Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Kesehatan Mental

Kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan


dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa
tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat
jangka panjang.

Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental.
Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres,
berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti
diri sendiri.

Beberapa jenis gangguan mental yang umum ditemukan, antara lain depresi, gangguan
bipolar, kecemasan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif
(OCD), dan psikosis. Beberapa penyakit mental hanya terjadi pada jenis pengidap
tertentu, seperti postpartum depression hanya menyerang ibu setelah melahirkan.

Gejala Kesehatan Mental


Gangguan mental atau penyakit mental dapat diawali dengan beberapa gejala berikut
ini, antara lain:

 Berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman-teman.


 Delusi, paranoia, atau halusinasi.
 Kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi.
 Ketakutan, kekhawatiran, atau perasaan bersalah yang selalu menghantui.
 Ketidakmampuan untuk mengatasi stres atau masalah sehari-hari.
 Marah berlebihan dan rentan melakukan kekerasan.
 Memiliki pengalaman dan kenangan buruk yang tidak dapat dilupakan.
 Memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain.
 Menarik diri dari orang-orang dan kegiatan sehari-hari.
 Mendengar suara atau mempercayai sesuatu yang tidak benar.
 Mengalami nyeri yang tidak dapat dijelaskan.
 Mengalami perubahan suasana hati drastis yang menyebabkan masalah dalam
hubungan dengan orang lain.
 Merasa bingung, pelupa, marah, tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan takut
yang tidak biasa.
 Merasa sedih, tidak berarti, tidak berdaya, putus asa, atau tanpa harapan.
 Merokok, minum alkohol lebih dari biasanya, atau bahkan menggunakan
narkoba.
 Perubahan drastis dalam kebiasaan makan, seperti makan terlalu banyak atau
terlalu sedikit.
 Perubahan gairah seks.
 Rasa lelah yang signifikan, energi menurun, atau mengalami masalah tidur.
 Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti merawat anak atau pergi ke
sekolah atau tempat kerja.
 Tidak mampu memahami situasi dan orang-orang.

Penyebab Kesehatan Mental


Beberapa penyebab umum dari gangguan mental, antara lain:

 Cedera kepala.
 Faktor genetik atau terdapat riwayat pengidap gangguan mental dalam keluarga.
 Kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan lainnya.
 Kekerasan pada anak atau riwayat kekerasan pada masa kanak-kanak.
 Memiliki kelainan senyawa kimia otak atau gangguan pada otak.
 Mengalami diskriminasi dan stigma.
 Mengalami kehilangan atau kematian seseorang yang sangat dekat.
 Mengalami kerugian sosial, seperti masalah kemiskinan atau utang.
 Merawat anggota keluarga atau teman yang sakit kronis.
 Pengangguran, kehilangan pekerjaan, atau tunawisma.
 Pengaruh zat racun, alkohol, atau obat-obatan yang dapat merusak otak.
 Stres berat yang dialami dalam waktu yang lama.
 Terisolasi secara sosial atau merasa kesepian.
 Tinggal di lingkungan perumahan yang buruk.
 Trauma signifikan, seperti pertempuran militer, kecelakaan serius, atau kejahatan
dan yang pernah dialami.

Faktor Risiko Kesehatan Mental


Beberapa faktor risiko gangguan mental, antara lain:

 Perempuan memiliki risiko tinggi mengidap depresi dan kecemasan, sedangkan


laki-laki memiliki risiko mengidap ketergantungan zat dan antisosial.
 Perempuan setelah melahirkan.
 Memiliki masalah di masa kanak-kanak atau masalah gaya hidup.
 Memiliki profesi yang memicu stres, seperti dokter dan pengusaha.
 Memiliki riwayat anggota keluarga atau keluarga dengan penyakit mental.
 Memiliki riwayat kelahiran dengan kelainan pada otak.
 Memiliki riwayat penyakit mental sebelumnya.
 Mengalami kegagalan dalam hidup, seperti sekolah atau kehidupan kerja.
 Menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan terlarang.

Diagnosis Kesehatan Mental


Dokter ahli jiwa atau psikiater akan mendiagnosis suatu gangguan mental dengan
diawali suatu wawancara medis dan wawancara psikiatri lengkap mengenai riwayat
perjalanan gejala pada pengidap serta riwayat penyakit pada keluarga pengidap.
Kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mengeliminasi
kemungkinan adanya penyakit lain.

Jika diperlukan, dokter akan meminta untuk dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan fungsi tiroid, skrining alkohol dan obat-obatan, serta  CT scan untuk
mengetahui adanya kelainan pada otak pengidap. Jika kemungkinan adanya penyakit
lain sudah dieliminasi, dokter akan memberikan obat dan rencana terapi untuk
membantu mengelola emosi pengidap.

Pencegahan Kesehatan Mental


Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah gangguan mental, yaitu:

 Melakukan aktivitas fisik dan tetap aktif secara fisik.


 Membantu orang lain dengan tulus.
 Memelihara pikiran yang positif.
 Memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.
 Mencari bantuan profesional jika diperlukan.
 Menjaga hubungan baik dengan orang lain.
 Menjaga kecukupan tidur dan istirahat.

Pengobatan Kesehatan Mental


Beberapa pilihan pengobatan yang akan dilakukan dokter dalam menangani gangguan
mental, antara lain:
 Psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi bicara yang memberikan media yang
aman untuk pengidap dalam mengungkapkan perasaan dan meminta saran.
Psikiater akan memberikan bantuan dengan membimbing pengidap dalam
mengontrol perasaan. Psikoterapi beserta perawatan dengan menggunakan
obat-obatan merupakan cara yang paling efektif untuk mengobati penyakit
mental. Beberapa contoh psikoterapi, antara lain cognitive behavioral therapy,
exposure therapy, dialectical behavior therapy, dan sebagainya.
 Obat-obatan. Pemberian obat-obatan untuk mengobati penyakit mental
umumnya bertujuan untuk mengubah senyawa kimia otak di otak. Obat-obatan
tersebut berupa golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitor (SNRIs), dan antidepresan trisiklik. Obat-obatan
ini umumnya dikombinasikan dengan psikoterapi untuk hasil pengobatan yang
lebih efektif.
 Rawat inap. Rawat inap diperlukan jika pengidap membutuhkan pemantauan
ketat terhadap gejala-gejala penyakit yang dialaminya atau terdapat
kegawatdaruratan di bidang psikiatri, misalnya percobaan bunuh diri.
 Support group. Support group umumnya beranggotakan pengidap penyakit
mental yang sejenis atau yang sudah dapat mengendalikan emosinya dengan
baik. Mereka berkumpul untuk berbagi pengalaman dan membimbing satu sama
lain menuju pemulihan.
 Stimulasi otak. Stimulasi otak berupa terapi elektrokonvulsif, stimulasi magnetik
transkranial, pengobatan eksperimental yang disebut stimulasi otak dalam, dan
stimulasi saraf vagus.
 Pengobatan terhadap penyalahgunaan zat. Pengobatan ini dilakukan pada
pengidap penyakit mental yang disebabkan oleh ketergantungan akibat
penyalahgunaan zat terlarang.
 Membuat rencana bagi diri sendiri, misalnya mengatur gaya hidup dan kebiasaan
sehari-hari, untuk melawan penyakit mental. Rencana ini bertujuan untuk
memantau kesehatan, membantu proses pemulihan, dan mengenali pemicu atau
tanda-tanda peringatan penyakit.

Kapan Harus ke Dokter?


Jika diri sendiri atau kerabat menunjukkan gejala-gejala yang telah disebutkan di atas
secara terus-menerus dan tidak membaik, sebaiknya segera memeriksakan diri ke
dokter spesialis jiwa atau psikiater untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan
lebih lanjut. Untuk melakukan pemeriksaan, kamu bisa langsung membuat janji dengan
dokter di rumah sakit pilihan kamu di sini.

 
Anak muda masa kini hidup dalam tekanan sangat besar. Dalam satu dekade
terakhir, lebih banyak anak muda--ketimbang generasi lebih tua--mengalami
tekanan psikologis serius, depresi berat, dan punya pikiran atau kecenderungan
bunuh diri.

Menurut studi baru yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology,


melonjaknya angka gangguan kesehatan mental tidak terlihat pada orang
berusia di atas 26 tahun. Sementara, remaja dan dewasa muda yang kini
usianya 20-an awal justru semakin berisiko mengalami masalah kesehatan
mental yang parah.
Mengapa kondisi ini hanya dialami generasi Z dan milenial muda? Para peneliti
berteori, masalah ini dipicu akses ponsel pintar, dan berkurangnya waktu tidur.
Riset ini mengamati data dari National Survey on Drug Use and Health di
Amerika Serikat. Survei ini memantau penggunaan narkoba dan masalah
kesehatan mental pada remaja sejak 1971.

Analisis dilakukan terhadap lebih dari 200 ribu jawaban remaja pada 2005
hingga 2017. Para peneliti juga melihat data dari lebih dari 400 ribu orang
dewasa dari 2008-2017.

Para peneliti menemukan, tingkat depresi berat naik lebih dari 50 persen pada
usia remaja. Dari 8,7 menjadi 13,2 persen.
Pada usia 18-25 melonjak lebih dari 60 persen. Dari 8,1 persen menjadi 13,2
persen.

Pada usia di bawah 26, orang yang berpikiran untuk bunuh diri meningkat hampir
50 persen. Dari tujuh persen menjadi 10,3 persen.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga meriset depresi pada 2018. Data


Riset Kesehatan Dasar 2018 mengungkap prevalensi depresi di Indonesia
adalah enam persen dari total penduduk.

Menurut Kemenkes, terjadi peningkatan proporsi gangguan jiwa cukup signifikan.


Pada Riskesdas 2013 angkanya 1,7 persen, naik menjadi 7 persen pada 2018.
Namun, ini bukan angka depresi, melainkan skizofrenia yang masuk kategori
gangguan jiwa berat.
Kelompok usia paling rentan menderita depresi adalah usia 75 tahun ke atas.
Sebanyak 8,9 persen dari total penduduk berusia tersebut menderita depresi.

Selain itu, usia depresi juga banyak terjadi di kalangan anak muda berusia 15
hingga 24 tahun. Sebanyak 6,2 persen kaum milenial muda depresi.

Karl Peltzer dan Supa Pengpid juga menemukan gejala depresi pada kaum
muda di Indonesia. Riset berskala nasional yang mereka lakukan mengungkap,
remaja berusia 15 hingga 19 tahun menunjukkan gejala depresi tertinggi
dibandingkan kelompok usia lain.
Kembali ke penelitian baru, riset ini keluar tak lama setelah survei besar
dirilis Pew Research Center. Survei tersebut juga menemukan hal senada. Tujuh
dari 10 remaja mengatakan kesehatan mental adalah masalah besar bagi
mereka.
Laporan lain dari Born This Way Foundation  pun memperlihatkan sekitar 50
persen remaja tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan saat mengalami
gangguan kesehatan mental.
"Semakin banyak remaja dan dewasa muda AS pada akhir 2010-an,
dibandingkan pertengahan 2000-an, mengalami tekanan psikologis yang serius,
depresi berat, atau berpikiran untuk bunuh diri, dan lebih banyak upaya bunuh
diri," papar penulis utama riset, Jean Twenge, Ph.D.
Penulis buku iGen dan profesor psikologi di San Diego State University ini
mengatakan, "Tren ini lemah atau tidak ditemukan di kalangan orang dewasa
berusia 26 tahun ke atas. Ini menunjukkan perubahan generasi dalam
gangguan mood daripada peningkatan secara keseluruhan di semua usia."
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengaitkan teknologi baru dengan
merosotnya kesehatan mental. Namun, belum ada yang secara definitif
menjelaskan mengapa akses informasi bisa sebegitunya memengaruhi
kesehatan mental.
Menurut Twenge, orang yang usianya lebih tua mungkin punya kehidupan sosial
yang lebih stabil daripada orang dewasa muda. Sementara, hubungan sosial
yang cepat berubah dengan dimediasi media sosial mungkin berdampak lebih
besar pada orang yang lebih muda.
Twenge juga menyarankan, orang yang lebih dewasa mungkin punya strategi
lebih baik dalam menata hidup. Mereka tidak membiarkan teknologi
mengganggu tidur. Beda dengan orang yang lebih muda.
Beberapa pakar menunjukkan perbedaan dalam menyikapi temuan riset ini.

"Menurut saya ini seperti alarm. Temuan ini datang bersama berbagai bukti yang
menunjukkan kita tidak mendukung kaum remaja dengan cara-cara yang sesuai
perkembangan," ujar Mary Helen Immordino-Yang. Mary adalah profesor
psikologi dan pendidikan di University of Southern California yang tidak terlibat
riset ini.
Seperti halnya Twenge, Mary pun sependapat soal efek buruk media sosial.
"Ada kelebihan informasi dan rangsangan serta pengaruh jauh lebih besar yang
mereka hadapi,” katanya.

Depresi memang melonjak di kalangan muda. Namun, apakah jelas ini


disebabkan oleh teknologi atau penggunaan media sosial?

"Tentu ada beberapa pemicu yang melekat pada penggunaan media sosial,
tetapi ada pemicu lain juga," tukas Laurence Steinberg, pakar remaja dan
profesor psikologi di Temple University.

Steinberg menyebutkan, meningkatnya persaingan untuk masuk perguruan


tinggi dan bayang-bayang orang tua sebagai faktor potensial. "Jadi mungkin
bukan karena satu hal, melainkan dampak kumulatif dari banyak hal."

Terlepas dari penyebab pasti, remaja yang depresi dan berkeinginan bunuh diri
lebih besar kemungkinannya menderita sebagai orang dewasa. Maka, lonjakan
angka depresi di kalangan muda ini bisa punya efek bertahun-tahun atau bahkan
puluhan tahun kemudian.

Anda mungkin juga menyukai