Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM

PERILAKU DAN ETIKA PROFESI

Dosen Pengajar :
Umul Farida, S.Farm.,M.Farm., Apt

Disusun oleh :

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI


INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI WIYATA KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulisan makalah resume ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan  ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Umul Farida,
S.Farm.,M.Farm., Apt sebagai dosen pengampu mata kuliah Etika Kefarmasian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan  Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, serta semua pihak
yang telah memberikan dukungannya bagi terselesaikannya tugas ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari betul bahwa baik isi maupun penyajian laporan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai penyempurnaan tulisan ini.
Semoga hasil penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat  bagi teman-teman mahasiswa dan semua
pihak-pihak yang memerlukan.
 
 
 
 
 
Kediri, 5 November 2020
 
 
                                                                                                           
Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................i
 
DAFTAR ISI......................................................................................ii
 
I.  PENDAHULUAN.........................................................................1
 
1.1. Latar Belakang...................................................................1
 
1.2. Tujuan................................................................................1
 
1.3. Rumusan Masalah..............................................................1
 
II. TELAAH PUSTAKA...................................................................2
 
III. METODE....................................................................................3
 
3.1. Tempat...............................................................................3
 
3.2. Metode Peninjauan.............................................................3

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................4

4.1.  Presentase dan Diskusi......................................................4

4.2. Tinjauan Praktikum............................................................4

4.2.1. Gambaran Umum.........................................................4

V. PENUTUP.....................................................................................5

5.1. Kesimpulan........................................................................5

DAFTAR PUSTAKA........................................................................6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan, sering kita jumpai orang-orang yang berhasil, dan ada pula yang gagal.
Ada yang lancer dan lurus-lurus saja dalam menjalankan roda kehidupan, ada pula yang
terseok-seok. Keberhasilan dan kegagalan merupakan kejadiana biasa dan selalu ada dalam
masyarakat mana saja. Selama bertahun-tahun, orang beranggapan bahwa keberhasilan
seseorang ditentukan oleh kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient), sering disebut
dengan IQ. Kecerdasan ini merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis
dan akademis.
Dahulu pada sekitar tahun 1890-an, kecerdasan seseorang diukur melalui ukuran IQ
(Intelligence Quotient). Konsep Iq ditemukan oleh Francis Galton, dan selama berpuluh-
puluh tahun tes IQ diakini sebagai satu-satunya ukuran standart untuk mengatur kecerdasan
manusia. Namun pada tahun 1983 Howard Gardner, seorang psikolog dan ahli pendidikan
dari Universitas Harvard AS merumuskan sebuah teori Multiple Intelligences (Kecerdasan
Majemuk). Menurutnya kecerdasan manusia tidaklah terdiri dari 9 komponen, yaitu
kecerdasan matematis, linguistic, musical, visual, kinetis, naturalis, interpersonal,
intrapersonal dan spiritual.
Pada tahun 1987, Keith Beasley mengemukakan jenis kecerdasan lain yang tak kalah
penting dalam mempengaruhi kesuksesan seseorang, yaitu EQ (Emotional Quotient). Istilah
EQ menjadi popular setelah Daniel Golman mempopulerkannya melalui buku “Emotional
Intelligence – Why it can matter more than IQ” pada tahun 1995.
Kemudian pada tahun 1997, Danah Zohar menemukan jenis kecerdasan baru selain IQ
dan EQ, yaitu SQ (Spiritual Quotient). SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif sehingga bisa mencapai titik maksimalnya, dan
berdampak pada kesuksesan dan keberhasilan seseorang.
IQ, EQ, SQ dan ESQ adalah penggambaran dari potensi manusia sebagai makhluk
paling cerdas dan kompleks di muka bumi. Pembagian ini mewakilkan dari banyak potensi
kecerdasan manusia yang didefinisikan secara umum.

1.2 Tujuan
1. Dapat memahami pengertian Intelligence Quotient (IQ)
2. Dapat memahami pengertian Emotional Quotient (EQ)
3. Dapat memahami pengertian Spiritual Quotient (SQ)
4. Mampu menjelaskan perilaku IQ, EQ dan SQ dalam lingkup kefarmasian

1.3 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Intelligence Quotient (IQ) ?
2. Apakah pengertian dari Emotional Quotient (EQ) ?
3. Apakah pengertian dari Spiritual Quotient (SQ) ?
4. Apa sajakah contoh perilaku IQ, EQ dan SQ dalam lingkup kefarmasian ?
BAB II
TELAAH PUSTAKA

BAB III
METODE

3.1 Tempat

3.2 Metode Peninjauan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Presentase dana Diskusi

4.2 Tinjauan Praktikum

4.2.1 Gambaran Umum

Intelligence Quotient (IQ) yang hamper serratus tahun lalu diperkenalkan oleh William
Stern telah menyita perhatian yang tidak kecil. Bangunan-bangunan utama kecerdasan ditakar
dalam skor-skor tertentu. Takaran IQ bahkan telah menjadi momok bagi siswa tertentu ketika dia
harus memilih mau menjadi apa dia kelak. Yang lebih tragis, takaran IQ telah menghilangkan
kesempatan berkembang bagi mereka yang memiliki IQ rendah, tetapi dengan kecerdasan lain
yang dominan.

Intelligence Quotient (IQ) menurut psikolog Daniel Goleman, hanya menyumbang


sekitar 5-10 % bagi kesuksesan hidup. Sisanya adalah kombinasi beragamfaktor yang salah
satunya adalah kecerdasan emosi (Gramedia, 1996). Intelligence Quotient (IQ), menurut Paul
Stoltz, hanya bagian kecil dari pohon kesuksesan dalam semua hal. Stoltz yang menulis buku
laris, Adversity Quoetient (Gramedia, 2000), menyebut kinerja, bakat dan kemauan, karakter,
kesehatan, kecerdasa, factor genetis, pendidikan, dan keyakinan sebagai kunci-kunci kesuksesan
manusia.

Kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasa emosi (EQ), dan kecerdasan majemuk (MI)
merupakan kunci-kunci kesuksesan yang betul-betul mengorek hingga ke dasar-dasarnya
kemapuan-kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Namun, perlu dicatat secara jelas bahwa
ketiga konsep itu memiliki kelemahan yang signifikan dalam mengaktualkan potensi dasar otak
manusia. Ukuran IQ memiliki kelemahan dalam hal pemberian peluan bagi nuansa-nuansa
emosional, seperti empati, motivasi diri, pengendalian diri, dan kerja sama sosial. Sementara itu,
MI lebih menonjolkan aspek kognitif, sekalipun music, olahraga dan hubungan antar pribadi
dipandang sebagai kecerdasan jenis tertentu.EQ, sebagaimana juga ditemui pada konsep IQ dan
MI, sama sekali menepiskan peranan aspek spiritual dalam mendorong kesuksesan. Ketulusan,
integritas, tanpa pamrih, rendah ahti, dan orientasi kebajikan sosial adalah beberapa hal penting
dari kehidupan spiritual yang memberi kepuasan total bila seseorang sukses. Aspek-aspek
spiritual itu tidak hanya membuat seseorang sukses, tetapi juga bahagia.

4.3 Intelligence Quotient (IQ)

Ialah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk :

a. Menalar;
b. Perencanaan sesuatu;
c. Kemampuan memecahkan masalah;
d. Belajar;
e. Pemahaman gagasan;
f. Berfikir;
g. Penggunaan Bahasa dan lainnya.

Anggapan awal bahwa IQ adalah kemampuan bawaan lahir yang mutlak dan tak dapat berubah
adalah salah, karena penelitian modern membuktikan bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses
belajar. Kecerdasan ini pun tidaklah baku untuk satu hal saja, tetapi unttuk banyak hal.

4.4 Emotional Quotient (EQ)

Kecerdasan emosional adalah kemampuan :

a. Pengendalian diri sendiri;


b. Semangat dan ketekunan;
c. Kemapuanuntuk memotivasi diri sendir dan bertahan menghadapi frustrasi;
d. Kesanggupan untuk mengendalikan doronga hati dan emosi;
e. Tidak melebih-lebihkan kesenangan;
f. Mengatur suasana hati;
g. Menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir;
h. Dapat membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa;
i. Dapat memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya;
j. Kemampuan untuk menyelesaikan konflik;
k. Memimpin diri dan lingkungan sekitar.

4.5 Spiritual Quotient (SQ)

Perlu diperhatikan bahwa SQ :

a. Tidak mesti berhubungan dengan agama;


b. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang
membangun dirinya secara utuh;
c. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai;
d. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki
nilai-nilai itu sendiri;
e. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berasal dalam hati, menjadikan kita kreatif
ketika kita dihadapkan pada masalah pribadi, dan mencoba melihat makna yang
terkandung di dalamnya, serta menyelesaikannya dengan baik agar memperoleh
ketenangan dan kedamaian hati
f. Kecerdasan spiritual membuat individu mampu memaknai setiap kegiatannya sebagai
ibadah, demi kepentingan umat manusia dan Tuhan yang sangat dicintainya.

4.6 Perilaku IQ, EQ dan SQ di Lingkup Kefarmasian


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Zohar Danah dan Ian Marshall, SQ : Mmemanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik
Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan terj. Rahmani Astuti (ed) Bandung : Mizan, 2000

Pasiak Taufik, 2002, Revolusi IQ / EQ / SQ Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Quran dan
Neurosains Mutakhir, Bandung : Mizan Media Utama

Thamaria Netty, 2016, Ilmu Perilaku dan Etika Farmasi, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai