesioner apakah
kuesioner sudah di isi dengan lengkap, jelas dari responden, relevan
jawaban dengan pertanyaan dan konsisten.
b. coding
30

coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi


data dan berbentuk angka atau bilangan. Pemberian kode bertujuan
untuk mempermudah data entry data.
c. Scoring
Pemberian skor atau nilai pada setiap jawaban yang di berikan oleh
responden.
d. Tabulasi
Tabulasi dimaksud untuk memasukan data kedalam tabel-tabel dan
mengatur angka-angka sehingga dapat di hitung jumlah kasus
berbagai kategori.
e. Entry
Memasukan data yang diperoleh kedalam perangkat komputer.

H. Tahap analisis data


a. Analisis univariat
Analasis ini digunakan untuk mendeskprisikan masing-masing
variabel bebas maupun varibael terikat. Data hasil penelitian
dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik, maupun narasi.
b. Analisis bivariat
Analisis ini digunakan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan yaitu antara variabel bebas maupun variabel terikat.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menderita penyakit diabetes
melitus tipe 2 dalam menjalani penggunaan obat. Untuk pembuktian
kebenarannya dilakukan dengan menggunakan uji statistik chi square.
I. Izin Penelitian
Izin penelitian ini untuk melakukan peneltian ini antara lain:
1. Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Lampung.
2. Izin penelitian laik etik dari Universitas Malahayati.
3. UPT Puskesmas Sukarame Kota Bandar Lampung.

J. Etika Penelitian
31

Etika penelitian mempunyai tujuan untuk melindungi hak dan


kewajiban responden maupun peneliti. Penelian akan menjamin
kerahasiaan data responden pada saat pengumpulan data dan pada hasil
penelitian. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus
perizinan dari etik Universitas Malahayati, KESBANGPOL dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, setelah itu menghubungi kepala Puskesmas
Krui untuk memperoleh izin pengambilan data penelitian, melalui surat
tembusan Dinas Kabupaten/Kota, setelah itu menghubungi Puskesmas
Sukarame untuk memperoleh izin pengambilan data penelitian dan
menjelaskan tujuan penelitian.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
32

A. Profil UPT Puskesmas krui


Penelitian ini berlokasi di wilayah kerja UPT Puskesmas Krui
Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir Barat yang terletak di Jalan
Fatmawati Lintas Bandara Kecamatan Pesisir Kabupaten Pesisir Barat.
UPT Puskesmas Krui di bangun pada Tahun 2018 di atas tanah seluas
6000m yang membawahi 8 desa, UPT Puskesmas Krui juga melayani
rawat Inap Dan Rawat Jalan. Melalui anggaran DAK (Dana Alokasi
Khusus) fisik bidang kesehatan tahun 2018, UPT Puskesmas Krui pada
hari Selasa 25 Juni Tahun 2019. UPT Puskesmas Krui memiliki 101
pegawai dengan perincian 48 orang pegawai negeri sipil dan 44 orang
pegawai honor daerah dan 9 orang tenaga kerja sukarela. Tenaga
kesehatan di Puskesmas Krui meliputi 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 13
perawat, 11 bidan, tenaga gizi 2 orang, apoteker 1 orang, kepala puskes 1
orang, sisa nya tenaga lainnya.

1. Visi
Berdasarkan analisis Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Barat,
maka rumusan visi UPT Puskesmas Krui adalah : “Prima Dalam
Pelayanan Demi Terwujudnya Masyarakat Sehat Dan Mandiri”

2. Misi
Adapun misi UPT Puskesmas Krui dirumuskan dalam 3 (tiga)
penjabaran, sebagai berikut :

a. Menyelenggarakan upaya kesehatan meliputi kegiatan promotif,


preventif, kuratif, rehabilitatif serta berkesinambungan
b. Menyelenggarakan upaya pelayanankesehatan secara professional
dan bertanggung jawab sesuai standar mutu
c. Memberdayakan masyarakat dibidang kesehatan dagar
terwujudnya masyarakat mandiri
3. Tujuan
Tujuan Puskesmas Krui Kecamatan Pesisir Barat Kabupaten pesisir
Barat adalah sebagai berikut :
33

a. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat melalui


penyelenggaraan Usaha Kesehatan Perorangan (UKP) dan Usaha
Kesehatan Masyarakat (UKM) yang berkualitas dan terjangkau
yang dikelola secara strategis.
b. Tersedianya sumber daya manusia yang berkompeten di bidang
kompetensinya.
c. Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan.

B. Sumber Daya Manusia di Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Krui


Sumber daya manusia atau tenaga kesehatan menurut UU Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2014 adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Tabel 4.1 Sumber Daya Manusia di Unit Pelaksana Teknis


Puskesmas Krui
Puskesmas krui
Jumlah SDM saat ini
PNS/ PTT Honor/K TKS NS Total
No Jenis sdm
Pegawai ontrak
Tetap
1 Dokter atau dokter 3 3
layanan primer
2 Dokter gigi 0
3 Perawat 13 11 6 30
4 Bidan 11 28 4 43
5 Tenaga kesmas 1 3 4
6 Tenaga kesehatan 1 1 2
lingkungan
7 Ahli Teknologi 2 2
Laboratorium Medik
8 Tenaga Gizi 2 2
9 Tenaga Kefarmasian 2 1 3
10 Tenaga administrasi 0
11 Pekarya 0
12 Perawat pustu 0
13 Bidan desa 3 3
34

14 Bidan pustu 0
15 Terapis gigi dan mulut 1 1 2
16 Asisten tenaga 0
kesehatan
17 Tenaga non kesehatan 1 7 3 11
18 Kepala puskesmas 1 1
19 Kepala TU 1 1
TOTAL 42 52 13 107
Sumber data : Pusdatin Tata Usaha UPT Puskemas krui

C. Analisa univariat
1. Karakatristik responden

Penelitian ini di lakukan di UPT Puskemas Krui dengan data


karakteristik responden yang terdiri dari jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan) usia berkisar anatara (26-65) yang di kategori menjadi 4
tingkatan pendidikan ( SD-SMP-SMA-Sarjana) pekerjaan (tidak bekerja,
petani, nelayan, pns, lain-lain) lama menderita (<10 >10) jumlah
keseluruhan responden adalah 62 responden. yang sudah sesuai dengan
inklusi.

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis kelamin merupakan pensifat atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang di tentukan secara biologis berikut distribusi karateristik
responden berdasarkan jenis kelamin dapat di lihat pada berikut:
Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Karakteristik Jumlah Frekuensi
Jenis Kelamin Laki-laki 31 50%
  Perempuan 31 50%
35

Kararakterisitik Jenis Kelamin

LAKI-LAKI
PEREMPUAN
PEREMPUAN LAKI-LAKI
50% 50%

Gambar 4.1 Karakteristik Jenis Kelamin

Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jumlah perempuan yang


menderita diabetes sama dengan laki-laki dengan jumlah responden
perempuan sebanyak 50% dan responden laki-laki sebanyak 50%. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Betteng R yang
menunjukkan dari total 68% pasien DM paling banyak menderita
adalah perempuan sebanyak 53 pasien (78%) (28). Perempuan lebih
berisiko mengalami diabetes karena perempuan mempunyai
premenstrual syndrome pasca menopause yang membuat distribusi
lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat peroses hormonal
sehingga wanita biasanya berisiko lebih tinggi mengalami diabetes
dibanding pria (24).

b. Karakteristik responden berdasarkan usia


Usia adalah umur yang di hitung sejak dia lahir sampai saat ini
distribusi menurut usia responden yang di temukan di UPT Puskemas
Krui dapat di lihat Pada berikut :

Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan usia


Karakteristik Jumlah Frekuensi
usia 26-45 1 2%
  46-65 61 98%
36

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia


26-45 tahun
2%

26-45 tahun
45-65 tahun

45-65 tahun
98%

Gambar 4.2. Karakateristik usia

Bertambahnya usia seseorang akan semakin banyak permasalahan


yang dialaminya terutama terkait kondisi kesehatannya. Hal ini
disebabkan terjadinya kemunduran fungsi seluruh tubuh secara
progresif. Data yang didapatkan dari tabel 4.3 menunjukkan paling
banyak penderita diabetes melitus berusia 45 tahun keatas yang
berjumlah 61%. Pada usia lebih dari 40 tahun adalah usia yang berisiko
terkena DM dikarenakan adanya intoleransi glukosa dan proses penuaan
yang menyebabkan kurangnya sel beta pankreas dalam memproduksi
insulin. Karena makin banyak penyakit yang diderita serta proses
menua menyebabkan kemampuan berbagai organ makin menurun (24).

c. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan


Tingkat pendidikan karakteristik responden yang ada di UPT
Puskesmas Krui di bagi dalam 4 bagian dapat di lihat dalam :
Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Karakteristik   Jumlah Frekuensi


pendidikan terakhir SD 31 50%
  SMP 9 15%
  SMA 17 27%
  SARJANA 5 8%
37

Karakteristik Berdasarkan Tingkat


Pendidikan
SARJANA
8%
SD
SMP
SMA
SMA
27% SARJANA
SD
50%

SMP
15%

Gambar 4.3 Karakteristik Responden tingkat pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden yang banyak


terlibat dalam penelitian ini adalah responden yang pendidikan
terakhirnya SD sebanyak 31 (50%) responden, SMP 9 (15%)
responden, SMA 17 (27%), SARJANA 5 (8%) responden. Dengan
demikian karakteristik responden pendidikan yang terlibat dalam
penelitian ini masih tergolong memiliki tingkat pendidikan yang
rendah. Menurut teori Lawrence Green (1980) menyatakan bahwa
perilaku patuh dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisi, salah
satunya pendidikan. Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses
pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
tertentu sehingga sasaran pendidikan adalah dapat mempengaruhi
tingkat kepatuhan. Responden yang berpendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
responden yang tingkat pendidikanya rendah. Pendidikan dapat
mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan seseorang dalam
menerapkan perilaku hidup sehat, terutama mencegah penyakit diabetes
melitus. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi
38

pula kemampuan seseorang dalam menjaga pola hidupnya agar tetap


sehat (25).

d. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan


Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitias yang di lakukan
oleh manusia dalam karakterisitis responden berdasarkan pekerjan
yang ada di UPT Puskesmas Krui dapat di lihat dalam :

Tabel 4.5 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Karakteristik   Jumlah Frekuensi


pekerjaan tidak bekerja 21 34%
  petani 9 14%
  nelayan 14 23%
  PNS 13 21%
  lain lain 5 8%

Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan


lain lain
8%
tidak bekerja tidak bekerja
PNS 34%
21% petani
nelayan
PNS
lain lain

nelayan petani
23% 15%

Gambar 4.4 karateristik pekerjaan

Berdasarkan status pekerjaan karakteristik responden yang banyak


dalam penelitian ini adalah responden sebagai tidak bekerja, petani dan
nelayan sebanyak 21 (34%), 9 (14%), dan 14 (23%). Yang bekerja
sebagai PNS dan lain-lain sebanyak 13 (21%) dan 5 (%). Berdasarkan
penelitian ini bahwa penderita diabetes melitus lebih tinggi pada orang
yang tidak bekerja, karena pada setiap orang yang memiliki jam kerja
tinggi dengan jadwal yang tidak teratur. penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Anisa yang menyatakan bahwa
39

penderita diabetes mayoritas beraktivitas di rumah sebagai ibu rumah


tangga dan aktivitasnya yang kurang sehingga bisa menyebabkan
obesitas dan merupakan salah satu faktor pemicu diabetes.

e. Karakteristik responden berdasarkan lama menderita


Lama menderita dalam penelitian ini adalah dia mana responden
yang menderita diabetes melitus tipe 2 di hitung sejak dia terkena
sampai saat ini dapat di lihat dalam :

Tabel 4.6 Karakteristik responden berdasarkan lama menderita

Karakteristik   Jumlah Frekuensi


lama menderita <10 tahun 60 97%
diabetes melitus >10 tahun 2 3%

karakteristik responden berdasarkan lama menderita


>10
3%

<10
>10

<10
97%

Gambar 4.5 karakteristik lama menderita

Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa responden yang telah


menderita diabetes melitus tipe 2 ≤10 tahun sebanyak 60 responden
(97%) dan responden yang telah menderita diabetes melitus >10 tahun
sebanyak 2 responden (3%) berarti semakin lama menderita diabetes
melitus maka semakin tinggi terjadinya neuropati perifer diabetik.
Berdasarkan literatur, umumnya tingkat kepatuhan terhadap pengobatan
akan lebih tinggi pada pasien yang baru didiagnosis dan akan menurun
setelah 6 bulan pertama program terapi (26).
40

D. Tingkat Kepatuhan Responden Diabates Melitus tipe 2 di UPT


Puskesmas Krui Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir
Variabel terikat pada penelitian ini adalah tingkat kepatuhan dalam
menjalani pengobatan yang diukur dengan menggunakan metode MMAS
(Morisky Medication Adherence Scale) dengan 8 pertanyaan dan penilaian
akhir menjadi 2 kategori dengan ketentuan kepatuhan rendah (skor <6) dan
kepatuhan tinggi (skor >6). Distribusi tingkat kepatuhan dalam melakukan
pengobatan pada penderita diabetes di UPT Puskesmas Krui dengan
menggunakan metode MMAS-8 (Modified Morisky Adherence Scale) dapat
dilihat pada diagram lingkaran 4.6 sebagai berikut:

Tingkat Kepatuhan
patuh tidak patuh

23%

77%

Gambar 4.6 Tingkat Kepatuhan Responden

Kepatuhan mengacu pada tindakan pasien untuk mengkonsumsi obat


sesuai aturan pakai yang diberikan. Dari hasil pengisian kuesioner MMAS-8
terhadap 62 responden diketahui 14 (23%) responden patuh dan sebanyak 48
(77%) responden tidak patuh dalam mengkonsumsi obat diabates melitus.
Ditampilkan dalam gambar tabel 4.7.
Tabel 4.7 Gambaran Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes melitus
tipe 2 di UPT Puskesmas Krui
41

Jawaban Pasien
Pertanyaan (frekuensi)
Frekuens Frekuensi
i (Ya) (Tidak)
1. Pernahkah Anda lupa minum obat ? 40 (65%) 22 (35%)
2. Selain lupa, mungkin Anda tidak minum
obat karena alasan lain. Dalam 2 minggu
terakhir, apakah Anda pernah tidak minum 34 (55%) 28 (45%)
obat?
3. Pernahkah Anda mengurangi atau
berhenti minum obat tanpa sepengetahuan
dokter karena Anda merasa obat yang 32 (52%) 30 (48%)
diberikan membuat keadaan anda menjadi
lebih buruk?
4. Pernahkah Anda lupa membawa obat ketika
berpergian? 44 (71%) 18 (29%)
5. Apakah kemarin anda meminum obat
Anda? 29 (47%) 33 (53%)
6. Apakah Anda berhenti minum obat ketika
Anda sudah merasa baikan? 39 (63%) 23 (37%)

7. Meminum obat setiap hari merupakan


sesuatu ketidaknyamanan untuk beberapa
orang. Apakah Anda merasa terganggu 20 (32%) 42 (68%)
harus minum obat setiap hari?
8. Berapa sering Anda lupa minum obat?
a. Tidak Pernah
b. Sesekali
c. Kadang-Kadang 38 (61%) 24 (39%)
d. Biasanya
e. Selalu

Berdasarkan tabel 4.3 Ketidakpatuhan pasien yang disebabkan karena lupa


meminum obat mencatat presentase sebesar 65%. sedangkan ketidakpatuhan
dikarenakan pasien tidak minum obat pada suatu hari dalam 2 minggu
terakhir adalah 55%. Untuk pasien yang sengaja mengurangi atau
menghentikan penggunaan obat tanpa memberi tahu dokter karena merasa
kondisi tubuh menjadi lebih buruk atau tidak nyaman mencatat presentase
sebesar 52%. alasan responden tidak patuh minum obat yang paling sering
terjadi yaitu lupa membawa obat ketika berpergian dengan presentase 71%.
Untuk pasien yang kemarin meminum obat sebanyak 53%. Ketidak patuhan
berhenti minum obat ketika merasa baikan dengan persentase 63%. Untuk
42

pasien yang mearasa terganggu harus minum obat setiap hari dengan
persentase 68%.
Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan alasan responden tidak patuh minum
obat yang didapatkan dari jawaban responden menjawab kuesioner MMAS-8
hal tersebut diantaranya pasien yang sengaja tidak minum obat karena merasa
sudah baikan, pasien mengungkapkan lupa minum obat karena alasan
aktivitas, dan pasien tidak mengetahui obat diabetes melitus harus diminum
rutin hal ini karena kurangnya dukungan atau motivasi dari keluarganya.

Kepatuhan dalam pengobatan diabetes melitus merupakan hal yang


penting dikarenakan diabetes melitus merupakan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan tetapi harus selalu dikontrol sehingga tidak terjadi komplikasi
tung, stroke, serangan jantung yang berujung pada kematian. Kepatuhan yang
rendah termasuk dalam faktor penghambat kontrol terapi yang baik.
Kepatuhan pasien sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi yang
dijalani. Sehingga kepatuhan sangat berperan penting untuk tercapainya
keberhasilan terapi (25).

E. Faktor sosiodemografi Kepatuhan Konsumsi Diabetes Melitus tipe 2


Pada penelitian ini dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh
beberapa variabel karakteristik terhadap tingkat kepatuhan. Uji stastistik yang
digunakan adalaha uji Chi-square. Hasil wawancara berdasarkan kuesioner
MMAS-8 diperoleh data dari hasil uji statistik.

1. Hubungan faktor sosiodemografi jenis kelamin terhadap tingkat


kepatuhan.
Berikut merupakan hasil dari uji chis square sosiodemografi jenis
kelamin terhadap kepatuhan di UPT Puskemas Krui yang di bagi dalam
2 tingkat kepatuhan yaitu tinggi dan rendah.
Tabel 4.8 Hubungan faktor sosiodemografi jenis kelamin terhadap
tingkat kepatuhan.
Faktor Sosiodemografi Tingkat Kepatuhan PValue
    Tidak Patuh  
43

Patuh
Jenis
Kelamin Laki-Laki 9 22 0,362
Perempua
  n 5 26  

Responden berjenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan


sebagian besar memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Hasil uji Chi-
square didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara
jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan minum obat (p=0,362). Pria
cenderung tidak patuh karena kegiatan di usia produktifnya karena
adanya penurunan memori, dan atau penyakit degenerative lainnya.
Untuk hasil perempuan diperoleh bahwa kebanyakan responden
sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja sehingga mereka banyak
meluangkan waktu di rumah untuk berisistirahat sehingga mereka
memliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi (27).

2. Hubungan faktor sosiodemografi usia responden terhadap tingkat


kepatuhan.
Berikut merupakan hasil dari uji chis square sosiodemografi usia
responden terhadap kepatuhan di UPT Puskemas Krui yang di bagi
dalam 2 tingkat kepatuhan yaitu tinggi dan rendah.

Tabel 4.9 Hubungan faktor sosiodemografi usia terhadap tingkat


kepatuhan
Faktor
Sosiodemografi Tingkat Kepatuhan P Value

    Patuh Tidak Patuh  


usia 26-45 0 1 1,000
  46-65 12 47  
44

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa semua pengelompokkan


usia sebagian besar responden memiliki tingkat kepatuhan yang masih
rendah. Hasil uji chi-square didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh
antara usia dengan tingkat kepatuhan minum obat (p=1,000). Teori
mengatakan bahwa usia >45 tahun memiliki peningkatan resiko
terhadap terjadinya penyakit DM dan intoleransi glukosa yang
disebabkan oleh terjadinya faktor degenerative yaitu berkurangnya
fungsi tubuh terutama kemampuan dari sel beta yang memproduksi
insulin untuk metabolism glukosa. Tetapi hasil statistik menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan
tingkat kepatuhan minum obat. Hal ini bisa disebabkan pasien dengan
usia produktif (usia setengah baya dan usia muda di bawah 40 Tahun)
memiliki prioritas lain dalam kehidupan sehari–hari mereka, seperti
pekerjaan dan komitmen lainnya yang menyebabkan pasien dengan
kelompok usia produktif ini mungkin tidak dapat mengonsumsi obat
yang telah diberikan atau tidak dapat menghadiri kontrol rutin ke klinik
(28).
3. Hubungan faktor sosiodemografi tingkat pendidikan terhadap
tingkat kepatuhan.
Berikut merupakan hasil dari uji chis square sosiodemografi tingkat
pendidikan responden terhadap kepatuhan di UPT Puskemas Krui yang
di bagi dalam 2 tingkat kepatuhan yaitu tinggi dan rendah.

Tabel 4.10 Hubungan faktor sosiodemografi tingkat pendidikan


terhadap tingkat kepatuhan.
Faktor Sosiodemografi Tingkat Kepatuhan P Value

    Patuh Tidak Patuh  


renda
tingkat pendidikan h 3 37 0,000
terkahir tinggi 11 11  
45

Selanjutya responden baik yang pendidikan rendah maupun


berpendidikan tinggi sebagian besar memiliki tingkat kepatuhan minum
obat masih rendah. Hasil uji Chi-square didapatkan bahwa terdapat
pengaruh yang bermakna antara status pendidikan dengan tingkat
kepatuhan minum obat (p=0,000). Pendidikan memiliki hubungan
dengan tingkat kepatuhan minum obat. Pendidikan formal sangat
penting bagi seseorang sebagai bekal mengenai dasar-dasar
pengetahuan, teori dan logika, dan pengetahuan umum. Pendidikan
yang tinggi dapat mempengaruhi daya intelektual seseorang dalam
memutuskan suatu hal, termasuk dalam keputusan untuk mematuhi
minum obat. Terapi pasien diabetes merupakan terapi yang
membutuhkan kesabaran dan ketelatenan maka penderita dituntut untuk
memiliki daya intelektual yang lebih kompleks untuk dapat memahami
terapi obat yang diberikan dan mematuhi pengobatan agar mendapatkan
gula darah yang terkontrol (29).
4. Hubungan faktor sosiodemografi pekerjaan terhadap tingkat
kepatuhan.
Berikut merupakan hasil dari uji chis square sosiodemografi
pekerjaan responden terhadap kepatuhan di UPT Puskemas Krui yang
di bagi dalam 2 tingkat kepatuhan yaitu tinggi dan rendah.
Tabel 4.11 Hubungan faktor sosiodemografi pekerjaan terhadap
tingkat kepatuhan.

Faktor Sosiodemografi Tingkat Kepatuhan P Value

    Patuh Tidak Patuh  


pekerjaan Non PNS 3 41 0,000
  PNS 11 7  

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4.11 didaptkan bahwa


faktor pekerjaan mempunyai nilai yang signifikan (p=0,000) ini
menunjukkan bahwa korelasi antara pekerjaan terhadap kepatuhan
minum obat memiliki hubungan yang bermakna (p<0,005). Hal ini
dikarenakan dengan adanya jadwal kerja yang terlalu padat terutama
46

pada pasien yang bekerja, membuat pengambilan obat atau control


terapi pengobatan terlupakan, sehingga menyebabkan jadwal minum
obat obat yang tidak sesuai dengan aturan dokter (30).

5. Hubungan faktor sosiodemografi lama menderita terhadap tingkat


kepatuhan.
Berikut merupakan hasil dari uji chis square sosiodemografi lama
menderita terhadap kepatuhan di UPT Puskemas Krui yang di bagi
dalam 2 tingkat kepatuhan yaitu tinggi dan rendah.
Tabel 4.12 Hubungan faktor sosiodemografi lama menderita terhadap tingkat
kepatuhan

Faktor Sosiodemografi Tingkat Kepatuhan P Value


    Patuh Tidak Patuh  
lama menderita <10 13 47 0,934
  >10 1 1  

Baik responden yang menderita DM kurang dari 10 tahun maupun


lebih dari 10 Tahun sebagian besar masih memiliki tingkat kepatuhan
minum obat yang rendah. Hasil uji Chi-square didapatkan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang bermakna antara lama menderita dengan tingkat
kepatuhan minum obat (p=0,934). Semakin lama durasi penyakit,
semakin banyak frekuensi obat, dan semakin kompleks regimen
obatnya, maka semakin buruk juga tingkat kepatuhan minum obat
seseorang. Pasien DM biasanya diikuti dengan penyakit penyerta, hal
ini secara tidak langsung akan memengaruhi jumlah obat yang di
konsumsi sehingga pengobatan menjadi lebih kompleks. 19 Pasien
dengan penyakit kronis lebih patuh dengan pemberian rejimen obat
sekali sehari dibandingkan dengan rejimen obat yang lebih kompleks.
Secara umum apabila regimen pengobatan pasien semakin kompleks
maka semakin kecil kemungkinan pasien untuk mematuhi minum obat
(31).
47

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada penelitian lain yang


dilakukan oleh Wahjoe Harijanto yang menilai kepatuhan minum obat
dengan metode Konseling Motivational Interviewing menyatakan
bahwa sampel yang ia gunakan dibagi menjadi 2 kelompok yang
pertama kelompok uji dengan pemberian konseling dan kelompok
kontrol dengan pemberian leaflet, dimana pada penilitian ini kepatuhan
yang dinilai dengan metode MMAS-8 terdapat perbedaan yang
signifikan anatara dua kelompok ini dimana kelompok konseling lebih
menurunkan tekanan darah dibanding dengan kelompok yang diberikan
leaflet. Tetapi konseling motivational interviewing menghasilkan
kepatuhan yang lebih rendah pada pengamatan yang panjang (>1
Tahun) dibandingkan yang lebih singkat (<1 Tahun) untuk mencegah
penurunan kepatuhan perlu adanya pengulangan pemberian konseling.
Hal ini bisa dilakukan karena penderita diabetes biasanya kontrol pada
sarana kesehatan yang sama sehingga pemberi layanan atau dokter bisa
mengulang pemberian konseling (32).

F. Menjawab Hipotesis Penelitian


Kepatuhan merupakan perilaku dalam hal pengobatan. Dalam
penelitian ini terdapat hubungan karakteristik responden terhadap tingkat
kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 itu sendiri.
Melihat karakteristik terhadap kepatuhan penggunaan obat peneliti
menggunakan analisis regresi linier sederhana pada program SPSS.
Regresi linier sederhana adalah regresi yang memiliki satu variabel
dependen dan satu variabel independent. Model linier sederhana sebagai
berikut.
Y=a+Bx
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ terdapat hubungan
karakteristik responden terhadap tingkat kepatuhan penggunaan obat pada
pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT Puskesmas Krui Kecamatan Pesisir
Tengah Kabupaten Pesisir Barat” oleh karna itu untuk menjawab hipotesis
di atas adalah:
48

Ho : Tidak ada hubungan karakteristik responden terhadap tingkat


kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT
Puskesmas Krui Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir Barat.
Ha : Terdapat hubungan karakteristik responden terhadap tingkat
kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 di UPT
Puskesmas Krui Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir Barat.

Pengambilan Keputusan :
1. Jika Signifikasi > 0,05 maka Ho di terima dan Ha di tolak
2. Jika Signifikasi < 0,05 maka Ha di terima dan Ho di tolak

Hasil analisis regresi linier sederhana dapat di lihat pada tabel 4.13

Tabel 4.13 Hasil analisis regresi linier

Hasill

Model Sig

1 (Constant) ,939 ,008

usia ,022 ,949

jenis_kelamin ,061 ,483

tingkat_pendidikan -,217 ,049

pekerjaan -,427 ,000

lama_menderita -,491 ,047

Dari tabel di atas nilai signifikasi sebesar ,008, sedangkan nilai variabel
usia ,949, jenis kelamin ,483, tingkat pendidikan ,049, pekerjaan ,000,
lama menderita ,047.

Nilai besarnya pengaruh variabel demografi terhadap variabel


kepatuhan dapat di lihat pada tabel 4.14. dimana besar korelasi antar
hubungan (R) sebesar ,655 dan di dapat nilai R square ,430 yang
49

mengandung arti bahwa pengaruh variabel bebas (demografi) terhadap


variabel terikat kepatuhan adalah sebesar 0,430 X 100 % = 43 %.

Tabel 4.14 Besar Pengaruh Variabel

Mo
del R R Square

1 ,655a ,430

Dari hasil analisis di atas menyatakan bahwa tingkat demografi


mempengaruhi kepatuhandan besarnya pengaruh adalah 43% dan 57%
lainnya dapat di pengaruhi oleh faktor lain yang tidak di teliti oleh peneliti.

BAB V
50

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang tekah dilakukan, di dapatkan gambaran


kejadian tingkat kepatuhan pasien penggunaan obat pada pasien diabetes
melitus tipe 2 di UPT Puskesmas Krui.

1. Jumlah responden laki-laki sebanyak 50% dan perempuan


sebanyak 50%. responden lebih banyak yang berusia 46 tahun ke
atas sebanyak 98%. Pendidikan terakhir responden SD orang 50%,
dan lama menderita penyakit DM tipe 2 kurang dari <10 sebesar
97%,
2. Tingkat ketidakpatuhan lebih tinggi di banding yang patuh minum
obat yaitu 77% dan 23% lainya patuh.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kapatuhan penderita
diabetes melitus tipe 2 dalam menjalani pengobatan di UPT
Puskemas Krui Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir Barat
di dapatkan hubungan hubungan yang tidak signifikan pada
variabel jenis kelamin, pendidikan, usia dan lama menderita, p
value 0,362, 1,000, 0,934 dan di dapatkan hubungan yang
signifikan antara pendidikan terkahir dan pekerjaan dengan nilai p
value 0,000.

B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah Bagi masyarakat Bagi penederita
diabetes melitus tipe 2 agar teratus melakukan kontrol gula darah sesuai
dengan anjuran dokter sehingga dapat menimalisir komplikasi yang dapat
terjadi. Di harapkan penderita diabetes melitus tipe 2 untuk menjalankan
pola hidup yang sehat seperti mengikuti diet sehat dan mengonsumsi
karbohodidrat, olahraga, serat dan lemak baik untuk menghindari lonjakan
kadar gula darah. Bagi Tenaga kesehatan di harapkan memberikan
informasi dan motivasi kepada responden atau pasien tentang pentingnya
patuh dan taat dalam mengkonsumsi obat DM. Memberikan informasi
51

kesehatan kepada penderita diabetes di Unit Pelaksana Teknis Puskesmas


Krui dan informasi kesehatan tersebut sebaiknya tidak di berikan kepada
penderita diabetes melitus saja, tetapi juga kepada pihak keluarga untuk
memberikan dorangan dan motivasi. Bagi peneliti selanjutnya Perlu
adanya penambahan variabel lain yang berhubungan dengan kepatuhan
melalukan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
52

1. Pusat Data dan Informasi Kementerian kesehatan RI.Situasi dan analisis


Diabetes.Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan RI.; 2014.
2. World Health Organization (WHO).Global Report on Diabetes.Geneva:
World Health Organization, 2016.
3. Federation.International Diabetes Federation.Standart of medical care in
diabetes. Vancouver: Annual Report, 2015.
4. Riset Kesehatan Dasar. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI, 2018.
5. Dinas Kesehatan, profil kesehatan provinsi lampung. Diabetes, Lampung :
Pemerintah Provinsi Lampung Dinas Kesehatan,2018
6. Nurul Mutmainah. Hubungan Antara Kepatuhan Penggunaan Obat Dan
Keberhasilan Terapi Pada Pasien Diabetes Melitus Instalasi Rawat Jalan di
RS X Surakarta.
7. Info POM . Fakt Keberhasilan Terapi. Jakarta : Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia, 7,2015.
8. Pratita, N.D. Hubungan Dukungan Pasangan dan Health Locus of Control
dengan Kepatuhan dalam Menjalani Proses Pengobatan Pada Penderita
Diabetes Mellitus Tipe 2. Universitas Surabaya.: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa, 2012.
9. Osterberg L BT. Adherence to Medication.New England : Journal of
Medicine, 353(5), 487–497, 2010.
10. Asti, T. I. Kepatuhan Pasien Faktor Penting Keberhasilan Terapi. Info
POM : Badan POM RI.5:1–12, 2012.
11. Achmad Rudijanto, Agus Yuwono, Alwi Shahab et all.Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia. 6–26 p, 2015
12. Prof. Dr. Elin Yulinah Sukandar. Iso Farmakoterapi. Gangguan Endrokrin
Diabetes Melitus. Jakarta : Penerbit Isfi. 26 p, 2013.
13. Ramadan M. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diabetes Melitus
di RSUP Dr Wahidin Sudirhusodo. Makassar : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanudin.395–410p, 2011.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman Pelayanan
Kefarmasian Pada Diabetes Melitus. Jakarta : Kementrian kesehatan
Republik Indonesia, 2019.

15. Ditjen Bina Farmasi A. Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes.


Jakarta :Departemen Kesehatan RI, 2005.
53

16. World Health Organization (WHO).Adherence To Long-Term Therapies.


Switzerland :Library Cataloguing. hal40-49, 2013.
17. Febrina R. Hubungan kepatuhan Diit Dengan Kadar Gula Darah sewaktu
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rawat Inap RSUD Sukoharjo .
Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta. pp: 1-2, 2014.
18. Puspita E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penderita
Hipertensi Dalam Menjalani Pengobatan.Semarang : Universitas Negeri
Semarang, 2016.
19. Bellawati R, Suprihatin S, Rs S, Kediri B. Kepatuhan Kontrol dengan
Tingkat Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Baptis
Kediri.Kediri : jurnal Stikes.5(2):213–22, 2012.
20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.hlm 5, 2016.
21. Menteri Kesehatan. Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Puskesmas.Jakarta: Menteri Kesehatan RI, 2014.

22. Depkes RI. Klasifikasi Umur Menurut Kategori. Jakarta: Ditjen Yankes,
2009.
23. M. Siagian and G. Wangge. Validity and reliability of Morisky Medication
Adherence Scale 8 Bahasa version to measure statin adherence among
military pilots. Jakarta: Health Science Jurnal of Indonesia, 2016
24. Citri Monkolomban. Kepatuhan Minum obat pada pasien diabetes melitus
tipe 2 disertai hipertensi dengan menggunakan metode MMAS-8
25. Wirawan Adikusuma, Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes di Puskesmas
Pagesangan Mataram. Mataram: Jurnal Pharmascience, 2015.

26. Saepudin, Kepatuhan Penggunaan Obat pada Pasien diabetes melitus di


Puskesmas. Yogyakarta: Jurnal Farmasi Indonesia, 2013.

27. lafta, Faiq, Compliance of diabetic patiens. Iraq Academic Scientific


Journal.2011
28. Betteng R. Analisis faktor risiko penyebab terjadinya diabetes melitus tipe
2 pada wanita usis produktif di puskesmas wawonasa . jurnal e-Biomedik.
2014

29. Yulia s. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam menjalankan


diet pada penderita diabetes melitus tipe 2 . Semarang. Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. 2015.
30. Ayu Nissa. Studi kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus
54

tipe 2 di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Tjitrowardojo purworejo tahun


2017. Surakarta. 2017
31. Coleman Cl, Limone B. Dosing frequency and medication adherence in
chronic disease. Journal of managed care. 2012
32. wahjoe harijantoe, pengaruh konseling motivational interviewing terhadap
kepatuhan minum obat penderita hipertensi. Mojokerto: Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 2015.

Anda mungkin juga menyukai