Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental.
Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres,
berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti
diri sendiri.
Beberapa jenis gangguan mental yang umum ditemukan, antara lain depresi, gangguan
bipolar, kecemasan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif
(OCD), dan psikosis. Beberapa penyakit mental hanya terjadi pada jenis pengidap
tertentu, seperti postpartum depression hanya menyerang ibu setelah melahirkan.
Cedera kepala.
Faktor genetik atau terdapat riwayat pengidap gangguan mental dalam keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan lainnya.
Kekerasan pada anak atau riwayat kekerasan pada masa kanak-kanak.
Memiliki kelainan senyawa kimia otak atau gangguan pada otak.
Mengalami diskriminasi dan stigma.
Mengalami kehilangan atau kematian seseorang yang sangat dekat.
Mengalami kerugian sosial, seperti masalah kemiskinan atau utang.
Merawat anggota keluarga atau teman yang sakit kronis.
Pengangguran, kehilangan pekerjaan, atau tunawisma.
Pengaruh zat racun, alkohol, atau obat-obatan yang dapat merusak otak.
Stres berat yang dialami dalam waktu yang lama.
Terisolasi secara sosial atau merasa kesepian.
Tinggal di lingkungan perumahan yang buruk.
Trauma signifikan, seperti pertempuran militer, kecelakaan serius, atau kejahatan
dan yang pernah dialami.
Jika diperlukan, dokter akan meminta untuk dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan fungsi tiroid, skrining alkohol dan obat-obatan, serta CT scan untuk
mengetahui adanya kelainan pada otak pengidap. Jika kemungkinan adanya penyakit
lain sudah dieliminasi, dokter akan memberikan obat dan rencana terapi untuk
membantu mengelola emosi pengidap.
Anak muda masa kini hidup dalam tekanan sangat besar. Dalam satu dekade
terakhir, lebih banyak anak muda--ketimbang generasi lebih tua--mengalami
tekanan psikologis serius, depresi berat, dan punya pikiran atau kecenderungan
bunuh diri.
Analisis dilakukan terhadap lebih dari 200 ribu jawaban remaja pada 2005
hingga 2017. Para peneliti juga melihat data dari lebih dari 400 ribu orang
dewasa dari 2008-2017.
Para peneliti menemukan, tingkat depresi berat naik lebih dari 50 persen pada
usia remaja. Dari 8,7 menjadi 13,2 persen.
Pada usia 18-25 melonjak lebih dari 60 persen. Dari 8,1 persen menjadi 13,2
persen.
Pada usia di bawah 26, orang yang berpikiran untuk bunuh diri meningkat hampir
50 persen. Dari tujuh persen menjadi 10,3 persen.
Selain itu, usia depresi juga banyak terjadi di kalangan anak muda berusia 15
hingga 24 tahun. Sebanyak 6,2 persen kaum milenial muda depresi.
Karl Peltzer dan Supa Pengpid juga menemukan gejala depresi pada kaum
muda di Indonesia. Riset berskala nasional yang mereka lakukan mengungkap,
remaja berusia 15 hingga 19 tahun menunjukkan gejala depresi tertinggi
dibandingkan kelompok usia lain.
Kembali ke penelitian baru, riset ini keluar tak lama setelah survei besar
dirilis Pew Research Center. Survei tersebut juga menemukan hal senada. Tujuh
dari 10 remaja mengatakan kesehatan mental adalah masalah besar bagi
mereka.
Laporan lain dari Born This Way Foundation pun memperlihatkan sekitar 50
persen remaja tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan saat mengalami
gangguan kesehatan mental.
"Semakin banyak remaja dan dewasa muda AS pada akhir 2010-an,
dibandingkan pertengahan 2000-an, mengalami tekanan psikologis yang serius,
depresi berat, atau berpikiran untuk bunuh diri, dan lebih banyak upaya bunuh
diri," papar penulis utama riset, Jean Twenge, Ph.D.
Penulis buku iGen dan profesor psikologi di San Diego State University ini
mengatakan, "Tren ini lemah atau tidak ditemukan di kalangan orang dewasa
berusia 26 tahun ke atas. Ini menunjukkan perubahan generasi dalam
gangguan mood daripada peningkatan secara keseluruhan di semua usia."
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengaitkan teknologi baru dengan
merosotnya kesehatan mental. Namun, belum ada yang secara definitif
menjelaskan mengapa akses informasi bisa sebegitunya memengaruhi
kesehatan mental.
Menurut Twenge, orang yang usianya lebih tua mungkin punya kehidupan sosial
yang lebih stabil daripada orang dewasa muda. Sementara, hubungan sosial
yang cepat berubah dengan dimediasi media sosial mungkin berdampak lebih
besar pada orang yang lebih muda.
Twenge juga menyarankan, orang yang lebih dewasa mungkin punya strategi
lebih baik dalam menata hidup. Mereka tidak membiarkan teknologi
mengganggu tidur. Beda dengan orang yang lebih muda.
Beberapa pakar menunjukkan perbedaan dalam menyikapi temuan riset ini.
"Menurut saya ini seperti alarm. Temuan ini datang bersama berbagai bukti yang
menunjukkan kita tidak mendukung kaum remaja dengan cara-cara yang sesuai
perkembangan," ujar Mary Helen Immordino-Yang. Mary adalah profesor
psikologi dan pendidikan di University of Southern California yang tidak terlibat
riset ini.
Seperti halnya Twenge, Mary pun sependapat soal efek buruk media sosial.
"Ada kelebihan informasi dan rangsangan serta pengaruh jauh lebih besar yang
mereka hadapi,” katanya.
"Tentu ada beberapa pemicu yang melekat pada penggunaan media sosial,
tetapi ada pemicu lain juga," tukas Laurence Steinberg, pakar remaja dan
profesor psikologi di Temple University.
Terlepas dari penyebab pasti, remaja yang depresi dan berkeinginan bunuh diri
lebih besar kemungkinannya menderita sebagai orang dewasa. Maka, lonjakan
angka depresi di kalangan muda ini bisa punya efek bertahun-tahun atau bahkan
puluhan tahun kemudian.