Anda di halaman 1dari 8

Penjelasan Hadits

Kalimat “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir” adalah kalimat syarat
dan jawab syaratnya adalah kalimat setelahnya, yaitu “hendaklah ia berkata baik atau
diam”,  “hendaklah ia memuliakan tetangganya”, “hendaklah ia memuliakan tamunya”.
Faedah Hadits
Pertama: Hadits ini menunjukkan adab yang sangat mulia sama dengan hadits
keduabelas sebelumnya, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal
yang tidak bermanfaat.” Hadits keduabelas dari Arbain An-Nawawiyyah mengajarkan
adab yang sifatnya umum. Sedangkan hadits mengajarkan tiga adab khusus yaitu
berkata baik, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu.
Kedua: Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban itu ada dua macam: (1) kewajiban
kepada Allah dan (2) kewajiban kepada sesama. Kewajiban yang terkait dengan hak
Allah adalah menjaga lisan. Artinya kalau kita beriman dengan benar kepada Allah dan
hari akhir, maka disuruh untuk menjaga lisan. Bentuknya adalah (1) berkata yang baik,
atau jika tidak bisa (2) diperintahkan untuk diam.
Dalam ayat disebutkan:
ِ ‫ف أَ ْو إِصْ اَل ٍح َبي َْن ال َّن‬
‫اس‬ ٍ ‫ص َد َق ٍة أَ ْو َمعْ رُو‬
َ ‫ِير مِنْ َنجْ َوا ُه ْم إِاَّل َمنْ أَ َم َر ِب‬
ٍ ‫اَل َخي َْر فِي َكث‬
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisaa’: 114)
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
‫َمنْ َيضْ َمنْ لِى َما َبي َْن لَحْ َي ْي ِه َو َما َبي َْن ِرجْ لَ ْي ِه أَضْ َمنْ لَ ُه ْال َج َّن َة‬
“Siapa yang menjamin (menjaga) di antara dua janggutnya (lisannya) dan di antara dua
kakinya (kemaluannya), maka aku akan jaminkan baginya surga.” (HR. Bukhari, no.
6474).
Artinya diperintahkan untuk menjaga lisan, tidak berkata jelek yang nanti dicatat oleh
malaikat pencatat amal jelek. Juga tidak menggunakan kemaluan untuk sesuatu yang
diharamkan. Hadits ini menunjukkan bahwa berbagai maksiat itu terjadi karena lisan
dan kemaluan. Siapa yang selamat dari kejelekan keduanya, maka ia akan selamat dari
kejelekan yang besar. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Batthol dalam Syarh Al-Bukhari.
Ketiga: Ikram dalam hadits yang dimaksudkan adalah memuliakan dengan sebaik-
baiknya, yaitu memuliakan dengan sempurna pada tetangga dan tamu.
Keempat: Memuliakan tetangga bisa melakukan sebagaimana saran dari Imam Al-
Ghazali berikut ini.
Memulai mengucapkan salam pada tetangga.
Menjenguk tetangga yang sakit.
Melayat (ta’ziyah) ketika tetangga mendapatkan musibah.
Mengucapkan selamat pada tetangga jika mereka mendapati kebahagiaan.
Berserikat dengan mereka dalam kebahagiaan dan saat mendapatkan nikmat.
Meminta maaf jika berbuat salah.
Berusaha menundukkan pandangan untuk tidak memandangi istri tetangga yang bukan
mahram.
Menjaga rumah tetangga jika ia pergi.
Berusaha bersikap baik dan lemah lembut pada anak tetangga.
Berusaha mengajarkan perkara agama atau dunia yang tetangga tidak ketahui.
Selain sepuluh hal tadi, ada juga hak-hak sesama muslim secara umum yang
ditunaikan.
Disebutkan dalam Al-Ihya’, 2:213, dinukil dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 16: 219 saat
membahas perintah menunaikan hak pada sesama tetangga.
Salah satu ayat yang menyebutkan perintah berbuat baik pada tetangga adalah,
ِ ‫ار ْال ُج ُن‬
‫ب‬ ِ f‫رْ َبى َو ْال َج‬ffُ‫ار ذِي ْالق‬
ِ f‫ِين َو ْال َج‬ ِ ‫ َدي‬fِ‫ ْي ًئا َو ِب ْال َوال‬f‫ ِه َش‬f‫ ِر ُكوا ِب‬f‫ ُدوا هَّللا َ َواَل ُت ْش‬f‫َواعْ ُب‬
ِ ‫اك‬f‫ا َمى َو ْال َم َس‬ff‫رْ َبى َو ْال َي َت‬ffُ‫ذِي ْالق‬f‫ا ًنا َو ِب‬f‫ْن إِحْ َس‬
ُ‫ت أَ ْي َما ُنك ْم‬ َ
ْ ‫يل َو َما َمل َك‬
ِ ‫ْن الس َِّب‬
ِ ‫ب َواب‬ ْ ْ
ِ ‫ب ِبال َجن‬ ِ ‫َوالصَّا ِح‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa’: 36)
Juga di antara dalilnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
‫ت أَ َّن ُه َسي َُورِّ ُث ُه‬ ِ ‫َما َزا َل ِجب ِْري ُل يُوصِ ينِى ِب ْال َج‬
ُ ‫ار َح َّتى َظ َن ْن‬
“Jibril tidak henti-hentinya mengingatkan padaku untuk berbuat baik pada tetangga,
sampai-sampai aku menyangka bahwa Jibril hendak menjadikannya sebagai ahli
waris.” (HR. Bukhari, no. 6015 dan Muslim, no. 2624)
Siapakah tetangga kita?
Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa yang menjadi tetangga adalah 40
rumah dari segala arah (depan, belakang, kanan dan kiri). Mereka berdalil dengan
hadits, “Hak tetangga adalah 40 rumah seperti ini dan seperti itu.” Namun hadits ini
dha’if.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa disebut tetangga jika berdempatan dilihat dari
berbagai penjuru atau antar rumah itu hanya dipisah jalan sempit, bukan dipisah pasar
besar atau sungai lebar yang melintang. Begitu pula disebut tetangga kalau
dikumpulkan oleh satu masjid atau berada di antara dua masjid yang berdekatan. Bisa
jadi pula disebut tetangga dengan patokan ‘urf (anggapan masyarakat) walau tidak
memakai batasan tadi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa disebut tetangga jika berdampingan atau
menempel. Sedangkan ulama Hanafiyah lainnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad
berpendapat bahwa tetangga itu yang berdampingan dan yang disatukan oleh masjid.
Definisi terakhir ini adalah definisi syar’i dan definisi menurut penilaian masyarakat
(‘urf). (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 16:216-217)
Ringkasnya, tetangga adalah siapa saja yang berdampingan dan dekat dengan rumah
kita. Mereka ini berhak dapat hak hidup bertetangga. Di antara haknya adalah tidak
mengganggu mereka.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:
‫ َو ُت ْؤذِيْ ِجي َْرا َن َها ِبل َِسا ِن َها؟‬،‫َّق‬
ُ ‫صد‬ َ ‫هللا ! إِنَّ فُالَ َن َة َتقُ ْو ُم اللَّ ْي َل َو َتص ُْو ُم ال َّن َه‬
َ ‫ َو َت‬،ُ‫ َو َت ْف َعل‬،‫ار‬ ِ ‫يا َ َرس ُْو َل‬
“Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan
berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya
sering mengganggu tetangganya.”
Rasulullah SAW menjawab:
َ
ِ ‫ِي مِنْ أهْ ِل ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ ه‬،‫الَ َخي َْر فِ ْي َها‬
“Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka.”
Para sahabat lalu berkata:
ٍ ‫ِق ِبأ َ ْث َو‬
‫ َوالَ ُت ْؤذِي أَ َحداً؟‬، ‫ار‬ ُ ‫ َو ُتصْ د‬f،‫صلِّي ْال َم ْك ُت ْو َب َة‬
َ ‫َوفُالَ َن ُة ُت‬
“Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan
gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.”
Beliau bersabda:
‫ِي مِنْ أَهْ ِل ْال َج َّن ِة‬
َ ‫ه‬
“Dia adalah dari penduduk surga.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 119.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Ash-Shahihah, 190)
Kelima: Hadits ini juga memotivasi untuk berbuat baik pada tamu dengan
memuliakannya.
Adab melayani tamu sudah diajarkan oleh Nabi Ibrahim As sebagaimana disebutkan
dalam ayat berikut ini:
‫ ا َء‬f‫ ِه َف َج‬f ِ‫اغ إِلَى أَهْ ل‬
َ ‫ر‬f
َ f‫) َف‬25( ‫ُون‬ َ ‫) إِ ْذ َد َخلُوا َعلَ ْي ِه َف َقالُوا َساَل مًا َقا َل َساَل ٌم َق ْو ٌم ُم ْن َكر‬24( ‫ِين‬ َ ‫ضيْفِ إِب َْراهِي َم ْال ُم ْك َرم‬ ُ ‫ك َحد‬
َ ‫ِيث‬ َ ‫َه ْل أَ َتا‬
ُ َ
‫ ُه‬f ‫ت امْ َرأت‬ َ ْ َ ‫ُاَل‬
ِ ‫) َفأق َبل‬28( ‫ف َو َبشرُوهُ ِبغ ٍم َعل ٍِيم‬ َّ ‫اَل‬ ُ ً
ْ ‫س ِمن ُه ْم خِي َفة َقالوا َت َخ‬ ْ َ
َ ‫) َفأ ْو َج‬27( ‫ون‬ ُ ُ ْ ‫اَل‬َ َ
َ ‫) َف َقرَّ َب ُه إِلي ِْه ْم َقا َل أ َتأكل‬26( ‫ِين‬ ٍ ‫ِبعِجْ ٍل َسم‬
)30( ‫) َقالُوا َك َذلِكِ َقا َل َربُّكِ إِ َّن ُه ه َُو ْال َحكِي ُم ْال َعلِي ُم‬29( ‫ت َعجُو ٌز َعقِي ٌم‬ ْ َ‫ت َوجْ َه َها َو َقال‬
ْ ‫ص َّك‬ َ ‫صرَّ ٍة َف‬ َ ‫فِي‬
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu
malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu
mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang
yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya,
kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka.
Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena
itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”,
dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang
alim (Ishak).” (QS. Adz-Dzariyat: 24-30)
Salah satu adab yang disebutkan dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Diin karya Imam Al-
Ghazali, “Adab keempat: Janganlah seseorang mengatakan pada tamunya, “Mau tidak
saya menyajikan engkau makanan?” Akan tetapi yang tepat, tuan rumah pokoknya
menyajikan apa yang ia punya.
Imam Sufyan Ats-Tsauri menyebutkan, “Jika saudaramu mengunjungimu, maka jangan
bertanya padanya, ‘Apakah engkau mau makan?’ Atau bertanya, ‘Apakah aku boleh
sajikan makan untukmu?’ Akan tetapi yang baik, jika ia mau makan apa yang disajikan,
syukurlah. Jika tidak mau menikmatinya, tinggal dibereskan sajian tersebut.” (Ihya’
‘Ulum Ad-Diin, terbitan Darul Ma’rifah, 2:12, penomoran Maktabah Syamilah)

1. MENGUCAPKAN KATA-KATA YANG BAIK ATAU DIAM


Yang beliau soroti adalah mulut kita ini. Disebut di sini “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir”, dua saja yang disebutkan dari enam rukun iman kita.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir.” Kenapa hari akhir? Karena yang
berhubungan langsung dengan amalan-amalan kita adalah hari akhir. Karena pada waktu itulah
kita akan dihisab. Jika baik kita akan mendapatkan balasan yang baik, jika amalan kita buruk
kita akan mendapatkan balasan yang buruk. Dan pada hari akhir itu terdapat kebangkitan,
hisab, ini yang akan mengingatkan kita untuk terus beramal baik. Ayo kita berkata-kata yang
baik, ayo kita hormati tetangga kita, ayo kita hormati tamu kita, karena di hari kiamat kelak kita
akan mendapati kebangkitan dan hisab. Maka kita harus banyak beramal. Ini rahasia kenapa
yang disebutkan adalah iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir.

2. MENGHORMATI TETANGGA
Adapun potongan hadits yang kedua adalah:
ُ‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم َجا َره‬
ِ ‫ان ي ُْؤ ِم ُن بِاهللِ َواليَ ْو ِم‬
َ ‫َو َم ْن َك‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
menghormati tetangganya.”

Diantara kebaikan Islam dan keindahannya adalah kita diperintahkan untuk berbuat


baik kepada tetangga kita. Yaitu orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Pokoknya yang
masuk hitungan tetangga menurut ‘urf, menurut adat di masyarakat kita. Barangkali
yang satu RT dengan kita, atau kalau desanya kecil mungkin yang satu desa itu
merupakan tetangga kita. Tidak ada batasan yang tegas dalam hal ini. Meskipun di
sebagian riwayat yang tidak kuat sanadnya disebutkan 40 rumah adalah
hitungan tetangga kita. Tapi ini yang lebih kuat adalah dikembalikan kepada ‘urf.
Berbeda dari kota ke desa, berbeda dari satu kota ke kota yang lain, tapi yang menurut
adat istiadat disebut sebagai tetangga kita maka kita punya kewajiban untuk
menghormati dia.

tegori tentangga:
Pertama adalah tetangga yang kerabat dan muslim. Jadi dia tetangga, dia adalah
kerabat kita, dia juga seorang muslim. Maka -kata mereka- tentang yang seperti
mempunyai tiga punya hak. Punya hak tetangga, punya hak sebagai kerabat dan punya
hak sebagai seorang muslim. Kita harus ditunaikan tiga hak mereka ini.
Kedua adalah tetangga yang muslim tapi bukan kerabat. Maka dia punya dua hak.
Yaitu hak sebagai tetangga dan hak sebagai seorang muslim.
Ketiga adalah tetangga yang bukan kerabat juga bukan muslim. Bisa jadi sebagian kita
diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tinggal bersama orang-orang yang non
muslim. Maka Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada mereka. Jangan
sampai mereka tersakiti oleh kita, jangan sampai kita menjadi penghalang dari hidayah
yang menyapa mereka. Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik
pada tetangga meskipun dia adalah seorang non muslim. Hak dia hanya satu, yaitu
hak tetangga. Tapi hak tetangga itu penting.

1. MENGUCAPKAN KATA-KATA YANG BAIK ATAU DIAM


Pada potongan pertama hadits, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengatakan di sini:

ْ ‫اآلخ ِر فَ ْليَقُلْ َخيْراً أَ ْو لِيَصْ ُم‬


‫ت‬ ِ ‫ان ي ُْؤ ِم ُن ِباهللِ َواليَ ْو ِم‬
َ ‫َم ْن َك‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan
kata-kata yang baik atau diam”

Yang beliau soroti adalah mulut kita ini. Disebut di sini “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir”, dua saja yang disebutkan dari enam rukun iman kita.
Yaitu:
 iman kepada Allah,
 kepada malaikat Allah,
 kepada Rasul Allah,
 kepada kitab-kitab Allah,
 kepada Qadha dan Qadar,
 iman kepada hari akhir.
Ada enam rukun iman, tapi yang disebutkan di sini ada dua. Kenapa? Ini penyebutan
sebagian tapi yang dimaksud adalah semuanya. Artinya barangsiapa yang beriman,
hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam. adapun penyebutan Allah dan hari
akhir secara khusus adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang paling
utama yang harus kita imani. Iman ini adalah iman yang paling penting, ini pokoknya.
Keimanan yang lain kepada malaikat Allah, kepada Rasul Allah, kitab Allah, kepada
Qadha dan Qadar, kepada hari akhir, ini semuanya mengikuti. Maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala disebut.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir.” Kenapa hari akhir? Karena yang
berhubungan langsung dengan amalan-amalan kita adalah hari akhir. Karena pada
waktu itulah kita akan dihisab. Jika baik kita akan mendapatkan balasan yang baik, jika
amalan kita buruk kita akan mendapatkan balasan yang buruk. Dan pada hari akhir itu
terdapat kebangkitan, hisab, ini yang akan mengingatkan kita untuk terus beramal baik.
Ayo kita berkata-kata yang baik, ayo kita hormati tetangga kita, ayo kita hormati tamu
kita, karena di hari kiamat kelak kita akan mendapati kebangkitan dan hisab. Maka kita
harus banyak beramal. Ini rahasia kenapa yang disebutkan adalah iman kepada Allah
dan iman kepada hari akhir.
Penyebutan secara khusus tapi yang dimaksud adalah semua iman. Kita harus
mengimani itu semuanya. Dan iman kita ini harus kelihatan, harus tampak dalam mulut
kita. Dan diantara tanda kesempurnaan iman seorang adalah menjaga lisan kita dengan
berkata-kata yang baik saja atau kalau tidak bisa hendaknya kita diam.
Hal ini ditegaskan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
dalam musnad, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ َواَل يَ ْس *تَقِي ُم قَ ْلبُ *هُ َحتَّى‬، ُ‫*ان َع ْب* ٍد َحتَّى يَ ْس *تَقِي َم قَ ْلبُ *ه‬
ُ *‫اَل يَ ْس *تَقِي ُم إِي َم‬
ُ‫يَ ْستَقِي َم لِ َسانُه‬

Baca Juga:

Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah: Hadits ke-752 hingga ke-758 - TPP: Berilmu dan
Beramal sebelum Zaman Fitnah; Menjual Agama untuk Dunia (Ustadz Abu Yahya
Badrusalam, Lc.)

“Tidaklah iman seseorang itu lurus sampai hatinya lurus. Dan tidaklah hatinya lurus
sampai lisannya lurus.” (HR. Ahmad)

Ini siapa yang mengucapkan? Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka
kita harus mengimani kandungan hadits ini karena hadits ini sampai kepada kita
dengan sanad yang shahih. Hadits riwayat Ahmad dihukumi hasan oleh Al-Albani
Rahimahullah. Maka kita meyakini bahwasanya iman kita tidak akan lurus
sampai hati kita lurus dulu. Hati yang paling utama, ini organ tubuh yang paling
penting, yang kalau dia baik maka seluruhnya akan baik. Yang jika dia rusak maka
seluruh organ juga akan rusak.
Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Tidak akan lurus
iman seorang hamba sampai hatinya lurus dulu.” Maka kalau kita ingin membersihkan
diri, yang harus dibersihkan pertama kali adalah hati kita, ini yang paling penting.
Kalau hati sudah baik, maka dia akan mempengaruhi yang lain. Tapi -kata
beliau- hati kita ini tidak akan beres, tidak akan lurus, kecuali setelah mulut kita beres
dulu. Dia sangat berhubungan erat dengan lisan/mulut ini. Beliau mengatakan: “kunci
lurus hati adalah lurusnya lisan.”
Maka kalau kita ingin hati kita bersih, kita ingin hati kita lurus, ikuti petunjuk Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kita luruskan dulu mulut kita. Bagaimana
caranya? Caranya dengan mengamalkan hadits ini.

ْ ‫فَ ْليَقُلْ َخيْراً أَ ْو لِيَصْ ُم‬


‫ت‬
“Hendaklah dia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam” Pilihannya cuma dua.
Mengucapkan kata-kata yang baik atau kalau kita tidak yakin bahwasanya kata-kata
yang akan kita ucapkan adalah sebuah kebaikan, sudah kita diam. Pilihannya hanya itu,
tidak ada pilihan yang ketiga. Kata-kata yang buruk atau kita ragu apakah ini baik atau
buruk, sudah, tinggalkan, tidak ada pilihan itu. Pilihannya adalah mengucapkan kata-
kata yang baik atau kalau kita tidak yakin itu baik, sudah, diam.

Makanya kata Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala, sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi
Rahmatullahi ‘Alaihima, kata beliau: “Arti hadits ini adalah saat kita ingin
mengucapkan suatu kata-kata, hendaklah kita berpikir apakah kata-kata ini adalah
kata-kata yang baik? Kalau baik, katakanlah. Atau kalau kita mengetahui bahwasannya
kata-kata itu buruk atau kita ragu itu baik atau buruk, maka pilihannya adalah kita
diam.” Ini penjelasan beliau seperti itu.

Saat kita yakin bahwa kata-kata itu baik, maka kita mengucapkannya. Karena
bagaimanapun mengucapkan kata-kata yang baik itu lebih baik. Kenapa? Karena
mengucapkan kata-kata yang baik lebih baik daripada diam. Karena kata-kata yang baik
itu bermanfaat untuk orang lain, bermanfaat untuk mendengarkan. Baik itu keluarga
kita sendiri, keluarga kecil kita, istri kita, anak-anak kita, ataupun orang yang
mendengar dalam lingkup yang lebih luas. Mereka mengambil manfaat.

‫والخير المتعدي خير من القاصر‬


“Kebaikan yang menular kepada orang lain lebih baik daripada kebaikan yang terbatas
manfaatnya hanya untuk diri kita sendiri saja.”

Maka bagaimanapun, berkata-kata yang baik lebih baik daripada hanya sekedar diam.
Seorang ulama mengatakan di depan Umar bin Abdul ‘Aziz:

‫ كالمتكام على علم‬، ‫الصامت على علم‬


“Orang yang diam atas dasar ilmu, itu sama dengan orang yang berbicara atas dasar
ilmu.” Ini dua-duanya sifat terpuji yang hendaknya kita berusaha mengumpulkannya.
Jadi kalau diam, diam karena ilmu. Berbicara juga berbicara karena ilmu. Kata-kata ini
disampaikan oleh seorang Ulama di hadapan Umar bin Abdul ‘Aziz. Maka Umar bin
Abdul ‘Aziz mengatakan: “Aku berharap orang yang berkata-kata karena ilmu adalah
orang yang terbaik dari keduanya.” Maksudnya beliau mengatakan, “Iya keduanya baik.
Diam atas dasar ilmu, baik. Berbicara atas dasar ilmu juga baik. Tapi aku berharap yang
berbicara atas dasar ilmu itu adalah yang terbaik dari keduanya.” Dia punya kedudukan
lebih tinggi. Kemudian beliau menjelaskan karena kebaikan dia menular untuk orang
lain. Sementara yang hanya diam saja atas nama ilmu, dia akan mendapatkan pahala,
tapi diamnya dia ini adalah untuk dirinya sendiri saja.

Baca Juga:

Hak Mayit atas Orang yang Hidup - Bagian ke-1 - Tabshiratul Anam bil Huquqi fil
Islam (Ustadz Abu Ya'la Kurnaedi, Lc.)

Dan nasihat ini banyak diulang-ulang oleh para ulama kita, mereka mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mewanti-wanti kita. Karena
mengatur lisan ini sungguh tidak mudah, mengontrol mulut kita ini sungguh tidak
mudah. Maka banyak orang yang bisa mengerjakan ibadah-ibadah yang besar, yang
berat, bisa Qiyamul Lail sekian puluh rakaat, bisa puasa di hari-hari yang panjang, bisa
bersedekah dengan harta yang banyak, tapi banyak juga diantara mereka yang tidak
mampu untuk mengontrol mulutnya. Mulutnya masih berkata-kata yang buruk dengan
berbohong, menggunjing, ini sungguh tidak mudah untuk kita hindarkan. Maka Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan ini sebagai tanda iman
seseorang. Iman kita tidak lurus kecuali setelah hati kita lurus dan hati kita tidak lurus
kecuali setelah mulut kita lurus dahulu. Maka ini penting untuk kita camkan bersama.
Dan tentu kita semuanya akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan
setiap ucapan yang keluar dari mulut kita.

ُ‫﴾ َّما يَ ْلفِ *ظ‬١٧﴿ ‫ال قَ ِعي * ٌد‬ ِ ‫*ان َع ِن ْاليَ ِم‬
ِّ ‫ين َو َع ِن‬
ِ ‫الش * َم‬ ِ *َ‫إِ ْذ يَتَلَقَّى ْال ُمتَلَقِّي‬
﴾١٨﴿ ‫ِمن قَ ْو ٍل إِاَّل لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬
“Tidak ada satupun perkataan yang keluar dari mulut kita kecuali itu ditangkap oleh
para malaikat yang mengawasi dan mencatat.” (QS. Qaf[50]: 17-18)

Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan bahwasanya


banyak manusia yang binasa karena mulut mereka. Ketika beliau ditanya: “Wahai
Rasulullah, apakah kami dihukum dengan apa yang kami ucapkan?” Maka beliau
mengatakan:

‫صائِ ُد ْأل ِسنَتِ ِه ْم؟‬


َ ‫ار على ُوجُو ِه ِه ْم إِالَّ َح‬
ِ َّ‫اس في الن‬
َ َّ‫َوهَلْ يَ ُكبُّ الن‬
“Bukankah yang membuat orang jatuh dalam neraka di atas wajah-wajah mereka itu
adalah buah dari mulut mereka sendiri?”

Iya, buah dari ucapan yang buruk yang mereka ucapkan. Maka kunci agar kita bisa
mengontrol ini semuanya adalah mengikuti sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam di potongan pertama hadits Abu Hurairah: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia mengucapkan kata-kata yang baik atau
diam.” Hanya itu dua pilihannya.
Maka ini sungguh termasuk jawami’ul kalim. Kata-kata mutiara dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pendek dan sarat makna. Kalau kita bisa
mengamalkannya, maka insyaAllah kita akan selamat.
2. MENGHORMATI TETANGGA
Adapun potongan hadits yang kedua adalah:

ُ‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم َجا َره‬


ِ ‫ان ي ُْؤ ِم ُن بِاهللِ َواليَ ْو ِم‬
َ ‫َو َم ْن َك‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
menghormati tetangganya.”

Diantara kebaikan Islam dan keindahannya adalah kita diperintahkan untuk berbuat


baik kepada tetangga kita. Yaitu orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Pokoknya yang
masuk hitungan tetangga menurut ‘urf, menurut adat di masyarakat kita. Barangkali
yang satu RT dengan kita, atau kalau desanya kecil mungkin yang satu desa itu
merupakan tetangga kita. Tidak ada batasan yang tegas dalam hal ini. Meskipun di
sebagian riwayat yang tidak kuat sanadnya disebutkan 40 rumah adalah
hitungan tetangga kita. Tapi ini yang lebih kuat adalah dikembalikan kepada ‘urf.
Berbeda dari kota ke desa, berbeda dari satu kota ke kota yang lain, tapi yang menurut
adat istiadat disebut sebagai tetangga kita maka kita punya kewajiban untuk
menghormati dia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Baca Juga:

Khutbah Jumat Bulan Syawal: Istiqamah Beribadah Setelah Ramadhan

‫َوا ْعبُ ُدوا اللَّـهَ َواَل تُ ْش ِر ُكوا ِب ِه َش ْيئًا‬


“Dan sembahlah Allah dan jangan engkau berbuat syirik kepadaNya dengan
sesuatupun.”

‫َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن إِحْ َسانًا‬


“Dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.”

ِ ‫َوبِ ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِك‬


‫ين‬
“Juga berbuat baik kepada para kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.”
ِ ُ‫ار ْال ُجن‬
‫ب‬ ِ ‫ار ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْال َج‬
ِ ‫َو ْال َج‬
“Juga berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (QS. An-
Nisa[4]: 36)
Tetangga yang dekat maksudnya adalah tetangga yang memiliki kekerabatan dengan
kita. Tetangga yang jauh adalah yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Kita
semuanya diperintahkan untuk menghormati dan berbuat baik kepada mereka.
Makanya para ulama membagi tetangga itu dalam tiga kategori.
Kategori tentangga:
Pertama adalah tetangga yang kerabat dan muslim. Jadi dia tetangga, dia adalah
kerabat kita, dia juga seorang muslim. Maka -kata mereka- tentang yang seperti
mempunyai tiga punya hak. Punya hak tetangga, punya hak sebagai kerabat dan punya
hak sebagai seorang muslim. Kita harus ditunaikan tiga hak mereka ini.
Kedua adalah tetangga yang muslim tapi bukan kerabat. Maka dia punya dua hak.
Yaitu hak sebagai tetangga dan hak sebagai seorang muslim.
Ketiga adalah tetangga yang bukan kerabat juga bukan muslim. Bisa jadi sebagian kita
diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tinggal bersama orang-orang yang non
muslim. Maka Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada mereka. Jangan
sampai mereka tersakiti oleh kita, jangan sampai kita menjadi penghalang dari hidayah
yang menyapa mereka. Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik
pada tetangga meskipun dia adalah seorang non muslim. Hak dia hanya satu, yaitu
hak tetangga. Tapi hak tetangga itu penting.
Cara berbuat baik kepada tetangga
Bagaimana caranya kita berbuat baik kepada tetangga seperti yang disebutkan
dalam hadits ini?
Yang pertama adalah dengan memastikan bahwasannya tetangga kita aman dari
gangguan kita.

membantu mereka jika mereka membutuhkan

Seorang mukmin yang baik itu peduli dengan tetangga. Jadi dia tidak hanya shalih secara
pribadi saja, tapi dia juga punya keshalihan sosial. Dia berjalan mengunjungi tetangganya,
melihat kondisi tetangganya, kalau ada yang kurang sementara dia mampu, dia bantu
tenaganya. Jangan sampai ada di antara kita enak-enak makan tapi tetangga kita ada yang
kelaparan. Ini sungguh tidak mencerminkan pribadi seorang muslim. 

Anda mungkin juga menyukai