bayi dan anak-anak. Menurut WHO, kelainan kongenital merupakan penyebab 2,68 juta
kematian bayi di dunia pada tahun 2015.
Kelainan kongenital dapat diklasifikasikan menjadi kelainan kongenital yang terjadi pada
sistem saraf; organ mata, telinga, wajah, dan leher; sistem peredaran darah; sistem
pernapasan; celah bibir dan celah langit-langit; sistem pencernaan; organ reproduksi; saluran
kemih; sistem otot dan rangka; kelainan bawaan lainnya; dan kelainan yang disebabkan oleh
kromosom yang abnormal.
Beberapa contoh kelainan kongenital, misalnya bibir sumbing, cerebral palsy, sindrom down,
spina bifida, cystic fibrosis, kelainan jantung, thalasemia, dan masih banyak lagi.
Penyebab kelainan kongenital masih belum diketahui. Namun, beberapa kelainan kongenital
dapat disebabkan beberapa faktor, seperti:
Faktor genetik: misalnya mutasi (perubahan gen) berperan dalam terjadinya kelainan
kongenital. Perkawinan antar saudara sedarah (konsanguinitas) juga meningkatkan
risiko kelainan kongenital.
Infeksi: infeksi kehamilan, seperti sifilis dan rubella, dapat menyebabkan kelainan
kongenital. Contohnya, virus Zika dapat menginfeksi bayi sehingga bayi bisa lahir
dalam kondisi mikrosefali (ukuran kepala di bawah normal).
Status gizi ibu hamil: nutrisi yang dibutuhkan bayi saat di dalam kandungan sangat
memengaruhi pertumbuhan bayi. Kondisi seperti kekurangan iodium, kekurangan
asam folat, obesitas, diabetes melitus (kencing manis), dan konsumsi vitamin A dosis
tinggi saat hamil muda dapat menyebabkan kelainan kongenital.
Faktor lingkungan: paparan pestisida, obat, tembakau, rokok pada masa kehamilan
akan memengaruhi pertumbuhan janin. Ibu hamil yang tinggal di lingkungan pabrik,
limbah, dan tambang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena kelainan
kongenital.
DIAGNOSIS
Kelainan kongenital perlu diidentifikasi lebih awal untuk menentukan perawatan dan
konseling genetik. Meskipun tidak semua kelainan kongenital dapat didiagnosis atau
terdeteksi dini, namun terdapat beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk
mendiagnosis kelainan kongenital, misalnya:
Tes kelainan bawaan
Dapat dilakukan mulai usia kehamilan 10 minggu. Tes skrining dirancang untuk
mengidentifikasi bayi yang tidak memiliki kelainan kongenital.
Jika tes skrining tidak mendeteksi adanya kelainan, selanjutnya dapat melakukan tes
diagnostik, seperti ultrasonografi (USG), tes darah, atau tes urine, untuk mendeteksi adanya
kelainan pada janin.
Chorionic villus sampling (CVS) merupakan tes yang biasanya dilakukan pada 10 hingga 13
minggu kehamilan ketika tes skrining menunjukkan bahwa bayi mungkin memiliki kelainan
kongenital.
CVS dapat digunakan untuk mendiagnosis bayi dengan sindrom Down atau kondisi genetik
lainnya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sedikit sampel sel dari plasenta untuk
diuji di laboratorium.
Amniosentesis
Amniosentesis dilakukan setelah 15 minggu kehamilan. Tes ini dapat memastikan apakah
bayi menderita sindrom Down atau kelainan bawaan lainnya setelah melalui tes CVS.
Pemeriksaan ini dimulai dengan mengambil cairan amnion yang berada di sekitar janin dan
diuji di laboratorium. Namun, terdapat risiko kecil keguguran pada tes amniosentesis dan
CVS.
Setelah bayi lahir, dokter atau bidan akan memeriksa kondisi anatomi tubuh, pendengaran,
kondisi jantung, dan darah, metabolisme dan gangguan hormon untuk mendeteksi dini
terhadap masalah-masalah kelainan kongenital.
Hal ini dapat mencegah menjadi kecacatan fisik, intelektual, visual, atau pendengaran yang
lebih serius.
Mengonsumsi makanan sehat dengan vitamin dan mineral yang memadai, serta
menjaga berat badan.
Jika memiliki riwayat kelainan kongenital pada keluarga, Anda perlu melakukan tes
genetik dan berkonsultasi dengan dokter sebelum hamil.