Anda di halaman 1dari 28

Perlu diketahui, perhitungan PPh 21 bagi karyawan atau pegawai sebuah

perusahaan sangat bergantung pada: 

 Persyaratan subjektif dan objektif yang dipenuhi karyawan tersebut.


 Persyaratan subjektifnya, seperti: punya atau tidaknya karyawan itu
NPWP, status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), jumlah tanggungan
anak dan istri, masa kerja, dan lainnya. 
 Persyaratan objektif, seperti: jumlah penghasilan dan jenis penghasilan.
Pengertian PPh 21 Setahun

Namun secara sederhana pengertian dari PPh 21 setahun adalah perhitungan PPh 21 yang dikenakan
atas karyawan yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun kalender, tetapi baru
bekerja pada pertengahan tahun.

Pak Kelik mulai bekerja di PT AAA pada bulan Februari 2021 dengan status masih lajang dan tidak punya
tanggungan dengan gaji Rp8.000.000 sebulan dan memiliki NPWP.

PT AAA memberikan tunjangan NPJS Ketenagakerjaan dengan iuran yang dibayarkan perusahaan
sebesar 3% dari gaji dan iuran pensiun yang dipotong dari Pak Kelik sebesar dari gaji setiap bulan.

Berapa PPh 21 Pak Kelik pada Februari? Maka, berikut perhitungan PPh 21 Februari yang di dalamnya
ada komponen penghitungan PPh 21 setahun atau penghasilan neto setahun.

No. Keterangan Perhitungan Jumlah

  Penghasilan:    

1. Gaji sebulan   = Rp8.000.000

2. Premi Jaminan Pensiun = 3% x Rp8.000.000 = Rp240.000 (+)

3. Penghasilan Bruto   = Rp8.240.000

  Pengurang:    

4. Iuran Pensiun = 2% x Rp8.000.000 = Rp160.000 (-)

5. Penghasilan Neto sebulan   = Rp8.080.000

6. Penghasilan Neto setahun:    

  = Februari – Desember = 11 bulan x Rp8.080.000 = Rp88.880.000

7. PTKP (TK/0)   =
Rp54.000.000 (-)

8. Penghasilan Kena Pajak   = Rp34.880.000

9. PPh Terutang = 5% x Rp34.880.000 = Rp1.744.000

10. PPh Terutang Februari = 12 bulan : Rp1.744.000 = Rp145.333

Pengertian PPh 21 Disetahunkan

Sedangkan PPh 21 disetahunkan adalah perhitungan pajak yang diterapkan untuk wajib pajak yang
kewajiban pajak subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri, dimulai setelah permulaan tahun pajak,
dan mulai bekerja pada tahun berjalan.

Pak Kelik seorang pegawai di PT. AAA yang mulai bekerja di perusahaan ini terhitung pada April 2021
dengan gaji per bulan sebesar Rp50.000.000. Pak Kelik menikah dan memiliki 1 anak dan tidak punya
NPWP.

Maka, contoh dari perhitungan PPh 21 disetahunkan atas gaji Pak Kelik ini adalah sebagai berikut:

No. Keterangan Perhitungan Jumlah

  Penghasilan:    

1. Gaji sebulan   = Rp50.000.000

  Pengurang:    

2. Biaya Jabatan = 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000 (-)

3. Penghasilan Neto sebulan   = Rp47.500.000

4. Penghasilan Neto 9 bulam:    

  = April – Desember = 9 bulan x Rp47.500.000 = Rp427.500.000

5. Penghasilan Neto Disetahunkan = 12/9 x Rp427.500.000 = Rp855.000.000

6. PTKP (K/1):    

  = WP sendiri = Rp54.000.000  

  = Istri = Rp4.500.000  

  = Tanggungan anak = Rp4.500.000 (+)  


  Jumlah PTKP   = Rp63.000.000 (-)

7. Penghasilan Kena Pajak Disetahunkan   = Rp792.000.000

8. PPh Pasal 21 Terutang Disetahunkan:    

  = 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000  

  = 15% x Rp250.000.000 = Rp37.500.000  

  = 25% x Rp492.000.000 = Rp123.000.000 (+)  

  Jumlah PPh Terutang Disetahunkan   = Rp163.000.000

9. PPh 21 Terutang untuk Tahun 2021 = 9/12 x Rp163.000.000 = Rp81.500.000

10 PPh 21 Teerutang Sebulan = 1/9 x RpRp81.500.000 = Rp9.055.555

Pemahaman Pegawai Baru dan Pegawai Tetap dalam PPh 12 Disetahunkan


Berdasarkan PER 16/PJ 2016 dan lampirannya, dijelaskan mengenai kewajiban pajak subjektif
bagi pegawai baru dan pegawai tetap.
Detail penjelasannya sebagai berikut:
a. Pertama, untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, maka
PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan.
kewajiban pajak subjektif yang diterima ini bisa bersifat teratur maupun tidak teratur, selama
pegawai tetap tersebut bekerja pada perusahaan yang memotong pajak itu.
b. Kedua, untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah Januari
atau berakhir sebelum Desember, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah
seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak
teratur, yang disetahunkan.
Pak Kelik adalah seorang pegawai baru, yang masuk ke PT AAA sebuah perusahaan bidang
garmen pada Mei 2020. Dia mendapatkan penghasilan neto Rp.6.000.000 per bulan.
Bagaimana perhitungan PPh 21-nya yang betul?
Untuk memecahkan persoalan tersebut, silakan mengacu pada Penghitungan Pemotongan PPh
Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Berhenti Bekerja atau Mulai Bekerja Dalam Tahun
Berjalan.
Jika Pak Kelik sudah punya NPWP dan pernah bekerja di perusahaan lain, maka perhitungan
PPh Neto disetahunkan : 12/8* x Rp6.000.000
*(masa kerja pegawai Pak Kelik di perusahaan baru).

Akan tetapi, jika Pak Kelik belum punya NPWP dan ini adalah pengalamannya bekerja pertama
kali, maka perhitungan PPh Neto disetahunkan: Rp6.000.000 x 8*/12

Lebih detail ketika seorang pegawai baru belum memiliki NPWP, maka perhitungan di formulir
1721-A1 mengenai penghasilan Neto setahun atau disetahunkannya seperti berikut : 12/8 x
Rp6.000.000

Perhitungan itu berdasarkan PER 16/PJ 2016 dalam lampiran I.6.1.2. Penghitungan PPh Pasal 21
atas penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri
dimulai setelah permulaan tahun pajak, dan mulai bekerja pada tahun berjalan.

Simak juga contoh kasus lainnya agar lebih mudah memahami menghitung PPh 21 yang
disetahunkan dengan Subjek Pajak luar negeri yang pada saat pertengahan tahun menjadi Subjek
Pajak dalam negeri:

Mrs. Elik berstatus (K/3) atau menikah dan punya 3 anak, mulai bekerja di PT AAA yang
berlokasi di Jakarta pada 1 September 2020 sampai Agustus 2021. Selama 2020, dia menerima
gaji per bulan Rp20.000.000.

Maka penghitungan PPh Pasal 21 untuk September 2020 saat Mrs Elik resmi menerima
penghasilan bulanannya sebagai berikut:

No. Keterangan Perhitungan Jumlah

  Penghasilan:    

1. Gaji   = Rp20.000.000

  Penguran:    

= 5% x 20.000.000 =
2. Biaya Jabatan  
Rp1.000.000
Biaya jabatan maksimal per bulan yang
  = Rp500.000 = Rp500.000 (-)
diperbolehkan

3. Penghasilan Neto sebulan   = Rp19.500.000

4. Penghasilan Neto setahun = 4 bulan x Rp19.500.000 = Rp78.000.000

= (12 bulan : 4 bulan) x


5. Penghasilan Neto disetahunkan = Rp234.000.000
Rp78.000.000

6. PTKP (K/3)   = Rp72.000.000 (-)

Penghasilan Neto disetahunkan


7. Penghasilan Kena Pajak setahun = Rp162.000.000
– PTKP

8. PPh 21 Terutang:    

  = 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000  

  = Rp15% x Rp112.000.000 = Rp16.800.000 (+)  

  Jumlah PPh Terutang   = Rp19.300.000

9. PPh 21 Terutang setahun untuk 2021 = 4/12 x Rp19.300.000 = Rp6.433.333

10. PPh 21 Terutang sebulan = 1/4 x Rp6.433.333 = Rp1.608.333

Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah pengeluaran (biaya) selama setahun yang berhubungan dengan pekerjaan.
Biaya jabatan ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto setahun dan setinggi-tingginya
Rp500.000 sebulan atau Rp6.000.000 setahun. 
Biaya Pensiun 
Besarnya biaya pensiun yang ditetapkan adalah 5% dari penghasilan bruto dan setinggi-tingginya
Rp200.000 per bulan atau Rp2.400.000 per tahun.
BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan
Saat ini lebih dikenal sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), badan
hukum publik yang memiliki tanggung jawab langsung kepada presiden memiliki tugas utama
yaitu memberikan jaminan kesehatan nasional untuk seluruh warga negara Indonesia.
Beroperasi secara resmi sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia mengoperasikan BPJS dengan
produknya yang bernama BPJS Kesehatan. Program tersebut mewajibkan bagi seluruh warga
negara Indonesia untuk memiliki asuransi kesehatan. Dari upah pekerja, biaya yang diambil
untuk alokasi BPJS Kesehatan berjumlah 1 persen.
Sementara itu, program BPJS lainnya yaitu BPJS Ketenagakerjaan telah beroperasi sejak 1 Juli
2015. BPJS Ketenagakerjaan adalah sebuah fasilitas yang menggantikan Jamsostek (Jaminan
Sosial Tenaga Kerja).
Sesuai Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS Ketenagakerjaan berfungsi untuk
melindungi seluruh pekerja melalui 4 program jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan
Jaminan Pensiun (JP).
Iuran yang dikeluarkan setiap bulannya untuk masing-masing jaminan adalah 2 persen untuk
JHT, 1% untuk JP, 0,24%untuk JKK dan 0,3% untuk JK.
Penghasilan Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah jumlah upah pekerja yang akan dikenakan PPh 21 setelah
dikalkulasikan dengan tunjangan, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dan lainnya.
Sementara itu, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah komponen penting yang merupakan
pengurang jumlah nilai penghasilan bruto bagi wajib pajak yang tidak dikenakan pajak. Sesuai dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 dan PMK No. 101/PMK.010/2016, berikut ini tarif
PTKP terbaru:
PTKP SUAMI ISTRI
PTKP PRIA/WANITA LAJANG PTKP PRIA KAWIN
DIGABUNG
TK/0 Rp54.000.000 K/0 Rp58.500.000 K/I/0 Rp112.500.000
TK/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/I/1 Rp117.000.000
TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/I/2 Rp121.500.000
TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/I/2 Rp126.000.000

Cara Menghitung PPh 21 Gross, Gross Up, dan Nett


Ada 6 kategori yang masuk dalam peserta wajib pajak PPh 21 yaitu:
A. Pegawai, 
B. Bukan pegawai atau mereka yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, yaitu:
1.
A. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris,
B. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya,
C. Olahragawan,
D. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator,
E. Pengarang, peneliti, dan penerjemah,
F. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan,
G. Agen iklan,
H. Pengawas atau pengelola proyek;
I. Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara,
J. Petugas penjaja barang dagangan,
K. Petugas dinas luar asuransi,
L. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
C. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
pada perusahaan yang sama,
D. Mantan pegawai
E. Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
1.
A. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya,
B. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja,
C. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu,
D. Peserta pendidikan dan pelatihan,
E. Peserta kegiatan lainnya. 
Bagaimana Cara Menghitung PPh 21?
Secara umum ada 3 metode yang bisa dilakukan untuk menghitung PPh 21 yaitu dengan metode
perhitungan pajak penghasilan Nett, Gross, dan Gross Up. Sebelum menghitung, ada baiknya
melihat lapisan Tarif PPh 21 yang dikenakan kepada Wajib Pajak.

Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000 dikenakan tarif pajak
sebesar 5 persen.
Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
250.000.000 dikenakan tarif sebesar 15 persen.
Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp
500.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 25 persen.
Wajib Pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar
30 persen.
Metode Nett
Menghitung PPh 21 dengan menggunakan metode Nett adalah pemotongan pajak dimana
perusahaan yang menanggung pajak karyawannya. 
Metode Gross
Menghitung PPh 21 dengan menggunakan metode Gross adalah pemotongan pajak dimana
karyawan yang menanggung pajak.
Metode Gross Up
Menghitung PPh 21 dengan metode Gross Up adalah pemotongan pajak dimana perusahaan
memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong
dari karyawan. Metode Gross Up ini lebih rumit.
Adapun tunjangan pajak dihitung berdasarkan besarnya penghasilan kena pajak (PKP) dengan
mengikuti formula Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP):
Lapisan 1 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp0 – Rp47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95
+ 0,
Lapisan 2 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp47.500.000 – Rp217.500.000 (PKP setahun
– Rp47.500.000) x 15/85 + Rp2.500.000,
Lapisan 3 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp217.500.000 – Rp405.000.000 (PKP
setahun – Rp217.500.000) x 25/75 + Rp32.500.000,
Lapisan 4 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Lebih dari Rp405.000.000 (PKP setahun –
Rp405.000.000) x 30/70 + Rp95.000.000.
Cara Menghitung PPh 21 Karyawan Harian Lepas
Karyawan atau Pekerja Harian Lepas (PHL) biasanya melakukan pekerjaan tertentu yang
sifatnya berubah terutama menyangkut waktu dan volume pekerjaan. Untuk itu, gaji yang
diberikan biasanya dihitung berdasarkan pada kehadiran karyawan per harinya. Sehingga
perhitungan PPh 21 juga berbeda.
Dasar Aturan Karyawan Harian Lepas
Karyawan harian lepas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No
Kep-100/Men/Vi/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Kepmen ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Karyawan Harian Lepas menurut Kepmen ini merupakan bagian dari PKWT yang diatur dalam
Pasal 10 sampai dengan pasal 12. Namun demikian, karyawan harian lepas ini memiliki
pengecualian di beberapa ketentuan umum PKWT. Adapun beberapa syarat perjanjian kerja
harian lepas antara lain: 
1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran, 
2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang
dari 21 (dua puluh satu) hari dalam satu bulan, 
3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. 
PPh 21 Karyawan Harian Lepas
PPh 21 karyawan harian lepas dihitung dengan dasar upah harian dan jumlah akumulasi upah
harian yang diterima karyawan lepas dalam satu bulan (masa pajak).

Menurut ketentuan PPh pasal 21, upah harian adalah upah atau imbalan yang terutang atau
dibayarkan secara harian. Penerimanya adalah karyawan tidak tetap atau lepas.

Pajak penghasilan upah harian dikenakan atas jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000
sehari. Setelah jumlah kumulatif upah harian melebihi Rp4.500.000, PPh pasal 21 dikenakan atas
upah harian secara penuh.

Tarif yang digunakan untuk menghitung PPh 21 karyawan harian lepas adalah lapisan pertama
tarif PPh pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu 5%. Berikut adalah penjelasannya lebih lanjut.

Penghasilan 1 Hari Penghasilan Kumulatif 1 bulan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
(DPP)
< Rp 450.000 < Rp 4.500.000 Tidak Dikenakan PPh 21
> Rp 450.000 < Rp 4.500.000 5% x (Upah – Rp 450.000)
< Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x {Upah – (PTKP/360)}
> Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% {Upah – (PTKP/360)}
< Rp 450.000 > Rp 10.200.000 Tarif pada undang-undang pajak penghasilan pasal 17 ayat
(1) huruf (a)
Metode Menghitung PPh 21 Karyawan Harian Lepas
Menghitung PPh 21 karyawan harian lepas dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

Tentukan besarnya upah harian yang diterima seorang karyawan lepas,


Apabila upah harian belum melebihi Rp 450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam satu bulan
kalender belum melebihi Rp 4.500.000, tidak ada pemotongan PPh pasal 21,
Jika upah harian telah melebihi Rp 450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam bulan kalender
belum melebihi Rp 4.500.000, PPh pasal 21 adalah upah harian setelah dikurangi Rp 450.000
dikalikan 5%,
Jika jumlah upah kumulatif dalam bulan kalender telah melebihi Rp 4.500.000 dan kurang dari
Rp 10.200.000, PPh 21 adalah upah harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%,
Jika upah kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 10.200.000, PPh 21 dihitung
dengan menerapkan tarif pasal 17 atas jumlah upah bruto satu bulan yang disetahunkan
dikurangi PTKP. PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah PPh Pasal 21 hasil perhitungan
tersebut dibagi 12.
Contoh Soal:
Cakra belum menikah. Pada bulan Januari 2020 dia bekerja sebagai karyawan harian di PT Kali
Besar. Upah harian yang diberikan sebesar Rp 450.000 per hari.
Dengan memperhatikan ketentuan PPh pasal 21, penghasilan kena pajak (PKP) dengan dasar
upah yang diterima setiap hari adalah nihil.
Upah Sehari Rp 450.000
Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh Rp 450.000
__________________________________________________
Penghasilan Kena Pajak Rp –

Cakra akhirnya harus dikenakan PPh 21 di hari ke 11 dia bekerja. Saat itu, upah kumulatif yang
sudah diterima sebesar Rp4.950.000, atau di atas ambang batas Rp4.500.000.

Upah Selama 11 Hari Rp 4.950.000


Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
11 x (Rp 54.000.000: 360) Rp 1.650.000
____________________________________________________
Pendapatan Kena Pajak 11 Hari Rp 3.300.000
PPh 21 Terutang untuk 11 Hari
5% x Rp 3.300.000 Rp 165.000
Sehingga, di hari ke 11 tersebut Cakra hanya menerima upah bersih sebesar Rp285.000. Lantas
bagaimana untuk hari-hari selanjutnya?
Misalnya untuk hari ke 12, maka perhitungannya:
Upah Harian Rp 450.000
PTKP Sehari (Rp 54.000.000 : 360) Rp 150.000
_________________________________________________
Rp 300.000

Jadi, PPh 21 yang dipotong di hari ke 12 adalah sebesar Rp 15.000. Angka tersebut didapat dari
5% x Rp300.000. Sehingga upah bersih Cakra di hari ke 12 adalah Rp435.000.

Contoh Soal 2:

Menghitung PPh 21 dengan gaji di atas Rp450.000 per Hari

Bagaimana cara menghitung PPh 21 untuk karyawan harian lepas dengan gaji di atas Rp450.000
per hari? Misalnya, Cakra mendapatkan upah sebesar Rp650.000 per hari. Dengan upah tersebut,
Cakra dikenakan potongan PPh 21 dengan dasar upah harian:

Dasar Perhitungan PPh Upah Harian:

Rp 650.000 – Rp 450.000 = Rp 200.000

PPh 21 Terutang:

5% x Rp 200.000 = Rp 10.000

Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra hingga hari keenam bekerja adalah Rp 640.000
(hasil dari Rp 650.000 – Rp 10.000).

Pada hari ketujuh selama bekerja di bulan Januari itu, Cakra telah menerima penghasilan sebesar
Rp 4.550.000 (7 × Rp 650.000). Gaji yang diterima telah melebihi ambang batas yaitu sebesar
Rp 4.500.000.

Langkah-langkah penghitungan PPh 21 pada hari ketujuh adalah sebagai berikut:


Upah harian selama 7 hari pertama:

7 × Rp 650.000 = Rp 4.550.000

PTKP:

7 × (Rp 54.000.000 : 360) = Rp 1.050.000

PKP (langkah 1 – langkah 2):

Rp 4.550.000 – Rp 1.050.000 = Rp 3.500.000

Penerapan tarif PPh:

5% × Rp 3.500.000 = Rp 175.000

PPh pasal 21 yang sudah dipotong selama 6 hari pertama:

6 × Rp 10.000 = Rp 60.000

PPh 21 yang dipotong pada hari ketujuh (langkah 4 – langkah 5):

Rp 175.000 – Rp 60.000 = Rp 115.000

Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra pada hari ketujuh hanya sebesar Rp 535.000
yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 115.000.

Pada hari kerja kedelapan dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, pemotongan
harian dilakukan dengan tahap-tahap penghitungan berikut:

Upah harian: Rp 650.000


PTKP harian:

Rp 54.000.000 : 360 = Rp 150.000

PKP (tahap 1 – tahap 2):

Rp 650.000 – Rp 150.000 = Rp 500.000

PPh 21 terutang:

5% × Rp 500.000 = Rp 25.000

Dengan demikian, upah bersih yang diterima Cakra pada hari kerja kedelapan dan seterusnya
selama masa pajak Januari adalah Rp 625.000 yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 25.000.

Cara Menghitung PPh 21 Uang Lembur


Dari sudut pandang perusahaan, kerja lembur adalah bentuk upaya peningkatan produktivitas.
Perusahaan tidak perlu menambah karyawan baru, hanya menambah jam kerja karyawan yang
sudah ada.

Ketika upah lembur diberikan kepada karyawan, uang tersebut juga dikenakan pajak atau PPh 21
Uang Lembur.

Kalau dilihat dari sisi kepentingan perusahaan, overtime atau kerja lembur bisa diasumsikan
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas. Pertimbangannya adalah perusahaan tidak
perlu menambah karyawan baru, hanya cukup menambah jam kerja karyawan yang sudah ada.

Setiap perintah kerja lembur tentu harus mengikuti ketentuan. Aturannya ada dalam Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 78 Ayat (1) huruf a menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan karyawan
melebihi standar waktu kerja maka harus memenuhi syarat, yaitu ada persetujuan karyawan yang
bersangkutan untuk mau kerja lembur.

Karyawan wajib mendapatkan tambahan upah yang juga disebut upah lembur. Ketentuan tentang
waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat 2 dan 4 dan pasal 85.

Uang lembur yang diterima pekerja adalah termasuk penghasilan teratur yang diberikan secara
periodik berdasar ketentuan yang ditetapkan oleh pengusaha. Uang lembur dihitung dengan
mengalikan tambahan jam kerja dengan tarif uang lembur yang ditetapkan pemberi kerja.

Walaupun ditambahkan ke dalam gaji pekerja, upah lembur juga dikenakan pajak penghasilan
atau PPh 21 Uang Lembur.

Penghitungan PPh 21 Uang Lembur tidak jauh berbeda karena dasar hukumnya tetap mengacu
Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 yang diperbarui menjadi
Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).

Berikut adalah contoh penghitungannya:


Rani adalah karyawati PT Maju Pantang Mundur. Statusnya sudah menikah dan belum memiliki
anak. Gaji pokok yang diterima Rani adalah Rp8.500.000 per bulan. Sementara itu, Rani rutin
membayar iuran pensiun per bulannya sebesar Rp50.000.

Pada bulan Januari 2020, Rani mendapatkan uang lembur sebesar Rp2.000.000. Berapa PPh 21
yang harus dia bayar?
Langkah 1: Gaji Pokok + Uang Lembur = Pendapatan Kotor
Rp 8.500.000 + Rp 2.000.000 = Rp 10.500.000
Langkah 2: Biaya Jabatan + Iuran Pensiun = Komponen Pengurang
Rp 500.000 + Rp 50.000 = Rp 550.000
Langkah 3: Pendapatan Kotor – Komponen Pengurang = Gaji Bersih
Rp 10.500.000 – Rp 550.000 = Rp 9.950.000

Langkah 4 – Hitung Gaji Bersih Setahun


12 x Rp 9.950.000 = Rp 119.400.000
Langkah 5 – Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak
Rp 54.000.000 (PTKP/0) + Rp 4.500.000 (tambahan 1 suami) = Rp 58.500.000

Langkah 6 – Hitung Penghasilan Kena Pajak Setahun yaitu Gaji Bersih Setahun – Penghasilan
Tidak Kena Pajak
Rp 119.400.000 – Rp 58.500.000 = Rp 60.900.000
Langkah 7 – Hitung PPh 21 Terutang Setahun
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 10.900.000 = Rp 1.635.000
Rp 2.500.000 + Rp 1.635.000 = Rp 4.135.000
Langkah 8 – Hitung PPh 21 Terutang Sebulan
Rp 4.135.000 : 12 Bulan = Rp 344.583

Jadi PPh 21 yang harus Rani bayar di bulan Januari 2020 adalah Rp 344.583.

Cara Menghitung PPh 21 Kenaikan Gaji

Cara perhitungan pajak penghasilan akan berbeda ketika sebuah perusahaan memberikan kenaikan gaji
kepada karyawannya. Pertimbangan lainnya juga jatuh kepada metode yang digunakan perusahaan
dalam penghitungan PPh 21 kenaikan gaji yaitu surut (retrospektif) dan prospektif atau tidak surut.

Sebagai departemen HR, Anda harus cermat memperhatikan penghitungan karena ada kemungkinan
besar pajak yang dipotong dan dibayarkan mengalami penambahan untuk masa pajak setelah kenaikan
gaji.

Sementara itu, bagi para karyawan yang baru saja mengalami kenaikan gaji, ada baiknya Anda juga
menyimak penghitungan ini untuk mengetahui proses distribusi gaji secara transparan.

Sebagai informasi, untuk kenaikan gaji yang berlaku surut (retrospektif), penghasilan selama beberapa
bulan sebelumnya akan diakumulasikan. Sistem ini disebut rapel.
Sebagai contoh, kenaikan gaji ditetapkan pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari. Kemudian,
pada bulan Agustus, karyawan akan menerima akumulasi kenaikan gaji (rapel) tujuh bulan sebelumnya
dan gaji baru yang sudah naik.

Agar lebih jelas menghitung PPh 21 atas rapel kenaikan gaji, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:

Jumlah rapel dibagi dengan jumlah bulan perolehan rapel (contoh: 7 bulan).

Jumlah rapel per bulan harus sama dengan jumlah naik gaji yang ditetapkan. Contoh, gaji ditetapkan
naik Rp 1.000.000 pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari. Rapel yang diterima di bulan
Agustus adalah Rp 7.000.000. Jumlah rapel yang dibagikan 7 bulan (Januari – Juli), hasilnya harus sama
dengan besar kenaikan gaji, yaitu Rp 1.000.000.

Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum kenaikan gaji.

PPh 21 atas gaji untuk bulan-bulan sebelumnya dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada
kenaikan.

PPh 21 atas kenaikan gaji untuk beberapa bulan sebelum ditetapkannya kenaikan adalah selisih antara
jumlah pajak yang memperhitungkan kenaikan gaji dengan jumlah pajak yang sudah dipotong pada
bulan-bulan yang sama.

Contoh penghitungan rapel pajak kenaikan gaji

Budi berstatus sebagai karyawan tetap di PT Angin Ribut. Pada Januari 2019, dia memperoleh gaji
bulanan sebesar Rp 6.750.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 200.000. Budi sudah kawin
tetapi belum dikaruniai anak. Berapa PPh 21 yang harus dibayar Budi?

 Menghitung Penghasilan Bersih (Neto Sebulan):

Gaji                                                  Rp       6.750.000
Biaya Jabatan (5% x Gaji):         Rp          337.500
Biaya Pensiun                               Rp          200.000
__________________________________________ –
Penghasilan Neto Sebulan          Rp       6.212.500
Penghasilan Neto Setahun         Rp     74.550.000
 Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena Pajak
(PTKP) K/0 : Rp 74.550.000 – Rp 58.500.000 =  Rp 16.050.000

 Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif : 5% x 16.050.000 = Rp 802.500

 Hitung PPh 21 Terutang Sebulan: Rp 802.500 : 12 = Rp 66.875


Sementara itu, di bulan Agustus Budi mendapatkan kenaikan gaji sebesar Rp1.000.000 menjadi
Rp7.750.000. Kenaikan gaji tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2019. Dengan adanya kenaikan gaji
yang berlaku surut tersebut maka Budi menerima rapel sejumlah Rp7.000.000 (selisih gaji yang
seharusnya diterima untuk masa Januari – Agustus 2019). Berapa PPh 21 yang harus dibayar?

 Menghitung Penghasilan Bersih setelah kenaikan gaji (Neto Sebulan):

Gaji (naik Rp 1.000.000)                Rp       7.750.000


Biaya Jabatan (5% x Gaji):              Rp          387.500
Biaya Pensiun                                    Rp          200.000
__________________________________________ –
Penghasilan Neto Sebulan              Rp       7.162.500
Penghasilan Neto Setahun             Rp     85.950.000
 Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena Pajak
(PTKP) K/0 : Rp85.950.000 – Rp58.500.000 =  Rp27.450.000

 Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif : 5% x Rp27.450.000 = Rp1.372.500

 Hitung PPh 21 Terutang Sebulan yaitu Rp1.372.500 : 12 = Rp114.375

 Potongan Januari – Juli yang seharusnya yaitu 7 x Rp114.375 = Rp800.625

 Potongan Januari – Juli yang sudah dilakukan yaitu 7 x Rp66.875 = Rp468.125

 PPh 21 rapel kenaikan gaji yaitu Rp800.625 – Rp468.125 = Rp332.500

Sehingga jumlah Rp332.500 ditambahkan dengan perhitungan PPh 21 untuk bulan Agustus yaitu sebesar
Rp114.375 untuk kemudian dipotongkan terhadap gaji Budi di bulan itu ketika terjadi kenaikan gaji dan
penerimaan rapel. Sehingga gaji yang didapat Budi setelah kenaikan gaji adalah Rp7.750.000 –
Rp332.500 – Rp114.375 = Rp7.303.125.

Cara Menghitung PPh Pasal 21 Bukan Karyawan

Menghitung Pajak Penghasilan orang pribadi Bukan Pegawai atau PPh 21 Bukan Pegawai sangat berbeda
tetapi tidak terlalu sulit. Alasannya adalah, penghasilan yang diperoleh orang pribadi Bukan Pegawai
merupakan imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi
penghasilan.

Singkatnya adalah imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan yang terutang atau diberikan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Contoh penghasilan yang diterima
orang pribadi Bukan Pegawai adalah honorarium, komisi, dan fee. Adapun jenis pekerjaannya seperti
pengajar, notaris, pengacara, dokter, hingga distributor perusahaan MLM (Multi Level Marketing).
Pajak jenis ini dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang Undang PPh atas
jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya
penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi Pendapatan Tidak
Kena Pajak (PTKP) per bulan.

Di dalam aturan tersebut, ketentuan PPh 21 Bukan Pegawai membedakan imbalan kepada Bukan
Pegawai dalam dua kategori. Pertama adalah yang bersifat berkesinambungan dan kedua adalah tidak
berkesinambungan.

Berkesinambungan berarti imbalan yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun
kalender. Sedangkan Tidak Berkesinambungan adalah imbalan yang dibayar atau terutang hanya satu
kali saja dalam setahun kalender.

Sementara itu, dalam SPT PPh Bukan Pegawai dapat dicek pada formulir 1721-VI Bukti Potong Tidak
Final. Penggolongan Bukan Pegawai telah disederhanakan lagi menjadi 6 kategori, yaitu:

 Imbalan kepada Distributor Multi Level Marketing (MLM),

 Imbalan kepada Petugas Dinas Luar Asuransi,

 Imbalan kepada para Penjaja Barang Dagangan,

 Imbalan kepada Tenaga Ahli,

 Imbalan kepada Bukan Pegawai yang menerima Penghasilan/gaji bersifat berkesinambungan.

Sementara itu, imbalan untuk jenis pekerjaan yang termasuk bukan pegawai akan menerima
pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh 21 dan 26
serta memperoleh penghasilan lainnya.

Agar dapat mendapatkan pengurangan berupa PTKP, penerima penghasilan bukan pegawai laki-laki
harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu
NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan KK.

Sedangkan bagi penerima penghasilan Bukan Pegawai yang tidak memiliki NPWP maka dikenakan tarif
120% lebih tinggi.

Ada tiga cara menghitung PPh 21 Bukan Pegawai, yaitu:

 PPh 21 Bukan Pegawai Berkesinambungan : {(50% x Penghasilan Bruto) – PTKP 1 bulan} x Tarif
Pasal 17

 PPh 21 Bukan Pegawai Berkesinambungan Tidak Menerima PTKP : {(50% x Penghasilan Bruto)
x Tarif Pasal 17}

 PPh 21 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan : {(50% x Penghasilan Bruto) x Tarif Pasal 17}
Berikut adalah contoh perhitungan tidak berkesinambungan:

Delima merupakan pengajar di sebuah bimbel bernama PT Kamu Harus Pintar dengan bayaran sebesar
Rp6.000.000. Berapa PPh 21 yang harus dibayar Delima yang sudah memiliki NPWP?

Besarnya PPh 21 terutang dengan NPWP: (50% x Penghasilan Bruto) x Tarif Pasal 17

(50% x Rp 6.000.000) x 5% = Rp 150.000

Cara Menghitung PPh 21 Karyawan Tidak Tetap

Pajak Penghasilan atau PPh 21 Pegawai Tidak Tetap memiliki penghitungan pajak sendiri. Skema
penghitungannya mirip dengan PPh 21 Pegawai Harian Lepas. Lantas bagaimana caranya?

Pengertian Pegawai Tidak Tetap

Sebelum melangkah lebih jauh, kenali dulu apa yang dimaksud dengan Pegawai tidak tetap.

Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan jika
bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang dihasilkan, atau menyelesaikan
suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Istilah yang digunakan bagi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah imbalan atau
upah harian, mingguan, atau upah borongan. Sementara itu, upah satuan yang diterima pegawai tidak
tetap adalah upah atau imbalan yang dibayarkan berdasarkan jumlah unit output  pekerjaan yang
dihasilkan. 

Dasar Aturan Pengenaan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap

Dasar aturan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 102/
PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai
Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan. 

Berikut ini ketentuan khusus PPh 21 Pegawai Tidak Tetap:

 Tidak dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,

 Dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi Rp 450.000
merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,

 Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender melebihi Rp
4.500.000, maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,

 Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan
untuk setiap hari kerja yang digunakan,

 PTKP sebenarnya adalah untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya,


 PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP per
tahun Rp 54.000.000 dibagi 360 hari,

 Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau
tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Ada beberapa ketentuan khusus yang diatur, seperti:

 PPh 21 Pegawai Tidak Tetap atau tenaga kerja lepas yang penghasilannya kurang dari Rp
450.000 per hari tidak dikenakan pemotongan penghasilan,

 Ketentuan penghasilan tidak kena pajak tidak berlaku jika:

1. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 4.500.000 sebulan,

2. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan,

3. Penghasilan berupa honorarium,

4. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Note : Hitung Gaji dan PPh 21 dengan Menggunakan Tax Calculator Talenta di Sini

Tarif PPh 21 Pegawai Tidak Tetap

Tarif dan Dasar Pengenaan


Jumlah Penghasilan Harian Penghasilan Kumulatif Sebulan
Pajak (DPP)

< Rp 450.000 < Rp 4.500.000 Tidak Dipotong PPh 21

> Rp 450.000 < Rp 4.500.000 5% x (Upah – Rp 450.000)

< Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x (Upah – PTKP/360)

> Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x (Upah – PTKP/360)

Tarif pada UU PPh Pasal 17


< Rp 450.000 > Rp 10.200.000
ayat (1) huruf (a) atau 5%

Tarif pada UU PPh Pasal 17


> Rp 450.000 > Rp 10.200.000
ayat (1) huruf (a) atau 5%

Contoh Soal PPh 21 Pegawai Tidak Tetap 

Marini adalah seorang pegawai tidak tetap yang bekerja sebagai pembuat guci keramik di PT Keramik
Anti Pecah. Gaji yang dibayar dihitung dari jumlah guci keramik yang diselesaikan. Jumlah bayarannya
sebesar Rp100.000 per guci keramik dan dibayarkan tiap minggu. 

Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan 30 guci keramik dengan upah sebesar Rp3.000.000
Berapa PPh 21 upah satuan Marini yang diterima mingguan?

1. Upah sehari berjumlah Rp 500.000 (Rp 3.000.000 : 6 hari). Sesuai ketentuan, jumlah upah
sebesar Rp 500.000 lebih besar ketimbang ambang batas maksimal Rp 450.000 yang tidak
dipotong pajak.

2. Kelebihan kena pajak adalah Rp 500.000 – Rp 450.000 = Rp 50.000

3. Upah seminggu yang terutang pajak adalah Rp 50.000 x 6 = Rp 300.000

4. PPh 21 yang dipotong mingguan adalah 5% x Rp 300.000 = Rp 15.000.   

Cara Menghitung PPh 21 Karyawan yang Tidak Punya NPWP

Ketika melamar ke kantor baru dan sampai ke tahap penandatanganan kontrak, departemen HR pasti
akan menanyakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 

Menurut Direktur Jenderal Pajak (DJP) NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak atau
pembayar pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan, berfungsi sebagai identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

NPWP diberikan kepada Wajib Pajak yang sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan di dalam
Undang Undang Perpajakan dan tidak akan berubah meskipun Wajib Pajak berpindah domisili.

Selama ini, NPWP selalu digunakan untuk persyaratan administrasi; membuka rekening bank,
mengajukan kartu kredit, menjual tanah dan juga keperluan lainnya. Namun, NPWP juga memiliki peran
penting dalam proses penghitungan NPWP, maka itu pastikan Anda sudah memiliki NPWP atau
membuat baru sesegera mungkin apabila belum ada.

Apa konsekuensi bagi Wajib Pajak yang belum memiliki NPWP? Tarif yang dikenakan bagi Penghasilan
Kena Pajak (PKP) yang diberikan oleh pemberi gaji akan lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak
yang sudah memiliki NPWP.

Agar lebih jelas, berikut adalah contoh soal perhitungan PPh 21.

Gaji                                                  Rp     11.000.000

Biaya Jabatan

5% x Gaji:                                        Rp          550.000

__________________________________________ –

Penghasilan Neto Sebulan              Rp     10.450.000

Penghasilan Neto Setahun              Rp   125.400.000


Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
TK/0

Rp 125.400.000 – Rp 54.000.000 =  Rp 71.400.000 

Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (Karena Rp 71.400.000 Lebih dari Rp 50.000.000) 

(5% x 50.000.000 = Rp 2.500.000) + (15% x 21.400.000 = Rp 3.210.000) = Rp 5.710.000.

Hitung PPh 21 Terutang Sebulan: Rp 5.710.000 : 12 = Rp 475.833

Kepemilikan NPWP penting untuk seluruh pekerja, karena hal tersebut membantu mereka dari
pembayaran pajak yang jauh lebih tinggi. Setiap pekerja yang tidak memiliki NPWP dibebankan pajak
sebesar 120%. Berikut adalah contoh perbandingannya.

Karyawan dengan NPWP Karyawan Tidak Memiliki NPWP

5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 120% x 5% x Rp 50.000.000 Rp 3.000.000

15% x Rp 21.400.000 Rp 3.210.000 120% x 15% x Rp 21.400.000 Rp 3.852.000

PPh 21 setahun Rp 5.710.000 PPh 21 setahun Rp 6.852.000

PPh 21 sebulan Rp 475.833 PPh 21 sebulan Rp 571.000

Cara Menghitung PPh 21 THR dan Bonus

Sekilas tentang Tunjangan Hari Raya

Karyawan Indonesia memiliki pendapatan tambahan yang biasa diberikan setahun sekali
bernama Tunjangan Hari Raya (THR). Menariknya, THR ini hanya ada di Indonesia dan rutin diberikan
perayaan hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Natal.

THR pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo pada 1950-an.
Jafar Suryomenggolo dalam bukunya “Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an” menjelaskan
bahwa THR muncul sebagai akibat kemiskinan absolut yang dialami oleh kaum buruh pada era tersebut.

Latar belakangnya, para buruh melakukan mogok kerja dan menuntut diberikannya THR untuk semua
pekerja di Indonesia pada 13 Februari 1952. Setelah itu, implementasinya mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Sampai ke pengaturan THR saat ini yang diakomodir dalam kerangka peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang terdiri dari:

1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 

2. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dan 

3. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;
Menurut Pasal 1 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, THR adalah pendapatan non-upah yang wajib
dibayarkan oleh Pengusaha (Perusahaan). Jika perusahaan terlambat membayarkan THR karyawan,
maka akan dikenakan denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas
waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar atau tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Jika Pengusaha tidak membayarkan THR, maka sanksi yang diberikan dapat berupa: teguran tertulis, dan
pembekuan kegiatan usaha, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau
seluruh alat produksi. Terdapat pula ketentuan mengenai besaran THR yang wajib dibayarkan, yakni:

1. Untuk karyawan yang bekerja terus-menerus selama 12 bulan, maka berhak atas THR dengan
besaran minimal 1 kali upah;

2. Sementara karyawan yang bekerja lebih dari 1 bulan secara terus-menerus tetapi belum
mencapai 12 bulan, maka THR yang dibayarkan adalah dengan perhitungan proporsional.

Bagaimana Pengaturan Bonus di Indonesia?

Istilah bonus sendiri memang sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan,
tetapi pengertiannya tidak dijabarkan secara lebih lanjut dan lebih jelas. Bonus hanya diartikan sebagai
salah satu jenis pendapatan non-upah selain THR.

Aturan mengenai bonus juga diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990
Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah. 

Dalam surat edaran tersebut menyebutkan bahwa bonus bukan termasuk bagian dari upah, melainkan
pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan
hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas.

Peraturan mengenai besaran bonus yang wajib perusahaan bayarkan tidak diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Jika merujuk pada Pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang menyebutkan bahwa :

“Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS” dan penjelasan pasal tersebut yang berbunyi
“Berdasarkan keputusan RUPS tersebut dapat ditetapkan sebagian atau seluruh laba bersih digunakan
untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, cadangan, dan/atau pembagian lain seperti tantiem
(tantieme) untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta bonus untuk karyawan.”

Perhitungan mengenai bonus pun juga masih belum diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan
hingga saat ini. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2018 tentang Pengupahan jo.  Angka 2
huruf b Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan
Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah menyebutkan bahwa penentuan besaran bonus ada pada
masing-masing perusahaan.
Pajak THR, Pajak Bonus, dan Cara Menghitungnya

Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pada sistem perpajakan di Indonesia, khususnya
pajak penghasilan dikenal dalam dua tipe. Pertama adalah pajak atas penghasilan yang bersifat teratur
dan kedua adalah pajak atas penghasilan yang sifatnya tidak teratur.

THR dan Bonus adalah penghasilan tidak teratur, sehingga cara perhitungannya akan dibedakan dari
penghasilan teratur seperti gaji bulanan.

Dasar pengenaan pajak atas penghasilan tidak teratur tersebut ada pada Pasal 4 ayat (1) huruf a  UU No.
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, yang menyebutkan bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima wajib pajak.

Ketentuan yang lebih eksplisit juga dapat ditemukan pada Pasal 14 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor: PER–31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. 

Sebagai gambaran, berikut adalah contoh kasus penghitungan pajak penghasilan tidak teratur.

Contoh yang diambil adalah cara menghitung Pajak atas THR seorang Karyawan bernama Imam yang
sudah bekerja di PT Cahaya Bersinar selama 10 tahun.

Gaji setiap bulan yang diterimanya adalah sebesar Rp8.000.000. Status Imam sekarang sudah
berkeluarga tetapi belum memiliki anak. Berapakah jumlah THR yang Imam dapatkan setelah dipotong
pajak?

Pajak Penghasilan Imam

Keterangan Perhitungan Total

Penghasilan dalam 1 bulan – 8,000,000

Penghasilan Bruto dalam Setahun 12 x Rp 8,000,000 96,000,000

Biaya Jabatan 5% x Rp 96,000,000 4,800,000

Penghasilan  Neto Rp 96,000,000 – Rp 4,800,000 91,200,000

PTKP (K/0) Menikah dan belum memiliki anak 58,500,000

PKP Rp 91,200,000 – Rp 58,500,000 32,700,000

PPh Terutang Setahun 5% x Rp 32,700,000 1,635,000

PPH Terutang Sebulan Rp 1,635,000 / 12 136,250


Jadi PPh terutang Imam adalah sebesar Rp 1.665.000 per tahun atau Rp 136.250 per bulan.

Pajak atas THR Imam

Keterangan Perhitungan Total

THR (Sama dengan 1 kali gaji) – 8,000,000

Penghasilan Bruto Rp 96,000,000 + Rp 8,000,000 104,000,000

Biaya Jabatan 5% x Rp 104,000,000 5,200,000

Penghasilan Neto Bonus Rp 104,000,000 – Rp 5,200,000 98,800,000

PTKP (K/0) Menikah dan belum memiliki anak 58,500,000

PKP Rp 98,800,000 – Rp 58,500,000 40,300,000

PPh Terutang Setahun 5% x Rp 40,300,000 2,015,000

PPh THR Terutang Setahun Rp 2,015,000 – Rp 1,635,000 380,000

Jadi PPh THR terutang Imam adalah sebesar Rp 380.000.

Perhitungan pajak penghasilan dilakukan untuk penghasilan yang diperoleh selama satu tahun.

Sementara, normalnya THR diperoleh satu kali dalam jangka waktu satu tahun, sehingga perhitungan
PPh-nya tidak perlu disetahunkan.

Namun, jika THR atau bonus ternyata dibayarkan lebih dari satu kali dalam satu periode pajak, maka
total penghasilan neto atas penghasilan tidak teratur tersebut tetap harus disetahunkan.

Note : Baca Selengkapnya tentang PPh 21 THR dan Bonus di Trik Mudah Cara Menghitung PPh 21 THR
dan Bonus

Perhitungan PPh 21 Warga Negara Asing

Tenaga kerja asing baik buruh maupun staf manajerial menjadi suatu kebutuhan perusahaan yang
terkadang tak terelakkan. Hal ini tentu berdasarkan kebutuhan bisnis dari perusahaan tersebut.

Sebagai tenaga kerja, gaji yang diterima tenaga kerja asing tetap akan dikenai pajak penghasilan (PPh
21) Warga Negara Asing.

Ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor Per-43/PJ/2011 tentang Penentuan
Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Berikut ini rinciannya.

Orang Pribadi sebagai SPDN


 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau dalam suatu
Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia,

 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, 

 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Pada dasarnya, Warga Negara Asing termasuk SPLN. Namun, saat WNA telah memenuhi kriteria
pertama di atas hingga menjadi SPDN, maka secara otomatis WNA tersebut akan dikenakan PPh Pasal
21 dan bukan lagi PPh Pasal 26.

SPDN ditetapkan sebagai Wajib Pajak karena memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia,
yang dibayarkan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Penghasilannya pun sudah melampaui
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu Rp 54 juta.

Artinya, WNA tersebut telah terkena kewajiban subjektif dan objektif.

Berikut kriteria SPDN:

 Bertempat tinggal di Indonesia: mempunyai tempat tinggal (place of residence) yang tetap
(permanent) untuk menjalani kehidupan secara biasa (ordinary course of life).

 Berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang ditunjukkan dengan dokumen berupa visa
bekerja atau Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lalu menyewa tempat tinggal di Indonesia,
bahkan memindahkan anggota keluarga ke Indonesia.

 Menyetujui, atau memperpanjang kontrak/perjanjian, selama lebih dari 183 hari (seratus
delapan puluh tiga) hari.

Selanjutnya, kewajiban perpajakan WNA yang telah menjadi SPDN dapat mengacu pada ketentuan
perpajakan di Indonesia tentang Pajak Penghasilan orang pribadi.

Hanya saja, catatan penting untuk diperhatikan saat perhitungan PPh 21 WNA, terutama bagi WNA yang
bekerja mulai pertengahan tahun, penghitungan PPh Pasal 21-nya harus disetahunkan.

Contoh soal:

Tom Hanks adalah seorang pria lajang dengan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ia mulai bekerja di
negara Indonesia yaitu di PT Mobil Bekas Sejahtera pada 1 September 2019. Di perusahaan tersebut, ia
mendapat gaji Rp 19.000.000. Berapa PPh 21 yang harus Tom bayarkan?

Penghasilan bruto                    Rp  19.000.000


Penghasilan bruto setahun     Rp  19.000.000 x 12    Rp 228.000.000
Biaya jabatan                                                                     Rp      6.000.000
___________________________________________________________________-
Penghasilan neto disetahunkan                                     Rp 222.000.000
Pengurangan:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)                         Rp   54.000.000
___________________________________________________________________-
Penghasilan Kena Pajak (PKP)                                       Rp 168.000.000
PPH 21 Disetahunkan:
(5% x Rp 50.000.000)      =      Rp  2.500.000
(15% x Rp 118.000.000) =      Rp 17.700.000
_______________________________________+
                                                    Rp 20.200.000 
PPh 21 Setahun (4 Bulan):
(4/12 x Rp 20.200.000) =     Rp   6.733.333,33
PPH 21 terutang Tom Hanks di September 2019:
(1/4 x Rp 6.733.333,33 =        Rp  1.683.333,33

Anda mungkin juga menyukai