Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

INDAHNYA MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH TANGGA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas mata kuliah Materi PAI SMP/SMA

DOSEN PENGAMPU:

Lailatul Maghfiroh, M.Pd.I

Disusun Oleh:

1. Fahmiyah (18051014)
2. Lilis Avita Sari (18051050)
3. Muhammad Erfan (18051061)
4. Santi Rahmawati (18051051)

FAKULTAS AGAMA ISLAM PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(Semester V sore)
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur kepada tuhan yang maha esa, berkat rahmat dan izinnya, kami dapat
menyelesaikan makalah tentang yang “INDAHNYA MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH
TANGGA” sebagai pemenuhan tugas kelompok presentasi.

Ucapan terima kasih kami tujuk kepada pihak yang telah mendukung
terselesaikannya laporan ini. Terima kasih pula kepada ibu Lailatul Maghfiroh M.Pd.I.
Selaku dosen pengampu mata kuliah materi PAI SMP/SMA kami yang telah mengampu
kami dalam proses penyelesaian.

Tak lepas dari kekurangan, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Saran dan kritik yang membangun diharapkan demi karya yang lebih baik di masa
mendatang. Besar harapan kami semoga makalah ini membawa manfaat khususnya bagi
kami dan para pembaca.

Lamongan, 17 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

HASIL ANALISIS...........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Toleransi.............................................................................3
B. Toleransi Dalam Islam..........................................................................3
C. Konsep Toleransi Dalam Islam ...........................................................4
D. Jenis-Jenis Toleransi.............................................................................7
E. Contoh Sikap Toleransi........................................................................8
F. Manfaat Bersikap Toleransi..................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12

3
HASIL ANALISIS

A. Kesesuaian Buku Dengan Kompetesi Dasar


Buku agama islam kelas IX standar isi K13, menjelaskan mengenai semua
ajaran tentang menyuburkan kebersamaan dengan toleransi dan menghargai
perbedaan dan mengetahui kandungan surat Al-Hujurat ayat 13 yang terkandung
didalamnya. Materi tersebut sesuai dengan kompetensi dasar 3.2 tentang toleransi
dan menghargai perbedaan.
B. Kesesuaia buku dengan kompetensi inti
Kompetensi inti dengan buku sudah sesuai, yang mana dengan memberikan
beberapa tugas dan juga materi dengan tujuan untuk dapat mengolah, menyaji, dan
menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi,
dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama
dalam sudut pandang atau teori.
C. Kelebihan dan kelemahan buku
 Kelebihan dari buku ini adalah materi yang dibahas sudah tersusun dengan
baik,dan menggunakan bahasa yang baik sehingga mudah dipahami oleh
siswa.
 Kekurangan dari buku ini adalah materi yang dibahas kurang begitu luas atau
kurang lengkap.

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnah Nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi
umat islam. Hal tersebut adalah auatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung
dalam memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesame manusia
yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih saying. Bahkan Nabi
pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa
mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah, karena hidup
membujang tidak diayariatkan dalam agama oleh karena itu, manusia dissyariatkan
untuk menikah.
Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk menikah, pastilah ada hikmah yang
bisa diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari melihat hal-hal yang
tidak diijinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari jatuh pada kerusakan seksual.
Islam sangat memberikan perhatian terhadap pembentukan keluarga hingga tercapai
sakinah, mawaddah, dan warahmah dalam pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anjuran tentang menikah?
2. Bagaimana ketentuan menikah dalam islam?
3. Bagaimana pernikahan menurut UU perkawinan Indonesia (UU No 1 tahun
1974)?
4. Apa hak dan kewajiban suami istri?
5. Apa hikmah dari pernikahan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anjuran tentang menikah.
2. Untuk mengetahui ketentuan menikah dalam islam.
3. Untuk mengetahui pernikahan menurut UU perkawinan Indonesia (UU No 1
tahun 1974.

5
4. Untuk mengetahui Apa hak dan kewajiban suami istri.
5. Untuk mengetahui hikmah dari pernikahan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anjuran Menikah
Pernikahan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
masyrakat agama islam. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan untuk
membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang
sebagai jalan untuk meningkatkan ukhwah islamiyah dan memperluas serta
memperkuat tali silaturrahmi diantara manusia.
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak
hikmah dibalik anjuran tersebut. Antara lain:

1. Sunnah para nabi dan rasul


Kalau ada orang yang paling tinggi derajatnya disisi Allah, mereka tentulah bukan
para pedeta atau biksu yang hidupnya membujang dan menjauhi hidup berumah
tangga. Kalau ada orang ang dijamin pasti masuk surga setelah terjadi hari kiamat
nanti, pastilah mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia.
Para pendeta dan biksu hanya mengklaim diri mereka sebagai orang suci, tetapi di
sisi Allah sebagai tuhan yang menetapkan tata cara beribadah dan mendekatkan diri
kepada-Nya, para pendeta dan biksu yang tidak menikah itu bukan orang yang dekat
dengan diri-Nya.
Orang-orang terdekat yang langsung menerima wahyu dari Allah Swt. Tidak lain
hanyalah para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang yang resmi menjadi
pembawa wahyu dari langit.
Dan para nabi serta rasul itu seluruhnya hidup normal dengan menikahi wanita,
berumah tangga dan punya anak serta keturunan.
Di dalam Al-qur’an Allah Swt,berfirman :
‫ولقد ارسلنا رسال ّمن قبلك وجعلنا لهم ازواجا وذ ّريّة وما كان لرسول ان يّأتي بآية االّ بإذن هللا لك ّل اجل‬
‫ كتاب‬.

7
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi
tiap-tiap masa da kitab.” (Q.S Ar-Ra’d: 38).
Dan di dalam hadist Nabi Saw. Disebutkan bahwa menikah itu bagian dari sunnah
para Nabi dan Rasul.
“Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “ Empat hal yang
merupakan sunnah para Rasul: hinna’, berparfum, siwak, dan menikah. (H.R. At-
Tirmizi).
Hinna’ adalah memakai pacar kuku. Namun sebagian riwayat menyatakan bahwa
yang dimaksud adalah bukan Hinna’ melainkan Haya’ yang maknanya adalah rasa
malu.
2. Sunnah Nabi Muhammad SAW
Lebih dari separuh dari masa kehidupan Rasulullah saw. Dilalui dengan
didampingi istri. Terhitung sejak beliau menikah pertama kali pada usia 25 tahun
hingga menutup usia di usia 63 tahun, selama 37 tahun beliau selalu memiliki istri,
kecuali beberapa bulan sejak ketika beliau menduda sepenggal istri tercinta, Khadijah
binti Khuwailid.
Maka orang yang hidupnya tidak didampangi istri, bukan mereka alasan yang
syari dan diterima dalam uzur, beararti hidupnya tidak sejalan dengan sunnah
Rasulullah Saw.
Dan bila ketidak menikahan itu diiringi dengan rasa tidak suka atau membenci
lembaga pernikahan, maka sikap itu sudah termasuk membenci sunnah Nabi Saw.
Sebagaimana sabda beliau:
‫النّكاح من سنّتي فمن لهم يعمل بسنّتي فليس منّي‬.

“menikah itu sebagian dari sunnahku, maka siapa yang tidak beramal dengan
sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.”(H.R Ibnu Majah).

8
3. Bagian dari tanda kekuasaan Allah
Menikah adalah salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah
Swt, sebagaimana firman Allah:
‫ان في ذلك آليات لّقوم‬
ّ ‫ومن آياته ان خلق لكم ّمن انفسكم أزواجا لّتسكنوا إِليها وجعل بينكم ّمو ّدة ورحمة‬
‫يّتف ّكرون‬.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah dia menciptakan untukmu


istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nyadi antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yng demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum:21)

4. Salah satu jalan untuk menjadi kaya


Banyak pemuda yang takut atau enggan untuk segera menikah karena
mengkhawatirkan dirinya yang miskin dan tidak punya cukup harta.
Ketakutan ini wajar terjadi karena memang di beberapa negara, penguasa kapitalis
telah mengambil lahan kehidupan rakyatnya, sehingga mereka hidup dalam
kemiskinan, akibat langkanya lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga
rakyatnya menjadi miskin dan beban hidup mereka menjadi semakin berat.
Karena itu menunda pernikahan menjadi salah satu solusi yang sering diambil
banyak orang.
Namun normalnya, apabila tidak ada raja yang zalim yang kerjanya merampok
harta rakyat, atau sistem kapitalisme yang memiskinkan rakyat, pada dasarnya orang
tidak perlu takut menikah, hanya karena takut tidak punya harta. Sebab Allah swt,
telah menjanjikan bagi mereka yang menikah untuk dijadikan orang yang
berkecukupan.
Sebagaimana firman Allah:
ّ ‫وانكحوا األيامى منكم وال‬.
‫صاحين من عبا دكم وإماءكم ان يكونوا فقراء يغنهم هللا من فضله وهللا واسع عليم‬
“dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orag-orang
yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka

9
dengan kurnia-Nya dan Allah maha luas lagi maha mengetahui”. (Q.S. An-
Nur:2).
5. Ibadah dan setengah dari agama
Menikah itu memang kadang bisa menjadi bagian dari agama seseorang,
meskipun tidak merupakan jaminan yang sifatnya pasti. Maksudnya bila seseorang
sudah mempunyai istri, maka seharusnya dan idealnya sudah tidak tergoda lagi untuk
melakukan zina. Karena apa yang dibutuhkannya sudah tersedia secara halal
dirumahnya, tanpa harus terkena resiko biaya yang mahal atau terkena penyakit
kelamin.
Sebaliknya, laki-laki atau wanita dewasa yang sehat lahir batin serta normal, bila
tidak punya pasangan yang sah, akan mudah sekali tergoda atau terjerumus ke dalam
lembah zina yang diharamkan.
Namun sekali lagi, untuk di masa sekarang ini, menikah itu memang bukan
jaminan yang bergaransi 100% membuat orang tidak berzina. Buktinya, para lelaki
hidung belang yang rajin mengunjungi rumah bordil, umumnya adalah laki-laki yang
sudah punya istri. Entah kenapa, masih lebih suka jajan di luar, seolah istri yang ada
di rumah tidak cukup.
Meski ada riwayat yang lemah, namun hadist tentang menikah itu setengah dari
agama punya beberapa jalur sanad yang bisa diterima.
‫من تز ّوج فقداستكمل نصف اإليمان فليتّق هللا في النّصف الباقي‬.
“siapa yang menikah maka sungguh dia telah menyempurnakan setengah iman,
makan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.” (H.R
Ath-Thabrani).
6. Tidak ada pembujang dalam islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan
tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh
yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan
dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup
membujang dan kebiri.

10
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa
hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin, atau
dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah
dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Nabi memperhatikan, bahwa sebagian sahabatnya ada yang terkena pengaruh
kependetaan ini (tidak mau kawin). Untuk itu beliau menerangkan, bahwa sikap
semacam itu adalah menentang ajaran islam dan menyimpang dari sunah Nabi, justru
itu pula, pikiran-pikiran Kristen semacam ini harus diusir jauh-jauh dari masyarakat
islam.
7. Menikah itu cirri khas makhluk hidup
Selain itu, secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah cirri-ciri makhluk
hidup. Allah Swt, telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk ciptaan-Nya ini
diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
‫ومن ك ّل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذ ّكرون‬.
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.” (Q.S Az-Zariyat:49). 1
B. Ketentuan Pernikahan dalam Islam
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk
menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam – macam, maka ada
beberapa ketentuan meliputi hukum, rukun dan syarat nikah yang dapat dibagi menjadi :
1. Hukum Nikah
a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya
sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan – keperluan
lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak
menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan. Sabda Nabi Muhammad
SAW. :“Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya
maka hendaklah menikah. Karena sesungguhnya nikah itu menghalangi
pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan.

1
Ahmad Sarwat, ensiklopedia fikih Indonesia 8 pernikahan, (Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama,2018), hlm
9-16.

11
Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena
puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan
Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan
lain lemah syahwat. Firman Allah SWT :“Hendaklah menahan diri orang –
orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah
mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33).
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya
atau menyia – nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang
tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak
mendesak.
e. Mubah, bagi orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang
mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.2

C. Pernikahan menurut UU perkawinan indonesia (UU No.1 tahun 1945)


Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan definisi perkawinan
sebagai berikut: “Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang
wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38)
Apabila definisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya :
1. Ikatan lahir bathin.
2. Antara seorang Pria seorang wanita.
3. Sebagai suami-istri.
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5. Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Didalam Lima Unsur diatas penulis akan mencoba memberikan penjelasan khusus
yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga akan jelas pemahamannya :

1. Ikatan lahir batin.


2
Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 8.

12
Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya
cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus
terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan
hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya
maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan
yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya
dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan batin ini merupakan dasar
ikatan lahir. Ikatan batin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-
sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon
Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang
disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan
Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga
menyangkut unsur bathiniah.
2. Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita,
dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, yaitu hubungan perkawinan selain
antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya antara seorang pria
dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita ataupun antara seorang
wadam dan wadam lainnya. Dan dalam unsur kedua ini terkandung Asas
monogami.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir atau jasmani, akan tetapi juga mempunyai unsur batin atau rohani yang
mempunyai peranan sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan
sejahtera.
Pasal 2:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaanya itu.

13
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 3 :

a. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
b. Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 :

a. Dalam hal Seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di Daerah tempat tinggalnya.
b. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada
seorang suami yang akan bertistri lebih dari seorang apabila :
1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Isteri.
2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan


perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang
berbunyi :

1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai


2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang
dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang

14
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,
3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan yang lainya.

Pasal 7 :

a. Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
Wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
b. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
c. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan
tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk
itu suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat

15
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
material dan spiritual.
2. Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila
dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang
bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang
meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat
dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan.
4. Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat
melakukan dan melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan
keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan
terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-
alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah
masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.3

D. Hak dan Kewajiban Suami Istri

3
Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), hlm. 7.

16
Dengan berlangsungnya akad pernikahan, maka memberi konsekuensi adanya hak
dan kewajiban suami istri, yang mencangkup 3 hal, yaitu: kewajiban bersama timbale
balik antara suami dan istri, kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap
suami.
1. Kewajiban timbale balik antara suami dan istri, yaitu sebagai berikut:
a. Saling menikmati hubungan fisik antara suami istri, termasuk hubungan seksual
diantara mereka.
b. Timbulnya hubungan mahram diantara mereka berdua, sehingga istri diharamkan
menikah dengan ayah suami dan seterusnya sehingga garis ke atas, juga dengan
anak dari suami dan seterusnya hingga garis-garis ke bawah, walaupun setelah
mereka bercerai. Demikian sebaliknya berlaku pula bagi suami.
c. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya.
d. Dihubungkannya asab anak mereka dengan suami (dengan syarat kelahiran paling
sedikit 6 bulansejak berlangsungnya akad nikah dan dukhul/berhubungan suami
istri)
e. Berlangsungnya hubungan baik antara keduanya dengan berusaha melakukan
pergaulan secara bijaksana, rukun, damai dan harmonis.
f. Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih
sayang diantara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istri
a. Mahar, memberikan mahar adalah wajib hukumnya, maka mazhab Maliki
memasukkan mahar kedalam rukun nikah, sementara para fuqaha lain
memasukkan mahar ke dalam syarat sahnya nikah, dengan alasan bahwa
pembayaran mahar boleh ditangguhkan.
b. Nafkah, yaitu nafkah untuk istri demi memenuhi keperluan berupa makanan,
pakaian, perumahan (termasuk perabotannya), pembantu rumah tangga dan
sebagainya, sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku pada
masyarakat sekitar pada umumnya.
c. Memimpin rumah tangga.
d. Membimbing dan mendidik.

17
3. Kewajiban istri terhadap suami
a. Taat kepada suami Istri yang setia kepada suaminya berarti telah mengimbangi
kewajiban suaminya kepadanya.Ketaatan istri kepada suaminya dalam hal
kebaikan.Jika suami meminta istri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan syari’at Allah Swt. Maka istri harus menolaknya.Tidak ada ketaatan
kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah Swt.
b. Menjaga diri dan kehormatan keluarga.
Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, adalah mereka yang taat kepada
Allah Swt. Dan suami, dan memelihara kehormatan diri mereka bila mana suami
tidak ada di rumah.Istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, karenanya
istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
c. Merawat dan mendidik anak
Walaupun hak dan kewajiban merawat dan mendidik anak itu merupakan hak dan
kewajiban suami, tetapi istri pun mempunyai hak dan kewajiban merwawat dan
mendidik anak secara bersama.Terlebih istri itu pada umumnya lebih dekat
dengan anak, karena dia lebih banyak tinggal di rumah bersama anaknya.Maju
mundurnya pendidikan yang diperoleh anak banyak ditentukan oleh perhatian ibu
terhadap para putranya.

E. Hikmah Pernikahan
Nikah disyaratkan Allah Swt. Melalui al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya, seperti dalam
uraian di atas, mengandung hikamh yang sangat besar untuk keberlangsungan hidup
manusia, diantaranay sebagai berikut:
1. Terciptanya hubunganan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dalam
ikatan suci yang halal dan diridhai Allah Swt.
2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan
3. Terpeliharannya kehormatan suami istri dari perbuatan zina
4. Terjalinnya kerjasama antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga
kehidupannya.

18
5. Terjalinnya silahturahmi antar keluarga besar pihak suami dan pihak istri.4

4
FeiselGhozalydan HA.SholehDimyathi. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.( Jakarta:
PusatKurikulumdanPerbukuan, Balitbang, Kemendikbud, 2015). Hal. 130-131

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-
masing.Sedangkan menurut Undang-undang pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun
1974 adalah: “perkawinan atau nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang MahaEsa”
Para ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama diantara orang
mukallaf. Dilihat dari kesipan ekonomi, fisik, mental atau pun akhlak, hukum nikah
biasa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Diantara pernikahan yang
tidak sah dan dilarang Rasulullah saw adalah pernikahan mut’ah, pernikahan syigar,
pernikahan muhalil, pernikahan orang yang ihram, pernikahan dalam masa iddah,
pernikahan tanpa wali, dan pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli
kitab, menikahi mahram.
Pernikahan melahirkan kewajiban atas masing-masing pihak, suami dan
istri.Kewajiban tersebut meliputi, kewajiban timbale balik antara suami dan istri,
kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami.
B. Saran
Di dalam makalah ini, jika ada kesalahan-kesalahannya, saya sebagai
penyusun meminta maaf sebesar-besarnya. Dan saya harap pembaca yang budiman
memberikan kritikan dan sarannya yang bersifat membangun untuk makalah-makalah
selanjutnya. Atas kritik dan sarannya, saya ucapkan terima kasih.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sarwat, LC., M.A.2018. Ensiklopedia fikih Indonesia 8 pernikahan.Jakarta:


PT Gramedia pustaka Utama.
Kauma Fuad. dan Nipan. 2003. Membimbing Istri Mendampingi Suami. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.

Ghozaly, Feisal dan HA. Sholeh Dimyathi. 2015. Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Hasan Maimunah. 2001. Rumah Tangga Muslim, Yogyakarta: Bintang Cemerlang.

21

Anda mungkin juga menyukai