Anda di halaman 1dari 39

PENGOLAHAN DATA SEISMIK

 IV.1 Diagram Alir Proses Pengolahan Data Seismik Marine 2D


                                               QC

1
Gambar IV.1 Diagram Alir Pengolahan
Data Seismik Marine 2D
Pada gambar diagram alir di atas merupakan tahapan yang sangat sederhana untuk
melakukan pengolahan data dalam software Geovecteur, yang bertujuan untuk lebih
memahami konsep dasar pengolahan data dengan menggunakan Geovecteur.

IV.2 Flow Program Proses Pengolahan Data Seismik 2D

Terdapat empat langkah utama dalam pengolahan data seismik, yaitu :

1. Geometri
2. Dekonvolusi
3. Stacking
4. Migrasi

Geometri merupakan dasar awal dalam pengolahan data seismik. Dekonvolusi bekerja
sepanjang sumbu waktu, merupakan proses mengembalikan bentuk wavelet sumber dari

2
rekaman trace seismik hingga mendekati wavelet dan karenanya dapat meningkatkan resolusi
temporal. Stacking adalah proses kompresi data seismik dalam sumbu offset dengan
mereduksi data seismik dalam bidang midpoint-time data seismik ke seismic section dengan
zero offset, hasilnya adalah stack section. Akhirnya, migrasi biasanya diaplikasikan pada data
terstack (diasumsikan sebagai section zero offset). Migrasi merupakan proses pemindahan
even/refleksi miring ke posisi subsurface sebenarnya dan menghilangkan efek difraksi
(Ozdogan Y, 1987).

IV.2.1 Reformatting

Input raw data yang dihasilkan pada saat akuisisi data seismik dapat disimpan dalam
pita magnetik dengan karakteristik sesuai kebutuhan. Peningkatan teknologi eksplorasi
geofisika juga mengakibatkan meningkatnya teknologi instrument yang digunakan pada
survey seismik. Jenis-jenis format berdasarkan susunan komponen data, dapat dibagi menjadi
:
1.      Format data multiplex : SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D
2.      Format data demultiplex : SEG-D 80 xx, SEG-Y
Data yang digunakan dalam pengolahan ini adalah data 2D yang sudah dalam bentuk
format SEG-Y, sehingga tidak perlu lagi demultiplex. Tetapi, di dalam software Geovecteur,
format data tersebut harus diubah terlebih dahullu ke dalam format data intern Geovecteur
yang berekstensi .*dat. Hanya saja file .*dat ini hanya bisa dibuka dengan menggunakan
software Geovectuer.
Job reformatting di dalam software Geovecteur dikenal juga dengan job SEGIN
* SEGIN ++ RL4004,SI4,LFI1,LSI1,GAIN0
* LISTE SL == 2,22,17
Keterangan :
         RL = panjang trace dalam ms
         SI = sample interval dalam ms
         LFI = memanggil LIBRI FI
         LSI = memanggil LIBRI SI
         GAIN0 = data tidak dikalikan dengan 2**MP (MP adalah koefisien yang terdapat pada
tape).
         LISTE SL = menyatakan bahwa trace ke 2,22, dan 17 tidak diproses.
Input dari raw data tersebut dimasukkan sebagai input segin dengan perintah LIBRI SI :

3
* LIBRI SI 01 CREW1006406,
P100000,F1,STG2
Keterangan :
         CREW1006406 = nomor crew dan harus ditulis sebelum penulisan parameter. Nomor survey
maksimum 7 digit.
         F1 = File1 untuk format CGG, header yang available adalah header 3.
         STG2 = jika format file yang digunakan berasal dari rekaman sesungguhnya dengan tanpa
“control word”.
Untuk merubah format data SEG-Y menjadi format data CGG dapat digunakan perintah
LIBRI FI:
* LIBRI FI 01 SEGY,FOR3
Keterangan :
         SEGY = format data dalam SEGY
         FOR3 = untuk mengupdate format data dari SEGY menjadi format CGG (3 = IBM 32 bit
floating point )
Sedangkan untuk proses outputnya, digunakan perintah LIBRI BD :
* LIBRI BD 01 (H400999)(RW),STG
Keterangan :
         H400999 = nama file output
         STG = menandakan data ditulis dan dibaca dari disk
         RW = data ditulis di awal

 IV.2.2 Geometri

Geometri merupakan salah satu faktor penting di dalam pengolahan data seismik.
Pada dasarnya, geometri bertujuan untuk mencocokkan antara file number (terdapat di
observer report) dengan file record yang ada pada data seismik yang direkam dalam 1 shot
(dalam pita magnetik atau media penyimpanan yang lain). Satu shot direkam dengan satu file
number sendiri. Data seismik dilengkapi dengan nomor shot dan nomor geophone-geophone
yang mendapatkan source dari nomor shot tersebut. Pada beberapa software pengolahan data,
CDP gather (Common Depth Point gather) dan shot gather termasuk dalam sub proses
geometri, yang pada hakekatnya berusaha menghubungkan besaran-besaran di permukaan
dengan besaran-besaran di bawah permukaan.
Parameter yang digunakan dalam data seimik marine 2D di wilayah X yaitu :

4
Grup Interval = 228 feet = 69.5 m ~ 70 m
SP Interval = 230 feet = 70 m
Near Offset = 468 feet = 142.6 m --> = 2.03 grups

Parameter-parameter tersebut kemudian dimasukkan pada modul geometri dengan jobs


sebagai berikut :

* LIBRI GE 01 XS70.00, XM35.00$


(PS1-PS10000)=(X1)$
(PT450-PT500,I1)=(X1000.03,I1)$
(PT450-PT500,I1)=T24(24-1,I1)$
(PT450-PT500,I1)=(PS976,PAS1)$
* DIAGR GE LGE1,LHB1,GD,PAS30
* LIBRI HB 01 1
2 GEOMETRY LINE-01
8 TRAINEE
* DAGEN RP EA RL100

Keterangan:
         XS = jarak antar receiver adalah 70 meter
         XM = jarak antar CDP adalah 35 meter (1/2 dari grup interval)
         (PS1-PS10000) = (X1)$ berarti shot point terkecil dengan shot point terbesar memiliki
increment sama dengan 1.
         (PT450-PT500,I1) = (X1000.03,I1)$ berarti pada shot point 450 sampai 500 memiliki posisi
stasiun di x=1000.03 dengan increment sebesar 1.
         (PT450-PT500,I1) = T24(24-1,I1)$
         (PT450-PT500,I1) = (PS976,PAS1)$ berarti jarak x terjauh terhadap shot point petama
sebesar 976 meter dan memiliki increment sebesar 1. Untuk penulisan perintah ini tidak dapat
menggunakan angka desimal dan semua perintah LIBRI GE harus diakhiri dengan $.

IV.2.3 Preprocessing

Preprocessing adalah tahapan pengkoreksian awal sebelum data seismik diolah


menuju tahapan selanjutnya. Hal ini dilakukan karena data seismik yang diperoleh dari
lapangan masih memungkinkan adanya trace yang rusak dan noise yang tinggi. Pengerjaan
5
preprocessing akan memberikan dampak pada proses selanjutnya. Tahapan preprocessing
meliputi trace editing dan muting, koreksi statik, filtering dan dekonvolusi. Contoh jobsnya
adalah sebagai berikut :

* LIBRI MU 1 TAP 100,WORD2


( 1-9999)=M 127X 280,M 322X 560,M 693X 770,M 1312X 1890
* LIBRI CN 03 B(06,10,30,40),(W2000-W4000),SI4
* SDICO FW == ++ LVI01,BNMO
* BSORT == 16 SORT=ONE4,TWO20,NT1000000,
PACK32,NTRMEM2500,PROCS=YB16
* DECSC == 07 NCDP2000,NSP1000,NGP2000,NT30000,XRM1400,
NOFS8,TIR24,YB7,
TRITA,LAR160,(W300-W1500,IQ84,F1001),
(W1000-W2000,IQ84,F1001),
(W1500-W3500,IQ84,F1001),
LMU1,NOMUTE,
* FANMO == ++ LVI01,FMAX84,LMU2

* FILTR == EQ LCN3
* DYNQU EQ A4 L250,W0-W1800,L1000
* WUNET A4 FILE=local:/stage8/WALIO/TRAINEE/+
FILE=VELAN999.cst,F2
* PLOTX A4 ECH100,PAS12,AG,G3,LS0,DG,PLOTTER=BW24,
HBCT100,EP500,1000,NOCRD,NT10000,
HISTORY,BTANNOT,LTP1,
TOP,(PREP STACK LINE DITTA)
Keterangan :
         LIBRI MU = digunakan untuk mendefinisikan trace muting.
         LIBRI CN = digunakan untuk mendefinisikan filter. Filter yang digunakan adalah Band Pass
Filter, yaitu amplitudo sama dengan nol untuk frekuensi lebih kecil dari 6 Hz, amplitudo
konstan dan maksimum antara frekuensi 10-30 Hz dengan interval sampling 4 ms.
         INPTR = salah satu format trace input dalam Geocluster.

6
         SDICO FW = digunakan untuk koreksi spherical divergence. BNMO mengindikasikan
bahawa data tidak dikoreksi NMO.
         BSORT = digunakan untuk mensortir data seismik dalam domain CDP gather.
         TRITA = digunakan untuk dekonvolusi.
         DECSC = digunakan untuk dekonvolusi “surface consistent”. NCDP adalah jumlah CDP
maksimum. NSP adalah jumlah shot point. NGP adalah maksimum posisi receiver. NT
adalah jumlah dari input trace. W adalah window, IQ adalah posisi dari tengah operator. Jika
IQ tidak dimasukkan, data yang digunakan berasal dari dasar laut. F1001 adalah faktor batas
dari efisiensi dekonvolusi.
         FANMO = hiperbolik, non hiperbolik atau linear move out.
         FILTR = digunakan untuk memfilter frekuensi yang diinginkan.
         DYNQU = digunakan untuk mengangkat/memperkuat amplitudo yang diinginkan. Dalam
kasus ini amplitudo yang diperkuat yaitu untuk kedalaman 250 sampai 1000 meter dengan
window 0-1800 (ekualisasi trace).
         WUNET = digunakan untuk menyatakan format output (dalam *.cst).
         PLOTX = digunakan untuk memplot hasil keluaran dengan skala vertikal 100 (ECH100),
skala horisontal 12 (PAS12), tipe plot AG, Gain sebesar 3 (G3), No bias (LS0), arah plot DG,
time labelling sebesar 100 (HBCT100).

IV.2.4 Brute Stack

Pada tahapan brute stack bertujuan untuk melihat kualitas penampang seismik yang
telah diproses sebelum dan sesudah proses analisa kecepatan, walaupun pada saat sebelum
adanya analisa kecepatan tersebut. Jobs yang digunakan adalah :

* MUTAN RB == ++ LVI01,ANGMIN0.0,ANGMAX40.0
* MUTES == ++ LMU2

Keterangan :
         MUTAN RB = Proses muting terhadap sudut datang. RB = muting dilakukan dengan metode
ray bending.
         MUTES = Proses muting terhadap trace.

7
IV.2.5 Analisa Kecepatan 1

Penggunaan analisa kecepatan merupakan hal yang penting dalam pengolahan data
seismik, karena dengan analisa kecepatan akan diperoleh nilai kecepatan yang cukup akurat
untuk menentukan kedalaman, ketebalan serta kemiringan dari suatu reflektor. Pada proses
analisa kecepatan, akan dipilih kecepatan yang tepat untuk digunakan pada tahap selanjutnya.
Tujuan dari pemilihan kecepatan tersebut adalah untuk menentukan harga kecepatan yanng
konstan yang akan digunakan untuk NMO, stack, migrasi serta konversi waktu terhadap
kedalaman. Modul yang digunakan adalah modul VESPA :

* VESTA CV EE VV LMU56,XRM1760,LVI1,NM3,NMU7,PAS25,L500,
IMOT4=1,(950-1100,I5,G3),
XSCA10,LU-15,LV15,IL1,B5,VLAW8,
VINC6,A0.5,YMX80,NEX1,LR,
V1400,V1500,V1550,V1600,V1660,V1720,V1790,
V1860,V1940,V2020,V2110,V2200,V2300,V2420,
V2550,V2700,V2880,V3080,V3280,V3500,V3740,
V4000,V4300,V4500,V4900,V5100,V5500,V6000,B5
Keterangan:
VESPA CV = digunakan untuk menyatakan modul dari analisa kecepatan dengan
menghasilkan data velcom untuk kemuian di picking velocity pada data seismik.

IV.2.6 Residual Statik 1

Koreksi statik residual untuk tiap trace adalah selisih waktu antara nol dan nilai
puncak dari korelasi silang (crosscorelation) antara trace dalam sau koreksi kelompok CDP
gather dengan beberapa tetangganya. Contoh jobsnya adalah sebagai berikut :

* SATAN == ++ YMX80,TIR48,NPMR48,NPT550,NRCV600,NT12,
NBF70,COEF16,MAX32,GRD12,
VERS,PAS10,GD,NUL10,
(950-1000)=P-80,80,W500-W2000,
(1001-1050)=P-80,70,W500-W1800,
Keterangan :
SATAN = digunakan untuk melakukan koreksi residual statik.

8
IV.2.7 Analisa Kecepatan 2

Analisa kecepatan kedua digunakan pertimbangan dari hasil yang sudah distack
(Stack kecepatan 1). Stack sendiri dilakukan dengan modul stack. Contoh job yang digunakan
adalah sebagai berikut:
* VESPA VV == VV LVI02,LMU56,LCN01,VINC6,A2.3,GD,PAS10,
XRM1760,YMX80,NM3,NMU7,VLAW8,
L500,INC1,IMOT4=1,(950-1050,I5,G3),B5,
Keterangan :
VESPA VV = digunakan untuk menghasilkan data velcom yang akan digunakan untuk
mempicking velocity pada data seismik, hanya saja pada velocity analysis yang kedua ini
menggunakan hasil velocity analysis yang pertama sebagai referensi.

 IV.2.8 Residual Statik 2

Dari analisa kecepatan 2, dilakukan koreksi statik 2 untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Contoh jobsnya adalah sebagai berikut :

* SATAN == ++ YMX80,TIR48,NPMR48,NPT550,NRCV600,NT12,
NBF70,COEF16,MAX32,GRD12,
VERS,PAS10,GD,NUL10,
(950-1000)=P-80,80,W500-W2000,
(1001-1050)=P-80,70,W500-W1800,

Keterangan :
SATAN = digunakan untuk melakukan koreksi residual statik dengan menggunakan hasil
residual statik yang pertama.
 
IV.2.9 Stack Setelah Residual Statik 2
Sebelum proses migrasi sebagai tahap akhir dari pengolahan data processing pada KP ini, perlu dilakukan job
residual statik 2 karena setelah menentukan kecepatan dan residual statik yang digunakan maka kecepatan statik
ini yang digunakan sebelum proses migrasi, karena pada saat job preprocessing belum dilakukan.
* HISTA == ++ LST01
* STACK == 07 LAND,B7

Keterangan :

9
         HISTA = untuk aplikasi statik.
         STACK = untuk men-stack trace. LAND berarti nilai dari MOD 15 (17 sampai 32 bit)
dituliskan pada MOD 2. B7 berarti terjadi pengulangan post processing sebanyak 7 kali.

IV.2.10 Migrasi

Setelah melakukan stack Residual Statik 2, lalu dilanjutkan dengan proses migrasi
karena proses migrasi biasanya diaplikasikan pada data yang telah terstack. Migrasi yang
dilakukan adalah dengan menggunakan migrasi F-K dan Kirchoff. Modul TIKIM yang
digunakan adalah sebagai berikut :

TIKIM INPUT
* TIKIM IN == MIGFILE=WALIO,NUMJOB1,ID=TRAINEE,REWRITE,
DCDP35,NOALIAS=(FMAX95,DCDP40),
TIKIM PROCESS
* MOD VI LVI02,NUMVI08,
RL4004,SMOOTH=T200L30,T700L40,
T1000L30,T1500L50,T3000L50,
MODIF=T4M100,T2100M90,T5000M80
* TIKIM MI AA MIGFILE=WALIO,NUMJOB1,ID=TRAINEE,
NUMTRA1,IMAGE=(FCDP950,LCDP1020),WORDX4,
REWRITE,BIMG2,DCDP35,
NOALIAS=(FMAX95,DCDP40)
OFFSETS=(D178,ID140,XRM1753),
N0,APERCDP3000,NCOS0,DIPLIM15,LVI8,NPE4,

TIKIM OUTPUT
* TIKIM OU AA MIGFILE=WALIO,NUMJOB1,ID=TRAINEE,
NUMTRA1,IMAGE=(FCDP950,LCDP1020),WORDX4,
REWRITE,BIMG2,DCDP35,
NOALIAS=(FMAX95,DCDP40)
OFFSETS=(D178,ID140,XRM1753),
N0,APERCDP3000,NCOS0,DIPLIM15,LVI8,NPE4,
Keterangan :
         TIKIM IN = untuk input migrasi pre stack time Kirchoff.
         MOD VI = untuk mengedit keecepatan. NUMVI adalah modifikasi kecepatan (dari LVI2 ke
LVI8) setelah di proses. SMOOTH bertujuan untuk menghaluskan kecepatan pada time dan

10
panjang CDP yang diinginkan (misalkan T200L30 berarti pada time 200 dan CDP ke 30
dilakukan smoothing).
         TIKIM MI = untuk proses migrasi pre stack time Kirchoff.
         TIKIM OU = untuk output migrasi pre stack time Kirchoff.

Migrasi F-K bertujuan untuk menampilkan reflektor miring pada posisi yang
sebenarnya, modul yang digunakan adalah FXMIG. Contoh jobsnya adalah sebagai berikut:
* FXMIG == 06 NT500,FMIN10,FMAX90,B6,TAU24,E35,
LVI2,MAG30,MAX5000,IMOT4=1,
Pada modul migrasi Kirchoff, mute yang digunakan untuk stack hasil migrasi diambil dari
stack kedua dengan menggunakan perintah RUNET.

Metode Common Reflection Surface Stack

Kontributor : Galih Candra Kusuma

Dalam dunia seismik processing, dikenal istilah stacking yang bertujuan untuk mendapatkan suatu
penampang seismik atau section sebuah line seismik. Stacking merupakan metode penjumlahan
trace-trace dalam satu gather (biasanya dalam domain CDP) yang sudah terkena koreksi normal
move out. Artinya, perlu dilakukan koreksi NMO sebelum dilakukan proses stacking tersebut.

Koreksi NMO dilakukan untuk menghilangkan efek jarak/offset yang digambarkan dengan pola
hiperbola pada suatu gather menjadi gather yang flat. Dalam proses ini, pemilihan model kecepatan
merupakan hal yang sangat penting dan paling mempengaruhi keberhasilan koreksi NMO.

Penentuan model kecepatan secara konvensional dilakukan dalam proses Analisa Kecepatan. Dalam
proses ini, digunakan beberapa acuan untuk menentukan nilai kecepatan secara tepat berdasarkan
data yang ada. Biasanya acuan tersebut berupa panel-panel yang terdiri dari gather, semblance,
stack, dan juga section.

Keempat panel ini menjadi sangat penting ketika analisa kecepatan dilakukan. Keberhasilan dan
ketepatan model kecepatan yang dihasilkan bergantung pada keempat panel ini. Misalnya saja pada
pemilihan kecepatan tersebut seharusnya mengikuti kemenerusan horizon/reflektor pada data
seismik. Muncul suatu kebingungan dalam menentukan kecepatan dari suatu panel yang memiliki
kasus reflektornya tidak terlihat dengan baik. Kemudian akan timbul pertanyaan bagaimana
memperoleh data model kecepatan yang tepat pada kasus seperti yang dicontohkan tersebut,
sedangkan acuan yang kita gunakan tidak begitu cukup jelas.

Perkembangan penelitian dalam bidang seismik processing telah menemukan suatu metode
unconventional yang diharapkan menjadi solusi untuk menangani problem di atas. Suatu metode
yang tidak membutuhkan model kecepatan secara eksplisit untuk melakukan Stacking agar diperoleh

11
penampang yang optimum. Adalah ilmuwan jerman Jürgen Mann yang telah mengembangkan
metode tersebut yang dikenal dengan CRS-Stack (Common Reflection Surface- Stack).

Perbedaan dengan metode stack konvensional adalah terletak pada penggunaan operator stacking-
nya.

Untuk metode konvensional,

Sedangkan untuk metode CRS,

Sebenarnya operator dalam metode CRS merupakan operator yang identik dengan operator
konvensional hanya saja operator stack merupakan operator yang dihasilkan oleh ekspansi deret
Taylor dari operator stack konvensional. Dari persamaan CRS Stack kita mengetahui bahwa model
kecepatan tidak menjadi faktor penentu, melainkan ada tiga atribut baru yang menjadi penentu
dalam proses stacking. Ketiga atribut tersebut antara lain emergence angle, Wavefront curvatue
RNIP, dan Wavefront curvature RN.

Untuk lebih mudah mengetahui secara fisik dari ketiga atribut tersebut, coba lihat gambar di bawah
ini :

Asumsikan bahwa suatu gelombang berupa wavefront (seperti gelombang air kolam yang timbul
setelah kita melempar batu ke kolam tersebut). Ada 2 jenis gelombang yang ditinjau pada gambar di
atas yaitu

NIP(Normal Incident Point)-wave yaitu gelombang yang datang dari sebuah titik dan N(Normal)-
wave yaitu gelombang yang datang dari suatu permukaan. Keduanya berasal dari subsurface (hasil
refleksi dari sumber getaran). Kemudian Sudut antara sinar ZO dengan bidang normal (α)

12
merupakan sudut yang terbentuk antara ray tracing (garis khayal jarak terdekat yang ditempuh
gelombang sampai ke permukaan). Dalam praktiknya, ketiga atribut ini dicari nilainya menggunakan
pendekatan matematis.

Berikut di bawah ini merupakan hasil dari metode CRS Stack dan juga dari metode konvensional.

Stack dengan Metode CRS

Stack dengan Metode Konvensional

Slant Stack / Transformasi Radon

Slant Stack atau Transformasi Radon adalah teknik penjumlahan tras-tras seismik pada sudut
tertentu yang ditujukan untuk memperjelas kehadiran reflector miring dan ditujukan juga untuk
meningkatkan rasio signal terhadap noise (SNR-Signal to Noise ratio).

13
Terdapat dua tahap didalam melakukan Slant Stack. Pertama, koreksi LMO (Linear Move Out). LMO
adalah proses proyeksi tras-tras pada gerbang CDP (Common Deep Point) atau CMP (Common Mid
Point) dengan sudut tertentu. Sudut yang dimaksud berkorelasi dengan parameter sinar (p) dan
offset (x).

Dengan LMO, kita memperoleh reflektor dengan waktu :

Tahap kedua, setelah LMO dilakukan, tras-tras tersebut dijumlahkan


(stack) sehingga diperoleh Slant Stack.

DMO (Dip Move Out)

Pada kasus lapisan miring, titik tengah M tidak lagi merupakan proyeksi vertikal dari titik hantam D,
sehingga pada kasus lapisan miring, CDP gather tidak ekuivalen dengan CMP gather (lihat kedua
topik tersebut pada blog ini).

Secara sederhana DMO dapat diterjemahkan dengan koreksi NMO pada lapisan miring.
Untuk kasus lapisan miring, Levin (1971), menurunkan persamaan waktu tempuh:

[Persamaan (1)]

Sedangkan untuk kecepatan DMO terlihat pada persamaan (2). Dari persamaan (2) terlihat bahwa
kontrol cosinus dari kemiringan menyebabkan kecepatan DMO harus lebih besar dari kecepatan
medium v (baca: kecepatan gelombang seismik pada batuan), karena cosinus memiliki nilai
maksimum 1.

14
Didalam Aplikasinya, proses DMO tidak serumit yang dibayangkan, prosesnya sama seperti NMO,
lebih-lebih software-software processing sudah semakin interaktif. Gambar dibawah adalah contoh
proses DMO.

Sketsa raypath diatas digambar ulang dari Yilmaz [1989]

engolahan data seismic pada domain τ-p sudah cukup lama digunakan didalam industri migas.
Sebelum memahami konsep dasar transformasi data seismic dalam gerbang CDP (CDP gather) dari
domain t-x (waktu-offset) ke domain τ-p, marilah kita pelajari terlebih dahulu definisi τ dan definisi p.

Hubungan τ dengan waktu (t) dan offset (x) dapat dijelaskan berdasarkan hubungan τ=t-px, p adalah
ray parameter atau slowness atau phase velocity dimana p= sin (θ)/v, θ adalah sudut tembak sinar
seismic untuk offset (x) dan waktu (t) tertentu.

Gambar dibawah ini mengilustrasikan tiga buah sinar seismic (a, b, c) pada offset x1, x2, x3 dengan
sudut θ1, θ2, θ2 dan medium dengan kecepatan v1. Masing-masing sinar akan memiliki ray
parameter p1,p2,p3 dan τ1 ,τ2 , τ3.

Untuk konfigurasi diatas, kita


akan mendapatkan sebuah rekaman seismic seperti yang diilustrasikan pada gambar (kiri) dibawah
ini, demikian juga dengan hasil transformasinya gambar (kanan) [click untuk memperbesar]. Dengan
kalkulasi:

15
p1=sin(θ1)/v1 dan τ1=t1-p1.x1 (trace a)
p2=sin(θ2)/v1 dan τ2=t2-p2.x2 (trace b)
p3=sin(θ3)/v1 dan τ3=t3-p3.x3 (trace c)

Gambar di bawah ini


menunjukkan contoh aplikasi transformasi τ-p untuk data real.

Courtesy UCSD

Referensi
Yilmaz, 1987,Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists
Posted by Agus Abdullah, PhD at 7:14 PM No comments:

Controlled Beam Migration (CBM)

Sebelum mempelajari konsep CBM, marilah kita tengok terlebih dahulu konsep migrasi yang cukup
populer di industri migas, yakni migrasi Kirchhoff.

Konsep migrasi Kirchhoff terlihat paga Gambar (a) dibawah ini, (click untuk memperbesar) dimana
setiap sampel data seismik pada common offset gather dengan domain t-x (waktu-offset) dipetakan
disepanjang ‘isochrone’. Isochrone adalah garis/bidang semu dimana jumlah total waktu tempuh ke
sumber (ts) dan ke penerima (tr) sama dengan waktu tempuh sampel yang dipetakan.

Untuk memperoleh nilai tp dan ts, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan ray-

16
tracing pada model kecepatan tertentu. Proses diatas dilakukan untuk semua sampel waktu pada
setiap trace seismik, kemudian amplitudonya dijumlahkan untuk setiap kedalaman.

Courtesy Vinje et al., Firstbreak,


Sep. 2008

Mirip dengan migrasi Kirchhoff, Konsep CBM dilakukan pada common offset gather akan tetapi pada
domain Tau-P. Transformasi t-x mejadi tau-P, adalah memetakan data pada domain midpoint Xm
menjadi domain ray-parameter Pm.

Pada Gambar (b) di atas, terlihat bahwa konsep CBM adalah dengan melakukan pemetaan kembali
untuk sampel data pada setiap trace pada daerah yang biru (kanan), dimana jumlah total waktunya
sama dengan ts+tr dan jumlah total parameter sinarnya sama dengan Ps+Pr. Pada metoda CBM,
konsep ray-tracing nya dilakukan untuk semua kemungkinan jejak sinar.

Gambar dibawah ini menunjukkah perbandingan hasil migrasi metoda Kirchoff dengan metoda CBM,
menakjubkan?

17
Hasil migrasi Kirchhoff

Courtesy Vinje et al., Firstbreak, Sep. 2008

Hasil migrasi CBM

Courtesy Vinje et al., Firstbreak, Sep. 2008

18
Referensi:
Vinje et al., 2008, Controlled beam migration: a versatile structural imaging tool, first break volume
26, EAGE.

RTM (Reverse Time Migration)

Adalah salah satu metoda migrasi mutakhir yang mampu menangani proses migrasi pada struktur
yang kompleks (iluminasi gelombang yang terbatas, dip yang tinggi >85 derajat, gelombang prisma,
dll.) - yang sebelumnya tidak bisa ditangani oleh metoda migrasi konvensional (Stolt, Wave Equation
Migration -WEM, Kirchhoff, dll.).

Kelebihan RTM tersebut karena metoda ini melakukan solusi persamaan gelombang dalam dua arah
(forward dan reverse):

1. Pemodelan ke depan (forward modelling) dari sumber gelombang, jadi seandainya kita
memiliki sumber gelombang di permukan bumi, maka hasil modelingnya merupakan
downgoing waves.
2. Reverse time modelling dari receiver dengan waktu terbalik (waktu paling akhir terlebih
dahulu).
3. Kros Korelasi (Cross Correlation) dari hasil (1) dan (2).
4. Penjumlahan dari sample-sample yang dihasilkan sehingga diperoleh cube seismic.

Dengan proses (1) dan (2) di atas seolah-olah kita 'menyinari ' objek bawah permukaan dari dua arah
(dari arah atas dan dari arah bawah).

Contoh di bawah ini menunjukkan kelebihan RTM (kanan) dibandingkan dengan WEM (kiri) untuk
mempertajam perangkap stratigrafi akibat intrusi garam.

Untuk kasus di Indonesia, metoda RTM mungkin berguna untuk mempertajam perangkap stratigrafi
dengan dip yang besar atau potensial perangkap dalam di bawah carbonate (?).

Courtesy of Paul Farmer (GX Technology), 2006.

19
Anomalous Amplitude noise Attenuation (AAA)

Adalah teknologi pengolahan data seismik yang merupakan multi step flow (tahapan prosesing
bertingkat). AAA ditujukan untuk mengidentifikasi anomali amplitudo seismik (dalam hal ini
amplitudo noise) seperti spike noise, swell noise, trace yang bernoise, dll.

AAA merupakan filter yang diterapkan pada data didalam domain frekuensi baik dalam CDP, shot
maupun offset gather.

Gambar di atas adalah contoh


aplikasi AAA didalam pengolahan data seismik. (A) adalah CDP gather sebelum, (B) adalah setelah
proses AAA dan (C) adalah perbedaan antara A dan B. Perhatikan noise di dalam lingkaran hitam
yang dapat dihilangkan dengan baik setelah proses AAA.

Teknologi AAA merupakan salah satu portofolio pengolahan data seismik yang dimiliki oleh
Western Geco.

Seismic Reference Datum (SRD)

Adalah level maya yang menunjukkan rekaman seismik berada pada waktu tempuh nol.
Pada data seismik laut, SRD biasanya didefinisikan dengan muka air lautnya itu sendiri (Mean Sea
Level). Pada data seismik darat, SRD adalah level acuan semu pada koreksi statik sehingga trace-
trace seismik mencerminkan kontinuitas reflektor.

Gambar di bawah ini menunjukkan datum atau SRD dalam sebuah koreksi statik. A,B,C adalah trace-
trace seismik yang terekam pada posisi A, B, C sebelum koreksi statik. Sedangkan A’, B’, C’ adalah
trace-trace seismik setelah koreksi statik dengan acuan level datum (SRD) garis putus-putus merah.

20
Pada gambar diatas terlihat bahwa:
A’ memiliki nilai koreksi nol.
B’ adalah B + waktu tempuh b (waktu tempuh b = (kedalaman b / Velocity 1)x2)
C’adalah C- waktu tempuh c (waktu tempuh c = (kedalaman c / Velocity 1)x2)

Saturday, September 20, 2008

True Amplitude Recovery (TAR)

True Amplitude Recovery atau Real Amplitude Recovery adalah upaya untuk memperoleh amplitudo
gelombang seismik yang seharusnya dimiliki. Saat perekaman, variasi amplitudo terjadi akibat
geometrical spreading, atenuasi, variasi jarak sumber-penerima dan noise.

Variasi amplitudo diatas terbagi menjadi empat kategori:

1. Variasi amplitude secara vertikal atau travel-time dependent. Variasi ini terjadi akibat
geometrical spreading dan atenuasi.
2. Variasi lateral yang terjadi akibat: geologi bawah permukaan, efek coupling sumber dan
penerima, serta perbedaan jarak sumber-penerima.
3. Variasi amplitude yang muncul karena noise
4. Bad shots atau perekam yang mati/rusak.

21
Koreksi untuk variasi amplitudo kategori (1) adalah:

Sedangkan koreksi akibat jarak


sumber-penerima (kategori 2) adalah:

Untuk koreksi yang berasosiasi dengan variasi geologi bawah permukaan, efek coupling sumber dan
penerima dapat dilakukan dengan analisis nilai Amplitudo RMS (Root Mean Square) yang disusun
dalam Common Receiver dan Common Source:

22
Koreksi akibat variasi kategori 3
dan 4 dapat dilakukan dengan filtering, serta berbagai metoda eliminasi noise dan kill trace.

Refersensi: Jain, S., 44th Annual International SEG Meeting, Dallas, TX, 1974 and Joint CSEG-CSPG
Convention, Calgary, 1975.

Hockey Stick

Adalah istilah yang populer digunakan dalam industri pengolahan data seismik untuk menjelaskan
fenomena sebuah event seismik yang melengkung menyerupai bentuk stick hockey. Event seismik
tersebut berada dalam gerbang CDP setelah proses NMO.

23
Dalam proses NMO, bentuk
event yang dikehendaki adalah sedatar mungkin (flat), akan tetapi karena efek anisotropi dan
karakter jejak gelombang, bentuk hockey stick adalah bentuk yang lazim diperoleh. Dengan
memahami bentuk hockey stick dalam gerbang CDP, kita dapat mendesain mute yang optimal
sehingga diperoleh final stack yang bagus. Desain mute yang optimal terletak pada titik lengkung
hockey stick tersebut. Jika desain mute terlalu ke arah far offset, maka gelombang frekuensi rendah
akibat stretching akan muncul di dalam stack. Jika desain mute terlalu kearah near offset maka kita
akan kehilangan data.

Posted by Agus Abdullah, PhD at 11:10 PM 3 comments:

QC Acquisition di Kapal Seismik 3D

Dibawah ini poin-poin tentang QC acquisition:

1. QC dilakukan pada spec yang diminta oleh client, sehingga yang ada diluar spec dibuang.
Disini perlu digarisbawahi juga pengertian QC adalah agar produk yang dihasilkan sesuai
dengan spec.

2. QC traces : QC ini terbagi menjadi empat bagian utama.


a) Deteksi trace yang mati,
b) Temukan Noisy trace,
c) Temukan Spiky trace,
d) Mencari trace yang lemah.

Algoritma RMS biasanya digunakan untuk mendeteksi trace tersebut dan ditampikan dalam
bentuk grafik x-y, dimana x adalah shotpoint, y adalah trace number.

3. QC Source. Dengan cara:


a) Lihat kedalaman tiap source, karena kedalaman source akan mempengaruhi spektrum frekuensi
b) Cek jarak horizontal antar sub-array (lihat pada akuisisi 3D seismik)
c) Cek airleak dan autofire (dengan bantuan software processing yang menampilkan tiap gun)
d) Cek misfire (biasanya bisa dilakukan dengan LMO (linear move out) atau NTR (near trace) plot

4. QC Navigasi. Dengan cara:


a) Cek LMO, SOL, EOL, apakah terdapat trace yang tidak rata peak pertama dengan trace sekitarnya,
jika terdapat trace yang tidak sama dalam waktu yang signifikan, mungkin terdapat kekeliruan dalam

24
file navigasi
b) Cek coverage, dengan cara membandingkan 3D cube dengan navigasi coverage.

Artikel ini kontribusi Anggara Rachmat, Schlumberger - Western Geco

Water Column Statics

Adalah koreksi statik pada data seismik marin yang diakibatkan oleh sifat air laut seperti
salinitas, temperatur, dll.

Pada data seismik dengan kedalaman air laut yang cukup dangkal, mungkin koreksi ini dapat
’diabaikan’ akan tetapi jika data seismik tersebut merupakan data laut dalam tentu sifat lokal
salinitas, temperatur, dll. akan memberikan efek yang cukup signifikan pada kualitas data
seismik.

Jika koreksi ini tidak diperhatikan maka akan memberikan kualitas stack yang kurang bagus,
demikian juga pada respon AVO.

Berikut contoh perbedaan data seismik sebelum (kiri) dan setelah (kanan) koreksi Water
Column Statics pada respon AVO maupun stack (klik untuk memperbesar).

Data courtesy Geotrace


Technologies, Inc, 2007

Data courtesy Sheng Xu and Don Pham, Veritas DGC Inc.

25
Posted by Agus Abdullah, PhD at 12:09 AM No comments:

Surface Related Multiple Elimination (SRME)

SRME adalah metoda untuk menghilangkan energi multiple yang dihasilkan oleh batas air-
udara. Multiple yang dihasilkan oleh batas air-udara ini kadang-kadang sangat sulit
dihilangkan dengan menggunakan metoda demultipel konvensional seperti Radon atau pun
Tau-P (Geotrace).

Walaupun metoda SMRE sudah diperkenalkan oleh Verschuur dan Berkhout sejak tahun
1997, namun metoda ini baru populer di industri migas sejak tahun 2003-an.

Metoda SRME memiliki tiga tahap utama: pertama, menghilangkan noise non fisis,
regulasisasi data sehingga diperoleh grid sumber-penerima yang konstan, interpolasi near dan
intermediate offset yang hilang, menghilangkan gelombang langsung dan gelombang
permukaan. Kedua: prediksi multiple, prediksi ini didasarkan pada observasi bahwa multiple
yang terkait dengan permukaan dapat diprediksi melalui konvolusi temporal dan spasial dari
data itu sendiri (Berkhout, 1982). Ketiga: data input dikurangi dengan multiple yang
terprediksi pada tahap dua (Long et al., 2005).

Tahapan-tahapan metoda SRME dapat dilihat pada gambar dibawah ini (gambar courtesy: Long et
al., 2005):

Untuk memahami teori SRME


secara mendalam, terdapat sebuah referensi yang cukup bagus yakni Seismic multiple removal
techniques. Past, present and future oleh Eric Verschuur, EAGE Publications BV.

Gambar dibawah menunjukkan keampuhan metoda SRME dibandingkan dengan metoda


konvensional (Gambar courtesy: Geotrace Technologies, Inc, 2007):

26
Referensi: Long et al., 2005,
Multiple Removal Success in The Carnarvon Basin with SRME, APPEA Journal

Posted by Agus Abdullah, PhD at 11:08 PM 1 comment:

DMO (Dip Move Out)

Pada kasus lapisan miring, titik tengah M tidak lagi merupakan proyeksi vertikal dari titik hantam D,
sehingga pada kasus lapisan miring, CDP gather tidak ekuivalen dengan CMP gather (lihat kedua
topik tersebut pada blog ini).

Secara sederhana DMO dapat diterjemahkan dengan koreksi NMO pada lapisan miring.
Untuk kasus lapisan miring, Levin (1971), menurunkan persamaan waktu tempuh:

[Persamaan (1)]

27
Sedangkan untuk kecepatan DMO terlihat pada persamaan (2). Dari persamaan (2) terlihat bahwa
kontrol cosinus dari kemiringan menyebabkan kecepatan DMO harus lebih besar dari kecepatan
medium v (baca: kecepatan gelombang seismik pada batuan), karena cosinus memiliki nilai
maksimum 1.

Didalam Aplikasinya, proses DMO tidak serumit yang dibayangkan, prosesnya sama seperti NMO,
lebih-lebih software-software processing sudah semakin interaktif. Gambar dibawah adalah contoh
proses DMO.

Sketsa raypath diatas digambar ulang dari Yilmaz [1989]

Posted by Agus Abdullah, PhD at 1:16 AM No comments:

Angle Mute

Istilah angle mute digunakan untuk menjelaskan teknik pemotongan pada CDP gather sebelum
memproduksi angle stack.

Angle mute terdiri atas inner mute (batas kiri) dan outer mute (batas kanan). Berikut ilustrasinya.

28
Gambar diatas menunjukkan angle mute sebelum memproduksi
near angle stack dan far angle stack. Untuk near angle stack batas kiri berwarna merah dan batas
kanan berwarna kuning. Sedangkan untuk far angle stack batas kiri berwarna kuning dan batas
kanan berwarna pink.

Batas merah dipakai untuk mereduksi efek multiple pada near offset, sedangkan warna pink dipakai
untuk mereduksi efek ‘stretching’ akibat koreksi NMO.

Gambar diatas courtesy, Western Geco, 2003.

Non Zero Apex

Adalah fenomena pada CDP (Common Depth Point) gather dengan puncak parabola (apex) tidak
pada posisi offset sama dengan nol (non zero).

Berikut contohnya:

29
Non zero apex dapat terjadi pada akuisisi seismik 2D dimana jejak sinar seismik (ray path) tidak lurus
atau tidak ‘menghantam’ depth point akan tetapi malah menghantam litologi di sampingnya. Adanya
penyimpangan ray path tersebut diakibatkan oleh prinsip Fermat.
Gambar diatas courtesy Kansas Geological Survey

Higher Order Moveout

Perhatikan persamaan di bawah ini:

Persamaan (1) adalah persamaan NMO konvensional sedangkan persamaan (2) adalah persamaan
NMO order 4 (fouth order) dengan alpha sebuah koefisien. Koefisien tersebut mewakili sifat
anisotropi batuan dan variasi kecepatan seismik vertikal.

Yang dimaksud dengan Higher Order Moveout adalah analisis NMO (Normal Moveout) dengan
menggunakan persamaan NMO order yang lebih tinggi.

Proses NMO konvensional dengan menggunakan persamaan NMO order dua dapat berkerja dengan
baik pada model bumi homogen isotropis. Sedangkan pada model bumi yang kompleks persamaan
NMO order yang lebih tinggi sangat diperlukan.

Selain untuk memenuhi kondisi ‘kompleksitas’ bumi, persamaan NMO order yang lebih tinggi
diperlukan juga untuk mengkoreksi tras-tras seismik pada offset yang cukup jauh ( seperti offset 6

30
sampai 10 km). Sebagaimana yang kita pahami, koreksi NMO akan memiliki error yang lebih besar
pada offset yang jauh.

Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaan gather seismik dengan koreksi NMO order dua dan
gather yang dikoreksi NMO order dua terlebih dahulu (kiri) kemudian di-fine tune dengan order 4
(kanan) untuk data sintetik dan data real.

Data sintetik:

Data real:

Gambar diatas courtesy Leggott et al, Veritas DGC Ltd.

Slant Stack / Transformasi Radon

Slant Stack atau Transformasi Radon adalah teknik penjumlahan tras-tras seismik pada sudut
tertentu yang ditujukan untuk memperjelas kehadiran reflector miring dan ditujukan juga untuk
meningkatkan rasio signal terhadap noise (SNR-Signal to Noise ratio).

Terdapat dua tahap didalam melakukan Slant Stack. Pertama, koreksi LMO (Linear Move Out). LMO
adalah proses proyeksi tras-tras pada gerbang CDP (Common Deep Point) atau CMP (Common Mid
Point) dengan sudut tertentu. Sudut yang dimaksud berkorelasi dengan parameter sinar (p) dan
offset (x).

Dengan LMO, kita memperoleh reflektor dengan waktu :

31
Tahap kedua, setelah LMO dilakukan, tras-tras tersebut dijumlahkan
(stack) sehingga diperoleh Slant Stack.

Brute Stack

Adalah penampang seismik yang diperoleh dari stacking CMP (Common Mid Point) sebelum NMO
(Normal Move Out) akhir maupun koreksi statik diterapkan.

Tujuan ditampilkannya brute stack adalah untuk quick look sejauh mana kualiatas data seismik yang
baru diperoleh dari sebuah akuisisi, atau sekedar mendapatkan gambaran awal kondisi bawah
permukaan.

Dibawah ini adalah contoh penampang brute stack. Data adalah courtesy PGS.

Posted by Agus Abdullah, PhD at 11:18 PM 1 comment:

Dephasing

Dalam terminologi seismik, dephasing adalah proses untuk mengubah fasa sebuah wavelet.
Ingat sebuah wavelet dapat memiliki fasa berbeda: fasa nol, fasa minimum, fasa maksimum dan fasa
campuran.

Biasanya, dephasing dilakukan dalam proses deconvolusi sehingga Output yang dikehendaki
memiliki fasa tertentu (lihat subject Deconvolusi pada blog ini). Filter deconvolusi dengan jenis ini
dinamakan Wiener Shaping Filters

Proses dephasing memerlukan informasi wavelet input, dalam realitas wavelet input diperoleh
dengan cara mengekstrak dari data seismik secara statistik.

32
Posted by Agus Abdullah, PhD at 2:29 PM No comments:

Labels: Pengolahan Data Seismik

Migrasi

Proses migrasi dilakukan pada data seismik dengan tujuan untuk mengembalikan reflektor miring ke
posisi 'aslinya' serta untuk menghilangkan efek difraksi akibat sesar, kubah garam, pembajian, dll.

Terdapat beberapa macam migrasi: Kirchhoff migration, Finite Difference migration, Frequency-
Wavenumber migration dan Frequency-Space migration [Yilmaz, 1987].

Posted by Agus Abdullah, PhD at 7:32 AM No comments:

Labels: Pengolahan Data Seismik

Prewhitening

Prewhitening adalah pembobotan matrix pada proses deconvolusi (lihat subject deconvolusi pada
blog ini) dengan menambahkan sebuah konstanta dengan rentang 0 s.d 1 untuk memberikan
kestabilan dalam komputasi numerik.

Posted by Agus Abdullah, PhD at 6:11 AM No comments:

Labels: Pengolahan Data Seismik

Wednesday, July 4, 2007

Deconvolusi (Deconvolution)

Deconvolusi adalah proses pengolahan data seismik yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi
temporal (baca: vertikal) dengan cara mengkompres wavelet seismik.

Deconvolusi umumnya dilakukan sebelum stacking akan tetapi dapat juga diterapkan setelah
stacking.

Selain meningkatkan resolusi vertikal, deconvolusi dapat mengurangi efek 'ringing' atau multiple
yang mengganggu interpretasi data seismik.

Deconvolusi dilakukan dengan melakukan konvolusi antara data seismik dengan sebuah filter yang
dikenal dengan Wiener Filter .

Filter Wiener diperoleh melalui permasaan matriks berikut:

axb=c

33
a adalah hasil autokorelasi wavelet input (wavelet input diperoleh dengan mengekstrak dari data
seismik), b Filter Wiener dan c adalah kros korelasi antara wavelet input dengan output yang
dikehendaki.

Output yang dikehendaki terbagi menjadi beberapa jenis [Yilmaz, 1987]:


1. Zero lag spike (spiking deconvolution)
2. Spike pada lag tertentu.
3. time advanced form of input series (predictive deconvolution)
4. Zero phase wavelet
5. Wavelet dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)

Zero lag spike memiliki bentuk [1 , 0, 0, 0, ..., 0] yakni amplitudo bukan nol terletak para urutan
pertama. Jika Output yang dikehendaki [0 , 0, 1, 0, ..., 0] maka disebut spike pada lag 2 (amplitudo
memiliki bentuk

bukan nol terletak para urutan ketiga) dan seterusnya.

Dalam bentuk matrix, Persamaan Filter Wiener dituliskan sbb:

dimana n adalah jumlah elemen.

Matriks a diatas merupakan matriks dengan bentuk spesial yakni matriks Toeplitz, dimana solusi
persamaan diatas secara efisien dapat dipecahkan dengan solusi Levinson. Dengan demikian operasi
Deconvolusi jenis ini seringkali dikenal dengan Metoda Wiener-Levinson.

Untuk memberikan kestabilan dalan komputasi numerik diperkenalkan sebuah Prewhitening e yakni( )

dengan memberikan pembobotan dengan rentang 0 s.d 1 pada zero lag matriks a (sehingga elemen
a0 matrix diatas menjadi a0(1+e).

34
Gambar dibawah ini menunjukkan diagram alir proses Deconvolusi.

Dalam seismik, kita sering mendengar istilah wavelet. Wavelet adalah tubuh gelombang dari gelombang yang
menjadi sumber dalam eksplorasi seismik refleksi. Ada dua properti penting dalam sebuah wavelet, yaitu
polaritas dan fase.

Terdapat dua jenis polaritas dalam wavelet, yaitu polaritas normal (normal polarity) dan terbalik (reverse
polarity). Pada polaritas normal, kenaikan impedansi akustik akan digambarkan sebagai lembah (trough) pada
trace seismik, sedangkan pada polaritas negatif, kenaikan impedansi akustik akan dilambangkan dengan
puncak (peak) pada trace seismik (berdasarkan konvensi SEG, Yilmaz, O., 1990).

Terdapat empat macam jenis fase dalam wavelet, yaitu fase minimum (minimum phase), fase nol (zero
phase), fase maksimum (maximum phase) dan fase campuran (mix phase). Tapi yang paling banyak dipakai
didalam pengolahan data dan interpretasi seismik adalah wavelet fase minimum dan fase nol (Prihadi, S,
2004).

Wavelet fase nol lebih menguntungkan dibandingkan dengan wavelet fase minimum. Wavelet fase nol dengan
puncak tunggal pada arrival time, dengan ekor seminim mungkin, akan memudahkan interpreter dalam
penentuan waktu refleksi sehingga proses interpretasi kecepatan (picking) – dalam rekaman hiperbolik

35
reflektor pada gather – menjadi lebih mudah dan akurat. Wavelet fase nol simetri pada waktu sama dengan
nol dan amplitudo maksimum umumnya berimpit dengan spike refleksi.

Gelombang seismik yang terekam (trace seismic) merupakan hasil konvolusi antara wavelet sumber dengan
refllektor series. Konvolusi adalah suatu proses matematika yangmana diperoleh keluaran dari suatu masukan
pulsa gelombang ke dalam sistem LTI (linear time invariant) yang dioperasikan dengan notasi asterik (*)
(Sismanto, 1996). Sebagaimana dikemukakan oleh Fred J.Taylor (1994) bahwa “The response of an at-rest,
causal LTI system having an impulse response h(t) to a causal signal x(t), is defined by the convolution
process y(t )= h(t) * x(t)”.

Dalam survei seismik, misalkan pulsa dari sumber seismik dt dan sistem reflektifitas bumi bt maka gelombang
seismik yang terekam di seismogram (trace seismik) ft ialah sebagai hasil konvolusi dari sistem tersebut,
dituliskan sebagai  dt * bt =  ft . Misalkan s(t) adalah jejak seismik, w(t) adalah wavelet sumber dan  r(t)
adalah reflector series, maka: s(t) =  w(t) * r(t)

Tras Seismik (seismic trace)

Tras seismik adalah data seismik yang terekam oleh satu perekam (geophone). Tras seismik
mencerminkan respon dari medan gelombang elastik terhadap kontras impedansi akustik
(reflektivitas) pada batas lapisan batuan sediment yang satu dengan batuan sediment yang lain.

Secara matematika, tras seismik merupakan konvolusi antara wavelet sumber gelombang dengan
reflektivitas bumi, sehingga:

Tras seismik = wavelet sumber gelombang * reflektivitas

Secara grafis ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

36
Fasa Nol, Minimum, Maksimum

37
Sebuah wavelet memiliki panjang yang terbatas dengan fasa tertentu. Didalam istilah eksplorasi
seismik, fasa sebuah wavelet dikenal sebagai:fasa minimum, fasa nol dan fasa maksimum.

Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar di atas, fasa minimum dicirikan jika sebagian besar energi
amplitudo wavelet berada diawal, fasa nol dengan simetris di tengah-tengah dan fasa maksimum
diakhir wavelet.

38
Untuk mengubah fasa diatas dilakukan pendekatan matematis sbb:

39

Anda mungkin juga menyukai