Anda di halaman 1dari 19

TERSESAT DALAM RIMBA TAKFIRI

Azkia Muharom Albantani

Mukadimah
Takfiri artinya ‘mengafirkan’, yaitu mengafirkan muslim yang
mendukung atau sumpah setia berbakti kepada NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia). Saat ini, pemikiran takfiri seperti ini
sudah mulai muncul dalam gerakan; membentuk organisasi,
memperkuat ideologi, melakukan rekrutmen, dan menyebarkan
gagasan lewat buku dan jaringan dunia maya.
Dalil-dalil yang dijadikan landasan untuk mengafirkan
muslim yang mendukung dan bersumpah setia kepada
pemerintahan thaghut NKRI tersebut adalah: Keputusan/hukum itu
hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yusuf /12:40) Dan Dia tidak
mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan
keputusan (QS al-Kahfi /18 : 26).
Dalil al-Qur`an lainnya yang dijadikan hujjah adalah QS al-
Ma`idah /5 : 1, ar-Ra’d /13: 41, dan as-Syura/42: 21. Ayat-ayat ini
menjadi dalil bahwa kedaulatan hukum yang tidak ada pada Allah,
melainkan manusia, menunjukkan syirik, dan berarti sudah murtad.
NKRI menjadikan kedaulatan hukumnya ada pada tangan manusia,
berarti syirik, murtad, pemerintahan thaghut.

141
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir
(QS al-Ma`idah /5 : 44).
Ayat lain yang dijadikan dalilnya adalah QS al-Ma`idah /5 : 45,
47, an-Nahl /16 : 116, al-An’am /6: 121, Yunus/10: 59, as-Syura /42 :
10, dan an-Nisa` /4 : 59. Ayat-ayat ini menurut mereka merupakan
dalil murtadnya orang yang menghukum dengan hukum Jahiliyyah
dan membuang hukum Allah/syari’at Islam. Ayat 45 dan 47 surat
al-Ma`idah juga merupakan penegasan bahwa selain kafir, orang
seperti ini zhalim dan fasiq.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS
an-Nisa` /4 : 60).
Ayat lain yang dijadikan dalil adalah QS al-Baqarah /2 : 256-
257, al-Ma`idah /5 : 81, Ali ‘Imran /3 : 100-101. Ayat-ayat ini
merupakan dalil bahwa yang mendukung hukum thaghut, yang
tidak kufur kepada thaghut, berarti kufur kepada Allah. Sementara
hukum NKRI adalah hukum thaghut. Konsekuensinya, pemerintah
NKRI adalah pemerintah thaghut. Mendukungnya berarti kufur
kepada Allah.

Kekeliruan Pemikiran Takfiri


Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran takfiri
yang berkembang meyakini bahwa pemerintah NKRI dan yang
bekerja langsung mendukungnya kafir karena, pertama, sudah
menyekutukan Allah dalam menetapkan hukum, yakni kedaulatan
hukum yang seharusnya milik Allah menjadi berada di tangan
MPR/DPR. Kedua, menghukum dengan hukum Jahiliyyah dan
membuang hukum Allah/syari’at Islam. Ketiga, mempertahankan

|142
sistem pemerintahan kafir/syirik yang dengan sendirinya sudah
mempertahankan thaghut.
Pemikiran takfiri seperti itu jelas keliru ditinjau dari beberapa
hal: (1) Terlalu mudah takfir tanpa tabayyun terlebih dahulu. (2)
Salah menempatkan ayat-ayat al-Qur`an tentang kafir, yang
seharusnya untuk orang kafir, ditujukan kepada orang beriman. (3)
Menyamaratakan konsep kafir menjadi kafir akbar semata.
Akibatnya yang masuk kategori kafir ashghar/amali pun
dikategorikan kafir akbar dan dinyatakan murtad. (4) Keliru
memahami konsep murtad yang seharusnya khuruj ‘minal-millah
(keluar dari agama) menjadi dipersempit pada tidak menetapkan
hukum Allah. (5) Memvonis thaghut kepada pemerintah NKRI dan
menyamaratakan begitu saja semua muslim yang terlibat dalam
pemerintahan sebagai pendukung thaghut. Dalam hal ini tampak
pengingkaran mereka terhadap jasa perjuangan tokoh-tokoh Islam
yang dari sejak sebelum kemerdekaan sampai masa kemerdekaan
berjuang mati-matian menjadikan Negara ini Islami, meski memang
belum berhasil secara kaffah.
Semua kekeliruan terkait pemikiran takfiri tersebut disebabkan
gerakan takfiri tersebut salah dalam manhaj ilmu. Semestinya
mereka menguraikan dasar-dasar aqidah Islam ini dengan merujuk
pada al-Qur`an dengan manhaj tafsirnya, hadits dengan manhaj
syarahnya, pemahaman para shahabat, dan mayoritas ulama yang
tentunya Ahlus-Sunnah. Tetapi dalam tulisan-tulisan mereka yang
takfiri tersebut, mereka tampak jelas luput menyertakan tafsir yang
shahih dari setiap ayat yang dikutipnya. Tafsir shahih yang dimaksud
adalah tafsir yang tidak hanya mengandalkan pemikiran pribadi
semata/mujarradur-ra`yi, tetapi menyertakan penjelasan ayat-ayat
lainnya, hadits Nabi Saw, dan penjelasan para shahabat. Mereka
malah cenderung menafsirkan ayat-ayat tentang takfir dengan
asumsinya sendiri.
Kelompok takfiri ini juga tidak merujukkan pemikirannya pada
hadits-hadits shahih. Padahal tema takfir sudah dibahas sejak era

143|
shahabat, tabi’in, atba’ tabi’in, dan terus berlanjut pada era Imam al-
Bukhari, Muslim, dan seterusnya oleh para ulama syarah hadits
sesudah mereka. Demikian halnya, pendapat dan sikap para
shahabat yang selalu sangat berhati-hati dalam takfir rupanya lupa
untuk dirujuk. Dan terakhir mayoritas ulama, yakni ulama Ahlus-
Sunnah yang juga luput dirujuk ke berbagai kitab mereka yang
mu’tabar (otoritatif). Kalaupun ada dirujuk pendapat ulama, tampak
masih terlalu dominan “tafsir pribadi” dari diri mereka sendiri atas
pernyataan ulama-ulama tersebut.
Misalnya Syaikh Ibn Baz yang mengafirkan siapa yang tidak
menghukum dengan hukum Allah Swt, “ditafsirkan” oleh mereka
secara pukul rata bahwa itu berarti pemerintah NKRI kafir. Padahal
Syaikh Ibn Baz tidak sedang berbicara NKRI. Pernyataan Syaikh Ibn
Baz tersebut normatif, sama dengan pernyataan ulama-ulama di
MUI, Persis, NU, dan Muhammadiyah yang juga menyatakan kafir
siapa saja yang tidak menetapkan hukum Allah. Tetapi tidak
kemudian disimpulkan secara sembarangan bahwa pemerintah
NKRI kafir. Menetapkan selain hukum Allah Swt adalah satu hal,
dan pemerintahan NKRI hal lain. Ini yang dimaksud masih terlalu
dominan “tafsir pribadi” mereka atas fatwa ulama yang mereka
kutip.

Takfir Tanpa Tabayyun


Kita seharusnya terhindar dari terlalu mudah takfir tanpa
tabayyun terlebih dahulu. Dalam takfir (vonis kafir) harus ditempuh
terlebih dahulu tabayyun (mencari kejelasan dan kepastian) dan
istitabah (meminta taubat). Tabayyun dan istitabah ini memang wajib
dilakukan terlebih dahulu sebab takfir akan mendatangkan
konsekuensi hukum lanjutan seperti haram nikah dan waris,
termasuk menjadi halal darah dan hartanya dalam perang. Maka
dari itu Rasul Saw mengancam siapa saja yang ceroboh memvonis
kafir, sebagai orang kafir itu sendiri jika faktanya yang divonis kafir
itu seorang muslim:

|144
َّ‫ٰح ُد ُُهٰا إِ ْن ٰكا ٰن ٰك ٰما قٰ ٰال ٰيإَِل‬ ِ ِ ِِ ٍ
ٰ ‫ فٰ ٰق ْد ِٰب ٰء ِبٰا أ‬.‫أُّٰيٰا ْام ِرئ قٰ ٰال ْلٰخِه ٰاي ٰكاف ُر‬
‫ت ٰنلِْٰ ِه‬ ْ ‫ٰر ٰج ٰع‬
“Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir,
maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari
mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka
benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang
mengatakannya” (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal
iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Jika baru hanya tanda-tandanya saja yang mengarah pada
kekafiran, dan belum terbukti benar bahwa ia sudah terang-
terangan menyatakan kafir, maka vonis kafir pun tetap haram untuk
dinyatakan.
ٍ ِ ٌ ‫ت ِرج‬ ِ ِ
ْ ٰ‫ال م ْن أ ْٰه ِل الدَّا ِر ذٰ ُيي ٰن ٰدد ف‬
‫اجتٰ ٰم ُعوا فٰ ٰق ٰال‬ ٰ ِْ ٰ‫اب ِِف الْب‬ ٰ ٰ‫قٰ ٰال نْت بٰا ُن فٰث‬
‫ك ُمنٰافِ ٌق َٰل‬ ِ
ٰ ‫ض ُه ْم ذٰل‬ُ ‫ُّخ ُش ِن فٰ ٰق ٰال بٰ ْع‬
ِ ‫ك بن الد‬
ْ ‫ُّخِْش ِن أٰ ِي ابْ ُن الد‬
ِ
ٰ ُ ْ ُ ‫قٰائ ٌل مْن ُه ْم أٰيْ ٰن ٰمال‬
ِ ِ
َّ ‫ك أَٰٰل تٰ ٰراهُ قٰ ْد قٰ ٰال َٰل إِلٰهٰ إََِّل‬ ِ َِّ ‫ول‬ ُّ ‫َُِي‬
ُ ‫اَّللُ يُِر‬
‫يد‬ ٰ ‫اَّلل َٰل تٰ ُق ْل ٰذل‬ ُ ‫اَّللٰ ٰيٰر ُيولٰهُ فٰ ٰق ٰال ٰر ُي‬
َّ ‫ب‬
ِِ ِ َّ ‫اَّللِ قٰ ٰال‬ ِ
ٰ ‫ِحتٰهُ إِ َٰل الْ ُمنٰافق‬
‫ْي‬ ِ
ٰ ‫اَّللُ ٰيٰر ُيولُهُ أ ْٰنلٰ ُم قٰ ٰال فٰإ َّن نٰٰرى ٰي ْج ٰههُ ٰينٰص‬ َّ ٰ‫ك ٰي ْجه‬ ٰ ‫بِ ٰذل‬
ِ َّ ‫اَّللِ فِٰإ َّن‬
ٰ‫ك ٰي ْجه‬ ٰ ‫اَّللُ يْٰب تٰغِي بِ ٰذل‬
َّ ‫اَّللٰ قٰ ْد ٰحَّرٰم ٰنلٰى النَّا ِر ٰم ْن قٰ ٰال َٰل إِلٰهٰ إََِّل‬ َّ ‫ول‬ُ ‫قٰ ٰال ٰر ُي‬
ِ‫اَّلل‬
َّ
“Itban berkata: Orang-orang dari satu kampung berkumpul di
rumah, jumlah mereka banyak. Lalu ada seseorang bertanya:
“Di mana Malik ibnud-Dukhaisyin (ibnud-Dukhsyun)?”
Dijawab oleh sebagian orang: “Dia orang munafiq yang tidak
mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah Saw
bersabda: “Kamu jangan berkata seperti itu. Bukankah kamu
sudah pernah melihatnya mengatakan La ilaha illal-’Llah
sembari berharap bisa berjumpa Allah.” Orang itu menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Akan tetapi kami melihat
wajahnya dan perhatiannya cenderung kepada orang-orang

145|
munafiq.” Rasul menimpali: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan neraka bagi mereka yang mengucapkan La
ilaha illal-’Llah sembari berharap bisa berjumpa Allah.”
(Shahih al-Bukhari kitab as-salat bab al-masajid fil-buyut no.
425)
Maka dari itu al-Qur`an mewajibkan kaum muslimin untuk
melakukan tabayyun (klarifikasi dan semacamnya) terlebih dahulu
sebelum memvonis kafir.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi
(berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu:
“Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya),
dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu
dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka
telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS An-Nisa` /4 : 94).
Ibn Katsir meriwayatkan beberapa riwayat yang berbeda
namun semakna terkait asbabun-nuzul (latar belakang turun) ayat
ini. Di antaranya sebagaimana yang dijelaskan Ibn ‘Abbas, sebuah
pasukan diutus oleh Nabi Saw untuk memerangi satu kaum yang
membahayakan umat Islam. Setibanya di tempat, kaum yang
hendak diperangi tersebut sudah lari terlebih dahulu. Hanya tinggal
tersisa seseorang yang ketika ditemukan ia mengucapkan syahadat.
Al-Miqdad ibn al-Aswad kemudian membunuhnya karena
berasumsi orang itu hanya hendak melindungi dirinya sendiri
dengan syahadat palsu. Seorang shahabat lainnya saat itu menegur
al-Miqdad atas perbuatan cerobohnya, dan ia pun melaporkannya
kepada Rasulullah Saw setibanya di Madinah. Rasul Saw saat itu
langsung saja menegur al-Miqdad, sebab sebagaimana sudah
diajarkan Rasul saw, tidak boleh membunuh seseorang yang sudah
mengucapkan la ilaha illal-’Llah. Tentang kebenaran ucapan tersebut,
hisabnya diserahkan kepada Allah Swt saja. Tidak lama dari itu,

|146
Rasul saw juga menjelaskan bahwa tidak mustahil orang yang
dibunuh tadi sama seperti para shahabat dahulu ketika di Makkah,
tidak berani bersyahadat karena takut dibunuh orang kafir, dan
baru berani bersyahadat ketika orang-orang kafir tidak ada.
Artinya, kepada orang yang zhahirnya kafir lalu bersyahadat
saja tidak boleh disebut kafir, apalagi kepada orang-orang yang
memang dari asalnya sudah Islam; haram memvonis kafir kepada
mereka karena mereka sudah jelas mengikrarkan Islam.
Maka semestinya yang harus dilakukan oleh kelompok takfiri
adalah tabayyun dulu kepada semua pihak yang telah divonisnya
kafir, apakah mereka benar-benar sudah berani mencabut
syahadatnya? Benar-benar tidak beriman sedikit pun kepada Allah
dan Rasul-Nya? Apakah mereka benar-benar menolak hukum Allah
dan Rasul-Nya? Ataukah sebenarnya mereka hanya belum paham
dan sadar akan kewajiban menegakkan hukum Allah? Sebab
faktanya mayoritas pengelola pemerintahan ini masih tulus dalam
Islamnya.

Keliru Menempatkan Ayat-ayat tentang Kafir


Kita seharusnya terhindar dari keliru menempatkan ayat-ayat
tentang kafir, yang semestinya untuk orang-orang kafir karena
divonis tidak akan diampuni dosanya dan akan kekal di neraka,
menjadi ditujukan kepada umat Islam. Perilaku seperti ini dahulu
pernah dilakukan oleh Khawarij, yang disebut ahli bid’ah oleh para
shahabat. Imam al-Bukhari misalnya menulis dalam kitab
Shahihnya:
Imam al-Bukhari berkata: Bab membunuh Khawarij dan
Mulhidin (keluar dari agama) sesudah mengemukakan hujjah
kepada mereka dan firman Allah ta’ala: (Dan Allah sekali-kali tidak
akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi [9 : 115]). Dan Ibn ‘Umar menilai mereka sebagai
makhluk Allah yang jahat. Ia berkata: “Sesungguhnya mereka

147|
menggunakan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan
menujukannya kepada orang-orang beriman.” (Shahih al-Bukhari
kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim).
Ayat-ayat yang dimaksud di antaranya ayat-ayat di atas yang
dijadikan dalil oleh takfiri untuk memvonis kafir umat Islam
Indonesia. Dalam kaitan manhaj ini, al-Hafizh Ibn Hajar al-
‘Asqalani menjelaskan:
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Sebagian ahli bid’ah bersikukuh
dalam klaim mereka bahwa pelaku maksiat yang masuk neraka
tidak akan keluar darinya, berdasarkan firman Allah ta’ala (Dan
siapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan [4 : 14]). Ahlus-Sunnah menjawab, bahwasanya ayat
itu turun untuk orang kafir. Jika mencakup yang lebih luas dari itu,
maka sungguh telah tetap dalil yang mengecualikan orang-orang
yang bertauhid keluar dari neraka (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab
shifat al-jannah wan-nar, ketika mensyarah hadits syafa’at).
Maksud al-Hafizh, firman Allah Swt dalam QS An-Nisa` /4 : 14
yang menyatakan siapa yang terang-terangan menolak hukum
waris akan kekal di neraka, itu bukan untuk orang Islam, tetapi
orang kafir. Sebab orang Islam, asalkan masih ada iman meski itu
sangat sedikit, tidak akan kekal di neraka, melainkan akan
dikeluarkan dari neraka pada saat-saat terakhir melalui syafa’at
Nabi Saw. Jadi kalau ada ayat-ayat yang memvonis kafir, kekal di
neraka, tidak akan diampuni, itu konteksnya untuk orang kafir.
Kalau ada di antara umat Islam yang berbuat hal yang sama dengan
orang kafir dimaksud, maka itu tidak berarti kafir, tetapi “seperti
orang kafir”. Hadits tentang syafa’at Nabi Saw yang dimaksud di
antaranya:

‫ٰخر ِْج ٰم ْن ٰكا ٰن ِِف قٰ ْلبِ ِه أ ْٰد َّٰن أ ْٰد َّٰن‬ ِ ُ ‫ب أ َُّم ِِت أ َُّم ِِت فِٰ ُق‬
ْ ‫ول انْطٰل ْق فٰأ‬ ٰ ‫ول ٰاي ٰر ِر‬
ُ ُ‫فٰأٰق‬
ِ ِ ٍ ِ ِ ِ
‫ود‬
ُ ‫ٰن‬ ُ ‫ٰخ ِر ْجهُ م ْن النَّا ِر فٰأٰنْطٰل ُق فٰأٰفْ ٰع ُل … ُْثَّ أ‬ ْ ‫أ ْٰد َّٰن مثْ ٰق ِال ٰحبَّة ٰخ ْرٰد ٍل م ْن إِيٰان فٰأ‬

|148
ِ ‫ٰخُّر لٰه ي‬ ِ ِِ
‫ك ٰيقُ ْل‬ ٰ ‫ال ٰاي ُُمٰ َّم ُد ْارفٰ ْع ٰرأْ ٰي‬
ُ ‫اج ًدا فُِٰ ٰق‬ ٰ ُ ‫ك الْ ٰم ٰحامد ُْثَّ أ‬ ٰ ‫ُٰحٰ ُدهُ بِتِْل‬
ْ ‫الرابِ ٰعةٰ فٰأ‬
َّ
ِ
َّ ‫ِم ْن قٰ ٰال َٰل إِلٰهٰ إََِّل‬
ُ‫اَّلل‬ ٰ ‫ب ائْ ٰذ ْن ِِل ف‬ ‫ول ٰاي ٰر ِر‬
ُ ُ‫َّع فٰأٰق‬ ْ ِ‫يُ ْس ٰم ْع ٰي ٰي ْل تُ ْعطٰ ْه ٰيا ْش ِٰ ْع تُ ٰش‬
َّ ‫ُخ ِر ٰج َّن ِمْن ٰها ٰم ْن قٰ ٰال َٰل إِلٰهٰ إََِّل‬
ُ‫اَّلل‬
ِ ِ ِ ُ ‫فِٰ ُق‬
ْ ‫ول ٰينَّزِِت ٰي ٰج ٰلِِل ٰيك ِْْبٰايئي ٰي ٰنظٰ ٰم ِِت ْٰل‬ ٰ
“…lalu aku (Nabi Saw) berkata: “Wahai Rabb, umatku,
umatku.” Allah berfirman: “Pergilah, keluarkanlah orang yang
dalam hatinya masih ada keimanan yang lebih kecil, lebih
kecil, lebih kecil dari berat biji sawi, keluarkanlah ia dari
neraka!” Lalu aku pun pergi dan melakukannya… Kemudian
aku kembali yang keempat kalinya. Aku memujinya dengan
pujian-pujian itu, lalu aku tersungkur sujud. Lalu dipanggil:
“Hai Muhammad, angkat kepalamu. Berbicaralah, kamu akan
didengar. Mintalah, kamu akan diberi. Minta syafa’atlah,
kamu akan diberi.” Lalu aku berkata: “Wahai Rabb, izinkalah
untukku dalam hal orang yang mengucapkan la ilaha illal-
‘Llah.” Allah berfirman: “Demi kegagahan-Ku, kemuliaan-Ku,
kebesaran-Ku, dan keagungan-Ku, pasti Aku akan keluarkan
dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah.”
(Shahih al-Bukhari kitab at-tauhid bab kalamir-Rabb yaumal-
qiyamah ma’al-anbiya wa ghairihim no. 7510).
Dengan hadits ini jelas bahwa jika seorang muslim masih
bersemayam dalam hatinya keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya,
itu berarti tidak kafir alias tidak akan kekal di neraka, meski ia
masuk neraka terlebih dahulu. Maka dari itu jangan disamakan
begitu saja orang muslim yang seperti kafir sebagai orang kafir.
Sebab tidak benar jika kita mengatakan “keledai adalah kuda”
hanya karena sama kakinya empat dan sebagai hewan angkutan.
Ada ciri pokok lainnya yang membedakan keledai dan kuda
sehingga tidak bisa disamakan begitu saja. Ciri pokok yang
membedakan antara muslim dan kafir itu sendiri adalah keyakinan
tidak ada tuhan selain Allah Swt. Maka meskipun ada dari orang
yang meyakini la ilaha illallah tersebut perbuatan yang sama dengan

149|
orang kafir, jangan divonis kafir, sebab tetap ada ciri pokok yang
membedakannya dengan orang kafir.

Keliru Memahami Konsep Kafir


Kelompok takfiri telah keliru menyamaratakan konsep kafir
menjadi kafir akbar semata. Padahal ayat-ayat dan hadits-hadits
yang memberi vonis kafir tidak semuanya berstatus kafir akbar atau
kafir yang sampai keluar dari agama Islam.
Dalam hal ini bisa dirujuk kitab Shahih al-Bukhari dalam kitab
al-iman, dimana Imam al-Bukhari menuliskan tiga tarjamah terkait
tema takfir ini. Berikut disajikan beserta syarah-nya:
ِ ْ ‫ِد‬ ٍ ِ‫ِبب ُك ِْر ِان الْع ِش ِْي يُك ِْ ٍر ب عد ُك ِْ ٍر فِ ِِه نن أِِٰب يع‬
:‫َِّب‬ ِ
‫ي ٰن ْن الن ِر‬ ‫اْلُ ْدر ِر‬ ٰ ْٰ ٰ ْٰ ٰ ٰ ٰ ٰ
‫ٰيٰل ٰم ٰن ْن ٰنطٰ ِاء بْ ِن يٰ ٰسا ٍر ٰن ْن‬ ِ ٍِ
ْ ‫اَّلل بْ ُن ٰم ْسلٰ ٰم ٰة ٰن ْن ٰمالك ٰن ْن ٰزيْد بْ ِن أ‬
َِّ ‫حدَّثٰنا نبد‬
ُ ْٰ ٰ ٰ
‫ِْ ْر ٰن‬
ُ ‫ِل أٰيٰك‬ ِ‫ِْر ٰن ق‬
ُ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫اء‬ ‫س‬ ِ‫اس قٰ ٰال قٰ ٰال النَِِّب أُِريت النَّار فِٰإذٰا أٰ ْكثٰر أٰهلِها النر‬ ٍ َّ‫ابْ ِن ٰنب‬
ٰ ْ ٰ ُ ٰ ْٰ ُ ٰ ُ ُّ
‫ٰت‬ ْ ‫ت إِ َٰل إِ ْح ٰد ُاه َّن الد‬
ْ ‫َّهٰر ُْثَّ ٰرأ‬ ٰ ‫ٰح ٰسْن‬ْ ‫اْل ْح ٰسا ٰن لْٰو أ‬ِْ ‫ِْر ٰن‬ ِ ُ ‫ِِب ََّّللِ قٰ ٰال يٰك‬
ْ ُ ‫ِْ ْر ٰن الْ ٰعش ْٰي ٰييٰك‬
‫ط‬ُّ ٰ‫ك ٰخِْ را ق‬ ِ ‫ك ٰشِ ئا قٰالٰت ما رأٰي‬ ِ
ً ٰ ‫ت مْن‬ ُ ْ ٰ ٰ ْ ً ْ ٰ ‫مْن‬
“Bab: Kufur kepada Suami dan Satu Kufur di bawah Kufur
Yang Lain. Dalam tema ini ada riwayat dari Abu Sa’id al-
Khudri dari Nabi Saw: Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari
‘Atha’ bin Yasar dari Ibnu ‘Abbas berkata, Nabi Saw bersabda:
“Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan
penghuninya adalah wanita, disebabkan mereka kufur“.
Ditanyakan: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
bersabda: “Mereka kufur kepada suami, kufur terhadap
kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang
dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja
kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘Aku belum pernah
melihat kebaikan sedikitpun darimu“.

|150
Imam al-Bukhari melalui tarjamah ini menunjukkan bahwa
pernyataan kafir dalam hadits tidak otomatis kafir keluar dari Islam
(khuruj minal-millah), sebab memang faktanya kafir itu bertingkat-
tingkat. Hadits di atas sendiri menyebut maksiat dengan kafir,
serupa dengan hadits-hadits sebelumnya yang menyebut ketaatan
dengan iman. Artinya setiap kemaksiatan yang disebut kafir tidak
otomatis kafir keluar dari agama, hanya sebatas maksiat. Demikian
dijelaskan oleh Imam al-Qadli Ibnul-‘Arabi (Fathul-Bari).

‫لش ْرِك‬ ِ ‫اهلَِِّ ِة يَٰل ي ٰكَِّر ص‬


‫احبُ ٰها ِِب ْرتِ ٰك ِاِبٰا إََِّل ِِب ِر‬ ِ ‫اْل‬ ِ ِ
ٰ ُ ُ ٰ ْٰ ‫ِٰبب الْ ٰم ٰعاصي م ْن أ ْٰم ِر‬
َّ ‫اَّللِ تٰ ٰع ٰاَل إِ َّن‬
‫اَّللٰ َٰل يٰ ْغ ِِ ُر أٰ ْن يُ ْشٰرٰك بِِه‬ َّ ‫اهلَِِّةٌ ٰيقٰ ْوِل‬ ِ ‫َِّب إِنَّك امرٌؤ فِِك ج‬
ٰ ٰ ُ ْ ٰ ‫ل ٰق ْول النِ ِر‬
ِ ِ
‫ب قٰ ٰال ٰحدَّثٰنٰا ُش ْعبٰةُ ٰن ْن‬ ٍ ‫ حدَّثٰنٰا يلِْٰما ُن بْن حر‬:‫ك لِمن ي ٰشاء‬ ِ ِ
ْٰ ُ ٰ ُ ٰ ُ ٰ ْ ٰ ٰ ‫ٰييٰ ْغِ ُر ٰما ُدي ٰن ٰذل‬
‫ِت أ ِٰٰب ذٰ رٍر ِِب َّلربٰ ٰذ ٌِ ٰي ٰنلِْٰ ِه ُحلَّةٌ ٰي ٰنلٰى غُ ٰل ِم ِه‬ ِ ِ ‫ٰح ٰد‬ ِ
ُ ‫ب ٰن ْن الْ ٰم ْع ُريِر قٰ ٰال لٰق‬ ْ ‫ٰياص ٍل ْاْل‬
ِِ ِ
ُّ ِ‫ت ٰر ُج ًل فٰ ٰعَِّ ْرتُهُ ِِب رُمه فٰ ٰقا ٰل ِِل الن‬
‫َِّب ٰاي أ ِٰٰب ذٰ رٍر‬ ُ ‫ك فٰ ٰق ٰال إِِرِن ٰيابْٰب‬ ٰ ‫ُحلَّةٌ فٰ ٰسأٰلْتُهُ ٰن ْن ذٰل‬
‫ت أٰيْ ِدي ُك ْم فٰ ٰم ْن‬ َّ ‫اهلَِِّةٌ إِ ْخ ٰوانُ ُك ْم ٰخ ٰولُ ُك ْم ٰج ٰعلٰ ُه ْم‬
ٰ ‫اَّللُ َْٰت‬
ِ ‫أٰنَِّ رتٰه ِِب ُِم ِه إِنَّك امرٌؤ فِِك ج‬
ٰ ٰ ُْ ٰ ‫ٰ ْ ُ ر‬
‫وه ْم ٰما يٰ ْغلِبُ ُه ْم‬ ِ ِ ِ ْ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫ٰخوهُ َْٰت‬
ُ ُِ ‫س ٰيَٰل تُ ٰكلر‬ُ ‫ت يٰده فٰ ْلُِ ْطع ْمهُ ِمَّا َٰي ُك ُل ٰيلُِْ ْلب ْسهُ ِمَّا يْٰلٰب‬ ُ ‫ٰكا ٰن أ‬
ِ
‫وه ْم‬ ُ ‫فِٰإ ْن ٰكلَّ ِْتُ ُم‬
ُ ُ‫وه ْم فٰأٰنِن‬
“Bab: Maksiat Termasuk Bagian Jahiliyyah, Tetapi Tidak Boleh
Dikafirkan Pelakunya kecuali dengan Syirik, berdasarkan
sabda Nabi Saw: Sesungguhnya kamu orang yang ada dalam
dirimu Jahiliyyah. Juga berdasarkan firman Allah ta’ala:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni syirik dan
mengampuni lainnya bagi orang yang Dia kehendaki: Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil Al Ahdab dari
Al Ma’rur bin Suwaid berkata: Aku bertemu Abu Dzar di
Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu
juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu,
maka dia menjawab: Aku telah menghina seseorang dengan

151|
cara menghina ibunya, maka Nabi Saw menegurku: “Wahai
Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya
kamu orang yang ada dalam dirimu Jahiliyyah. Hamba
sahayamu adalah saudara-saudara kalian, Allah telah
menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa yang
saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya)
maka jika ia makan berilah makanan seperti yang dia makan,
bila ia berpakaian berilah seperti yang ia pakai, janganlah
kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas
kemampuan mereka. Jika kalian menugaskan mereka, maka
bantulah mereka.”
Tarjamah yang ditulis oleh Imam al-Bukhari di atas
menunjukkan bahwa orang yang memiliki sifat/perangai kafir
jahiliyyah hanya dikategorikan maksiat, bukan kafir yang tidak
akan diampuni. Orang seperti ini juga tidak boleh divonis kafir
keluar dari Islam, kecuali jika kekafirannya bersifat aqidah, yakni
syirik.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: “Inti dari tarjamah ini adalah
maksiat yang dinyatakan kafir, kafirnya itu kafir majazi, bukan kafir
yang sampai keluar dari agama.”
Selanjutnya al-Hafizh menjelaskan bahwa maksud syirik
dalam firman Allah Swt surat an-Nisa` di atas adalah kafir keluar
dari Islam. Artinya, kalau kafirnya masih dalam tataran dosa dan
maksiat maka ada peluang untuk diampuni. Sebagaimana
dinyatakan Ibn Baththal: “Maksud al-Bukhari adalah membantah
orang yang mengafirkan pelaku dosa seperti Khawarij. Mereka
berpendapat bahwa siapa yang mati dalam keadaan berdosa akan
kekal di neraka. Sementara ayat di atas membantah keyakinan
mereka tersebut. Sebab maksud firman-Nya: Dan mengampuni
dosa selain itu bagi yang Dia kehendaki, adalah orang yang mati
dalam keadaan berdosa selain syirik.”
Sementara hadits Abu Dzar menunjukkan bahwa sifat kafir
jahiliyyah itu masih mungkin ada dalam diri seorang shahabat yang

|152
imannya tinggi sekalipun. Artinya, pernyataan kafir dari Nabi
Saw/dalam hadits tidak otomatis berarti kafir keluar dari Islam, jika
pada faktanya hanya dalam tataran maksiat.
ِ ‫ان ِمن الْمؤِمنِْي اقْ ت ت لُوا فٰأ‬ ِ
‫اه ْم‬ُ ‫ٰصل ُحوا بِْٰ نٰ ُه ٰما} فٰ ٰس َّم‬ ْ ٰ ٰ ٰ ْ ُ ْ ِ ٰ‫{يإِ ْن طٰائ ِٰت‬ ٰ ‫ِٰبب‬
ٍ ِ ِِ
‫س‬ ُ ُ‫وب ٰييُون‬ ُ ُّ‫اد بْ ُن ٰزيْد ٰحدَّثٰنٰا أٰي‬ ُ َّ‫الر ُْحٰ ِن بْ ُن الْ ُمبٰ ٰارك ٰحدَّثٰنٰا ُٰح‬َّ ‫ ٰحدَّثٰنٰا ٰنْب ُد‬:‫ْي‬ ٰ ‫الْ ُم ْؤمن‬
ٌٰ‫الر ُج ٰل فٰلٰ ِقِِٰن أٰبُو بٰكْٰر‬َّ ‫صٰر ٰه ٰذا‬ ِ ‫س قٰ ٰال ٰذهب‬
ُ ْ‫ت ْلٰن‬ ُ ْٰ ٍ ِْٰ‫ف بْ ِن ق‬ ِ ٰ‫اْلس ِن ٰنن ْاْلٰحن‬
ْ ْ ٰ ْٰ ‫ٰن ْن‬
‫ول إِذٰا‬ َِّ ‫ول‬ ِ ِ
ُ ‫اَّلل يٰ ُق‬ ٰ ‫ت ٰر ُي‬ ُ ‫الر ُج ٰل قٰ ٰال ْارج ْع فِٰإِرِن َٰس ْع‬ َّ ‫ص ُر ٰه ٰذا‬ ُ ْ‫ت أٰن‬ ُ ‫فٰ ٰق ٰال أٰيْ ٰن تُِر‬
ُ ‫يد قُْل‬
‫اَّللِ ٰه ٰذا‬
َّ ‫ول‬ٰ ‫ت ٰاي ٰر ُي‬ ُ ‫ول ِِف النَّا ِر فٰ ُقْل‬
ِ ‫الْتٰ ٰقى الْمسلِم‬
ُ ُ‫ان بِ ٰسِْ ِِْٰ ِه ٰما فٰالْ ٰقاتِ ُل ٰيالْ ٰم ْقت‬ ٰ ُْ
‫احبِ ِه‬
ِ ‫ول قٰ ٰال إِنَّه ٰكا ٰن ح ِريصا نلٰى قْٰت ِل ص‬
ٰ ٰ ً ٰ ُ
ِ ُ‫الْ ٰقاتِل فٰما ِب ُل الْم ْقت‬
ٰ ٰ ٰ ُ
“Bab: (Jika ada dua kelompok dari kaum mu`minin berperang
maka damaikanlah di antara mereka) Maka Dia Menamai
Mereka Mu`minin: Telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Al Mubarak Telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid Telah menceritakan kepada kami
Ayyub dan Yunus dari Al Hasan dari Al Ahnaf bin Qais
berkata: “Aku pergi untuk menolong lelaki itu (‘Ali ibn Abi
Thalib pada waq’atul-Jamal). Tapi Abu Bakrah menemuiku
dan bertanya: “Hendak ke mana kamu?” Aku menjawab:
“Aku akan menolong lelaki itu.” Abu Bakrah menegah:
“Pulanglah, karena sungguh aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda: ‘Apabila dua orang muslim bertemu dengan
membawa pedang, maka baik yang membunuh atau yang
terbunuh sama masuk neraka.” Aku –Abu Bakrah- sempat
bertanya: “Ini yang membunuh wajar, tapi kenapa yang
terbunuh juga masuk neraka?” Beliau menjawab: “Karena ia
juga bernafsu untuk membunuh sahabatnya.”
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Imam al-Bukhari ber-istidlal
(berdalil) dengan ayat di atas (QS al-Hujurat /49 : 9) bahwa orang
yang melakukan maksiat—seperti saling membunuh—tidak kafir

153|
karena Allah Swt masih tetap menyebut mereka “mu`min”. Dalam
ayat selanjutnya (ayat 10) pun Allah Swt masih tetap menyebut
mereka “mu`min”. Demikian halnya dengan hadits di atas, Imam
al-Bukhari ber-istidlal bahwa dua orang yang saling membunuh itu
“muslim”, tidak sampai kafir keluar dari Islam, meski mereka
diancam masuk neraka.
Akan tetapi itu semua tidak berarti bahwa perbuatan-
perbuatan dosa tersebut dianggap sepi begitu saja. Penyebutan
istilah kafir untuk dosa dan maksiat itu sendiri adalah sebuah
taghlizh (peringatan keras) agar manusia tidak menganggapnya
sepele. Dalam hal ini, maka Imam al-Bukhari juga mencantumkan
satu tarjamah khusus agar prinsip aqidah seperti ini tidak
diselewengkan sebagaimana yang dilakukan oleh Murji`ah
(berpendapat bahwa dosa ditangguhkan vonisnya dan diserahkan
kepada Allah). Tarjamah yang dimaksud adalah:

‫ ٰحدَّثٰنٰا ُُمٰ َّم ُد بْ ُن‬:‫ط ٰن ٰملُهُ ٰي ُه ٰو َٰل يٰ ْش ُع ُر‬ ِ ‫ِبب خو‬


ٰ ٰ‫ف الْ ُم ْؤِم ِن ِم ْن أٰ ْن َْٰيب‬ ْٰ ٰ
‫ت أ ِٰٰب ٰيائِ ٍل ٰن ْن الْ ُم ْرِجئٰ ِة فٰ ٰق ٰال ٰح َّدثِٰن‬ ٍ
ُ ْ‫ٰن ْر ٰنٰرٌٰ قٰ ٰال ٰحدَّثٰنٰا ُش ْعبٰةُ ٰن ْن ُزبِْٰد قٰ ٰال ٰيأٰل‬
‫وق ٰيقِتٰالُهُ ُك ٌِْر‬
ٌ ‫اب الْ ُم ْسلِ ِم فُ ُس‬ ِ
ُ ٰ‫َِّب قٰ ٰال يب‬ َّ ‫اَّللِ أ‬
َّ ِ‫ٰن الن‬ َّ ‫ٰنْب ُد‬
“Bab: Takutnya Seorang Mu`min akan Kehancuran Amalnya
dalam Keadaan Tidak Sadar: Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Ar’arah berkata, Telah menceritakan kepada
kami Syu’bah dari Zubaid berkata: Aku bertanya kepada Abu
Wa’il tentang Murji`ah, maka dia menjawab: Telah
menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi Saw bersabda:
“Mencaci orang muslim adalah fasiq dan memeranginya
adalah kufur”.
Sebagaimana tampak dari latar belakang dialog antara tabi’in
dan shahabat dalam hadits di atas, hadits ini jadi dalil untuk
membantah Murji`ah. Maksudnya, keliru kalau ada yang
berpendapat bahwa setiap dosa itu ditangguhkan vonisnya dan
diserahkan kepada Allah. Nabi Saw sudah mengajarkan bagaimana

|154
vonis dan kepastian hukum untuk semua pelaku dosa. Akan tetapi
menurut al-Hafizh, keliru juga jika memahami hadits di atas secara
ekstrem sebagaimana Khawarij, yang menarik kafir dalam hadits di
atas sebagai kafir keluar dari Islam. Konsekuensinya, para shahabat
yang pernah terlibat konflik perang berstatus kafir (Fathul-Bari).
Semestinya, memahami hadits-hadits seperti di atas, tidak terjebak
pada “ekstrem kiri” seperti halnya Murji`ah yang terlalu lunak, juga
tidak terjebak pada “ekstrem kanan” sebagaimana halnya Khawarij
yang terlalu keras. Yang benar sebagaimana para shahabat,
memahami vonis kafir dalam hadits semacam di atas sebagai
taghlizh (peringatan keras).
Uraian Imam al-Bukhari dan para ulama syarah hadits di atas
menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur`an dan hadits yang
menyatakan kafir tidak otomatis berarti kafir keluar dari Islam
(khuruj minal-millah). Jika pernyataan kafir itu ditujukan pada amal
maksiat, maka berarti kafir tersebut adalah taghlizh (peringatan
keras). Maka dalam kerangka seperti inilah semestinya ayat-ayat
dan hadits-hadits yang mengafirkan orang yang tidak menegakkan
hukum Allah Swt dipahami. Termasuk mereka yang meninggalkan
salat. Mereka semua bukan kafir murtad, tetapi kafir pelaku dosa
besar yang tidak sampai keluar dari Islam. Sebab Nabi Saw dalam
hadits lainnya sudah menyebutkan bahwa kriteria kafir itu biwahan
(terang-terangan) dan penjelasannya sudah ada dalam al-Qur`an:
ِ ِ ‫الص ِام‬
‫ أٰ ْن‬:‫ٰخ ٰذ ٰنلِْٰ نٰا‬ٰ ‫ فِْ ٰما أ‬:‫ فٰ ٰق ٰال‬،ُ‫َِّب فٰبٰايٰ ْعنٰاه‬ ُّ ِ‫ان الن‬
ٰ ‫ ٰد ٰن‬:‫ت‬ َّ ‫قٰ ٰال ُنبٰ ٰادٌُ بْ ُن‬
‫ ٰيأٰ ْن‬،‫ ٰي ُن ْس ِرٰن ٰييُ ْس ِرٰن ٰيأٰثٰ ٰرٌٍ ٰنلِْٰ نٰا‬،‫ ِِف ٰمْن ٰش ِطنٰا ٰيٰمكْٰرِهنٰا‬،‫ان ِة‬ٰ َّ‫الس ْم ِع ٰيالط‬َّ ‫ِٰبيٰ ْعنٰا ٰنلٰى‬
.‫ ِنْن ٰد ُك ْم ِم ٰن هللاِ فِِْ ِه بُْرٰها ٌن‬،ً‫ إَِلَّ أٰ ْن تٰ ٰرْيا ُك ًِْرا بِٰواحا‬،ُ‫ِع ْاْل ْٰمٰر أ ْٰهلٰه‬
ٰ ‫َلٰ نُنٰاز‬
“Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi Saw memanggil kami
lalu kami berbai’at kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi bai’at
yang beliau ambil dari kami adalah kami berbai’at untuk
senantiasa patuh dan taat, dalam keadaan senang dan benci,
dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukan

155|
pemimpin daripada kami, dan agar kami tidak mencabut
urusan kepemimpinan dari yang berhaknya. Kecuali jika
kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya
pegangan yang jelas dari Allah mengenainya.” (Shahih al-
Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy shallal-llahu ‘alaihi wa
sallam satarauna ba’di umuran tunkirunaha, no. 6533)
Kufur terang-terangan atau kafir haqiqi (yang sebenar-
benarnya kafir), dijelaskan Allah Swt dalam surat an-Nisa` sebagai
berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami
beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan (QS an-Nisa` /4 : 150-151).
Inilah kafir haqiqi yakni yang dikategorikan khuruj minal-
millah (keluar dari agama); Allah dan Rasul-rasul-Nya betul-betul
diingkari, atau mengingkari dan membeda-bedakan keimanan
kepada para Rasul, dan terang-terangan munafiq atau
meninggalkan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara total. Jika tidak
sampai kafir seperti ayat ini, berarti kafirnya tidak haqqan (tidak
sebenar-benarnya). Atau kafirnya tidak sampai murtad dan keluar
dari agama Islam.

Penutup
Maka dari itu, para ulama sudah sangat berhati-hati dalam
urusan takfir ini dengan selalu membagi pengertian kufur pada dua
bagian; kufur akbar (besar)/i’tiqadi (aqidah) yang benar-benar kufur,
dan kufur ashghar (kecil)/amali (amal) yang tidak sampai kufur. Hal
yang sama juga berlaku pada pengertian syirk, nifaq, dan bid’ah

|156
(mukaffarah dan ghair mukaffarah). Tidak berarti setiap vonis kafir,
syirk, nifaq, dan bid’ah yang ditemukan dalam hadits otomatis
merupakan vonis kafir dalam makna keluar dari Islam (khuruj minal-
millah). Dengan demikian, sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua
sebagai umat Islam untuk lebih teliti dan selalu tabayyun dalam
memahami ajaran agama Islam agar terhindar dari mudahnya
melakukan takfiri.

157|

Anda mungkin juga menyukai